Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

“INFORMED CONSENT”

Dosen : Farah Fadhila, M.Tr.Keb

Oleh :
Eka Putri Damayanti

Nim: 2022206206005

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya penulis
akhirnya dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu. Dan dengan mengucap puji
syukur atas curahan kasih karunia-Nya kepada penulis, terutama ilmu dan akal sehat
sehingga dengan ijin-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang
berjudul “INFORMED CONSENT”

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini penuh
keterbatasan dan masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, saran yang konstruktif
merupakan bagian yang tak terpisahkan dan senantiasa kami harapkan demi
penyempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi banyak pihak. Allahumma Amin.

Pringsewu, September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER.....................................................................................................................i

KATA PENGANTAR .............................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang ...................................................................................................1

1.2 . Rumusan masalah...............................................................................................2

1.3 . Tujuan................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pengertian informed consent...............................................................................4


2.2. Tujuan perlunya informed consent......................................................................5
2.3 Fungsi informed consent......................................................................................6
2.4 Bentuk- bentuk dan unsur informed consent.......................................................7
2.5 Tata laksana informed consent.............................................................................8
2.6 Aspek – aspek penting dalam informed consent..................................................8
2.6 Dasar hukum informed consent............................................................................13
2.8 Sanksi hukum terhadap informed consent.............................................................15
BAB 1II PENUTUP

3.1. Kesimpulan.........................................................................................................15

3.2. Saran...................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada hakikatnya, persetujuan atas dasar informasi atau dikenal dengan istilah
informed consent, merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri yang
berfungsi di dalam pelayanan kesehatan. Penentuan nasib sendiri adalah nilai dan sasaran
dari informed consent, dan intisari dari permasalahan informed consent adalah alat.
Secara konkret persyaratan informed consent ditujukan untuk setiap tindakan baik yang
bersifat diagnostic ataupun terapeutik, dan pada dasarnya senantiasa diperlukan
persetujuan pasien yang bersangkutan. Agar pemberian pertolongan dapat berfungsi di
dalam pelayanan medis, para pemberi pertolongan perlu memberikan informasi atau
keterangan pada pasien tentang keadaan dan situasi kesehatannya. Hubungan antara
informasi dan persetujuan dinyatakan dalam istilah informed consent. Serta bisa disebut
juga persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Aspek utama Informed
Consent adalah memberikan perlindungan kepada pasien serta memberi perlindungan
hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif.

Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan diharapkan terlaksana hubungan


yang lancar antara pasien dan tenaga kesehatan. akan tetapi dapat terjadi masalah
diantara 2 prinsip, yaitu prinsip memberikan kebaikan kepada pasien yang bertolak dari
sudut pandang nilai etika dan ilmu kesehatan berdasarkan pengetahuan, keterampilan
dan pengalaman tenaga kesehatan, dan prinsip menghormati hak menentukan diri sendiri
dari sudut pandang pasien. Sehingga terdapat benturan yang dilematis antara tanggung
jawab moral profesi dan hak asasi manusia yang universal dalam hubungannya dengan
kesehatan. dengan demikian informed consent dibuat dengan tujuan untuk (1)
memberikan perlindungan kepada pasie atas segala tindakan medis dan (2) memberikan
perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga yang
dianggap merugikan pihak lain.

Secara aspek hukum informed consent dapat disimpulkan yaitu persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga atas dasar informasi dan penjelasan mengenai

1
tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien yang tertera dalam Permenkes No
290/MENKES/PER/III/2018 Pasal 1 Ayat (1). Tujuan Informed Consent adalah
melindungi hak individu untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination).

Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan baik antara Dokter dan
pasien akan sama-sama terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat perbuatan
diluar peraturan yang sudah dibuat tentu dianggap melanggar hukum. Dalam pelanggaran
Informed Consent telah diatur dalam pasal 19 Permenkes No. 290 Tahun 2018 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap dokter yang melakukan tindakan
tanpa Informed Consent dapat dikenakan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis
sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik.

Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan


medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter,
juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum
pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Untuk itu, sangat diperlukan bagi dokter, tenaga kesehatan serta masyarakat
untuk mengetahui tentang aspek hukum informed consent. Selain itu perlu pula
mengetahui isi dari informed consent serta format informed consent yang sah secara
hukum.

1.2 Rumusan Masalah


 Pengertian Informed consent
 Tujuan perlunya informed consent
 Fungsi informed consent
 Bentuk- bentuk dan unsur informed consent
 Tata laksana informed consent
 Aspek – aspek penting dalam informed consent
 Dasar hukum informed consent
 Sanksi hukum terhadap informed consent
1.3 Tujuan
 Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui Informed consent
 Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui fungsi dan tujuan informed consent

2
 Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui Bentuk- bentuk dan unsur informed
consent
 Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui bagaimana tata laksana informed
consent
 Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui aspek-aspek penting dalam
informed consent
 Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui dasar hukum informed consent
 Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui sanksi hukum terhadap informed
consent

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Informed Consent

Informed Consent adalah istilah yang telah diterjemahkan dan lebih sering
disebut dengan Persetujuan Tindakan Medik. Secara harfiah, Informed Consent terdiri
dari dua kata, yaitu : Informed dan Consent. Informed berarti telah
mendapatinformasi/penjelasan/keterangan. Consent berarti memberi persetujuan atau
mengizinkan. Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan
sebagai “suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan
dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis
yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko
yang mungkin terjadi.

