Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

ETIKOLEGAL DALAM PRAKTIK KEBIDANAN


HUKUM DAN PERUNDANGAN-UNDANGAN YANG
BERHUBUNGAN DENGAN PROFESI BIDAN

KELOMPOK 1
Disusun oleh :
Intan Fatimah Azzahra P17324118038
Mutiara Putri Horison P17324118016
Nida’ Salma Majidah P17324118020
Salsabila Nur Syahbani P17324118003
Widayu Salsabilla P17324118010

KELAS : 1-A

JURUSAN KEBIDANAN BANDUNG


POLTEKKES KEMENKES BANDUNG
2019
BAB I
PELAKSANAAN KEGIATAN DISKUSI KELOMPOK

1.1 Materi/Topik yang dibahas dalanm CL


1.1.1 Pengertian Hukum
1.1.2 Pembedaan Hukum
1.1.3 Etika dan Hukum
1.1.4 Trilogi dalam Hukum Kesehatan
1.1.4.1 Informed Choice dan Informed Consent
1.1.4.2 Rahasia Medis
1.1.4.3 Rekam Medis
1.1.5 Kesalahan Profesional (Malpraktik)
1.2 Waktu
1.2.1 Hari : Rabu
1.2.2 Tanggal : 13 Februari 2019
1.2.3 Jam : 07.30 – Selesai
1.2.4 Tempat CL : Ruang Kelas TK. 1-A
1.3 Dosen Pembimbing
1.3.1 Nama Dosen : Ibu Sri Wisnu, S.ST., M.Keb.
1.4 Peserta yang Mengikuti Diskusi
1.4.1 Nama Peserta : 1. Intan Fatimah Azzahra
2. Mutiara Putri Horison
3. Nida’ Salma Majidah
4. Salsabila Nur Syahbani
5. Widayu Salsabilla

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Hukum


2.1.1 Pengertian Hukum menurut Para Ahli
Pengertian hukum menuru para ahli hukum di antaranya:
1. Definisi Hukum dari Kamus Besar Bahasa Indonesiaa (1997):
a. Peraturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan
dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas.
b. Undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur
kehidupan masyarakat.
c. Patokan (kaidah, ketentuan).
d. Keputusan (pertimbangan) yang ditentukan oleh hakim dalam
pengadilan, vonis.
2. Austin
Hukum adalah sebagai peraturan yang diadakan untuk memberi
bimbingan kepada makhluk berakal oleh makhluk berakal yang
berkuasa atasnya (Friedmann, 1993: 149).
Jadi, hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang dibuat
oleh penguasa negara atau pemerintah secara resmi melalui lembaga
atau intuisi hukum untuk mengatur tingkah laku manusia dalam
bermasyarakat, bersifat memaksa, dan memiliki sanksi yang harus
dipenuhi oleh masyarakat.

2.1.2 Pengertian Hukum Kesehatan


Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI), adalah semua
ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan/
pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini menyangkut hak dan
kewajiban baik dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat
sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak
penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya,
organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu

3
pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum
lainnya.
Hukum kesehatan adalah semua ketentuan-ketentuan atau
peraturan-peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan yang
mengatur hak dan kewajiban individu, kelompok atau masyarakat
sebagai penerima pelayanan kesehatan pada satu pihak, hak dan
kewajiban tenaga kesehatan dan sarana kesehatan sebagai
penyelenggara pelayanan kesehatan di pihak lain yang mengikat
masing-masing pihak dalam sebuah perjanjian terapeutik dan
ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan perundang-undangan
di bidang kesehatan lainnya yang berlaku secara lokal, regional,
nasional dan internasional.

2.1.3 Pengantar Hukum Kesehatan


1) Kelompok masalah yang menyangkut asas umum, meliputi
hak menentukan diri sendiri, hak atas pemeliharaan
kesehatan , fungsi undang – undang dan hukum dan
pemeliharaan kesehataan , hubungan hukum kesehatan
dengan etika kesehatan.
2) Kelompok masalah tentang kedudukan indifidu dalam hukum
kesehatan, antara lain : hak atas tubuh sendiri, kedudukan
material tubuh, hak atas kehidupan, genetika, reproduksi,
status hukum hasil pembuahan, Perawatan yang dipaksakan
dalam RS.
3) Kelompok masalah dengan aspek- aspek pidana antara lain
: tanggung jawab pidana, tindakan medis dan hukum pidana,
hak untuk tidak membuka rahasia.
4) Kelompok masalah dakam pelayanan kuratif, antara lain
kewajiban memberika pertolongan medis, menjaga mutu,
eksperimen – eksperimen medis, batas – batas pemberiaan
pertolongan medis, penyakit menular. Dokumentasi medis
dan lain – lain.

4
5) Kelompok tentang pelaksanaan profesi dan kepentingan
pihak ketiga antara lain kesehatan industry, pelaksanaan
medis skrining, keterangan medis, saksi ahli, asuransi
kesehatan social.
Hak asasi manusian yang berhubungan dengan kesehatan
manusia dimulai dari tiga hak asasi, yaitu :
1. The right to health care (Hak untuk mendapat pelanyanan
kesehatan)
2. The right to self dateminartion (Hak untuk menentukan nasib
sendiri)
3. The righ toinformation (Hak untuk mendapat informasi)

2.2 Pembedaan Hukum


2.2.1 Pembedaan Hukum menurut Teori
Hukum itu dapat dibedakan / digolongkan / dibagi menurut
bentuk, sifat, sumber, tempat berlaku, isi dan cara
mempertahankannya.
Menurut bentuknya, hukum itu dibagi menjadi :
1). Hukum Tertulis
Adalah hukum yang dituliskan atau dicantumkan dalam
perundang-undangan.
Contoh : hukum pidana dituliskan pada KUHPidana, hukum perdata
dicantumkan pada KUHPerdata.
Hukum tertulis sendiri masih dibagi menjadi dua, yakni hukum
tertulis yang dikodifikasikan danyang tidak dikodifikasikan.
Dikodifikasikan artinya hukum tersebut dibukukan dalam
lembarannegara dan diundangkan atau diumumkan. Indonesia
menganut hukum tertulis yang dikodifikasi.
Kelebihannya adalah adanya kepastian hukum dan
penyederhanaan hukum serta kesatuanhukum. Kekurangannya
adalah hukum tersebut bila dikonotasikan bergeraknya lambat atau
tidak dapat mengikuti hal-hal yang terus bergerak maju.

5
2). Hukum Tidak Tertulis
Adalah hukum yang tidak dituliskan atau tidak dicantumkan
dalam perundang-undangan.
Contoh: hukum adat tidak dituliskan atau tidak dicantumkan pada
perundang-undangan tetapi dipatuhioleh daerah tertentu.

Menurut sifatnya, hukum itu dibagi menjadi :


a) Hukum yang mengatur
Hukum yang dapat diabaikan bila pihak-pihak yang bersangkutan
telah membuat peraturan sendiri.
b) Hukum yang memaksa
Hukum yang dalam keadaan apapun memiliki paksaan yang tegas.

Menurut sumbernya, hukum itu dibagi menjadi :


1) Hukum Undang-Undang
Hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
2) Hukum Kebiasaan (adat),
Hukum yang ada di dalam peraturan-peraturan adat.
3) Hukum Jurisprudensi
Hukum yangterbentuk karena keputusan hakim di masa yang lam
pau dalam perkara yang sama.
4). Hukum Traktat
Hukum yang terbentuk karena adanya perjanjian antara
negara yang terlibat di dalamnya.

