Anda di halaman 1dari 12

Bab I

Pendahuluan

Masalah renvoi timbul karena adanya aneka warna sistem HPI yang berbeda pada
masing-masing negara, terutama sekali berhubungan pada status personil seseorang berdasarkan
prinsip domisili dan nasionalitas. Masalah renvoi juga memiliki hubungan yang erat dengan
persoalan kualifikasi. Adapun pertanyaan yang timbul kemudian adalah “Apakah HPI itu
merupakan hukum yang sifatnya supra nasional atau yang nasional? Jika dianggap sebagai
hukum yang sifatnya supra nasional, maka renvoi tidak dapat digunakan karena kaidah HPI
semacam itu memiliki kekuatan hukum yang tidak menghiraukan pembuat undang-undang untuk
mengoper atau menolak renvoi. Jika kaidah-kaidah HPI semacam ini berasal dari tata tertib
hukum yang lebih tinggi daripada tata tertib pembuat undang-undang nasional, maka HPI yang
bersifat supra nasiona lah yang berlaku.

Masalah renvoi timbul karena adanya aneka warna sistem HPI yang berbeda pada
masing-masing negara, terutama sekali berhubungan pada status personil seseorang berdasarkan
prinsip domisili dan nasionalitas. Masalah renvoi juga memiliki hubungan yang erat dengan
persoalan kualifikasi. Adapun pertanyaan yang timbul kemudian adalah “Apakah HPI itu
merupakan hukum yang sifatnya supra nasional atau yang nasional? Jika dianggap sebagai kum
yang sifatnya supra nasional, maka renvoi tidak dapat digunakan karena kaidah HPI semacam itu
memiliki kekuatan hukum yang tidak menghiraukan pembuat undang-undang untuk mengoper
atau menolak renvoi. Jika kaidah-kaidah HPI semacam ini berasal dari tata tertib hukum yang
lebih tinggi daripadatata tertib pembuat undang-undang nasional, maka HPI yang bersifat
supranasionalah yang berlaku.

Renvoi Dalam Hukum Perdata Internasional berarti kata penunjukkan dari penunjukkan kembali
mempunyai pengertian:

1. Penunjukkan yang dimaksud ke arah kaidah-kaidah hukum intern ( sachnormen ) saja


dari suatu sistem hukum tertentu disebut: sachnormverweisung. ( Hukum intern saja >
hukum asing ).

2. Penunjukkan yang diarahkan ke sistem hukum asing, termasuk kaedah-kaedah HPIdari


sistem hukum asing tersebut: gesamtverweisung. ( Kaidah intern + HPI ).

1
Macam-Macam Renvoi:

1. Penunjukkan kembali ( simple renvoi/ remission renvoi ). Yaitu penunjukkan oleh kaidah
HPI asing kembali ke arah lex fori.

2. Penunjukkan lebih lanjut ( minimal 3 hukum asing ). Yaitu kaedah HPI asing yang telah
ditunjuk oleh lex fori bisa menunjuk kembali ke arah lex fori tapi menunjuk lebih lanjut
ke arah sistem hukum asing lain.

Renvoi juga diatur dalam konvensi-konvensi internasional meliputi :

1. Persetujuan Den Haag tentang HPI tahun 1951, 1955. Diterima suatu konsep untuk
mengatur “perselisihan” antara prinsip nasionalitas dan domisili yang lantas ditindak
lanjuti pada tanggal 15 Juni 1955 dengan ditetapkannya konvensi yang bersangkutan.
Pasal 1 mengatur bahwa apabila suatu negara di mana orang yang dipersoalkan menganut
sistem domisili, memakai sistem nasionalitas sementara negara asal orang itu memakai
sistem domisili, maka tiap negara peserta menggunakan Sachornen daripada domisili.

2. Persetujuan hukum uniform HPI negara-negara Benelux 1951. Persetujuan itu dilakukan
antara negara Belgia, Belanda dan Luxemburg. Dalam pasal 1-nya ditentukan bahwa
renvoi tidak dapat diterima. Jika tidak ditentukan berlainan, maka dalam persetujuan
tersebut diartikan dengan istilah hukum intern daripadanya dan bukan HPI-nya.