Pengertian yang lebih luas terkait informed consent yakni adalah memberi izin
atau wewenang kepada seseorang untuk melakukan suatu informed consent(IC),dengan
demikian berarti suatu pernyataan setuju atau izin oleh pasien atau secara sadar, bebas
dan rasional setelah memperoleh informasi yang dipahaminya, dari tenaga
kesehatan/doker yang memahami tentang penyakitnya. Kata dipahami harus digaris
bawahi atau ditekankan, karena pemahaman suatu informasi oleh tenaga kesehatan/dokter
belum tentu dipahami juga oleh pasien. Harus diingat bahwa yang terpenting adalah
pemahaman oleh pasien (Hendrik, 2020,hal.57).

Definisi operasional dari informed consent adalah persetujuan yang diberikan


oleh pasien(orang tua/wali/suami/istri/orang yang berhak ,mewakilinya) kepada tenaga
kesehatan/dokter untuk dilakukan suatu tindakan medis yang bertujuan untuk
kesembuhan penyakit yang dideritanya. Dalam hal ini tenaga kesehatan ataudokter telah
memberikan informasi yang cukup yang diperlukan pasien mengenai tindakan yang harus
dilakukan.

Dalam pengertian demikian, informed consent(persetujuan tindakan medis) dapat


dilihat dari dua sudut, yaitu pertama membicarakan Persetujuan Tindakan Medik dari
pengertian umum, adalah persetujan yang diperoleh dokter sebelum melakukan

4
pemeriksaan, pengobatan dan tindakan medik apapun yang akan dilakukan. Dan kedua
membicarakan Persetujuan Tindakan Medik dari pengertian khusus, adalah Persetujuan
Tindakan Medik yang dikaitkan dengan persetujuan atau izin tertulis dari pasien/keluarga
pada tindakan operatif, lebih dikenal sebagai Surat Izin Operasi (SIO), surat perjanjian
dan lain–lain, istilah yang dirasa sesuai oleh rumah sakit tersebut (Amri, 2019).

2.2 Tujuan Perlunya Informed Consent

Di Indonesia informed Consent tentu memiliki maksud tujuan diatur


terlihat dari arti pentingnya perlindungan terhadap hak-hak azasi pasien untuk
menentukan nasib sendiri (hak informasi tentang penyakitnya, hak untuk
menerima/menolak rencana perawatan). Juga merupakan suatu tindakan konkrit
atas penghormatan kalangan kesehatan terhadap hak perorangan. mengingat perlu
dan pentinya pembatasan Otorisasi Tenaga kesehatan terhadap pasien juga
merupakan hal yang bisa dilepaskan.

Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari


tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak
terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin
dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan
standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak
dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian
(negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan
dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.

Menurut Appelbaum(Veronica K,2019) untuk menjadi doktrin informed consent


harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Adanya kewajiban dari tenaga kesehatan untuk menjelaskan informasi kepada


pasien
2. Adanya kewajiban dari tenaga kesehatan untuk mendapatkan izin atau
persetujuan dari pasien, sebelum dilaksanakan perawatan/pengobatan.

5
Dari pernyataan diatas, timbul persepsi di kalangan para tenaga kesehatan bahwa
tampaknya kewajiban itu hanya membebani para tenaga kesehatan, sedangkan risiko yang
dihadapi dalam pelayanan medis tertentu tergolong tinggi. Dalam hal ini, informed
consent diartikan sebagai perwujudan prinsip mengutamakan kepentingan pasien, tetapi
kepentingan tenaga kesehatan tersebut terabaikan. Selain itu, ada juga yang menafsirkan
bahwa informed consent secara tertulis dari pasien dapat dijadikan alat bukti ada tidaknya
kesalahan dalam tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Didasarkan pada
asas tidak merugikan, penetapan syarat informed consent justru bertujuan agar tenaga
kesehatan dapat menghindarkan risiko sekecil apapun demi kepentingan pasiennya.

