KELOMPOK 1
Disusun oleh :
Intan Fatimah Azzahra P17324118038
Mutiara Putri Horison P17324118016
Nida’ Salma Majidah P17324118020
Salsabila Nur Syahbani P17324118003
Widayu Salsabilla P17324118010
KELAS : 1-A
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
3
pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum
lainnya.
Hukum kesehatan adalah semua ketentuan-ketentuan atau
peraturan-peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan yang
mengatur hak dan kewajiban individu, kelompok atau masyarakat
sebagai penerima pelayanan kesehatan pada satu pihak, hak dan
kewajiban tenaga kesehatan dan sarana kesehatan sebagai
penyelenggara pelayanan kesehatan di pihak lain yang mengikat
masing-masing pihak dalam sebuah perjanjian terapeutik dan
ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan perundang-undangan
di bidang kesehatan lainnya yang berlaku secara lokal, regional,
nasional dan internasional.
4
5) Kelompok tentang pelaksanaan profesi dan kepentingan
pihak ketiga antara lain kesehatan industry, pelaksanaan
medis skrining, keterangan medis, saksi ahli, asuransi
kesehatan social.
Hak asasi manusian yang berhubungan dengan kesehatan
manusia dimulai dari tiga hak asasi, yaitu :
1. The right to health care (Hak untuk mendapat pelanyanan
kesehatan)
2. The right to self dateminartion (Hak untuk menentukan nasib
sendiri)
3. The righ toinformation (Hak untuk mendapat informasi)
5
2). Hukum Tidak Tertulis
Adalah hukum yang tidak dituliskan atau tidak dicantumkan
dalam perundang-undangan.
Contoh: hukum adat tidak dituliskan atau tidak dicantumkan pada
perundang-undangan tetapi dipatuhioleh daerah tertentu.
6
Menurut isinya, hukum itu dibagi menjadi :
1) Hukum Privat (Hukum Sipil)
Hukum yang mengatur hubungan antara perseorangan dan
orang yang lain. Dapat dikatakanhukum yang mengatur hubungan
antara warganegara dengan warganegara.
Contoh: HukumPerdata dan Hukum Dagang. Tetap dalam arti sempit
hukum sipil disebut juga hukum perdata
7
e. Permenkes 161/2010 tentang Uji kompetensi, dan lain
sebagainya.
2) Hukum Kesehatan yang tidak secara laingsung terkait
dengan pelayanan Kesehatan antara lain:
a. Hukum Pidana
Pasal-pasal hukum pidana yang terkait dengan
pelayanan kesehatan. Misalnya Pasal 359 KUHP tentang
kewajiban untuk bertanggung jawab secara pidana bagi
tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang dalam
menyelenggarakan pelayanan kesehatan menyebabkan
pasien mengalami cacat, gangguan fungsi organ tubuh
atau kematian akibat kelalaian atau kesalahan yang
dilakukannya.
b. Hukum Perdata.
Pasal-pasal Hukum perdata yang terkait dengan
pelayanan kesehatan. Misalnya Pasal 1365 KUHPerd.
mengatur tentang kewajiban hukum untuk mengganti
kerugian yang dialami oleh pasien akibat adanya
perbuatan wanprestasi dan atau perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan sarana
kesehatan dalam memberikan pelayanan terhadap
pasien
c. Hukum Administrasi
Ketentuan-ketentuan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan baik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
maupun oleh sarana kesehatan yang melanggar hukum
adminstrasi yang menyebabkan kerugian pada pada
pasien menjadi tanggung jawab hukum dari
penyelenggara pelayanan kesehatan tersebut
3) Hukum Kesehatan yang berlaku secara Internasional
a. Konvensi
b. Yurisprudensi
8
c . Hukum Kebiasaan
4) Hukum Otonomi
a. Perda (Peraturan Daerah) tentang kesehatan
b. Kode etik profesi
9
2.2.5 Kedudukan Hukum Kesehatan
Perkembangan hukum di bidang kedokteran dan kesehatan
dapat ditelaah mengenai pengertiannya, kedudukan pengembangan
ilmunya, dan proyeksinya. Seringkali terdapat keraguan pemakaian
istilah mana yang dapat dipakai untuk memilih istilah hukum
kedokteran ataukah hukum kesehatan ataukah hukum kedokteran -
kesehatan.
