Anda di halaman 1dari 10

Asas-Asas Yang Terdapat Dalam Hukum Acara Peradilan Tata

Usaha Negara

Atas dasar undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang berlaku di Indonesia, maka terdapat
beberapa asas yang terdapat pada hukum acara peradilan tata usaha negara. Adapun asas-asas tersebut
adalah:[3]

1. Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid, praesumptio iustae causa). Dengan asas
ini setiap tindakan pemerintahan selalu dianggap rechtmatig sampai ada pembatalan (Lihat Pasal 67 ayat
(1) UU PTUN).

2. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara
(KTUN) yang dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari penggugat (Pasal 67 ayat 1
dan ayat 4 huruf a).

3. Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem). Para pihak mempunyai kedudukan yang
sama dan harus diperlakukan dan diperhatikan secara adil. Hakim tidak dibenarkan hanya
memperhatikan alat bukti, keterangan, atau penjelasan salah satu pihak saja.

4. Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemeriksaan di peradilan judex facti,
maupun kasasi dengan Mahkamah Agung sebagai puncaknya. Atas dasar satu kesatuan hukum
berdasarkan wawasan nusantara, maka dualisme hukum acara dalam wilayah Indonesia menjadi tidak
relevan. Sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Hindia Belanda yang diatur dalam HIR, Rbg, dan
Rv yang membagi wilayah Indonesia (Jawa-Madura dan luar Jawa-Madura) dan memisahkan beracara
landraad dan Raad van Justitie.

5. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala macam campur
tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung bermaksud untuk
mempengaruhi keobjektifan putusan pengadilan. (Pasal 24 UUD 1945 jo Pasal 4 UU 14/1970).

6. Asas Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 UU 14/1970).
Sederhana adalah hukum acara yang mudah difahami dan tidak berbelit-belit. Dengan hukum acara yang
mudah dipahami peradilan akan berjalan dalam waktu yang relatif cepat. Dengan demikian biaya perkara
juga menjadi ringan.
7. Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim mengadakan
rapat permusyawaratan untuk menetapkan apakah gugatan tidak diterima atau tidak berdasar yang
dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan (Pasal 62 UU PTUN) dan pemeriksaan persiapan untuk
mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya
(Pasal 63 UU PTUN). Dengan demikian asas ini memberikan peran kepada hakim dalam proses
persidangan guna memperoleh suatu kebenaran materiil dan untuk itu UU PTUN mengarah pada
pembuktian bebas. Bahkan, jika dianggap perlu untuk mengatasi kesulitan penggugat memperoleh
informasi atau data yang diperlukan, maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat TUN sebagai
pihak tergugat itu untuk memberikan informasi atau data yang diperlukan itu (Pasal 85 UU PTUN).

8. Asas Sidang terbuka untuk umum. Asas ini membawa konsekuensi bahwa semua putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum (Pasal 17 dan Pasal 18 UU 14/1970 jo Pasal 70 UU PTUN).

9. Asas peradilan berjenjang. Jenjang peradilan dimulai dari tingkat yang terbawah yaitu Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN), kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), dan puncaknya
adalah Mahkamah Agung (MA). Dengan dianutnya asas ini, maka kesalahan dalam putusan pengadilan
yang lebih dapat dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi. Terhadap putusan yang belum mempunyai
hukum tetap dapat diajukan upaya hukum banding kepada PTTUN dan kasasi kepada MA. Sedangkan
terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya hukum
permohonan peninjauan kembali kepada MA.

10. Asas Pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas ini menempatkan
pengadilan sebagi ultimum remedium. Sengketa Tata Usaha Negara sedapat mungkin terlebih dahulu
diupayakan penyelesaiannya melalui musyawarah untuk mencapai mufakat bukan secara konfrontatif.
Penyelesaian melalui upaya administratif yang diatur dalam pasal 48 UUPTUN lebih menunjukkan
penyelesaian ke arah itu. Apabila musyawarah tidak mencapai mufakat, maka barulah penyelesaian
melalui PTUN dilakukan.

11. Asas objektivitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib
mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau
hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum
atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang
disebutkan di atas, atau hakim atau panitera tersebut mempunyai kepentingan langsung atau tidak
langsung dengan sengketanya (Pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).