Untuk menghindari tuntutan pasien terhadap tenaga kesehatan, di dalam informed


consent secara tertulis dicantumkan syarat bahwa tenaga kesehatan tidak dituntut
dikemudian hari. Syarat yang dimaksudkan antara lain menyatakan bahwa, “ Pasien
menyadari sepenuhnya atas segala resiko tindakan medis yang akan dilakukan tenaga
kesehatan dan jika dalam tindakan medis itu terjadi sesuatu yang tidak diinginkan maka
pasien tidak akan mengadakan tuntutan apapun di kemudian hari”. Akan tetapi rumusan
tersebut jika ditinjau dari segi hukum tidak mempunyai arti atau kekuatan hukum. Dalam
khazanah hukum, izin seperti ini disebut dengan blanket consent yang sama seklai tidak
mempunyai kekuatan atau arti dalam hal legalitas. Maksudnya, izin seperti ini tidak dapat
digunakan sebagai dasat pembelaan terhadap tenaga kesehatan/dokter, apabila terjadi
sesuatu pada pasien. Dengan demikian, semuanya harus dikembalikan kepeada
pemenuhan standar profesi medis. Di samping itu, seseorang tidak dapat membebaskan
diri dari tanggungjawabnya atas kesalahan yang belum dilakukan(bertentangan dalam
pasal 1335-1337 KUH Perdata).

Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent


mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :

1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia;


2. promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri;
3. untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien;
4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter;
5. mendorong diambil keputusan yang lebih rasional;
6. mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan;
7. sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan;

6
Pada prinsipnya informed consent diberikan di setiap pengobatan oleh dokter.
Akan tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-
kasus sebagai berikut :
1. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi
2. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi
baru yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
3. dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek
samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll.
4. dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
5. dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan
eksperimen dengan berobjekan pasien.
Tujuan lain dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang
cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed
consent juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan
nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua
informasi yang ia perlukan sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat.
Kekecualian dapat dibuat apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan
guncangan psikis pada pasien.

2.3 Fungsi Informed Consent

Fungsi informed consent secara umum adalah:


 Proteksi dari pasien dan subyek;
 Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;
 Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan
introspeksi terhadap diri sendiri;
 Promosi dari keputusan-keputusan rasional;
 Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu
nilai social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik.

Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan / tujuannya dibagi tiga,
yaitu:

7
a. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek
penelitian)
b. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis;
c. Yang bertujuan untuk terapi.

2.4 Bentuk Informed Consent

Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) yaitu :

1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (Implied Consent), yaitu bisa dalam
keadaan normal (biasa) atau darurat, umumnya tindakan yang biasa dilakukan
atau sudah diketahui umum misal menyuntik pasien. Bila pasien dalam
keadaan gawat darurat ”Emergency” memerlukan tindakan segera, sementara
pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya
pun tidak ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan edik terbaik
menurut dokter (Permenkes No. 585 tahun 1989, pasal 11).
2. Dinyatakan (Expressed Consent), yaitu persetujuan dinyatakan secara lisan
atau tertulis. Persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan medis yang
tidak mengandung resiko tinggi seperti pencabutan kuku, sedangkan
persetujuan secara tertulis mutlak diperlukan pada tindakan medis yang
mengandung resiko tinggi seperti tindakan pembedahan perlu surat
pernyataan dari pasien/keluarga. (Amri, 2019).

Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat:

1. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau efek
samping yang bermakna;
2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi;
3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi
kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien;
4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.

Menurut J.Guwandi, SH.(2014) terdapat 3 bagian dari informed consent:

8
1. Pengungkapan dan penjelasan (disclosure and explanation) kepada pasien
dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh pasiennya tentang:
 Penegakan diagnosis;
 Sifat dan prosedur atau tindakan medic yang diusulkan;
 Kemungkinan timbulnya resiko;
 Manfaatnya;
 Alternative (jika ada)
2. a. memastikan bahwa pasien mengerti apa yang telah dijelaskan
kepadanya(harus diperhitungkan tingkat intelektualnya)
b. bahwa pasien menerima risiko-risiko tersebut
c. bahwa pasien mengizinkan dilakukan prosedur atau tindakan medic
tersebut
3. harus didokumentasikan (dalam bentuk rekam medis atau medical record)

Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3
(tiga) unsure sebagai berikut :

 Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter;


 Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan;
 Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.

2.5 Tata Laksana Informed Consent

Pada umumnya, keharusan adanya Informed Consent secara tertulis yang


ditandatangani oleh pasien sebelum dilakukannya tindakan medik tertentu itu, dilakukan
di sarana kesehatan yaitu di Rumah Sakit atau Klinik, karena erat kaitannya dengan
pendokumentasiannya ke dalam catatan medik (Medical Record). Hal ini disebabkan,
Rumah Sakit atau Klinik tempat dilakukannya tindakan medik tersebut, selain harus
memenuhi standar pelayanan rumah sakit juga harus memenuhi standar pelayanan medik
sesuai dengan yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan No.
436/MENKES/SK/VI/2022 Tentang Berlakunya Standar Pelayanan di Rumah Sakit.
Dengan demikian, Rumah Sakit turut bertanggung jawab apabila tidak dipenuhinya
persyaratan Informed Consent. Apabila tindakan medik yang dilakukan tanpa adanya
Informed Consent, maka dokter yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administratif

9
berupa pencabutan surat izin praktik, Berarti, keharusan adanya Informed Consent secara
tertulis dimaksudkan guna kelengkapan administrasi Rumah Sakit yang bersangkutan.

