Ketidakpuasan, keluhan, dan tuntutan oleh pasien dari seorang dokter yang dianggap telah
melakukan kesalahan baik dalam diagnosis maupun terapi menjadi fenomena yang cukup
marak hari ini. Walaupun dokter telah bekerja keras begitu juga dengan pihak pelayanan
kesehatan yang telah menyediakan fasilitas prima, namun, ketidakpuasan dan keluhan pasien
maupun keluarga tetap relatif tinggi, dan tidak dapat dipungkiri, hal ini menjadi fenomena
umum bahwa pasien dewasa ini telah menjadi lebih kritis. Fenomena ini, di sisi lain,
disebabkan oleh kurangnya hubungan komunikasi yang baik antara dokter dengan pasien, yang
akhirnya berujung di meja hijau.1
Hilangnya nyawa dan fungsi seseorang dalam masyarakat akiat kekerasan juga menjadi
fenomena umum di masyarakat. Masyarakat membutuhkan investigasi dari trauma yang
dideritanya yang berkaitan dengan tindakan kriminal. Dalam hal ini, seringkali dokter tidak
menguasai prinsip dan filosofi dari forensik. Namun, untuk melakukan pemeriksaan klinis,
seorang ahli dalam bidang kesehatan baik pendidikan dasar, pengalaman, dan keterampilannya,
harus setara dengan klinisi kedokteran. Ketika seorang klinisi menghadapi suatu kasus tidak
biasa yang menuntut adanya evaluasi ulang yang lebih mendalam, maka peran forensik klinik
adalah menghadapi kasus-kasus semacam ini.3
Falsafah mengenai Pelayanan Kedokteran forensik dan medikolegal secara garis besar
adalah seagai berikut:4, 5
Sementara itu, dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP menjelaskan, bahwa yang dimaksud
dengan keterangan saksi ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan. Apabila peradilan dihadapkan pada kasus-kasus
yang berhubungan dengan luka, dokter forensik sangat berperan dalam penegakan hukum
untuk mengungkapkan barang bukti yang dapat berupa tubuh atau bagian dari tubuh
manusia. Cara yang dapat dilakukan untuk pembuktian perkara pidana antara lain adalah
meminta bantuan dokter sebagai saksi yang dapat membuat keterangan tertulis dalam
bentuk visum et repertum dan memberikan keterangan dipersidangan sebagai saksi ahli.
Visum et repertum dibuat berdasarkan peraturan pasal 120, 179, dan 133 ayat 1 KUHAP
sedangkan keterangan yang memperjelas ahli kedokteran kehakiman sebagai saksi ahli
disebutkan dalam KUHAP pasal 133 ayat (1): “Dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya”.7
Istilah kedokteran klinik dibahas dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Kedokteran Kepolisian sebagai berikut:9
Pasal 1 ayat (3): Kedokteran Forensik adalah salah satu cabang ilmu kedokteran yang
mempelajari dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran untuk
kepentingan hukum dan peradilan.
Pasal 1 ayat (11): Forensik Klinik adalah bagian ilmu kedokteran forensik yang
mempelajari segala sesuatu yang berkaitan status klinik seseorang untuk kepentingan
hukum dan peradilan.
Pasal 6: tentang kemampuan dokter forensik, meliputi
Olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) Aspek Medik, antara lain:
1. pemeriksaan awal terhadap korban di TKP; dan
2. penanganan barang bukti non medik yang menempel pada tubuh korban dan
barang bukti medik;
Forensik Klinik, antara lain:
1. pemeriksaan korban hidup;
2. pemeriksaan laboratorium kedokteran forensik;
3. pemeriksaan toksikologi kedokteran forensik; dan
4. pemeriksaan uji kelayakan kesehatan;
Kedokteran Klinik juga dibahas pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional
dalam pasal 20 ayat (4) sebagai berikut:12
“Jenis pelayanan kedokteran forensik klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h
meliputi pembuatan visum et repertum atau surat keterangan medik berdasarkan
pemeriksaan forensik orang hidup dan pemeriksaan psikiatri forensik.”
