Anda di halaman 1dari 19

FORENSIK KLNIK

Latar Belakang Filosofis

Ketidakpuasan, keluhan, dan tuntutan oleh pasien dari seorang dokter yang dianggap telah
melakukan kesalahan baik dalam diagnosis maupun terapi menjadi fenomena yang cukup
marak hari ini. Walaupun dokter telah bekerja keras begitu juga dengan pihak pelayanan
kesehatan yang telah menyediakan fasilitas prima, namun, ketidakpuasan dan keluhan pasien
maupun keluarga tetap relatif tinggi, dan tidak dapat dipungkiri, hal ini menjadi fenomena
umum bahwa pasien dewasa ini telah menjadi lebih kritis. Fenomena ini, di sisi lain,
disebabkan oleh kurangnya hubungan komunikasi yang baik antara dokter dengan pasien, yang
akhirnya berujung di meja hijau.1

Mayoritas praktisi kesehatan seringkali salah interpretasi dengan terminologi forensik.


Berdasarkan Kamus Kedokteran Tabor’s Cyclopedic, istilah forensik (Latin: sebuah forum)
diartikan sebagai ‘berkaitan dengan hukum’, yang secara spesifik berhubungan dengan ‘debat
publik di pengadilan’. Karenanya, sub-ilmu apapun yang memiliki spesialiasi dalam wilayah
hukum adalah prinsip dari ilmu forensik. Ketika dunia hukum dan dunia medis bertemu, itulah
kasus yang disebut dengan medikolegal (legal-medicine) atau kasus forensik.2

Hilangnya nyawa dan fungsi seseorang dalam masyarakat akiat kekerasan juga menjadi
fenomena umum di masyarakat. Masyarakat membutuhkan investigasi dari trauma yang
dideritanya yang berkaitan dengan tindakan kriminal. Dalam hal ini, seringkali dokter tidak
menguasai prinsip dan filosofi dari forensik. Namun, untuk melakukan pemeriksaan klinis,
seorang ahli dalam bidang kesehatan baik pendidikan dasar, pengalaman, dan keterampilannya,
harus setara dengan klinisi kedokteran. Ketika seorang klinisi menghadapi suatu kasus tidak
biasa yang menuntut adanya evaluasi ulang yang lebih mendalam, maka peran forensik klinik
adalah menghadapi kasus-kasus semacam ini.3

Falsafah mengenai Pelayanan Kedokteran forensik dan medikolegal secara garis besar
adalah seagai berikut:4, 5

1. Pelayanan kedokteran forensik untuk kepentingan penegakan hukum pidana serta


kepentingan internasional merupakan pelayanan kelembagaan publik yang dilaksanakan
oleh rumah sakit pendidikan milik pemerintah, bukan merupakan pelayanan yang
dilakukan oleh dokter selaku praktisi perorangan.
2. Mengutamakan obyektifitas dan imparsialitas. Rumah sakit dan Puskesmas sebagai
lembaga imparsial independen yaitu lembaga yang dalam mengemban amanah membantu
penegakan keadilan harus memiliki otonomi sehingga tidak dapat dipengaruhi oleh
siapapun dalam memberikan keterangan medis
3. Memperhatikan prinsip etika kedokteran yaitu autonomy, beneficence, non-maleficence,
dan justice, terutama dalam menangani korban hidup
4. Menjunjung tinggi kebebasan profesi dan rahasia kedokteran
5. Menunjukan profesionalisme dalam melayani masyarakat
6. Mematuhi prosedur hukum yang berlaku

Latar Belakang Hukum dan Regulasi

a. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dijabarkan
mengenai peranan ahli kedokteran forensik untuk kepentingan hukum dalam pasal 122
sebagat berikut:6
 Ayat (1): Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Ayat (2): Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
dokter ahli forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan
perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan.

b. Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana


Dalam pasal 183 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 dinyatakan: “hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan terdakwalah yang melakukannya”.7
Hal ini berkaitan dengan peranan kedokteran forensik, yang dijelaskan dalam pasal 184
KUHAP yang menyatakan bahwa:7
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.