Dengan demikian, penandatanganan Informed Consent secara tertulis yang


dilakukan oleh pasien sebenarnya dimaksudkan sebagai penegasan atau pengukuhan dari
persetujuan yang sudah diberikan setelah dokter memberikan penjelasan mengenai
tindakan medik yang akan dilakukannya. PERMENKES
No.585/MENKES/PER/IX/1989 Pasal 3 dan 4 menyatakan bahwa penandatangan
Informed Consent secara tertulis dilakukan oleh yang berhak memberikan persetujuan
yaitu baik pasien maupun keluarganya, setelah pasien atau keluarganya mendapat
informasi yang lengkap.

Oleh karena itu, dengan ditandatanganinya Informed Consent secara tertulis


tersebut, maka dapat diartikan bahwa pemberi tanda tangan bertanggung jawab dalam
menyerahkan sebagian tanggung jawab pasien atas dirinya sendiri kepada dokter yang
bersangkutan, beserta resiko yang mungkin akan dihadapinya. Untuk itu, tindakan medik
yang ditentukan oleh dokter harus dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan standar
profesinya.(Guwandi, 2014).

2.6 Aspek-aspek Penting dalam informed consent

Beberapa aspek-aspek penting terkait pelaksanaan informed consent ialah sebagai


berikut:

 Informasi

Bagian yang terpenting dalam Informed Consent adalah mengenai informasi atau
penjelasan yang perlu disampaikan kepada pasien atau keluarga. Yaitu informasi
mengenai apa (what) yang harus disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan
dengan penyakit pasien. Tindakan apa yang akan dilakukan tentunya prosedur tindakan
yang akan dijalani baik diagnostik maupun terapi dan lain – lain sehingga pasien/keluarga
dapat memahaminya. Ini mencakup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan
dilaksanakan dan alternatif terapi. Mengenai kapan (when) disampaikan, tergantung pada
waktu yang tersedia setelah dokter akan memutuskan akan melakukan tindakan invasif
dimaksudkan.

10
Pasien/keluarganya harus diberi waktu yang cukup untuk menentukan
keputusannya. Siapa (who) yang menyampaikan, tergantung dari jenis tindakan yang
akan dilakukan. Dalam Permenkes dijelaskan dalam tindakan bedah dan tindakan invasif
lainnya harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan. Dalam keadaan
tertentu dapat pula oleh dokter lain atas sepengetahuan dan petunjuk dokter yang
bertanggung jawab. Bila bukan tindakan bedah atau invasif sifatnya, dapat disampaikan
oleh dokter atau perawat. Mengenai informasi yang mana (which) yang harus
disampaikan, dalam Permenkes dijelaskan haruslah yang selengkap–lengkapnya, kecuali
dokter menilai informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau
pasien menolak memberikan informasi. Bila perlu informasi dapat diberikan kepada
keluarga pasien (Amri, 2019).

Dalam uu no.36 tahun 2019 menyatakan bahwa dokter harus menyampaikan


informasi atau penjelasan kepada pasien/keluarga diminta atau tidak diminta, jadi
informasi harus disampaikan. Informasi harus diberikan sebelum dilakukannya suatu
tindakan operasi atau yang bersifat invasif, baik yang berupa diagnostik maupun
terapeutik.

Menurut Kerbala (2022), fungsi informasi dokter kepada pasien sebelum pasien
memberikan consent-nya, dapat dibedakan atas :

a. Fungsi Informasi bagi pasien

Berfungsi sebagai perlindungan atas hak pasien untuk menentukan diri sendiri.
Dalam arti bahwa pasien berhak penuh untuk diterapkannya suatu tindakan medis atau
tidak.

b. Fungsi Informasi bagi dokter

Dilihat dari pihak dokter maka informasi dalam proses Informed consent pun
mempunyai fungsi yang tidak kecil. Azwar (2011) mengemukan ada 5 hal pentingnya
fungsi informasi terlebih dokter:

1. Dapat membantu lancarnya tindakan kedokteran

Dengan penyampaian informasi kepada pasien mengenai penyakit, terapi,


keuntungan, risiko, dan lain-lain. Dari tindakan medis yang akan dilakukan maka terjalin
hubungan yang baik antara dokter dan pasien. Sementara pasien pun akan menentukan

11
hal yang terbaik dengan landasan informasi dokter tadi, sehingga tindakan-tindakan
medis pun akan lancar dijalani oleh kedua pihak karena keduanya telah memahami
kegunaan semua tindakan medis itu.

2. Dapat mengurangi timbulnya akibat sampingan dan komplikasi

Dengan penyampaian informasi yang baik akan memberi dampak yang baik
dalam komunikasi dokter pasien terutama dalam menerapkan terapi. Misal dokter
sebelum menyuntik pasien dengan penisilin bertanya, apakah pasien alergi terhadap
penisilin? Bila pasien memang alergi maka akibat/risiko yang besar jika terjadi
anafilaktik shock dapat dihindari. Betapa risiko besar itu akan menimpa pasien bila
dokter tidak bertanya kepada pasien.

3. Dapat mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan penyakit

Sama halnya dengan kelancaran tindakan, maka sebagai akibat adanya


pengetahuan dan pemahaman yang cukup dari pasien terhadap tindakan kedokteran yang
akan dilakukan, maka proses pemulihan dan penyembuhan penyakit akan lebih cepat.
Keadaan yang demikian juga jelas akan menguntungkan dokter, karena dapat mengurangi
beban kerja.

4. Dapat meningkatkan mutu pelayanan

Keberhasilan meningkatkan mutu pelayanan disini adalah sebagai akibat dari lancarnya
tindakan kedokteran, berkurangnya akibat sampingan dan komplikasi serta cepatnya
proses pemulihan dan penyembuhan penyakit.

5. Dapat melindungi dokter dari kemungkinan tuntutan hukum

Perlindungan yang dimaksudkan disini adalah apabila disuatu pihak, tindakan


dokter yang dilakukan memang tidak menimbulkan masalah apapun, dan dilain pihak,
kalaupun kebetulan sampai menimbulkan masalah, misalnya akibat sampingan dan atau
komplikasi, sama sekali tidak ada hubungannya dengan kelalaian dan ataupun kesalahan
tindakan (malpractice). Timbulnya masalah tersebut semata–mata hanya karena
berlakunya prinsip ketidakpastian hasil dari setiap tindakan kedokteran/medis. Dengan
perkataan lain, semua tindakan kedokteran yang dilakukan memang telah sesuai dengan
standar pelayanan profesi (standar profesi medis) yang telah ditetapkan.

12
Menurut Guwandi (2014), informasi yang harus diberikan sebelum dilakukan
tindakan operasi oleh dokter kepada pasien atau keluarga adalah yang berkenaan dengan :

a. Tindakan operasi apa yang hendak dilakukan.


b. Manfaat dilakukan operasi tersebut.
c. Resiko yang terjadi pada operasi tersebut.
d. Alternatif lain apa yang ada (ini kalau memang ada dan juga kalau mungkin
dilakukan).
e. Apa akibatnya jika operasi tidak dilakukan.

 Persetujuan

Inti dari persetujuan adalah persetujuan harus didapat sesudah pasien mendapat informasi
yang adekuat. Berpedoman pada uu no.36 tahun 2019 tentang persetujuan tindakan
medik maka yang menandatangani perjanjian adalah pasien sendiri yang sudah dewasa
(diatas 21 tahun atau sudah menikah) dan dalam keadaan sehat mental. Dalam banyak
perjanjian tindakan medik yang ada selama ini, penandatanganan persetujuan ini sering
tidak dilakukan oleh pasien sendiri, tetapi lebih sering dilakukan oleh keluarga pasien.
Hal ini mungkin berkaitan dengan kesangsian terhadap kesiapan mental pasien untuk
menerima penjelasan tindakan operasi dan tindakan medis yang invasive tadi serta
keberanian untuk menandatangani surat tersebut, sehingga beban demikian diambil alih
oleh keluarga pasien.

Tindakan medis yang diambil oleh dokter tanpa persetujuan pasien terlebih
dahulu, meski untuk kepentingan pasien tetap tidak dapat dibenarkan secara etika
kedokteran dan hukum, sebagaimana telah ditegaskan oleh fatwa IDI tentang Informed
Consent (dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan
kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien itu sendiri).

Namun terhadap ketentuan tersebut terdapat pengecualian, yaitu dalam keadaan


gawat darurat dan terjadinya perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya serta
dilakukan dalam rangka life saving. Dalam keadaan-keadaan seperti ini dokter dapat
melakukan tindakan medis tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu.

Persetujuan dalam tindakan medik terdiri dari dua bentuk, yaitu :

13
1. Persetujuan Tertulis

Bentuk persetujuan tertulis ini harus dimintakan dari pasien/keluarganya jika


dokter akan melakukan suatu tindakan medik invasif yang mempunyai resiko besar. Hal
ini dinyatakan dengan jelas dalam pasal 3 (1) Permenkes No.585 tahun 1989.
Persetujuan–persetujuan tertulis itu dalam bentuk formulir–formulir persetujuan bedah,
operasi dan lain-lain yang harus diisi (umumnya) dengan tulisan tangan. Dan dari sudut
hukum positif, formulir persetujuan ini sangat penting sebagai bukti tertulis yang dapat
dikemukan oleh para pihak kepada hakim bila terjadi kasus malpraktek. Oleh karena itu,
pengisian data pada formulir itu haruslah tepat dan benar sehingga tidak akan
menimbulkan masalah dikemudian hari bagi para pihak.

