“INFORMED CONSENT”
Oleh :
Eka Putri Damayanti
Nim: 2022206206005
FAKULTAS KESEHATAN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya penulis
akhirnya dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu. Dan dengan mengucap puji
syukur atas curahan kasih karunia-Nya kepada penulis, terutama ilmu dan akal sehat
sehingga dengan ijin-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang
berjudul “INFORMED CONSENT”
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini penuh
keterbatasan dan masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, saran yang konstruktif
merupakan bagian yang tak terpisahkan dan senantiasa kami harapkan demi
penyempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi banyak pihak. Allahumma Amin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER.....................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.3 . Tujuan................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
3.1. Kesimpulan.........................................................................................................15
3.2. Saran...................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................16
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Pada hakikatnya, persetujuan atas dasar informasi atau dikenal dengan istilah
informed consent, merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri yang
berfungsi di dalam pelayanan kesehatan. Penentuan nasib sendiri adalah nilai dan sasaran
dari informed consent, dan intisari dari permasalahan informed consent adalah alat.
Secara konkret persyaratan informed consent ditujukan untuk setiap tindakan baik yang
bersifat diagnostic ataupun terapeutik, dan pada dasarnya senantiasa diperlukan
persetujuan pasien yang bersangkutan. Agar pemberian pertolongan dapat berfungsi di
dalam pelayanan medis, para pemberi pertolongan perlu memberikan informasi atau
keterangan pada pasien tentang keadaan dan situasi kesehatannya. Hubungan antara
informasi dan persetujuan dinyatakan dalam istilah informed consent. Serta bisa disebut
juga persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Aspek utama Informed
Consent adalah memberikan perlindungan kepada pasien serta memberi perlindungan
hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif.
Secara aspek hukum informed consent dapat disimpulkan yaitu persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga atas dasar informasi dan penjelasan mengenai
1
tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien yang tertera dalam Permenkes No
290/MENKES/PER/III/2018 Pasal 1 Ayat (1). Tujuan Informed Consent adalah
melindungi hak individu untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination).
Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan baik antara Dokter dan
pasien akan sama-sama terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat perbuatan
diluar peraturan yang sudah dibuat tentu dianggap melanggar hukum. Dalam pelanggaran
Informed Consent telah diatur dalam pasal 19 Permenkes No. 290 Tahun 2018 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap dokter yang melakukan tindakan
tanpa Informed Consent dapat dikenakan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis
sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik.
2
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui Bentuk- bentuk dan unsur informed
consent
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui bagaimana tata laksana informed
consent
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui aspek-aspek penting dalam
informed consent
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui dasar hukum informed consent
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui sanksi hukum terhadap informed
consent
3
BAB II
PEMBAHASAN
Informed Consent adalah istilah yang telah diterjemahkan dan lebih sering
disebut dengan Persetujuan Tindakan Medik. Secara harfiah, Informed Consent terdiri
dari dua kata, yaitu : Informed dan Consent. Informed berarti telah
mendapatinformasi/penjelasan/keterangan. Consent berarti memberi persetujuan atau
mengizinkan. Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan
sebagai “suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan
dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis
yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko
yang mungkin terjadi.
Pengertian yang lebih luas terkait informed consent yakni adalah memberi izin
atau wewenang kepada seseorang untuk melakukan suatu informed consent(IC),dengan
demikian berarti suatu pernyataan setuju atau izin oleh pasien atau secara sadar, bebas
dan rasional setelah memperoleh informasi yang dipahaminya, dari tenaga
kesehatan/doker yang memahami tentang penyakitnya. Kata dipahami harus digaris
bawahi atau ditekankan, karena pemahaman suatu informasi oleh tenaga kesehatan/dokter
belum tentu dipahami juga oleh pasien. Harus diingat bahwa yang terpenting adalah
pemahaman oleh pasien (Hendrik, 2020,hal.57).
