PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
dan dapat dipaksakan, paksaan tersebut perlu untuk menjaga dan mengatur
sanksi atau nestapa sebagaimana diatur dalam hukum pidana (Strafrecht) dan
yang berlaku di suatu negara, bagian lain dari hukum adalah: hukum perdata,
hukum tata negara dan tata pemerintahan, hukum agraria, hukum perburuhan,
dan sebagainya.
manusia, kebebasan maupun harta benda yang dimiliki oleh subyek hukum.
dipandang memiliki watak yang keras dan kejam. Oleh karena itu, hukum
1
dinyatakan sebagai terlarang, akan tetapi sepanjang menyangkut jenis sanksi
dalam salah satu pasalnya tentang “ketentuan pidana”. Ketentuan pidana tidak
paradoksal artinya (hukum) pidana itu tidak disukai atau dibenci oleh karena
itu dusahakan untuk dihindarkan atau tidak dipergunakan akan tetapi disisi
yang bersangkutan.3 Hukum pidana merupakan salah satu sarana yang sangat
aplikasinya ada hal yang tidak disukai oleh bannyak orang khususnya dalam
yang menyoroti pidana pada umumnya dan pidana penjara pada khususnya
2
terfokus pada upaya untuk menderitakan, akan tetapi sudah mengarah pada
penjara tersebut. Lalu dampak negatif yang pidana penjara salah satunya
hanya” tidak enak” dirasakan pada waktu dijalani, tetapi sesudah itu orang
yang dikenai itu masih merasakan akibatnya yang berupa “cap” oleh
pengetahuan disebut “stigma”. Jadi orang tersebut mendapat stigma jahat, dan
hal ini apabila tidak bisa hilang, maka ia seolah-olah dipidana seumur hidup.
seseorang berada dalam kurungan atau sel dengan pengawasan yang variatif
diterima dari tahanan lain serta staf penjaga merupakan konsekuensi yang
harus diterima oleh tahanan. Sistem yang dibangun dalam penjara inilah yang
3
menjadi pertanyaan apakah tahanan dapat mengerti akan kesalahan yang
hukumannya, dimana selain itu terdapat juga biaya yang sangat besar dan
narapidana karena sebagai “jebolan” tahanan atau lapas masih sulit dihapus
alternatif lain pidana penjara yang sesuai dengan tujuan pemidanaan yang
4
https://www.payungmerah.com/efektivitas-penjara-part-1/ Di akses pada tanggal 25
Februari 2020
5
https://www.kompas.com/tren/read/2020/02/15/071700565/over-kapasitas-lapas-masalah-
yang-tak-kunjung-selesai-?page=all. Di akses pada tanggal 20 Februari 2020
6
https://ruangobrol.id/2020/03/04/fenomena/melawan-stigma-berbaur-saja-tak-cukup/
di akses pada tanggal 20 Maret 2020
4
masyarakat muculnya ide pidana alternatif pengganti pidana perampasan
ada sarana alternatif pidana penjara yang bersifat non-custodial yaitu dengan
adanya pidana bersyarat yang diatur dalam Pasal 14 a-f. Dalam ketentuan
yang akan dijatuhi pidana penjara kurang dari 1 (satu) tahun, kurungan bukan
pengganti denda dan denda yang tidak dapat dibayar oleh terpidana dapat
disampaikan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Oleh karena itu, pidana
selain pidana penjara yakni terdapat di Pasal 79, 80, 81 (Pidana pengawasan),
Pasal 73 (Pidana Penjara yang bisa diangsur atau pidana penjara terbatas/
pidana gabungan) dan Pasal 88 (Pidana kerja sosial). Dengan adanya ide
5
pidana alternatif yakni pidana pengawasan dan pidana kerja sosial ini yang
pidana kerja sosial ini terbukti ampuh dalam menekan angka kriminalitas di
serta kriminalitas. Pidana alternatif ini juga telah dianggap memenuhi tujuan
satunya dari kesalahan dan motif si pelaku, sehingga tujuan pemidanaan tidak
kejahatan.
2. Dampak negatif pidana penjara bagi pelaku tindak pidana yang seolah
yang ideal.
6
5. Pidana penjara saat ini memiliki banyak negatifnya dan tidak lagi
Indonesia.
lain. 7
bidang dalam politik kriminil yang masih belum banyak mendapat perhatian
di negara kita. Politik kriminil secara singkat dapat diartikan sebagai usaha
7
Randa Ananda Lakenda, 2017, Urgensi Pidana Alternatif Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Indonesia (Studi Terhadap Pidana Alternatif Pengganti Pidana Penjara Dalam
Rangka Mewujudkan Tujuan Pemidanaan, Skripsi, FH UNNES Semarang hlm. 10-11
8
Sudarto, Ibid, hlm.73
7
kebijakan kriminil (criminal policy) dan ini tidak terlepas dari kebijakanyang
lebih luas yaitu kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan
eksekusi. 9
ini hukum pidana masih menjadi sarana yang amat penting. Dalam kerangka
berikut:10
Social GOAL
Social-welfare policy Social Welfare &
Policy
Defance
PENAL Aplikasi
sebagai berikut :
8
tujuan “goal”, “social welfare” (SW) dan “social defence” (SD).
Aspek “social welfare” (SW) dan “social defence” (SD) yang sangat
penal”.
Dilihat dari sudut politi kriminal, kebijakan paling strategis melalui sarana
“non penal” karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan “penal”
biaya tinggi.
hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif); bahkan
9
kebijakan legislatf merupakan tahap paling strategis dari upaya
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari
kesejahteraan masyarakat.
hukum. 11
11
Baharudin Lopa, 1987, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia,
Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 3 - 4.
10
Komponen kultural adalah nilai-nilai dan sikap yang mengikat sistem itu. 12
terletak di luar bidang hukum pidana itu sendiri, 13 yaitu pada masalah
apa yang disebut sebagai penegakan hukum pidana dalam arti luas, yaitu
penegakan hukum pidana dilihat sebagai suatu proses kebijakan, yang pada
b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak
12
Rahardjo, 1986, Hukum Dan Masyarakat, Bandung : Angkasa, hlm. 106.
13
Bandingkan dengan G. Peter Hoefnagels, 1969, The Other Side of Criminology, Holland
: Kruwer-Deventer, hlm. 47, yakni : the big problems of crime and punishment are
there for outside criminal law. they are extra judicial, are found in the reality of man
and society .. the big problems of crime and punishment exist in actual fact before
criminal law takes action.
14
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang : UNDIP, hlm. 13. Lihat
juga Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana,Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm. 115.
11
hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan, disebut juga sebagai
Dalam arti yang sempit, maka tahap kebijakan kedua dan ketiga
berbagai jenis sanksi pidana yang dikenal dalam hukum pidana, pidana
penjara merupakan jenis sanksi pidana yang paling banyak digunakan dalam
perumusan hukum pidana di Indonesia selama ini. Bahkan jenis pidana ini
boleh dikatakan telah mendunia, karena jenis pidana penjara hampir dapat
banyak kalangan yang mempersoalkan kembali jenis pidana ini. Hal tersebut
menjadi jenis pidana yang dominan dalam penerapannya, yang pada tahap
15
Barda Nawawi Arief, Op. cit, hlm. 4, 46. Sehubungan dengan hal tersebut Muladi
berpendapat, masalah pidana adalah suatu masalah yang dewasa ini secara universal
terus dicari pemecahannya. Masalah tersebut adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap
pidana perampasan kemerdekaan, yang dalam berbagai penelitian terbukti sangat
merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana, maupun terhadap masyarakat.
Muladi, “Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang”, Naskah Pidato
Pengukuhan Guru Besar FH UNDIP, Semarang, 24 Pebruari 1990.
12
Pidana penjara merupakan pidana yang merampas kemerdekaan
cukup tinggi dari putusan hakim pengadilan yang menjatuhkan pidana penjara
martabat manusia yang menjadi nara pidana serta kedudukanya sebagai warga
mempunyai peranan yang penting dan tidak dapat diabaikan begitu saja
pidana penjara yang baru. Peraturan perundangan tentang stelsel pidana dan
pidana nasional. 16
16
Sudarto, Suatu dilema Dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, Hukum dan
Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal.68.
13
Reglement 1917) sebagai aplikasi Pasal 10 KUHP yang dirumuskan tentang
hakekat, fungsi, dan tujuan pemidanaan yang terdapat dalam KUHP, yaitu
tersebut sampai sekarang masih berlaku, meskipun pada saat ini tidak
falsafah pembalasan itu masih melekat pada sebagian besar petugas lembaga
sistem kepenjaraan.
posisi individu itu sendiri. Hal demikian sesuai dengan pemidanaan yang
pokok pidana itu agar individu bertobat dan tidak melanggar hukum lagi.
Selain itu merupakan contoh bagi orang lain, agar tidak melakukan perbuatan
melanggar hukum.