2. Persetujuan Lisan

Terhadap tindakan medik yang tidak invasif dan tidak mengandung resiko besar
maka persetujuan dari pasien dapat disampaikan secara lisan kepada dokter. Segi praktis
dan kelancaran pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan alasan dari
penyampaian persetujuan itu secara tertulis. Meski persetujuan lisan itu diperbolehkan
untuk tindakan, dokter membiasakan diri untuk menulis/mencatat persetujuan lisan pasien
itu pada rekam medis/rekam kesehatan, karena segala kegiatan yang dilakukan oleh
dokter harus dicatat dalam rekam medis termasuk persetujuan pasien secara lisan.

 Penolakan(Informed Refusal)

Penolakan Pemeriksaan/ Tindakan

Pasien yang kompeten (dia memahami informasi, menahannya dan


mempercayainya dan mampu membuat keputusan) berhak untuk menolak suatu
pemeriksaan atau tindakan kedokteran, meskipun keputusan pasien tersebut terkesan
tidak logis. Kalau hal seperti ini terjadi dan bila konsekuensi penolakan tersebut berakibat
serius maka keputusan tersebut harus didiskusikan dengan pasien, tidak dengan maksud
untuk mengubah pendapatnya tetapi untuk mengklarifikasi situasinya. Untuk itu perlu
dicek kembali apakah pasien telah mengerti informasi tentang keadaan pasien, tindakan
atau pengobatan, serta semua kemungkinan efek sampingnya.

Kenyataan adanya penolakan pasien terhadap rencana pengobatan yang terkesan


tidak rasional bukan merupakan alasan untuk mempertanyakan kompetensi pasien.

14
Meskipun demikian, suatu penolakan dapat mengakibatkan dokter meneliti kembali
kapasitasnya, apabila terdapat keganjilan keputusan tersebut dibandingkan dengan
keputusan-keputusan sebelumnya. Dalam setiap masalah seperti ini rincian setiap diskusi
harus secara jelas didokumentasikan dengan baik.

Penundaan Persetujuan

Persetujuan suatu tindakan kedokteran dapat saja ditunda pelaksanaannya oleh


pasien atau yang memberikan persetujuan dengan berbagai alasan, misalnya terdapat
anggota keluarga yang masih belum setuju, masalah keuangan, atau masalah waktu
pelaksanaan. Dalam hal penundaan tersebut cukup lama, maka perlu di cek kembali
apakah persetujuan tersebut masih berlaku atau tidak.

Pembatalan Persetujuan Yang Telah Diberikan

Prinsipnya, setiap saat pasien dapat membatalkan persetujuan mereka dengan


membuat surat atau pernyataan tertulis pembatalan persetujuan tindakan kedokteran.
Pembatalan tersebut sebaiknya dilakukan sebelum tindakan dimulai. Selain itu, pasien
harus diberitahu bahwa pasien bertanggungjawab atas akibat dari pembatalan persetujuan
tindakan. Oleh karena itu, pasien harus kompeten untuk dapat membatalkan persetujuan.

Kompetensi pasien pada situasi seperti ini seringkali sulit. Nyeri, syok atau pengaruh
obat-obatan dapat mempengaruhi kompetensi pasien dan kemampuan dokter dalam
menilai kompetensi pasien. Bila pasien dipastikan kompeten dan memutuskan untuk
membatalkan persetujuannya, maka dokter harus menghormatinya dan membatalkan
tindakan atau pengobatannya. Kadang-kadang keadaan tersebut terjadi pada saat tindakan
sedang berlangsung. Bila suatu tindakan menimbulkan teriakan atau tangis karena nyeri,
tidak perlu diartikan bahwa persetujuannya dibatalkan. Rekonfirmasi persetujuan secara
lisan yang didokumentasikan di rekam medis sudah cukup untuk melanjutkan tindakan.
Tetapi apabila pasien menolak dilanjutkannya tindakan, apabila memungkinkan, dokter
harus menghentikan tindakannya, mencari tahu masalah yang dihadapi pasien dan
menjelaskan akibatnya apabila tindakan tidak dilanjutkan. Dalam hal tindakan sudah
berlangsung sebagaimana di atas, maka penghentian tindakan hanya bisa dilakukan
apabila tidak akan mengakibatkan hal yang membahayakan pasien.

15
Lama Persetujuan Berlaku

Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap sah sampai dicabut kembali oleh
pemberi persetujuan atau pasien. Namun demikian, bila informasi baru muncul, misalnya
tentang adanya efek samping atau alternatif tindakan yang baru, maka pasien harus
diberitahu dan persetujuannya dikonfirmasikan lagi. Apabila terdapat jedah waktu antara
saat pemberian persetujuan hingga dilakukannya tindakan, maka alangkah lebih baik
apabila ditanyakan kembali apakah persetujuan tersebut masih berlaku. Hal-hal tersebut
pasti juga akan membantu pasien, terutama bagi mereka yang sejak awal memang masih
ragu-ragu atau masih memiliki pertanyaan.

