KEDOKTERAN FORENSIK
DAN MEDIKOLEGAL
(Pedoman Bagi Mahasiswa Kedokteran)
52
6. KEPENTINGAN PERADILAN : Berarti bukan untuk
kepentingan –kepentingan lain.
Konsep visum yang digunakan selama ini merupakan
karya pakar bidang kedokteran kehakiman yaitu : Prof.
Muller, Prof Mas Sutejo Mertodidjojo dan Prof. Sutomo
Tjokronegoro sejak puluhan tahun yang lalu ( Nyowito
Hamdani, Ilmu kedokteran Kehakiman, edisi Kedua, 1992 ).
Konsep Visum et repertum ini disusun dalam kerangka
dasar yang terdiri dari :
1. Pro-Yustitia.
Kata projustitia yang diletakan di bagian atas
menjelaskan, bahwa visum et repertum khusus dibuat untuk
tujuan peradilan. Visum et repertum tidak memerlukan
materai untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di depan
sidang pengadilan.
2. Pendahuluan.
Bagian ini menerangkan penyidik pemintanya, berikut
nomor dan tangggal surat permintaan, tempat dan waktu
pemeriksaan, serta identitas korban yang diperiksa. Dokter
tidak dibebani dengan pemastian identitas korban. Bila ada
ketidak sesuaian identitas korban antara surat permintaan
dengan catatan medik atau pasien yang diperiksa, dokter
dapat meminta penjelasan kepada penyidik.
3. Pemberitaan.
Bagian ini berjudul “ Hasil Pemeriksaan ” dan berisi
hasil pemeriksaan medik tentang keadaan kesehatan atau
sakit atau luka korban yang berkaitan dengan perkaranya,
tindakan medik yang dilakukan serta keadaannya selesai
pengobatan/ perawatan. Bila korban meninggal dan
dilakukan autopsi, maka diuraikan keadaan seluruh alat
dalam yang berkaitan dengan perkara dan matinya orang
tersebut.
Yang diuraikan delam bagian ini merupakan
pengganti barang bukti, berupa perlukaan, keadaan
kesehatan, sebagai kematian yang berkaitan dengan
perkaranya. Temuan hasil pemeriksaan medik bersifat
rahasia dan tidak berhubungan dengan perkaranya tidak
57
dituangkan ke dalam bagian pemberitaan dan dianggap
tetap sebagai rahasia dokter.
4. Kesimpulan.
Bagian ini berjudul “ Kesimpulan ” dan berisi
pendapat dokter berdasakan keilmuananya mengenai :
jenis perlukaan/cedera yang ditemukan dan jenis
kekerasan atau zat penyebabnya, serta derajad
perlukaan atau sebab kematiannya. Pad kejahatan
kesusilaan, diterangkan juga apakah telah terjadi
persetubuhan dan kapan perkiraan terjadinya, serta
usia korban atau kepantasan korban untuk dikawini.
5. Penutup.
Berisikan kalimat “ Demikianlah visum et repertum ini
saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keil-
muan saya dan dengan mengingat sumpah sesuai
dengan Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana
”. (2,5,6)
2. Peranan Dan Fungsi Visum Et Repertum
Di dalam upaya pembuktian, biasanya barang - barang
bukti akan diperlihatkan di sidang peradilan untuk
memperjelas masalah. Tetapi pada prakteknya tidak semua
benda bukti dapat dibawa ke depan sidang pengadilan,
seperti misalnya tubuh manusia yang sudah mati. Pada
perkara-perkara yang menyangkut kejahatan terhadap
tubuh manusia, maka antara lain akan dibuktikan penyebab
luka dan/atau kematian, bahkan tidak jarang dapat dicari
pembuktian tentang tempus delicti dan locus delicti.
Untuk itu tentu yang seharusnya di ketengahkan di
sidang pengadilan adalah luka/ kelainan pada saat (atau
paling tidak mendekati saat ) peristiwa pidana itu terjadi.
Hal ini boleh dikatakan sangat sulit dikerjakan karena tubuh
manusia senantiasa mengalami perubahan baik berupa
penyembuhan luka (pada korban hidup) atau proses
pembusukan (pada korban mati ), sehingga gambaran
mengenai benda bukti tersebut ( luka, kelainan, jenazah )
tidak sesuai lagi dengan semula. Oleh karena itu semua hal
yang terdapat pada tubuh manusia ( benda bukti ) harus
58
BAB. III
TATA CARA PERMOHONAN
VISUM ET REPERTUM
DAN YANG BERHAK MEMINTA
VISUM
KUHAP Pasal 6
Penyidik adalah :
1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
2. Pejabat pegawai negara sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang -undang.
77
Syarat kepengkatan pejabat sebagaimana dimaksud
dalam (1) akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah. (3)
Dimana, Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam
syarat kepangkatan yang di atur terdapat dalam PP No. 27
tahun 1983.
Pasal 2 ayat 1
Penyidik adalah :
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu
yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu
Letnan Dua Polisi.
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-
kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (
Golongan II / b ) atau yang disamakan dengan itu.(3)
Pasal 2 ayat 2
Dalam hal disuatu sektor Kepolisian tidak ada jabatan
penyidik sebagaimana diatur pada ayat 1 huruf a,
maka Komandan Kepolisian yang berpangkat bintara
di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena
jabatannya adalah Penyidik.
Pasal 3 ayat 1
Penyidik pembantu adalah :
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu
yang sekurang - kurangnya berpangkat Sersan Dua
Polisi.
Pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang -
kurangnya berpangkat Pengatur Muda ( golongan II /
a ) atau yang disamakan dengan itu. (3)
Dalam lingkungan peradilan militer, maka pengertian
penyidik dapat dikaitkan dengan Surat Keputusan
Pangab No: 04 / P / II / 1983 tentang Fungsi
Kepolisian Militer. Pada Pasal 4 huruf c ketentuan
tersebut mengatur fungsi Polisi Militer sebagai
Penyidik, sedangkan pasal 6 ayat c, mengatur fungsi
Provost dalam membantu Komandan pada penyidikan
perkara pidana. Tetapi penyelesaian selanjutnya
diserahkan oleh POM dan POLRI. Sedangkan tata cara
Permohonan/Pencabutan Visum et repertum di atur
78
berdasarkan Instruksi Kapolri No : Ins / E / 20 / IX /
75. (5,8)
Visum et repertum juga pada pekara-pekara tertentu,
diminta kepada dokter / ahli untuk memeriksa
kondisi seseorang yang diduga menderita memiliki
gangguan kejiwaan ( Undang-undang No. 3 / tahun
1966 Pasal 5, 6, dan 8 serta Peraturan Menkes RI 1970
Bab III Pasal 11 - 23 dalam kasus Pidana yang
dijelaskan pada KUHP Pasal 144 ). Terdapat 2
pengertian, yaitu visum et repertum psikiatri yang
dibuat atas permintaan hakim untuk kepentingan
pengadilan dan Surat Keterangan Dokter yang dibuat
atas permintaan polisi atau jaksa untuk kepentingan
pemeriksaan pendahuluan ( penyidikan ).
Sehingga dalam rangka menemukan kebenaran
materiil, maka dokter dalam kepasitasnya sebagai ahli,
dapat diminta bantuannya untuk memberikan
keterangan. Pada tingkat Penyelidikan menentukan
apakah suatu peristiwa merupakan tindak pidana atau
bukan, sedang pada tingkat penyidikan membantu
penyidik mengumpulkan bukti-bukti itu agar
perkaranya dapat lebih jelas dan pelakunya dapat
ditangkap. Pada tingkat ini, kapasitas dokter adalah
sebagai ahli. Bantuannya dalam pemeriksaan jenazah
di rumah sakit atau di tempat kejadian perkara ( TKP ).
Untuk menetukan apakah peristiwa tersebut
merupakan tindak pidana atau bukan. Tentunya yang
paling baik adalah pemeriksaan di TKP, dalam hal : (1,6)
1. Memastikan korban sudah mati atau belum.
2. Memperkirakan cara kematiannya yaitu akibat
pembunuhan, bunuh diri atau kecelakaan.
3. Dapat mencari atau mengumpulkan dan
menyelamatkan barang bukti (trace evidance),
termasuk barang bukti medik, karena dokter
mempunyai kemampuan itu.
Tindakan Penyidikan dilakukan menyusulnya
tindakan penyelidikan yang mengasilkan kesimpulan bahwa
peristiwa yang diselidiki merupakan tindak pidana. Menjadi
79
e. Menggunakan garis-garis penutup bila penulisan
kalimatnya tidak sampai ke tepi kanan untuk
menghindari penambahan dari tangan-tangan jahil.
f. Ditandatangani dan diberi nama jelas pembuat, yang
distempel instansi pembuatnya.
g. Bila ada gambar atau hasil pemeriksaan yang
memperjelas uraian tertulis dapat diberikan dalam
bentuk lampiran.
h. Bila ada kekeliruan pengetikan tidak diperbolehkan di
tip-ex atau di coret-coret tapi di coret dengan satu garis
yang masih bisa terbaca, kemudian di tulis hal yang
dimaksudkan kemudian di paraf oleh pembuat Visum
Et Repertum.
i. Visum Et Repertum yang asli hanya diberikan pada
penyidik peminta dan diperlakukan sebagai dokumen
negara yang bersifat rahasia. Sedang salinannya
diarsipkan dengan mengikuti aturan arsip pada
umumnya dan disimpan hingga 30 tahun.
93
VISUM ET REPERTUM
Tata laksana dan Teknik Pembuatan
BAB 1.
PENDAHULUAN
ISBN 978-602-50127-2-3 | 1
VISUM ET REPERTUM
Tata laksana dan Teknik Pembuatan
yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu
penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah penyidik tunggal bagi
pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa
manusia. Oleh karena Visum et Repertum adalah keterangan ahli mengenai
pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai
negeri sipil tidak berwenang meminta Visum et Repertum, karena mereka hanya
mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP).
Mengenai kepangkatan pembuat surat permintaan Visum et Repertum
telah diatur dalam Peraturan Pemerintah no. 27 tahun 1983 yang menyatakan
penyidik POLRI berpangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua,
sedangkan pada wilayah kepolisian tertentu yang komandannya adalah seorang
bintara (Brigadir), maka ia adalah penyidik karena jabatannya tersebut.
Kepangkatan bagi penyidik pembantu adalah bintara serendah-rendahnya
Brigadir dua. Untuk mengetahui apakah suatu surat permintaan pemeriksaan
telah ditanda tangani oleh yang berwenang, maka yang penting adalah bahwa si
penanda tangan menandatangani surat tersebut selaku penyidik.
Wewenang penyidik meminta keterangan ahli ini diperkuat dengan
kewajiban dokter untuk memberikannya bila diminta, seperti yang tertuang
dalam pasal 179 KUHAP sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagi ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan
keterangan ahli demi keadilan.
ISBN 978-602-50127-2-3 | 2
VISUM ET REPERTUM
Tata laksana dan Teknik Pembuatan
keilmuannya, tidak hanya terbatas pada apa yang dilihat dan ditemukan oleh si
pembuat. Oleh karena berdasarkan keilmuannya, maka keterangan ahli atau
surat tersebut yang dibuat oleh dokter harus dibuat atas dasar pemeriksaan
medis.
Pendapat yang tidak berdasarkan hasil pemeriksaan medis tentu saja
tidak merupakan bagian dari Visum et Repertum. Pemeriksaan medis tersebut
tidak harus dilakukan oleh dokter pembuat Visum et Repertum sendiri. Hal ini
mengingat bahwa kemajuan ilmu kedokteran mengakibatkan berbagai keahlian
khusus pula, sehingga pemeriksaan medis terhadap seseorang korban mungkin
saja dibuat oleh beberapa dokter dari berbagai bidang spesialisasi.
Nama Visum et Repertum hingga saat ini masih dipertahankan, walaupun
dengan konsep yang lama. Nama Visum et Repertum ini digunakan untuk
membedakan surat atau keterangan ahli yang dibuat dokter dengan surat atau
keterangan ahli yang dibuat oleh ahli lain yang bukan dokter.
Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan
sanksi pidana :
Pasal 216 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) :
Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan
yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya
mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian
pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana;
demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-
halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu
atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
ISBN 978-602-50127-2-3 | 4
VISUM ET REPERTUM
Tata laksana dan Teknik Pembuatan
ISBN 978-602-50127-2-3 | 5
VISUM ET REPERTUM
Tata laksana dan Teknik Pembuatan
ISBN 978-602-50127-2-3 | 8
VISUM ET REPERTUM
Tata laksana dan Teknik Pembuatan
ISBN 978-602-50127-2-3 | 9
VISUM ET REPERTUM
Tata laksana dan Teknik Pembuatan
ISBN 978-602-50127-2-3 | 10
VISUM ET REPERTUM
Tata laksana dan Teknik Pembuatan
garis, untuk mencegah penambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab.
Contoh : “Pada pipi kanan ditemukan luka terbuka, tapi tidak rata sepanjang lima
senti meter --------“
ISBN 978-602-50127-2-3 | 11
VISUM ET REPERTUM
Tata laksana dan Teknik Pembuatan
ISBN 978-602-50127-2-3 | 12
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLOGI
BUKU PANDUAN BELAJAR KOAS
Algoritme Kasus
Korban / Pasien
TRIAGE
Forensik
Pemeriksaan Medikolegal
Pengambilan Sampel
Fotografi Forensik
Selesai
0
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLOGI
Penjabaran prosedur
Terperiksa sebagai korban merupakan barang bukti yang
dinyatakan dalam Surat permintaan Visum (SPV) dari penyidik
kepolisian. Bila terperiksa datang tanpa membawa SPV,
terperiksa ditangani sebagai pasien dimana semua bukti-bukti
serta tindakan-tindakan medis dicatat dalam Rekam Medis. Jika
SPV datang terlambat, maka Visum et Repertum dibuat di Bagian
Ilmu Kedokteran Forensik berdasarkan data Rekam Medis.
Apabila terperiksa masuk Rumah Sakit dengan membawa SPV,
maka terperiksa sebagai pasien ditangani oleh dokter klinis yang
sesuai dan sekaligus sebagai korban yang dikumpulkan bukti
medisnya oleh dokter forensik. Visum Et Repertum diterbitkan
oleh Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Ilmu Kedokteran Forensik (Interaksi dan Dependensi Hukum pada Ilmu Kedokteran)
1
KUHAP tidak menyebutkan istilah visum et repertum,
namun demikian KUHAP merupakan salah satu dasar hukum dalam
pembuatan visum et repertum. Landasan hukum lain sebagai rujukan
dalam pembuatan visum et repertum adalah: Stbl. Tahun 1937 No.
350 dan Sumpah Jabatan Dokter.
20 Ilmu Kedokteran Forensik (Interaksi dan Dependensi Hukum pada Ilmu Kedokteran)
kedokteran kehakiman. Menurut Pasal 10 Surat Keputusan Menteri
Kehakiman No. M04.UM.01.06 tahun 1983 menyatakan, bahwa hasil
pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman disebut visum et repertum.
Dengan demikian, merujuk pada SK Menteri Kehakiman No. M04.
UM.01.06 tahun 1983, pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman
oleh dokter disebut visum et repertum. Keterangan dokter berupa
visum et repertum berbentuk tertulis.
22 Ilmu Kedokteran Forensik (Interaksi dan Dependensi Hukum pada Ilmu Kedokteran)
1. Berhubungan dengan ketentuan Pasal 44 KUHP, yaitu pelaku
tindak pidana yang diduga menderita gangguan jiwa atau
jiwanya cacat dalam tumbuh kembangnya;
2. Penentuan umur korban/pelaku tindak pidana:
a. berkaitan dengan korban tindak pidana terhadap anak,
khususnya di bidang kesusilaan misalnya, sebagaimana
ditentukan dalam KUHP Pasal 287, 288, 290 sampai dengan
295, 300 dan 301. Ketentuan KUHP yang berhubungan
dengan anak sebagai korban tindak pidana di bidang
kesusilaan dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan berlakunya UU No. 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU
Perlindungan Anak 2014);
b. berkaitan dengan pelaku tindak pidana anak yang
ditentukan dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak;
Ilmu Kedokteran Forensik (Interaksi dan Dependensi Hukum pada Ilmu Kedokteran)
23
format sesuai dengan kasus yang sedang ditangani.
Macam visum et repertum berdasarkan penggunaannya
sebagai alat bukti adalah sebagai berikut:
24 Ilmu Kedokteran Forensik (Interaksi dan Dependensi Hukum pada Ilmu Kedokteran)
pasti kematian seseorang. Hanya bedah mayat forensik yang
dapat menentukan penyebab pasti kematian seseorang;
c. Visum et repertum penggalian mayat, dilakukan dengan cara
menggali mayat yang telah terkubur atau dikuburkan, yang
kematiannya diduga karena peristiwa pidana. Penggunaan
istilah visum et repertum penggalian mayat lebih tepat
daripada visum et repertum penggalian kuburan, karena orang
yang mati terkubur dikarenakan peristiwa pidana belum tentu
posisinya dikuburkan/terkubur di kuburan. Visum et repertum
penggalian mayat dilakukan, baik atas mayat yang telah
maupun yang belum pernah diberikan visum et repertum. Atas
mayat yang telah diberikan visum et repertum dimungkinkan
untuk dibuatkan visum et repertum ulang apabila hasil visum
et repertum sebelumnya diragukan kebenarannya, misalnya
dalam kasus pembunuhan aktifis buruh perempuan Marsinah
pada masa pemerintahan orde baru yang penggalian mayatnya
dilakukan lebih dari satu kali;
d. Visum et Repertum tentang Umur, tujuan pembuatannya
untuk mengetahui kepastian umur seseorang, baik sebagai
korban maupun pelaku tindak pidana. Kepentingan dalam
menentukan kepastian umur seseorang berkaitan dengan
korban tindak pidana biasanya berhubungan dengan delik
kesusilaan atau tindak pidana lain yang korbannya anak-
anak sebagaimana ditentukan di dalam UU Perlindungan
Anak 2014 maupun KUHP; sedangkan penentuan kepastian
umur seseorang berhubungan dengan pelaku tindak pidana
berhubungan dengan hak seseorang untuk disidangkan dalam
pemeriksaan perkara anak sebagaimana ditentukan di dalam
UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
Ilmu Kedokteran Forensik (Interaksi dan Dependensi Hukum pada Ilmu Kedokteran)
25
et Repertum Psikiatrik biasanya juga diberikan terhadap
pelaku tindak pidana yang dalam melakukan tindak pidana
di luar batas-batas kewajaran manusia normal, misalnya,
pembunuhan dengan cara memutilasi korban, atau tindak
pidana yang dipandang sadis yang tidak mungkin dapat
dilakukan oleh pelaku dalam kondisi jiwa yang normal;
f. Visum et Repertum untuk korban persetubuhan illegal
atau tindak pidana di bidang kesusilaan, merupakan visum
et repertum yang diberikan untuk tindak pidana di bidang
kesusilaan, baik yang. Pemeriksaan terhadap korban tindak
pidana di bidang kesusilaan, khusus pada tindak pidana yang
mengandung unsur persetubuhan pembuktiannya secara
medis lebih mudah daripada tindak pidana kesusilaan yang
tidak mensyaratkan adanya unsur persetubuhan (misalnya,
pelecehan seksual, percabulan, dan sebagainya).