Menurut tempat berlakunyanya, hukum itu dibagi menjadi :


a. Hukum Nasional
Hukum yang berlaku dalam suatu negara.
b. Hukum Internasional
Hukum yang mengatur hubungan antar negara.
c. Hukum Asing
Hukum yang berlaku di negara asing

6
Menurut isinya, hukum itu dibagi menjadi :
1) Hukum Privat (Hukum Sipil)
Hukum yang mengatur hubungan antara perseorangan dan
orang yang lain. Dapat dikatakanhukum yang mengatur hubungan
antara warganegara dengan warganegara.
Contoh: HukumPerdata dan Hukum Dagang. Tetap dalam arti sempit
hukum sipil disebut juga hukum perdata

2) Hukum Negara (Hukum Publik)


Dibedakan menjadi hukum pidana, tata negara dan
administrasi negara.
a. Hukum Pidana
Hukum yang mengatur hubungan antara warganegara dengan
Negara
b. Hukum Tata Negara
Hukum yang mengatur hubungan antara warganegara dengan alat
perlengkapan negara.
c. Hukum Administrasi Negara
Hukum yang mengatur hubungan antar alat perlengkapan negara,
hubungan pemerintah pusatdengan daerah.

2.2.2 Pengelompokkan Hukum Kesehatan


Berdasarkan hal tersebut diatas, maka hukum kesehatan dapat
di kelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu:
1) Hukum kesehatan yang terkait langsung dengan pelayanan
kesehatan yaitu antara lain :
a. UU No. 23/ 1992 Tentang Kesehatan yang telah diubah
menjadi UU No 36/2009 tentang Kesehatan
b. UU No. 29/2004 tentang Praktek kedokteran
c. UU No, 44/ 2009 tentang Rumah sakit
d. PP No. 32/1996 tentang Tenaga Kesehatan

7
e. Permenkes 161/2010 tentang Uji kompetensi, dan lain
sebagainya.
2) Hukum Kesehatan yang tidak secara laingsung terkait
dengan pelayanan Kesehatan antara lain:
a. Hukum Pidana
Pasal-pasal hukum pidana yang terkait dengan
pelayanan kesehatan. Misalnya Pasal 359 KUHP tentang
kewajiban untuk bertanggung jawab secara pidana bagi
tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang dalam
menyelenggarakan pelayanan kesehatan menyebabkan
pasien mengalami cacat, gangguan fungsi organ tubuh
atau kematian akibat kelalaian atau kesalahan yang
dilakukannya.
b. Hukum Perdata.
Pasal-pasal Hukum perdata yang terkait dengan
pelayanan kesehatan. Misalnya Pasal 1365 KUHPerd.
mengatur tentang kewajiban hukum untuk mengganti
kerugian yang dialami oleh pasien akibat adanya
perbuatan wanprestasi dan atau perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan sarana
kesehatan dalam memberikan pelayanan terhadap
pasien
c. Hukum Administrasi
Ketentuan-ketentuan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan baik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
maupun oleh sarana kesehatan yang melanggar hukum
adminstrasi yang menyebabkan kerugian pada pada
pasien menjadi tanggung jawab hukum dari
penyelenggara pelayanan kesehatan tersebut
3) Hukum Kesehatan yang berlaku secara Internasional
a. Konvensi
b. Yurisprudensi

8
c . Hukum Kebiasaan
4) Hukum Otonomi
a. Perda (Peraturan Daerah) tentang kesehatan
b. Kode etik profesi

2.2.3 Tujuan Hukum Kesehatan


Tujuan hukum pada intinya adalah menciptakan tatanan
masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan.
Dengan tercapainya ketertiban didalam masyarakat diharapkan
kepentingan manusia akan terpenuhi dan terlindungi (Mertokusumo,
1986). Dengan demikian jelas terlihat bahwa tujuan hukum
kesehatanpun tidak akan banyak menyimpang dari tujuan umum
hukum. Hal ini dilihat dari bidang kesehatan sendiri yang mencakup
aspek sosial dan kemasyarakatan dimana banyak kepentingan harus
dapat diakomodir dengan baik.

2.2.4 Aspek Hukum Kesehatan


Pada masa kini dapat disepakati luas ruang lingkup peraturan
hukum untuk kegiatan pelayanan kesehatan menurut ilmu kedokteran
mencakup aspek-aspek di bidang pidana, hukum perdata, hukum
administrasi, bahkan sudah memasuki aspek hukum tatanegara.
Persyaratan pendidikan keahlian, menjalankan pekerjaan profesi,
tatacara membuka praktek pengobatan, dan berbagai pembatasan
serta pengawasan profesi dokter masuk dalam bagian hukum
administrasi. Hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan
pelayanan kesehatan, persetujuan antara dokter dan pasien serta
keluarganya, akibat kelalaian perdata serta tuntutannya dalam
pelayanan kesehatan masuk bagian hukum perdata. Kesaksian,
kebenaran isi surat keterangan kesehatan, menyimpan rahasia,
pengguguran kandungan, resep obat keras atau narkotika,
pertolongan orang sakit yang berakibat bahaya maut atau luka-luka
masuk bagian hukum pidana.

9
2.2.5 Kedudukan Hukum Kesehatan
Perkembangan hukum di bidang kedokteran dan kesehatan
dapat ditelaah mengenai pengertiannya, kedudukan pengembangan
ilmunya, dan proyeksinya. Seringkali terdapat keraguan pemakaian
istilah mana yang dapat dipakai untuk memilih istilah hukum
kedokteran ataukah hukum kesehatan ataukah hukum kedokteran -
kesehatan.

2.2.6 Aspek Hukum Dalam Praktik Kebidanan


Akuntabilitas bidan dalam praktik kebidanan merupakan suatu
hal yang penting dan di tuntut dari suatu profesi, terutama profesi yang
berhubungan dengan keselamatan jiwa manusia, adalah pertanggung
jawaban dan tanggung gugat (accountability) atas semua tindakan
yang dilakukuannya. Sehingga semua tindakan yang dilakukan oleh
bidan harus berbasis kompetensi dan didasari suatu evidence based.
Accountability diperkuat dengan satu landasan hukum yang mengatur
batas-batas wewenang profesi yang bersangkutan.
Dengan adanya legitimasi kewenangan bidan yang lebih luas,
bidan memiliki hak otonomi dan mandiri untuk bertindak secara
profesional yang dilandasi kemampuan berfikir logis dan sitematis
serta bertindak sesuai standar profesi dan etika profesi.
Praktek kebidanan merupakan inti dari berbagai kegiatan bidan
dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus terus-menerus
ditingkatkan mutunya melalui:
1. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan
2. Pengembangan ilmu dan teknologi dalam kebidanan
3. Akreditasi
4. Sertifikasi
5. Registrasi
6. Uji kompetensi
7. Lisensi

10
Beberapa dasar dalam otonomi pelayanan kebidanan antara
lain sebagai berikut:
1. Kepmenkes 900/Menkes/SK/VII/2002 tentanng registrasi dan
praktik bidan
2. Standar Pelayanan Kebidanan
3. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
4. PP No 32/ Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan
5. Kepmenkes 1277/Menkes/SK/XI/2001 tentang oraganisasi dan tata
kerja Depkes
6. UU No 22/1999 tentang Otonomi daerah
7. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
8. UU tentang aborsi, adopsi, bayi tabung dan transplantasi

2.3 Etika dan Hukum


Etika berasal dari bahasa Yunani. Menurut etimologi berasal
dari kata Ethos yang artinya kebiasaan atau tingkah laku manusia.
Dalam Bahasa Inggris disebut Ethis yang artinya sebagai ukuran
tingkah laku atau prilaku manusia yang baik, yakni tindakan manusia
yang tepat yang harus dilaksanakan oleh manusia itu sesuai dengan
etika moral pada umumya. Etika merupakan suatu cabang ilmu filsafat
yang mengatur prinsip-prinsip tentang moral dan tentang baik
buruknya suatu perilaku.
Etika merupakan aplikasi atau penerapam teori tentang filosofi
moral kedalam situasi nyata dan berfokus pada prinsip-prinsip dan
konsep yang membimbing manusia berpikir dan bertindak dalam
kehidupannya yang dilandasi oleh nilai-nilai yang dianutnya. Banyak
pihak yang menggunakan istilah etik untuk menggambarkan etika
suatu profesi dalam hubungannya dengan kode etik professional.
Sedangkan Kode Etik itu sendiri adalah suatu ciri profesi yang
bersumber dari nilai-nilai internal dan eksternal suatu disiplin ilmu dan
merupakan pernyataan komprehensif suatu profesi yang memberikan
tuntunan bagi anggota dalam melaksanakan pengabdian profesi.

11
Kode Etik merupakan norma-norma yang harus dilaksanakan oleh
setiap profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan di dalam
kehidupan di masyarakat.Maka secara sederhana juga dapat
dikatakan bahwa etika adalah disiplin yang mempelajari tentang baik
buruknya sikap tindakan atau perilaku.
Di dalam pelaksanaannya penetapan kode etik IBI harus
dilakukan oleh kongres IBI. Hal ini terjadi karena kode etik suatu
organisasi akan mempunyai pengaruh yang kuat dalam menegakkan
disiplin di kalangan profesi, jika semua orang menjalankan profesi
yang sama tersebut tergabung dalam suatu organisasi profesi. Hal ini
menjadi lebih tegas dengan pengertian bahwa apabila setiap orang
yang menjalankan suatu profesi maka secara otomatis dia tergabung
dalam suatu organisasi atau ikatan profesi. Apabila hal ini dapat
dilaksanakan dengan baik maka barulah ada suatu jaminan bahwa
profesi tersebut dapat dijalankan secara murni dan baik, karena setiap
anggota profesi yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik
dapat dikenakan sangsi dalam menjalankan tugasnya.
Sehubung dengan pelaksanaan Kode Etik Profesi, bisan di
bantu oleh suatu lembaga yang disebut Majelis Pertimbangan Kode
Etik Bidan Indonesia dan Majelis Pertimbangan Etika Profesi Bidan
Indonesia. Dalam organisasi IBI terdapat Majelis Pertimbangan Etika
Bidan (MPEB) dan Majelis Pembelaan Anggota (MPA).

2.3.1 Dasar Penyusunan Majelis Pertimbangan Etika Profesi


Dasar penyusunan Majelis Pertimbangan Etika Profesi adalah
Majelis Pembinaan dan Pengawasan Etik Pelayanan Medis
(MP2EPM), yang meliputi:
1. Kepmenkes RI no. 1464/Menkes/X/201.
Memberikan pertimbangan, pembinaan, pengawasan, dan
mengikut sertakan terhadap semuaprofesi tenaga kesehatan dan
sarana pelayanan medis.
2. Peraturan Pemerintah no. 1464 Tahun 2010 BAB V Pasal 21

12
Pembinaan dan pengawasan terhadap dokter, dokter gigi dan tenaga
kesehatan dalam menjalankan profesinya untuk meningkatkan mutu
pelayanan dan keselamatan pasien dan melindungi masyarakat
terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi
kesehatan.
3. Surat keputusan Menteri Kesehatan no. 640/Menkes/Per/X/1991,
tentang pembentukan MP2EPM.
Dasar Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan atau MDTK adalah
sebagai berikut:
1. Pasal 14 Ayat 1 UUD 1945
2. UU no. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan
3. KEPRES tahun 1995 Tentang Pembentukan MDTK.
Tugas Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) adalah
meneliti dan menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian
dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan.

2.3.2 Tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah Pusat


1. Memberi pertimbangan tentang etik dan standar profesi tenaga
kesehatan kepada Menteri
2. Membina, mengembangkan dan mengawasi secara aktif
pelaksanaan kode etik kedokteran gigi, perawat, bidan, sarjana
farmasi dan rumah sakit.
3. Menyelesaikan persoalan, menerima rujukan dan mengadakan
konsultasi dengan instansi terkait.
4. MP2EMP pusat atas Menteri yang berwenang mereka yang
ditunjuk mengurus persoalan etik tenaga kesehatan.

2.3.3 Tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah Propinsi


1. Menerima dan memberi pertimbangan, mengawasi persoalan kode
etik dan mengadakan konsultasi dengan instasi terkait dengan
persoalan kode etik.

13
2. Memberi nasihat, membina dan mengembangkan serta mengawasi
secara aktif etik tenaga profesi tenaga kesehatan dalam
wilayahnya bekerja sama dengan organisasi profesi seperti IDI,
PDGI, PPNI, IBI, ISFI, PRSW2.
3. Memberi pertimbangan dan saran kepada instansi terkait.
4. MP2EPM propinsi atas nama kepala kantor wilayah departemen
kesehatan propinsi berwenang memanggil mereka yang
bersangkutan dalam suatu etik profesi.

2.3.4 Majelis Etika Profesi Bidan


1. Pengertian Majelis Etika Profesi
Pengertian majelis etika profesi merupakan badan
perlindungan hukum terhadap para bidan sehubungan dengan
adanya tuntutan dari klien akibat pelayanan yang diberikan dan tidak
melakukan indikasi penyimpangan hukum. Realisasi Majelis Etika
Profesi Bidan (MPEB) dan Majelis Pembelaan Anggota (MPA).
Pelaksanaan tugas bidan dibatasi oleh norma, etika dan agama.
Tetapi apabila ada kesalahan dan menimbulkan konflik etik, maka
diperlukan wadah untuk menentukan standar profesi, prosedur yang
baku dan kode etik yang di sepakati, maka perlu di bentuk Majelis
Etika Bidan, yaitu MPEB dan MPA.
Tujuan dibentuknya Majelis Etika Bidan adalah untuk memberikan
perlindungan yang seimbang dan objektif kepada Bidan dan Penerima
Pelayanan.
2. Unsur-Unsur Majelis Pertimbangan Etika Bidan
MPEB merupakan badan perlindungan hukum terhadap para
bidan sehubungan dengan adanya tuntutan dari klien akibat
pelayanan yang diberikan dan tidak melakukan indikasi
penyimpangan hukum.
Latar belakang dibentuknya Majelis Pertimbangan Etika Bidan atau
MPEB adalah adanya unsur-unsur pihak-pihak terkait.
1. Pemeriksa pelayanan untuk pasien

14
2. Sarana pelayanan kesehatan
3. Tenaga pemberi pelayanan yaitu bidan

2.3.5 Tujuan Pembentukan MPEB


Tujuan dibentuknya Majelis Pertimbangan Etika Bidan adalah
untuk memberikan perlindungan yang seimbang dan objektif kepada
bidan dan penerima pelayanan.
Dengan kata lain, untuk memberikan keadilan pada bidan bila
terjadi kesalahpahaman dengan pasien atas pelayanan yang tidak
memuaskan yang bisa menimbulkan tuntutan dari pihak pasien.
Dengan catatan, bidan sudah melakukan tugasnya sesuai dengan
standar kompetensi bidan dan sesuai dengan standar praktek bidan.
Tujuan Keberadaan MPEB, yaitu:
1. Meningkatkan Citra IBI dalam meningkatkan Mutu Pelayanan yang
diberikan.
2. Terbentuknya lembaga yang akan menilai ada atau tidaknya
pelanggaran terhadap kode etik bidan Indonesia.
3. Meningkatkan Kepercayaan diri anggota IBI.
4. Meningkatkan kepecayaan masyarakat terhadap bidan dalam
memberikan pelayanan.
5. Lingkup Majelis Etika Kebidanan, meliputi:
a) Melakukan peningkatan fungsi pengetahuan sesuai standar
profesi pelayanan bidan (Permenkes No.
1464/Menkes/PER/2010/tahun 2010).
b) Melakukan supervise lapangan, termasuk tentang teknis dan
pelaksanaan praktik, termasukpenyimpangan yang terjadi.
Apakah pelaksanaan praktik bidan sesuai dengan Standar
Praktik Bidan, Standar Profesi dan Standar Pelayanan
Kebidanan, juga batas-batas kewenangan bidan.
c) Membuat pertimbangan bila terjadi kasus-kasus dalam praktik
kebidanan.

