Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH TINDAK PIDANA KEHUTANAN

OLEH KELOMPOK 6 :
1. Abdul Aziz Filardhi - 1312100149
2. Jhos Franklin Kemit - 1312100154
3. Brenda Saskia Delarenta Putri B - 1312100136

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA


FAKULTAS HUKUM
2023

1
DAFTAR ISI

1. Definisi Tindak Pidana Kehutanan…………………………………………………………….3

2. Sumber Hukum…………………………………………………………………………….......5

3. Proses Peradilan Terhadap Pelanggaran Hukum Kehutanan……………………………….....7

4. Proses Penyidikan Terhadap Kejahatan Kehutanan…………………………………………...7

5. Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Kehutanan……………………………………………..11

6. Proses Pengadilan terhadap Kejahatan Kehutanan……………………………………………


13

7. Asas dan Tujuan Pemberantasan Perusakan


Hutan…………………………………………..15

8. Contoh Kasus…………………………………………………………………………………15

9. Hal-Hal Penting……………………………………………………………………………….18

10. Kesimpulan…………………………………………………………………………………...21

11. Daftar Pustaka………………………………………………………………………………...22

2
TINDAK PIDANA KEHUTANAN

1. Definisi Tindak Pidana Kehutanan

Ilmu hukum Kehutanan merupakan bidang ilmu hukum yang usianya relatif masih
muda, ia tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan tumbuhnya kesadaran manusia
dalam memanfaatkan hutan beserta isi yang terkandung di dalamnya, serta dalam upaya
melestarikannya sehingga dapat diharapkan sebagai hutan yang sehat, lestari dan
berkesinambungan.
Supaya dalam melaksanakan kegiatan seperti pemanfaatan hutan, penatagunaan hutan,
perlindungan hutan, penanaman hutan dan kegiatan lainnya yang bersangkut-paut dengan
hutan dapat berjalan sebagaimana mestinya, dan agar dapat dilaksanakan oleh semua pihak,
maka tatanannya perlu disatukan ke dalam satuan hukum, sehingga akan lahir suatu jenis
hukum yang meng-himpun dan mengatur masalah seperti pengukuhan hutan, penatagunaan
hutan, dengan maksud dan tujuan pokok untuk melestarikan hutan secara berkesinambungan.
Dengan timbulnya kesadaran tersebut, maka akan timbul pula perhatian masalah hukum
kepadanya, sehingga lambatlaun menyebabkan berkembangnya cabang ilmu hukum baru
yaitu hukum kehutanan. Apabila diteliti sejak pemerintahan kolonial, keberadaan peraturan
hukum kehutanan bukan merupakan hal yang baru, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumber daya hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Menurut
Dangler, hutan adalah sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas,
sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi menentukan
lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan atau pepohonan yang baru
asalkan tumbuh pada tempat yang luas dan tumbuhnya cukup rapat.
Sumber Daya Hutan adalah salah satu anugerah dari Tuhan diberikan kepada bangsa
Indonesia saat ini dengan jumlah kurang lebih 128 juta hektar dan berhasil menjadi negara
menduduki peringkat ketiga dunia yang memiliki hutan hujan tropis terbesar setelah negara
Brazil dan Republik Demokratik Kongo.Tidak hanya itu, Indonesia juga memiliki 8 cadangan
karbon dunia setara dengan 8800 MtC (million tone carbon). Oleh sebab itu, dengan memiliki
hutan yang sangat luas dan mampu menghasilkan manfaat yang terkandung didalamnya bagi
negara Indonesia, negara harus menjaga sumber daya hutan dari suatu kejahatan Tindak
Pidana Kehutanan yang dapat membahayakan kelestarian hutan di Indonesia. Pengertian
Tindak Pidana Kehutanan merupakan sebuah tindakan hukum berupa pelanggaran yang telah
dilakukan oleh seseorang maupun badan hukum terhadap wilayah kehutanan yang
menyebabkan hutan tersebut menjadi rusak, tidak dapat berfungsi dengan baik serta
menimbulkan kerugian bagi masyarakat sekitar dan negara. Dalam pandangan Jan
Remmelink mengemukakan bahwa “Barangsiapa yang melanggar segala ketentuan yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan pidana artinya sesungguhnya dia telah
melakukan tindak pidana yang berarti perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan
hukum“(Supardjaja 2002).

3
Hukum kehutanan merupakan salah satu bidang hukum yang sangat tua, yaitu sejak
diundangkannya Reglement Hutan pada tahun 1865. Hukum kehutanan merupakan
terjemahan dari istilah boswezen recht (Belanda) atau forest law (Inggris). Menurut Hukum
Inggis kuno yang dimadsud dengan forest law adalah suatu sistem atau tatanan hukum lama
yang berhubungan dan mengatur hutan-hutan kerajaan. Menurut Menteri Kehutanan, hukum
kehutanan adalah kumpulan atau himpunan peraturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis
yang berkenan dengan kegiatan yang bersangkut paut dengan hutan dan pengurusannya.

Berdasarkan statusnya hutan terdiri atas hutan negara dan hutan hak. Hutan negara
adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan hutan hak
adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah tersebut. Berdasarkan
pernyataan Global Forest Watch yang merupakan aplikasi informasi tentang kawasan hutan
secara cepat tersebut mengemukakan bahwa tindakan kehutanan terbagi menjadi dua, yang
pertama yaitu dilakukan oleh operator yang sah telah melanggar ketentuan-ketentuan dalam
izin yang dimilikinya dan yang kedua melakukan pencurian kayu, menebang pohon oleh
seseorang yang sama sekali tidak memiliki hak legal untuk menebang pohon. Oleh sebab itu,
di Indonesia diperlukan gerakan inisiatif dari pemerintah yang melakukan perubahan
peraturan penegakan hukum yang diperlukan tidak hanya tentang pembaharuan undang-
undang atau substansi hukum, tetapi juga dalam pembaharuan struktur hukum dan
pembaharuan budaya hukum. Sektor kehutanan di Indonesia sangat berperan penting dalam
pembangunan nasional sebagai sumber terbesar perolehan devisa non-migas, menjadi sebuah
pelopor perkembangan industri, menyediakan berbagai lapangan kerja dan penggerak
pembangunan daerah.
Maka dari itu,tidak heran ketika banyak sekali oknum yang secara sengaja maupun
tidak sengaja melakukan tindak pidana terhadap hutan secara berlebihan hanya untuk
mendapatkan keuntungan pribadi. Karena itu, untuk mempertahankan produktivitas yang
telah dihasilkan oleh sumber daya ini maka kita harus menjaga kelestariannya dan
memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia berhasil
sebagai suatu negara yang berdaulat serta mempunyai sumber daya hutan yang begitu luas
dan negara dapat menguasai kekayaan alam hutan dan seisinya berdasarkan Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar
kemakmuran rakyat.”akan tetapi meskipun dikuasai oleh negara bukan berarti negara dapat
melakukan tindakan semena-mena dengan sumber daya hutan karena penguasaannya sangat
terbatas guna untuk tidak memanfaatkannya secara berlebihan agar tujuan hukum yang dibuat
oleh pemerintah mencapai kesejahteraan rakyat Indonesia. Tindak Pidana Kehutanan yang
dilakukan oleh seseorang maupun badan hukum yang tidak memiliki hak legal akan
mendapatkan sanksi pidana berupa penderitaan dengan sengaja seperti pidana
kurungan,denda,dll.
Kesadaran manusia akan lingkungannya yang telah rusak membuat isu lingkungan ini
mencuat. Isu yang paling penting dalam lingkungan adalah mengenai pemanasan global
akibat pemanasan global yang disebabkan oleh efek rumah kaca yaitu bertambahnya jumlah
gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfir yang menyebabkan energi panas yang seharusnya
dilepas ke luar atmosfir bumi dipantulkan kembali ke permukaan dan menyebabkan