 Perilaku Petugas Kesehatan


 Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat diukur dengan wawancara yang menanyakan


sesuatu yang ingin diukur tentang pengetahuan dari subjek penelitian (Notoatmodjo,
2018). Untuk mengukur pengetahuan dokter tentang Informed Consent maka perlu
diketahui pengertiannya tentang Informed Consent, manfaat seerta peraturan tertera
dalam uu no 36 tahun 2019.

 Sikap

. Allport (1954), seperti yang dikutip dari Notoatmodjo (2018), menjelaskan


bahwa sikap terdiri dari 3 komponen pokok yaitu :

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.


2. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
3. Kecendrungan untuk bertindak (trend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama–sama membentuk sikap yang utuh (total
attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini pengetahuan berpikir, keyakinan, dan
emosi memegang peranan penting,bahwa pasienlah yang harus memutuskan apakah
mereka akan melakukan suatu tindakan medis dan oleh petugas kesehatan memberi tahu
mengenai prosedur, risiko, dan efektifitas sehingga mereka bisa mengambil keputusan
yang tepat.

16
 Tindakan

adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi suatu perbuatan nyata. Tindakan
juga merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk nyata atau terbuka
(Notoatmodjo, 2018). Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk
tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh
orang lain. Oleh karena itu disebut juga over behavior.

2.7 Dasar Hukum Informed Consent

Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter,
dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan
kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang
bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan
hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu
pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan
medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter,
juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum
pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.

Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur
yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan
kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara
umum berlaku pada “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti
rugi”.Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolak ukur yang dipergunakan adalah
“kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu, adanya kesalahan kecil (ringan) pada
pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk menjatuhkan
sanksi pidana.

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan
medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan
persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan

17
digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena
pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;

Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya
pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu
tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan
pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa
tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.

Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa
“informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara
pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-
masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk
beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk
menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal
tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum
mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah
hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.

Adanya kewajiban dari pihak pemberi informasi dalam menyampaikan sebuah


persetujuan tindak medik yang akan dilakukan atau setelah dilakukan. Tentunya tenaga
kesehatan harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien/ keluarga
diminta atau tidak diminta. Informasi tersebut: harus dengan jelas yang berkaitan dengan
penyakit pasien ; prosedur diagnostik, tindakan/terapi, alternatif terapi dan pembiayaan
serta resiko yang mungkin timbul dari proses tersebut dan harus dijelaskan selengkap-
lengkapnya, kecuali dipandang merugikan pasien atau pasien menolak untuk diberikan
informasi. Informasi itu juga sewajarnya diberikan oleh tenaga kesehatan yang
melakukan tindakan atau tenaga kesehatan lain yang diberi wewenang, dan bila
dipandang perlu informasi bisa diberikan pada pihak keluarga pasien

Persetujuan dari pasien dari merupakan hal yang harus sangat diperhatikan, pasien tepat
tidak dibawah tekanan hubungan tenaga – pasien. Sebelum dan sesudahnya telah

18
mendapatkan informasi lengkap, dan pihak yang membuat persetujuan adalah mereka
pasien dewasa
(lebih dari 21 tahun atau sudah menikah ) atau dapat diwakilkan pihak Keluarga/ Wali/
induk semang.
Syarat sahnya persetujuan tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga medis
terhadap pasien, sejatinya pasien diberikan secara bebas, diberikan oleh orang yang
sanggup membuat perjanjian.Telah mendapatkan penjelasan dan memahaminya,
Mengenai susuatu hal yang khas dari persetujuan ini, tindakan dilakukan pada situasi
yang sama.
Tetapi penolakan (informed refusal) bisa juga dilakukan oleh pasien, karena merupakan
hak pasien/ keluarga pasien dan tiada satupun tenaga kesehatan yang bisa memaksa
sekalipun berbahaya bagi pasien maka sebaiknya pihak rumah sakit/ dokter meminta
pasien/ kel menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan medik tersebut di
lembaran khusus.
Seperti yang telah di atur dalam peraturan berikut:
 Undang-Undang Republik Indonesia no.36 tahun 2019
 Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).
 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2015 tentang
Penyelanggaraan Praktik Kedokteran.

2.8 Sanksi Hukum Informed Consent


Sanksi pidana
Apabila seorang tenaga kesehatan menorehkan benda tajam tanpa persetujuan
pasien dipersamakan dengan adanya penganiayaan yang dapat dijerat Pasal 351
KUHP
Sanksi perdata
Tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat
digugat dengan 1365, 1367, 1370, 1371 KUHPer
Sanksi administratif
Pasal 13 Pertindik mengatur bahwa :
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau
keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin praktik.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai
dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent”
melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi
dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau
Informed Consent”. Serta dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2014.

informed Consent yang diperoleh dengan tata cara yang tidak benar tidak dapat di anggap
sebagai penemu hak otonomi pasien, sehingga tindakan tersebut merupakan tindakan
melanggar hukum namun demikian pelaksanaan informed Consennt di indonesia hanya
dilakukan dengan mengindahkan nilai-nilai dalam budaya setempat yang sangat
bervariasi.

