Anda di halaman 1dari 18

PERAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN KASUS PIDANA

PEMBUNUHAN
Juni Sariyani
Fakultas Hukum Universitas Bung Karno

Abstrak
Ketentuan Pasal 183 KUHAP ini maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai

sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hat

pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung

oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dari

kalau ía cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan

kesalahan terdakwa. Akibat hukum terhadap penyimpangan didalam praktek kedokteran

forensik dalam kasus pembunuhan menggunakan zat-zat berbahaya atau racun sama

dengan penyimpangan dalam praktek kedokteran umum. Peraturan yang mengatur

tentang praktek kedokteran dan medis terdapat dalam Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran. Disamping peraturan yang

terdapat dalam undang-undang mengenai praktek kedokteran terdapat juga standar

profesi kedokteran dan standar prosedur operasional yang semua dokter harus patuh

terhadap standar profesi kedokteran dan atau standar prosedur operasional tersebut. Dan

apabila seorang dokter tidak patuh atau melanggar standar profesi kedokteran dan atau

standar prosedur operasional tersebut dapat dikenakan sanski berupa dikeluarkan dalam

Ikatan Dokter Indonesia dan atau dicabut izin praktek.

I. Latar Belakang
Seorang terdakwa yang terbukti melalui pembuktian hasil pembuktian dengan alat

bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP dapat dibuktikan maka terdakwa dinyatakan

“bersalah”. Maka kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Sebaliknya apabila terdakwa

1
sesuai undang –undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan

kepadanya maka terdakwa dibebaskan dari hukuman. Fakta-fakta dalam persidangan

akan mengungkap semua dengan menghadirkan alat-alat bukti sah menurut undang-

undang yaitu Pasal 184 KUHAP sebagai berikut : 1). Keterangan saksi; 2). Keterangan

ahli; 3). Surat; 4). Petunjuk; 5). Keterangan terdakwa. Peran alat-alat bukti ini sangat

penting disebabkan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan. berkaitan dengan pembuktian maka saksi

adalah orang yang mengetahui tentang suatu peristiwa pidana berdasarkan apa yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuannya itu. 1

Keterangan saksi merupakan alat bukti di persidangan dan sangat berguna dalam

mengungkap duduk perkara suatu peristiwa pidana yang nantinya akan dijadikan salah

satu dasar pertimbangan hakim untuk menentukan terbukti atau tidaknya perbuatan

terdakwa serta kesalahan terdakwa.2 Dalam proses persidangan dikenal adanya beberapa

macam saksi, misalnya dilihat dari pihak yang mengajukan dikenal sebutan: “saksi a

charge” atau saksi yang memberatkan dan “saksi a decharge” atau saksi yang

meringankan, dan dilihat dari posisi dalam peristiwa tindak pidana dikenal sebutan :

“saksi korban” atau saksi yang mengalami, “saksi melihat” dan “saksi mendengar”. Jika

keterangan tersebut berupa pendapat diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian

tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna

1
Berent J. Role of experts in forensic medicine in opinioning for court and insurance agencies.
Arch Med Sadowej Kriminol.
2
Kriangsak Kittichaisaree, International Criminal Law, Oxford University Press

2
kepentingan pemeriksaan, maka hal tersebut dimasukkan sebagai alat bukti “keterangan

ahli”.

Keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP adalah keterangan yang

diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk

membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dalam Pasal 179

ayat (1) KUHAP yang merumuskan bahwa setiap orang yang diminta pendapatnya

sebagai ahli kedokteran kehakiman, dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan

ahli demi keadilan.

Peran ahli dalam mencari bukti-bukti yang bertujuan untuk membantu penyudik

mengungkapkan suatu tindak pidana sangat diperlukan guna mengetahui rangkaian

peristiwa yang terjadi. Salah satu ahli yang diperlukan itu adalah ahli patologi forensik

atau dokter forensik yang dalam ilmu kedokteran didefinisikan sebagai seseorang yang

mempelajari kelainan pada tubuh manusia yang diakibatkan oleh tindak kejahatan yang

pada tubuh korban kejahatan tersebut terdapat tanda-tanda yang dapat memberikan

petunjuk mengenai jenis tindak kejahatan bila tindak kriminal ini menyebabkan

kematian, sebab kematian dapat ditelusuri melalui pemeriksaan bedah mayat (outopsi).3

Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 dan SE Menkes

Tahun 2001 sebagaimana tersebut di atas, dapat diketahui mengenai jenis tindakan

autopsi atau bedah mayat, meliputi: bedah mayat klinis, bedah mayat anatomis dan bedah

mayat forensik. Adanya perbedaan mengenai jenis bedah mayat berhubungan dengan

hakikat dan tujuan dilaksanakannya tindakan pembedahan itu sendiri. Bedah mayat yang

berhubungan dengan pembuktian perkara hukum disebut bedah mayat forensik atau

3
Sampurna Budi, Malpraktek Kedokteran Pemahaman Dari Segi Kedokteran dan Hukum,

3
autopsi forensik. 4 Terkait dengan tulisan ini, kajian mengenai bedah mayat difokuskan

pada tindakan bedah mayat forensik atau selanjutnya menggunakan istilah autopsi

forensik yang menduduki posisi penting dalam penegakan hukum, baik hukum pidana

maupun hukum perdata.

Dari perspektif hukum pidana, tindak pidana kejahatan terhadap tubuh dan/atau

nyawa di dalam Kitap Undang – Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP)

diformulasikan sebagai tindak pidana materiil atau disebut juga delik materiil. Formulasi

tindak pidana secara materiil berkonsekuensi yuridis di dalam pembuktian perkara, yaitu

antara perbuatan terdakwa disyaratkan harus ada hubungan kausal dengan akibat yang

dilarang undang-undang atau ada hubungan sebab-akibat antara perbuatan tertentu

dengan akibat yang dilarang.

Khusus pada tindak pidana yang berakibat pada kematian sesorang yang tidak

wajar, mekanisme dalam pembuktian dilakukan dengan cara pemeriksaan kedokteran

forensik atas mayat.5 Hasil akhir proses pemeriksaan atas mayat seseorang yang

berhubungan dengan peristiwa pidana, dituangkan dalam bentuk surat, yaitu visum et

repertum atas mayat. Pemeriksaan atas mayat dalam pembuatan visum et repertum dapat

dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu pemeriksaan luar mayat dan pemeriksaan dalam

mayat (bedah mayat/autopsi forensik).

Bedah mayat forensik merupakan cara untuk menemukan penyebab pasti

kematian seseorang, dan hanya melalui bedah mayat forensik penyebab pasti kematian

seseorang dapat diungkap dan diketemukan. Namun demikian, dalam penegakan hukum,

4
Waluyadi, 2007, Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum
Praktik Kedokteran, Djambatan, Jakarta
5
Bambang Poernomo, 1982, Seri Hukum Acara Pidana Pandangan Terhadap Azaz-azaz Umum
Hukum Acara Pidana, Liberty, Yogyakarta,

4
bedah mayat forensik tidak selalu dilakukan dalam kasus kematian atau berhubungan

dengan peristiwa pidana. Tidak dilakukannya autopsi forensik tidak berakibat pada

bebasnya.

Sebelum sampai pada fase penyidikan perkara, tindakan kepolisian diawali

dengan penyelidikan perkara. Dengan bantuan ilmu kedokteran forensik suatu kejahatan

terhadap tubuh atau nyawa dapat ditentukan untuk dilanjutkan atau dihentikan.6

Kematian korban yang disebabkan karena tindakan kekerasan orang lain atau mati secara

alamiah (natural death), dapat diketahui dari bedah mayat forensik. 7 Posisi penting dan

strategis autopsi forensik tidak hanya semata-mata berhubungan dengan menguak misteri

penyebab kematian seseorang, namun demikian dari perspektif hukum pidana, eksistensi

autopsi forensik berhubungan pula dengan penentuan kesalahan terdakwa. 8Adanya

hubungan kausal antara perbuatan terdakwa dengan akibat kematian korban itulah

parameter dalam menentukan kesalahan terdakwa yang berkorelasi dengan

pertanggungjawaban pidana

Dalam upaya pembuktian hukum bahwa telah terjadi tindak pidana pembunuhan

dengan cara meracuni, maka dalam hal ini Ilmu Kedokteran Forensik sangat berperan

dalam melakukan pemeriksaan dan untuk memperoleh penjelasan atas peristiwa yang

terjadi secara medis. Dalam pemeriksaan kasus pembunuhan dengan racun dilakukan

oleh Polri selaku penyidik untuk mendapatkan barang bukti dan selanjutnya pemeriksaan

korban diserahkan oleh dokter forensik untuk memeriksa korban perkosaan yang sudah

meninggal sedangkan untuk korban perkosaan yang masih hidup diperiksa oleh Dokter