Di Inggris dan beberapa negara lain (termasuk Amerika Serikat, Kanada, dan India)
terminologi forensik klinik dideskripsikan sebagai pelayanan forensik yang dilakukan oleh
dokter dari disiplin ilmu non-forensik (dokter bedah, kegawatdaruratan, kandungan, dll.).15
Dapat diamati adanya terminologi yang tidak konsisten dalam pendeskripsian praktik yang
serupa, sehingga tidak mengherankan jika peranan dan lingkup kerja kedokteran forensik dapat
beragam antar negara. Kedokteran forensik klinik merujuk pada cabang ilmu kedokteran
meliputi interaksi antara hukum, peradilan, dan pihak kepolisian, umumnya melibatkan korban
hidup. Kedokteran forensik klinik merupakan terminologi yang baru umum digunakan sejak
sekitar dua decade terakhir, walaupun pernyataan mengenai forensik klinik telah disebutkan
sejak tahun 1951 ketika Association of Police Surgeons, yang sekarang dikenal sebagai
Association of Forensic Physicians—badan yang berbasis di Inggris—pertama kali didirikan.16
Secara umum, sistem pelayanan kedokteran forensik dapat diklasifikasikan ke dalam dua
kategori utama. Kategori pertama adalah tipe “pelayanan terintegrasi”.17 Dalam pelayanan tipe
ini, ahli kedokteran forensik melakukan investigasi terhadap kematian dan perlukaan yang
berkenaan dengan dugaan tindakan kriminal. Pelayanan ini meliputi autopsi medikolegal
(patologi forensik), dan pemeriksaan korban hidup kekerasan fisik dan seksual, yang termasuk
ke dalam lingkup terminologi kedokteran forensik klinik. Tipe pelayanan terintegrasi ini juga
dapat mencakup pelayanan konsultasi terkait etik medis dan malpraktik, dan pemeriksaan
laboratorium forensik, yang berkaitan dengan serologi atau genetika forensik.13
Pelayanan kedokteran forensik kategori kedua adalah “tipe terbagi”. Dalam pelayanan tipe
ini tugas-tugas yang dikerjaan oleh satu tenaga ahli dalam sistem terintegrasi akan ditangani
oleh tenaga ahli yang berbeda-beda dalam cakupan kedokteran forensik. Patolog forensik,
umumnya bekerja dalam sistem pemeriksaan medis (contohnya di Amerika Serikat, Inggris,
Australia, dan Selandia Baru) akan menangani investigasi kematian secara khusus, umumnya
yang berhubungan dengan autopsi jenazah.14 Pemeriksaan forensik klinik, dan terkadang
konsultasi medikolegal, ditangani oleh dokter umum, dokter kepolisian, atau dokter spesialis
lainnya yang bersangkutan dengan kasus (contohnya spesialis kandungan dalam kasus
kekerasan seksual). Dalam sistem pelayanan terbagi, forensik klinik tidak terkait dengan
patologi forensik dan diakui sebagai sub bagian dari kedokteran forensik. Tipe sistem
pelayanan forensik di berbagai negara disajikan dalam Tabel 1.13, 15
Dengan adanya perbedaan dalam praktiknya, maka kode etik dan pedoman praktik klinis
yang spesifik menjadi sulit untuk dirumuskan secara umum. Maka, tidak mengherankan
praktik kedokteran forensik saat ini cenderung berbasis pengalaman, turun-temurun dari
praktisi sebelumnya dalam lingkup fasilitas kesehatan secara individualistik. Namun, secara
garis besar cakupan kerja forensik klinik terangkum dalam Tabel 2.12, 16, 18
a. Standar Kompetensi
Di Indonesia, dokter umum dianggap cukup kompeten untuk menangani kasus
forensik klinik. Tidak ada spesifikasi apapun dalam hal ini. Ketika berhadapan dengan
kasus yang membutuhkan tenaga spesialis dari disiplin ilmu lain, maka korban akan
dirujuk pada tenaga ahli yang bersangkutan. Contohnya, dalam kasus korban kekerasan
dalam rumah tangga dengan gangguan psikologis, maka korban akan dirujuk ke
psikiatris. Praktik forensik klinik di Indonesia meliputi pembuatan Visum et Repertum
korban hidup terkait kasus kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, atau
kekerasan pada anak pada konteksnya dalam peradilan. Saat ini, di Indonesia, forensik
patologi dan forensik klinik tidak dipisahkan sebagai dua bagian yang independen tapi
sebagai satu entitas.19
Seorang dokter spesialis forensik memiliki kompetensi untuk melakukan keduanya
ketika dibutuhkan. Praktik forensik klinik hanya dilakukan ketika ada permintaan dari
polisi. Jika ada kasus dalam cakupan forensik klinik tanpa adanya permintaan
pembuatan Visum et Repertum dari polisi, maka pemeriksaan tidak dapat dilakukan,
korban akan diperlakukan seperti pasien lainnya. Standarisasi prosedur operasional
praktik forensik klinik secara internasional diatur oleh World Health Organization
(WHO) yang kemudian diadaptasi ke dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan
(PNPK) di Indonesia, sedangkan standar kompetensi praktik forensik klinik di
Indonesia dijabarkan dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia.5, 19, 20 Dalam SKDI
terdapat penjelasan seperti berikut: “Membuat surat keterangan medis seperti surat
keterangan sakit, sehat, kematian, laporan kejadian luar biasa, laporan medikolegal
serta keterangan medis lain sesuai kewenangannya termasuk Visum et Repertum dan
identifikasi jenasah”. Hal ini menunjukan bahwa dokter umum juga dituntut untuk
memiliki kompetensi dalam menangani kasus-kasus forensik klinik.20
Dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia, daftar kompetensi yang termasuk ke
dalam kelompok forensk klinik adalah pemeriksaan selaput dara, pemeriksaan anus,
deskripsi luka, dan pemeriksaan derajat luka. Keseluruhan standar kompetensi yang
bersinggungan dengan kedokteran forensik dan medikolegal tersaji dalam Tabel 3.5, 20
Tabel 3. Standar kompetensi kedokteran forensik dan medikolegal.