10
Beberapa dasar dalam otonomi pelayanan kebidanan antara
lain sebagai berikut:
1. Kepmenkes 900/Menkes/SK/VII/2002 tentanng registrasi dan
praktik bidan
2. Standar Pelayanan Kebidanan
3. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
4. PP No 32/ Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan
5. Kepmenkes 1277/Menkes/SK/XI/2001 tentang oraganisasi dan tata
kerja Depkes
6. UU No 22/1999 tentang Otonomi daerah
7. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
8. UU tentang aborsi, adopsi, bayi tabung dan transplantasi
11
Kode Etik merupakan norma-norma yang harus dilaksanakan oleh
setiap profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan di dalam
kehidupan di masyarakat.Maka secara sederhana juga dapat
dikatakan bahwa etika adalah disiplin yang mempelajari tentang baik
buruknya sikap tindakan atau perilaku.
Di dalam pelaksanaannya penetapan kode etik IBI harus
dilakukan oleh kongres IBI. Hal ini terjadi karena kode etik suatu
organisasi akan mempunyai pengaruh yang kuat dalam menegakkan
disiplin di kalangan profesi, jika semua orang menjalankan profesi
yang sama tersebut tergabung dalam suatu organisasi profesi. Hal ini
menjadi lebih tegas dengan pengertian bahwa apabila setiap orang
yang menjalankan suatu profesi maka secara otomatis dia tergabung
dalam suatu organisasi atau ikatan profesi. Apabila hal ini dapat
dilaksanakan dengan baik maka barulah ada suatu jaminan bahwa
profesi tersebut dapat dijalankan secara murni dan baik, karena setiap
anggota profesi yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik
dapat dikenakan sangsi dalam menjalankan tugasnya.
Sehubung dengan pelaksanaan Kode Etik Profesi, bisan di
bantu oleh suatu lembaga yang disebut Majelis Pertimbangan Kode
Etik Bidan Indonesia dan Majelis Pertimbangan Etika Profesi Bidan
Indonesia. Dalam organisasi IBI terdapat Majelis Pertimbangan Etika
Bidan (MPEB) dan Majelis Pembelaan Anggota (MPA).
12
Pembinaan dan pengawasan terhadap dokter, dokter gigi dan tenaga
kesehatan dalam menjalankan profesinya untuk meningkatkan mutu
pelayanan dan keselamatan pasien dan melindungi masyarakat
terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi
kesehatan.
3. Surat keputusan Menteri Kesehatan no. 640/Menkes/Per/X/1991,
tentang pembentukan MP2EPM.
Dasar Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan atau MDTK adalah
sebagai berikut:
1. Pasal 14 Ayat 1 UUD 1945
2. UU no. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan
3. KEPRES tahun 1995 Tentang Pembentukan MDTK.
Tugas Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) adalah
meneliti dan menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian
dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan.
13
2. Memberi nasihat, membina dan mengembangkan serta mengawasi
secara aktif etik tenaga profesi tenaga kesehatan dalam
wilayahnya bekerja sama dengan organisasi profesi seperti IDI,
PDGI, PPNI, IBI, ISFI, PRSW2.
3. Memberi pertimbangan dan saran kepada instansi terkait.
4. MP2EPM propinsi atas nama kepala kantor wilayah departemen
kesehatan propinsi berwenang memanggil mereka yang
bersangkutan dalam suatu etik profesi.
14
2. Sarana pelayanan kesehatan
3. Tenaga pemberi pelayanan yaitu bidan
15
d) Melakukan pembinaan dan pelatihan tentang umum
kesehatan, khususnya yang berkaitan atau melandasi praktik
bidan.
16
bidan (MPEB) dan majelis pembelaan anggota (MPA). Latar belakang
dibentuknya majelis pertimbangan etika bidan atau MPEB adalah
adanya unsur-unsur pihak-pihak terkait:
1. Pemeriksa pelayanan untuk pasien
2. Sarana pelayanan kesehatan
3. Tenaga pemberi pelayanan, yaitu bidan
Pelaksanaan tugas bidan dibatasi oleh norma, etika, dan
agama. Tetapi apabila ada kesalahan dan menimbulkan konflik etik,
maka diperlukan wadah untuk menentukan standar profesi, prosedur
yang baku dan kode etik yang disepakati, maka perlu dibentuk majelis
etik bidan, yaitu MPEB dan MPA.