4
pemeriksaan, pengobatan dan tindakan medik apapun yang akan dilakukan. Dan kedua
membicarakan Persetujuan Tindakan Medik dari pengertian khusus, adalah Persetujuan
Tindakan Medik yang dikaitkan dengan persetujuan atau izin tertulis dari pasien/keluarga
pada tindakan operatif, lebih dikenal sebagai Surat Izin Operasi (SIO), surat perjanjian
dan lain–lain, istilah yang dirasa sesuai oleh rumah sakit tersebut (Amri, 2019).
5
Dari pernyataan diatas, timbul persepsi di kalangan para tenaga kesehatan bahwa
tampaknya kewajiban itu hanya membebani para tenaga kesehatan, sedangkan risiko yang
dihadapi dalam pelayanan medis tertentu tergolong tinggi. Dalam hal ini, informed
consent diartikan sebagai perwujudan prinsip mengutamakan kepentingan pasien, tetapi
kepentingan tenaga kesehatan tersebut terabaikan. Selain itu, ada juga yang menafsirkan
bahwa informed consent secara tertulis dari pasien dapat dijadikan alat bukti ada tidaknya
kesalahan dalam tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Didasarkan pada
asas tidak merugikan, penetapan syarat informed consent justru bertujuan agar tenaga
kesehatan dapat menghindarkan risiko sekecil apapun demi kepentingan pasiennya.
6
Pada prinsipnya informed consent diberikan di setiap pengobatan oleh dokter.
Akan tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-
kasus sebagai berikut :
1. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi
2. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi
baru yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
3. dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek
samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll.
4. dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
5. dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan
eksperimen dengan berobjekan pasien.
Tujuan lain dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang
cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed
consent juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan
nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua
informasi yang ia perlukan sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat.
Kekecualian dapat dibuat apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan
guncangan psikis pada pasien.
Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan / tujuannya dibagi tiga,
yaitu:
7
a. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek
penelitian)
b. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis;
c. Yang bertujuan untuk terapi.
1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (Implied Consent), yaitu bisa dalam
keadaan normal (biasa) atau darurat, umumnya tindakan yang biasa dilakukan
atau sudah diketahui umum misal menyuntik pasien. Bila pasien dalam
keadaan gawat darurat ”Emergency” memerlukan tindakan segera, sementara
pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya
pun tidak ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan edik terbaik
menurut dokter (Permenkes No. 585 tahun 1989, pasal 11).
2. Dinyatakan (Expressed Consent), yaitu persetujuan dinyatakan secara lisan
atau tertulis. Persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan medis yang
tidak mengandung resiko tinggi seperti pencabutan kuku, sedangkan
persetujuan secara tertulis mutlak diperlukan pada tindakan medis yang
mengandung resiko tinggi seperti tindakan pembedahan perlu surat
pernyataan dari pasien/keluarga. (Amri, 2019).
1. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau efek
samping yang bermakna;
2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi;
3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi
kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien;
4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.
8
1. Pengungkapan dan penjelasan (disclosure and explanation) kepada pasien
dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh pasiennya tentang:
Penegakan diagnosis;
Sifat dan prosedur atau tindakan medic yang diusulkan;
Kemungkinan timbulnya resiko;
Manfaatnya;
Alternative (jika ada)
2. a. memastikan bahwa pasien mengerti apa yang telah dijelaskan
kepadanya(harus diperhitungkan tingkat intelektualnya)
b. bahwa pasien menerima risiko-risiko tersebut
c. bahwa pasien mengizinkan dilakukan prosedur atau tindakan medic
tersebut
3. harus didokumentasikan (dalam bentuk rekam medis atau medical record)
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3
(tiga) unsure sebagai berikut :
9
berupa pencabutan surat izin praktik, Berarti, keharusan adanya Informed Consent secara
tertulis dimaksudkan guna kelengkapan administrasi Rumah Sakit yang bersangkutan.
Informasi
Bagian yang terpenting dalam Informed Consent adalah mengenai informasi atau
penjelasan yang perlu disampaikan kepada pasien atau keluarga. Yaitu informasi
mengenai apa (what) yang harus disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan
dengan penyakit pasien. Tindakan apa yang akan dilakukan tentunya prosedur tindakan
yang akan dijalani baik diagnostik maupun terapi dan lain – lain sehingga pasien/keluarga
dapat memahaminya. Ini mencakup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan
dilaksanakan dan alternatif terapi. Mengenai kapan (when) disampaikan, tergantung pada
waktu yang tersedia setelah dokter akan memutuskan akan melakukan tindakan invasif
dimaksudkan.