4
temperatur permukaan bumi menjadi lebih panas. Di Indonesia, apabila berbicara tentang
struktur dalam sistem hukum, termasuk di dalamnya adalah struktur atau institusi-institusi
yang menentukan penegakan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Substansi
Hukum adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem
hukum itu, yang kalau di Indonesia substansi hukum adalah produk yang dihasilkan oleh
badan legislatif, termasuk putusan pengadilan.

2. Sumber Hukum

Kerusakan lingkungan khususnya pada sektor kehutanan sekarang ini ternyata tidak
hanya diakibatkan oleh tangan manusia yang melakukan penebangan liar (illegal logging),
Illegal logging merupakan salah satu bentuk kejahatan di bidang kehutanan, yakni melakukan
penebangan illegal terhadap kayu-kayu di hutan-hutan milik negara atau dalam bahasa sehari-
hari dikenal sebagai pencurian kayu. Penegakan hukum terhadap tindak pidana bidang
kehutanan sampai saat ini belum berjalan efektif seperti yang diharapkan oleh banyak
masyarakat. Apabila kita melihat kondisi di Indonesia selama pemerintahan terdahulu,
penegakan hukum pidana tidak berjalan sesuai dengan harapan. Berbagai kasus kejahatan
yang terjadi tidak ditindak secara tegas, bahkan penyelesaian kasus kejahatan oleh institusi
peradilan pun juga sering mengecewakan. Ilegal logging adalah kejahatan yang sangat
merugikan rakyat dan negara, tetapi lebih pada ketidak tegasan peraturan perundang-
undangan yang mengatur sanksi hukum terhadap pelaku pengerusakan hutan. Pemerintah
dengan kebijakannya telah memberikan ruang pemanfaatan sumber daya hutan dengan
fasilitas izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu kepada pihak BUMS, BUMN, BUMD, dan
Koperasi. Hal ini berdasarkan pasal 1 ayat 13 PP No. 6 Tahun 2007 tentang tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan menyebutkan Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang selanjutnya disingkat dengan IUPHHK merupakan izin
usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kavu dan/atau bukan kayu
dalam hutan alam pada hutan produksi melalui kegiatan permanen atau penebangan,
pengayaan, pemeliharaan dan pemasaran.

Essensi yang penting dalam praktek illegal logging dan illegal mining adalah perusakan
hutan yang akan berdampak pada kerugian besar dan sangat buruk baik dari aspek ekonomi,
ekologi, maupun sosial budaya dan lingkungan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari
fungsi hutan yang pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang di dalamnya mengandung
tiga fungsi dasar, yaitu fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi) serta fungsi
sosial. Illegal logging dan illegal mining merupakan suatu bentuk perusakan lingkungan
sementara perusakan lingkungan adalah bentuk kejahatan. Terkait dengan perusakan
lingkungan hidup secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu bahwa pengerusakan
lingkungan hidup adalah tindakan yang dapat menimbulkan perubahan secara langsung
maupun tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan
lingkungan hidup tidak dapat berfungsi kembali dalam menunjang pembangunan yang
berkelanjutan.

5
Pemanfaatan hasil hutan melalui penebangan hutan yang tidak sesuai dengan RKT
(perencanaan per satu tahun) masih terdapat perdebatan apakah merupakan perbuatan
melawan hukum pidana kehutanan atau masuk dalam ranah pelanggaran hukum administratif.
Basis argumen penebangan hutan di luar rencana kerja tahunan pada pemilik izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu dianggap sebagai pelanggaran administrasi karena berdasarkan
pada asas legal bahwa IUPHHK merupakan pembuktian yang legalitas terhadap izin
pemanfaatan kawasan hutan, adapun RKT merupakan pedoman teknis agar pengaturan tata
kelola pemanfaatan hutan dapat mencapai tujuan pengelolaan hutan lestari dan sarana
supervisi dalam menjaga hak-hak negara atas sumber dava hutan melalui pajak dengan
membayar PSDH (Provinsi Sumber Daya Hutan) dan DR (Dana Reboisasi). Oleh karena itu
penerapan sanksi administrasi menganggap bahwa pemegang izin adalah subjek yang sah
melakukan tindakan atas hak pemanfaatan hutan dalam wilayah izin yang diberikan dan RKT
bentuk administrasi kehutanan semata dalam rangka tertib pengelolaan hutan guna tercipta
pengelolaan hutan lestari.

Di samping melakukan pemanfaatan dan pengelolaan hutan juga harus dilakukan


sebuah perlindungan terhadap hutan. Perlindungan hutan tersebut meliputi usaha untuk
mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan
manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit. Usaha lain dalam rangka
perlindungan hutan adalah mempertahankan dan menjaga hak-hak masyarakat dan negara atas
hutan dan hasil hutan. Untuk menjamin tercapainya tujuan perlindungan hutan, maka dalam
hukum kehutanan dikemas adanya larangan bagi perorangan, kelompok orang (masyarakat)
dalam melakukan pengambilan manfaat atas hutan secara liar, membabi buta, sewenang-
wenang yang dapat menimbulkan kerusakan hutan. Larangan-larangan tersebut disertai sanksi
yang dapat dikenakan kepada pelaku pelanggaran yakni perorangan atau kelompok orang
(masyarakat dan korporasi) yang melakukan perbuatan yang menimbulkan kerusakan hutan.

Peran serta dari masyarakat menjadi penting, karena peran serta masyarakat merupakan
bagian dari prinsip demokrasi, yang salah satu prasyarat utamanya adalah adanya asas
keterbukaan dan transparansi dengan 5 (lima) unsur utama (agar asas tersebut terpenuhi),
yakni: Hak untuk mengetahui, Hak untuk memikirkan, Hak untuk menyatakan pendapat, Hak
untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dan Hak untuk mengawasi pelaksanaan
keputusan. Upaya Monitoring (Diteksi) kegiatan-kegiatan deteksi mungkin saat ini telah
dilakukan, namun walaupun diketahui atau ada dugaan terjadi kegiatan illegal logging dan
illegal mining tindak lanjutnya tidak nyata. Meski demikian aksi untuk mendeteksi adanya
tindak pidana kehutanan tetap harus terus dilakukan, namun harus ada komitmen untuk
menindaklanjuti dengan proses penegakan hukum yang tegas dan nyata di lapangan. Upaya
monitoring ini harus di dukung oleh ketersediaannya sarana dan prasarana serta personil dari
pihak kepolisian hutan yang menjadi garda terdepan dalam melakukan monitoring lapangan.