Tujuan dibentuknya majelis etika bidan adalah untuk
memberikan perlindungan yang seimbang dan objektif kepada bidan
dan penerima pelayanan.
17
2. Majelis etik kebidanan dibentuk ditingkat propinsi atau pusat.
3. Majelis kebidanan pusat berkedudukan di ibukota negara dan
majelis etik kebidanan propinsi berkedudukan di ibu kota propinsi.
4. Majelis etik kebidanan pusat dan propinsi dibantu oleh sekretaris
5. Jumlah anggota masing-masing terdiri dari lima orang
6. Masa bakti anggota majelis etik kebidanan selama tiga tahun dan
sesudahnya, jika berdasarkan evaluasi masih memenuhi ketentuan
yang berlaku, maka anggota tersebut dapat dipilih kembali.
7. Anggota majelis etik kebidanan diangkat dan diberhentikan oleh
menteri kesehatan.
8. Susunan organisasi majelis etik kebidanan terdiri dari:
a) Ketua dengan kualifikasi mempunyai kompetensi tambahan di
bidang hukum
b) Sekretaris merangkap anggota
c) Anggota majelis etik bidan
18
Dalam pelaksanaannya di lapangan sekarang ini bahwa
organisasi profesi bidan IBI, telah melantik MPEB (majelis
pertimbangan etika bidan) dan MPA (majelis peradilan profesi, namun
dalam pelaksanaannya belum terealisasi dengan baik.
19
c. Informasi dberikan secara jujur dan benar, kecuali bila bidan menilai
hal itu dapat merugikan kepentingan pasien;
d. Informasi yang dapat diberikan kepada keluarga pasien, setelah
bidan meminta persetujuan pasien;Yang berwenang memberikan
penjelasan (informasi) kepada pasien yang akan diberikan tindakan
medik, yaitu :
a. Dalam hal tindakan medik yang akan dilakukan adalah tindakan
bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya, maka penjelasan
(informasi) harus diberikan oleh bidan yang akan melakukan
operasi itu sendiri.
b. Dalam keadaan tertentu dimana tidak ada bidan yang akan
mengoperasi tersebut, penjelasan (informasi) harus diberikan
oleh bidan lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang
bertanggung jawab.
c. Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan
invasif lainnya, penjelasan (informasi) dapat diberikan oleh bidan
lain atau perawat dengan pengetahuan atau petunjuk bidan yang
bertanggung jawab.
orang yang berwenang memberikan informed consent sebagai
berikut :
a. Orang dewasa; Bagi pasien dewasa, persetujuan diberikan oleh
pasien tersebut, dengan syarat :
1) Berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah.
2) Dalam keadaan sadar; dan
3) sehat mental, Pasal 8.
b. Wali/kurator, bagi pasien dewasa yang ditaruh di bawah
pengampuan, persetujuan diberikan oleh wali/kurator (pengampu).
Sementara itu, bagi pasien dewasa yang menderita cacad mental,
persetujuan diberikan oleh orang tua/wali/kurator, Pasal 9.
c. Orang tua/wali/keluarga terdekat; Bagi pasien yang berada di
bawah umur 21 (dua puluh satu) tahun, persetujuan diberikan oleh
orang tuanya/walinya. Apabila tidak mempunyai orang tua/wali dan
20
atau orang tua/wali berhalangan, persetujuan oleh keluarga terdekat
atau induk semang (guardian), Pasal 10.
d. Keluarga terdekat;Bagi pasien yang tidak sadar/pingsan didampingi
oleh keluarga terdekat, persetujuan diberikan keluarga terdekat.
Tetapi apabila tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara
medik berada dalam keadaan darurat yang memerlukan tindakan
medik segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujan dari
siapapun, Pasal 11.