Sementara itu, dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP menjelaskan, bahwa yang dimaksud
dengan keterangan saksi ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan. Apabila peradilan dihadapkan pada kasus-kasus
yang berhubungan dengan luka, dokter forensik sangat berperan dalam penegakan hukum
untuk mengungkapkan barang bukti yang dapat berupa tubuh atau bagian dari tubuh
manusia. Cara yang dapat dilakukan untuk pembuktian perkara pidana antara lain adalah
meminta bantuan dokter sebagai saksi yang dapat membuat keterangan tertulis dalam
bentuk visum et repertum dan memberikan keterangan dipersidangan sebagai saksi ahli.
Visum et repertum dibuat berdasarkan peraturan pasal 120, 179, dan 133 ayat 1 KUHAP
sedangkan keterangan yang memperjelas ahli kedokteran kehakiman sebagai saksi ahli
disebutkan dalam KUHAP pasal 133 ayat (1): “Dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya”.7

Pembuatan visum et repertum sesungguhnya bertentangan dengan prinsip kerahasiaan


seorang dokter terhadap infomasi medis pasien terkait. Namun dalam pasal 50 KUHP
mengatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan
undang-undang, tidak dipidana, sepanjang visum et repertum tersebut hanya diberikan
kepada instansi penyidik yang memintanya, untuk selanjutnya dipergunakan dalam proses
pengadilan.7, 8

c. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011


tentang Kedokteran Kepolisian

Istilah kedokteran klinik dibahas dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Kedokteran Kepolisian sebagai berikut:9

 Pasal 1 ayat (3): Kedokteran Forensik adalah salah satu cabang ilmu kedokteran yang
mempelajari dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran untuk
kepentingan hukum dan peradilan.
 Pasal 1 ayat (11): Forensik Klinik adalah bagian ilmu kedokteran forensik yang
mempelajari segala sesuatu yang berkaitan status klinik seseorang untuk kepentingan
hukum dan peradilan.
 Pasal 6: tentang kemampuan dokter forensik, meliputi
 Olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) Aspek Medik, antara lain:
1. pemeriksaan awal terhadap korban di TKP; dan
2. penanganan barang bukti non medik yang menempel pada tubuh korban dan
barang bukti medik;
 Forensik Klinik, antara lain:
1. pemeriksaan korban hidup;
2. pemeriksaan laboratorium kedokteran forensik;
3. pemeriksaan toksikologi kedokteran forensik; dan
4. pemeriksaan uji kelayakan kesehatan;

d. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang


Rekam Medis
Berkaitan dengan pembuatan visum et repertum yang telah dijabarkan sebelumnya
dalam KUHAP, peraturan mengenai pembukaan isi rekam medis dalam bentuk visum et
repertum untuk kepentingan peradilan dijabarkan dalam Pasal 10 Ayat (2) dan (3):10
 Ayat (2): Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan,
dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal:
a. untuk kepentingan kesehatan pasien;
b. memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum
atas perintah pengadilan;
c. permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri;
d. permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan
e. untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak
menyebutkan identitas pasien;
 Ayat (3): Permintaan rekam medis untuk tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus dilakukan secara tertulis kepada pimpinan sarana pelayanan kesehatan.

e. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 tentang


Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit
Ahli kedokteran forensik termasuk ke dalam kategori pelayanan medik spesialis lain
sebagai syarat standar pelayanan yang harus diberikan oleh Rumah Sakit Umum Kelas A
dan B seperti yang disebutkan dalam Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 26 ayat (5):11
 Pasal 15 ayat (5): Pelayanan medik spesialis lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d, meliputi pelayanan mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan
pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah
syaraf, bedah plastik, dan kedokteran forensik.
 Pasal 26 ayat (5): Pelayanan medik spesialis lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d, paling sedikit berjumlah 8 (delapan) pelayanan dari 13 (tiga belas) pelayanan
yang meliputi pelayanan mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan
pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah
syaraf, bedah plastik, dan kedokteran forensik.

f. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013 tentang


Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional

Kedokteran Klinik juga dibahas pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional
dalam pasal 20 ayat (4) sebagai berikut:12

“Jenis pelayanan kedokteran forensik klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h
meliputi pembuatan visum et repertum atau surat keterangan medik berdasarkan
pemeriksaan forensik orang hidup dan pemeriksaan psikiatri forensik.”