15
d) Melakukan pembinaan dan pelatihan tentang umum
kesehatan, khususnya yang berkaitan atau melandasi praktik
bidan.

2.3.6 Perorganisasian Majelis Etik Kebidanan, adalah sebagai


berikut:
1. Majelis etik kebidanan merupakan lembaga organisasi yang
mandiri, otonom dan non struktural.
2. Majelis etik kebidanan dibentuk ditingkat propinsi dan pusat.
3. Majelis etik kebidanan pusat berkedudukan di ibu kota negara
dan majelis etik kebidanan propinsi berkedudukan di ibu kota
propinsi.
4. Majelis etik kebidanan pusat dan propinsi dibantu oleh
sekretaris.
5. Jumlah anggota masing-masing terdiri dari lima orang
6. Masa bakti anggota majelis etik kebidanan selama tiga tahun
dan sesudahnya, jika berdasarkan evaluasi masih memenuhi
ketentuan yang berlaku, maka anggota tersebut dapat dipilih
kembali.
7. Anggota majelis etik kebidanan diangkat dan diberhentikan
oleh menteri kesehatan
8. Susunan organisasi majelis etik kebidanan terdiri dari:
a) Ketua dengan kualifikasi mempunyai kompetensi tambahan
dibidang hukum
b) Sekretaris merangkap anggota
c) Anggota majelis etik bidan

2.3.7 Majelis Etika Profesi Bidan


Pengertian majelis etika profesi bidan adalah merupakan
badan perlindungan hukum terhadap para bidan sehubungan dengan
adanya tuntutan dari klien akibat pelayanan yang diberikan dan tidak
melakukan indikasi penyimpangan hukum. Realisasi majelis etika

16
bidan (MPEB) dan majelis pembelaan anggota (MPA). Latar belakang
dibentuknya majelis pertimbangan etika bidan atau MPEB adalah
adanya unsur-unsur pihak-pihak terkait:
1. Pemeriksa pelayanan untuk pasien
2. Sarana pelayanan kesehatan
3. Tenaga pemberi pelayanan, yaitu bidan
Pelaksanaan tugas bidan dibatasi oleh norma, etika, dan
agama. Tetapi apabila ada kesalahan dan menimbulkan konflik etik,
maka diperlukan wadah untuk menentukan standar profesi, prosedur
yang baku dan kode etik yang disepakati, maka perlu dibentuk majelis
etik bidan, yaitu MPEB dan MPA.
Tujuan dibentuknya majelis etika bidan adalah untuk
memberikan perlindungan yang seimbang dan objektif kepada bidan
dan penerima pelayanan.

2.3.8 Lingkup majelis etik kebidanan meliputi:


1. Melakukan peningkatan fungsi pengetahuan sesuai standar profesi
pelayanan bidan (Kepmenkes No. 900/Menkes/SK/VII/Tahun
2002).
2. Melakukan supervisi lapangan, termasuk tentang teknis, dan
pelaksanaan praktik, termasuk penyimpangan yang terjadi. Apakah
pelaksanaan praktik bidan sesuai dengan standar praktik bidan,
standar profesi dan standar pelayanan kebidanan, juga batas-batas
kewenangan bidan.
3. Membuat pertimbangan bila terjadi kasus-kasus dalam praktik
kebidanan.
4. Melakukan pembinaan dan pelatihan tentang hukum kesehatan,
khususnya yang berkaitan atau melandasi praktik bidan.
Pengorganisasian majelis etik kebidanan, adalah sebagai
berikut:
1. Majelis etik kebidanan merupakan lembaga organisasi yang
mandiri, otonom, dan non struktural.

17
2. Majelis etik kebidanan dibentuk ditingkat propinsi atau pusat.
3. Majelis kebidanan pusat berkedudukan di ibukota negara dan
majelis etik kebidanan propinsi berkedudukan di ibu kota propinsi.
4. Majelis etik kebidanan pusat dan propinsi dibantu oleh sekretaris
5. Jumlah anggota masing-masing terdiri dari lima orang
6. Masa bakti anggota majelis etik kebidanan selama tiga tahun dan
sesudahnya, jika berdasarkan evaluasi masih memenuhi ketentuan
yang berlaku, maka anggota tersebut dapat dipilih kembali.
7. Anggota majelis etik kebidanan diangkat dan diberhentikan oleh
menteri kesehatan.
8. Susunan organisasi majelis etik kebidanan terdiri dari:
a) Ketua dengan kualifikasi mempunyai kompetensi tambahan di
bidang hukum
b) Sekretaris merangkap anggota
c) Anggota majelis etik bidan

2.3.9 Tugas majelis etik kebidanan, adalah meliputi:


1. Meneliti dan menentukan ada dan tidaknya kesalahan atau
kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh
bidan.
2. Penilaian didasarkan atas permintaan pejabat, pasien, dan
keluarga yang dirugikan oleh pelayanan kebidanan
3. Permohonan secara tertulis dan disertai data-data
4. Keputusan tingkat propinsi bersifat final dan bisa konsul ke majelis
etik kebidanan pada tingkat pusat
5. Sidang majelis etik kebidanan paling lambat 7 hari, setelah diterima
pengaduan. Pelaksanaan sidang menghadirkan dan minta
keterangan dari bidan dan saksi-saksi.
6. Keputusan paling lambat 60 hari dan kemudian disampaikan
secara tertulis kepada pejabat yang berwenang.
7. Biaya dibebankan pada anggaran pimpinan pusat IBI atau
pimpinan daerah IBI di tingkat propinsi.

18
Dalam pelaksanaannya di lapangan sekarang ini bahwa
organisasi profesi bidan IBI, telah melantik MPEB (majelis
pertimbangan etika bidan) dan MPA (majelis peradilan profesi, namun
dalam pelaksanaannya belum terealisasi dengan baik.

2.4 Trilogi dalam Hukum Kesehatan


2.4.1 Persetujuan Tindakan Medik (Informed consent)
Pengertian informed consent berasal dari kata ”informed” yang
berarti telah mendapat penjelasan, dan kata “consent” yang berarti
memberikan persetujuan. Dengan demikian yang dimaksud “informed
consent” adalah adanya persetujuan yang timbul dari informasi yang
dianggap jelas oleh pasien terhadap suatu tindakan medik yang akan
dilakukan kepadanya sehubungan dengan keperluan diagnosa
dan/atau terapi kesehatan. “Persetujuan tindakan medik/informed
consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarganya
atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut”. Maka jika seorang bidan akan melakukan
tindakan medis, terlebih dahulu bidan tersebut harus memberikan
penjelasan (informasi) mengenai tindakan apa yang hendak
dilakukan, apa resikonya, tindakan alternatif lainnya, apa
kemungkinan yang akan terjadi jika tindakan tersebut tidak dilakukan.
Keterangan ini harus diberikan secara jelas dan dalam bahasa yang
dapat dimengerti oleh pasiennya dengan memperhitungkan tingkat
pendidikan dan intelektualnya. Jika pasien sudah mengerti
sepenuhnya dan memberikan persetujuan (izinnya), maka barulah
bidan tersebut boleh melakukan tindakannya. Informasi yang
disampaikan oleh bidan kepada pasien mencakup hal-hal
diantaranya:
a. Keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang akan dilakukan,
baik diagnostik maupun terapeutik;
b. Informasi yang diberikan secara lisan;

19
c. Informasi dberikan secara jujur dan benar, kecuali bila bidan menilai
hal itu dapat merugikan kepentingan pasien;
d. Informasi yang dapat diberikan kepada keluarga pasien, setelah
bidan meminta persetujuan pasien;Yang berwenang memberikan
penjelasan (informasi) kepada pasien yang akan diberikan tindakan
medik, yaitu :
a. Dalam hal tindakan medik yang akan dilakukan adalah tindakan
bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya, maka penjelasan
(informasi) harus diberikan oleh bidan yang akan melakukan
operasi itu sendiri.
b. Dalam keadaan tertentu dimana tidak ada bidan yang akan
mengoperasi tersebut, penjelasan (informasi) harus diberikan
oleh bidan lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang
bertanggung jawab.
c. Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan
invasif lainnya, penjelasan (informasi) dapat diberikan oleh bidan
lain atau perawat dengan pengetahuan atau petunjuk bidan yang
bertanggung jawab.
orang yang berwenang memberikan informed consent sebagai
berikut :
a. Orang dewasa; Bagi pasien dewasa, persetujuan diberikan oleh
pasien tersebut, dengan syarat :
1) Berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah.
2) Dalam keadaan sadar; dan
3) sehat mental, Pasal 8.
b. Wali/kurator, bagi pasien dewasa yang ditaruh di bawah
pengampuan, persetujuan diberikan oleh wali/kurator (pengampu).
Sementara itu, bagi pasien dewasa yang menderita cacad mental,
persetujuan diberikan oleh orang tua/wali/kurator, Pasal 9.
c. Orang tua/wali/keluarga terdekat; Bagi pasien yang berada di
bawah umur 21 (dua puluh satu) tahun, persetujuan diberikan oleh
orang tuanya/walinya. Apabila tidak mempunyai orang tua/wali dan

20
atau orang tua/wali berhalangan, persetujuan oleh keluarga terdekat
atau induk semang (guardian), Pasal 10.
d. Keluarga terdekat;Bagi pasien yang tidak sadar/pingsan didampingi
oleh keluarga terdekat, persetujuan diberikan keluarga terdekat.
Tetapi apabila tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara
medik berada dalam keadaan darurat yang memerlukan tindakan
medik segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujan dari
siapapun, Pasal 11.
Penjelasan itu sekurang-kurangnya mencakup :
a. diagnosa dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan resikonya;
d. resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Bentuk persetujuan yang diberikan oleh pasien terhadap
tenaga kesehatan diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
Persetujuan lisan adalah persetujuan yang diberikan dalam bentuk
ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang
diartikan sebagai ucapan setuju. Persetujuan tertulis adalah suatu
bentuk persetujuan yang diberikan oleh pasien kepada tenaga
kesehatan, dimana isi persetujuan itu telah dituangkan dalam bentuk
formulir Informed consent yang telah dibakukan dinamakan dengan
perjanjian standar. Sedangkan bentuk persetujuan untuk “tindakan
medis beresiko tinggi” harus dibuat dalam bentuk tertulis. Tindakan
medis beresiko tinggi adalah seperti tindakan bedah atau tindakan
invasif lainnya. Orang-orang yang berhak memberikan persetujuan.
Orang-orang yang berhak memberikan persetujuan atau
penolakan tindakan medik, yaitu pasien yang bersangkutan. Namun
terdapat pengecualian sebagai berikut :
a. Apabila pasien yang bersangkutan berada di bawah pengampuan
(under curatele), persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat

21
diberikan oleh keluarga terdekat antara lain suami/isteri/ayah/ibu
kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung.
b. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien
tidak diperlukan persetujuan. Namun setelah pasien sadar atau
dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan
penjelasan dan dibuat persetujuan.
c. Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar,
penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.
d. Apabila tidak ada keluarganya, sedangkan tindakan medis harus
dilakukan, penjelasan diberikan kepada anak yang bersangkutan
atau pada kesempatan pertama pasien sudah sadar.
Tujuan persetujuan tindakan medik atau (informed consent)
adalah memberikan perlindungan hukum bagi pasien dan bidan.
Perlindungan hukum kepada pasien adalah agar pasien mendapat
pelayanan kesehatan secara maksimal dari dokter yang
menanganinya. Sementara itu bagi bidan adalah menjaga
kemungkinan timbulnya gugatan oleh pasien atau keluarganya
apabila ia lalai dalam melaksanakan kewajibannya. Apabila pasien
telah memberikan persetujuan tindakan medik (informed consent)
kepada bidan, maka kedudukan bidan menjadi kuat. Karena di dalam
informed consent telah disebutkan bahwa apabila bidan gagal
melaksanakan kewajibannya, pasien tidak akan menuntut bidan yang
bersangkutan. Namun, secara yuridis pasien mempunyai hak untuk
menggugat bidan, apabila bidan tidak melaksanakan standar profesi
dengan baik. Disamping itu, pasien juga diberikan hak menuntut
secara pidana dan secara administratif kepada bidan yang tidak
melaksanakan standar profesi.

2.4.2 Rekam Medik (Medical Record)


“Rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan

22
pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan”.
Data dalam rekam medik terdiri dari :
1. Data medis / klinis, yaitu segala data dan informasi tentang keadaan
medis / klinis pasien.
2. Data sosiologis / non medis, yaitu segala data atau informasi yang
bersangkut paut dengan data identitas pasien yang sifatnya non
medis.Dimana kedua bentuk data tersebut bersifat rahasia
(confidential). Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan
pencatatan pada rekam medis, berkas dan catatan tidak boleh
dihilangkan atau dihapus dengan cara apapun. Perubahan catatan
atau kesalahan dalam rekam medis hanya dapat dilakukan dengan
pencoretan dan dibubuhi paraf petugas yang bersangkutan. Dokumen
rekam medis merupakan milik dokter atau sarana pelayanan
kesehatan sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien, yang
dititipkan / diamanatkan kepada bidan untuk memperlakukan sesuai
dengan ketentuan penyelenggaraan yang berlaku. Oleh karena itu,
rekam medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh bidan
dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan. Maka dengan demikian,
baik atau buruknya pelayanan kesehatan di suatu sarana pelayanan
kesehatan (termasuk rumah sakit), dapat diketahui antara lain dari
baik/buruknya penyelengaraan rekam medik. Menjaga keseimbangan
antara bidan (health provider) dan pasien (health receivers) dalam
pelayanan kesehatan dapat diwujudkan dari kelengkapan pembuatan
rekam medik. Keberadaan rekam medik sangat diperlukan dalam
setiap pelayanan kesehatan, termasuk rumah sakit, baik ditinjau dari
segi pelaksanaan pelayanan medis maupun dari aspek hukum.
Kegunaan rekam medik:
a. Segi administrasi, karena isinya menyangkut tindakan
berdasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga
kesehatan dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan.
b. Segi medis, karena catatan tersebut digunakan sebagai dasar
perencanaan atas pengobatan/perawatan kepada pasien.