3. Puskesmas
Upaya pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal di Puskesmas
ditujukan memberikan pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal yang
bersifat dasar, seperti pelayanan pemeriksaan mayat, pemeriksaan korban
kekerasan fisik dan seksual, tata laksana barang bukti dan pelayanan
laboratorium forensik sederhana. Puskesmas juga diharapkan dapat
memberikan pembinaan kepada masyarakat dan melaksanakan sistem rujukan
sesuai kebutuhan dan ketentuan yang berlaku. Karena distribusi spesialis
kedokteran forensik dan dokter umum terlatih belum merata di seluruh
Indonesia, dimungkinkan pelayanan kedokteran forensik extra-mural (keliling)
ke tempat kejadian perkara yang memerlukannya.5, 18
d. Shift jaga
e. Biaya Dasar
Pembiayaan pelayanan forensik klinik, berdasarkan Pedoman Pelayanan
Kedokteran Forensik, berasal dari berbagai macam sumber, diantaranya sebagai
berikut: biaya sendiri, pemerintah pusat (APBN), pemerintah daerah (APBD), asuransi,
perusahaan atau instansi, dan/atau kedutaan asing. Pola tariff yang dibebankan
termasuk biaya konsultasi dokter, psikolog, dan tindakan (jasa medik,rumah sakit,
pemulasaraan dan pengawetan jenazah, bahan dan alat, pemeriksaan penunjang,
transportasi jenazah, dan pengurusan dokumen terkait).5
1. Mohammadnia, Mona. The role and importance of the clinical Forensic Medicine in
hospital. Conference: 5th Annual Iranian International Congress of Forensic Medicine, At
Tehran-IRAN, Volume: 5th. 2016.
2. Sharma, B. Clinical forensic medicine – management of crime victims from trauma to
trial. Journal of Clinical Forensic Medicine. 2003;10(4): 267–273.
3. Payne-James JJ. History and development of forensic medicine and pathology. In: Payne-
James JJ, Busuttil A, Smock W (eds.) Forensic Medicine: Clinical and Pathological
Aspects. London: Greenwich Medical Media, 2003.
4. Van niekerk AA. “Ethics theories and the Principlist Approach in Bioethics”. In
Moodley, K. Medical Ethics, Law and Human Rights. 2011. Pretoria: Van Schaik
Publishers
5. Persatuan Dokter Forensik Indonesia. Pedoman Pelayanan Forensik dan Medikolegal di
Rumah Sakit. 2017.
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
7. Hartanto, Murofiqudin. Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia dengan
Undang-Undang Pelengkapnya. 2001. Surakarta: Muhamadiyah University Press.
8. Harahap Y. Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. 1993. Jakarta:
Pustaka Kartini.
9. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Kedokteran Kepolisian
10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008
tentang Rekam Medis.
11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 tentang
Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
12. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013 tentang
Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional.
13. Meilia, PDI, Freeman MD, Herkutanto, Zeegers MP. A review of the diversity in
taxonomy, definitions, scope, and roles in forensic medicine: implications for evidence-
based practice. Forensic Sci Med Pathol. 2018; 14(4): 460–468.
14. Al-Waheeb S, Al-Kandary N, Aljerian K. Forensic autopsy practice in the Middle East:
comparisons with the west. J Forensic Legal Med. 2015;32:4–9.
15. Stark MM, Norfolk GA. Training in clinical forensic medicine in the UK - perceptions
of current regulatory standards. J Forensic Legal Med. 2011;18:264–75.
16. Payne-James JJ. The History and Development of Clinical Forensic Medicine
Worldwide. In: Stark MM (ed.) Clinical Forensic Medicine: A Physician’s Guide, 3rd
Edition. 2011. New Jersey: Humana Press.
17. Al Madani OM, Kharoshah MAA, Zaki MK, Galeb SS, Al Moghannam SA, Moulana
AAR. Origin and development of forensic medicine in the Kingdom of Saudi Arabia. Am
J Forensic Med Pathol. 2012;33:147–51
18. Syukriani Y. Pelayanan Kedokteran Forensik di Tingkat Primer. Prosiding Pertemuan
Ilmiah Tahunan 2017 Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia. 2017.
19. Gopalakrishnan HN, Syukriani YF, Setiawati EP. Forensic Experts' Opinion Regarding
Clinical Forensic Medicine Practice in Indonesia and Malaysia. J Forensic Sci Med.
2016;2:85-90.
20. Mukti AG, Herman RB, Kusumawati W, Hernowo BS, Trisna DV, Aras I, et al. Standar
Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia. 2012.
21. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit Bhayangkara.