Penerapan Ilmu Forensik Klinik di Luar Negeri

Ilmu kedokteran forensik adalah terminologi nonspesifik yang mendeskripsikan cakupan


praktik kedokteran yang berkaitan dengan titik temu antara ilmu kedokteran dan hukum secara
luas. Ilmu ini meliputi aplikasi dari ilmu kedokteran, teknologi, dan analisis untuk membantu
proses peradilan. Bergantung pada daerah atau negara yang bersangkutan, kedokteran forensik
juga dikenal dengan terminologi kedokteran legal, kedokteran kehakiman, dan praktik
medikolegal. Terminologi yang tidak konsisten ini menandakan ketidakseragaman dalam
perumusan hal-hal yang termasuk ke dalam praktik kedokteran forensik.13
Selain elemen umum seperti ilmu kedokteran, metode, dan teknologi yang digunakan untuk
tujuan peradilan, peranan, lingkup kerja, dan kewajiban ahli kedokteran forensik juga sangat
beragam antara satu negara dan sistem peradilan yang mengikutinya. Di Amerika Serikat
contohnya, kedokteran forensik dapat diartikan sebagai ahli patologi forensik, yang lebih
banyak bekerja pada kasus-kasus kematian tidak wajar dan proses autopsi.13, 14 Di negara-
negara Eropa dan Inggris, kedokteran forensik memiliki lingkup kerja yang jauh lebih luas,
termasuk diantaranya investigasi pelecehan seksual, malpraktik, kasus pidana dan perdata, dan
kasus-kasus lainnya yang bersinggungan dengan ilmu kedokteran dan hukum.13

Di Inggris dan beberapa negara lain (termasuk Amerika Serikat, Kanada, dan India)
terminologi forensik klinik dideskripsikan sebagai pelayanan forensik yang dilakukan oleh
dokter dari disiplin ilmu non-forensik (dokter bedah, kegawatdaruratan, kandungan, dll.).15
Dapat diamati adanya terminologi yang tidak konsisten dalam pendeskripsian praktik yang
serupa, sehingga tidak mengherankan jika peranan dan lingkup kerja kedokteran forensik dapat
beragam antar negara. Kedokteran forensik klinik merujuk pada cabang ilmu kedokteran
meliputi interaksi antara hukum, peradilan, dan pihak kepolisian, umumnya melibatkan korban
hidup. Kedokteran forensik klinik merupakan terminologi yang baru umum digunakan sejak
sekitar dua decade terakhir, walaupun pernyataan mengenai forensik klinik telah disebutkan
sejak tahun 1951 ketika Association of Police Surgeons, yang sekarang dikenal sebagai
Association of Forensic Physicians—badan yang berbasis di Inggris—pertama kali didirikan.16

Secara umum, sistem pelayanan kedokteran forensik dapat diklasifikasikan ke dalam dua
kategori utama. Kategori pertama adalah tipe “pelayanan terintegrasi”.17 Dalam pelayanan tipe
ini, ahli kedokteran forensik melakukan investigasi terhadap kematian dan perlukaan yang
berkenaan dengan dugaan tindakan kriminal. Pelayanan ini meliputi autopsi medikolegal
(patologi forensik), dan pemeriksaan korban hidup kekerasan fisik dan seksual, yang termasuk
ke dalam lingkup terminologi kedokteran forensik klinik. Tipe pelayanan terintegrasi ini juga
dapat mencakup pelayanan konsultasi terkait etik medis dan malpraktik, dan pemeriksaan
laboratorium forensik, yang berkaitan dengan serologi atau genetika forensik.13

