Anda di halaman 1dari 11

YAYASAN SASMITA JAYA

UNIVERSITAS PAMULANG
JL. Surya Kencana No. 1 Pamulang Barat, Tangerang Selatan Banten
Telp. (021) 7412566 Fax.(021)7412491

Nama Mahasiswa : ANAA QOMARIYAH Nama Dosen : AGUS SEPTIMA RIDWAN, S.H., M.H.
NIM : 181010250136 NIDOS : 02495
Kelas : V. 240 Hari/Tanggal : 31 Mei - 05 Juni 2021
Kode Kelas : 05HUKE004 Mata Kuliah : Politik Hukum Pidana
Program Studi : HUKUM Reg. : C Sabtu

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER


Jawablah soal Ujian Akhir Semester berikut dan kirim jawaban dalam file format word/pdf serta
melampirkan Kartu Ujian dan Makalah Tugas.

1. Apa manfaat mempelajari Politik Hukum Pidana?


Jawaban : manfaat nya agar dapat memahami hukum melalui pendekatan politik sehingga dengan
demikian mahasiswa dapat mengetahui ruang lingkup kajian politik hukum.
Manfaat Politik Hukum :
• Agar hukum senantiasa sesuai dengan dinamika yg terus berkembang dalam masyarakat;
• Untuk meningkatkan daya efektivitas hukum yg berbasis pada rasa keadilan masyarakat;
• Untuk lebih memperkaya khasanah kajian ilmu hukum dengan melibatkan pendekatan atau konsep-
konsep disiplin ilmu lainnya.

2. Bagaimana politik hukum pidana dengan perkembangan masyarakat saat ini?


Jawaban : Politik hukum pidana pada dasarnya adalah suatu bentuk kebijakan yang merespon
perkembangan pemikiran manusia tentang kejahatan. Tidak bisa dielakkan bahwa perkembangan
pemikiran masyarakat atas suatu fenomena perilaku yang dikategorikan kejahatan tak lepas atas
perkembangan masyarakat itu sendiri. Akan tetapi juga tidak dapat dielakkan adanya pandangan
bahwa hukum pidana masih dianggap sebagai alat atau sarana terbaik dalam penanggulangan
kejahatan.

3. Apa yang saudara ketahui mengenai Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dan bagaimana
pendapat saudara mengenai hal tersebut?
Jawaban : Prinsip keadilan restoratif (restorative justice) adalah salah satu prinsip penegakan hukum
dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung dalam bentuk pemberlakuan kebijakan (Peraturan Mahkamah Agung dan Surat
Edaran Mahkamah Agung), namun pelaksanaannya dalam sistem peradilan pidana Indonesia masih
belum optimal.
4. Apa yang dimaksud dengan Hukum Pidana berkarakter Humanistik?
Jawaban : Hukum pidana berkarakter humanistik artinya hukum pidana yang berdasarkan
kemanusiaan. Jadi perundang-undangan dipahami tidak hanya sebatas apa yang tertulis yang
memungkinkan perkara-perkara itu diproses, namun hendaknya ada sentuhan humanistik yang
dikedepankan dalam penyelesaiannya sehingga menciptakan keadilan yang sesungguhnya.
Contohnya kasus Minah, nenek yang mengambil tiga buah kakao sampai kasus anak kecil berumur
15 tahun di Palu yang harus menjalani proses peradilan gara-gara mengambil sandal milik anggota
polisi, menunjukkan bahwa penegakan hukum hanya melihat dari satu sisi pasal-pasal yang ada
dalam undang-undang. Padahal, perkara-perkara semacam itu sebenarnya tidak perlu sampai ke
persidangan, apalagi bagi anak-anak tentunya akan menimbulkan dampak buruk atau bisa jadi tauma
jika harus menjalani proses persidangan.