10
Pasien/keluarganya harus diberi waktu yang cukup untuk menentukan
keputusannya. Siapa (who) yang menyampaikan, tergantung dari jenis tindakan yang
akan dilakukan. Dalam Permenkes dijelaskan dalam tindakan bedah dan tindakan invasif
lainnya harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan. Dalam keadaan
tertentu dapat pula oleh dokter lain atas sepengetahuan dan petunjuk dokter yang
bertanggung jawab. Bila bukan tindakan bedah atau invasif sifatnya, dapat disampaikan
oleh dokter atau perawat. Mengenai informasi yang mana (which) yang harus
disampaikan, dalam Permenkes dijelaskan haruslah yang selengkap–lengkapnya, kecuali
dokter menilai informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau
pasien menolak memberikan informasi. Bila perlu informasi dapat diberikan kepada
keluarga pasien (Amri, 2019).
Menurut Kerbala (2022), fungsi informasi dokter kepada pasien sebelum pasien
memberikan consent-nya, dapat dibedakan atas :
Berfungsi sebagai perlindungan atas hak pasien untuk menentukan diri sendiri.
Dalam arti bahwa pasien berhak penuh untuk diterapkannya suatu tindakan medis atau
tidak.
Dilihat dari pihak dokter maka informasi dalam proses Informed consent pun
mempunyai fungsi yang tidak kecil. Azwar (2011) mengemukan ada 5 hal pentingnya
fungsi informasi terlebih dokter:
11
hal yang terbaik dengan landasan informasi dokter tadi, sehingga tindakan-tindakan
medis pun akan lancar dijalani oleh kedua pihak karena keduanya telah memahami
kegunaan semua tindakan medis itu.
Dengan penyampaian informasi yang baik akan memberi dampak yang baik
dalam komunikasi dokter pasien terutama dalam menerapkan terapi. Misal dokter
sebelum menyuntik pasien dengan penisilin bertanya, apakah pasien alergi terhadap
penisilin? Bila pasien memang alergi maka akibat/risiko yang besar jika terjadi
anafilaktik shock dapat dihindari. Betapa risiko besar itu akan menimpa pasien bila
dokter tidak bertanya kepada pasien.
Keberhasilan meningkatkan mutu pelayanan disini adalah sebagai akibat dari lancarnya
tindakan kedokteran, berkurangnya akibat sampingan dan komplikasi serta cepatnya
proses pemulihan dan penyembuhan penyakit.
12
Menurut Guwandi (2014), informasi yang harus diberikan sebelum dilakukan
tindakan operasi oleh dokter kepada pasien atau keluarga adalah yang berkenaan dengan :
Persetujuan
Inti dari persetujuan adalah persetujuan harus didapat sesudah pasien mendapat informasi
yang adekuat. Berpedoman pada uu no.36 tahun 2019 tentang persetujuan tindakan
medik maka yang menandatangani perjanjian adalah pasien sendiri yang sudah dewasa
(diatas 21 tahun atau sudah menikah) dan dalam keadaan sehat mental. Dalam banyak
perjanjian tindakan medik yang ada selama ini, penandatanganan persetujuan ini sering
tidak dilakukan oleh pasien sendiri, tetapi lebih sering dilakukan oleh keluarga pasien.
Hal ini mungkin berkaitan dengan kesangsian terhadap kesiapan mental pasien untuk
menerima penjelasan tindakan operasi dan tindakan medis yang invasive tadi serta
keberanian untuk menandatangani surat tersebut, sehingga beban demikian diambil alih
oleh keluarga pasien.
Tindakan medis yang diambil oleh dokter tanpa persetujuan pasien terlebih
dahulu, meski untuk kepentingan pasien tetap tidak dapat dibenarkan secara etika
kedokteran dan hukum, sebagaimana telah ditegaskan oleh fatwa IDI tentang Informed
Consent (dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan
kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien itu sendiri).