Y.A. Triana Ohoiwutun, ‘Urgensi Pemeriksaan Kedokteran Forensik pada Fase Penyelidikan dan
6

Penyidikan Perkara Pidana’ (2014) 1 (2) Jurnal Cendekia Waskita 109.


8
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Nyawa, PT. Rajawali Grafindo, Jakarta,2004.

5
Spesialis Ahli Toksikologi dan Ahli Forensik dimana hasil pemeriksaannya dituangkan

dalam Visum et Repertum yang berguna untuk pembuktian pembunuhan dengan media

racun di persidangan sebagai alat bukti surat ataupun sebagai keterangan ahli apabila

dokter tersebut diminta hadir di persidangan.

II. Rumusan Masalah

Permasalahan yang dapat diteliti dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana peran dokter forensik dalam proses pembuktian Kasus Pidana ?

2. Bagaimana hukum pembuktian dalam kasus pidana ?

III. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, karena didasarkan pada

pendekatan peraturan perundang-undangan. Data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah data sekunder dan undang-undang lain sebagai literatur. Penelitian normatif ini

menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan

pengadilan, teori hukum dan dapat berupa pendapat para sarjana. Metode yang digunakan

dalam menganalisis dan mengolah data ini adalah metode analisis kualitatif yaitu dengan

menjelaskan data-data yang ada dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka-

angka.

IV. Pembahasan

1. Peran dokter forensik dalam proses pembuktian Kasus Pidana

Keterangan saksi merupakan alat bukti di persidangan dan berguna dalam

mengungkap duduk perkara suatu peristiwa pidana yang nantinya akan dijadikan salah

6
satu dasar pertimbangan hakim untuk menentukan terbukti atau tidaknya perbuatan

terdakwa serta kesalahan terdakwa. 9

Dalam proses persidangan dikenal adanya beberapa macam saksi, misalnya dilihat

dari pihak yang mengajukan dikenal sebutan: “saksi a charge” atau saksi yang

memberatkan dan “saksi a decharge” atau saksi yang meringankan, dan dilihat dari

posisi dalam peristiwa tindak pidana dikenal sebutan : “saksi korban” atau saksi yang

mengalami, “saksi melihat” dan “saksi mendengar”. Jika keterangan tersebut berupa

pendapat diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian tentang hal yang diperlukan

untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan, maka hal

tersebut dimasukkan sebagai alat bukti “keterangan ahli”. Pasal 1 angka 28 KUHAP

menyatakan keterangan ahli menurut adalah keterangan yang diberikan oleh seorang

yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu

perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Dalam Pasal 179 ayat (1) KUHAP yang merumuskan bahwa setiap orang yang

diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman, dokter ahli lainnya wajib

memberikan keterangan ahli demi keadilan. Peran ahli dalam mencari bukti-bukti yang

bertujuan untuk membantu penyudik mengungkapkan suatu tindak pidana sangat

diperlukan guna mengetahui rangkaian peristiwa yang terjadi. Misalnya peran dokter

forensic dalam mengungkap riwayak kematian seseorang dalam kasus pembunuhan.

Dokter forensik mempunyai peranan yang penting untuk menangani kasus-kasus

pidana dalam mengungkap bukti-bukti yang dapat berupa tubuh atau bagian dari manusia

9
Nasser,M, Penyelesaian Sengketa Medik Melalui Mediasi, Makalah Seminar Nasional Tentang
Hubungan Pasien-Dokter Dalam Pelayanan Kesehatan, Program MIH – UNSOED,Purwokerto,2009.

7
serta memberikan gambaran bagi hakim mengenai hubungan kausalitas antara korban dan

pelaku kejahatan dengan mengetahui laporan dalam visum et repertum.