2
Bab II

Pembahasan

Tahapan-tahapan dalam penyelesaian sengketa/kasus dalam Hukum Perdata Internasional:

I. Pengertian dan Problematik Kualifikasi Masalah Hukum dalam HPI

Dalam setiap proses pengambilan keputusan hukum, tindakan kualifikasi adalah bagian
dari proses yang hampir pasti dilalui, karena dengan kualifikasi, orang mencoba untuk
menata sekumpulan fakta yang dihadapinya (sebagai persoalan hukum),
mendefinisikannya, dan kemudian menempatkannya ke dalam suatu kategori yuridik
tertentu.

Ada 2 jenis kualifikasi :

- Kualifikasi hukum (legal classification)

Yaitu penetapan tentang penggolongan/ pembagian seluruh kaidah hukum di dalam


sebuah sistem hukum ke dalam pembidangan pengelompokan, atau kategori hukum
tertentu.

- Kualifikasi fakta ( classification of facts)

Yaitu proses kualifikasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta di dalam sebuah
peristiwa hukum untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa atau masalah
hukum (legal issues), sesuai dengan klasifikasi kaidah-kaidah hukum yang berlaku di
dalam suatu system hukum tertentu.

II. Klasifikasi

Klasifikasi merupakan pembagian atau pengelompokan ruang lingkup dalam Hukum


Perdata Internasional, yang dibagi menjadi Hukum Orang, Hukum Benda, Hukum
Perjanjian dan Hukum Perbuatan (Melawan Hukum).

3
Dalam kasus ini, membahas tentang hukum orang, yaitu tentang kewenangan Ny.
Annesley untuk membuat surat wasiat.

Lima teori kualifikasi HPI yang utama :

- Teori kualifikasi lex fori

Kualifikasi harus dilakukan berdasarkan hukum dari pengadilan yang mengadili


perkara ( lex fori) karena sistem kualifikasi adalah bagian dari hukum intern lex fori
tersebut.

- Teori kualifikasi lex causae ( lex fori yang diperluas)

Proses kualifikasi dalam perkara HPI dijalankan sesuai dengan sistem serta ukuran-
ukuran dari keseluruhan sistem hukum yang berkaitan dengan perkara. Tindakan
kualifikasi dimaksudkan untuk : menentukan kaidah HPI mana dari lex fori yang erat
kaitannya dengan kaidah hukum mana yang seharusnya berlaku.

- Teori kualifikasi bertahap

Kualifikasi tidak mungkin dilakukan berdasarkan hukum yang seharusnya berlaku,


justru hukum yang hendak diberlakukan itulah yang masih harus ditentukan dengan
bantuan proses kualifikasi.

- Teori kualifikasi analitik/ otonom

Tindakan kualifikasi terhadap sekumpulan fakta harus dilakukan secara terpisah


terlepas dari kaitannya pada suatu sistem hukum lokal ataupun nasional tertentu
(bersifat otonom).

- Teori kualifikasi Hukum Perdata Internasional

Setiap kaidah HPI harus dianggap memiliki sesuatu tujuan tertentu yang harus
dicapai, dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai melalui HPI haruslah diletakkan dalan
konteks kepentingan HPI, yaitu keadilan dalam pergaulan internasional, kepastian

4
hukum dalam pergaulan internasional, ketertiban dalam pergaulan internasional,
kelancaran lalu lintas pergaulan internasional.

Klasifikasi merupakan pembagian atau pengelompokan ruang lingkup dalam Hukum


Perdata Internasional, yang dibagi menjadi Hukum Orang, Hukum Benda, Hukum
Perjanjian dan Hukum Perbuatan (Melawan Hukum).

III. Titik Taut Primer (primary points of contact)

Yaitu fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum, yang menunjukkan
bahwa peristiwa hukum ini mengandung unsur-unsur asing (foreign elements) karena itu,
peristiwa hukum yang dihadapi adalah peristiwa HPI bukan peristiwa hukum intern/
domestik semata. Titik Taut Primer yaitu:

- Kewarganegaraan

- Bendera kapal

- Domisili

- Tempat kediaman terakhir

- Tempat kedudukan badan hukum

Dalam kasus ini,

Dalam kasus ini menggunakan titik taut primer domisili ny.annesley yaitu di Perancis

IV. Titik taut sekunder (secondary points of contact)

Yaitu fakta-fakta dalam perkara HPI yang akan membantu penentuan hukum manakah
yang harus diberlakukan dalam menyelesaikan persoalan HPI yang sedang dihadapi.
Titik taut sekunder sering kali disebut titik taut penentu, karena fungsinya akan