Catatan:
Di samping jenis visum et repertum sebagaimana tersebut
pada huruf a-f, di dalam proses pemeriksaan perkara pidana dikenal
pula:
h Berita Acara Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang
diberikan untuk menggambarkan atau melukiskan keadaan
TKP berhubungan dengan tindak pidana yang terjadi;
26 Ilmu Kedokteran Forensik (Interaksi dan Dependensi Hukum pada Ilmu Kedokteran)
keterangan ahli sedangkan yang dibuat oleh selain ahli kedokteran kehakiman disebut
keterangan.
Secara garis besar, semua dokter yang telah mempunyai surat penugasan atau surat izin dokter
dapat membuat keterangan ahli. Namun untuk tertib administrasinya, maka sebaiknya
permintaan keterangan ahli ini hanya diajukan kepada dokter yang bekerja pada suatu instansi
kesehatan (Puskesmas hingga rumah sakit) atau instansi khusus untuk itu, terutama yang milik
pemerintah.
C. PROSEDUR PERMINTAAN KETERANGAN AHLI.
Permintaan Keterangan Ahli oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis, dan hal ini secara
tegas telah diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2), terutama untuk korban mati.
Jenasah harus diperlakukan dengan baik, diberi label identitas dan penyidik wajib
memberitahukan dan menjelaskan kepada keluarga korban mengenai pemeriksaan yang akan
dilaksanakan. Mereka yang menghalangi pemeriksaan 'jenasah untuk kepentingan peradilan
diancam hukuman sesuai dengan pasal 222 KUHP.
Korban yang masih hidup sebaiknya diantar oleh petugas kepolisian guna pemastian
identitasnya. Korban adalah juga pasien, sehingga ia masih mempunyai hak sebagai pasien pada
umumnya.
Surat permintaan keterangan ahli ditujukan kepada instansi kesehatan atau instansi khusus untuk
itu, bukan kepada individu dokter yang bekerja di dalam instansi tersebut.
D. PENGGUNAAN KETERANGAN AHLI.
Penggunaan keterangan ahli, atau dalam hal ini visum et reper-tum, adalah hanya untuk
keperluan peradilan. Dengan demikian berkas Keterangan Ahli ini hanya boleh diserahkan
kepada penyidik (instansi) yang memintanya. Keluarga korban atau pengacaranya dan pembela
tersangka pelaku pidana tidak dapat meminta keterangan ahli langsung kepada dokter pemeriksa,
melainkan harus melalui aparat peradilan (penyidik, jaksa atau hakim).
Berkas Keterangan Ahli ini tidak dapat digunakan untuk penyelesaian klaim asuransi. Bila
diperlukan keterangan, pihak asuransi dapat meminta kepada dokter keterangan yang khusus
untuk hal tersebut, dengan memperhatikan ketentuan tentang wajib simpan rahasia jabatan.
VISUM ET REPERTUM
Dalam tugas sehari-hari, selain melakukan pemeriksaan diagnostik, memberikan pengobatan dan
perawatan kepada pasien, dokter juga mempunyai tugas melakukan pemeriksaan medik untuk
tujuan membantu penegakan hukum, baik untuk korban hidup maupun korban mati.
Pemeriksaan medik untuk tujuan membantu penegakan hukum antara lain adalah pembuatan
visum et repertum terhadap seseorang yang dikirim oleh polisi (penyidik) karena diduga sebagai
korban suatu tindak pidana, baik dalam peristiwa kecelakkaan lalu-lintas, kecelakaan kerja,
penganiayaan, pembunuhan, perkosaan, maupun korban meninggal yang pada pemeriksaan
pertama polisi, terdapat kecurigaan akan kemungkinan adanya tindak pidana.
Di hadapan dokter, seorang korban hidup dapat berstatus sebagai korban untuk dibuatkan visum
et repertum, sekaligus berstatus sebagai pasien untuk diobati/dirawat.
Sebagai pasien orang tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang timbul akibat hubungan
dokter-pasien (kontrak terapeutik). Berbagai hak yang dimiliki pasien, seperti hak atas informasi,
hak menolak/memilih al ternatif cara pemeriksaan/terapi, hak atas rahasia kedokteran dan lain-
lain harus dipatuhi oleh dokter. Namun sebagai korban, pada orang tersebut berlaku ketentuan-
ketentuan seperti yang diatur dalam hukum acara pidana. Orang tersebut tidak dapat begitu saja
menolak pemeriksaan forensik yang akan dilakukan terhadap dirinya.
DASAR HUKUM
Pasal 133 KUHAP menyebutkan :
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan manangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis,
yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat
dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Penjelasan terhadap pasal 133 KUHAP:
(2) Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli,
sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut
keterangan.
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana
bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP.
Yang dimaksud dengan penyidik di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6 (1) butir a., yaitu
penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah penyidik tunggal bagi pidana umum,
termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia.
Oleh karena visum et repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan
kesehatan dan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta
visum et repertum, karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang
yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7 (2) KUHAP).
Mengenai kepangkatan pembuat surat permintaan visum et repertum telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah no 27 tahun 1983 yang manyatakan penyidik Polri berpangkat serendah-
rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan pada wilayah kepolisian tertentu yang
komandannya adalah seorang bintara (Sersan), maka ia adalah penyidik karena jabatannya
tersebut. Kepangkatan bagi Penyidik pembantu adalah bintara serendah-rendahnya sersan dua.
Untuk mengetahui apakah suatu Surat Permintaan pemeriksaan telah ditan-da tangani oleh yang
berwenang, maka yang penting adalah bahwa si penandatang menandatangani surat tersebut
selaku penyidik.
Wewenang penyidik meminta keterangan ahli ini diperkuat dengan kewajiban dokter untuk
memberikannya bila diminta, seperti yang tertuang dalam pasal 179 KUHAP sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau
ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
Nama Visum et repertum tidak pernah disebut di dalam KUHAP maupun hukum acara pidana
sebelumnya (RIB=P»eglemen Indonesia yang diBaharui). Nama visum et repertum sendiri hanya
disebut di dalam Statsblad 350 tahun 1937 pasal 1 dan 2 yang berbunyi:
1. Visa reperta dari dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada waktu
menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda atau di Indonesia, atau atas sumpah
khusus sebagai dimaksud dalam pasal 2, mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana,
sejauh itu mengandung keterangan tentang yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa.
2. Dokter-dokter yang tidak mengikrarkan sumpah jabatan di Negeri Belanda maupun di
Indonesia, sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, boleh mengikrarkan sumpah (atau janji)
sebagai berikut: " ..........."
Sedangkan bunyi sumpah dokter yang dimaksud dalam pasal 1 di atas, adalah lafal sumpah
seperti pada Statsblad 1882 No 97, pasal 38 (berlaku hingga 2 Juni 1960) yang berbunyi:
"Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya akan melakukan pekerjaan ilmu kedokteran, bedah dan
kebidanan menururt ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang sebaik-baiknya
menurut kemampuan saya dan bahwa saya tidak akan mengumumkan kepada siapapun juga,
segala sesuatu yang dipercayakan kepada saya atau yang saya ketahui karena pekerjaaan saya,
kecuali kalau saya dituntut untuk memberi keterangan sebagai saksi atau ahli di muka pengadilan
atau selain itu saya berdasarkan undang-undang diwajibkan untuk memberi keterangan."
Dari bunyi Stb 350 tahun 1937 terlihat bahwa :
1. Nilai daya bukti visum et repertum dokter hanya sebatas mengenai hal yang dilihat atau
ditemukannya saja pada korban. Dalam hal demikian, dokter hanya dianggap memberikan
kesaksian (mata) saja.
2. Visum et repertum hanya sah bila dibuat oleh dokter yang sudah mengucapkan sumpah
sewaktu mulai menjabat sebagai dokter, dengan lafal sumpah dokter seperti yang tertera pada
Statsblad No 97 pasal 38, tahun 1882. Lafal sumpah dokter ini memang tepat bila digunakan
sebagai landasan pijak pembuatan visum et repertum.
Pasal-pasal KUHAP yang mengatur tentang produk dokter yang sepadan dengan visum et
repertum adalah pasal 186 dan 187, yang berbunyi:
Pasal 186: Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Penjelasan pasal 186 KUHAP: Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan
dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Pasal 187:(c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.
Keduanya termasuk ke dalam alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP.
pasal 184 : (1) Alat bukti yang sah adalah : Keterangan saksi;
Keterangan ahli;
Surat;
Petunjuk;
Keterangan terdakwa.
Dari pasal-pasal di atas tampak bahwa yang dimaksud dengan keterangan ahli maupun surat
(butir c) dalam KUHAP adalah sepadan dengan yang dimaksud dengan visum et repertum dalam
Stb no. 350 tahun 1937.
Perbedaannya adalah bahwa keterangan ahli atau surat (KUHAP) adalah keterangan atau
pendapat yang dibuat oleh ahli (termasuk dokter) berdasarkan keilmuannya, tidak hanya terbatas
pada "apa yang dilihat dan ditemukan oleh si pembuat". Oleh karena berdasarkan keilmuannya,
maka keterangan ahli atau surat tersebut yang dibuat oleh dokter harus di buat atas dasar
pemeriksaan medik.
Pendapat yang tidak berdasarkan hasil pemeriksaan medik tentu saja tidak merupakan bagian
dari visum et repertum. Pemeriksaan medik tersebut tidak harus dilakukan oleh dokter pembuat
visum et repertum sendiri. Hal ini mengingat bahwa kemajuan ilmu kedokteran mengakibatkan
berbagai pemeriksaan yang khusus harus dilakukan oleh dokter dengan keahlian khusus pula,
sehingga pemeriksaan medik terhadap seseorang pasien (korban) mungkin saja dibuat oleh
beberapa dokter dari berbagai bidang spesialisasi.
Nama visum et repertum hingga saat ini masih dipertahankan, walaupun dengan konsep yang
berbeda dengan konsep yang lama. Nama visum et repertum ini digunakan untuk membedakan
surat/ keterangan ahli yang dibuat dokter dengan surat/keterangan ahli yang dibuat oleh ahli lain
yang bukan dokter.
DEFINISI
Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang
berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun
bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah,
untuk kepentingan peradilan.
PERANAN DAN FUNGSI VISUM ET REPERTUM
Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184
KUHAP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana ter-
hadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil
pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian Pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap
sebagai pengganti benda bukti.
Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan
medik tersebut yang tertuang di dalam bagian Kesimpulan.
Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan
ilmu hukum, sehingga dengan membaca Visum et Repertum, dapat diketahui dengan jelas apa
yang telah terjadi pada seseorang dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma
hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh/jiwa manusia.
Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduknya persoalan di sidang Pengadilan,
maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum
dalam KUHAP, yang memberi kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang
atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat
hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan(ps 180 KUHAP).
PERBEDAAN VISUM ET REPERTUM DENGAN CATATAN MEDIK DAN SURAT
KETERANGAN MEDIK LAINNYA.
Di dunia kedokteran, dikenal pelbagai surat keterangan, antara lain catatan medik dan surat
keterangan medik.
Catatan medik adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medik beserta tindakan
pengobatan/perawatannya, yang merupakan milik pasien, meskipun dipegang oleh
dokter/institusi kesehatan. Catatan medik ini terikat pada rahasia pekerjaan dokter yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966 dengan sanksi hukum seperti dalam pasal 322
KUHP.
Dokter boleh membuka isi catatan medik kepada pihak ketiga, misalnya dalam bentuk
keterangan medik, hanya setelah memperoleh izin dari pasien, baik berupa izin langsung maupun
berupa perjanjian yang dibuat sebelumnya antara pasien dengan pihak ketiga tertentu (misalnya
perusahaan asuransi).
Oleh karena Visum et repertum dibuat atas kehendak undang-undang, maka dokter tidak dapat
dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 322 KUHP,
meskipun dokter membuatnya tanpa seizin pasien. Pasal 50 KUHP mengatakan bahwa
barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undangundang, tidak dipidana,
sepanjang Visum et repertum tersebut hanya diberikan kepada instansi penyidik yang
memintanya, untuk selanjutnya dipergunakan dalam proses peradilan.
JENIS DAN BENTUK VISUM ET REPERTUM
Dengan konsep visum et repertum di atas, dikenal beberapa jenis visum et repertum, yaitu :
a. Visum et repertum perlukaan (termasuk keracunan)
b. Visum et repertum kejahatan susila
c. Visum et repertum jenasah
d. Visum et repertum psikiatrik
Jenis a, b dan c adalah visum et repertum mengenai tubuh/ raga manusia yang dalam hal ini
berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan jenis d adalah mengenai jiwa/mental
tersangka atau terdakwa tindak pidana.
Meskipun jenisnya bermacam-macam, namun nama resminya tetap sama yaitu "Visum et
Repertum", tanpa embel-embel lain.
Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya dengan mesin ketik, di atas sebuah kertas
putih dengan kepala surat institusi kesehatan yang melakukan pemeriksaan, dalam bahasa
Indonesia, tanpa memuat singkatan, dan sedapat mungkin tanpa istilah asing, bila terpaksa
digunakan agar diberi penjelasan bahasa Indonesia.
Apabila penulisan sesuatu kalimat dalam visum et repertum berakhir tidak pada tepi kanan
format, maka sesudah tanda titik harus diberi garis hingga ke tepi kanan format.
Apabila diperlukan gambar atau foto untuk lebih memperjelas uraian tertulis dalam visum et
repertum, maka gambar atau foto tersebut diberi kan dalam bentuk lampiran.
Visum et repertum terdiri dari 5 bagian yang tetap, yaitu :
l'. Kata Pro justitia yang diletakkan di bagian atas. Kata ini menjelaskan bahwa visum et
repertum khusus dibuat untuk tujuan peradilan. Visum et repertum tidak membutuhkan meterai
untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum.
2. Bagian Pendahuluan. Kata "Pendahuluan" sendiri tidak ditulis di dalam visum et repertum,
melainkan langsung dituliskan berupa kalimat-kalimat di bawah judul. Bagian ini menerangkan
nama dokter pembuat visum et repertum dan institusi kesehatannya, instansi penyidik
pemintanya berikut nomor dan tanggal surat permintaannya, tempat dan waktu pemeriksaan,
serta identitas korban yang diperiksa.
Dokter tidak dibebani pemastian identitas korban, maka uraian identitas korban adalah sesuai
dengan uraian identitas yang ditulis dalam surat permintaan visum et repertum. Bila terdapat
ketidak-sesuaian identitas korban antara surat permintaan dengan catatan medik atau pasien yang
diperiksa, dokter dapat meminta kejelasannya dari penyidik.
3. Bagian Pemberitaan. Bagian ini berjudul "Hasil pemeriksaan" dan berisi hasil pemeriksaan
medik tentang keadaan kesehatan atau sakit atau luka korban yang berkaitan dengan perkaranya,
tindakan medik yang dilakukan serta keadaannya selesai pengobatan/perawatan.
Bila korban meninggal dan dilakukan autopsi, maka diuraikan keadaan seluruh alat-dalam yang
berkaitan dengan perkara dan matinya orang tersebut.
Yang diuraikan dalam bagian ini merupakan pengganti barang bukti, berupa perlukaan/keadaan
kesehatan/sebab kematian yang berkaitan dengan perkaranya. Temuan hasil pemeriksaan medik
yang bersifat rahasia dan tidak berhubungan dengan perkaranya tidak dituangkan ke dalam
bagian pemberitaan dan dianggap tetap sebagai rahasia kedokteran.
4. Bagian Kesimpulan. Bagian ini berjudul "Kesimpulan" dan berisi pendapat dokter
berdasarkan keilmuannya, mengenai jenis perlukaan/cedera yang ditemukan dan jenis kekerasan
atau zat penyebabnya, serta derajat perlukaan atau sebab kematiannya.
Pada kejahatan susila, diterangkan juga apakah telah terjadi persetubuhan dan kapan perkiraan
kejadiannya, serta usia korban atau kepantasan korban untuk dikawin.
5. Bagian Penutup. Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku "Demikianlah visum et
repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat
sumpah sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana."
VISUM ET REPERTUM PADA KASUS PERLUKAAN
Tujuan pemeriksaan kedokteran forensik pada korban hidup adalah untuk mengetahui penyebab
luka/sakit dan derajat parahnya luka atau sakitnya tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk
memenuhi rumusan delik dalam KUHP. Jelaslah di sini bahwa pemeriksaan kedokteran forensik
tidak ditujukan untuk pengobatan.
Terhadap setiap pasien, dokter harus membuat catatan medik atas semua hasil pemeriksaan
mediknya. Pada korban yang diduga korban tindak pidana, pencatatan harus lengkap dan jelas
sehingga dapat digunakan untuk pembuatan visum et repertum. Catatan medik yang tidak
lengkap dapat mengakibatkan hilangnya sebagian barang bukti di dalam bagian Pemberitaan
visum et repertum.
Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor ke penyidik/pejabat
kepolisian, sehingga mereka datang dengan membawa serta surat permintaan visum et repertum.
Sedangkan para korban dengan luka sedang dan berat akan datang ke dokter atau rumah sakit
sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan visum et repertumnya akan datang
terlambat. Keterlambatan surat permintaan visum et repertum ini dapat diperkecil dengan
diadakannya kerjasama yang baik antara dokter/institusi kesehatan dengan penyidik/instansi
kepolisian.
Baik terhadap Surat Permintaan Visum et repertum yang datang bersamaan dengan korban,
maupun yang datang terlambat, harus dibuatkan visum et repertum. Visum et repertum ini dibuat
setelah perawatan/pengobatan selesai, kecuali pada visum et repertum sementara, dan perlu
pemeriksaan ulang pada korban bila surat permintaan pemeriksaan datang terlambat.
Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan ringan (Pasal
352 KUHP), sedangkan korban dengan luka 'sedang' dapat merupakan hasil dari tindak
penganiayaan (pasal 351 (1) atau 353 (1)).
Korban dengan luka berat (pasal 90 KUHP) dapat merupakan hasil dari tindak pidana
penganiayaan dengan akibat luka berat (pasal 351 (2) atau 353 (2)) atau akibat penganiayaan
berat (pasal 354 (1) atau 355 (1)).
Perlu diingat bahwa luka-luka tersebut dapat juga timbul akibat kecelakaan atau usaha bunuh
diri.
Derajat luka. Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, penganiayaan ringan adalah penganiayaan
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan,
sebagaimana bunyi pasal 352 KUHP. Umumnya, yang dianggap sebagai hasil dari penganiayaan
ringan adalah korban dengan "tanpa luka" atau dengan luka lecet atau memar kecil di lokasi yang
tidak berbahaya/yang tidak menurunkan fungsi alat tubuh tertentu. Luka-luka tersebut kita
masukkan ke dalam kategori luka ringan atau luka derajat satu.
KUHP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan penganiayaan, tetapi jurisprudensi Hoge
Raad tanggal 25 Juni 1894 menjelaskan bahwa menganiaya adalah dengan sengaja menimbulkan
sakit atau luka. Yang penting bagi dokter adalah menentukan keadaan yang bagaimanakah yang
dimaksud dengan sakit atau luka. Oleh karena batasan luka ringan sudah disebutkan di atas,
maka semua keadaan yang "lebih berat" dari luka ringan dimasukkan ke dalam batasan sakit atau
luka. Selanjutnya dokter tinggal membaginya ke dalam kategori luka sedang (luka derajat dua)
dan luka berat (luka derajat tiga).
KUHP pasal 90 telah memberikan batasan tentang iuka berat, yaitu: jatuh sakit atau mendapat
luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya
maut ; yang menyebabkan seseorang terus menerus tidak mampu untuk menjalankan tugas
jabatan atau pekerjaan pencaharian; yang menyebabkan kehilangan salah satu panca indera; yang
menimbulkan cacat berat (verminking); yang mengakibatkan terjadinya keadaan lumpuh;
Dalam bagian Kesimpulan, dokter harus menuliskan luka-luka atau cedera atau penyakit yang
ditemukan, jenis benda penyebabnya serta derajat perlukaan. Derajat luka dituliskan dalam
kalimat yang mengarah ke rumusan delik dalam KUHP.
Contoh kesimpulan pada kasus dengan luka ringan:
Pada korban laki-laki ini ditemukan memar pada pipi kiri akibat kekerasan tumpul yang tidak
mengakibatkan penyakit atau halangan dalam melakukan pekerjaan.
Pada 'luka sedang', misalnya:
Pada korban wanita ini ditemukan patah tulang tertutup pada tulang paha kanan akibat kekerasan
tumpul, yang mengakibatkan
penyakit dan halangan dalam melakukan pekerjaannya selama......
Atau pada kasus lain: Pada korban wanita ini ditemukan luka terbuka di tungkai bawah kiri
akibat kekerasan tumpul, sehingga mengakibatkan penyakit yang memerlukan pengobatan jalan
selama ....
Contoh kasus dengan luka berat:
Pada korban laki-laki ini ditemukan luka terbuka di dada sisi kanan yang mengenai baga tengah
paru kanan akibat kekerasan tajam, yang telah mendatangkan bahaya maut baginya", atau pada
kasus lain: Pada korban laki-laki ini ditemukan luka terbuka dan memar pada mata kanan akibat
kekerasan tumpul, yang mengakibatkan hilangnya indera penglihatan sebelah kanan untuk
selamanya".
VISUM ET REPERTUM KORBAN KEJAHATAN SUSILA
Pada umumnya, korban kejahatan susila yang dimintakan visum et repertumnya kepada dokter
adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP.
Persetubuhan yang diancam pidana oleh KUHP meliputi pemerkosaan, persetubuhan pada
wanita yang tidak berdaya, persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur.
Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya persetubuhan,
adanya kekerasan (termasuk pemberian racun/obat/zat agar menjadi tidak berdaya) serta usia
korban. Selain itu dokter juga diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual,
kehamilan dan kelainan psikiatrik/kejiwaan sebagai akibat dari tindak pidana tersebut. Dokter
tidak dibebani pembuktian adanya pemerkosaan, karena istilah pemerkosaan adalah istilah
hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.
Untuk dapat memeriksa korban wanita tersebut, selain adanya surat permintaan visum et
repertum, dokter sebaiknya juga mempersiapkan si korban atau orang tuanya bila ia masih belum
cukup umur, agar dapat dilakukan pemeriksaan serta saksi atau pendamping perawat wanita dan
pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam ruang tertutup yang tenang.
Pembuktian adanya persetubuhan dilakukan dengan pemeriksaan fisik terhadap kemungkinan
adanya deflorasi himen, laserasi vulva atau vagina, serta adanya cairan mani dan sel sperma
dalam vagina terutama dalam forniks posterior.
Pembuktian adanya sel sperma dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik sediaan usap
vagina, baik langsung maupun dengan pewarnaan khusus. Selain sel sperma, adanya ejakulat
juga dapat dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium khusus untuk cairan mani. Adanya
penyakit hubungan seksual atau kehamilan memperkuat adanya persetubuhan, meskipun tidak
diketahui saat terjadinya. Bukti adanya persetubuhan tersebut baru mempunyai nilai bila sesuai
waktu kejadiannya dengan persetubuhan yang diperkarakan. Misalnya, adanya deflorasi himen
lama (tepi robekan berupa jaringan parut) atau ditemukannya sel-sel sperma yang hampir lisis,
bukanlah merupakan bukti persetubuhan yang diperkarakan yang terjadi satu hari sebelum
pemeriksaan. Jejak kekerasan harus dicari tidak hanya di daerah perineum, melainkan juga
daerah-daerah lain yang lazim, seperti wajah, leher, payudara, perut dan paha. Pengambilan
sampel darah untuk pemeriksaan toksikologi dilakukan bila ada kecurigaan ke arah tersebut, baik
yang didapat dari anamnesa maupun dari pemeriksaan tisik.
Usia korban biasanya dapat diketahui bila identitasnya dan asal usulnya jelas. Bila usianya tidak
jelas, maka harus dicari tanda-tanda medik guna memperkirakannya. Telah adanya haid
menunjukkan usia 12 tahun atau lebih, sedangkan adanya tanda seks sekunder yang berkembang
menunjukkan usia 15 tahun atau lebih.
Dalam kesimpulan visum et repertum korban kejahatan susila diharapkan tercantum perkiraan
tentang usia korban, ada atau tidaknya tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan
kapan perkiraan terjadinya, dan ada atau tidaknya tanda kekerasan.
VISUM ET REPERTUM JENASAH
Jenasah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang memuat identitas
mayat, di-lak dengan diberi cap jabatan, yang diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh
lainnya. Pada surat permintaan visum et repertumnya harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang
diminta, apakah hanya pemeriksaan luar jenasah, ataukah pemeriksaan autopsi (bedah mayat) (ps
133 KUHAP).
Bila pemeriksaan autopsi yang diinginkan, maka penyidik wajib memberitahu kepada keluarga
korban dan menerangkan maksud dan tujuannya pemeriksaan. Autopsi dilakukan setelah
keluarga korban tidak keberatan, atau bila dalam dua hari tidak ada tanggapan apapun dari
keluarga korban (ps 134 KUHAP). Jenasah yang diperiksa dapat juga berupa jenasah yang
didapat dari penggalian kuburan (ps135 KUHAP).
Jenasah hanya boleh dibawa keluar institusi kesehatan dan diberi surat keterangan kematian bila
seluruh pemeriksaan yang diminta oleh penyidik telah dilakukan. Apabila jenasah dibawa pulang
paksa, maka baginya tidak ada surat keterangan kematian.
Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi pemeriksaan luar jenasah, tanpa melakukan
tindakan yang merusak keutuhan jaringan jenasah. Pemeriksaan dilakukan dengan teliti dan sis-
tematik, serta kemudian dicatat secara rinci, mulai dari bungkus atau tutup jenasah, pakaian,
benda-benda di sekitar jenasah, perhiasan, ciri-ciri umum identitas, tanda-tanda tanatologik, gigi-
geligi, dan luka atau cedera atau kelainan yang ditemukan di seluruh bagian luar.
Apabila penyidik hanya meminta pemeriksaan luar saja, maka kesimpulan visum et repertum
menyebutkan jenis luka atau kelainan yang ditemukan dan jenis kekerasan penyebabnya,
sedangkan sebab matinya tidak dapat ditentukan karena tidak dilakukan pemeriksaan bedah
jenasah. Lamanya mati sebelum pemeriksaan (perkiraan saat kematian), apabila dapat
diperkirakan, dapat dicantumkan dalam kesimpulan.
Kemudian dilakukan pemeriksaan bedah jenasah menyeluruh dengan membuka rongga
tengkorak, leher, dada, perut dan panggul. Kadang kala dilakukan pemeriksaan penunjang yang
diperlukan seperti pemeriksaan histopatologik, toksikologik, serologik dsb.
Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab kematian korban, selain jenis luka atau kelainan,
jenis kekerasan penyebabnya, dan saat kematian seperti tersebut di atas.
VISUM ET REPERTUM PSIKIATRIK
Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44(1) KUHP yang berbunyi:
Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan
karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena
penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.
Jadi yang dapat dikenakan pasal ini tidak hanya orang yang menderita penyakit jiwa (psikosis),
tetapi juga orang yang retardasi mental. Apabila penyakit jiwa (psikosis) yang ditemukan, maka
harus dibuktikan apakah penyakit itu telah ada sewaktu tindak pidana tersebut dilakukan. Tentu
saja semakin panjang jarak antara saat kejadian dengan saat pemeriksaan akan semakin sulit bagi
dokter untuk menentukannya. Demikian pula jenis penyakit jiwa yang bersifat hilang-timbul
akan mempersulit pembuatan kesimpulan dokter.
Visum et repertum psikiatrik diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana,
bukan bagi korban sebagaimana visum et repertum lainnya. Selain itu visum et repertum
psikiatrik menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Oleh
karena visum et repertum psikiatrik menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang
atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila pembuat visum et repertum
psikiatrik ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit
umum.
RAHASIA KEDOKTERAN
dan ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
I. TINJAUAN UMUM RAHASIA KEDOKTERAN A. Hakekat Rahasia Kedokteran
1. Rahasia Jabatan dan Rahasia Pekerjaan
Rahasia Jabatan bukan berdasarkan azas kepercayaan, diwajibkan bagi pejabat negara,
sedangkan Rahasia Pekerjaan berdasarkan azas kepercayaan, bersifat swasta
2. Azas kepercayaan.
Profesi kedokteran (bidang kesehatan) baru dapat berlangsung bila ada kerelaan pasien untuk
mengungkapkan keadaan dirinya, termasuk hal-hal yang amat pribadi. Bentuk pengungkapan diri
pasien dalam hubungannya dengan profesi kedokteran meliputi tindakan anamnesa (wawancara),
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorik. Hal ini berarti semua data pribadinya diserahkan
pada tangan dokter yang memeriksanya (beserta staf medis lainnya).
Dalam keadaan memerlukan bantuan medik, seorang pasien berada dalam situasi konflik. Di satu
pihak pasien menderita dan sangat memerlukan bantuan orang lain (dokter), tetapi di pihak lain
pasien juga menginginkan rahasianya tetap utuh, demi ketentraman batin dan integritas
pribadinya. Nampaknya pasien yang datang ke dokter terpaksa harus mengorbankan
kepentingannya yang kedua (rahasia pribasi).