14
diatur dalam “Gestichten Reglemen” atau Reglemen Penjara, Stb tahun 1971,
UU No. 12/1995), maka reglemen penjara sudah tidak berlaku lagi. Dalam
Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan
berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga
negara yang baik dan bertanggung jawab (UU No. 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan.
15
Tujuan dari sistem ini adalah berupa: 1) resosialisasi (jangka
pidana akan dikembalikan lagi pada masyarakat (out put).17 Dengan demikian
Norma hukum sebagai salah satu sistem norma yang bekerja secara
sekarang masih berlaku sebgai KUHP operan dari WvS Belanda dg dasar
UU Nomor 58 Tahun 1973 setelah kita merdeka belum juga kunjung selesai.
17
Muladi, Op cit, hlm. 1.
16
Pembaharuan stelsel pidana dan pelaksanaaan pidana, khususnya
berkenbang didunia pada dewasa ini bukan lagi masalah baru. Akan tetapi
apabila ditinjau dari segi pengaruh modernisasi hukum pidana dan penologi
tertarik untuk melakukan penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah dengan
B. Perumusan Masalah
keadilan ?
17
C. Tujuan Penelitian
berkeadilan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
baru atau gagasan baru dibidang hukum pidana terutama dalam pengaturan
selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
penjara maupun para praktisi hukum dan juga berbagai kalangan yang
penjara.
18
E. Kerangka Konseptual
1. Rekonstruksi
Rekonstruksi dalam Black Law Dictionary berasal dari kata
thing before existing has lost its entity.18 Rekonstruksi dirumuskan secara
sebenarnya. Hal ini dilakukan baik oleh penyidik ataupun oleh hakim
hukum pidana.21
18
Henry Campbell Black, 1990, Black`s Law Dictionary, Sixth Edition, hlm. 1272
19
Andi Hamzah, 1989, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.88
20
J.C.T Simorangkir, 2007, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.144
21
Sri Endah Wahyuningsih, 2012, Mata Kuliah Penunjang Disertasi, Perbandingan
Hukum Pidana dari perspektif Religious Law System, UNISSULA Press, hlm. 47
19
2. Pidana Penjara
dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah ini
dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak
hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah
pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri dan sifat-
22
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Pidana dan Pemidanaan, BP UNDIP, Semarang,
hlm. 2.
23
Aruan Sakidjo dan Bambang Poemomo. 1990, Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum
Hukum Pidana Kondifikasi, Ghlmia Indonesia, Jakarta, hlm 83.
20
diantara pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara pada dewasa ini
hidup atau untuk sementara waktu. Tujuan dari pidana penjara ini
dan pemidanaan secara universal sudah dimulai sejak akhir abad 18 yang
pidana. 25
Pidana Pokok
a. Pidana Mati;
b. Pidana Penjara;
c. Pidana Kurungan;
d. Pidana Denda;
e. Pidana Tutupan.
24
Andi Hamzah. 1994, Azas-Azas Hukum Pidana, Rineka Cipta. Jakarta. hlm 179.
25
Bambang Poernomo, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem
Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, hlm 13,20,21.
21
Pidana Tambahan :
sendiri berasal dari Code Penal Prancis, karena sejak tahun 1810
hukum pidana yang berlaku. Bagi orang Belanda dan orang Eropa
Januari 1867. Sedangkan bagi orang Indonesia dan orang Timur Asing
berlaku WvS Vor Inlander 1872 mulai berlaku tanggal 1 Januari 1873.
yaitu tahun 1918. Dimana WvS Belanda berlaku untuk seluruh golongan
1 januari 1918.26
26
Amiruddin, 2012, Keabsahan Perubahan Dan Penambahan Peraturan Hukum Pidana
Melalui Perppu Dan Perma, ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 3, Desember 2012,
Halaman 155-156
22
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang
resmi KUHP hingga saat ini masih dalam bahasa Belanda. 27 Dengan
23
mentaati hukum? (persoalan berlakunya hukum) dan apakah keadilan yang
cuique suum”,atau “to give everybody his own”, yang dapat diartikan
sebagai satu unit. Inilah yang dipahami tentang kesamaan yaitu semua
29
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum
Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 4-5
30
Morris Ginsberg, 2001, Keadilan dalam Masyarakat,Yogyakarta: Pondok Edukasi, hlm 6
31
Joachim Friedrich, Op.cit., hlm 24
24
menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.
wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang
sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua,
32
Ibid., hlm. 25
25
dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si
pemerintah.33
keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia
teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of
33
Ibid.,
34
Ibid., hlm. 26-27
26
fair equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa
yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah
khusus.
bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal
27
kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin
peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua
kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas
bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung
35
Damanhuri Fattah, 2013, Teori Keadilan Menurut Joh Rawls, Jurnal TAPIs Vol.9 No.2
Juli-Desember 2013, hlm. 34-35
28
untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap
perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak
apa yang menjadi haknya. Jika kedua ini dapat dipenuhi barulah itu
keadilan. 37
atau pihak lain sesuai dengan haknya. Yang menjadi hak setiap orang
36
John Rawls, 1980, “Kantian Constructivism in Moral Theory”, The Journal of
Philosophy, LXXVII (September 1980), hlm. 560.