23
c. Segi hukum, karena isinya menyangkut adanya jaminan atas
kepastian hukum serta penyediaan bahan tanda bukti untuk
penegakan keadilan.
d. Segi keuangan, karena isinya dapat dijadikan sebagai dasar
penetapan biaya pelayanan kepada pasien.
e. Segi penelitian, karena isinya dapat dijadikan bahan penelitian
guna pengembangan ilmu pengetahuan.
f. Segi pendidikan, karena isinya dapat digunakan sebagai
bahan/referensi pengajaran di bidang profesi si pemakai.
g. Segi dokumentasi, karena isinya menjadi sumber ingatan yang
harus di-dokumentasikan dan dapat dipakai sebagi bahan
pertanggung jawaban rumah sakit.
Isi rekam medis terdiri dari:
a. Untuk pasien rawat jalan, rekam medis sekurang-kurangnya
memuat :
1. Identitas pasien;
2. Anamnese;
3. Diagnosis, dan
4. Tindakan/pengobatan yang diberikan kepada pasien.
b. Untuk pasien rawat nginap sekurang-kurangnya memuat :
1. Identitas pasien;
2. Anamnese;
3. Riwayat penyakit;
4. Hasil pemerikaan laboratorik;
5. Diagnosis;
6. Persetujuan tindakan medik
7. Tindakan/pengobatan;
8. Catatan perawat;
9. Catatan observasi klinis dan hasil pengobatan;
10. Resume akhir dan evaluasi pengobatan.

24
2.4.3 Rahasia Kedokteran (Medical Secrecy)
Hakikat rahasia adalah :“Suatu hal yang tidak boleh atau tidak
dikehendaki untuk diketahui oleh orang yang tidak berkepentingan
atau tidak berhak mengetahui hal itu”. Dalam bidang medis, segala
temuan pada diri pasien dapat dikatakan sebagai rahasia medik dan
rahasia ini sepenuhnya milik si pasien. Merupakan prinsip hukum dan
etika bahwa ada informasi tertentu yang tidak boleh dibuka
sembarangan, informasi mana terbit dari hubungan antara para
profesional bahkan hubungan bisnis, termasuk didalamnya hubungan
antara bidan dengan pasien. Masalah larangan membuka rahasia
pasien oleh bidan ini merupakan salah satu masalah klasik dalam
bidang kebidanan. Sedemikian klasiknya, sehingga dalam bentuk
naskah kesehatan kita dapat menemukan ketentuan yang pada
prinsipnya melarang bidan untuk membuka rahasia pasien yang oleh
pasien telah dibuka kepada bidan yang bersangkutan. Perlindungan
terhadap kerahasiaan yang terbit dari hubungan antara bidan dan
pasiennya ini dilakukan dalam rangka melindungi hak-hak individual
dari pasien, yaitu melindungi hak-hak sebagai berikut :
1. Hak otonomi, yakni hak untuk menentukan nasibnya sendiri,
2. Hak privacy, yakni hak untuk tidak diganggu atau dicampuri
masalah pribadi oleh orang lain.
Kerahasiaan antara bidan dan pasiennya bukan hanya rahasia
yang terbit dari hubungan langsung (konsultasi) antara bidan dan
pasiennya, melainkan termasuk juga perlindungan kerahasiaan dari
informasi yang didapatkan bidan dari sumber lain yang berkaitan
dengan pasien yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan hubungan
kerahasiaan antara bidan dan pasien adalah :“Kerahasiaan atas
segala informasi atau pengakuan, dokumen, hasil laboratorium,
komunikasi, hasil investigasi, hasil observasi, hasil diagnosis maupun
terapeutik, fakta, data, atau informasi tentang jiwa dan raga yang
diperoleh bidan dari pasiennya atau dari pihak lain yang berhubungan
dengan pasiennya itu, yang dilindungi berdasarkan prinsip hubungan

25
kerahasiaan antara bidan dengan pasiennya, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, baik jika diminta oleh pasien agar
rahasia tersebut dibuka, ataupun tidak, atau jika rahasia tersebut
dibuka, kemungkinan akan memalukan pasiennya dan atau
merugikan kepentingan pasiennya atau kepentingan orang lain
dimana rahasia tersebut tidak boleh dibuka baik oleh bidan, oleh
bawahan, atasan, atau rekan, ataupun mitra kerja dari bidan, baik
pada saat pengobatannya bahkan sebelum maupun setelah
pengobatan atau setelah berakhirnya hubungan antara bidan dan
pasien tersebut, baik ketika pasien masih hidup bahkan ketika pasien
sudah meninggal dunia.”Menjaga rahasia pasien oleh bidan berarti :
a. Bidan tidak boleh membuka rahasia pasien.
b. Bidan tidak boleh menggunakan rahasia pasiennya untuk
merugikan kepentingan pasien tersebut.
c. Bidan tidak boleh menggunakan rahasia pasiennya untuk
kepentingan pribadi dokter atau untuk kepentingan pihak
ketiga.
Kewajiban menjaga rahasia tersebut berlaku pada waktu-waktu
sebagai berikut :
a. Sebelum berlangsungnya perjanjian terapeutik antara bidan
dengan pasien, dalam arti bahwa segala sesuatu yang terlanjur
telah di informasikan oleh pasien tetap dijaga kerahasiaannya
meskipun pasien tersebut kemungkinan tidak jadi
menggunakan jasa bidan tersebut.
b. Pada saat berlangsungnya perjanjian terapeutik.
c. Setelah berakhirnya perjanjian terapeutik.
d. Setelah pasien meninggal dunia.Tentu saja tidak semua
informasi atas pengakuan, dokumen, fakta dan data, jiwa raga,
atau informasi yang diperoleh dokter dari pasiennya atau dari
pihak lain yang berhubungan dengan pasiennya itu merupakan
kerahasiaan yang dilindungi oleh hukum.

26
Hanya kerahasiaan tertentu saja yang merupakan rahasia yang
dilindungi yakni rahasia-rahasia yang memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
1. Rahasia tersebut merupakan informasi yang substansial dan
penting bagi pasien atau bagi pengobatannya.
2. Rahasia tersebut sebelumnya belum pernah terbuka untuk
umum secara meluas. Apabila rahasia tersebut telah terbuka
untuk umum, tetapi belum meluas atau jika rahasia tersebut
sudah dibuka sebagai alat bukti, rahasia tersebut tetap tidak
boleh dibuka oleh dokter kepada orang lain.
3. Rahasia tersebut bukanlah informasi yang memang tersedia
untuk publik (public information).
4. Rahasia yang jika dibuka akan menimbulkan rasa malu bagi
pasien, bidan, atau pihak-pihak lainnya.
5. Rahasia yang jika dibuka akan merugikan kepentingan
pasiennya.
6. Rahasia yang jika dibuka akan mempersulit pengobatan oleh
dokter terhadap pasiennya.
7. Rahasia yang jika dibuka akan menimbulkan kemungkinan
pasien tidak lagi memberikan informasi selanjutnya kepada
dokter. Hal tersebut akan mempersulit dokter dalam melakukan
pengobatannya.
8. Bagi pasien, informasi tersebut sangat penting dan sensitif.
9. Jika dibuka rahasia tersebut, akan menimbulkan
kemarahan/gejolak atau sikap masyarakat yang merugikan
kepentingan pasien dan atau merugikan kepentingan
pengobatan.
10. Pasien tidak pernah mengizinkan (no waiver) secara tegas atau
secara tersirat untuk dibuka rahasia tersebut.
Kerahasiaan bidan atas pasien dapat dibuka :
1. Jika dilakukan untuk kepentingan kesehatan pasien;

27
2. Jika dilakukan untuk memenuhi permintaan aparatur penegak
hukum dalam rangka penegakan hukum;
3. Jika dilakukan atas permintaan pasien sendiri;
4. Jika dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan
lainnya.