Penjelasan itu sekurang-kurangnya mencakup :
a. diagnosa dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan resikonya;
d. resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Bentuk persetujuan yang diberikan oleh pasien terhadap
tenaga kesehatan diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
Persetujuan lisan adalah persetujuan yang diberikan dalam bentuk
ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang
diartikan sebagai ucapan setuju. Persetujuan tertulis adalah suatu
bentuk persetujuan yang diberikan oleh pasien kepada tenaga
kesehatan, dimana isi persetujuan itu telah dituangkan dalam bentuk
formulir Informed consent yang telah dibakukan dinamakan dengan
perjanjian standar. Sedangkan bentuk persetujuan untuk “tindakan
medis beresiko tinggi” harus dibuat dalam bentuk tertulis. Tindakan
medis beresiko tinggi adalah seperti tindakan bedah atau tindakan
invasif lainnya. Orang-orang yang berhak memberikan persetujuan.
Orang-orang yang berhak memberikan persetujuan atau
penolakan tindakan medik, yaitu pasien yang bersangkutan. Namun
terdapat pengecualian sebagai berikut :
a. Apabila pasien yang bersangkutan berada di bawah pengampuan
(under curatele), persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat
21
diberikan oleh keluarga terdekat antara lain suami/isteri/ayah/ibu
kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung.
b. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien
tidak diperlukan persetujuan. Namun setelah pasien sadar atau
dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan
penjelasan dan dibuat persetujuan.
c. Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar,
penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.
d. Apabila tidak ada keluarganya, sedangkan tindakan medis harus
dilakukan, penjelasan diberikan kepada anak yang bersangkutan
atau pada kesempatan pertama pasien sudah sadar.
Tujuan persetujuan tindakan medik atau (informed consent)
adalah memberikan perlindungan hukum bagi pasien dan bidan.
Perlindungan hukum kepada pasien adalah agar pasien mendapat
pelayanan kesehatan secara maksimal dari dokter yang
menanganinya. Sementara itu bagi bidan adalah menjaga
kemungkinan timbulnya gugatan oleh pasien atau keluarganya
apabila ia lalai dalam melaksanakan kewajibannya. Apabila pasien
telah memberikan persetujuan tindakan medik (informed consent)
kepada bidan, maka kedudukan bidan menjadi kuat. Karena di dalam
informed consent telah disebutkan bahwa apabila bidan gagal
melaksanakan kewajibannya, pasien tidak akan menuntut bidan yang
bersangkutan. Namun, secara yuridis pasien mempunyai hak untuk
menggugat bidan, apabila bidan tidak melaksanakan standar profesi
dengan baik. Disamping itu, pasien juga diberikan hak menuntut
secara pidana dan secara administratif kepada bidan yang tidak
melaksanakan standar profesi.
22
pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan”.
Data dalam rekam medik terdiri dari :
1. Data medis / klinis, yaitu segala data dan informasi tentang keadaan
medis / klinis pasien.
2. Data sosiologis / non medis, yaitu segala data atau informasi yang
bersangkut paut dengan data identitas pasien yang sifatnya non
medis.Dimana kedua bentuk data tersebut bersifat rahasia
(confidential). Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan
pencatatan pada rekam medis, berkas dan catatan tidak boleh
dihilangkan atau dihapus dengan cara apapun. Perubahan catatan
atau kesalahan dalam rekam medis hanya dapat dilakukan dengan
pencoretan dan dibubuhi paraf petugas yang bersangkutan. Dokumen
rekam medis merupakan milik dokter atau sarana pelayanan
kesehatan sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien, yang
dititipkan / diamanatkan kepada bidan untuk memperlakukan sesuai
dengan ketentuan penyelenggaraan yang berlaku. Oleh karena itu,
rekam medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh bidan
dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan. Maka dengan demikian,
baik atau buruknya pelayanan kesehatan di suatu sarana pelayanan
kesehatan (termasuk rumah sakit), dapat diketahui antara lain dari
baik/buruknya penyelengaraan rekam medik. Menjaga keseimbangan
antara bidan (health provider) dan pasien (health receivers) dalam
pelayanan kesehatan dapat diwujudkan dari kelengkapan pembuatan
rekam medik. Keberadaan rekam medik sangat diperlukan dalam
setiap pelayanan kesehatan, termasuk rumah sakit, baik ditinjau dari
segi pelaksanaan pelayanan medis maupun dari aspek hukum.
Kegunaan rekam medik:
a. Segi administrasi, karena isinya menyangkut tindakan
berdasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga
kesehatan dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan.
b. Segi medis, karena catatan tersebut digunakan sebagai dasar
perencanaan atas pengobatan/perawatan kepada pasien.