5. Bagaimana menurut pendapat saudara mengenai Pancasila sebagai Cita Hukum (rechtsidee) dan
filter pembaharuan hukum pidana Indonesia?
Jawaban : Pancasila sebagai rechtsidee dan filter pembaharuan hukum dapat juga diartikan Pancasila
sebagai ‘margin of Appreciation‛ dalam pembaharuan hukum di Indonesia. Pengertian Pancasila
sebagai ‘margin of Appreciation‛ yaitu usaha untuk selalu menempatkan ideologi negara Pancasila
sebagai acuan atau rujukan dalam setiap langkah hukum, seperti proses pembuatan undang-undang,
proses penegakan hukum, proses penanaman kesadaran hukum rakyat, bahkan termasuk dalam
penerapan uji materiil (judicial review) yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

Perkembangan dan perubahan sosial yang demikian pesat sebagai akibat dari perkembangan
teknologi dan industri, menghendaki hadirnya suatu tatanan hukum yang mampu mewujudkan
tujuan-tujuan yang dikehendaki masyarakat. Oleh karena itu, Pancasila yang menjadi ideologi,
pandangan hidup, cita-cita moral kehidupan masyarakat bangsa I donesia sudah sepatutnya dijadikan
pedoman dan filter dalam menjalankan hukum pidana ini, termasuk di dalamnya mengenai
rancangan, isi, dan penerapannya harur berdasarkan pancasila.

Selamat Mengerjakan
Tugas Mandiri:
Buatlah Makalah sebagai Tugas Mandiri untuk komponen Nilai Tugas.

TUGAS MAKALAH
HUKUM PIDANA RESTORATIVE JUSTICE

DISUSUN OLEH
ANAA QOMARIYAH ( 181010250136 )
PENGAMPU : AGUS SEPTIMA RIDWAN,
SH.MH.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PAMULANG


(UNPAM)
JL. Raya Puspitek, Buaran, Pamulang
Tangerang Selatan - Banten
2021
Keadilan Restoratif

Pengertian keadilan restoratif

Istilah restorative justice merupakan terminologi asing yang baru dikenal di Indonesia sejak era tahun 1960-
an dengan istilah Keadilan Restoratif. Di beberapa negara maju keadilan restoratif bukan sekedar wacana
oleh para akademisi hukum pidana maupun kriminologi. Amerika Utara, Australia dan beberapa negara di
Eropa keadilan restoratif telah diterapkan dalam tahap proses peradilan pidana yang konvensional, mulai
dari tahap penyidikan, penuntutan, ajudikasi dan tahap eksekusi.

PBB mendefinisikan keadilan restoratif sebagai a way of responding to criminals behavior by balancing the
needs of the community, the victims and the offender.28 (Sebuah penyelesaian terhadap perilaku pidana
dengan cara melaraskan kembali harmonisasi antara masyarakat, korban dan pelaku).

Miriam Liebman mendefinisikkan keadilan restoratif sebagai berikut: “Restorative justice has become the
term generally used for an approach to criminal justice (and other justice systems such as a school
diclipinary system) that emphasizes restoring the victim and community rather than punishing theoffender”
(Keadilan restortif telah menjadi suatu istilah yang sudah umum digunakan dalam pendekatan pemidanaan
(sebagai sistem pemidanaan seperti sistem sekolah kedisiplinan) yang menekankan kepada konsep
menempatkan kembali korban dan lingkungan kepada keadaan semula dibanding menghukum sang pelaku
tindak pidana).

Menurut Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan
korban yang dirasa tersisih dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada
saat ini.

Menurut Bagir Manan, secara umum pengertian keadilan restoratif adalah penataan kembali sistem
pemidanaan yang lebih adil, baik bagi pelaku, korban maupun masyarakat.

Berbagai definisi dari keadilan restoratif dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok yang sempit dan
luas.Definisi-definisi yang sempit mengutamakan makna pertemuan antar pihak yang berkepentingan dalam
kejahatan dan periode sesudahnya, sedangkan definisi-definisi yang luas mengutamakan nilai-nilai kedilan
restoratif. Kemudian lahir definisi-definisi yang menggabungkan keduanya dan salah satunya dirumuskan
oleh Van Ness dari Canada sebagai berikut: “Restorative justice is a theory of justice that emphasizes
repairing the harm caused or revealed by criminal behavior. It is best accomplished through inclusive and
cooperative process” (Keadilan restoratif adalah teori keadilan yang mengutamakan pemulihan kerugian
akibat perilaku jahat, dimana pemulihannya tuntas melalui proses yang inklusif dan kooperatif).

Berdasarkan definisi tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa keadilan restoratif merupakan suatu jalan
untuk menyelesaikan kasus pidana yang melibatkan masyarakat, korban dan pelaku kejahatan dengan tujuan
agar tercapainya keadilan bagi seluruh pihak, sehingga diharapkan terciptanya keadaan yang sama seperti
sebelum terjadinya kejahatan dan mencegah terjadinya kejahatan lebih lanjut.

Pendekatan dan Prinsip Keadilan Restoratif

Van Ness, seperti yang dikutip oleh Mudzakkir, mengatakan bahwa

keadilan restoratif dicirikan dengan beberapa preposisi, yaitu:


a. Kejahatan adalah konflik antar individu yang mengakibatkan

kerugian pada korban, masyarakat dan pelaku itu sendiri.

b. Tujuan yang harus dicapai dari proses peradilan pidana adalah melakukan rekonsiliasi diantara
pihak-pihak sambil memperbaiki

kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan.

c. Proses peradilan pidana harus dapat memfasilitasi partisipasi aktif para korban, pelanggar dan
masyarakat. Tidak semestinya peradilan pidana didominasi oleh negara dengan mengesampingkan
yang lainnya.

Keadilan restoratif akan bertentangan dengan asas legalitas dan kepastian hukum (rechtzakerheid). Hal ini
karena keadilan restoratif tidak berfokus pada hukuman penjara, melainkan pada bagaimana perbaikan atau
pemulihan keadaan korban pasca terjadinya suatu tindak pidana.Dalam hal ini, pelaku tindak pidana dapat
diwajibkan untuk membayar ganti rugi, melakukan kerja sosial, atau tindakan wajar lainnya yang
diperintahkan oleh penegak hukum atau pengadilan.

Pendekatan keadilan restoratif dalam hukum pidana memiliki kekuatan yang mampu memulihkan hubungan
antar pihak yang menjadi pelaku dan yang menjadi korban.Juga memiliki kekuatan untuk mencegah adanya
permusuhan lebih mendalam antar para pihak dan mendorong rekonsilisasi antara pihak pelaku dan korban
secara sukarela. Kekuatan lainnya ialah mendorong adanya partisipasi warga masyarakat lainnya, misalnya
anggota keluarga atau tetangga serta menekankan pentingnya peran korban dalam suatu proses menuju
keadilan.

Di sisi korban, keadilan restoratif memberi kekuatan untuk memberi kesempatan pada pelaku untuk
mengungkapkan rasa penyesalan kepada korban dan lebih baik bila difasilitasi bertemu dalam pertemuan
yang dilakukan secara professional.Perspektif keadilan restoratif ini sebagai akibat adanya pergeseran
hukum dari lex talionis atau retributive justice dengan menekankan pada upaya pemulihan
(restorative).Dalam upaya pemulihan korban bilamana dengan pilihan pendekatan yang lebih retributive dan
legalistic sulit untuk mengobati luka korban. Maka keadilan restoratif berupaya untuk menekankan tanggung
jawab pelaku atas perilakunya yang menyebabkan kerugian orang lain.

Di sisi bantuan hukum, secara umum tidak selalu tersedia atau kalaupun tersedia biaya pranata hukum tidak
murah dan kesadaran akan peran para pihak sendiri dalam menentukan keputusan masih membutuhkan
pengalaman dan konsistensinya. Implikasi dari keadilan restoratif ini, diharapkan dapat berkurangnya
jumlah orang yang masuk dalam proses peradilan pidana khususnya dalam lembaga pemasyarakatan,
berkurangnya beban sistem peradilan pidana dan meningkatnya partisipasi publik dalam membantu
penyelesaian kasus hukum.

Adapun prinsip-prinsip keadilan restoratif menurut Adrinus Meliala adalah sebagai berikut:

a. Menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab memperbaiki kerugian yang ditimbulkan
akibat kesalahannya.

b. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana membuktikan kapasitas dan


kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif.

c. Melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam hal penyelesaian masalah.

d. Menciptakan forum untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah.


e. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara perbuatan yang dianggap salah
atau jahat dengan reaksi sosial yang formal.

