Anda di halaman 1dari 30

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

DR.FITHRIATUS SHALIHAH,SH.,MH.
FH UAD - 2019

TEORI KUALIFIKASI

KUALIFIKASI MASALAH SUBSTANSIAL DAN PROSEDURAL


Teori
kualifikasi
menurut
lex fori
Teori
Menurut Sudargo Gautama
kualifikasi
menyebutkan ada tiga teori
menurut
yang berkembang dalam HPI
lex causae
Teori
kualifikasi
otonom
Teori kualifikasi menurut lex fori

Menurut teori yang ditokohi oleh Franz Kahn dari


Jerman dan Bartin dari Prancis, kualifikasi harus
didasarkan pada hukum materiil pihak hakim.
Pengertian-pengertian hukum yang ditemukan kaidah HPI harus dikualifikasikan menurut
sistem hukum negara hakim sendiri
1. Kualifikasi kewarganegaraan

2. Kualifikasi benda bergerak dan tidak bergerak


Para penganut ini
umumnya berpendapat 3. Kualifikasi yang ada pilihan hukumnya
ada beberapa pengecualian
terhadap kualifikasi lex fori 4. Kualifikasi berdasarkan konvensi-konvensi Internasional

5. Kualifikasi perbuatan melawan hukum

6. Pengertian-pengertian yang digunakan mahkamah Internasional


Segi positif teori ini adalah bahwa Kaidah-kaidah lex fori merupakan hukum yang paling
dikenal hakim sehingga perkara yang dihadapinya lebih mudah untuk diselesaikan.
Kelemahannya adalah
dapat atau ada kalanya
menimbulkan ketidak
adilan karena
kualifikasi dilakukan
tidak selalu sesuai
dengan sistem hukum
asing yang seharusnya
diberlakukan atau
bahkan dengan ukuran
yang sama sekali tidak
dikenal oleh sistem
hukum asing tersebut.
Kualifikasi lex fori ini antara lain diterapkan dalam kasus Ogden v
Ogden (1908). Duduk perkaranya sebagai berikut :
a. A berusia 19 tahun, berdomisili di prancis
b. A menikah dengan B seorang wanita berkebangsaan Inggris ,
pernikahan dilaksanakan di Inggris
c. A menikah dengan B tanpa izin dari orang tua A (izin orang tua
diwajibkan oleh pasal 148 Code Civil Prancis)
d. A kemudian mengajukan pembatalan perkawinan terhadap B di
pengadilan Prancis. Permohonan pembatalan itu didasarkan
pada alasan bahwa perkawinan itu dilaksanakan tanpa izin
orang tua A. permohonan ini dikabulkan pengadilan Prancis.
e. Beberapa waktu kemudian B yang sudah tidak terikat lagi pada
perkawinan tersebut , menikah dengan C seorang laki-laki warga
negara Inggris. Pernikahan dilangsungkan di Inggris.
f. Belakangan C merasa bahwa B masih terikat dalam perkawinan
dengan A karena menurut hukum Inggris perkawinan A dengan
B belum Bubar. C kemudian mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan dengan B
g. Permohonan pembatalan perkawinan tersebut diajukan ke
pengadilan Inggris.
Dalam penyelesaian perkara di atas, hakim terlebih dahulu harus memutuskan apakah
perkawinan A dan B sah atau tidak?

Sehubungan dengan hal tersebut ada beberapa titik taut yang relevan dalam
kasus ini.

Pertama, hukum Inggris karena Kedua, hukum prancis karena A


perkawinan A dan B dilakukan adalah warga negara Prancis
di Inggris. dan berdomisili di Prancis
Dalam kaitannya dengan
permasalahan tersebut, kaidah HPI
Inggris menyatakan sebagai berikut :
a. Persyaratan esensial perkawinan,
termasuk kapasitas hukum seorang
pria untuk menikah harus
didasarkan pada lex domicilii
(dalam hal ini hukum Prancis)
b. Persyaratan formal suatu
perkawinan harus diatur oleh lex
loci celebrationis (dalam ini hukum
Inggris)
Jika merujuk kepada Pasal 148
Code Civil Perancis ketentuan yang
terdapat di dalamnya harus
dianggap sebagai persyaratan
materiil perkawinan

Pasal 148 Code Code Civil Perancis


menyatakan bahwa seorang lelaki
yang belum berusia 25 tahun tidak
dapat menikah jika tidak ada izin
dari orang tua.