23
c. Segi hukum, karena isinya menyangkut adanya jaminan atas
kepastian hukum serta penyediaan bahan tanda bukti untuk
penegakan keadilan.
d. Segi keuangan, karena isinya dapat dijadikan sebagai dasar
penetapan biaya pelayanan kepada pasien.
e. Segi penelitian, karena isinya dapat dijadikan bahan penelitian
guna pengembangan ilmu pengetahuan.
f. Segi pendidikan, karena isinya dapat digunakan sebagai
bahan/referensi pengajaran di bidang profesi si pemakai.
g. Segi dokumentasi, karena isinya menjadi sumber ingatan yang
harus di-dokumentasikan dan dapat dipakai sebagi bahan
pertanggung jawaban rumah sakit.
Isi rekam medis terdiri dari:
a. Untuk pasien rawat jalan, rekam medis sekurang-kurangnya
memuat :
1. Identitas pasien;
2. Anamnese;
3. Diagnosis, dan
4. Tindakan/pengobatan yang diberikan kepada pasien.
b. Untuk pasien rawat nginap sekurang-kurangnya memuat :
1. Identitas pasien;
2. Anamnese;
3. Riwayat penyakit;
4. Hasil pemerikaan laboratorik;
5. Diagnosis;
6. Persetujuan tindakan medik
7. Tindakan/pengobatan;
8. Catatan perawat;
9. Catatan observasi klinis dan hasil pengobatan;
10. Resume akhir dan evaluasi pengobatan.
24
2.4.3 Rahasia Kedokteran (Medical Secrecy)
Hakikat rahasia adalah :“Suatu hal yang tidak boleh atau tidak
dikehendaki untuk diketahui oleh orang yang tidak berkepentingan
atau tidak berhak mengetahui hal itu”. Dalam bidang medis, segala
temuan pada diri pasien dapat dikatakan sebagai rahasia medik dan
rahasia ini sepenuhnya milik si pasien. Merupakan prinsip hukum dan
etika bahwa ada informasi tertentu yang tidak boleh dibuka
sembarangan, informasi mana terbit dari hubungan antara para
profesional bahkan hubungan bisnis, termasuk didalamnya hubungan
antara bidan dengan pasien. Masalah larangan membuka rahasia
pasien oleh bidan ini merupakan salah satu masalah klasik dalam
bidang kebidanan. Sedemikian klasiknya, sehingga dalam bentuk
naskah kesehatan kita dapat menemukan ketentuan yang pada
prinsipnya melarang bidan untuk membuka rahasia pasien yang oleh
pasien telah dibuka kepada bidan yang bersangkutan. Perlindungan
terhadap kerahasiaan yang terbit dari hubungan antara bidan dan
pasiennya ini dilakukan dalam rangka melindungi hak-hak individual
dari pasien, yaitu melindungi hak-hak sebagai berikut :
1. Hak otonomi, yakni hak untuk menentukan nasibnya sendiri,
2. Hak privacy, yakni hak untuk tidak diganggu atau dicampuri
masalah pribadi oleh orang lain.
Kerahasiaan antara bidan dan pasiennya bukan hanya rahasia
yang terbit dari hubungan langsung (konsultasi) antara bidan dan
pasiennya, melainkan termasuk juga perlindungan kerahasiaan dari
informasi yang didapatkan bidan dari sumber lain yang berkaitan
dengan pasien yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan hubungan
kerahasiaan antara bidan dan pasien adalah :“Kerahasiaan atas
segala informasi atau pengakuan, dokumen, hasil laboratorium,
komunikasi, hasil investigasi, hasil observasi, hasil diagnosis maupun
terapeutik, fakta, data, atau informasi tentang jiwa dan raga yang
diperoleh bidan dari pasiennya atau dari pihak lain yang berhubungan
dengan pasiennya itu, yang dilindungi berdasarkan prinsip hubungan
25
kerahasiaan antara bidan dengan pasiennya, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, baik jika diminta oleh pasien agar
rahasia tersebut dibuka, ataupun tidak, atau jika rahasia tersebut
dibuka, kemungkinan akan memalukan pasiennya dan atau
merugikan kepentingan pasiennya atau kepentingan orang lain
dimana rahasia tersebut tidak boleh dibuka baik oleh bidan, oleh
bawahan, atasan, atau rekan, ataupun mitra kerja dari bidan, baik
pada saat pengobatannya bahkan sebelum maupun setelah
pengobatan atau setelah berakhirnya hubungan antara bidan dan
pasien tersebut, baik ketika pasien masih hidup bahkan ketika pasien
sudah meninggal dunia.”Menjaga rahasia pasien oleh bidan berarti :
a. Bidan tidak boleh membuka rahasia pasien.