Pelayanan kedokteran forensik kategori kedua adalah “tipe terbagi”. Dalam pelayanan tipe
ini tugas-tugas yang dikerjaan oleh satu tenaga ahli dalam sistem terintegrasi akan ditangani
oleh tenaga ahli yang berbeda-beda dalam cakupan kedokteran forensik. Patolog forensik,
umumnya bekerja dalam sistem pemeriksaan medis (contohnya di Amerika Serikat, Inggris,
Australia, dan Selandia Baru) akan menangani investigasi kematian secara khusus, umumnya
yang berhubungan dengan autopsi jenazah.14 Pemeriksaan forensik klinik, dan terkadang
konsultasi medikolegal, ditangani oleh dokter umum, dokter kepolisian, atau dokter spesialis
lainnya yang bersangkutan dengan kasus (contohnya spesialis kandungan dalam kasus
kekerasan seksual). Dalam sistem pelayanan terbagi, forensik klinik tidak terkait dengan
patologi forensik dan diakui sebagai sub bagian dari kedokteran forensik. Tipe sistem
pelayanan forensik di berbagai negara disajikan dalam Tabel 1.13, 15

Tabel 1. Tipe sistem pelayanan forensik di berbagai negara.

Pelayanan terintegrasi Pelayanan terbagi


Argentina Australia dan Selandia Baru
Banglades Kanada
Belgia Hongkong
Tiongkok India
Denmark Jepang
Mesir Belanda
Finlandia Norwegia
Perancis Singapura
Jerman Afrika Selatan
Hungaria Inggris
Islandia Amerika Serikat
Indonesia
Iran
Italia
Kuwait
Polandia
Portugal
Romania
Rusia
Arab Saudi
Spanyol
Sri Lanka
Swedia
Swiss
Tunisia
Turki

Dengan adanya perbedaan dalam praktiknya, maka kode etik dan pedoman praktik klinis
yang spesifik menjadi sulit untuk dirumuskan secara umum. Maka, tidak mengherankan
praktik kedokteran forensik saat ini cenderung berbasis pengalaman, turun-temurun dari
praktisi sebelumnya dalam lingkup fasilitas kesehatan secara individualistik. Namun, secara
garis besar cakupan kerja forensik klinik terangkum dalam Tabel 2.12, 16, 18

Tabel 2. Praktik forensik klinik.

Penerapan Ilmu Forensik Klinik di Indonesia

a. Standar Kompetensi
Di Indonesia, dokter umum dianggap cukup kompeten untuk menangani kasus
forensik klinik. Tidak ada spesifikasi apapun dalam hal ini. Ketika berhadapan dengan
kasus yang membutuhkan tenaga spesialis dari disiplin ilmu lain, maka korban akan
dirujuk pada tenaga ahli yang bersangkutan. Contohnya, dalam kasus korban kekerasan
dalam rumah tangga dengan gangguan psikologis, maka korban akan dirujuk ke
psikiatris. Praktik forensik klinik di Indonesia meliputi pembuatan Visum et Repertum
korban hidup terkait kasus kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, atau
kekerasan pada anak pada konteksnya dalam peradilan. Saat ini, di Indonesia, forensik
patologi dan forensik klinik tidak dipisahkan sebagai dua bagian yang independen tapi
sebagai satu entitas.19
Seorang dokter spesialis forensik memiliki kompetensi untuk melakukan keduanya
ketika dibutuhkan. Praktik forensik klinik hanya dilakukan ketika ada permintaan dari
polisi. Jika ada kasus dalam cakupan forensik klinik tanpa adanya permintaan
pembuatan Visum et Repertum dari polisi, maka pemeriksaan tidak dapat dilakukan,
korban akan diperlakukan seperti pasien lainnya. Standarisasi prosedur operasional
praktik forensik klinik secara internasional diatur oleh World Health Organization
(WHO) yang kemudian diadaptasi ke dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan
(PNPK) di Indonesia, sedangkan standar kompetensi praktik forensik klinik di
Indonesia dijabarkan dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia.5, 19, 20 Dalam SKDI
terdapat penjelasan seperti berikut: “Membuat surat keterangan medis seperti surat
keterangan sakit, sehat, kematian, laporan kejadian luar biasa, laporan medikolegal
serta keterangan medis lain sesuai kewenangannya termasuk Visum et Repertum dan
identifikasi jenasah”. Hal ini menunjukan bahwa dokter umum juga dituntut untuk
memiliki kompetensi dalam menangani kasus-kasus forensik klinik.20
Dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia, daftar kompetensi yang termasuk ke
dalam kelompok forensk klinik adalah pemeriksaan selaput dara, pemeriksaan anus,
deskripsi luka, dan pemeriksaan derajat luka. Keseluruhan standar kompetensi yang
bersinggungan dengan kedokteran forensik dan medikolegal tersaji dalam Tabel 3.5, 20
Tabel 3. Standar kompetensi kedokteran forensik dan medikolegal.