2.5 Kesalahan Profesional (Malpraktik)


2.5.1 Malpraktek Medis
Malpraktek atau malpraktek medis adalah istilah yang sering
digunakan orang untuk tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang
yang berprofesi di dalam dunia kesehatan atau biasa disebut tenaga
kesehatan. Banyak persoalan malpraktek, atas kesadaran hukum
pasien diangkat menjadi masalah pidana. Menurut Maryanti, hal
tersebut memberi kesan adanya kesadaran hukum
masyarakat terhadap hak-hak kesehatannya.
Malpraktek menurut pendapat Jusuf Hanafiah merupakan
“kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan
dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati
pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang
sama”. Amri Amir menyatakan bahwa “malpraktek medis adalah
tindakan yang salah oleh dokter pada waktu menjalankan praktek,
yang menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi kesehatan dan
kehidupan pasien, serta menggunakan keahliannya untuk
kepentingan pribadi.”
Menurut pendapat Ninik Mariyanti bahwa malpraktek memiliki
pengertian yang luas yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Dalam arti umum : suatu praktek yang buruk, yang tidak
memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi.
2) Dalam arti khusus (dilihat dari sudut pasien) : malpraktek dapat
terjadi di dalam menentukan diagnosis, menjalankan operasi,
selama menjalankan perawatan, dan sesudah perawatan.

28
Hermien Hadiati sebagaimana dikutip oleh Anny Isfandyarie
menjelaskan malpraktek secara harfiah berarti bad practice, atau
praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan
teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung
ciri-ciri khusus. Karena malpraktek berkaitan dengan “how to practice
the medical science and technology”, yang
sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat
melakukan praktek dan orang yang melaksanakan praktek. Maka
Hermien lebih cenderung untuk menggunakan istilah “maltreatment”.
Adapun jenis-jenis malpraktek ditinjau dari segi etika profesi
dan segi hukum dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu malpraktek
etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yuridical
malpractice).
1. Malpraktek Etik
Yaitu tenaga kesehatan melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga
kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan
yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan
seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang
berlaku untuk seluruh bidan.
2. Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga
bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek
pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administratif
(administrative malpractice).
a. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang
menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian
(wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga
kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian

29
kepada pasien. Dalam malpraktek perdata yang
dijadikan ukuran dalam melpraktek yang disebabkan
oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan
(culpa levis). Karena apabila yang terjadi adalah
kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan
tersebut termasuk dalam malpraktek pidana.12 Contoh
dari malpraktek perdata, misalnya seorang dokter yang
melakukan operasi ternyata meninggalkan sisa perban
didalam tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada
perban yang tertinggal kemudian dilakukan operasi
kedua untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut.
Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter
dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat negatif
yang berkepanjangan terhadap pasien.
b. Malpraktek Pidana
Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal
dunia atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan
kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan
upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal
dunia atau cacat tersebut. Malpraktek pidana ada tiga
bentuk yaitu:
1) Malpraktek pidana karena kesengajaan
(intensional),tenaga medis tidak melakukan
pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui
bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong,
serta memberikan surat keterangan yang tidak
benar. Contoh : melakukan aborsi tanpa tindakan
medis
2) Malpraktek pidana karena kecerobohan
(recklessness), misalnya melakukan tindakan
yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan
standar profesi serta melakukan tindakan tanpa

30
disertai persetujuan tindakan medis. Contoh :
Kurang hati-hatinya perawat dalam memasang
infus yang menyebabkan tangan pasien
membengkak karena terinfeksi.
3) Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence),
misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien
sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang
kurang hatihati. Contoh : seorang bayi berumur 3
bulan yang jarinya terpotong pada saat perawat
akan melepas bidai yang dipergunakan untuk
memfiksasi infus.
3. Malpraktek Administratif
Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan
melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara
yang berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa
lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai
dengan lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin
yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa
membuat catatan medik.

31
2.6 Kasus Malpraktik Dalam Etikolegal Kebidanan

Kasus: Remaja Aborsi Tewas Usai Disuntik Bidan


Waktu: Minggu, 18 Mei 2008, 20:00 WIB.
KEDIRI – Kasus aborsi yang berujung kematian terjadi Kediri.
Novila Sutiana (21), warga Dusun Gegeran, Desa/Kecamatan
Sukorejo, Ponorogo, Jawa Timur, tewas setelah berusaha
menggugurkan janin yang dikandungnya. Ironisnya, korban tewas
setelah disuntik obat perangang oleh bidan puskesmas.
Peristiwa nahas ini bermula ketika Novila diketahui mengandung
seorang bayi hasil hubungannya dengan Santoso (38), warga Desa
Tempurejo, Kecamatan Wates, Kediri. Sayangnya, janin yang
dikandung tersebut bukan buah perkawinan yang sah, namun hasil
hubungan gelap yang dilakukan Novila dan Santoso.
Santoso sendiri sebenarnya sudah menikah dengan Sarti.
Namun karena sang istri bekerja menjadi tenaga kerja wanita (TKW)
di Hongkong, Santoso kerap tinggal sendirian di rumahnya. Karena
itulah ketika bertemu dengan Novila yang masih kerabat bibinya di
Ponorogo, Santoso merasa menemukan pengganti istrinya. Ironisnya,
hubungan tersebut berlanjut menjadi perselingkuhan hingga membuat
Novila hamil 3 bulan.
Panik melihat kekasihnya hamil, Santoso memutuskan untuk
menggugurkan janin tersebut atas persetujuan Novila. Selanjutnya,
keduanya mendatangi Endang Purwatiningsih (40), yang sehari-hari
berprofesi sebagai bidan di Desa Tunge, Kecamatan Wates, Kediri.
Keputusan itu diambil setelah Santoso mendengar informasi jika bidan
Endang kerap menerima jasa pengguguran kandungan dengan cara
suntik.
Pada mulanya Endang sempat menolak permintaan Santoso
dan Novila dengan alasan keamanan. Namun akhirnya dia
menyanggupi permintaan itu dengan imbalan Rp2.100.000. Kedua

32
pasangan mesum tersebut menyetujui harga yang ditawarkan Endang
setelah turun menjadi Rp2.000.000. Hari itu juga, bidan Endang yang
diketahui bertugas di salah satu puskesmas di Kediri melakukan
aborsi.
Metode yang dipergunakan Endang cukup sederhana. Ia
menyuntikkan obat penahan rasa nyeri Oxytocin Duradril 1,5 cc yang
dicampur dengan Cynaco Balamin, sejenis vitamin B12 ke tubuh
Novila. Menurut pengakuan Endang, pasien yang disuntik obat
tersebut akan mengalami kontraksi dan mengeluarkan sendiri janin
yang dikandungnya.
“Ia (bidan Endang) mengatakan jika efek kontraksi akan muncul
6 jam setelah disuntik. Hal itu sudah pernah dia lakukan kepada
pasien lainnya,” terang Kasat Reskrim Polres Kediri AKP Didit
Prihantoro di kantornya, Minggu (18/5/2008).
Celakanya, hanya berselang dua jam kemudian, Novila terlihat
mengalami kontraksi hebat. Bahkan ketika sedang dibonceng dengan
sepeda motor oleh Santoso menuju rumahnya, Novila terjatuh dan
pingsan karena tidak kuat menahan rasa sakit. Apalagi organ intimnya
terus mengelurkan darah.
Warga yang melihat peristiwa itu langsung melarikannya ke
Puskemas Puncu. Namun karena kondisi korban yang kritis, dia
dirujuk ke RSUD Pare Kediri. Sayangnya, petugas medis di ruang
gawat darurat tak sanggup menyelamatkan Novila hingga meninggal
dunia pada hari Sabtu pukul 23.00 WIB.
Petugas yang mendengar peristiwa itu langsung
menginterogasi Santoso di rumah sakit. Setelah mengantongi alamat
bidan yang melakukan aborsi, petugas membekuk Endang di
rumahnya tanpa perlawanan. Di tempat praktik sekaligus rumah
tinggalnya, petugas menemukan sisa-sisa obat yang disuntikkan
kepada korban. Saat ini Endang berikut Santoso diamankan di
Mapolres Kediri karena dianggap menyebabkan kematian Novila.