13
1. Persetujuan Tertulis
2. Persetujuan Lisan
Terhadap tindakan medik yang tidak invasif dan tidak mengandung resiko besar
maka persetujuan dari pasien dapat disampaikan secara lisan kepada dokter. Segi praktis
dan kelancaran pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan alasan dari
penyampaian persetujuan itu secara tertulis. Meski persetujuan lisan itu diperbolehkan
untuk tindakan, dokter membiasakan diri untuk menulis/mencatat persetujuan lisan pasien
itu pada rekam medis/rekam kesehatan, karena segala kegiatan yang dilakukan oleh
dokter harus dicatat dalam rekam medis termasuk persetujuan pasien secara lisan.
Penolakan(Informed Refusal)
14
Meskipun demikian, suatu penolakan dapat mengakibatkan dokter meneliti kembali
kapasitasnya, apabila terdapat keganjilan keputusan tersebut dibandingkan dengan
keputusan-keputusan sebelumnya. Dalam setiap masalah seperti ini rincian setiap diskusi
harus secara jelas didokumentasikan dengan baik.
Penundaan Persetujuan
Kompetensi pasien pada situasi seperti ini seringkali sulit. Nyeri, syok atau pengaruh
obat-obatan dapat mempengaruhi kompetensi pasien dan kemampuan dokter dalam
menilai kompetensi pasien. Bila pasien dipastikan kompeten dan memutuskan untuk
membatalkan persetujuannya, maka dokter harus menghormatinya dan membatalkan
tindakan atau pengobatannya. Kadang-kadang keadaan tersebut terjadi pada saat tindakan
sedang berlangsung. Bila suatu tindakan menimbulkan teriakan atau tangis karena nyeri,
tidak perlu diartikan bahwa persetujuannya dibatalkan. Rekonfirmasi persetujuan secara
lisan yang didokumentasikan di rekam medis sudah cukup untuk melanjutkan tindakan.
Tetapi apabila pasien menolak dilanjutkannya tindakan, apabila memungkinkan, dokter
harus menghentikan tindakannya, mencari tahu masalah yang dihadapi pasien dan
menjelaskan akibatnya apabila tindakan tidak dilanjutkan. Dalam hal tindakan sudah
berlangsung sebagaimana di atas, maka penghentian tindakan hanya bisa dilakukan
apabila tidak akan mengakibatkan hal yang membahayakan pasien.
15
Lama Persetujuan Berlaku
Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap sah sampai dicabut kembali oleh
pemberi persetujuan atau pasien. Namun demikian, bila informasi baru muncul, misalnya
tentang adanya efek samping atau alternatif tindakan yang baru, maka pasien harus
diberitahu dan persetujuannya dikonfirmasikan lagi. Apabila terdapat jedah waktu antara
saat pemberian persetujuan hingga dilakukannya tindakan, maka alangkah lebih baik
apabila ditanyakan kembali apakah persetujuan tersebut masih berlaku. Hal-hal tersebut
pasti juga akan membantu pasien, terutama bagi mereka yang sejak awal memang masih
ragu-ragu atau masih memiliki pertanyaan.
Sikap
Ketiga komponen ini secara bersama–sama membentuk sikap yang utuh (total
attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini pengetahuan berpikir, keyakinan, dan
emosi memegang peranan penting,bahwa pasienlah yang harus memutuskan apakah
mereka akan melakukan suatu tindakan medis dan oleh petugas kesehatan memberi tahu
mengenai prosedur, risiko, dan efektifitas sehingga mereka bisa mengambil keputusan
yang tepat.
16
Tindakan
adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi suatu perbuatan nyata. Tindakan
juga merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk nyata atau terbuka
(Notoatmodjo, 2018). Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk
tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh
orang lain. Oleh karena itu disebut juga over behavior.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter,
dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan
kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang
bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan
hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu
pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan
medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter,
juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum
pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur
yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan
kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara
umum berlaku pada “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti
rugi”.Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolak ukur yang dipergunakan adalah
“kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu, adanya kesalahan kecil (ringan) pada
pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk menjatuhkan
sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan
medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan
persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan
17
digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena
pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya
pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu
tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan
pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa
tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa
“informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara
pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-
masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk
beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk
menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal
tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum
mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah
hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.