Asas-Asas diatas berpengaruh terhadap persamaan dan perbedaan antara Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara dengan Hukum Acara Peradata. Adapun perbedaan tersebut antara lain:[4]

1. Pada Peradilan Tata Usaha Negara, hakim bereperan lebih aktif dalam proses persidangan guna
memperoleh suatu kebenaran materil dan untuk itu undang-undang ini mengarah pada pembuktian
bebas.

2. Suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan
Tata Usaha Negara.

Selanjutnya sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara untuk memberikan perlindungan kepada
masyarakat, maka dalam undang-undang ini diberi kemudahan bagi warga masyarakat pencari keadilan,
antara lain:[5]

1. Mereka yang tidak pandai membaca dan menulis dibantu oleh Panitera Pengadilan untuk
merumuskan gugatannya.

2. Warga pencari keadilan dari golongan masyarakat yang tidak mampu diberikan kesempatan untuk
berperkara secara cuma-cuma.

3. Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak, atas permohonan penggugat,
Ketua Pengadilan dapat menentukan dilakukannya pemeriksaan dengan acara cepat.

4. Penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang paling dekat
dengan tempat kediamannya untuk kemudian diteruskan ke Pengadilan yang berwenang mengadilinya.

5. Dalam hal tertentu gugatan dimungkinkan untuk diadili oleh Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman penggugat.

6. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dipanggil sebagai saksi diwajibkan untuk datang
sendiri.
Walaupun penjelasan umum dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut diatas menyebutkan
bahwa Hukum Acara yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara, mempunyai persamaan
dengan Hukum Acara yang digunakan di Peradilan Umum untuk perkara perdata, itu tidak berarti bahwa
begitu saja dapat menerapkan ketentuan peraturan yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata dalam
proses Peradilan Tata Usaha Negara. Karena hal ini akan dibatasi oleh prinsip dasar yang berlaku di
Pengadilan Tata Usaha Negara, terutama yang menyangkut masalah kompetensi (kewenangan
mengadili). Seperti yang diketahui bahwa Peradilan Tata Usaha Negara tersebut hanya berwenang
mengadili sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sengketa ini berpangkal dari ditetapkannya suatu Keputusan Tata
Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Oleh karena itu pada hakikatnya sengketa
Tata Usaha Negara adalah sengketa tentang sah atau tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang
telah dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Berdasarkan hal ini dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa:

1. Yang dapat digugat dihadapan Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara.

2. Sengketa yang dapat diadili oleh Peradilan Tata Usaha Negara adalah sengketa mengenai sah atau
tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, bukan sengketa mengenai kepentingan hak.[6]

Oleh karena itu gugat balik (gugat rekonvensi) dan gugat mengenai ganti rugi yang dikenal dalam Hukum
Acara Perdata, semestinya tidak ada dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara yang digugat,
bukan lagi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat, tetapi adalah warga masyarakat atau
Badan Hukum Perdata. Sedangkan gugat ganti rugi merupakan wewenang Peradilan Umum untuk
mengadilinya. Sebaliknya berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1986,
yang dapat bertindak sebagai penggugat di Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah orang atau Badan
Hukum Perdata, sehingga tidak mungkin terjadi saling menggugat antara sesama Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara di Peradilan Tata Usaha Negara (Pasal 1. UPTUN).[7]

Disamping asas-asas tersebut di peradilan Tata Usaha Negara juga diberlakukan asas peradilan cepat,
murah, dan sederhana serta semacam asas praduga tak bersalah (presumtion of innoncent) seperti yang
dikenal dalam Hukum Acara Pidana. Di mana seorang Pejabat Tata Usaha Negara tetap dianggap tidak
bersalah di dalam membuat suatu Keputusan Tata Usaha Negara sebelum ada putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan ia salah di dalam membuat keputusan Tata Usaha
Negara atau dengan kata lain suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetap dianggap sah (tidak melawan
hukum), sebelum adanya putusan Hakim yang telah kekuatan hukum tetap yang menyatakan keputusan
tersebut tidak sah (melawan hukum). Sehingga digugatnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, tidak
akan menyebabkan tertundanya pelaksanaan keputusan tersebut.[8]