Untuk menunjukkan adanya hukum kehutanan tentu saja tidak cukup hanya menunjuk
adanya keseluruhan peraturan perundang-undangan bidang kehutanan saja, namun perlu
ditelusuri segi historisnya, segi sosiologis/antropologi, segi filosofis dan segi yuridisnya yang
akan dibahas setelah ini.Untuk mengatur hubungan hukum antara hutan dengan manusia
(persoon) atau dengan subyek hukum lainnya, yaitu badan hukum (rechpersoon), maka
6
sebagai landasan hukum bagi keseluruhan hubungan hukum antara hutan dengan manusia
atau subyek hukum adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang ketentuan-
ketentuan pokok kehutanan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor
8. Fungsi sosial budaya hutan dapat dilihat dengan adanya keterkaitan baik moril
maupun spritual antara hutan dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan,
baik dalam hubungannya sebagai sumber mata pencaharian, hubungan religius,
hubungan adat ikut terpengaruh akibat dari penebangan hutan oleh pemegang izin yang
tidak sesuai dengan rencana kerja tahunan pada akhirnya merubah perspektif dan perilaku
masyarakat hukum adat setempat terhadap hutan.

3. Proses Peradilan Terhadap Pelanggaran Hukum Kehutanan


Proses peradilan pidana dimulai dari penyidikan, penyidikan dan penuntutan di
pengadilan. Pemeriksaan perkara di pengadilan dimulai dari pembacaan surat dakwaan,
dilanjutkan dengan pembacaan eksepsi oleh terdakwa dan proses pembuktian, kemudian
diakhiri dengan pembacaan tuntutan penuntut umum dan pembelaan terdakwa dan atau
penasihat hukum, lalu diakhiri dengan penjatuhan putusan oleh hakim. Proses hukum
terhadap. Pelanggaran hukum kehutanan juga mengikuti prosedur dan tata cara sebagaimana
tersebut di atas. Mengingat hutan mempunyai fungsi dan peran yang sangat penting bagi
masyarakat luas, maka terhadap setiap perbuatan yang menimbulkan kerusakan hutan,
termasuk di dalamnya adalah tindak pidana di bidang kehutanan, harus dilakukan penegakan
hukum secara tegas dan konsisten oleh negara. Penegakan hukum pidana sepenuhnya menjadi
kewenangan negara yang dilaksanakan oleh institusi penegak hukum yang tergabung dalam
sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).
Dalam proses Peradilan pidana umum termasuk pelanggaran hukum kehutanan
penegakan hukumnya dilakukan oleh aparat penegak hukum, yakni aparat penyidik (dari
kepolisian RI), penuntut umum (dari kejaksaan), dan hakim (dari pengadilan). Di samping itu
juga dilibatkan pengacara atau advokat yang bertugas untuk memberikan bantuan hukum atau
pembelaan kepada terdakwa. Pembelaan tersebut bukan berarti melindungi terdakwa, akan
tetapi adalah untuk proses pengawasan agar hak-hak terdakwa selama proses peradilan tidak
dilanggar. Hukum pidana formil yang digunakan dalam menjalankan penegakan hukum di
bidang kehutanan adalah Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
atau biasa disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
4. Proses Penyidikan terhadap kejahatan kehutanan
Menurut KUHAP proses pidana dimulai dari penyidikan yang dilakukan penyidik dari
aparat kepolisian. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang
dengan bukti-bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Jadi, penyidikan dilakukan oleh penyidik sesuai dengan ketentuan
undang-undang guna mencari alat bukti dan menemukan tersangkanya. Yang bertindak
sebagai penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) atau pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan.

7
Berkaitan dengan tindak pidana di bidang kehutanan proses penyidikan dilakukan
oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dari para pegawai dilingkungan
Kementerian Kehutanan yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan. Hukum
pidana formil yang digunakan dalam menjalankan penegakan hukum di bidang kehutanan
adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau biasa
disebut dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut KUHAP
proses pidana dimulai dari penyidikan yang dilakukan penyidik dari aparat kepolisian.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti-
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
Jadi, penyidikan dilakukan oleh penyidik sesuai ketentuan undang-undang guna mencari
alat bukti dan menemukan tersangkanya. Yang bertindak sebagai penyidik adalah pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang- undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 angka 1
KUHAP). Penyidik dari lingkungan pejabat Polri diangkat oleh Kapolri yang dapat
dilimpahkan kepada pejabat Polri di bawahnya, sedang penyidik di lingkungan Pegawai
Negeri Sipil diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atas usul Menteri yang
membawahi pegawai negeri tersebut. Penyidik dari lingkungan Pegawai Negeri Sipil hanya
berwenang melakukan penyidikan tindak pidana yang tersebut dalam peraturan perundang-
undangan pidana khusus atau perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana.
Berkaitan dengan tindak pidana di bidang kehutanan proses penyidikan dilakukan oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dari para pegawai di lingkungan Kementerian
Kehutananan yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan. Dalam pasal 77
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa selain pejabat penyidik dari Polri,
pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi
pengurusan hutan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
KUHAP. Dalam penjelasan Pasal 77 (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 ditegaskan
bahwa yang dimaksud dengan pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu meliputi pejabat Pegawai
Negeri Sipil di tingkat pusat maupun daerah yang mempunyai tugas dan tanggung jawab
dalam pengurusan hutan.
Pejabat penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang kehutanan tersebut mempunyai wewenang
untuk:
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenan
dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan
c. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalamKawasan hutan atau wilayah
hukumnya
d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku

8
e. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan
f. Menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana
g. Membuat dan menandatangani berita acara.
h. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak
pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.