33
Lamin (50), ayah Novila yang ditemui di RSUD Pare Kediri
mengaku kaget dengan kehamilan yang dialami anaknya. Sebab
selama ini Novila belum memiliki suami ataupun pacar. Karena itu ia
meminta kepada polisi untuk mengusut tuntas peristiwa itu dan
menghukum pelaku.

Sumber: http://news.okezone.com/read/2008/05/18/1/110398/1/rema
ja-aborsi-tewas-usai-disuntik-bidan

2.6.1 Studi Kasus


2.6.1.1 Malpraktik Yuridis dan Malpraktik Etik
1) Malpraktik Yuridis
Dalam kasus tersebut, malpraktik yuridisnya adalah ketika
bidan Endang melakukan tindakan aborsi kepada Novila dengan cara
memberikan suntikan obat penahan rasa nyeri Oxytocin Duradril 1,5
cc yang dicampur dengan Cynaco Balamin, sejenis vitamin B12 ke
tubuh Novila yang mengakibatkan terjadinya kontraksi. Karena
tindakan aborsi yang ia lakukan tersebut telah melanggar
wewenangannya sebagai seorang bidan.
2) Malpraktik Etik
Dalam kasus tersebut, malpraktik etiknya adalah ketika bidan
Endang memberikan suntikan obat Oxytocin Duradil 1,5 cc yang
dicampur dengan Cynaco Balamin kepada Novila yang menyebabkan
terjadinya kontraksi yang hebat, sehingga Novila mengalami
perdarahan yang mengakibatkan dirinya meninggal dunia.

2.6.1.2 Analisa Kasus


Dalam kasus tersebut, bidan Endang telah melanggar
wewenangnya sebagai seorang bidan dan melakukan malpraktik.
Dalam kasus tersebut bidan Endang bisa dikenakan sanksi menurut
undang-undang, yaitu :
1. Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP.

34
Pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.
Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati: Barang
siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling
lama satu tahun.
2. Pasal 1365
Setiap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan
kerugian bagi orang lain karena kesalahannya mengakibatkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
3. Pasal 348 KUHP Tentang Pembunuhan.
4. UU Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992
Cara membuktikan kelalaiannya adalah dengan Dereliction of
Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan
pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar
profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.

2.6.1.3 Alur Sanksi Bidan


Malpraktik yang dilakukan oleh bidan dapat disebabkan oleh
banyak faktor, misalnya kelalaian, kurangnya pengetahuan, faktor
ekonomi, rutinitas, dan juga perubahan hubungan antara bidan
dengan pasien. Untuk dapat mencegah terjadinya malpraktik yang
dilakukan oleh bidan dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya
dengan tidak memberikan jaminan atau garansi akan keberhasilan
usahanya, dalam melakukan tindakan harus ada informed consent,
mencatat semua tindakan kedalam rekam medik, dan lain-lain.
Untuk penyelesaian tindak pidana malpraktik yang dilakukan
oleh bidan yang telah masuk ke pengadilan, semua tergantung
kepada pertimbangan hakim yang menangani kasus tersebut untuk
menentukan apakah kasus yang ditanganinya termsuk kedalam
malpraktik atau tidak. Atau apakah si pelaku dapat dimintai
pertanggung jawaban secara pidana atau tidak.

35
Melakukan malpraktik yuridis (melanggar hukum) berarti juga
melakukan malpraktek etik (melanggar kode etik). Sedangkan
malpraktik etik belum tentu merupakan malpraktik yuridis. Apabila
seorang bidan melakukan malpraktik etik atau melanggar kode etik.
Maka penyelesaian atas hal tersebut dilakukan oleh wadah profesi
bidan yaitu IBI. Dan pemberian sanksi dilakukan berdasarkan
peraturan-peraturan yang berlaku didalam organisasi IBI tersebut.
Sedangkan apabila seorang bidan melakukan malpraktik yuridis dan
dihadapkan ke muka pengadilan. Maka IBI melalui MPA dan MPEB
wajib melakukan penilaian apakah bidan tersebut telah benar-benar
melakukan kesalahan. Apabila menurut penilaian MPA dan MPEB
kesalahan atau kelalaian tersebut terjadi bukan karena kesalahan
atau kelalaian bidan, dan bidan tersebut telah melakukan tugasnya
sesuai dengan standar profesi, maka IBI melalui MPA wajib
memberikan bantuan hukum kepada bidan tersebut dalam
menghadapi tuntutan atau gugatan di pengadilan.
1) memperhatikan segala kebutuhannya.
2) Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan
masyarakat sekitarnya.

2.6.1.4 Upaya Menghadapi Tuntutan Hukum


Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak
memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan
seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang
aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice,
maka bidan dapat melakukan :
a) Informal defence
Dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal
bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk
pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti
bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko

36
medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak
mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam
perumusan delik yang dituduhkan.
b) Formal/legal defence
Yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau
menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal
tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban
atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari
pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang
dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan
menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis
pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam
tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi
sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil
penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan
harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau
pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa
tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami
penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah,
utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri
(res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan
menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan
langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya
kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah
orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang
menguntungkan bidan.

37
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hukum kesehatan yang terkait dengan etika profesi dan
pelanyanan kebidanan. Ada keterkaitan atau daerah bersinggunan
antara pelanyanan kebidanan, etika dan hukum atau terdapat “grey
area”. Sebagaimana di ketahui bahwa bidan merupakan salah satu
tenaga kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan.
Sebelum menginjak kehal – hal yang lebih jauh, kita perlu memahami
beberapa konsep dasar dibawah ini :
1. Bidan adalah seorang yang telah menyelesaikan Program
Pendidikan Bidan yang diakui Negara serta memperoleh
kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktek kebidanan
di Negara itu. Dia harus mampu memberikan supervise,
asuhan dan memberikan nasehat yang dibutuhkan kepada
wanita selama masa hmil, persalinan dan masa pasca
persalinan, memimpin persalianan atas tanggung jawab sendiri
serta asuhan pada bayi baru lahir dan anak.
2. Pekerjaan itu termaksud pendidikan antenatal, dan persiapan
untuk menjadi orangtua dan meluas kedaerah tertentu dari
ginekologi, KB dan Asuhan anak, Rumah Perawatan, dan
tempat – tempat pelayanan lainnya (ICM 1990).

3.2 Saran
Sikap etis profesional berarti bekerja sesuai dengan standar,
melaksanakan advokasi, keadaan tersebut akan dapat memberi
jaminan bagi keselamatan pasen, penghormatan terhadap hak-hak
pasen, akan berdampak terhadap peningkatan kualitas asuhan
kebidanan.

38
DAFTAR PUSTAKA

Ameln,F. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya:


Jakarta.
Carol Taylor, Carol Lillies, Priscilla Le Mone. 1997. Fundamental Of
Nursing Care. Third Edition. Lippicot Philadelpia: New York.
Dahlan, S. 2002. Hukum Kesehatan: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. Semarang.
Sofyan Mustika.2006.50 Tahun IBI (Bidan menyongsong masa
depan).PP IBI : Jakarta
Syarifudin.2009.Kebidanan Komunitas.EGC : Jakarta
Marimbi Hanum.2008.Etika dan Kode Etik Profesi Kebidanan.Buku
Kesehatan.Mitra Cendekia: Yogyakarta
Musdir Wastidar (2003).Etika dan Kode Etik
Kebidanan.Jakarta:Pengurus Pusat IBI

39

Anda mungkin juga menyukai