Peradilan Tata Usaha Negara juga mengenal Peradilan In Absentia sebagaimana berlaku dalam Peradilan
untuk Tindak Pidana Khusus, di mana sidang berlangsung tanpa hadirnya tergugat.[9]

Menurut pasal 72 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 bila tergugat atau kuasanya tidak hadir di
persidangan dua kali berturut-turut dan/atau menanggapi gugatan tanapa alasan yang dapat
dipertanggung jawabkan, walaupun setiap kali telah dipanggil secara patut, maka Hakim Ketua Sidang
dengan Surat Penetapan meminta atasan tergugat untuk memerintahkan tergugat hadir atau
menanggapi gugatan. Setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan dengan surat tercatat penetapan
dimaksud, tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat sendiri, maka Hakim
Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara
biasa, tanpa hadir tergugat. Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah
pemeriksaan mengenai segi pebuktiannya tetap dilakukan secara tuntas.[10]

Berbeda dengan acara yang berlaku di persidangan Peradilan Perdata, dalam hal demikian Hakim dapat
langsung menjatuhkan putusan verstek. Dalam Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim tidak langsung
menjatuhakan putusan verstek, tetapi tetap melanjutkan sidang dengan acara biasa. Putusan baru bisa
dijatuhkan setelah pemeriksaan segi pembuktian dilaksanakan secara tuntas. Cara ini ditempuh dalam
Peradilan Tata Usaha Negara, untuk menjaga agara jangan sampai kepentingan negara dirugikan karena
kelalaian tergugat.[11]

C. Asas Legalitas

Asas legalitas (asas wetmatigheid van het bestuur) tersebut merupakan salah satu asas yang selalu
dijunjung tinggi oleh setiap negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum. Asas legalitas ini
semula di negara-negara Barat hanya berkaitan dengan usaha melawan hak raja-raja untuk memungut
pajak dari rakyat, kalau rakyat tidak diwakili dalam badan perwakilan (“notaxation withou
representation”), atau kalau raja melakukan penahanan dan menjatuhkan pidana. Sekarang pengertian
asas tersebut meluas sampai mengenai semua wewenang dari aparat-aparat pemerintah yang
melanggar kebebasan atau hak milik warga masyarakat di tingkat manapun. Asas tersebut
mencanangkan, bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu perundang-undangan
yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah itu tidak akan memiliki wewenang yang dapat
mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya. Ini berarti, bahwa
setiap wewenang pemerintahan untuk melakukan kebijaksanaan dan tindakan hukum TUN, baik
mengenai bentuk dari tindakan-tindakan hukum demikian itu serta isi hubungan hukum yang diciptakan
olehnya harus ada dasar atau sumbernya pada (diberikan oleh) suatu ketentuan peraturan perundang-
undangan (hukum tertulis). Dalam literatur Peranacis, asas tersebut dinamakan le principe de la le’galite
de l’administration, di Jerman dinamakan Gesetzmassingkeit der Verwaltung. Di Inggris, asas tersebut
dianggap sebagai bagian dari rule of law.[12]

Dengan demikian, asas yang dikandung dalam pasal 1 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 juga menentukan,
bahwa setiap wewenang pemerintahan yang harus diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan
kepada siapa pun yang harus diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan kepada siapa pun
yang melaksanakan urusan pemerintahan negara ini tentu ada batasnya (baik secara express atau
implied) juga hanya diberikan untuk maksud dan tujuan-tujuan tertentu (asas spesialitas). Selanjutnya
asas tersebut juga dimaksudkan untuk menjamin dijalankannya kesamaan perlakuan oleh pemerintah.
Karena undang-undang itu sebagai peraturan yang bersifat umum dan mengikat sebenarnya menurut
sifatnya diarahkan kepada berlakunya kesamaan perlakuan. Maksudnya, setiap orang yang ditentukan
dalam suatu ketentuan undang-undang itu, berhak dan berkewajiban untuk berbuat seperti apa yang
ditentukan dalam undang-undang tersebut.[13]