Secara lebih lengkap ketentuan mengenai tugas dan kewenangan penyidik Pegawai Negeri
Sipil di lingkungan kementerian kehutanan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1985. Menurut Pasal 16 (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985, pejabat
penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang kehutanan mempunyai wewenang :
a. Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan dan wilayah sekitar hutan
b. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan
di dalam kawasan hutan atau wilayah sekitar hutan (kring) dan daerah-daerah lain
yang oleh Pemerintah daerah ditentukan sebagai wilayah kewenangan Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tersebut untuk memeriksa hasil hutan
c. Menerima laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan dan
kehutanan
d. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana di bidang kehutanan;
e. Menangkap tersangka untuk diserahkan kepada penyidik Polri dalam hal tertangkap
tangan
f. Membuat dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana di bidang
kehutanan.
Di samping kewenangan tersebut di atas, menurut Pasal 17 (1) Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1985, penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang kehutanan juga mempunyai
kewajiban untuk :
a. Menerima laporan atau pengaduan tentang telah terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan dan kehutanan;
b. menyuruh berhenti dan memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam
kawasan hutan dan wilayah sekitar hutan;
c. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang
kehutanan;
d. memanggil seseorang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi tindak pidana di bidang kehutanan;
e. Membuat dan menandatangani berita acara;
f. Mengadakan penghentian penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang
adanya tindak pidana di bidang kehutanan
g. Meminta petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik Polri.
Berdasarkan kewenangan tersebut di atas maka pejabat penyidik Pegawai Negeri Sipil
di lingkungan kehutanan dapat melakukan proses penyidikan terhadap tindak pidana di bidang
9
kehutanan dengan melakukan semua proses penyidikan sampai pemberkasan atau membuat
berita acara penyidikan. Pejabat penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang kehutanan
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada
penuntut umum sesuai ketentuan dalam KUHAP. Dari ketentuan tersebut berarti bahwa
pejabat penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang kehutanan dapat melakukan penyidikan
tanpa koordinasi dengan penyidik Polri. Di samping pejabat penyidik Pegawai Negeri Sipil,
pejabat penyidik Polri juga diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap kasus-
kasus kehutanan berdasarkan Pasal 6 (1) KUHAP juncto Pasal 77 (1) Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999. Demikian pula dengan aparat kejaksaan juga mempunyai kewenangan
menyidik tindak pidana khusus, yaitu kasus-kasus korupsi termasuk korupsi dalam illegal
logging. Penyidik perwira TNI-AL atas dasar kerjasama dengan Departemen Kehutanan juga
mempunyai kewenangan serupa seperti dalam rangka penyidikan terhadap penyelundupan
kayu ilegal yang merupakan bagian dari illegal logging.
Salah satu tahapan dan kewenangan penyidik dalam proses penyidikan adalah
melakukan penangkapan dan penahanan. Terhadap tersangka pelaku kejahatan kehutanan
dapat dikenakan penangkapan dan penahanan. Menurut Pasal 1 butir 20 Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana (Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981) yang dimaksud
penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu
kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan
atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang. Wewenang melakukan penangkapan terhadap pelaku kejahatan kehutanan di
samping ada di tangan penyidik Polri juga diberikan kepada penyidik Pegawai Negeri Sipil di
lingkungan Kementerian Kehutanan. Menurut ketentuan Pasal 77 ayat (2) huruf f Undang
Undang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan
berwenang melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana
yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan (bidang Kehutanan). Bahkan dalam
peraturan pelaksana Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999, yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan disebutkan bahwa "Polisi Kehutanan atas
perintah pimpinan berwenang untuk melakukan penyelidikan, dalam rangka mencari dan
menangkap tersangka" (Pasal 36 ayat (3).
Jadi, Undang-undang Kehutanan dan peraturan pelaksananya telah memberikan
wewenang kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dan polisi kehutanan atas
perintah pimpinan untuk melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana bidang
kehutanan, namun tidak diatur mekanismenya dan menyerahkannya kepada Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, sedangkan menurut Kitab Undang- Undang Hukum Acara
Pidana pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik
Indonesia (Pasal 18 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981). Ketidaklengkapan
pengaturan mekanisme penangkapan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dan
polisi kehutanan dalam undang-undang kehutanan menimbulkan perbedaan persepsi
penerapannya bahkan menyebabkan kewenangan tersebut "mandul" sehingga dalam hal tidak
tertangkap tangan maka Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan masih meminta bantuan
POLRI untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka tindak pidana bidang kehutanan
meskipun polisi kehutanan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan sebenarnya sudah

10
memiliki kewenangan itu. Setelah dilakukan penangkapan maka untuk kepentingan proses
penyidikan terhadap tersangka dapat dilakukan penahanan.
Apabila penyidikan telah selesai dilakukan, maka berkas perkara oleh penyidik
diserahkan kepada kejaksaan selaku penuntut umum. Apabila pihak kejaksaan menyatakan
berkas penyidikan sudah cukup memenuhi syarat-dalam istilah penyidikan disebut P.21-maka
oleh jaksa kemudian dibuatkan surat dakwaan untuk selanjutnya dilimpahkan kepada
pengadilan negeri untuk disidang. Sebaliknya apabila berkas penyidikan dinilai belum
sempurna oleh jaksa, maka jaksa meminta kepada penyidik untuk menyempurnakan dengan
disertai petunjuk yang diberikan oleh kejaksaan.

Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Kehutanan


Proses penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan dilakukan oleh pejabat penyidik
Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian atau Dinas Kehutanan (daerah),
sedang untuk proses penuntutannya dilakukan oleh penuntut umum di instansi kejaksaan.
Jadi, tidak ada penuntut umum yang bersifat khusus seperti penyidik khusus untuk menangani
perkara pelanggaran hukum kehutanan. Institusi kejaksaan bertindak selaku penuntut umum
terhadap semua tindak pidana, kecuali terhadap tindak pidana khusus yang dikecualikan oleh
undang- undang. Terhadap tindak pidana khusus, seperti kejahatan hak asasi manusia dan
tindak pidana korupsi, penuntutan dapat dilakukan oleh penuntut umum yang ditunjuk secara
khusus, namun tetap diambilkan dari penuntut umum di lingkungan kejaksaan.
Menurut Pasal 1 angka 7 Kitab Undang -Undang Hukum Acara Pidana penuntutan
adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Selanjutnya dalam
Pasal 137 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana dijelaskan bahwa penuntut umum
berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang di dakwa melakukan suatu delik
(tindak pidana) dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan negeri
yang berwenang mengadili. Dalam Pasal 1 angka 6 Kitab Undang -Undang Hukum Acara
Pidana disebutkan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Di sisi lain jaksa
adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut
umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dari pengertian di atas maka dapat ditarik pengertian bahwa pengertian jaksa menyangkut
jabatan, sedang pengertian penuntut umum menyangkut fungsi.
Wewenang penuntut umum menurut Pasal 14 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana
adalah:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dariPenyidik atau penyidik
pembantu;
b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pembantu Penyidikan dengan
memberikan petunjuk dalam penyempurnaan berita acara penyidikan kepada penyidik;
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan
dan atau mengubah Status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
11
d. membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
a. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang haridan waktu perkara
disidangkan yang disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi,
untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
b. Melakukan penuntutan; h. Menutup perkara demi kepentingan hukum;
c. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut
umum menurut ketentuan undang- undang
d. d. Melaksanakan penetapan hakim.
e.
Menurut Pasal 138 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana setelah menerima hasil
penyidikan dari penyidik maka penuntut umum segera mempelajari dan meneliti dan dalam
waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan sudah
lengkap atau belum. Apabila hasil penyidikan belum lengkap maka penuntut mengembalikan
berkas kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi,
dan dalam jangka waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah
menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Sesudah penuntut
umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, maka
segera menentukan apakah berkas perkara sudah memenuhi syarat untuk dapat atau tidak
dilimpahkan ke pengadilan. Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan
membuat pemberkasannya dalam satu surat dakwaan apabila dalam waktu yang sama atau
hampir bersamaan menerima beberapa berkas perkara dalam hal :
(a) beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama
(b) beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain dan
(c) beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang
satu dengan yang lain itu ada hubungannya yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu
dilakukan bagi kepentingan pemeriksaan.
Apabila penuntut umum berpendapat bahwa perkara dapat dibuktikan, baik tentang
peristiwa pidananya maupun tentang kesalahan pelakunya, maka penuntut umum membuat
surat dakwaan. Surat dakwaan tersebut harus dibuat dengan terang dan dapat dimengerti oleh
terdakwa. Apabila surat dakwaan belum memenuhi syarat maka jaksa selaku penuntut umum
wajib memperhatikan saran-saran yang diberikan oleh hakim sebelum pemeriksaan di
persidangan. Surat dakwaan harus memenuhi syarat yang ditentukan Kitab Undang- Undang
Hukum Acara Pidana. Apabila surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan maka surat dakwaan
batal demi hukum. Oleh karena itu dalam membuat surat dakwaan penuntut umum harus
cermat dan berhati-hati karena surat dakwaan adalah dasar dari pemeriksaan perkara
selanjutnya.
Dalam menyusun surat dakwaan penuntut umum dapat membuat dakwaan alternatif,
yaitu mendakwa terdakwa melakukan salah satu dari beberapa kejahatan atau pelanggaran
yang disebutkan dalam surat dakwaan tersebut satu per satu. Model surat dakwaan demikian
dilakukan dengan mendakwa terdakwa melakukan suatu perbuatan primair. Apabila tidak
dapat dibuktikan maka terdakwa didakwa melakukan perbuatan lain yang disebutkan secara
12
lengkap dalam surat dakwaan (dakwaan subsidair). Dalam surat dakwaan masih dapat
disebutkan adanya dakwaan perbuatan yang lain lagi, yakni jika terdakwa tidak dapat
dibuktikan melakukan perbuatan dalam dakwaan subsidair, atau yang lazim disebut dengan
dakwaan lebih subsidair lagi.
Jadi, dasar bagi penuntutan terdakwa pelaku pelanggaran hukum kehutanan, adalah
surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum. Oleh karena itu keberhasilan penuntutan
bergantung kepada penguasaan jaksa selaku penuntut umum terhadap persoalan delik di
bidang kehutanan dan persoalan pembuktian atas perbuatan terdakwa di depan pengadilan.
Dalam tindak pidana di bidang kehutanan, biasanya pelaku adalah dari kalangan pengusaha
atau sindikat illegal logging yang mempunyai dana, teknologi dan keahlian di bidang
kehutanan, sehingga jaksa selaku penuntut umum juga harus mempunyai pengetahuan yang
setara dengan mereka. Di samping itu harus dijaga pula kemungkinan terjadinya upaya dari
pelaku untuk mempengaruhi jaksa penuntut umum dengan tawaran untuk melakukan kolusi
dan korupsi. Keberhasilan penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum kehutanan
bergantung pada profesionalisme dan integritas jaksa selaku penuntut umum. Apabila jaksa
selaku penuntut umum bertindak profesional dan mempunyai integritas yang bagus sehingga
dapat bertindak tegas dan konsisten dalam menjalankan tugas penuntutan, maka niscaya
kasus-kasus pelanggaran hukum kehutanan dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu
diperlukan adanya koordinasi dan kerja sama antara lembaga kejaksaan dengan instansi
terkait dalam menangani pelanggaran hukum kehutanan agar penegakan hukum dapat berhasil
dengan baik.
Proses Pengadilan terhadap Kejahatan Kehutanan
Tahap yang terpenting dari suatu proses peradilan adalah pemeriksaan di persidangan.
Pengadilan merupakan institusi yang mempunyai kewenangan untuk menyatakan seseorang
terbukti bersalah melakukan tindak pidana dan menjatuhkan hukuman sesuai kesalahannya.
Dalam pemeriksaan di pengadilan, hakim yang memeriksa perkara senantiasa berusaha untuk
membuktikan :
(a) apakah betul suatu peristiwa telah terjadi
(b) apakah benar peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana
(c) apakah sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi dan
(d) siapakah orang yang bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
Dalam proses persidangan maka pembuktian merupakan penentu berhasil tidaknya
proses penuntutan dan dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum. Artinya jaksa selaku
penuntut umum harus dapat membuktikan aku tindak pidana (terdam dakwaannya jika Dalam
menjatuhkan pidana, hakim harus mendasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti dan
berdasarkan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya (Pasal 183 Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana).
Apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan
kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
13
Sedangkan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan terdakwa terbukti akan tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa dilepas dari segala tuntutan
hukuman. Namun sebaliknya jika terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana
maka berdasarkan Pasal 193 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana pengadilan
menjatuhkan pidana. Pada waktu menjatuhkan putusan apabila terdakwa tidak ditahan maka
pengadilan dapat memerintahkan supaya terdakwa ditahan. Perintah segera masuk tahanan itu
dimaksudkan agar selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap terpidana tidak
melarikan diri, atau merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana
lagi. Sedang terhadap barang bukti yang merupakan obyek tindak pidana, pihak pengadilan
dapat memutuskan dirampas untuk dimusnahkan atau untuk negara. Dalam kejahatan di
bidang kehutanan terhadap barang bukti berupa kayu-kayu curian maka putusan hakim
sebaiknya menyatakan barang bukti disita untuk negara.
Untuk memberikan efek jera kepada pelaku atau calon pelaku yang lain, maka pidana
yang diterapkan terhadap tindak pidana di bidang kehutanan harus dijatuhkan secara optimal
dan syukur jika bisa dijatuhkan secara maksimal. Hal ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa kejahatan di bidang kehutanan menimbulkan dampak yang sangat luas, tidak saja
menimbulkan kerusakan hutan dan lingkungan, tetapi juga merugikan negara dalam skala
yang sangat besar. Di samping itu khusus untuk kejahatan illegal logging yang dilakukan
secara terorganisir oleh sindikat yang sangat rapi, dampak yang ditimbulkan tidak hanya
merugikan negara tetapi juga memberikan kerugian pada merosotnya kepercayaan
internasional, Hal ini terjadi karena banyak kayu-kayu yang berasal dari Indonesia yang dicuri
dan diselundupkan (dijual) ke luar negeri dengan harga yang sangat murah, sehingga
memerosotkan nilai jual kayu Indone sia yang diekspor secara resmi.
Pengadilan adalah benteng terakhir keadilan, maka dalam mengadili kasus (perkara)
tindak pidana di bidang kehutanan para hakim tidak boleh melakukan kolusi dan korupsi,
karena dampak kejahatan ini sangat luas. Di samping itu profesionalisme hakim dalam
mengadili kasus tindak pidana di bidang kehutanan harus baik agar dapat menjatuhkan
putusan yang tepat. Paling tidak para hakim harus menguasai modus operandi dan teknik-
teknik yang sering digunakan oleh sindikat pencuri kayu agar dapat menentukan ada tidaknya
kesalahan mereka manakala diperiksa di depan persidangan, lembaga peradilan di semua
tingkatan harus ikut berperan serta dalam memberantas kejahatan di bidang kehutanan.
Jangan sampai terjadi main mata antara hakim di lembaga peradilan dengan terdakwa atau
sindikat pencurian kayu di hutan agar upaya pemerintah untuk memberantas tindak pidana di
bidang kehutanan mendapat sambutan dari lembaga peradilan. Upaya pemberantasan tindak
pidana di bidang kehutanan harus dilakukan melalui koordinasi yang erat antara aparat
penegak hukum, dalam arti mereka bersungguh-sungguh untuk memberantas kejahatan jenis
ini karena menimbulkan kerugian yang sangat besar dan luas.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan
Cakupan perusakan hutan yang diatur dalam undang-undang ini meliputi proses, cara,
atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah. Adapun pembalakan liar didefinisikan sebagai semua
kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi, sedangkan
14
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah meliputi kegiatan terorganisasi yang dilakukan di
dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin menteri. Undang-
undang ini dititikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara
terorganisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas
2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada suatu waktu tertentu
dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tetapi tidak termasuk kelompok masyarakat yang
melakukan perladangan tradisional. Pengecualian terhadap kegiatan perladangan tradisional
diberikan kepada masyarakat yang telah hidup secara turun-temurun di dalam wilayah hutan
tersebut dan telah melakukan kegiatan perladangan dengan mengikuti tradisi rotasi yang telah
ditetapkan oleh kelompoknya.
Undang-undang ini mengamanatkan pembentukan suatu lembaga yang melaksanakan
pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan terorganisasi yang berkedudukan di bawah
dan bertanggung jawab kepada Presiden yang terdiri atas unsur kehutanan, kepolisian,
kejaksaan, dan unsur terkait lainnya, seperti unsur kementerian terkait, ahli/pakar, dan wakil
masyarakat. Selain memiliki fungsi penegakan hukum, lembaga ini juga memiliki fungsi
koordinasi dan supervisi. Sejak terbentuknya lembaga pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan, penanganan semua tindak pidana perusakan hutan yang terorganisasi
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini menjadi kewenangan lembaga pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan. Sedangkan tindak pidana perusakan hutan terorganisasi yang
sedang dalam proses hukum, tetap dilanjutkan berdasarkan ketentuan peraturanPerundang-
undangan yang sebelumnya sampai diperoleh kekuatan hukum tetap.
Asas dan Tujuan Pemberantasan Perusakan Hutan
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 “Pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan berasaskan”:
a. Keadilan dan kepastian hukum
b. Keberlanjutan
c. Tanggung jawab negara
d. Partisipasi masyarakat
e. Tanggung gugat
f. Prioritas dan
g. Keterpaduan dan koordinasi.