5
menentukan hukum dari tempat manakah yang akan digunakan sebagai the applicable
law dalam penyelesaian suatu perkara.titik taut sekunder yaitu:

- Kewarganegaraan

- Tempat atau letak benda (situs rei)

- Tempat perbuatan hukum yang bersangkutan dilangsungkan (locus actus)

- Tempat perjanjian dilaksanakan (locus solutionis)

- Maksud para pihak (pilihan hukum/ choice of forum)

- Tempat diadakan perbuatan-perbuatan resmi yang penting (forum)

V. Forum yang berwenang

Asas dalam penentuan forum yang berwenang:

1. Principle Forum rei, bahwa gugatan diajukan ke pengadilan,tempat dimana tergugat


bertempat tinggal.

2. Principle of forum of convenience, adalah suatu prinsip bahwa pengajuan perkara


sebaiknya dilakukan ditempat tergugat karena untuk memberikan kemudahan kepada
tergugat. Antara lain tergugat dapat melakukan pembelaan.

3. Principle of effectiviness, adalah suatu prinsip bahwa suatu perkara sebaiknya diajukan
ke pengadilan dimana hakim akan mudah untuk melakukan eksekusi

Jadi berdasarkan kasus tersebut, forum yang berwenang mengadili yaitu di Perancis hal
ini dilihat dari asas-asas tersebut diatas.

6
Bab III

Analisa Kasus

Annesley seorang wanita berkewarganegaraan Inggris (British subject). Ia meninggal di


Perancis tahun 1924. Sehingga menurut hukum Inggris, domisilinya adalah di Perancis. Pada
tahun 1919, wanita ini telah membuat surat wasiat dalam bentuk hukum Inggris. Dalam suratnya,
sedemikian rupa dibuat sehingga anak lelakinya harus kehilangan hak warisnya. Di Inggris ini
dibolehkan. Tetapi di Perancis sang anak mempunyai legitima portio bahwa sang anak sekurang-
kurangnya menerima sepertiga bagian dari harta warisan. Yang menjadi soal adalah hukum
intern manakah yang antas hukum yang mana yang akan digunakan, apakah dari Inggris atau
Perancis? Menurut hukum bersangkutan, maka kasus ini melihat dari domisili wanita tersebut.
Oleh karena itu, hukum Perancis yang harus digunakan. Sedang dalam hukum Perancis, asas
yang digunakan adalah asas nasionalitas. Maka hukum yang berlaku dari warga negara asing
adalah hukum negaranya, dalam hal ini Inggris. Tetapi dari Inggris menunjuk kembali kepada
hukum Perancis yaitu hukum domisili. Maka timbullah pertanyaan apakah menurut hukum
Perancis akan diterima penunjukan kembali atau renvoi dan apakah akan dipergunakan hukum
intern Perancis. Hakim kemudian menyidiki keadaan HPI Perancis soal renvoi. Sebelumnya di
Perancis terdapat perkara Forgo yang menunjukkan di Perancis telah menggunakan teori renvoi.
Oleh karena itu apabila Hakim Perancis yang mengadili perkara ini maka ia akan memakai
hukum internasional Perancis.

Kasus Posisi:

- Seorang wanita Warga Negara Inggris, berdomisili di Perancis dan meninggal dunia di
Perancis;

- Ia meninggalkan testamen yang dibuat berdasarkan kaidah hukum waris Inggris;

- Testamen digugat oleh ahli waris berdasarkan undang-undang, karena ia dianggap


mengabaikan legitimie portie yang memberikan hak kepada mereka untuk menerima 2/3
(dua pertiga) dari peninggalan pewaris.

- Wanita tersebut dalam kenyataan tinggal di Perancis, namun ia tidak pernah memperoleh
status resmi sebagai penduduk Inggris.
7
- Perkara diajukan di Pengadialn Inggris.

Fakta Hukum:

- Kaidah HPI Inggris menganggap bahwa masalah pewarisan testamenter harus diatur
berdasarkan hukum dari domicilie pewaris pada saat ia meninggal.

- Kaidah HPI Perancis menganggap masalah pewarisan harus diselesaikan berdasarkan


hukum dari tempat pewaris menjadi warga negara.

- Hukum intern Inggris menganggap testamen yang dibuat adalah sah.