Di samping itu, asas legalitas pemerintahan juga menunjang berlakunya kepastian hukum. Sebab,
tindakan hukuman pemerintahan itu hanya dimungkinkan kalau ada pengaturannya dalam undang-
undang. Oleh karena, peraturan tersebut dapat membuat semua tindakan yang akan dilakukan
pemerintah itu diramalkan/diperkirakan lebih dahulu, dengan melihat kepada peraturan-peraturan yang
berlaku, maka pada asasnya lalu dapat dilihat atau diharapkan apa yang akan dilakukan oleh aparat
pemerintahan yang bersangkutan. Dengan demikian, warga masyarakat lalu dapat menyesuaikan dengan
keadaan tersebut.[14]

Karena itu setiap perbuatan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau
Jabatan TUN mana pun apabila keluar dari batas-batas dan tujuan pemberian wewenang atau melanggar
asas legalitas tersebut, tentu tidak akan dibenarkan oleh hukum.
Dalam praktek, ternyata dengan berlakunya asas legalitas itu tidak berarti, bahwa untuk setiap
perbuatan pemerintahan selalu harus sama bobot legalitasnya dalam peraturan dasarnya. Hal itu
disebabkan karena:[15]

1. Dasar legalitas untuk setiap perbuatan material dengan tindakan hukum itu selalu tidak sama. Bagi
perbuatan material pada umumnya tidak diperlukan adanya dasar ketentuan dalam suatu undang-
undang, misal merobohkan rumah yang sudah membahayakan, menderek mobil yang salah parkir,
merobohkan tembok yang sudah retak-retak di pinggir jalan umum yang sudah tampak membahayakan,
dan lain-lain.

2. Dasar legalitas bagi tindakan hukum pemerintahan itu perlu dibedakan antara tindakan hukum
menurut hukum perdata dengan tidakan hukum menurut hukum publik. Tindakan membeli alat tulis
menulis tidaklah memerlukan dasar legalitas dalam peraturan khusus. Sebaliknya untuk memecat
seorang pegawai diperlukan dasar aturannya dalam undang-undang tentang pokok-pokok kepegawaian.
Seperti kita ketahui dalam menjalankan urusan pemerintahan, sering Badan atau jabatan TUN juga ikut
serta dalam pergaulan atau lalu lintas hukum sehari-hari dalam masyarakat.

Selain melakukan tindakan hukum menurut hukum publik juga sering melakukan tindakan hukum
menurut hukum perdata. Bobot dari batasan yang diterapkan oleh asas legalitas mengenai kedua
tindakan hukum itu dalam praktek tidak sama. Ada kalanya untuk mengurus suatu suatu bidang
pemerintahan, dapat ditempuh baik melalui jalur hukum publik. Tetapi apabila untuk perlindungan
hukum warga masyarakat yang bersangkutan dengan jalur hukum publik ia akan memperoleh jaminan
yang lebih baik, maka seyogyanya jalur hukum publiklah yang harus ditempuh.

Selanjutnya, tindakan-tindakan hukum menurut hukum publik yang dapat dilakukan oleh Badan atau
Jabatan TUN itu diantaranya dapat dibedakan antara yang bersifat membebankan dengan yang bersifat
menguntungkan.

Asas legalitas ini secara tajam hanya berlaku pada tindakan hukum para Badan atau Jabatan TUN yang
bersifat membebankan. Artinya, apabila tindakan-tindakan hukum publik yang dilakukan Badan atau
Jabatan TUN itu dapat melanggar atau mendesak kebebasan atau hak milik seseorang atau lebih, maka
harus diperhatikan benar apakah untuk tindakan hukum yang demikian itu ada dasarnya dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya keputusan yang memberikan subsidi, jadi
bersifat menguntungkan, tidak ada orang yang akan menanyakan di mana dasar undang-undangnya.
D. Asas Pemerintahan Menurut Hukum