b. Bidan tidak boleh menggunakan rahasia pasiennya untuk
merugikan kepentingan pasien tersebut.
c. Bidan tidak boleh menggunakan rahasia pasiennya untuk
kepentingan pribadi dokter atau untuk kepentingan pihak
ketiga.
Kewajiban menjaga rahasia tersebut berlaku pada waktu-waktu
sebagai berikut :
a. Sebelum berlangsungnya perjanjian terapeutik antara bidan
dengan pasien, dalam arti bahwa segala sesuatu yang terlanjur
telah di informasikan oleh pasien tetap dijaga kerahasiaannya
meskipun pasien tersebut kemungkinan tidak jadi
menggunakan jasa bidan tersebut.
b. Pada saat berlangsungnya perjanjian terapeutik.
c. Setelah berakhirnya perjanjian terapeutik.
d. Setelah pasien meninggal dunia.Tentu saja tidak semua
informasi atas pengakuan, dokumen, fakta dan data, jiwa raga,
atau informasi yang diperoleh dokter dari pasiennya atau dari
pihak lain yang berhubungan dengan pasiennya itu merupakan
kerahasiaan yang dilindungi oleh hukum.
26
Hanya kerahasiaan tertentu saja yang merupakan rahasia yang
dilindungi yakni rahasia-rahasia yang memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
1. Rahasia tersebut merupakan informasi yang substansial dan
penting bagi pasien atau bagi pengobatannya.
2. Rahasia tersebut sebelumnya belum pernah terbuka untuk
umum secara meluas. Apabila rahasia tersebut telah terbuka
untuk umum, tetapi belum meluas atau jika rahasia tersebut
sudah dibuka sebagai alat bukti, rahasia tersebut tetap tidak
boleh dibuka oleh dokter kepada orang lain.
3. Rahasia tersebut bukanlah informasi yang memang tersedia
untuk publik (public information).
4. Rahasia yang jika dibuka akan menimbulkan rasa malu bagi
pasien, bidan, atau pihak-pihak lainnya.
5. Rahasia yang jika dibuka akan merugikan kepentingan
pasiennya.
6. Rahasia yang jika dibuka akan mempersulit pengobatan oleh
dokter terhadap pasiennya.
7. Rahasia yang jika dibuka akan menimbulkan kemungkinan
pasien tidak lagi memberikan informasi selanjutnya kepada
dokter. Hal tersebut akan mempersulit dokter dalam melakukan
pengobatannya.
8. Bagi pasien, informasi tersebut sangat penting dan sensitif.
9. Jika dibuka rahasia tersebut, akan menimbulkan
kemarahan/gejolak atau sikap masyarakat yang merugikan
kepentingan pasien dan atau merugikan kepentingan
pengobatan.
10. Pasien tidak pernah mengizinkan (no waiver) secara tegas atau
secara tersirat untuk dibuka rahasia tersebut.
Kerahasiaan bidan atas pasien dapat dibuka :
1. Jika dilakukan untuk kepentingan kesehatan pasien;
27
2. Jika dilakukan untuk memenuhi permintaan aparatur penegak
hukum dalam rangka penegakan hukum;
3. Jika dilakukan atas permintaan pasien sendiri;
4. Jika dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan
lainnya.
28
Hermien Hadiati sebagaimana dikutip oleh Anny Isfandyarie
menjelaskan malpraktek secara harfiah berarti bad practice, atau
praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan
teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung
ciri-ciri khusus. Karena malpraktek berkaitan dengan “how to practice
the medical science and technology”, yang
sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat
melakukan praktek dan orang yang melaksanakan praktek. Maka
Hermien lebih cenderung untuk menggunakan istilah “maltreatment”.
