Anda di halaman 1dari 7

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Apakah yang dimaksud dengan Kriminalistik? Pertanyaan itu tentu akan muncul
ketika kita menyaksikan berita kriminal di televisi, atau media lainnya. Istilah
Kriminalistik bagi orang-orang pada umumnya tidak asing mendengar istilah tersebut.
Lalu sebenarnya apakah yang dimaksud dari Kriminalistik tersebut, berikut ini adalah
beberapa definisi dari Kriminalistik yang diperoleh oleh penyusun (dalam buku R.
Soesilo dan M. Karjadi “Kriminalistik”) :

1. Kriminalistik adalah ilmu pengetahuan untuk menetukan terjadinya kejahatan dan


menyidik pembuatnya dengan mempergunakan cara ilmu pengetahuan alam, dengan
mengesampingkan cara-cara lainnya yang dipergunakan oleh ilmu kedokteran kehakiman
(sekarang ilmu kedokteran forensik), ilmu racun kehakiman (sekarang toksikologi
forensik) dan ilmu penyakit jiwa kehakiman (ilmu psikologi forensik). (dari buku “Dasar-
dasar pokok penyidikan kejahatan”)

2. Kriminalistik adalah suatu pengetahuan yang berusaha untuk menyelidiki/ mengusut


kejahatan dalam arti seluas-luasnya, berdasarkan bukti-bukti dan keterangan-keterangan
dengan menggunakan hasil yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan lainnya. ( dari buku
”Kriminalistik” R. Dedeng Suriaiputra).

3. Kriminalistik adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah


teknik sebagai alat untuk mengadakan pengejaran atau penyididkan perkara kejahatan
secara teknis dengan mempergunakan ilmu-ilmu alam, kimia dan lain-lain seperti ilmu
kedokteran kehakiman, ilmu alam kehakiman antaralain ilmu sidik jari dan ilmu kimia
kehakiman seperti ilmu tentang keracunan dan lain-lain. (dari buku “Criminologie een
inleiding”. Prof. Noach) Dari beberapa pengertian di atas sangatlah jelas bahwasanya
terdapat perbedaan pendapat mengenai pengertian Kriminalistik. Perbedaan pendapat
mengenai pengertian tersebut terjadi karena beberapa faktor misalnya perbedaan latar
belakang kehidupan dan pendidikan; kriminalistik ilmu yang masih muda (R. Soesilo dan
M.Karjadi).
Ilmu-ilmu pengetahuan yang dipakai untuk pengungkapan suatu perkara pidana
menggunakan ilmu-ilmu bantu tersebut seperti :

a) Ilmu Daktiloskopi; yakni ilmu yang berkaitan dengan sidik jari manusia
b) .Sinyalemen; yakni ilmu tentang ciri-ciri manusia
c) Ilmu kedokteran forensik; yakni ilmu kedoteran yang bermanfaat untuk
kepentingan Pengadilan.
d) Toksikologi forensik; yakni ilmu yang menerangkan tentang racun untuk
kepentingan Pengadilan
KUHAP secara implisit telah diatur mengenai alat-alat bukti yang sah. Berdasarkan
penjelasan di atas, maka tampak jelas bahwa didalam pengungkapan suatu perkara pidana
memerlukan ilmu bantu lain. Salah satu alat bukti yang sah berdasarkan ketentuan
KUHAP adalah Keterangan Ahli. Olehkarena itu penyusun makalah menganggap perlu
untuk membahas mengenai keterangan ahli.

B.RUMUSANMASALAH
1. Bagaimana keterangan ahli ditinjau dari hukum acara pidana di Pengadilan?
2. Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan ahli?
BAB II
PEMBAHASAN

A. KETERANGAN AHLI DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA DI


PENGADILAN

Alat- alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP
menyebutkan alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan saksi
b. keterangan ahli
c. surat
d. petunjuk
e. keterangan terdakwa.
Dari kelima macam alat bukti tersebut, yang perlu diterangkan adalah alat bukti yang
berupa keterangan ahli.
Di dalam ilmu kedokteran forensik dikenal bukti-bukti selain saksi hidup juga
bukti-bukti fisik. Untuk mengetahui dan mempelajari hubungan antara bukti fisik dengan
suatu kasus tindak pidana, diperlukan ahli (pakar dalam bidang tersebut). Untuk
memeriksa dan mengetahui, meneliti, menganalisis dan mempelajari serta
mengungkapkan harta benda/bukti fisik tersebut diperlukan ilmu pengetahuan kehakiman
atau ilmu kedokteran kehakiman. Bukti yang dapat diperiksa dengan ilmu-ilmu
pengetahuan tersebut atas benda fisik, ini lazim disebut saksi diam. Saksi diam ini terdiri
atas benda atau bagian/luka/tubuh manusia yang hidup atau telah meninggal, senjata atau
alat (benda) untuk melakukan kejahatan, jejak atau bekas-bekas si pelaku, benda-benda
yang terbawa atau tertinggal atau disimpan, dialihkan, dipakai oleh sipelaku dan lain-lain.
Sebenarnya bukti fisik itu sebenarnya berbicara banyak, hanya saja bahasanya sendiri,
sehingga tidak dapat dimengerti oleh orang awam. Oleh karenanya diperlukan seorang
penerjemah yakni sorang ilmuwan yang telah melakukan pemeriksaan dengan ilmu
pengetahuan yang dimiliknya dapat menangkap bahasa dari bukti fisik tersebut dan
menerjemahkannya, sehingga dapar dimengerti oleh orang-orang yang berkepentingan
yaitu hakim, jaksa, polisi, penasihat hukum, terdakwa sendiri. Dan penerjemah ini lazim
disebut “Saksi Ahli” ( Skilled witness,expert witness).
Dimuka persidangan saksi ahli dimaksudkan sebagai ilmuwan yang melakukan
pemeriksaan dan mengemukakan pendapat (kesimpulan) tentang bekas fisik tersebut.
Oleh karena itu ada pula ilmuwan yang tidak melakukan pemeriksaan, akan tetapi hanya
didengar pendapatnya saja. Oleh karena itu untuk istilah ahli sebenarnya dapat dibagi
dalam 3 macam ahli yang biasa terlibat dalam suatu proses peradilan. Mereka adalah :

1. AHLI (Deskundige)
Orang ini hanya mengemukakan pendapatnya tentang suatu persoalan yang ditanyakan
kepadanya, tanpa melakukan suatu pemeriksaan. Contohnya adalah dokter spesialis
kebidanan dan penyakit kandungan, yang diminta pendapatnya tentang obat A (yang
dipersoalkan dapat menimbulkan abortus atau tidaknya)
2. SAKSI AHLI ( Getuiege deskundige) Orang ini menyaksikan barang bukti atau bekas
fisik, melakukan pemeriksaan dan mengemukakan pendapatnya. Misal dokter yang
melakukan pmeriksaan mayat.
3. ZAAKKUNDIGE Orang ini menerangkan tentang sesuatu persoalan yang sebenarnya
dapat dipelajari sendiri oleh hakim, tetapi akan memakan banyak waktu. Misal seorang
pegawai Bea dan cukai diminta menerangkan prosedur pengeluaran barang dari
pelabuhan. Tanpa orang ini mengemukakan pendapatnya, hakim sendiri sudah dapat
menentukan apakah telah terjadi suatu tindak pidana atau tidak. Karena hakim dapat
dengan mudah mencocokan apakah dalam kasus yang diperiksa ini telah terjadi
penyimpangan prosedur yang sebenarnya atau tidak.
Penyidik di dalam tahap penyidikan dapat meminta keterangan ahli. Hal ini
berdasarkan pada Pasal 120 KUHAP. Ahli atau pakar didalam Pasal 1 butir 28 KUHAP
sudah dirumuskan secara umum tetapi dari Pasal 120 ayat (1) dibedakan lagi antara orang
ahli dan orang yang memiliki keahlian khusus (dimana pembedaan tersebut bermakna
sama).
Selanjutnya pula di dalam penjelasan Pasal 133ayat (2) KUHAP bahwa
keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli
sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman
disebut Keterangan (dan seumpama tidak ada dokter ahli forensik maka hakim dapat
meminta keterangan dokter bukan ahli di dalam sidang, sekalipun bukan sebagai
keterangan ahli tetapi dapat dipakai sebagai alat bukti sah sebagai ”keterangan saksi.”

B. KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN AHLI.

Keterangan orang ahli kedoteran kehakiman, dokter bukan ahli kedokteran


kehakiman atau ahli lainnya dapat berupa :
a. Keterangan Ahli; yaitu dalam suatu bentuk “laporan” oleh dokter ahli kedokteran
kehakiman atau ahli lainnya sesuai dengan Pasal 1 butir 28 KUHAP, tentang sesuatu hal
atau suatu pokok soal.
b. Keterangan Ahli; oleh dokter ahli kedokteran kehakiman atau dokter lain, dalam
bentuk Visum et Repertum
c. Keterangan; yaitu keterangan oleh doter, bukan ahli kedokteran kehakiman dilakukan
secara tertulis/ laporan.
Di dalam ketentuan Pasal 180 ayat (1) KUHAP ditentukan, dalam hal diperlukan
untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang Pengadilan, hakim ketua
sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta dengan diajukan bahan baru
oleh yang berkepentingan.
Ahli yang telah mengutarakan pendapatnya tentang suatu hal atau keadaan/
peristiwa dari suatu perkara tertentu itu, dapat dipakai sebagai kejelasan dan dasar-dasar
bagi hakim untuk menambah keyakinannya. Akan tetapi hakim dengan demikian tidak
wajib untuk menuruti pendapat dari ahli itu bilamana pendapat dari ahli itu bertentangan
dengan keyakinan hakim sendiri. Bilamana hakim tidak setuju atau tidak sependapat
dengan apa yang menjadi pendapat ahli tersebut, maka hakim wajib mempertimbangkan
di dalam putusannya, mengapa ia tidak setuju disertai alasan-alasannya.
Bagi pengadilan, bantuan orang ahli itu bersama-sama alat-alat bukti lainnya nanti akan
berangkai bersesuain satu dengan yang lainnya dan bermanfaat bagi terbuktinya
pemenuhan unsur-unsur tindak pidana itu.
Dari uraian di atas dapat dikatakan, bahwa sebenarnya nilai atau penghargaan atas
suatu alat bukti keterangan ahli dalam hubungannya dengan aturan pembuktian dalam
Hukum acara Pidana sebagai alat bukti sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah
mengikat, tetapi di dalam praktik nilai atau penghargaan dan kekuatan pembuktian
diserahkan kepada hakim (majelis hakim), disertai alasan dan pertimbangan dalam
putusannya.

BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
1. Sebenarnya bukti fisik dapat berbicara banyak dalam mengungkap suatu perkara
pidana. Hanya saja diperlukan ’penerjemah’, yakni seorang ilmuwan/ahli untuk
menerjemahkan bukti fisik tersebut. Dan di dalam sistem Hukum acara Pidana kita,
keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 ayat(1)
KUHAP.
2. Pada dasarnya kekuatan pembuktian dari alat buki keterangan saksi ahli adalah
mengikat, akan tetapi di dalam prakteknya sepenuhnya diserahkan kepada hakim.

Daftar Pustaka

1. Soesilo, Karjadi M. 1989. Kriminalistik. Bogor : Politeia


2. Soeparmono. 2002. Keterangan Ahli & Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum
Acara Pidana. Semarang : CV Mandar Maju
MAKALAH KRIMINALISTIK
Tugas untuk memenuhi matakuliah Kriminalistik

Disusun Oleh:
1. IMAM BUDIAWAN S (E 0005188)
2. ARIF BUDI SANTOSA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010

Anda mungkin juga menyukai