Visum et repertum berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggung

jawabkan mengenai keadaan korban , terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-

tanda kekerasan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis

dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis. Dasar hukum forensik terdapat dalam kitab

undang-undang hukum pidana (KUHP) dan kitab undang-undang hukum acara pidana

(KUHAP) walaupun sebenarnya tidak ada yang menyebutkan tentang tentang forensik

dalam KUHP dan KUHAP yang diatur dalam KUHP adalah sehubungan dengan ahli

(dalam hal ini termasuk ahli forensik). Dalam KUHP disebutkan bahwa ahli yang

menolak memberi bantuan kepada polisi bisa terancam hukuman pidana sebagaimana

diatur dalam pasal 224 dan pasal 522 KUHP , yaitu :

Barang siapa dipanggil sebagai saksi , ahli atau juru bahasa menurut undang-undang

dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus

dipenuhinya, diancam:

1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;

2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan. pasal 522

“Barang siap menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru
bahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah.”10

Pengaturan dalam KUHAP juga tidak ada yang menyebutkan mengenai forensik.

Yang diatur dalam KUHAP adalah terkait ahli kedokteran merujuk pada macam-macam

forensik yang telah disebutkan diatas, ahli forensik dapat dikatakan sebagai ahli

10
Koeswadji, HukumKedokteran (studi tentang hubungan hukum dalam mana dokter sebagai
salah satu pihak), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998

8
kedokteran. Mengenai ahli kedokteran, pasal 133 ayat (1) KUHAP memberi wewenang

kepada penyidik untuk mengajukan permintaan keterangan kepada ahli kedokteran

kehakiman jika penyidikan menyangkut korban luka, keracunan, atau mati. Permintaan

keterangan ahli ini dilakukan secara tertulis.

Dasar hukum forensik selain yang terdapat dalam KUHP dan KUHAP, hukum

forensik juga terdapat dalam peraturan kepala kepolisian negara republik indonesia

nomor 12 tahun 2011 tentang kedokteran kepolisian yang terdiri dari 4 bab dan 15 pasal.

Dilihat dari segi peranannya dalam penyelesaian kasus kejahatan , ilmu-ilmu forensik

tersebut dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu:

a. ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah yuridis.

Dalam hal ini termasuk hukum pidana dan hukum acara pidana.

b. ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah teknis.

Dalam golongan ini termasuk ilmu kedokteran forensik, ilmu kimia

forensik,ilmu fisika forensik. Ketiga ilmu pengetahuan tersebut lazim

disebut juga kriminalistik. Dalam pengertian ilmu kimia forensik termasuk

pula ilmu racun (toksikologi), sedangkan ilmu fisika forensik mempunyai

cabang yang sangat luas sekali antara ilmu senjata api dan amunisasi

(balistik), ilmu sidik jari (daktiloskopi) fotografi dan sebagainya. Perlu

diketahui bahwa didalam praktek toksikologi pada umumnya dimasukan

kedalam lingkungan ilmu kedokteran forensik. Dengan demikian berarti

bahwa ilmu tersebut dikeluarkan dari induk aslinya, yakni ilmu kimia

forensik. Hal ini mungkin disebabkan karena toksikologi berkaitan

9
langsung dengan masalah kesehatan manusia yang merupakan lapangan

ilmu kedokteran.

c. ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan manusia. Dalam golongan

ini termasuk kriminologi dan psikologis forensik. Kedua ilmu ini

menangani kejahatan sebagai masalah manusia daripada kedalam

golongan ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah

teknis seperti halnya dengan ilmu kedokteran forensik. 11

Berdasarkan klasifikasi diatas peran ilmu forensik dalam menyelesaikan masalah

/kasus-kasus kriminal lebih banyak pada penanganan kejahatan dari masalah teknis dan

manusia. Sehingga pada umumnya laboratorium forensik dimanfaatkan untuk

kepentingan peradilan khususnya dalam perkara pidana.

Kewajiban dokter spesialis forensik, yaitu :

1) menerapkan etika profesi dokter spesialis forensik dan mematuhi prosedur

medikolegal dan menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai dokter spesialis

forensik.