Korban Tindak Pidana

Pengertian dan Tipelogi Korban

Arif Gosita menyatakan secara umum yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang
menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari
pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan
dan hak asasi yang menderita. Mereka disini dapat berarti individu atau kelompok, baik
swasta maupun pemerintah.

Muladi menyatakan yang dimaksud dengan korban adalah orang-orang yang baik secara
individu maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental,
emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental
melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana dimasing-masing negara,
termasuk penyalahgunaan kekuasaan.

Menurut Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of
Crime and Abuse of Power 1985 dikatakan korban (victims) means person who, individually
or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering,
economic loss and substantial impairment of their fundamental rights, trough acts or
omissions that are in violation of criminal laws operative within member state, including
those laws proscribing criminal abuse of power”(Korban adalah orang-orang baik secara
individual maupun kolektif, yang menderita kerugian baik kerugian fisik maupun mental,
penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau kerusakan substansial dari hak-hak asasi
mereka, yang melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan-
peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan).

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang tentang


Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan korban adalah seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana.

Dalam pengertian yang luas korban diartikan sebagai orang yang menderita atau dirugikan
akibat pelanggaran baik pelanggaran yang bersifat hukum pidana (penal) maupun diluar
hukum pidana (nonpenal) atau dapat juga termasuk korban akibat penyalahgunaan kekuasaan
(victim abuse of power).Sedangkan pengertian korban dalam arti sempit dapat diartikan
sebagai victim of crime yaitu korban kejahatan yang diatur dalam hukum pidana.Adapun ciri
yang melekat dari pengertian korban tersebut adalah bahwa korban mengalami penderitaan
(suffering) dan ketidak adilan (injustice).
Sellin dan Wolfgang mengemukakan tipologi korban sebagai berikut:

1. Primary victimization adalah korban individual. Jadi korbannya adalah orang


perorangan (bukan kelompok);

2. Secondary victimization,yang menjadi korban adalah kelompok, misalnya badan


hukum;

3. Tertiary victimization,yang menjadi korban adalah masyarakat luas;

4. Mutual victimization,yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri,

misalnya pelacuran, perzinahan, dan narkotika;

5. No victimization,yang dimaksud bukan berarti tidak ada korban

melainkan korban tidak segera dapat diketahui. Misalnya konsumen yang tertipu
dalam menggunakan suatu hasil produksi.

Dari perspektif ilmu viktimologi, selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan
posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian munculah berbagai jenis
korban, yaitu sebagai berikut:

a. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya

penanggulangan kejahatan;

b. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga

cinderung menjadi korban;

c. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya

kejahatan;

d. Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan

dirinya menjadi korban;

e. False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang

dibuatnya sendiri.

Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda, yaitu strafbaarfeit.42Kata strafbaarfeit terdiri dari feit yang dalam bahasa Belanda
berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de werkelijkheid, sedangkan
strafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harafiah perkataan strafbaarfeit
diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.”

Menurut Wirjono Prodjodikoro tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenakan hukuman pidana.44Sedangkan Soerdjono Soekanto dan Purnadi Purwacaraka,
tindak pidana diartikan sebagai sikap tindak pidana atau perilaku manusia yang masuk
kedalam ruang lingkup tingkah laku perumusan kaidah hukum pidana yang melanggar
hukum dan didasari kesalahan.

Seorang ahli hukum pidana, yaitu Moeljatno yang berpendapat bahwa pengertian tindak
pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah: ”Perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.”

Kanter dan Sianturi, pengertian tindak pidana didefinisikan sebagai suatu tindakan pada
tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan
pidana oleh undang-undang hukum pidana, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan
dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.

Menurut Pompe, pengertian tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan
terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh
seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.Sementara menurut Van
Hamel, pengertian tindak pidana ialah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak
orang lain.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian tindak pidana


ialah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana
perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau diperbolehkan oleh undang-undang
hukum pidana yang diberi sanksi berupa sanksi pidana.Untuk membedakan suatu perbuatan
sebagai tindak pidana atau bukan tindak pidana ialah apakah perbuatan tersebut diberi sanksi
pidana atau tidak diberi sanksi pidana.4

Akibat Menjadi Korban

Berdasarkan pengertian korban, dapat diketahui bahwa seseorang,

kelompok atau masyarakat dikualifikasikan sebagai korban tindak pidana apabila ia


mengalami penderitaan, kerugian atau kehilangan akibat dari perbuatan orang atau pihak lain
yang melanggar ketentuan-ketentuan pidana dalam undang- undang. Penderitaan atau
kerugian yang dialami korban itu bervariasi antara penderitaan atau kerugian materiil, fisik,
psikis dan sosial.

Penderitaan atau kerugian materiil dialami korban jika harta benda miliknya hilang dari
kekuasaannya atau rusak sehingga nilai kegunaannya berkurang atau lenyap sama sekali.
Termasuk dalam kerugian materiil ini adalah hilangnya mata pencaharian, hilangnya atau
berkurangnya keuntungan yang seharusnya diperoleh dan biaya-biaya yang harus
dikeluarkan oleh korban untuk melakukan pemulihan.

Korban dikatakan mengalami penderitaan fisik apabila badannya mengalami sakit, luka atau
cacat akibat kejahatan yang terjadi.Termasuk dalam pengertian ini adalah hilangnya
kemerdekaan dan nyawa si korban.

Penderitaan psikis dialami oleh korban apabila tindak pidana, khususnya kejahatan yang
terjadi kepadanya mengakibatkan gangguan pada psikis atau kejiwaan, mulai dari tingkat
yang paling ringan sampai yang berat.Termasuk dalam cakupan ini adalah munculnya
perasaan takut, gelisah dan cemas sebagai akibat dari pengalaman menjadi target kejahatan.

Dikaitkan dengan tindak pidana selain korban mengalami penderitaan materiil, fisik dan
psikis, korban tindak pidana kurang dianggap sebagai fungsi dari proses peradilan pidana.
Korban diberitahu bahwa jika ia ingin memulihkan kerugian, ia harus menyewa pengacara
dan menuntut di pengadilan sipil. Sistem peradilan pidana tidak untuk kepentingannya tetapi
untuk masyarakat.Tujuannya adalah untuk mencegah kejahatan, merehabilitasi penjahat,
menghukum penjahat, dan melakukan keadilan, tetapi tidak untuk mengembalikan korban ke
keutuhan mereka atau untuk membela mereka. Hukum secara konseptual menegaskan bahwa
satu-satunya cara untuk membuat korban tindak pidana menjadi merasakan suatu keadilan
adalah dengan memberikan hukuman dan pembalasan yang seberat-beratnya pada pelaku
tindak pidana. Namun, hal tersebut tidak selamanya menjadi acuan dan menjadi pedoman
dari aparatur penegak hukum untuk menegakan hukum tersebut. Terkadang korban juga
membutuhkan alternatif cara lain untuk memperoleh pemenuh dari apa yang disebutnya
sebagai keadilan, misalnya dengan retribusi, kompensasi, ataupun restitusi.

Selain itu, seringkali korban juga harus menerima “label” dari masyarakat yang dapat
mempengaruhi kehidupan sosialnya. Berat ringannya penderitaan sosial ini akan sangat
tergantung pada penilaian masyarakat terhadap status individu dan struktur sosial yang
berlaku.

Dikaitkan dengan upaya pemulihan yang dapat dilakukan oleh korban, penderitaan psikis
pada umumnya lebih sulit untuk dipulihkan dibanding dengan pemulihan terhadap jenis
penderitaan atau kerugian yang lain. Trauma psikis akan membekas dalam pikiran dan
perasaan korban sehingga sulit untuk menyembuhkannya. Sifat lebih sulitnya pemulihan
penderitaan psikis itu termasuk juga dalam tenggang waktu yang diperlukan untuk
pemulihan serta biaya yang perlu ditanggung, yang biasanya lebih besar dan waktu
pemulihannya lebih lama.

Secara terperinci Dionysios D. Spinellis menyebutkan beberapa akibat yang dialami oleh
seseorang yang menjadi korban tindak pidana, yaitu:

a. bodily injures or deterioration of health; b. loss of property of damage to it;

c. loss of income;
d. damage to reputation;

e. disturbance of marriage and family; f. phychic or emotional consequences.