- Hukum intern Perancis menganggap suatu testamen yang mengabaikan legitimie portie
adalah batal demi hukum.

Kualifikasi hukum:

Dalam kasus ini, membahas tentang hukum orang, yaitu tentang kewenangan Ny. Annesley
untuk membuat surat wasiat.

Forum yang berwenang:

Forum yang berwenang mengadili yaitu di Perancis, hal ini sesuai dengan asas-asas yang
mengatur tentang penentuan forum yang berwenang yang telah dijabarkan diatas.

Masalah Hukum:

Berdasarkan hukum mana pembagian waris itu harus dilakukan dan apakah para ahli waris
berdasarkan undang-undang berhak menerima Legitimie Portie dari peninggalan Annesley.

Proses pemutuan perkara:

1. Berdasarkan kaidah HPI Inggris, Hakim menunjuk ke arah hukum Perancis sebagai
hukum dari domicilie pewaris pada saat meninggalnya;

8
2. Penunjukan pada butir 1 ini merupakan Gesamtverweisung, karena dari sinilah hakim
memulai fiksi hukumnya dengan menganggap bahwa forum Perancis adalah forum asing
yang seharusnya mengadili perkara.

3. Seorang Hakim Perancis, menghadapi perkara semacam ini, akan menggunakan kaidah
HPI nya dan menunjuk ke arah Hukum Inggris sebagai Lex Patriae dari pewaris.

4. Karena hukum Inggris pada dasarnya menolak Renvoi, maka Hakim Perancis akan
menganggap penunjukan ke arah hukum Inggris ini sebagai Gesamtverweisung lagi, dan
kaidah HPI Inggris yang sama akan menunjuk kembali (remission) ke arah hukum
Perancis. Di sinilah (menurut Hakim Perancis) terjadi renvoi yang diakui oleh sistem
hukum Perancis.

5. Karena itu, hakim Perancis akan menganggap bahwa penunjukan kembali ini sebagai
Sachnormenverweisung ke arah hukum waris intern Perancis,

6. Karena itu, hakim Inggris kemudian menyimpulkan bahwa Hakim Perancis kemudian
akan memberlakukan hukum internasional (code civil) dan menganggap bahwa testamen
harus dilakukan dianggap tidak sah dan kemudian mengabulkan gugatan para ahli waris
menurut undang-undang.

9
Bab III

Penutup

Adapun alasan-alasan yang diperoleh dengan diterimanya renvoi:

1. Memberi keutungan praktis

Jika renvoi diterima maka berarti hukum internal Hakim itu sendiri yang akan
dipergunakan dan ini berarti suatu keuntungan praktis, di mana seorang Hakim akan lebih
mudah dan tepat melaksanakan hukum internalnya.

2. Penunjukan secara keseluruhan

3. Jangan “plus royaliste que le roi” (bersifat lebih raja dari raja itu sendiri)

Menunjuk pada hukum asing sebenarnya suatu konsesi, jika kemudian hukum asing itu
tidak menerima/menunjuk kembali, maka harus diterima/jangan ditolak.

4. Keputusan yang berbeda

Jika menolak renvoi akan mengakibatkan timbulnya keputusan yang berbeda dalam suatu
peristiwa HPI dalam Negara yang menunjukkan dan Negara yang menunjuk kembali.
(Misal jika dalam suatu peristiwa HPI Negara X menunjuk kpd hukum Negara Y, dan
hukum Negara Y menunjuk kembali pada hukum Negara X, maka jika (Negara X)
menolak renvoi, yang akan terjadi dalam suatu peristiwa HPI akan ada keputusan yang
berbeda jika diperiksa di Negara X menggunakan hukum intern Negara Y, jika diperiksa
di Negara Y akan menggunakan hukum Negara X).

5. Harmoni diantara keputusan-keputusan,Dunia terbagi dalam 2 prinsip yaitu prinsip


kewarganegaraan dan prinsip domisili, dengan menerima renvoi akan tercapai harmoni
dari keputusan-keputusan perkara HPI yang mengatasi pertentangan diantara kedua
sistem ini.

6. Memperbesar kemungkinan executie.

7. Sesuai dengan rasa keadilan para pihak.

10
Bab IV

Kesimpulan

11
Daftar Pustaka

Seto, bayu. 2001. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional. Citra Aditya Bakti.
Bandung. 2001.

12

Anda mungkin juga menyukai