Persetujuan dari pasien dari merupakan hal yang harus sangat diperhatikan, pasien tepat
tidak dibawah tekanan hubungan tenaga – pasien. Sebelum dan sesudahnya telah
18
mendapatkan informasi lengkap, dan pihak yang membuat persetujuan adalah mereka
pasien dewasa
(lebih dari 21 tahun atau sudah menikah ) atau dapat diwakilkan pihak Keluarga/ Wali/
induk semang.
Syarat sahnya persetujuan tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga medis
terhadap pasien, sejatinya pasien diberikan secara bebas, diberikan oleh orang yang
sanggup membuat perjanjian.Telah mendapatkan penjelasan dan memahaminya,
Mengenai susuatu hal yang khas dari persetujuan ini, tindakan dilakukan pada situasi
yang sama.
Tetapi penolakan (informed refusal) bisa juga dilakukan oleh pasien, karena merupakan
hak pasien/ keluarga pasien dan tiada satupun tenaga kesehatan yang bisa memaksa
sekalipun berbahaya bagi pasien maka sebaiknya pihak rumah sakit/ dokter meminta
pasien/ kel menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan medik tersebut di
lembaran khusus.
Seperti yang telah di atur dalam peraturan berikut:
Undang-Undang Republik Indonesia no.36 tahun 2019
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2015 tentang
Penyelanggaraan Praktik Kedokteran.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai
dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent”
melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi
dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau
Informed Consent”. Serta dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2014.
informed Consent yang diperoleh dengan tata cara yang tidak benar tidak dapat di anggap
sebagai penemu hak otonomi pasien, sehingga tindakan tersebut merupakan tindakan
melanggar hukum namun demikian pelaksanaan informed Consennt di indonesia hanya
dilakukan dengan mengindahkan nilai-nilai dalam budaya setempat yang sangat
bervariasi.
3.2 Saran
Dalam Hal ini semoga dapat membatu pengetahuan dan menambah ilmu
pengetahuan kita dalam kesehatan , dan yang terpenting adalah dalam hal ini Pemerintah
Bertanggung jawab merencanakan , mengatur, menyelenggarakan dan membina Serta
mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh
masayarakat. Juga sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh
masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, terhadap
Informed Consent agar kelak tidak terjadi perselisihan
20
DAFTAR PUSTAKA
Zuhana, N., Budiarto, E., Prafitri, L. D., & Kristiyanti, R. (2023, May). Identification of
Informed Consent Implementation in Midwifery Services: A Description Study.
In 1st UMSurabaya Multidisciplinary International Conference 2021 (MICon
2021) (pp. 933-938). Atlantis Press.Permatasari, G., Antari, G. Y., & Yuliastuti,
L. P. S. (2023). ANALISIS PELAKSANAAN INFORMED CONSENT PADA
PASIEN BERSALIN DI PRAKTIK MANDIRI BIDAN ELY FARIDAH. Jurnal
Kesehatan, 11(1), 71-79.
21
Contoh Informed Consent
Nama Pasien :
Umur/Jenis Kelamin :
No.Rekam Medis :
Kelas/Kamar :
Tgl/Jam :
INFORMED CONSENT
SEKSIO SESAREA
Dokter pelaksana tindakan
Pemberi Informasi
Penerima informasi/pemberi
persetujuan *
JENIS INFORMASI ISI INFORMASI TANDA (√ )
1 Diagnosis (WD dan Gawat janin, panggul sempit, tumor jalan lahir,
DD) plasenta previa, preeklamsi
9 Prognosis Ad bonam
10 Alternatif -
Lain-lain
Dengan ini menyatakan bahwa saya Dokter……………….. telah menerangkan hal- Tandatangan
hal di atas secara benar dan jelas dan memberikan kesempatan untuk bertanya
dan/atau berdiskusi
* Bila pasien tidak kompeten atau tidak mau menerima informasi, maka penerima informasi adalah
wali atau keluarga terdekat