Wewenang pemerintahan dari Badan atau Jabatan TUN untuk melakukan tindakan-tindakan hukum TUN
itu pertama-tama harus bersumber atau berdasar pada suatu ketentuan peraturan perundang-
undangan. Di samping itu pelaksanan dari wewenang pemerintahan juga harus memperhatikan norma-
norma yang tidak tertulis yang benar-benar ada dan hidup yang berada di antara norma-norma juris
(hukum) dan etika (moral/kepatutan) yang mempedomani para Badan atau Jabatan TUN pada waktu
melaksanaan fungsi pemerintahannya. Ia merumupakan asas-asas yang mengandung suatu nilai hukum.
Ia dianggap yang menjembatani norma-norma hukum dengan norma-norma etika. Scholten
menganggapnya sebagai yang memberikan dasar kecenderungan yang bersifat etis pada tertib hukum. Di
Perancis ada yang mengatakan sebagai principes de morale juridique. Bellefroid dan Hommes menyebut
tentang “norma dasar atau pedoman untuk pemebentukan hukum. Konijnenbelt mengatakan, asas-asas
umum pemerintahan yang baik itu mempunyai arti penting, karena seperti norma hukum lainnya, asas-
asas tersebut merupakan pedoman arah bagi Badan atau Jabatan TUN dalam menemukan atau
menentukan hukum pada waktu mereka melaksankan fungsi pemerintahan dengan mengeluarkan
keputusan-keputusan TUN. Asas-asas tersebut seperti norma-norma hukum yang dikandung dalam
peraturan perundang-undangan ikut menentukan keluarnya suatu keputusan TUN, suatu keputusan
hukum TUN yang tepat dan benar. Umpamanya, apakah perlu dikeluarkan suatu izin, kalau perlu. Kalau
diperlukan, syarat-syarat apa yang dapat dilekatkan pada izin seperti itu, apakah tepat suatu keputusan
yang menguntungkan itu dicabut, apakah perlu dilakukan suatu tindakan penertiban, dan sebagainya.
[16]

Karena asas-asas umum pemerintahan yang baik itu dalam kenyataannya memang ada dan benar
berlaku serta bersemayam dalam kesadaran masyarakat yang menganggap norma itu sebagai norma
yang baik dan harus ditaati. Oleh karenanya, Badan atau Jabatan TUN itu harus selalu berpedoman dan
menaati norma-norma tersebut, maka sudah seharusnya asas-asas tersebut merupakan dasar pengujian
bagi Hakim TUN pada waktu menilai apakah suatu keputusan TUN itu menurut hukum atau tidak.

Pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:


1. Asas hukum adalah

pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan
dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-
ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.

2. Macam-macam asas hukum PTUN:

- Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid, praesumptio iustae causa).

- Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara (KTUN)
yang dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari penggugat.

- Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem).

- Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemeriksaan di peradilan judex facti, maupun
kasasi dengan Mahkamah Agung sebagai puncaknya.

- Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala macam campur
tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung bermaksud untuk
mempengaruhi keobjektifan putusan pengadilan.

- Asas Perdailan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

- Asas hakim aktif.

- Asas Sidang terbuka untuk umum.

- Asas peradilan berjenjang.

- Asas Pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas ini menempatkan
pengadilan sebagi ultimum remedium.

- Asas objektivitas.

3. Tujuan dari adanya asas legalitas:

- Bahwa setiap wewenang pemerintahan yang harus diberikan oleh suatu peratur perundang-undangan
kepada siapa pun yang harus diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan kepada siapa pun
yang melaksanakan urusan pemerintahan negara ini tentu ada batasnya (baik secara express atau
implied) juga hanya diberikan untuk masksud dan tujuan-tujuan tertentu (asas spesialitas). Selanjutnya
asas tersebut juga dimaksudkan untuk menjamin dijalankannya kesamaan perlakuan oleh pemerintah.

4. Fungsi dari asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah :

- Merupakan pedoman bagi perbuatan pemerintahan atau pedoman dalam menemukan atau
menetukan hukum oleh para Badan atau Jabatan TUN.

- Apabila dengan dikeluarkannya suatu keputusan TUN terjadi pelanggaran terhadap norma-norma
semacam itu, maka hal itu merupakan suatu alasan untuk mengganggu gugat keputusan TUN yang
bersangkutan kepada instansi yang berwenang.

- Asas-asas tersebut oleh instansi yang berwenang dapat merupakan dasar untuk menguji apakah
keputusan yang digugat itu bersifat melawan hukum atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai