Anda di halaman 1dari 3

Filosofi Kebijakan Publik

Kebijakan (policy) umumnya digunakan untuk memilih dan menunjukkan pilihan terpenting
untuk mempererat kehidupan, baik dalam kehidupan organisasi kepemerintahan maupun
privat. Kebijakan harus bebas dari konotasi atau nuansa yang dicakup dalam kata politis
(political), yang sering diyakini mengandung makna keberpihakan akibat adanya
kepentingan. Kebijakan sebuah ketetapan berlaku dan dicirikan oleh perilaku yang konsisten
serta berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang menaatinya (yang terkena
kebijakan). Adapun kebijakan publik (public policy) merupakan rangkaian pilihan yang lebih
kurang saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan yang tidak bertindak) yang dibuat
oleh badan dan pejabat pemerintah.

Dalam filsafat kebijakan (policy philosophy) memperkenalkan konsep pemerintahan dalam


masyarakat yang pluralistis, seperti Indonesia dan Amerika Serikat dengan teori Brokerism.
Di antara penganut teori ini, yaitu David Easton dan Robert Dahl sangat membantu
memahami pluralisme. Teori Brokerism beranggapan bahwa masyarakat terdiri atas beberapa
kelompok kepentingan (interest-group) dan pemerintah “sebagai alat perekat” serta memiliki
pegangan yang kuat dari semua unsur kelompok kepentingan itu menjadi suatu kekuatan
yang terintegrasi.

Melihat fungsi dari filsafat kebijakan, partisipasi masyarakat wajib dalam penyusunan
kebijakan di sebuah negara demokrasi. Dalam konteks otonomi daerah pun, partisipasi
masyarakat dijamin melalui Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pada Pasal 45 disebutkan bahwa anggota DPRD mempunyai kewenangan menyerap,
menampung, menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Pasal 139 menegaskan
bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka
penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan daerah. Dijaminnya kebebasan masyarakat
menyampaikan aspirasi dan berpartisipasi dalam penyusunan seperti kebijakan publik di
daerah, agar kebijakan publik memenuhi rasa keadilan dan tidak menimbulkan kontroversi di
masyarakat. Oleh karena itu, perumusan kebijakan publik dimulai dari dan oleh rakyat, serta
untuk rakyat, terutama di sebuah negara demokrasi.

Semua kebijakan dalam masyarakat demokratis harus berpijak pada pengetahuan yang bisa
dipertanggungjawabkan dan diterapkan dengan pengetahuan yang menyeluruh tentang
konteks yang ada. Artinya, tidak hanya data yang cocok dengan realitas, tetapi juga
penerapan kebijakan publik dalam masyarakat demokratis harus dengan cara-cara yang tepat.
Dapat juga dikatakan bahwa masyarakat demokratis adalah masyarakat pengetahuan.
Demokrasi tidak dapat berfungsi jika pengetahuan tidak dikembangkan melalui penelitian
yang bermutu. 

Dalam masyarakat demokratis, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan
kebijakan publik, yaitu sebagai berikut. a. Isi dari kebijakan publik yang dibuat. Dalam
masyarakat demokratis, kebijakan publik harus dibuat dengan berpijak pada penelitian-
penelitian bermutu yang telah dilakukan sebelumnya. b. Proses-proses dari pembuatan
kebijakan publik. Proses tersebut harus terbuka untuk publik dan dibuat melalui proses
diskusi ataupun konsultasi dari masyarakat sekitar, yang terdiri atas orang-orang yang
otonom, yakni mampu mengatur dirinya sendiri. Konsep demokrasi radikal, yaitu setiap
orang diajak ikut serta dalam proses-proses pembuatan kebijakan publik, berdiri di atas
fondasi dasar bahwa setiap orang adalah manusia yang otonom, yakni yang mampu membuat
keputusan dan mengontrol dirinya lalu bekerja sama untuk membuat kebijakan publik yang
baik untuk kepentingan bersama.

Masalah-masalah Publik

Suatu masalah akan menjadi masalah publik apabila ada orang atau kelompok yang
menggerakkan ke arah tindakan untuk mengatasi masalah tersebut. Suatu masalah akan
menjadi masalah publik jika masalah tersebut diartikulasikan. Masalah-masalah publik adalah
masalah-masalah yang mempunyai dampak luas dan mencakup konsekuensi bagi orang-
orang yang tidak secara langsung terlibat. Masalah-masalah publik dapat dikategorikan ke
dalam beberapa kategori. Kategori pertama, menurut Theodore J. Lowi (1972), masalah
publik dapat dibedakan menjadi masalah prosedural dan masalah substantif. Masalah
prosedural berhubungan dengan cara pemerintah diorganisasikan dan cara pemerintah
melakukan tugas-tugasnya, sedangkan masalah substantif berkaitan dengan akibat-akibat
nyata dari kegiatan manusia. Kategori kedua, didasarkan pada asal-usul masalah.
Berdasarkan kategori ini, masalah publik dapat dibedakan menjadi masalah luar negeri dan
masalah dalam negeri.

William Dunn (1999) dalam bukunya Analisis Kebijakan Publik mengemukakan empat ciri
pokok masalah kebijakan, yaitu sebagai berikut. 

1) Saling kebergantungan. Seperti yang dinyatakan oleh Ackoff (1974), masalah-masalah


kebijakan bukan merupakan suatu kesatuan yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari
seluruh sistem masalah.
2) Subjektivitas. Kondisi eksternal yang menimbulkan suatu permasalahan didefinisikan,
diklarifikasikan, dijelaskan, dan dievaluasi secara selektif.
3) Sifat buatan. Masalah-masalah kebijakan dipahami, dipertahankan, dan diubah secara
sosial.
4) Dinamika masalah kebijakan. Cara pandang orang terhadap masalah akan menentukan
solusi yang ditawarkan untuk memecahkan masalah tersebut.

Charles O. Jones (1963) membuat dua tipe masalah publik, yaitu sebagai berikut. 

1) Masalah tersebut dikarakteristikkan oleh adanya perhatian kelompok dan warga kota yang
terorganisasi yang bertujuan untuk melakukan tindakan.
2) Masalah tersebut tidak dapat dipecahkan secara individual, tetapi kurang terorganisasi dan
kurang mendapatkan dukungan.

Analisis Masalah Publik dibagi menjadi beberapa metode:

1) Rule (peraturan) 

Peraturan dimaksudkan untuk mengatur segala perilaku manusia. Peraturan dalam hal ini
menyangkut semua masalah publik atau masalah yang ditimbulkan oleh publik. Masalah
publik dapat muncul jika: 

a) rancunya atau membingungkannya bahasa yang digunakan dalam peraturan, seperti tidak
dijelaskannya hal-hal yang dilarang dan yang harus dilakukan oleh masyarakat;
b) beberapa peraturan berpeluang menyebabkan perilaku bermasalah;
c) peraturan sering memperluas pembagian perilaku bermasalah, bukan menghilangkannya;
d) peraturan membuka peluang bagi perilaku yang tidak transparan;
e) peraturan memberikan wewenang berlebih pada pelaksana peraturan untuk bertindak
represif.

2) Opportunity (kesempatan)

Seorang individu akan dapat melakukan perilaku bermasalah jika kesempatan yang ada
terbuka lebar. Jika kesempatan terbuka, hal itu dapat mepengaruhi seorang individu untuk
berperilaku menyimpang. Dalam hal ini, lingkungan menjadi faktor yang dominan penyebab
perilaku yang menyimpang. 

3) Capacity (kemampuan) 

Hal tersebut berkaitan dengan pertukaran yang disebabkan tidak dapat memerintah para
individu untuk melakukan hal-hal di luar kemampuannya. Oleh karena itu, perlu adanya
pemahaman mengenai kondisi-kondisi dari setiap individu. 

4) Communication (komunikasi) 

Munculnya perilaku bermasalah dapat diakibatkan ketidaktahuan masyarakat tentang suatu


peraturan. Ketidaktahuan tersebut dipicu oleh komunikasi yang tidak berjalan dengan baik
(miss-communication). Permasalahan komunikasi sebenarnya merupakan permasalahan
klasik di negara yang kaya akan budaya dan sangat plural ini. 

5) Interest (kepentingan) 

Kategori ini dapat digunakan untuk menjelaskan pandangan individu tentang akibat dan
manfaat dari setiap perilakunya. Akibat dan manfaat yang ditimbulkannya bisa dalam bentuk
materiil (keuntungan ekonomi) dan non-materiil (pengakuan dan penghargaan). 

6) Process (proses) 

Proses merupakan sebuah instrumen yang digunakan dalam menemukan penyebagian


perilaku bermasalah yang dilakukan dalam atau oleh suatu organisasi. Beberapa proses yang
digunakan untuk merumuskan masalah dalam organisasi, antara lain proses pengumpulan
input, proses pengolahan input menjadi keputusan, proses output, dan proses umpan balik. 

7) Ideology (nilai dan/atau sikap) 

Sekumpulan nilai yang dianut oleh suatu masyarakat untuk merasa, berpikir, dan bertindak.
Suatu nilai yang berlaku dalam masyarakat merupakan hasil kesepakatan bersama dalam
sebuah kelompok. Kemungkinan terjadinya konflik sangat besar mengingat nilai tersebut
hidup dalam masyarakat yang plural dan heterogen (sebuah nilai yang dianut sering tidak
sesuai dengan pandangan setiap kelompok).

Anda mungkin juga menyukai