Jadi, bagi hukum Perancis (lex


domicilii A) tidak adanya izin
orang tua seharusnya
mengakibatkan batalnya
perkawinan antara A dan B.
Dalam kenyataannya, hakim Inggris
memutuskan:
a. perkawinan antara A dan B tetap sah
karena izin orang tua berdasarkan hukum
Inggris (lex fori) dianggap sebagai
persyaratan formal saja. Oleh karenanya
perkawinan antara
A dan B tetap sah. Perkawinan antara A
dan B memenuhi persyaratan materiil
perkawinan hukum Inggris (Malta sebagai
lex loci celebrationis
b. Oleh karena itu, perkawinan B dan C tidak
sah, karena B masih terikat perkawinan
dengan A, dan berarti pula B melakukan
perbuatan poligami. Dengan demikian,
perkawinan B dan C dinyatakan batal.
Dengan cara berpikir hakim yang demikian itu,
berarti hakim mengkualifikasikan "izin orang
tua" berdasar hukumnya sendiri, yakni hukum
Inggris (lex fori). Jadi, ketentuan Pasal 148
Code Civil Perancis dikualifikasikan
berdasarkan lex fori.
Teori kualifikasi menurut lex causae

Teori ini dikemukakan oleh Despagner, kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Martin
Wolf dan G.C.Cnesire. Teori ini mengajarkan bahwa kualifikasi harus dilakukan sesuai
dengan sistem dan tujuan dari keseluruhan hukum yang bersangkutan dengan perkara.

Kualifikasi dimaksudkan untuk menentukan kaidah HPI dari Lex Fori yang erat kaitanya
dengan hukum yang seharusnya berlaku (Lex Causae). Penentuan ini dilakukan dengan
mendasarkan diri pada kualifikasi yang telah dilakukan berdasarkan lex causae tersebut.

Setelah lembaga hukum ditetapkan, kemudian ditetapkan kaidah-kaidah hukum apa


diantara kaidah Les Causae yang harus digunakan untuk menyelesaikan suatu perkara.
Contoh klasik yang dapat menggambarkan penerapan teori kualifikasi lex causae ini dapat
dilihat dalam perkara Nicols v Nicols (1900), Duduk perkaranya sebagai berikut

Sepasang suami istri warganegara Perancis


menikah di Perancis tanpa perjanjian
perkawinan pada 1831 Setelah pernikahan
mereka pindah ke Inggris. Suami tersebut
meninggal dunia di Inggris. la meninggalkan
testamen yang isinya mengabaikan semua hak
istri atas harta perkawinan. Istrinya kemudian
mengajukan gugatan pembagian harta
bersama di pengadilan Inggris
Proses penyelesaian perkara dilakukan sebagai berikut

Menurut kaidah HPI Inggris, hak milik atas


benda bergerak sepasang suami istri harus
diatur dengan sebuah kontrak (baik secara
tertulis maupun diam-diam).

Bila kontrak tersebut tidak ada, maka hukum


yang harus berlaku (untuk mengatur harta
perkawinan itu) adalah hukum tempat
dilaksanakannya pernikahan (lex loci
celebrationis), dalam hal ini hukum Perancis
Di dalam hukum materiil
Perancis ditentukan, bahwa
jika tidak ada perjanjian
perkawinan, maka harta yang
didapat selama perkawinan
menjadi harta bersama
(communaute des biens)

Dalam menyelesaikan perkara


ini, hakim terlebih dahulu
menentukan apakah gugatan
janda itu dikualifikasikan
sebagai masalah pewarisan
atau kontraktual ?
Hukum intern Inggris mengklasifikasikan
masalah tersebut di atas sebagai masalah
pewarisan (testamentary right), karena di
dalam perkawinan mereka tidak
ditemukan adanya perjanjian perkawinan.

Oleh karena itu, HPI Inggris menunjuk ke


arah hukum Perancis sebagai lex loci
celebrationis.