Adapun jenis-jenis malpraktek ditinjau dari segi etika profesi
dan segi hukum dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu malpraktek
etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yuridical
malpractice).
1. Malpraktek Etik
Yaitu tenaga kesehatan melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga
kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan
yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan
seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang
berlaku untuk seluruh bidan.
2. Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga
bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek
pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administratif
(administrative malpractice).
a. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang
menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian
(wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga
kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian
29
kepada pasien. Dalam malpraktek perdata yang
dijadikan ukuran dalam melpraktek yang disebabkan
oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan
(culpa levis). Karena apabila yang terjadi adalah
kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan
tersebut termasuk dalam malpraktek pidana.12 Contoh
dari malpraktek perdata, misalnya seorang dokter yang
melakukan operasi ternyata meninggalkan sisa perban
didalam tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada
perban yang tertinggal kemudian dilakukan operasi
kedua untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut.
Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter
dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat negatif
yang berkepanjangan terhadap pasien.
b. Malpraktek Pidana
Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal
dunia atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan
kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan
upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal
dunia atau cacat tersebut. Malpraktek pidana ada tiga
bentuk yaitu:
1) Malpraktek pidana karena kesengajaan
(intensional),tenaga medis tidak melakukan
pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui
bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong,
serta memberikan surat keterangan yang tidak
benar. Contoh : melakukan aborsi tanpa tindakan
medis
2) Malpraktek pidana karena kecerobohan
(recklessness), misalnya melakukan tindakan
yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan
standar profesi serta melakukan tindakan tanpa
30
disertai persetujuan tindakan medis. Contoh :
Kurang hati-hatinya perawat dalam memasang
infus yang menyebabkan tangan pasien
membengkak karena terinfeksi.
3) Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence),
misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien
sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang
kurang hatihati. Contoh : seorang bayi berumur 3
bulan yang jarinya terpotong pada saat perawat
akan melepas bidai yang dipergunakan untuk
memfiksasi infus.
3. Malpraktek Administratif
Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan
melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara
yang berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa
lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai
dengan lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin
yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa
membuat catatan medik.
31
2.6 Kasus Malpraktik Dalam Etikolegal Kebidanan
32
pasangan mesum tersebut menyetujui harga yang ditawarkan Endang
setelah turun menjadi Rp2.000.000. Hari itu juga, bidan Endang yang
diketahui bertugas di salah satu puskesmas di Kediri melakukan
aborsi.
Metode yang dipergunakan Endang cukup sederhana. Ia
menyuntikkan obat penahan rasa nyeri Oxytocin Duradril 1,5 cc yang
dicampur dengan Cynaco Balamin, sejenis vitamin B12 ke tubuh
Novila. Menurut pengakuan Endang, pasien yang disuntik obat
tersebut akan mengalami kontraksi dan mengeluarkan sendiri janin
yang dikandungnya.
“Ia (bidan Endang) mengatakan jika efek kontraksi akan muncul
6 jam setelah disuntik. Hal itu sudah pernah dia lakukan kepada
pasien lainnya,” terang Kasat Reskrim Polres Kediri AKP Didit
Prihantoro di kantornya, Minggu (18/5/2008).
Celakanya, hanya berselang dua jam kemudian, Novila terlihat
mengalami kontraksi hebat. Bahkan ketika sedang dibonceng dengan
sepeda motor oleh Santoso menuju rumahnya, Novila terjatuh dan
pingsan karena tidak kuat menahan rasa sakit. Apalagi organ intimnya
terus mengelurkan darah.
Warga yang melihat peristiwa itu langsung melarikannya ke
Puskemas Puncu. Namun karena kondisi korban yang kritis, dia
dirujuk ke RSUD Pare Kediri. Sayangnya, petugas medis di ruang
gawat darurat tak sanggup menyelamatkan Novila hingga meninggal
dunia pada hari Sabtu pukul 23.00 WIB.
Petugas yang mendengar peristiwa itu langsung
menginterogasi Santoso di rumah sakit. Setelah mengantongi alamat
bidan yang melakukan aborsi, petugas membekuk Endang di
rumahnya tanpa perlawanan. Di tempat praktik sekaligus rumah
tinggalnya, petugas menemukan sisa-sisa obat yang disuntikkan
kepada korban. Saat ini Endang berikut Santoso diamankan di
Mapolres Kediri karena dianggap menyebabkan kematian Novila.