3.2 Saran
Dalam Hal ini semoga dapat membatu pengetahuan dan menambah ilmu
pengetahuan kita dalam kesehatan , dan yang terpenting adalah dalam hal ini Pemerintah
Bertanggung jawab merencanakan , mengatur, menyelenggarakan dan membina Serta
mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh
masayarakat. Juga sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh
masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, terhadap
Informed Consent agar kelak tidak terjadi perselisihan

20
DAFTAR PUSTAKA

Dyaswaranti, A., Sri Wahtini, S. K. M., & Kes, M. H. (2018). HUBUNGAN


PENERAPAN INFORMED CONSENT TERHADAP TINGKAT KEPUASAN
PASIEN DALAM PELAYANAN AKSEPTOR KB DI PUSKESMAS KALASAN
SLEMAN YOGYAKARTA (Doctoral dissertation, Universitas' Aisyiyah
Yogyakarta).

Guwandi,J.2014.Informed Consent&Informed Refusal 4th edition.Fakultas Kedokteran


Indonesia:Jakarta
Hendrik,SH.M.Kes.2020.Etika dan Hukum Kesehatan.Penerbit Buku Kedokteran EGC:
Jakarta

Permatasari, G., Antari, G. Y., & Yuliastuti, L. P. S. (2023). ANALISIS


PELAKSANAAN INFORMED CONSENT PADA PASIEN BERSALIN DI
PRAKTIK MANDIRI BIDAN ELY FARIDAH. Jurnal Kesehatan, 11(1), 71-79.

Zuhana, N., Budiarto, E., Prafitri, L. D., & Kristiyanti, R. (2023, May). Identification of
Informed Consent Implementation in Midwifery Services: A Description Study.
In 1st UMSurabaya Multidisciplinary International Conference 2021 (MICon
2021) (pp. 933-938). Atlantis Press.Permatasari, G., Antari, G. Y., & Yuliastuti,
L. P. S. (2023). ANALISIS PELAKSANAAN INFORMED CONSENT PADA
PASIEN BERSALIN DI PRAKTIK MANDIRI BIDAN ELY FARIDAH. Jurnal
Kesehatan, 11(1), 71-79.

21
Contoh Informed Consent

Nama Pasien :
Umur/Jenis Kelamin :
No.Rekam Medis :
Kelas/Kamar :
Tgl/Jam :

INFORMED CONSENT

SEKSIO SESAREA
Dokter pelaksana tindakan
Pemberi Informasi
Penerima informasi/pemberi
persetujuan *
JENIS INFORMASI ISI INFORMASI TANDA (√ )
1 Diagnosis (WD dan Gawat janin, panggul sempit, tumor jalan lahir,
DD) plasenta previa, preeklamsi

2 Dasar diagnosis Anamnesa, Pemeriksaan fisik, USG

3 Tindakan Kedokteran Sectio Caesaria

4 Indikasi Tindakan Indikasi ibu : panggul sempit, partus lama, riwayat


SC sebelumnya, perdarahan antepartum, tumor
jalan lahir, preeklamsi
Indikasi janin : gawat janin, malpresentasi
kehamilan kembar

5 Tata Cara Insisi perut (Seksio sesarea)

6 Tujuan Mengeluarkan janin dengan cara insisi perut

7 Risiko Robekan rahim (4,8 – 10,1%), kehilangan darah > 1


liter (7,3 % - 9,2%), cedera kandung kemih, usus
(0,5%-0,8%), angkat rahim (0,7-0,8%), perawatan
ICU (0,9%), kematian ibu (1/12000)

8 Komplikasi Infeksi dalam rahim (5,2%), infeksi luka operasi


(3,9%)

9 Prognosis Ad bonam

10 Alternatif -
Lain-lain
Dengan ini menyatakan bahwa saya Dokter……………….. telah menerangkan hal- Tandatangan
hal di atas secara benar dan jelas dan memberikan kesempatan untuk bertanya
dan/atau berdiskusi

Dengan ini menyatakan bahwa saya/keluarga pasien ……………………. telah Tandatangan


menerima informasi sebagaimana di atas yang saya beri tanda/paraf di kolom
kanannya serta telah diberi kesempatan untuk bertanya/berdiskusi, dan telah
memahaminya

* Bila pasien tidak kompeten atau tidak mau menerima informasi, maka penerima informasi adalah
wali atau keluarga terdekat

Jl. Danau Sunter Utara, Sunter Paradise I, Jakarta 14350


T. (+6221) 6400261 F. (+6221) 6400778 email : info@royalprogress.com www.royalprogress.com

Anda mungkin juga menyukai