2) menegakan diagnose kedokteran forensik dan medikolegal pada korban hidup

maupun mati , menatalaksana kasus sesuai dengan aspek sosio yuridis dan

medikolegal, serta mengkomunikasikan ekspertis yang dihasilkan kepada pihak

yang berwenang, termasuk membuat sertifikasi forensik sesuai ketentuan

perundang-undangan yang berlaku

3) merancang, mengelola, dan mengawasi kegiatan unit kedokteran forensik dan

perawatan jenasah disebuah intitusi pelayanan kesehatan.

11
Lamintang P.A.F, delik-delik Khusus, Bina Cipta,Bandung,1986.

10
4) Berperan aktif dalam tim kerja penanganan kasus forensik dan dalam tim

etikomedikolegal RS.

5) Berperan sebagai pengajar dan pembimbing dalam bidang forensik, etik dan

medikolegal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku

6) Berperan aktif dalam mengembangkan ilmu kedokteran khususnya dalam bidang

forensik, etika dan medikolegal melalui 12

2. Hukum pembuktian dalam kasus pidana pembunuhan

Pengertian pembuktian sangat beragam, setiap ahli hukum memiliki definisi

masing-masing mengenai pembuktian. Banyak ahli hukum yang mendefinisikan

pembuktian ini melalui makna kata membuktikan. Membuktikan menurut Sudikno

Mertokusumo158 disebut dalam arti yuridis yaitu memberi dasar-dasar yang cukup

kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian

tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Lain halnya dengan definisi membuktikan yang diungkapkan oleh Subekti.

Subekti159 menyatakan bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang

kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.160

Berdasarkan definisi para ahli hukum tersebut, membuktikan dapat dinyatakan sebagai

proses menjelaskan kedudukan hukum para pihak yang sebenarnya dan didasarkan pada

dalil-dalil yang dikemukakan para pihak, sehingga pada akhirnya hakim akan mengambil

kesimpulan siapa yang benar dan siapa yang salah.

Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk

menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap

12
Tjiptomartono Dries AM, Penerapan ilmu kedokteran forensik dalam proses penyidikan,
Sagung Seto, Jakarta 2008

11
kebenaran peristiwa tersebut.161 Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu

peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga

harus mempertanggungjawabkannya.

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman

tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur

alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim

membuktikan kesalahan yang didakwakan. Hukum pembuktian merupakan sebagian dart

hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum,

sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara.13

Mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak

dan menilai suatu pembuktian.164 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak

memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian. KUHAP hanya memuat peran

pembuktian dalam Pasal 183 bahwa hakim tidal< boleh menjatuhkan pidana kepada

seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya. dan jenis-jenis alat bukti yang sah menurut

hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu

1. keterangan saksi;
2. keterangan ah(i;
3. surat;
4. petunjuk; dan
5. keterangan terdakwa.

Sistem pembuktian menurut KUHP adalah:

13
Hartanto dan Murofiqudin, 2001, Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia dengan
Undang-Undang Pelengkapnya, Surakarta, Muhamadiyah University Press

12
a) Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction

In Time).

Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya-tidaknya terhadap

perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian "keyakinan"

hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya

terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak

harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat bukti sudah

cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya

meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat

dinyatakan bersalah. 14

Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali.

Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan

kepada hakim, kepada ken-kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan

pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan

berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas yang aneh.

b) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Log is

(Conviction In Raisone)

Sistem pembuktian Conviction In Ralsone masih juga mengutamakan

penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum

terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim

yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak

perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan,

14
Waluyadi, 2007, Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum
Praktik Kedokteran, Djambatan, Jakarta

13
Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim

bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu

mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan

dengan alasan yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in

raisone harus dilandasi oleh "reasoning" atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri

harus 'reasonable" yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan

nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem

pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.

c) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif (Positif Wettwlijks theode).

Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian

conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya

terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang

yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wetteljik sangat

mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim.

Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan

tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak

didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus

dibebaskan. Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian

dan alat bukti yang sah menurut undang-undang Maka terdakwa tersebut bisa

dinyatakan bersalah dan harus dipidana.

Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan

kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif

karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang

14
kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan

kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip

hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran format,

oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Positief

wettelijk bewijstheori systeem di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya

Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa

sebagai objek pemeriksaan belaka; dalam hal ini hakim hanya merupakan alat

perlengkapan saja.

Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (negative

wettelijk). Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-

dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah

dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam pasal

183 KUHAP menyatakan sebagai berikut : " hakim tidak boleh menjatuhkan pidana

kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang

sah Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya".168 Atas dasar ketentuan Pasar

183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem

pembuktian menurut undang-undang yang negatif. 15

Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah

terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh

undang-undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan

tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Teori

15
Yahya Harahap, 1993, Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka
Kartini, Jakarta

15
pembuktian menurut undang-undang negative tersebut dapat disebut dengan negative

wettelijk istilah ini berarti : wettelijk berdasarkan undang-undang sedangkan

negative, maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup

bukti sesuai dengan undang-undang,

V. Kesimpulan

Ketentuan Pasal 183 KUHAP ini maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP

memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa

dalam hat pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang

didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat

bukti) dari kalau ía cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan

hakim akan kesalahan terdakwa. Akibat hukum terhadap penyimpangan didalam praktek

kedokteran forensik dalam kasus pembunuhan menggunakan zat-zat berbahaya atau

racun sama dengan penyimpangan dalam praktek kedokteran umum. Peraturan yang

mengatur tentang praktek kedokteran dan medis terdapat dalam Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran. Disamping

peraturan yang terdapat dalam undang-undang mengenai praktek kedokteran terdapat

juga standar profesi kedokteran dan standar prosedur operasional yang semua dokter

harus patuh terhadap standar profesi kedokteran dan atau standar prosedur operasional

tersebut. Dan apabila seorang dokter tidak patuh atau melanggar standar profesi

kedokteran dan atau standar prosedur operasional tersebut dapat dikenakan sanski berupa

dikeluarkan dalam Ikatan Dokter Indonesia dan atau dicabut izin praktek.

Peran dokter forensik dapat dilakukan pada tahap penyelidikan yakni saat

pemeriksaan di TKP dan analisis data yang ditemukan, selanjutnya tahap penyidikan

16
yakni pembuatan visum et repertum dan BAP saksi ahli dan hingga tahap persidangan di

pengadilan. Kewenangan dokter forensik dalam memberikan keterangan sebagai saksi

ahli juga menjelaskan kaitan mengenai hubungan kausalitas antara korban dan pelaku

kejahatan berdasarkan laporan dalam visum et repertum.

17
Daftar Pustaka

Berent J. Role of experts in forensic medicine in opinioning for court and insurance
agencies. Arch Med Sadowej Kriminol.
Kriangsak Kittichaisaree, International Criminal Law, Oxford University Press
Sampurna Budi, Malpraktek Kedokteran Pemahaman Dari Segi Kedokteran dan Hukum,
Waluyadi, 2007, Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan Aspek
Hukum Praktik Kedokteran, Djambatan, Jakarta
Bambang Poernomo, 1982, Seri Hukum Acara Pidana Pandangan Terhadap Azaz-azaz
Umum Hukum Acara Pidana, Liberty, Yogyakarta,
Y.A. Triana Ohoiwutun, ‘Urgensi Pemeriksaan Kedokteran Forensik pada Fase
Penyelidikan dan Penyidikan Perkara Pidana’ (2014) 1 (2) Jurnal Cendekia
Waskita 109.
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Nyawa, PT. Rajawali Grafindo, Jakarta,2004.
Nasser,M, Penyelesaian Sengketa Medik Melalui Mediasi, Makalah Seminar Nasional
Tentang Hubungan Pasien-Dokter Dalam Pelayanan Kesehatan, Program MIH –
UNSOED,Purwokerto,2009.
Koeswadji, HukumKedokteran (studi tentang hubungan hukum dalam mana dokter
sebagai salah satu pihak), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998
Lamintang P.A.F, delik-delik Khusus, Bina Cipta,Bandung,1986.
Tjiptomartono Dries AM, Penerapan ilmu kedokteran forensik dalam proses penyidikan,
Sagung Seto, Jakarta 2008
Hartanto dan Murofiqudin, 2001, Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia
dengan Undang-Undang Pelengkapnya, Surakarta, Muhamadiyah University
Press
Waluyadi, 2007, Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan Aspek
Hukum Praktik Kedokteran, Djambatan, Jakarta
Yahya Harahap, 1993, Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka
Kartini, Jakarta

18

Anda mungkin juga menyukai