33
Lamin (50), ayah Novila yang ditemui di RSUD Pare Kediri
mengaku kaget dengan kehamilan yang dialami anaknya. Sebab
selama ini Novila belum memiliki suami ataupun pacar. Karena itu ia
meminta kepada polisi untuk mengusut tuntas peristiwa itu dan
menghukum pelaku.
Sumber: http://news.okezone.com/read/2008/05/18/1/110398/1/rema
ja-aborsi-tewas-usai-disuntik-bidan
34
Pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.
Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati: Barang
siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling
lama satu tahun.
2. Pasal 1365
Setiap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan
kerugian bagi orang lain karena kesalahannya mengakibatkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
3. Pasal 348 KUHP Tentang Pembunuhan.
4. UU Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992
Cara membuktikan kelalaiannya adalah dengan Dereliction of
Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan
pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar
profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
35
Melakukan malpraktik yuridis (melanggar hukum) berarti juga
melakukan malpraktek etik (melanggar kode etik). Sedangkan
malpraktik etik belum tentu merupakan malpraktik yuridis. Apabila
seorang bidan melakukan malpraktik etik atau melanggar kode etik.
Maka penyelesaian atas hal tersebut dilakukan oleh wadah profesi
bidan yaitu IBI. Dan pemberian sanksi dilakukan berdasarkan
peraturan-peraturan yang berlaku didalam organisasi IBI tersebut.
Sedangkan apabila seorang bidan melakukan malpraktik yuridis dan
dihadapkan ke muka pengadilan. Maka IBI melalui MPA dan MPEB
wajib melakukan penilaian apakah bidan tersebut telah benar-benar
melakukan kesalahan. Apabila menurut penilaian MPA dan MPEB
kesalahan atau kelalaian tersebut terjadi bukan karena kesalahan
atau kelalaian bidan, dan bidan tersebut telah melakukan tugasnya
sesuai dengan standar profesi, maka IBI melalui MPA wajib
memberikan bantuan hukum kepada bidan tersebut dalam
menghadapi tuntutan atau gugatan di pengadilan.
1) memperhatikan segala kebutuhannya.
2) Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan
masyarakat sekitarnya.
36
medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak
mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam
perumusan delik yang dituduhkan.
b) Formal/legal defence
Yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau
menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal
tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban
atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari
pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang
dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan
menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis
pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam
tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi
sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil
penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan
harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau
pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa
tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami
penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah,
utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri
(res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan
menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan
langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya
kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah
orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang
menguntungkan bidan.
37
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum kesehatan yang terkait dengan etika profesi dan
pelanyanan kebidanan. Ada keterkaitan atau daerah bersinggunan
antara pelanyanan kebidanan, etika dan hukum atau terdapat “grey
area”. Sebagaimana di ketahui bahwa bidan merupakan salah satu
tenaga kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan.
Sebelum menginjak kehal – hal yang lebih jauh, kita perlu memahami
beberapa konsep dasar dibawah ini :
1. Bidan adalah seorang yang telah menyelesaikan Program
Pendidikan Bidan yang diakui Negara serta memperoleh
kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktek kebidanan
di Negara itu. Dia harus mampu memberikan supervise,
asuhan dan memberikan nasehat yang dibutuhkan kepada
wanita selama masa hmil, persalinan dan masa pasca
persalinan, memimpin persalianan atas tanggung jawab sendiri
serta asuhan pada bayi baru lahir dan anak.
2. Pekerjaan itu termaksud pendidikan antenatal, dan persiapan
untuk menjadi orangtua dan meluas kedaerah tertentu dari
ginekologi, KB dan Asuhan anak, Rumah Perawatan, dan
tempat – tempat pelayanan lainnya (ICM 1990).
3.2 Saran
Sikap etis profesional berarti bekerja sesuai dengan standar,
melaksanakan advokasi, keadaan tersebut akan dapat memberi
jaminan bagi keselamatan pasen, penghormatan terhadap hak-hak
pasen, akan berdampak terhadap peningkatan kualitas asuhan
kebidanan.
38
DAFTAR PUSTAKA
39