Namun demikian, dalam putusan nya


hakim menganggap lembaga communaute
de bies dalam hukum Perancis sebagai
"kontrak diam-diam" (implied contract).
Berdasarkan titik tolak itu, hakim menarik kesimpulan:
a. harta perkawinan adalah harta bersama sesuai dengan konsep
hukum Perancis,
b. walaupun tidak ada perjanjian yang tegas mengenai harta perkawinan, tetapi karena
harta perkawinan itu merupakan harta bersama, maka hal itu dianggap sebagai suatu
kontrak diam-diam yang dibuat suami istri tersebut. 

Kemudian hakim memutuskan


a. testamen suami yang mengabaikan hal hak istri atas harta bersama batal
b. sumi hanya separuh (setengah) bagian dari seluruh harta kekayaan
c. janda berhak menerima setengah bagian dari harta kekayaan itu
d. berdasarkan pertimbangan di atas, gugatan janda itu dikabulkan
Teori Kualifikasi Otonom

Kualifikasi otonom pada dasarnya


menggunakan metode perbandingan hukum
untuk membangun suatu sistem kualifikasi
yang berlaku secara universal.

Kualifikasi ini terlepas dari salah satu sistem


hukum tertentu. Artinya dalam HPI seharusnya
ada pengertian hukum yang khas dan berlaku
umum serta memiliki makna yang sama di
manapun juga di dunia ini
Teori ini memang ideal sekali, tetapi di dalam praktik hal tersebut sukar dilaksanakan, karena:

a. Menemukan dan menetapkan pengertian- b. Hakim yang akan menggunakan kualifikasi


pengertian hukum yang dapat dianggap yang demikian haruslah mengenal semua
sebagai pengertian yang berlaku umum, sistem hukum di dunia agar ia dapat
adalah pekerjaan yang sulit dilaksanakan, menemukan konsep-konsep yang memang
bila tidak mau dikatakan sebagai tidak di akui di seluruh dunia.
mungkin. Pengalaman telah membuktikan
bahwa pembentukan pengertian-
pengertian hukum yang dapat diterima
bersama oleh dua atau tiga sistem hukum
yang masing-masing tidak memperlihatkan
perbedaan yang berarti, sudah banyak
membawa kesulitan Apalagi untuk
mencapai pembentukan pengertian
hukum yang berlaku secara mutlak
universal di seluruh dunia,
Sebagai variasi dari teori kualifikasi lex fori,
dikemukakan teori kualifikasi yang lain, yaitu
teori kualifikasi primer dan sekunder.
Teori ini bertitik tolak dari keberatan-
keberatan terhadap teori kualifikasi
berdasarkan lex causae saja, karena sistem
hukum apa atau hukum mana yang hendak
ditetapkan sebagai lex causae masih harus
ditetapkan terlebih dahulu. Oleh karena itu,
untuk menentukan lex causae , kualifikasi
harus dilakukan berdasarkan lex fori terlebih
dahulu.
Kualifikasi harus dilakukan dua tahap, yaitu

1. Kualifikasi Tahap Pertama (Kualifikasi Primer = Qualification Ersten Grades = Primary


Classification = Qualificatie in de Eerste Graad)

Kualifikasi primer ini digunakan untuk mencari atau menemukan hukum yang harus
dipergunakan (lex cnusae) Untuk dapat menemukan hukum yang seharusnya dipergunakan
itu, harus dilakukan kualifikasi berdasarkan lex fori. Kaidah-kaidah HPI lex fori harus
dikualifikasikan menurut hakum materiil hakim yang mengadili perkara yang bersangkutan
(kaidah internal lex fori). Pada tahap ini dicari kepastian mengenai pengertian-pengertian
hukum, seperti domisili, pewarisan, tempat dilaksanakannya kontrak. Semua itu harus
disandarkan pada pengertian-pengertian dari lex fori Berdasarkan kualifikasi demıkian inilah
akan ditemukan hukum yang seharusnya dipergunakan (lex causae). Lex causae yang
ditemukan itu bisa brrupa hukum asing, juga bisa lex fori sendiri
2. Kualifikasi Tahap Kedua (Kualifikasi Sekunder = Qualification Zweiten Grades =
Secondary Classification = Qualificatie in de Tweede Graad)

Apabila sudah diketahui hukum yang


seharusnya diberlakukan itu adalah hukum
asing, maka perlu dilakukan kualifikasi lebih
jauh menurut hukum asing yang sudah
ditemukan itu. Pada tahap kedua ini, semua
fakta dalam perkara harus dikualifikasikan
kembali berdasarkan sistem kualifikasi yang
ada pada lex causae
Contoh penerapan teori kualifikasi bertahap ini bisa dilihat dari kasus berikut ini.

seseorang meninggal dunia dengan


meninggalkan sejumlah harta peninggalan,
baik berupa benda tetap maupun benda
bergerak di berbagai negara. Pewaris adalah
warganegara Swiss, tetapi berdomisili terakhir
di Inggris dan meninggal di Inggris. Perkara
pembagian warisan diajukan di Pengadilan
Swiss
Persoalannya adalah Berdasarkan hukum mana proses pewarisan itu harus diatur? Bilamana
hakim yang mengadili perkara tersebut menggunakan teori kualifikasi bertahap, akar tampak
proses sebagai berikut

Tahap Pertama
1. Dengan mendasarkan diri pada hukum intern Swiss, hakim terlebih dahulu harus menentukan
kategori hukum dari sekumpulan fakta yang dihadapinya. Di sini kualifikasi dilakukan berdasarkan
lex fori;
2. Seandainya hukum (intern) Swiss menganggap, bahwa peristiwa hukum yang bersangkutan
dikualifikasikan sebagai masalah pewarisan, maka langkah berikutnya adalah menetapkan kaidah
HPI apa dari lex fori yang harus digunakan untuk menetapkan lex causae dalam proses pewarisan
tersebut. Jadi tahap penentuan lex causae ini dilakukan berdasar kaidah lex fori:
3. Kaidah HPI Swiss menetapkan, bahwa pewarisan harus diatur oleh hukum. Dari tempat tinggal
terakhir pewaris, tanpa membedakan status bendanya (tergerak atau tidak bergerak) Hal ini berarti,
bahwa kaidah HPI (choice of lau rules) Swiss merujuk ke arah hukum Inggris (lex comicilii) sebagai
lex causae
Tahap Kedua

a. Dengan mendasarkan diri pada kaidah-kaidah HPI dalam hukum Inggris (lex causae),
hakim kemudian harus menetapkan bagian-bagian mana dari harta peninggalan yang
harus dikategorikan sebagai benda tetap atau benda bergerak Jadi, tindakan ini
dilakukan berdasarkan lex causae (dan tidak berdasarkan lex fori lagi);
b. Setelah itu, berdasarkan kaidah-kaidah: HPI Inggris (sebagai lex causae) hakim
menetapkan. hukum apa yang harus digunakan untuk mengatur pewarisan tersebut
Pada tahap ini hakim akan menjumpai:

a. untuk benda-benda bergerak, pewarisan dilakukan berdasarkan hukum


dari tempat pewaris berdomisili pad saat meninggalnya. Jadi dalam hal
ini hakim harus menggunakan hukum intern Inggris
b. untuk benda-benda tetap, kaidah-kaidah HPI Inggris menetapkan
bahwa hukum yang berlaku ialah hukum dari tempat di mana benda itu
berada (lex rei sitae) Jadi seandainya pewaris meninggalkan sebidang
tanah di Perancis, maka tidak mustahil, bahwa hukum Perancis-lah
yang harus dipergunakan untuk mengatur pewarisan tersebut.
 KUALIFIKASI MASALAH SUBSTANSIAL DAN PROSEDURAL

Pembedaan masalah ke dalam masalah


substansial (substance) dan masalah
prosedural (procedural) adalah hal yang harus
selalu disadari dalam perkara-perkara HPI

Masalah substansial berkenaan dengan hak-


hak subjek hukum yang dijamin oleh kaidah
hukum objektif (hukum materiil), sedangkan
prosedural berkenaan dengan upaya-upaya
hukum yang dapat dilakukan oleh subjek
hukum untuk menegakkan hak-haknya yang
dijamin oleh kaidah hukum objektif, dengan
bantuan pengadilan (hukum acara
Asas umum yang dapat diterima dalam HPI
adalah, bahwa semua masalah hukum yang
termasuk persoalan prosedural (hukum acara)
harus ditentukan atau diatur oleh lex fori, dan
forum dapat memberlakukan hukumnya
sendiri setelah ia mengkualifikasikan masalah
hukum yang dihadapinya sebagai masalah
prosedural.

Anda mungkin juga menyukai