Pasal 3 Undang – Undang No. 18 Tahun 2013


“Pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan bertujuan”:
a. menjamin kepastian hukum dan memberikan efek jera bagi pelaku perusakan hutan;
b. menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian dan
tidak merusak lingkungan serta ekosistem sekitarnya;
c. mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan dengan memperhatikan
keseimbangan fungsi hutan guna terwujudnya masyarakat sejahtera; dan
d. meningkatnya kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait
dalam menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
Contoh Kasus

15
Kasus pertama
DIREKTUR PT PMB PERUSAK HUTAN LINDUNG DI BATAM DI HUKUM 7 TAHUN
PENJARA
Jakarta, 11 Januari 2022. Ramudah alias Ayang (44) – Direktur PT Prima Makmur Batam
(PMB) – pelaku perusakan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai dan Tanjung Kasam, Kecamatan
Nongsa, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, divonis majelis hakim Pengadilan Negeri
Batam penjara selama 7 tahun dan denda sebanyak Rp 1 miliar, subsider 6 bulan penjara
karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan mengakibatkan terlampauinya kriteria baku
kerusakan lahan di kawasan hutan lindung tersebut.
Kasus perusakan hutan lindung ini disidik oleh penyidik KLHK, selanjutnya Jaksa Penuntut
Umum pada sidang daring tanggal 23 November 2021 menuntut Ramudah dengan pidana
penjara selama 9 tahun denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara. Dalam kasus yang sama
dengan perkara tindak pidana korporasi, PT PMB divonis hakim Pengadilan Negeri Batam
dengan pidana denda sebesar Rp 2,5 milyar dalam kasus tersebut.
PT PMB melakukan perusakan lingkungan untuk membangun kavling perumahan dan
bangunan tanpa izin di dalam kawasan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai seluas 13,846 ha dan
Hutan Lindung Tanjung Kasam seluas 5,416 ha, di Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Provinsi
Kepulauan Riau. Menurut Yazid Nurhuda, Direktur Penegakan Hukum Pidana, Ditjen
Gakkum, KLHK, sebelum penegakan hukum, pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung
(KPHL) Unit II Batam sebagai pemangku kawasan telah memberikan peringatan untuk
menghentikan seluruh kegiatan ilegal di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri tersebut,
namun tidak diindahkan oleh PT PMB.
Melihat masih ada kegiatan pembukaan hutan untuk dijadikan kavling perumahan dengan
menggunakan alat berat dilokasi tersebut, Dirjen Gakkum bersama Pimpinan Komisi IV DPR
RI, menangkap Zazli bin Kamel (37), Komisaris PT PMB yang tengah berada dilokasi. Untuk
perkara tersebut, Zazli telah diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Batam dan dijatuhi
hukuman pidana penjara 5 tahun 6 bulan dan denda Rp 1 miliar, subsider 3 bulan penjara.
Saat ini Zazli sedang menjalani hukuman di Rumah Tahanan Balerang.
KLHK juga melakukan Penindakan terhadap pelaku perusakan lingkungan dan kawasan
hutan yaitu PT Kayla Alam Sentosa (KAS) dan PT Alif Mulia Jaya Batam (AMJB). Untuk
kejahatan korporasi PT. KAS dan PT. AMJB telah divonis hakim Pengadilan Negeri Batam
dengan hukuman denda sebanyak Rp 6 miliar. Sedangkan untuk tindak pidana perorangan
tersangka IDM (50) Direktur PT KAS dan DMO (49) Direktur PT AMJB diancam dengan
ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar
sebagaimana diatur dalam Pasal 98 Jo Pasal 116 ayat (1) huruf b UU 32 2009 PPLH yang saat
ini masih dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Batam.
PT PMB melanggar Pasal 98 Jo Pasal 116 ayat (1) huruf a UU 32 2009 PPLH. Dengan
ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar. Selain
itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 119 UU 32 PPLH selain pidana pokok, untuk kejahatan
korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan salah satunya pemulihan lingkungan hidup
berupa perbaikan akibat tindak pidana.