b. Pusat yang Telah Menerapkan Ilmu Kedokteran Forensik


1. Rumah Sakit
Pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal di rumah sakit dalam
penyelenggaraannya dibagi dalam beberapa strata pelayanan. Strata pelayanan ini
ditetapkan berdasarkan jenis tenaga dan kelengkapan pelayanan yang tersedia di
rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.5, 11
 Strata I: pelayanan primer
Pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal dasar (rumah sakit kelas D dan
Puskesmas). Pelayanan mencakup pelayanan forensik klinik, pemeriksaan luar
jenazah untuk pembuatan Visum et Repertum (sesuai dengan permintaan
penyidik), surat keterangan kematian, kamar jenazah sederhana. Tenaga yang
tersedia adalah dokter umum terlatih dan perawat.
 Strata II: pelayanan sekunder
Pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal spesialistik (rumah sakit kelas
B non pendidikan dan kelas C). Pelayanan mencakup:
1. Pelayanan patologi forensik (termasuk pemeriksaan autopsi forensik)
2. Pelayanan forensik klinik
3. Pelayanan laboratorium forensik sederhana yaitu, pemeriksaan darah, cairan
mani, spermatozoa, rambut, air liur, penentuan pengguna narkoba
(kualitatif)
4. Pelayanan konsultasi medikolegal terbatas dan surat keterangan kematian
5. Pelayanan kamar jenazah (penanganan jenazah infeksius, embalming)
6. Pelayanan identifikasi orang hilang (DVI)
Tenaga yang tersedia: dokter spesialis kedokteran forensik, dokter umum
terlatih forensik dan medikolegal, perawat dan tenaga keteknisan kedokteran
forensik dan medikolegal.
 Strata III: pelayanan tersier
Pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal spesialistik dan subspesialistik
(rumah sakit kelas B pendidikan dan kelas A). Pelayanan mencakup:
1. Pelayanan patologi forensik
2. Pelayanan forensik klinik
3. Pelayanan laboratorium forensik (dasar, DNA, dan toksikologi)
4. Pelayanan konsultasi medikolegal dan etika
5. Pelayanan kamar jenazah (city morgue)
6. Pelayanan wet lab
7. Pelayanan extra mural
8. Pelayanan surat keterangan medik
9. Pelayanan identifikasi orang hilang
Tenaga yang tersedia: dokter spesialis kedokteran forensik dan dokter spesialis
konsultan kedokteran forensik, dokter terlatih forensik, perawat, tenaga
keteknisan kedokteran forensik dan medikolegal, psikolog, petugas sosial
medik.
Pendidikan: pendidikan dokter spesialis, jejaring pendidikan spesialis,
pendidikan profesi dokter umum, pelatihan perawat dan tenaga keteknisan
kedokteran forensik dan medikolegal.
Penelitian dan pengembangan: penelitian dasar dan terapan, pengembangan
forensik dan medikolegal.
 Strata III B: pusat rujukan nasional
Pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal rujukan tertinggi. Pelayanan
mencakup:
1. Pelayanan patologi forensik
2. Pelayanan forensik klinik
3. Pelayanan laboratorium forensik
4. Pelayanan konsultasi mediko-etiko-legal
5. Pelayanan kedokteran gigi forensik
6. Pelayanan kamar jenazah (city morgue)
7. Pelayanan wet lab
8. Pelayanan extra mural
9. Pelayanan surat keterangan medik
10. Pelayanan identifikasi orang hilang
Tenaga yang tersedia: dokter spesialis kedokteran forensik dan dokter spesialis
konsultan kedokteran forensik, dokter spesialis bidang lain terkait kedokteran
forensik, tenaga keteknisan kedokteran forensik dan medikolegal, psikolog,
petugas sosial medik.
Pendidikan: Pendidikan dokter spesialis konsultan kedokteran forensik,
pendidikan dokter spesialis kedokteran forensik, pendidikan profesi dokter
umum, pendidikan dan pelatihan etika profesi, medikolegal dan HAM,
pelatihan perawat dan tenaga keteknisan kedokteran forensik dan medikolegal.
Pendidikan dan pelatihan bioetika, medikolegal dan HAM dilaksanakan dengan
kerja sama pusat bioetika, medikolegal dan HAM kedokteran (Center for
Bioethics, Medicolegal and Human Rights).
Penelitian dan pengembangan: penelitian dasar dan terapan, pengembangan
forensik dan medikolegal.

2. Rumah Sakit Kepolisian (Bhayangkara)21


Rumah Sakit Kepolisian atau Bhayangkara memiliki kemampuan pelayanan khusus
yaitu pelayanan Kedokteran Kepolisian (Dokpol) yang terdiri dari perawatan
tahanan, pusat pelayanan terpadu, narkoba, autopsi, forensik klinik, forensik
patologi, forensik odontologi, forensik psikiatri, dan emergency traumatic center
sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit
Bhayangkara Pasal 5 huruf b dan Pasal 7. Pelayanan Dokpol tersedia di Rumah
Sakit Bayangkara tingkat I, I, III, dan IV. Dalam Pedoman Penyelenggaraan Rumkit
Bahayangkara tersebut dilampirkan kriteria bangunan Rumkit Bhayangkara yang
didalamnya mencakup kriteria pelayanan Dokpol:
 Pusat pelayanan terpadu
1. ruang pemeriksaan korban yang terpisah yang dilengkapi dengan meja
periksa gynekologi;
2. ruang konseling yang terjaga privasinya dengan sarana ruangan yang
nyaman;
3. kamar dekat dengan ruang pemeriksaan;
4. ruang bermain anak untuk wawancara dengan korban kekerasan anak dalam
suasana yang sesuai dengan umurnya;
5. ruang perawatan untuk korban sebaiknya terpisah dari perawatan umum,
agar pasien / korban merasa aman dan nyaman; ,
6. bila memungkinkan perlu adanya ruang pertemuan untuk rapat koordinasi
dengan lembaga terkait; dan
7. rekam medis untuk korban kekerasan terhadap perempuan / anak sebaiknya
dibuat tersendiri sesuai jenis rekamannya.
 Instalasi forensik
1. ruang mayat dapat menampung empat mayat;
2. jumlah lemari pendingin dihitung 1% dari jumlah tempat tidur;
3. kamar mayat mempunyai hubungan jalan langsung dengan beberapa unit
lain yaitu unit gawat darurat, unit kebidanan dan penyakit kandungan, unit
perawatan, unit bedah, dan unit ICU/ICCU.
 Forensik Klinik untuk Wanita dan anak Korban Kekerasan.
1. letak harus terpisah dari perawatan umum;
2. bangsal dibuat sedemikian rupa sehingga pasien merasa aman dan nyaman.
 Instalasi rawat tahanan
1. letak harus terpisah dari perawatan umum;
2. tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia
(manusiawi);
3. letak tidak langsung berhubungan dengan lingkungan diluar rumah sakit;
4. bebas dari gangguan masyarakat umum; dan
5. sistem pengamanan yang memadai.
 Instalasi narkoba
1. letak harus terpisah dari perawatan umum;
2. tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia
(manusiawi);
3. letak tidak langsung berhubungan dengan lingkungan di luar rumah sakit;
4. bebas dari gangguan masyarakat umum; dan
5. pasien harus terputus dengan rantai distribusi narkoba.

3. Puskesmas
Upaya pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal di Puskesmas
ditujukan memberikan pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal yang
bersifat dasar, seperti pelayanan pemeriksaan mayat, pemeriksaan korban
kekerasan fisik dan seksual, tata laksana barang bukti dan pelayanan
laboratorium forensik sederhana. Puskesmas juga diharapkan dapat
memberikan pembinaan kepada masyarakat dan melaksanakan sistem rujukan
sesuai kebutuhan dan ketentuan yang berlaku. Karena distribusi spesialis
kedokteran forensik dan dokter umum terlatih belum merata di seluruh
Indonesia, dimungkinkan pelayanan kedokteran forensik extra-mural (keliling)
ke tempat kejadian perkara yang memerlukannya.5, 18

c. Sistem Alur Pelayanan


Pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal dilakukan dengan dua akses utama.
Akses pertama adalah untuk korban, klien “pasien” hidup dan akses kedua untuk
korban, klien “pasien” yang telah meninggal dunia. Dalam hal ini akan dibahas
mengenai sistem alur pelayanan pada korban hidup sebagai berikut:5
1. Korban/pengantar yang datang ke RS atau Puskesmas mendaftar di bagian
registrasi, kemudian di IGD dilakukan triage untuk menilai kondisi korban apakah
dalam keadaan non kritis, semi kritis atau kritis.
2. Korban perempuan dan anak dalam keadaan non kritis, akan dirujuk ke PPT untuk
mendapatkan layanan pemeriksaan kedokteran forensik dan medikolegal, serta
layanan psiko-sosial. Bilamana perlu dapat dilakukan koordinasi dan kerjasama
dengan LSM terkait. Pada korban lain (bukan perempuan dan anak) pemeriksaan
dilakukan di Instalasi Gawat Darurat.
3. Korban dalam keadaan semi kritis dan kritis atau memerlukan terapi bedah dan
medik ditangani di instalasi gawat darurat bersama dengan dokter forensik sesuai
prosedur yang berlaku.
4. Korban, klien, atau pasien yang datang ke poliklinik atau IGD dan dipandang
mungkin penyakit atau cederanya terkait suatu tindak pidana diperiksa bersama
dengan dokter forensik atau dirujuk ke bagian/departemen/instalasi kedokteran
forensik dan medikolegal.
5. Korban, klien, atau pasien yang sedang dirawat di instalasi rawat inap, bila
dipandang mungkin penyakit atau cederanya terkait suatu tindak pidana, maka
dokter penanggung jawab pasien, dapat merujuknya ke bagian/departemen/
instalasi kedokteran forensik dan medikolegal.
6. Korban, klien, atau pasien yang datang tanpa disertai surat permintaan visum
dimintakan untuk melapor atau dibantu untuk melapor pada pihak penyidik.
Pemberitaan Visum et Repertum dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan pada hari
surat permintaan visum dibuat. Pemeriksaan sebelumnya dapat disertakan sebagai
suatu surat keterangan dokter.
7. Pelayanan konsultasi medikolegal dapat diperoleh dengan melakukan registrasi
pada bagian/departemen/instalasi kedokteran forensik dan medikolegal, dan akan
dilayani oleh staf medis fungsional dengan kewenangan klinis yang sesuai dan
ditunjuk oleh bagian/departemen/instalasi kedokteran forensik dan medikolegal.

d. Shift jaga

e. Biaya Dasar
Pembiayaan pelayanan forensik klinik, berdasarkan Pedoman Pelayanan
Kedokteran Forensik, berasal dari berbagai macam sumber, diantaranya sebagai
berikut: biaya sendiri, pemerintah pusat (APBN), pemerintah daerah (APBD), asuransi,
perusahaan atau instansi, dan/atau kedutaan asing. Pola tariff yang dibebankan
termasuk biaya konsultasi dokter, psikolog, dan tindakan (jasa medik,rumah sakit,
pemulasaraan dan pengawetan jenazah, bahan dan alat, pemeriksaan penunjang,
transportasi jenazah, dan pengurusan dokumen terkait).5

Sedangkan pembiayaan untuk pelayanan forensik klinik di Rumah Sakit


Bhayangkara bersumber dari APBN/DIPA Polri, Dana Pemeliharaan Kesehatan (DPK)
yang berasal dari potongan gaji anggota, Pelayanan Masyarakat Umum (Yanmasum),
Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN), dan/atau sumbangan lain yang tidak
mengikat.21

f. Biaya pemeriksaan tambahan

g. Kasus dengan Dokter Penanggungjawab Forensik


Dalam Pedoman Pelayanan Forensik, disebutkan kasus-kasus dalam cakupan
forensik klinik yaitu sebagai berikut: korban kekerasan terhadap perempuan dan anak,
perkosaan, kejahatan seksual lain, perlukaan, keracunan, penunjang pelaku
(psikiatrik).5 Standar Kompetensi Dokter Indonesia melampirkan daftar masalah
kesehatan yang berisikan berbagai masalah yang akan dihadapi dokter layanan primer
(Tabel 4).20
Tabel 4. Datar masalah kesehatan kedokteran forensik dan medikolegal.
Dalam SKDI juga terlampir daftar penyakit yang disusun dengan tujuan untuk
menjadi acuan bagi institusi pendidikan dokter agar dokter yang dihasilkan memiliki
kompetensi yang memadai untuk membuat diagnosis yang tepat, memberi penanganan
awal atau tuntas, dan melakukan rujukan secara tepat dalam rangka penatalaksanaan
pasien (Tabel 5). Daftar Penyakit, berisikan nama penyakit yang merupakan diagnosis
banding dari masalah yang dijumpai pada daftar masalah.5, 20

Tabel 5. Daftar penyakit dalam cakupan kedokteran forensik dan medikolegal.


Daftar Pustaka

1. Mohammadnia, Mona. The role and importance of the clinical Forensic Medicine in
hospital. Conference: 5th Annual Iranian International Congress of Forensic Medicine, At
Tehran-IRAN, Volume: 5th. 2016.
2. Sharma, B. Clinical forensic medicine – management of crime victims from trauma to
trial. Journal of Clinical Forensic Medicine. 2003;10(4): 267–273.
3. Payne-James JJ. History and development of forensic medicine and pathology. In: Payne-
James JJ, Busuttil A, Smock W (eds.) Forensic Medicine: Clinical and Pathological
Aspects. London: Greenwich Medical Media, 2003.
4. Van niekerk AA. “Ethics theories and the Principlist Approach in Bioethics”. In
Moodley, K. Medical Ethics, Law and Human Rights. 2011. Pretoria: Van Schaik
Publishers
5. Persatuan Dokter Forensik Indonesia. Pedoman Pelayanan Forensik dan Medikolegal di
Rumah Sakit. 2017.
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
7. Hartanto, Murofiqudin. Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia dengan
Undang-Undang Pelengkapnya. 2001. Surakarta: Muhamadiyah University Press.
8. Harahap Y. Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. 1993. Jakarta:
Pustaka Kartini.
9. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Kedokteran Kepolisian
10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008
tentang Rekam Medis.
11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 tentang
Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
12. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013 tentang
Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional.
13. Meilia, PDI, Freeman MD, Herkutanto, Zeegers MP. A review of the diversity in
taxonomy, definitions, scope, and roles in forensic medicine: implications for evidence-
based practice. Forensic Sci Med Pathol. 2018; 14(4): 460–468.
14. Al-Waheeb S, Al-Kandary N, Aljerian K. Forensic autopsy practice in the Middle East:
comparisons with the west. J Forensic Legal Med. 2015;32:4–9.
15. Stark MM, Norfolk GA. Training in clinical forensic medicine in the UK - perceptions
of current regulatory standards. J Forensic Legal Med. 2011;18:264–75.
16. Payne-James JJ. The History and Development of Clinical Forensic Medicine
Worldwide. In: Stark MM (ed.) Clinical Forensic Medicine: A Physician’s Guide, 3rd
Edition. 2011. New Jersey: Humana Press.
17. Al Madani OM, Kharoshah MAA, Zaki MK, Galeb SS, Al Moghannam SA, Moulana
AAR. Origin and development of forensic medicine in the Kingdom of Saudi Arabia. Am
J Forensic Med Pathol. 2012;33:147–51
18. Syukriani Y. Pelayanan Kedokteran Forensik di Tingkat Primer. Prosiding Pertemuan
Ilmiah Tahunan 2017 Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia. 2017.
19. Gopalakrishnan HN, Syukriani YF, Setiawati EP. Forensic Experts' Opinion Regarding
Clinical Forensic Medicine Practice in Indonesia and Malaysia. J Forensic Sci Med.
2016;2:85-90.
20. Mukti AG, Herman RB, Kusumawati W, Hernowo BS, Trisna DV, Aras I, et al. Standar
Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia. 2012.
21. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit Bhayangkara.

Anda mungkin juga menyukai