37
Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius,
hlm. 196
29
adalah diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya,
tidak memihak, atau menyamakan yang satu dengan yang lain (al-
musâwah). Istilah lain dari al-‘adl adalah al-qist, al-misl (sama bagian
dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran,
sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu
40
kebenaran. Menurut Ahmad Azhar Basyir, keadilan adalah
38
Jan Hendrik Raper, 1991, Filsafat Politik Plato. Jakarta: Rajawali, hlm. 81
39
Ahmad Warson Al-Munawwir, 1997, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Pustaka Progressif, Yogyakarta, hlm. 906
40
Abdul Aziz Dahlan, 1997, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
hlm. 25
41
Ahmad Azhar Basyir, 2000, Negara dan Pemerintahan dalam Islam, UII Pres,
Yogyakarta, hlm. 30.
30
kedua, persamaan dan penafian (peniadaan) terhadap perbedaan apa
wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan
pengertian tajam persepsi moral dan spiritual serta motivasi, yang akan
menegakkan keadilan:
42
Murtadha Muthahhari, 1981, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, Terj. Agus
Efendi, Mizan anggota IKAPI, Bandung, hlm. 53 – 56
43
QS. Asy Syams ayat 7
31
memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang
mereka perselisihkan.” 44
akhirnya berasal dari sumber yang sama, yaitu, dari Allah. Karena itu,
mendarah daging dalam jiwa manusia. Dalam satu ayat yang sangat
perbuatan-perbuatan baik”:
44
QS. Al Baqarah ayat 213
32
pemberian-Nya kepadamu. Oleh karena itu, berlomba-lombalah
(yaitu, bersaing satu samalain) dalam berbuat baik. Karena
Allah-lah kamu semua akan kembali, lalu Ia akan
memberitahukan kepadamu (kebenaran) mengenai apa yang
kamu perselisihkan itu.”45.
Terhadap suatu asumsi yang jelas dalam ayat ini bahwa semua
pahala pada sisi Tuhannya, dan tidak ada kekhawatiran bagi mereka,
secara sama dan memikul tanggung jawab yang sama untuk menjawab
45
QS Al Maaidah ayat 48
46
QS Al Baqarah ayat 112
33
persetujuan yang tak di ucapkan atau oleh tindakan resmi. Karena Al-
kekuatan sosial.
nilai etik dan moral terhadap cita hukum Indonesia ke masa depan. Cita
hukum berarti berada pada ruang filsafati, yaitu harapan dan pemikiran
mewujudkan cita hukum yang terbaik, terbenar dan teradil tidak dapat
47
Mumtaz Ahmad (ed), Op.cit., hlm. 157-162
48
Sri Endah Wahyuningsih. 2011. Rekonstruksi Asas-Asas Hukum Pidana Nasional
Berlandaskan Nilai-Nilai Kearifan religius Dari Perspektif Hukum Islam. Desertasi.
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Semarang. hlm. 65
34
Nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai kebangsaan, serta
juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak
yang bersumber dari hukum alam, hukum Tuhan, dan sifat-sifat sosial
manusia.
(social welfare)”.
ditempuh dengan :
49
Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hlm. 2
35
crime and punishment/mass media)50.
keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial, dan ada keterpaduan
dan sosiologis. Oleh karena itu sejak zaman dahulu orang telah berusaha
untuk mencari jawaban atas persoalan “mengapa dan untuk apa pidana
50
Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm. 48
51
Paulus Hadisuprapto,1997, Juvenile Delinquency (Pemahaman dan Penanggulangannya),
Citra Aditya Bakti, Bandung. hlm. 75
52
E. Utrecht, 1958, Hukum Pidana I, Jakarta :Universitas Jakarta, hlm. 157.
36
a) Teori Absolut atau Teori Pembalasan
yang dilakukan seseorang. Jadi pidana menurut teori ini hanya semata-
mata untuk pidana itu sendiri. Itu sebabnya teori ini disebut juga teori
pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran utama dari teori ini
pada prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana”, hal itu akan
53
Andi Hamzah, 1983, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya
Paramita, hlm. 26.
37
terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar. 54
pasti tujuan ini akan tercapai, karena dalam diri si terdakwa belum
lapangan kerja atau tidak. Apabila pelaku tindak pidana itu tidak
54
Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rinneka Cipta, hlm. 31.
55
J.E. Sahetapy, 1979, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Bandung:
Alumni, hlm. 149.
38
oleh Karl O. Cristiansen, yaitu: 56
Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir
sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana
pemidanaan yaitu : 57
de maatschappelijke orde);
56
Muladi dan Arief, Op. cit, hal. 17.
57
Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan
Hukum Pidana, Cetakan I, Bandung : Citra Aditya Bhakti, hlm. 12.
39
2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat
sebagai akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer
misdadiger);
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief tentang teori relatif ini
adalah:
karena itu teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian
theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah
Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar
umum. Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, teori relatif ini dibagi
58
Muladi dan Arief, Op. cit., hlm. 16.
40
dua yaitu:
59
E. Utrecht, Op.cit, hlm. 157.
41
memenuhi syarat untuk adanya pidana;
pencegahan kejahatan.
c) Teori Gabungan
60
Muladi dan Arief, Op. cit, hlm. 17.
61
Khusus mengenai tujuan preventif dan deterrence, salah seorang tokoh aliran klassik
Jeremy Bentham, yang dikenal dengan ajaran utilitarianismenya, pernah mengajukan
empat tujuan utama dari pidana. 1) mencegah semua pelanggaran, 2) mencegah
pelanggaran yang paling jahat, 3) menekan kejahatan, 4) menekan kerugian/biaya
sekecil-kecilnya, Ibid, hlm. 31.
62
Koeswadji, Op.cit, hlm. 11-12..
42
negara yang melaksanakan.
mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat
di masyarakat.
tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup
63
Prakoso dan Nurwachid, 1984, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas
Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 24.
43
antara kedua hal di atas.
64
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Op. cit, hlm. 22. Selanjutnya Van Bemmelen
menyatakan pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat.
Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan
keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan
masyarakat, (diterjemahkan dari kutipan Oemarseno Adji), Hukum Pidana, 1980, Jakarta:
Erlangga, hlm. 14.
44
(d) pengimbalan/ pengimbangan. 65
52, yaitu:66
65
Muladi, Op.cit, hlm. 61.
66
https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/17797/rancangan-undang-undang-2019,
di akses 10 Mei 2020
67
J. E. Sahetapy, 1989, Tanggapan Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Pro
Justitia, Majalah Hukum, Tahun VII, Nomor 3, Juli 1989, hlm. 22.
45
3. Applied Theory: Teori Legislasi dan Teori Hukum Progresif
decentralised power.68
juga menekankan isi pada hukum positif. Menurut Fuller hukum tidak
Peraturan tidak boleh sering dirubah rubah; 8) Harus ada konsistensi antara
68
Haryatmoko, 2003. Etika, Politik dan Kekuasaan, Kompas, Jakarta. hlm. 19
69
Lon L. Fuller, 1969, The Morality of law, Yale University Press, hlm.65
70
B. Arief Sidharta, 2008, Ethika Hukum, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, hlm. 8
46
menunjuk pada aturan-aturan tekhnikal dari perwujudan hukum dalam
moral terhadap hukum yang harus dipenuhi agar hukum berfungsi dengan
dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Hal ini
71
Satjipto Rahardjo, 2010, Sosiologi Hukum: Esai-Esai Terpilih, (Yogyakarta: Genta
Publishing, hlm 96-97
72
Satjipto Rahardjo, 2007, “Konsep dan Karakter Hukum Progresif ”, Makalah Seminar
Nasional I Hukum Progresif, Kerjasama Fakultas Hukum Undip, Program Doktor Ilmu
Hukum Undip dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Semarang, Desember 2007.
47
tentang hukum sebagai alat rekayasa sosial (social engineering). Usaha
status quo berarti menerima normatifitas dan sistem yang ada tanpa ada
48
perundangundangan yang dibuat dan ditetapkan telah sesuai dengan teori
legislasi. Legislasi dalam arti luas meliputi legislasi dalam arti sempit
badan legislatif baik secara sendiri-sendiri atau together with head of the
state.75
rakyat; maka dari itu badan ini sering dinamakan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR); nama lain yang sering dipakai ialah parlemen. DPR
75
Reski Ananda Saputra, 2018, Studi Legislasi Desa: Penyerapan Aspirasi Masyarakat
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Di Desa Air Terjur Kecamatan Bandar
Petalangan Kabupaten Pelalawan, JOM FISIP, Universitas Riau, Vol. 5 No. 1 - April
2018, hlm. 6
49
kebijaksanaan itu. Dapat dikatakan bahwa ia merupakan badan yang
Gambar 1.1
Kerangka Pemikiran Disertasi
Rumusan Masalah
1. Benarkah regulasi sanksi pidana penjara di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana belum berkeadilan ?
2. Bagaimana kelemahan regulasi sanksi pidana penjara saat ini ?
3. Bagaimana rekonstruksi regulasi sanksi pidana penjara yang berbasis
nilai keadilan?
50
H. Metode Penelitian
1. Paradigma
positivis. Realitas objektif diyakini ada, tetapi hanya dapat didekati dan
mengambil posisi objektif, akan ada interaksi peneliti dan partisipan yang
76
Deddy Mulyana. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya.
Bandung. Hlm. 9
77
Poerwandari, E.K. 2007. Pendekatan Kualitatif dalam penelitian Psikologi. Jakarta:
LPSP3 Universitas Indonesia. hlm.3
51
Salim menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut: Paradigma ini
terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi aliran ini bersifat critical
sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang mustahil bila suatu
78
realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Dari
2. Metode Pendekatan.
yang kompleks dan hanya dapat ditemui dalam konteks tertentu. karena
78
Agus Salim, 2001, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Pemikiran Norman K. Denzin dan
Egon Guba. dan penerapannya), PT. Tiara Wacana, Yogyakarta
79
Janice M. Morse dan Lynn Richards, 2002, Readme First for a User's Guide to Qualitative
Methods. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage, hlm. 43
80
Lihat Kristina Simion, 2016, Qualitative and Quantitative Approaches to Rule of Law Research,
INPROL, Australian National University, hlm.16-17
52
mengapa dan bagaimana adalah pertanyaan seputar makna dibalik kata-
3. Jenis Penelitian
antara keduanya dan masih tetap dalam area ilmu hukum. Kajian hukum
mengapa suatu aturan hukum tertentu tidak dapat berlaku efektif di dalam
kajian-kajian ilmu sosial tentang hukum, baik itu yang sifatnya politis,
budaya, maupun ekonomi. Tidak hanya dari sisi dampak yang terjadi
penting untuk melihat dinamika yang terjadi yang menjadi latar belakang
81
Lilis Mulyani, 2010, Pendekatan Sosial Dalam Penelitian Hukum, Jurnal Masyarakat dan
Budaya, Edisi Khusus, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI Jakarta.
hlm.36
53
4. Metode Pengumpulan Data :
para pakar hukum pidana dan arsitek RUU KUHP. Data Sekunder melalui
dalam analisis data penelitian hukum normatif dengan cara data yang
82
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta Soejono Soekantor dan Sri Mamudji. Hlm. 251-252
54
sistematis; (b) gramatikal; dan (c) teleologis. 83 Pemilihan interpretasi
ketentuan yang sama apalagi satu asas dalam peraturan lainnya juga harus
dijadikan acuan.
I. Orisinalitas Disertasi
temukan.
83
Interpretasi dibedakan menjadi interpretasi berdasarkan kata-kata undang-undang
(leterlijk), interpretasi gramatikal, interpretasi berdasarkan kehendak pembentuk undang-undang,
interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi sosiologis, interpretasi sosio-historis,
interpretasi filosofis, interpretasi teleologis, interpretasi holistik dan interpretasi holistik
tematissistematis. Lihat Jimly Asshiddiqie. 1997. Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara.
Jakarta: Ind. Hill.Co. Hal. 17-18
55
(2014) dikaitkan dengan munculnya
populisme pidana, sebagian besar
penelitian mengabaikan pandangan
orang-orang terbaik menawarkan
pendapat tentang peran yang
dimainkan penjara: mereka yang
berurusan dengan pelaku dan
kehidupan penjara setiap hari.
Petugas penjara bertanggung jawab
atas implementasi
kebijakan pidana dan memiliki
wewenang untuk merusak atau
meningkatkan tujuan pendirian
tempat mereka bekerja, namun dalam
menjawab pertanyaan filosofis
penjara yang mendasarinya;
pandangan mereka jarang dicari.
emuan mengungkapkan petugas
penjara memandang rehabilitasi
sebagai tujuan terpenting penjara,
dengan retribusi yang paling tidak
penting. Mayoritas petugas percaya
itu pelanggar harus dikirim ke
penjara 'sebagai' hukuman atas
kejahatan mereka; meskipun banyak
yang merasakannya penjara harus
merupakan tempat di mana
pelanggar hukum dikirim baik
'sebagai' hukuman dan 'untuk'
hukuman lebih lanjut. Petugas
penjara sebagian besar ragu-ragu atas
56
efektivitas penjara; Namun merasa
bahwa peran mereka sangat penting
dalam mengurangi pengulangan.
Selanjutnya, responden merasa
pandangan mereka sering dinilai
rendah dan percaya petugas penjara
seharusnya memiliki kewenangan
lebih dalam penentuan kebijakan
pidana, sedangkan politik dan publik
pengaruh harus dibatasi.
2 Abdul Kholiq Pidana Penjara kebijakan formulasi pidana penjara
FH UNDIP Terbatas : terbatas dalam hukum positif di
(2015) Sebuah Gagasan Indonesia tidak merumuskan secara
Dan Reorientasi limitatif, akan tetapi dalam upaya
Terhadap memberikan alternatif dari pidana
Kebijakan penjara telah dirumuskan pidana
Formulasi Jenis bersyarat atau pidana percobaan
Sanksi Hukum yang di atur dalam Pasal 14a-14f
Pidana Di KUHP (WvS), selain itu jenis pidana
Indonesia pengawasan juga dirumuskan di luar
KUHP. Kebijakan formulasi pidana
penjara terbatas di masa yang akan
datang, pada dasarnya jenis pidana
penjara terbatas merupakan sanksi
alternatif dari perampasan
kemerdekaan yang dalam
pelaksanaannya pelaku hanya
menjalani sebagian pidana di dalam
lembaga dan sisanya dijalani di luar
lembaga dengan tetap adanya
57
pengawasan terhadap terpidana.
3 Muhammad Landasan pidana penjara di Indonesia
Fuadi Azizi Teoretis Pidana terpengaruh oleh ajaran-ajaran pada
Penjara Dan aliran klasik dan ajaran-ajaran pada
FH UII Tinjauannya aliran modern. Pengaruh ajaran pada
Yogyakarta Dalam Hukum aliran klasik tampak pada awal
(2016) Adat pembentukan pidana penjara yang
berorientasi pembalasan, sedangkan
pengaruh ajaran aliran modern
tampak pada perkembangan gagasan-
gagasan pada pembaharuan pidana
penjara dan memuncak setelah
gagasan pemasyarakatan yang
dicetuskan Dr. Sahardjo
diundangkan. Pidana penjara dapat
diterima oleh hukum adat jika
terdapat kesesuaian dengan prinsip-
prinsip pokoknya. Hasil penelitian
ini menyimpulkan, ketika pidana
penjara dibenturkan dengan prinsip-
prinsip hukum adat ternyata terdapat
keserasian yang cukup memadai.
Pidana penjara mampu mengcover
ajaran tentang keseimbangan
masyarakat, keseimbangan individu
dan prinsip komunal kekeluargaan.
Namun, kekurangan pidana penjara
dengan gagasan pemasyarakatan
adalah ia kurang mengeksplor
keseimbangan-keseimbangan alam
yang terdapat dalam hukum adat.
58
masalah-masalah tersebut sejumlah
negara di dunia mulai
mengembangkan pidana alternatif
sebagai model penghukuman baru,
salah satunya untuk first offender.
First offender dianggap sebagai
kategori pelaku yang cocok untuk
diberikan pidana alternatif karena
efek prisonisasi yang akan
didapatkan jika mereka ditempatkan
di dalam lapas akan lebih merugikan.
Interaksi dan sosialisasi dengan
pelaku kejahatan lain yang lebih ahli
dianggap dapat membuat mereka
melakukan kejahatan yang lebih
serius ketika keluar lapas. Selain itu,
first offender juga dianggap lebih
mudah dibina di masyarakat
dibandingkan di dalam lapas.
Pemberian pidana alternatif bagi first
offender sangat dimungkinkan.
Sebagaimana di negara lain, pidana
alternatif sudah banyak diterapkan
bagi pelaku yang baru pertama kali
melakukan pelanggaran.
59
pengalaman pria dan wanita
yang menghabiskan waktu sebagai
pra-persidangan dan / atau
memenjarakan tahanan di Penahanan
Ottawa-Carleton
Centre (OCDC). Dinamika
kelembagaan penjara memberi jalan
untuk budaya yang ditandai oleh
ketegangan, ketidakpercayaan dan
kekerasan, sementara juga
mengganggu kemampuan
individu untuk menanamkan
pengalaman carceral dengan makna
kontra-hukuman.
6 Darko Alternative Penulis pertama kali membahas
Radulović Criminal berbagai masalah mengenai
Faculty of Sanctions In The
hukuman penjara (perampasan
Law, Criminal
University of Legislation Of kebebasan), khususnya hukuman
Montenegro, Montenegro penjara jangka pendek, dan
Montenegro
mengutip teori hukum pidana tentang
(2017)
masalah ini. Kemudian, penulis
menjelaskan pentingnya alternatif
hukuman penjara dan tempat mereka
dalam KUHP Montenegro. Dalam
konteks sanksi pidana alternatif,
penulis fokus pada denda, perintah
layanan masyarakat dan langkah-
langkah peringatan (hukuman
percobaan dan peradilan)
peringatan). Ditekankan bahwa
sanksi pidana alternatif memiliki
60
tempat yang signifikan dalam sistem
sanksi pidana dan dapat menjadi alat
yang relevan untuk mengganti
jangka pendek hukuman penjara.
Penulis menyimpulkan bahwa
meskipun memiliki banyak alternatif
sanksi pidana, penjara tidak pernah
bisa sepenuhnya dihapuskan.
Namun, bagi sebagian penjahat
pelanggaran dan beberapa pelaku,
hukuman penjara tidak memadai dan,
khususnya keadaannya, sebaiknya
diganti dengan sanksi pidana lainnya.
7 H. Rusito, Rekonstruksi 1. Regulasi sanksi pidana penjara
S.H., M.M., Regulasi Sanksi dalam KUHP (Pasal 10-43 KUHP)
Universitas Pidana Penjara
merupakan warisan produk kolonial,
Islam Sultan di Dalam Kitab
Agung, Undang-Undang yaitu berasal dari W.v.S.v.N.I.
Semarang, Hukum Pidana berlaku mulai 1 Januari 1918 dan ini
(2020) (KUHP) Yang
berasal dari W.v.S Nederlandsch
Berbasis Nilai
Keadilan berlaku sejak 1 Januari 1886; Dasar
Falsafah Individualis menjadi
landasanya, jelas tidak cocok dengan
keberlakuan di kita, karena
seharusnya Dasar Falsafahnya adalah
Pancasila.
2. Regulasi pidana penjara saat ini
memiliki banyak kelemahan sbb : a.
Regulasi pidana penjara dalam
KUHP sangat kurang menyediakan
pilihan alternatif dalam pelaksanaan
pidana penjara sebagai pidana pokok,
61
Pidana penjara menjadi primadona
yang seolah menjadi satu-satunya
yang harus diterapkan dalam upaya
penanggulangan Tindak Pidana,
padahal hukum pidana Indonesia
menganut Double track system, b.
Sistem alternatif pidana penjara atau
denda sudah tidak berfungsi karena
dendanya sudah tidak layak, c.
Prinsip penjeraan/pembalasan dalam
terapan pidana penjara belum bisa
hilang, d. dampaknya over kapasitas
dalam Lembaga Pemasyarakatan, e.
Stigmatisasi dan prisonisasi sebagai
salah satu labeling yang
merendahkan harkat dan martabat
manusia sebagai manusia merdeka.
3. Rekonstruksi regulasi pidana
penjara di dalam KUHP yang
berbasis keadilan : a. Jenis Pidana
Penjara dalam Pasal 10 KUHP
dipandang perlu diganti namanya
dengan Pidana Pemasyarakatan,
sehingga akan merubah suasana
kebatinan dalam pelaksanaannya, b.
Jenis pidana penjara dan
pelaksanaannya menjadi : 1. Pidana
Pemasyarakatan, 2. Pidana Tutupan,
3. Pidana Pengawasan, 4. Pidana
Denda, 5. Pidana Kerja Sosial, 6.
Pidana Cicilan, 7. Pidana Permaafan,
62
c. Jenis pidana nomor 2 sampai
dengan nomor 7 tersebut di atas
sebenarnya merupakan
pengembangan cara pelaksanaan
Pidana Penjara (pidana pokok).
Bab III Berisi tentang regulasi sanksi pidana penjara dalam perundang-
63
Bab IV Berisi tentang kelemahan-kelemahan regulasi sanksi pidana penjara di
Bab V Berisi tentang rekonstruksi regulasi pidana penjara dalam KUHP yang
dan regulasi sanksi pidana penjara dalam RUU KUHP 2019 serta
nilai keadilan.
kajian disertasi.
64