Pendahuluan
Masalah renvoi timbul karena adanya aneka warna sistem HPI yang berbeda pada
masing-masing negara, terutama sekali berhubungan pada status personil seseorang berdasarkan
prinsip domisili dan nasionalitas. Masalah renvoi juga memiliki hubungan yang erat dengan
persoalan kualifikasi. Adapun pertanyaan yang timbul kemudian adalah “Apakah HPI itu
merupakan hukum yang sifatnya supra nasional atau yang nasional? Jika dianggap sebagai
hukum yang sifatnya supra nasional, maka renvoi tidak dapat digunakan karena kaidah HPI
semacam itu memiliki kekuatan hukum yang tidak menghiraukan pembuat undang-undang untuk
mengoper atau menolak renvoi. Jika kaidah-kaidah HPI semacam ini berasal dari tata tertib
hukum yang lebih tinggi daripada tata tertib pembuat undang-undang nasional, maka HPI yang
bersifat supra nasiona lah yang berlaku.
Masalah renvoi timbul karena adanya aneka warna sistem HPI yang berbeda pada
masing-masing negara, terutama sekali berhubungan pada status personil seseorang berdasarkan
prinsip domisili dan nasionalitas. Masalah renvoi juga memiliki hubungan yang erat dengan
persoalan kualifikasi. Adapun pertanyaan yang timbul kemudian adalah “Apakah HPI itu
merupakan hukum yang sifatnya supra nasional atau yang nasional? Jika dianggap sebagai kum
yang sifatnya supra nasional, maka renvoi tidak dapat digunakan karena kaidah HPI semacam itu
memiliki kekuatan hukum yang tidak menghiraukan pembuat undang-undang untuk mengoper
atau menolak renvoi. Jika kaidah-kaidah HPI semacam ini berasal dari tata tertib hukum yang
lebih tinggi daripadatata tertib pembuat undang-undang nasional, maka HPI yang bersifat
supranasionalah yang berlaku.
Renvoi Dalam Hukum Perdata Internasional berarti kata penunjukkan dari penunjukkan kembali
mempunyai pengertian:
1
Macam-Macam Renvoi:
1. Penunjukkan kembali ( simple renvoi/ remission renvoi ). Yaitu penunjukkan oleh kaidah
HPI asing kembali ke arah lex fori.
2. Penunjukkan lebih lanjut ( minimal 3 hukum asing ). Yaitu kaedah HPI asing yang telah
ditunjuk oleh lex fori bisa menunjuk kembali ke arah lex fori tapi menunjuk lebih lanjut
ke arah sistem hukum asing lain.
1. Persetujuan Den Haag tentang HPI tahun 1951, 1955. Diterima suatu konsep untuk
mengatur “perselisihan” antara prinsip nasionalitas dan domisili yang lantas ditindak
lanjuti pada tanggal 15 Juni 1955 dengan ditetapkannya konvensi yang bersangkutan.
Pasal 1 mengatur bahwa apabila suatu negara di mana orang yang dipersoalkan menganut
sistem domisili, memakai sistem nasionalitas sementara negara asal orang itu memakai
sistem domisili, maka tiap negara peserta menggunakan Sachornen daripada domisili.
2. Persetujuan hukum uniform HPI negara-negara Benelux 1951. Persetujuan itu dilakukan
antara negara Belgia, Belanda dan Luxemburg. Dalam pasal 1-nya ditentukan bahwa
renvoi tidak dapat diterima. Jika tidak ditentukan berlainan, maka dalam persetujuan
tersebut diartikan dengan istilah hukum intern daripadanya dan bukan HPI-nya.
2
Bab II
Pembahasan
Dalam setiap proses pengambilan keputusan hukum, tindakan kualifikasi adalah bagian
dari proses yang hampir pasti dilalui, karena dengan kualifikasi, orang mencoba untuk
menata sekumpulan fakta yang dihadapinya (sebagai persoalan hukum),
mendefinisikannya, dan kemudian menempatkannya ke dalam suatu kategori yuridik
tertentu.
Yaitu proses kualifikasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta di dalam sebuah
peristiwa hukum untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa atau masalah
hukum (legal issues), sesuai dengan klasifikasi kaidah-kaidah hukum yang berlaku di
dalam suatu system hukum tertentu.
II. Klasifikasi
3
Dalam kasus ini, membahas tentang hukum orang, yaitu tentang kewenangan Ny.
Annesley untuk membuat surat wasiat.
Proses kualifikasi dalam perkara HPI dijalankan sesuai dengan sistem serta ukuran-
ukuran dari keseluruhan sistem hukum yang berkaitan dengan perkara. Tindakan
kualifikasi dimaksudkan untuk : menentukan kaidah HPI mana dari lex fori yang erat
kaitannya dengan kaidah hukum mana yang seharusnya berlaku.
Setiap kaidah HPI harus dianggap memiliki sesuatu tujuan tertentu yang harus
dicapai, dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai melalui HPI haruslah diletakkan dalan
konteks kepentingan HPI, yaitu keadilan dalam pergaulan internasional, kepastian
4
hukum dalam pergaulan internasional, ketertiban dalam pergaulan internasional,
kelancaran lalu lintas pergaulan internasional.