Proses Peradilan Pidana

Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), yakni Undang-Undang Nomer 8 Tahun 1981, yang diundangkan dalam Lembar
Negara (LN) No. 76/1981 dan penjelasan dalam Tambahan Lembar Negara Republik
Indonesia (TLNRI) No. 3209. Dengan diundangkannya Undang-undang tentang Hukum
Acara Pidana Nasional tersebut, maka bangsa Indonesia telah selangkah lebih maju dalam
usaha mengadakan pembaharuan hukum, yaitu dari hukum kolonial menjadi hukum
nasional. Undang-undang yang lebih dikenal dengan KUHAP ini menjelaskan suatu
perombakan total dari Hukum Acara Pidana Kolonial yaitu HIR (Herzienne Indische
Reglement). KUHAP memuat perubahan yang sangat mendasar dalam aturan secara pidana
dan secara konseptual obyektifitas, keprofesionalan aparat penegak hukum dalam
melindungi hak asasi manusia.

Ditinjau dari dimensi lain maka sistem peradilan pidana yang berlandaskan KUHAP
memiliki asas-asas sebagai berikut:

1. Perlakuan yang sama didepan hukum bagi setiap orang (equality before the law);

2. Praduga tidak bersalah (presumption of innoncent)

3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;

4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;

5. Hak adanya kehadilan terdakwa didepan persidangan;

6. Peradilan bebas dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan;

7. Peradilan terbuka untuk umum;

8. Pelanggaran hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan,

pengeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang

yang dilakukan dengan surat perintah tertulis;

9. Hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan

dakwaan terhadapnya; dan

10. Kewajiban pengadilan untuk mengamati pelaksanaan putusannya.


Dalam pandangan sistem peradilan pidana, terdapat beberapa institusi penegak hukum yang
ikut mengambil peran dalam melakukan proses peradilan pidana. Proses pidana dilalui dalam
berbagai tahapan yang masing-masing tahapan diwadahi oleh institusi dengan struktur dan
kewenangan sendiri-sendiri. Dengan melalui berbagai institusi, maka proses peradilan pidana
dimulai dari institusi Kepolisian, diteruskan ke institusi Kejaksaan, sampai ke institusi
Pengadilan dan berakhir di institusi Lembaga Pemasyarakatan. Masing-masing institusi ini
bertanggung jawab dan bekerja sesuai dengan tugas dan kewajibannya untuk mencapai
tujuan mewujudkan keadilan sebagaimana yang dicita-citakan oleh semua pihak.

Keseluruhan rangkaian proses peradilan pidana dapat dikelompokan menjadi 4 (empat)


tahap, yakni: 1) Tahap penyelidikan dan penyidikan, yang menjadi tanggung jawab institusi
Kepolisian; 2) Tahap penuntutan, yang menjadi tanggung jawab institusi Kejaksaan; 3)
Tahap Pemeriksaan, Mengadili dan Memutus, yang menjadi tanggung jawab institusi
Pengadilan; dan 4) Tahap eksekusi, yang menjadi tanggung jawab institusi Lembaga
Pemasyarakatan.

Hakekat aparat penegak hukum tersebut memiliki hubungan erat satu sama lain sebagai suatu
proses (criminal justice process) yang dimulai dari proses penangkapan, pengeledahan,
penahanan, penuntutan, pembelaan dan pemeriksaan dimuka sidang pengadilan serta diakhiri
dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan. Apabila dikaji dan dianalisis lebih
intens hakekatnya penyelesaian perkara pidana berdasarkan KUHAP mengenal 4 (empat)
proses pentahapan, yaitu: Pertama,proses penyelesaian perkara pidana dimulai dengan suatu
penyelidikan oleh penyelidik. Kedua, dalam proses penyelesaian perkara pidana berupa
penangkapan (Bab V bagian Kesatu Pasal 16-19 KUHAP). Ketiga, proses penyelesaian
perkara pidana berupa penahanan (Bab V bagian Kedua Pasal 20-31 KUHAP).Keempat,
proses penyelesaian perkara pidana berupa pemeriksaan dimuka sidang pengadilan yang
diawali pemberitahuan untuk datang kesidang pengadilan setelah dipanggil secara patut dan
sah menurut undang- undang (Pasal 145, 146 KUHAP).

Anda mungkin juga menyukai