16
Kasus ke-2
Saksi BOINUS SILABAN bersama Kapolsek Gunung Purei dengan menggunakan mobil
melewati Jalan Negara Lintas Kaltim Desa Tambamba Kecamatan Gunung Purei
menghentikan 1 (satu) unit truck warna kuning dengan nomor polisi DA 1587 AH lalu
Petugas Kepolisian melakukan pengecekan terhadap barang-barang yang diangkut Terdakwa
Riduan Als Duan di dalam bak belakang mobil Truk yang dikendarainya tersebut yang
ternyata bermuatan kayu olahan jenis ulin, lalu Terdakwa diminta menunjukan surat izin yang
sah untuk mengangkut kayu olahan jenis ulin tersebut, namun Terdakwa tidak mampu
menunjukannya. Berdasarkan penuturannya, Terdakwa memperoleh kayu olahan tersebut dari
perkebunan kelapa sawit di wilayah Desa Landian, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi
Kalimantan Timur. Rencananya kayu olahan jenis ulin tersebut akan dibawa ke rumah
Terdakwa di Desa Benua Raya Kecamatan Bati-bati, Kabupaten Tanah laut, Provinsi
Kalimantan Selatan. Berdasarkan hasil pemeriksaan oleh Ahli dari Dinas Kehutanan dan
Perkebunan PEMKAB Barito Utara, yaitu TOMI J. PISA Als TOMI Bin TAMRANUDIN,
SALEHUDIN, SP, BASRIN, SP., M. SOKHI, S. Hut. bahwa kayu olahan yang diangkut oleh
Terdakwa tersebut merupakan kayu olahan enis ulin / kayu indah sebanyak 181 (seratus
delapan puluh satu) keeping = 2,6416 M³ sebagaimana tercantum dalam Daftar Pengukuran
Kayu Gergajian Nomor: 09/KG-S/DISHUTBUN/III/IV/2015 tanggal 6 April 2015. Terdakwa
mengangkut kayu jenis ulin tersebut tanpa dilengkapi dengan surat keterangan sahnya hasil
hutan untuk kayu ulin yang ermasuk golongan kayu indah berupa Faktur Angkut Kayu
Olahan (FAKO). Adapun Identitas Terdakwa adalah sebagai berikut:
Nama lengkap : RIDUAN Als. DUAN Bin HAMDI
Tempat lahir : Bati-Bati
Umur / Tanggal lahir : 46 tahun / 05 Juli 1968
Jenis kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat tinggal : Jalan Pelabuhan Telaga Giri RT 003 Desa Benua Raya Kecamatan Bati-Bati,
Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimatan Selatan
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Berdasarkan perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 83 ayat (1) huruf b
Jo Pasal 12 huruf e UU RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan.Tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Muara Teweh yaitu
menyatakan Terdakwa RIDUAN al. DUAN Bin HAMDI terbukti bersalah melakukan tindak
pidana “Mengangkut hasil hutan tanpa dilengkapi secara bersama Surat Keterangan Sahnya
Hasil Hutan” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 83 ayat (1) huruf b Jo Pasal
12 huruf e UU RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hasil Hutan sesuai Dakwaan Kesatu kami; menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa
RIDUAN al. DUAN Bin HAMDI tersebut berupa pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6
(enam) bulan dan denda Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) dengan ketentuan jika
17
denda tersebut tidak dibayar maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam)
bulan; menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; memerintahkan agar Terdakwa tetap ditahan serta
menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) unit mobil jenis truk merk MITSUBISHI PS 120
warna kuning dengan nomor polisi DA 1587 AH dan 181 (seratus delapan puluh satu) keping
kayu jenis kayu ulin/indah jumlah 2,6416 (dua koma enam empat satu enam) m3 disita untuk
Negara. Amar Putusan Pengadilan Negeri Muara Teweh Nomor 129/Pid.Sus/2015/PN.Mtw
tangal 27 Agustus 2015 menyatakan Terdakwa RIDUAN al. DUAN Bin HAMDI tersebut di
atas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana mengangkut
hasil hutan kayu tanpa dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan;
menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu)
tahun dan 4 (empat) bulan; menjatuhkan pidana denda sebesar Rp. 600.

Hal-Hal Penting
Rapat Paripurna DPR-RI tangal 9 Juli 2013 telah mengesahkan Undang-Undang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Produk hukum tentang kehutanan ini
mengatur berbagai hal meliputi: pencegahan perusakan hutan, pemberantasan perusakan
hutan, kelembagaan, peran serta masyarakat, kerjasama internasional, perlindungan saksi,
pelapor, dan informan, pembiayaan, serta sanksi. Undang-undang P3H yang terdiri dari 12
bab dan 114 pasal ini dititikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan
secara terorganisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur,
terdiri atas dua orang atau lebih yang bertindak secara bersama-sama, pada suatu waktu
tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat
yang melakukan perladangan tradisional, atau kegiatan non komersial seperti pemenuhan
kebutuhan sandang/pangan/papan rumah tangga sendiri.
Dengan dibentuknya lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, maka
penanganan semua tindak pidana perusakan hutan yang terorganisasi sebagaimana diatur
dalam undang-undang ini menjadi kewenangan lembaga tersebut. Sedangkan tindak pidana
perusakan hutan terorganisasi yang sedang dalam proses hukum, tetap dilanjutkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang sebelumnya sampai diperoleh
kekuatan hukum tetap. Penggunaan UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi menjadi salah satu alternatif penting yang dilirik dalam
pemberantasan mafia di sektor Kehutanan. Pemerintah Indonesia telah menyusun Strategi
Nasional Dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme Tahun 2019 yang menyatakan bahwa aksi priotitas untuk memitigasi
risiko tersebut diantaranya melalui penyusunan Penilaian Risiko Sektoral Penanganan Perkara
Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Kehutanan atau Sectoral Risk Assessment on Forestry
Crimes.
Perundang-undangan tentang Korupsi di Indonesia telah ada sejak tahun-tahun awal
berdirinya negara ini. Dibawah ini adalah perundang-undangan yang pernah dikenal di hukum
positif Indonesia, diantaranya:
1. Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957
18
2. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No. Prt/012/Peperpu/013/1958 tentang
pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan perbuatan korupsi pidana dan pemilikan harta
benda
3. Peraturan pemerintah pengganti Undang-undang No. 24 Prp tahun 1960 tentang
pengususan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi
4. Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
5. Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
sebagaimana diubah oleh Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU
No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
6. Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
7. Undang-undang Nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Dari tujuh peraturan diatas, aturan hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku
korupsi hanyalah aturan ke-5. Dengan catatan, kejahatan korupsi yang dilakukan sebelum UU
No. 31 tahun 1999 ada, tunduk atau dijerat dengan UU No. 3 tahun 1971, sepanjang belum
melewati masa daluarsa. Namun, undang-undang juga tidak memberikan definisi “Korupsi”
secara tunggal. Pengertian korupsi justru diperlihatkan pada jenis-jenis perbuatan yang
dilarang yang tersebar di berbagai pasal. Khusus untuk penerapan UU Korupsi di sektor
kehutanan, setidaknya kita dapat fokus pada Korupsi klafisikasi pertama, yaitu yang
merugikan keuangan negara. Hal ini diatur pada Pasal 2 dan 3 UU 31/1999 jo UU 20/2001.
Selain itu, pasal tentang suap dan gratifikasi seringkali juga dapat digunakan jika dalam
proses penerbitan izin, konsensi atau bahkan rekomendasi, pihak perusahaan memberikan
sejumlah uang, janji, sarana atau prasarana dalam bentuk apapun terhadap penyelenggara
negara untuk memuluskan niatnya.
Penggunaan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru. Sejumlah kejahatan di sektor kehutanan pernah
dijerat dengan delik korupsi. Sebagian berhasil, akan tetapi sebagian lainnya divonis bebas
atau lepas oleh hakim. Kasus Adelin Lis merupakan contoh penerapan UU Tindak Pidana
Korupsi yang relatif berhasil. Meskipun di tingkat pertama, Pengadilan Negeri Medan
menjatuhkan vonis bebas karena hakim saat itu menilai penebangan diluar Rencana Kerja
Tahunan (RKT) hanyalah merupakan pelanggaran administratif1Akan Tetapi, di tingkat
Kasasi, Mahkamah Agung justru memutuskan delik korupsi bisa diterapkan pada kasus
kehutanan, dan Adelin dijatuhi vonis 10 tahun penjara. Saat itu, majelis secara membantah
secara tegas argumentasi yang selama ini berkembang, bahwa Undang-Undang Kehutanan
bersifat Lex Specialis dari UU Tindak Pidana Korupsi. Hakim mengatakan, Undang - Undang
Kehutanan hanyalah bersifat Lex Specialis terhadap peraturan yang general seperti Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP. Demikian juga dengan UU Tindak Pidana Korupsi.
Dengan demikian, antara UU Tindak Pidana Korupsi dengan UU Kehutanan, masing-masing
adalah bersifat lebih khusus (lex specialis) terhadap KUHP. Jadi, tidak mungkin UU Tindak
Pidana Korupsi dikesampingkan dari UU Kehutanan.
Yang bisa melakukan investigasi
19
Investigasi tidak hanya dilakukan oleh institusi penegak hukum maupun lembaga-
lembaga pemerintah seperti Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Inspektorat Jendral,
Inspekrorat Wilayah dan Badan Pengawasan Daerah namun pada kasus-kasus tertentu
masyarakat bisa melakukan investigasi.
Kasus-kasus yang bisa diinvestigasi
Sebelum melakukan invesitgasi, masyarakat harus memperhatikan beberapa
pertimbangan. Pertama, Investigasi dilakukan untuk mengungkap fakta yang merugikan-
masyarakat umum (publik) baik secara langsung maupun tidak. Kedua, persoalan yang
menyangkut kepentingan bersama dan cukup masuk akal mempengaruhi kehidupan sosial
mayoritas masyarakat umum. Ketiga, terdapat indikasi bahwa pihak-pihak tertentu mencoba
untuk menyembunyikan kejanggalan dari hadapan publik. Dan keempat, kasus yang diduga
terindikasikan tindak pidana korupsi. Investigasi bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk
masyarakat. Pada prinsipnya, melakukan kegiatan investigasi sebenarnya lebih dari sekedar
mengumpulkan ribuan data atau temuan di lapangan. Tetapi juga menyusun berbagai
informasi yang pada akhirnya bisa disimpulkan atas rangkaian sebuah peristiwa. Untuk
menjaga kualitas dari investagasi sebaiknya, masyarakat yang melakukan investigasi harus
memahami prinsip-prinsip dalam investigasi, yaitu ;
a. Mengungkap fakta dibalik fakta
b. Dilakukan secara tertutup/ diam-diam
c. Menggunakan cara-cara luar biasad. Melindungi informan dan saksi
Demikian juga dengan kerugian keuangan negara dan unsur memperkaya diri sendiri
atau orang lain. Sangat dibutuhkan hubungan kausalitas antara perbuatan yang melawan
hukum dengan kerugian yang diderita negara yang pada akhirnya mengakibatkan pihak
tertentu menjadi lebih kaya atau mendapat keuntungan dari perbuatan illegal
tersebut.Sedangkan unsur “menyalahgunakan kewenangan” seperti diatur di Pasal 3, bisa
perlu diukur lebih jauh, apa batas kewenangan seorang penyelenggara negara dan
dibandingkan dengan perbuatan atau produk kebijakan yang diterbitkannya. Kemudian
diteruskan pada analisis apakah hal tersebut bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri,
orang lain atau koorporasi, sehingga akhirnya keuangan negara dirugikan akibat perbuatan
atau kebijakan tersebut. Banyak pihak sulit membuktikan apakah benar sebuah kebijakan
memang dibuat dan ditujukan semata untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Akan
tetapi, biasanya Jaksa Penuntut Umum menggunakan dua pasal ini secara berlapis terhadap
satu pelaku kasus korupsi, sebagai strategi agar terdakwa lebih sulit bebas di pengadilan.

20
KESIMPULAN
1. Penegakan Hukum Di Bidang Kehutanan (Illegal Logging) Dalam Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Perusakan Hutan Di Wilayah Hukum sudah
telaksana secara maksimal oleh aparat penegak hukum namun belum berjalan dengan baik
yang mana masih ada pelaku illegal yang berada di daerah-daerah tertentu sehingga
menyebabkan hutan semakin rusak. Keberhasilan suatu penegak hukum oleh polisi, jaksa
ataupun hakim dalam memberantas tindak pidana illegal logging tergantung pada integritas
dan profesionalisme, mereka harus konsisten dan tegas dalam menangani kasus illegal
logging. Kejahatan illegal logging ini masih saja terjadi hal ini disebabkan karena masih
kurangnya efek jera terhadap pelaku tindak pidana kehutanan.

2. Hambatan dalam Penegakan Hukum Di Bidang Kehutanan (Illegal Logging) Dalam


Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Perusakan Hutan Di
Wilayah Hukum diantaranya adalah karena tidak terjangkaunya pengawasan disebabkan oleh
luasnya wilayah, faktor masyarakat, faktor alam, faktor ekonomi, kurangnya sumber daya
manusia, keterbatasan aparat penegak hukum dan kurangnya kerjasama yang baik, minimnya
sarana dan prasarana, serta kurangnya pengawasan oleh aparat penegak hukum.

21
DAFTAR PUSTAKA
Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 58/4 31 Oktober 2003 disahkan sebuah United Nation
Convention Against Corruption (UNCAC), yang didalamnya menyebutkan secara tegas
akibat meluas, sistemik dan ancaman dari korupsi di tingkatan nasional dan Internasional.
Hal ini semakin mempertegas sifat extra ordinary tindak pidana korupsi tersebut. Indonesia
telah meratifikasi UNCAC melalui Undang-undang Nomor 7 tahun 2006, tertanggal 18 April
2006.
Kejaksaan Tinggi Sumbar yang saat itu dijabat oleh Antasari Azhar menetapkan tiga
tersangka, yaitu: Direktur PT ATN Tedy Antony, pengurus KUD Mina Awera Zulkarnain dan
pengurus KUD Simatorai Monga, Parulian Samalinggai.
Putusan Pengadilan Negeri Padang No. 03/Pid.Pra/2005/PN. PDG tertanggal 8 Juni 2005.
Dr. H. Murhaini, S, H., M.H. 2012, "HUKUM KEHUTANAN- Pengerusakan Hukum
Terhadap Kejahatan di Bidang Kehutanan," Laksbag Grafika, Yogyakarta.
Pamulardi, Bambang, 1995, "Hukum Kehutanan dan Pembangunan di Bidang Kehutanan,"
PT Raja Grafika Persada, Jakarta.
Salim, H., 2004, "Dasar-Dasar Hukum Kehutanan (Edisi Revisi), Sinar Grafika, Yogyakarta.
Peraturan Perundang-undangan
- UU No. 18 Tahun 2013
- UU No. 41 Tahun 1999
- UU No. 8 Tahun 1981
https://www.menlhk.go.id/
https://ejournal.umm.ac.id/index.php/audito/article/view/15173

22
Hukum Kehutanan (Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan di Bidang Kehutanan) Dr. H.
Suriansyah Murhaini, S.H. M.H. Laksbang Grafika, Minnomartani,Ngaglik, Sleman
Yogyakarta Mei Tahun 2011 & 2012

23

Anda mungkin juga menyukai