Yaitu fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum, yang menunjukkan
bahwa peristiwa hukum ini mengandung unsur-unsur asing (foreign elements) karena itu,
peristiwa hukum yang dihadapi adalah peristiwa HPI bukan peristiwa hukum intern/
domestik semata. Titik Taut Primer yaitu:
- Kewarganegaraan
- Bendera kapal
- Domisili
Dalam kasus ini menggunakan titik taut primer domisili ny.annesley yaitu di Perancis
Yaitu fakta-fakta dalam perkara HPI yang akan membantu penentuan hukum manakah
yang harus diberlakukan dalam menyelesaikan persoalan HPI yang sedang dihadapi.
Titik taut sekunder sering kali disebut titik taut penentu, karena fungsinya akan
5
menentukan hukum dari tempat manakah yang akan digunakan sebagai the applicable
law dalam penyelesaian suatu perkara.titik taut sekunder yaitu:
- Kewarganegaraan
3. Principle of effectiviness, adalah suatu prinsip bahwa suatu perkara sebaiknya diajukan
ke pengadilan dimana hakim akan mudah untuk melakukan eksekusi
Jadi berdasarkan kasus tersebut, forum yang berwenang mengadili yaitu di Perancis hal
ini dilihat dari asas-asas tersebut diatas.
6
Bab III
Analisa Kasus
Kasus Posisi:
- Seorang wanita Warga Negara Inggris, berdomisili di Perancis dan meninggal dunia di
Perancis;
- Wanita tersebut dalam kenyataan tinggal di Perancis, namun ia tidak pernah memperoleh
status resmi sebagai penduduk Inggris.
7
- Perkara diajukan di Pengadialn Inggris.
Fakta Hukum:
- Kaidah HPI Inggris menganggap bahwa masalah pewarisan testamenter harus diatur
berdasarkan hukum dari domicilie pewaris pada saat ia meninggal.
- Hukum intern Perancis menganggap suatu testamen yang mengabaikan legitimie portie
adalah batal demi hukum.
Kualifikasi hukum:
Dalam kasus ini, membahas tentang hukum orang, yaitu tentang kewenangan Ny. Annesley
untuk membuat surat wasiat.
Forum yang berwenang mengadili yaitu di Perancis, hal ini sesuai dengan asas-asas yang
mengatur tentang penentuan forum yang berwenang yang telah dijabarkan diatas.
Masalah Hukum:
Berdasarkan hukum mana pembagian waris itu harus dilakukan dan apakah para ahli waris
berdasarkan undang-undang berhak menerima Legitimie Portie dari peninggalan Annesley.
1. Berdasarkan kaidah HPI Inggris, Hakim menunjuk ke arah hukum Perancis sebagai
hukum dari domicilie pewaris pada saat meninggalnya;
8
2. Penunjukan pada butir 1 ini merupakan Gesamtverweisung, karena dari sinilah hakim
memulai fiksi hukumnya dengan menganggap bahwa forum Perancis adalah forum asing
yang seharusnya mengadili perkara.
3. Seorang Hakim Perancis, menghadapi perkara semacam ini, akan menggunakan kaidah
HPI nya dan menunjuk ke arah Hukum Inggris sebagai Lex Patriae dari pewaris.
4. Karena hukum Inggris pada dasarnya menolak Renvoi, maka Hakim Perancis akan
menganggap penunjukan ke arah hukum Inggris ini sebagai Gesamtverweisung lagi, dan
kaidah HPI Inggris yang sama akan menunjuk kembali (remission) ke arah hukum
Perancis. Di sinilah (menurut Hakim Perancis) terjadi renvoi yang diakui oleh sistem
hukum Perancis.
5. Karena itu, hakim Perancis akan menganggap bahwa penunjukan kembali ini sebagai
Sachnormenverweisung ke arah hukum waris intern Perancis,
6. Karena itu, hakim Inggris kemudian menyimpulkan bahwa Hakim Perancis kemudian
akan memberlakukan hukum internasional (code civil) dan menganggap bahwa testamen
harus dilakukan dianggap tidak sah dan kemudian mengabulkan gugatan para ahli waris
menurut undang-undang.
9
Bab III
Penutup
Jika renvoi diterima maka berarti hukum internal Hakim itu sendiri yang akan
dipergunakan dan ini berarti suatu keuntungan praktis, di mana seorang Hakim akan lebih
mudah dan tepat melaksanakan hukum internalnya.
3. Jangan “plus royaliste que le roi” (bersifat lebih raja dari raja itu sendiri)
Menunjuk pada hukum asing sebenarnya suatu konsesi, jika kemudian hukum asing itu
tidak menerima/menunjuk kembali, maka harus diterima/jangan ditolak.
Jika menolak renvoi akan mengakibatkan timbulnya keputusan yang berbeda dalam suatu
peristiwa HPI dalam Negara yang menunjukkan dan Negara yang menunjuk kembali.
(Misal jika dalam suatu peristiwa HPI Negara X menunjuk kpd hukum Negara Y, dan
hukum Negara Y menunjuk kembali pada hukum Negara X, maka jika (Negara X)
menolak renvoi, yang akan terjadi dalam suatu peristiwa HPI akan ada keputusan yang
berbeda jika diperiksa di Negara X menggunakan hukum intern Negara Y, jika diperiksa
di Negara Y akan menggunakan hukum Negara X).
10
Bab IV
Kesimpulan
11
Daftar Pustaka
Seto, bayu. 2001. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional. Citra Aditya Bakti.
Bandung. 2001.
12