Anda di halaman 1dari 7

TUGAS TERSTRUKTUR

HUKUM PENITENSIER

NAMA :
NPM : 3014210
KELAS : E

UNIVERSITAS PANCASILA
FAKULTAS HUKUM
JAKARTA
DESEMBER 2016
1. Apakah yang menjadi dasar pemikiran para ahli pidana tentang restrorative
justice daripada penal justice terhadap pelaku tindak pidana?

Restorative Justice (Keadilan Restoratif) adalah suatu pendekatan keadilan yang


memfokuskan kepada kebutuhan daripada para korban, pelaku kejahatan, dan juga
melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak semata-mata memenuhi ketentuan
hukum atau semata-mata penjatuhan pidana. Dalam hal ini korban juga dilibatkan di
dalam proses, sementara pelaku kejahatan juga didorong untuk
mempertanggungjawabkan atas tindakannya, yaitu dengan memperbaiki kesalahan-
kesalahan yang telah mereka perbuat dengan meminta maaf, mengembalikan uang
telah dicuri, atau dengan melakukan pelayanan masyarakat. Pendekatan Restorative
justice memfokuskan kepada kebutuhan baik korban maupun pelaku kejahatan. Di
samping itu, pendekatan Restorative Justice (Keadilan Restoratif) membantu para
pelaku kejahatan untuk menghindari kejahatan lainnya pada masa yang akan datang.

Hal ini didasarkan pada sebuah teori keadilan yang menganggap kejahatan dan


pelanggaran, pada prinsipnya adalah pelanggaran terhadap individu atau masyarakat
dan bukan kepada negara. Restorative Justice (Keadilan Restoratif)
menumbuhkan dialog antara korban dan pelaku akan menunjukkan tingkat
tertinggi kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku.

Konsep Restorative Justice (Keadilan Restoratif) pada dasarnya sederhana. Ukuran


keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik
secara fisik, psikis atau hukuman); namun perbuatan yang menyakitkan itu
disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku
untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan.

Sedangkan Penal Justice sarana penal merupakan bagian dari usaha penegakan hukum
oleh karena itu kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegak
hukum (Law Enforcement). Dengan kata lain penanggulangan korupsi dapat
dilakukan dengan cara menyerahkan kasus tindak pidana korupsi yang terjadi kepada
pihak penegak hukum dalam hal ini, polisi, jaksa, dan hakim untuk diproses sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dimana hukuman atau sanksi pidana yang
dijatuhkan kepada pelaku diharapkan dapat memberikan efek jerah kepada pelaku
sesuai dengan tujuan pemidanaan.
Walaupun penggunaan sarana hukum pidana “penal” dalam suatu kebijakan kriminal
bukan merupakan posisi strategis dalam penanggulangan tindak pidana korupsi,
namun bukan pula suatu langkah kebijakan yang bisa di sederhanakan dengan
mengambil sikap ekstrim untuk menghapuskan sarana hukum pidana “penal”. Karena
permasalahannya tidak terletak pada eksistensinya akan tetapi pada masalah kebijakan
penggunaannya.

2. Apakah ada hubungnya anatra dasar pemikiran menerapkan restrorative


justice dengan pasal 280 ayat ( 2 ) KUHAP secara Yuridis. Jelaskan?
Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh
kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Pengamatan tersebut digunakan sebagai bahan penelitian demi ketepatan yang
bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku para narapidana atau
pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana
selama menjalani pidananya. Pengamatan tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai
menjalani pidana (Pasal 280 KUHAH). Dalam proses acara pidana konvensional
misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban
telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi
kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah
pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana. Proses formal
pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku
maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan
antara korban dan pelaku, konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan
yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya.
Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam
tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas
penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas
penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa
mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku
berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan
kepadanya.
Kewenangan untuk menyampingkan perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai
perwujudan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Dalam
praktiknya pun sebenarnya di tingkat penyidikan kepolisian sering terbentur dengan
tata acara pidana formil apabila hendak mengesampingkan sebuah perkara pidana,
diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak melingkupi kewenangannya untuk menilai
sebuah perkara untuk terus dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas
pada bukti tindak pidana yang cukup. Apabila ada bukti telah terjadi sebuah tindak
pidana, polisi akan terus meneruskan perkara tersebut. Oleh karena itu di dalam RUU
KUHAP yang terbaru perlu didorong pendekatan penanganan tindak pidana yang
lebih humanis, lebih menekankan dan mendahulukan pendekatan restorative
justicedibandingkan pertimbangan legalistik yang formil.
3. Apakah setiap pelaku tetap harus berujung menjadi nara pidana. Jika atau
tidak berikan pertimbangan saudara?
Kegagalan seseorang dalam bidang hukum disebabkan oleh banyak hal, diantaranya
karena tidak terpenuhinya kebutuhan biologis atau social psikologinya. Akibat tidak
terpenuhinya kebutuhan tersebut dapat mengakibatkan sesorang menjadi nekad lalu
melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Untuk mempertanggungjawabkan
kesalahannya mereka dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan. Hidup dengan
peraturan tata tertib yang ketat dan harus dipatuhi. Kebebasan bergeraknya dibatasi,
bergabung dengan orang-orang dengan perasaan terancam yang berpikiran normal
menginginkan hidup demikian.

Selama berada di Lembaga Pemasyarakatan, narapidana sadar, bahwa ia jauh dari


keluarga dan diasingkan dari lingkungan sosialnya serta adanya pembatasan-
pembatasan bagi kebebasannya. Oleh karena itu, Lembaga

Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir dalam pembinaan narapidana harus


memperhatikan secara sungguh-sungguh hak dan kepentingan narapidana (warga
binaan yang bersangkutan). Harus kita akui bahwa peran serta Lembaga
Pemasyarakatan dalam membina warga binaan sangat strategis dan dominan, terutama
dalam memulihkan kondisi sebelum melakukan tindak pidana dan melakukan
pembinaan di bidang kerohanian dan keterampilan seperti pertukangan, menjahit dan
sebagainya.warga binaan pemasyarakatan dibina dan diamankan untuk jangka waktu
tertentu agar nantinya dapat hidup dan kembali ke tengah-tengah masyarakat. Warga
binaan pemasyarakatan terdiri dari narapidana, anak didik pemasyarakatan dan klien
pemsyarakatan.

Bagaimanapun dalam sistem pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana di


Lembaga Pemasyarakatan terkadang tidak menjamin berubahnya tingkah laku
narapidana ke arah yang lebih baik, hal ini memberi salah satu aspek penolakan
masyarakat terhadap bekas narapidana dikarenakan tidak diakui pembinaan di dalam
Lembaga Pemasyarakatan, masyarakat tetap menganggap bekas narapidana bukan
lebih baik, malah sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai