Anda di halaman 1dari 15

RESUME: SISTEM PELAKSANAAN PIDANA PENJARA DI

INDONESIA
Dosen Pengampu: Riska Andi Fitriono, S.H., M.H.

Kelompok 2:
1. Baihaki Hakim (E0022086)
2. Akmal Rasend (E0022480)
3. Shevandya Rakhananta (E0022433)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2024
1. Pengertian dan Awal Mula Pidana Penjara di Indonesia
Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana yang terdapat dalam sistem
hukum pidana di Indonesia. Pidana penjara adalah pidana pokok yang dapat dijatuhkan
hakim selain pidana mati, pidana denda, dan pidana tutupan (Pasal 10 KUHP).
hukumannya dikenakan kewajiban kerja (Pasal 14 KUHP). Pidana penjara dikenakan
kepada orang yang melakukan tindak pidana kejahatan (lihat Pasal 18 ayat (2) KUHP).
Dalam filsafat pemidanaan bersemayam ide-ide dasar pemidanaan yang
menjernihkan pemahaman tentang hakikat pemidanaan sebagai tanggung jawab subjek
hukum terhadap perbuatan pidana dan otoritas publik kepada negara berdasarkan atas
hukum. Sedangkan teori pemidanaan berada dalam proses keilmuan yang
mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi tujuan pemidanaan bagi negara,
masyarakat dan subjek hukum terpidana. Pidana penjara sebagai salah satu bentuk
pidana, adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang
terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga
permasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua peraturan tata
tertib yang berlaku dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan sesuatu
tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut. Efektivitas
Pidana Penjara Dilihat dari Aspek Perlindungan Masyarakat. Apabila dilihat dari aspek
perlindungan/kepentingan masyarakat maka pidana penjara dikatakan efektif apabila
pidana penjara sejauh mungkin dapat mencegah atau mengurangi terjadinya kejahatan.
Awal mula hukuman Penjara di indonesia
Pidana penjara pertama kali dikenal di Indonesia setelah Belanda memberlakukan
wetboek van strafrecht voor nederlandsch-indie. Ia diberlakukan mengacu pada prinsip
konkordansi dimana hukum-hukum yang berlaku di Belanda diberlakukan juga di
semua tanah jajahannya Sejarah mengenai penjara sudah dimulai sejak zaman
penjajahan Belanda yang dapat ditemui pada Reglemen Penjara Tahun 1917. Ketentuan
Reglemen tersebut terdapat pada Pasal 28 ayat (1) dinyatakan bahwa “ penjara adalah
tempat pembalasan yang setimpal atau sama atas suatu perbuatan atau tindakmpidana
yang telah dilakukan si pelaku tindak pidana juga sebagai tempat pembinaan terhadap
narapidana atau pelaku tindak pidana”. Proses pemidanaan dewasa ini berkembang
lebih manusiawi dan lebih rasional dimana mulai meninggalkan pola lama dari
pembalasan dan pengasingan menuju pada usaha perbaikan narapidana agar menjadi
orang yang lebih baik,hal ini dapat dikatakan sebagai proses permasyarakatan. Sistem
pemidanaan dengan sistem kepenjaraan dirubah menjadi sistem pemasyarakatan agar
dalam sistem pemasyarakatan yang mana pada dasarnya bertujuan agar narapidana
yang sedang menjalani proses pembinaan dapat menjadikan warga masyarakat yang
baik dan bertanggung jawab, menyadari kesalahan dan tidak lagi melakukan atau
mengulangi perbuatan melanggar hukum tanpa menghilangkan tujuan dari adanya
pemidanaan itu sendiri.
2. Pengaturan Pidana Penjara
1) Pengaturan Pidana Penjara dalam KUHP
Dalam Pasal 10 KUHP mengelompokkan Pidana yang diberlakukan di
Indonesia menjadi 2 jenis pidana:
a) Pidana Pokok, yang secara berurutan terdiri dari: pidana mati, pidana penjara,
kurungan, denda, dan pidana tutupa
b) Pidana Tambahan, yang secara berurutan terdiri dari: Pencabutan hak-hak
tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim
Berdasarkan pasal tersebut, nampak secara jelas bahwa pidana penjara
dipakai dan termasuk ke dalam jenis pidana pokok dalam KUHP. Pidana penjara
merupakan jenis sanksi yang paling banyak di jatuhi dalam perundang-undangan
pidana saat ini. Secara tunggal, pidana penjara merupakan pidana yang paling
banyak diancamkan, yaitu berjumlah 395 kejahatan (+ 67,29%) (Dwidja Priyatno,
2009: 77). Berdasarkan data ini, secara garis besar menunjukkan bahwa sanksi
pidana penjara merupakan sanksi pidana yang paling banyak dipakai untuk
diterapkan kepada pelaku pidana. Meskipun begitu, dirasa belum ada penjelasan
yang mendukung keputusan untuk menjadikannya salah satu bentuk sanksi pidana
dalam upaya menanggulangi kejahatan. Selama ini, belum ada penjelasan yang
memadai mengenai alasan di balik penggunaan pidana penjara sebagai cara untuk
mengatasi kejahatan, karena kebijakan kriminal yang ada cenderung menganggap
wajar penggunaannya dan penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan
layaknya suatu kebiasaan. Hal ini juga terlihat dalam perundang-undangan di luar
KUHP, di mana pidana penjara masih menjadi ancaman pidana yang paling umum
diterapkan.
2) Pengaturan Pidana Penjara dalam RKUHP
Setelah melalui proses yang panjang, maka digagaskanlah suatu rancangan
KUHP atau bisa dikatakan sebagai KUHP baru yang tentunya dilakukan untuk
lebih menjamin kepastian hukum dan diorientasikan pada hukum modern. Tujuan
dari pemberian pidana menurut RKUHP sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 51
yaitu:
1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat;
2) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna;
3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
4) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
dalam RKUHP ini juga menyebutkan bahwa pemidanaan tidak
dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Dalam hal
ini sistem pemidanaan akan sangat memperhatikan hak-hak terpidana, yang sejalan
dengan pasal 54 ayat (1), pada pedoman pemidanaan pun disebutkan bahwa
pemidanaan sebagaimana tercantum dalam rumusan pasal ini wajib
mempertimbangkan:
1) Kesalahan pembuat tindak pidana;
2) Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
3) Sikap batin pembuat tindak pidana;
4) Tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan;
5) Cara melakukan tindak pidana;
6) Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
7) Riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;
8) Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
9) Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
10) Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
11) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Konsep RKUHP masih menjadikan pidana penjara sebagai salah satu
pidana pokok yang diancamkan kepada pelaku kejahatan. Jenis pidana pokok ini
diatur dalam Pasal 65, sedangkan Penjelasan dari pelaksanaan pidana sudah
tercantum pada pasal 69-75. Berikut merupakan isi dari Pasal 65:
a) Pidana pokok terdiri atas: Pidana penjara, Pidana tutupan, Pidana pengawasan,
Pidana denda, dan Pidana kerja sosial
b) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat
ringannya pidana
3) Pengaturan Pidana Penjara dalam Hukum Adat
Indonesia memiliki kekayaan keberagaman hukum adat yang sangat
melimpah. Bahkan, dalam bidang hukum pidana, beberapa daerah masih mengakui
dan menerapkan hukum pidana adat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
hukum pidana adat dijadikan sebagai salah satu sumber dalam proses pembentukan
hukum pidana nasional. Eksistensi hukum pidana adat harus terus dikembangkan,
karena hukum pidana adat merupakan hukum yang bersumber langsung dari
masyarakat (living law), sehingga akan terus hidup dan tumbuh di masyarakat adat
Indonesia (Otto Yudianto, 2012: 25).
seperti yang terlihat dalam Rancangan KUHP (RKUHP). Pasal 2
menguraikan bahwa hukum pidana adat akan terus diakui oleh hukum nasional,
baik dalam aspek ketentuan pidana maupun proses pemidanaan, asalkan sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui
secara luas. Pendekatan pidana dan penyelesaian dalam hukum pidana adat akan
sangat menekankan pada nilai-nilai komunal. Demikian pula, dalam hal
pemidanaan, hukum pidana adat akan lebih mementingkan sanksi yang bersifat
moral dan sosial, seperti pidana badan dan pidana denda, tidak menerapkan penjara
sebagai salah satu bentuk pemidanaan.
Pengaturan yang mirip seperti pidana penjara dalam hukum adat dapat
bervariasi tergantung pada tradisi dan budaya masyarakat yang mengikuti hukum
adat tersebut. Secara umum, hukum adat seringkali memiliki sistem hukuman yang
berbeda dengan hukum positif yang resmi di suatu negara. Berikut adalah beberapa
poin yang dapat menjelaskan pengaturan pidana penjara dalam hukum adat:
a) Sistem Hukuman: Hukum adat merupakan sebuah sistem hukum yang tidak
tertulis dan tidak memiliki susunan yang khusus untuk mengkategorikan
tindakan sebagai kejahatan atau pelanggaran. Setiap tindakan yang dianggap
mengganggu keseimbangan dalam masyarakat atau alam dianggap sebagai
pelanggaran adat. Hukum pidana adat juga tidak secara tegas menetapkan jenis
atau sanksi pidana yang bisa diberikan kepada pelaku tindak pidana adat. Dari
semua bentuk pidana adat yang masih berlaku di Indonesia, umumnya
menerapkan pidana mati atau denda. Pidana adat tidak mengenal
penghukuman penjara. Namun, beberapa ahli menganggap bahwa praktik
pemasungan dalam hakikatnya hampir sama dengan pidana penjara, karena
keduanya sama-sama mencabut kebebasan dan kemerdekaan pelaku
kejahatan. Demikian pula, dalam konteks pidana pembuangan atau pengusiran
pelaku kejahatan, konsep ini mengandung arti untuk menjauhkan pelaku dan
keluarganya dari lingkungan adat, sehingga tidak mengganggu keseimbangan
dalam masyarakat. Konsep hukum adat didasarkan pada ide perlindungan
murni. Pemberian sanksi lebih berlandaskan pada teori absolut atau retributif,
yang melihat kesesuaian antara tindakan pelaku dengan kerusakan yang
ditimbulkannya. Tujuan sanksi lebih pada konsep perlindungan kehidupan
masyarakat.
b) Proses Penegakan Hukum/Penyelesaian Masalah: Salah satu prinsip
penyelesaian konflik di komunitas adat adalah keadilan, yang dikenal sebagai
keadilan komunal. Keadilan komunal adalah bentuk keadilan di mana semua
pihak merasa bahwa keputusan yang diambil oleh kepala atau tokoh adat
dalam menyelesaikan masalah tidak merugikan mereka. Prinsip keadilan ini
menjadi pijakan utama dalam struktur kehidupan masyarakat adat. Martabat
dan posisi sosial masyarakat hukum adat sangat dipengaruhi oleh sejauh mana
nilai-nilai keadilan komunal dihormati dan dijalankan. Semakin tinggi nilai
keadilan komunal, maka semakin kuat dan mulia kedudukan masyarakat
hukum adat tersebut (Syahrizal Abbas, 2011: 246).
c) Prinsip Keadilan: Meskipun hukum adat dapat berbeda-beda antar suku dan
daerah, prinsip keadilan tetap menjadi landasan utama dalam penerapan
hukuman. Pidana penjara dalam hukum adat biasanya diberikan setelah
pertimbangan yang matang dan melibatkan nilai-nilai kearifan lokal.
d) Pengaruh Modernisasi: Dengan adanya modernisasi dan pengaruh hukum
positif, beberapa komunitas hukum adat mungkin telah mengadaptasi konsep
pidana penjara yang lebih mirip dengan sistem pidana formal yang diatur oleh
negara.
e) Perlindungan Hak Asasi: Dalam memberlakukan pidana penjara, hukum adat
juga harus memperhatikan hak asasi manusia dan prinsip-prinsip keadilan
yang berlaku.
4) Pengaturan Pidana Penjara dalam Hukum Islam
Allah SWT oleh Nabi Muhammad SAW mengenal penjara sebagai Hukum
takzir memidana pelaku kejahatan. Pidana penjara dengan menempatkan terpidana
di dalam penjara atau lembaga pemasyaratan tidak dikenal dalam pandangan
hukum pidana islam pidana penjara, Takzir adalah hukuman yang ditetapkan oleh
pemerintah atau hakim terhadap pelaku tindak pidana yang tidak disebutkan
hukumannya secara tegas dan rinci dalam al-Quran dan hadits atau hukuman yang
tidak termasuk jarimah hudud, qishash dan diyat serta kafarat. Ta'zir menurutnya
dapat berbentuk Hukuman Fisik, Hukuman atas harta, dan Hukuman Mati.
Hukuman Fisik berupa ancaman, cambukan, pengasingan, dan penjara. Sedangkan
Hukuman atas harta berupa penyitaan harta atau ganti rugi dan pemusnahan harta.
dalam pandangan hukum islam, dalam hakekatnya hukum pidana islam hanya
1) qisas yaitu dijatuhkan kepada pembunuh dan penganiayaan
2) Hukum potong tangan bagi pencuri
3) Hukuman rajam bagi pezina
4) Hukuman Cambuk
5) Hukuman Pidana Mati
pidana penjara dalam islam diatas merupakan salah satu sistem atau teknik
bagaimana kita sebagai individu atau sebagai manusia mampu mengendalikan
sebuah diri kita dari tindakan pidana yang menyebabkan pidana penjara yang dan
tentunya sama halnya pidana penjara atau kurungan tentunya tidak lain tidak bukan
tidak terlalu banyak perbedaan, perbedaan nya adalah dimasa lama waktu nya saat
mendapatkan hukuman penjara ataupun kurungan dan pidana penjara yang
menurut hukum islam, jika kalau melakukan kesalahan di mendapatkan perlakuan
yang tidak mengenakkan dengan diadili di masyarakat dan tentunya mendapatkan
suatu pencerahan yang mungkin dapat menyelesaikan supaya tdk mengulangi
tindakan pidana tersebut yang menyebabkan masuk ke dalam tahanan atau penjara.
Prinsip kemaslahatan umat menjadi landasan utama dalam pengaturan
hukuman, termasuk pidana penjara, dalam hukum Islam. Setiap hukuman yang
diberlakukan haruslah mempertimbangkan dampaknya terhadap individu,
masyarakat, dan keadilan secara keseluruhan. Dengan demikian, hukum Islam
mengambil pendekatan yang lebih holistik dalam menangani pidana penjara,
dengan penekanan pada pembinaan sosial, keadilan, dan kemaslahatan umat
sebagai prioritas utama.
Dalam hukum pidana Islam, pelanggaran hukum atau jarimah dibagi
menjadi tiga kategori utama: hudud, qishash, dan ta'zir. Hudud mengacu pada
pelanggaran yang diancam dengan hukuman hadd, yang ditetapkan oleh syariat dan
dianggap sebagai kehendak Allah. Jenis hukuman ta'zir diserahkan kepada
penguasa, dengan mempertimbangkan nilai-nilai moral dan kemaslahatan umat.
Tujuan hukum pidana Islam khususnya penjara, adalah untuk menegakkan
keadilan, menimbulkan efek jera pada pelaku, memberikan pencegahan secara
umum, dan memperbaiki pelaku. Pemidanaan dalam hukum pidana Islam tidak
mencakup konsep pemenjaraan karena asal-usulnya berasal dari Barat.
Pemidanaan penjara hanya dapat diterapkan jika memberikan manfaat bagi
masyarakat secara keseluruhan. Pendekatan pemidanaan dalam hukum pidana
Islam menekankan pada perlindungan baik bagi pelaku pidana, korban, maupun
masyarakat secara keseluruhan, dengan memperhatikan kemaslahatan umat serta
aspek moralitas.
3. Dampak Pidana Penjara Terhadap Anggaran Negara
Dampak anggaran ini adalah salah satu hal yang kita ketahui bahwa anggran di
setiap individu sangatlah berat, karena untuk menanggung dari sebuah individu dari
sebuah narapidana, tentunya sangat berat ketika harus menanggung beban dari setiap
narapidana, seperti harus menanggung beban makanan, harus menanggung beban
listrik, penggunaan air, listrik dan obat jikalau ada narapidana yang sakit
Keberadaan pemenjaraan ketika dihubungkan dengan anggaran negara adalah
dikelolanya narapidana di lembaga pemasyarakatan dengan penggunaan anggaran
negara. Banyaknya narapidana di lembaga pemasyarakatan akan menjadikan besarnya
pula anggaran yang dikeluarkan. Hal ini mendorong adanya skema pemidanaan yang
baru yang dapat menekan besarnya anggaran negara, mengingat pemenjaraan sendiri
tidak sepenuhnya berhasil dalam menjalankan fungsinya. Berdasarkan latar belakang
penelitian yang telah diuraikan diatas, permasalahan pada penelitian ini dapat
diidentifikasi sebagai berikut: bagaimana pengelolaan anggaran negara dihubungkan
dengan penegakan pidana penjara pada program pembinaan pemasyarakatan?,
serta bagaimana konsep penegakan pidana penjara dalam program pembinaan
pemasyarakatan di Indonesia dihubungkan dengan keberadaan pembaharuan hukum
pidana? Spesifikasi penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analitis. Metode
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis
normatif, yaitu penelitian hukum yang mengutamakan cara meneliti data sekunder,
berupa hukum positif dan bagaimana implementasinya dalam praktik, Penelitian
hukum normatif tidak memiliki kepedulian terhadap masyarakat yang tertindas oleh
kebijakan hukum, dimana penelitian-penelitian tersebut memiliki kecenderungan
memihak kepada kepentingan yang berkuasa, karena penelitian-penelitian tersebut
hanya membahas aturan, asas dan prinsip serta keterkaitan mekanis kaku, tidak
melakukan aksi perubahan atau pemberdayaan.
Hasil penelitian dalam penelitian ini adalah Pengelolaan anggaran negara
dihubungkan dengan penegakan pidana penjara pada program pembinaan
pemasyarakatan adalah dengan menerapkan good governance dalam pengelolaan
anggaran Lembaga pemasyarakatan dengan memperhatikan penegakan hukum (rule of
law), transparansi (transparancy), keadilan (equity) dan akuntabilitas (accountability).
Hal tersebut haruslah bersesuaian dengan pola pembinaan kepribadian dan kemandirian
narapidana. Keadaan ketika terjadi residivis atau bahkan dalam lembaga
pemasyarakatan terjadi tindak pidana, dapat dikatakan bahwa produktivitas
pemenjaraan tidak ada. Hal tersebut mengarah pada “sia-sianya”nya anggaran yang
besar dalam pengelolaan lembaga pemasyarakatan. Konsep penegakan pidana penjara
dalam program pembinaan pemasyarakatan di Indonesia dihubungkan dengan
keberadaan pembaharuan hukum pidana adalah dengan penerapan Pidana kerja sosial
sebagai alternatif hukuman. Namun demikian, perlu diperhatikan kendala pelaksanaan
kerja sosial mengingat dapat saja narapidana yang sedang melakukan kerja sosial tidak
diterima masyarakat atau bahkan merugikan lingkungan tempat narapidana tersebut
melakukan kerja sosial. Pidana, Pemenjaraan, Anggaran negara terdapat krisis
kepercayaan terhadap efektivitas pidana penjara dan ada kecenderungan untuk
mengabaikan kemampuan lembaga-lembaga kepenjaraan dalam menunjang usaha
pengendalian kejahatan. Malahan, dalam perkembangan terakhir kritik-kritik tajam itu
memuncak sampai ada gerakan untuk menghapuskan pidana penjara.
4. Manfaat Penjatuhan Pidana Penjara Terhadap Narapidana dan Masyarakat
manfaat penjatuhan pidana penjara terhadap terpidana dan bagaimana manfaat
penjatuhan pidana penjara terhadap masyarakat. Dengan menggunakan metode
penelitian yuridis normatif, disimpulkan:
1) Manfaat penjatuhan pidana penjara terhadap terpidana yaitu membina terpidana
menjadi orang yang lebih baik dan berguna sehingga ia tidak mengulangi
perbuatannya dan membebaskan terpidana dari rasa bersalah serta membina
terpidana agar dapat diterima dalam masyarakat.
2) Manfaat penjatuhan pidana penjara bagi masyarakat yaitu memberikan rasa aman
kepada masyarakat dari gangguan pelaku kejahatan, karena pada dasarnya pidana
penjara merupakan pidana perampasan kemerdekaan, maka dengan dirampasnya
kemerdekaan pelaku tindak pidana, berarti pembatasan terhadap ruang gerak
pelaku untuk melakukan kejahatan sehingga melindungi masyarakat terhadap sifat
berbahayanya pelaku tindak pidana.
Efektivitas Pidana Penjara Dilihat dari Aspek Perlindungan Masyarakat.
Apabila dilihat dari aspek perlindungan / kepentingan masyarakat maka pidana penjara
dikatakan efektif apabila pidana penjara sejauh mungkin dapat mencegah atau
mengurangi terjadinya kejahatan.
Pidana penjara merupakan pidana yang membatasi kemerdekaan terpidana
dalam hal tertentu, misalnya kebebasan bergerak dengan keluarga dan masyarakat.
Seseorang yang dijatuhi pidana penjara akan merasa kehilangan \ kebebasannya.
Pembatasan kemerdekaan itu dilakukan dengan memenjarakan seseorang dalam batas
waktu tertentu, sehingga ia tidakbebas melakukan aktifitasnya di masyarakat seperti
sediakala. Dengan demikian pidana\penjara mengakibatkan derita pada terpidana dalam
jangka waktu tertentu yang merupakan usaha agar terpidana itu bertobat dan menjadi
manusia yang berguna di kemudian hari, dan diterima dalam pergaulanhidup
masyarakat. Penjatuhan pidana penjara dapatmemberikan manfaat terutama terhadap
narapidana dan masyarakat pada umumnya dan merupakan topik yang menarik untuk
dibahas.
5. Perbedaan Pidana Penjara dengan Kurungan
Meskipun terdengar mirip, akan tetapi pidana penjara dan kurungan memiliki
perbedaan yang signifikan. Perbedaaan tersebut ialah sebagai berikut:
Pidana penjara dapat dikenakan selama seumur hidup atau selama waktu tertentu,
antara satu hari hingga dua puluh tahun berturut-turut (baca Pasal 12 KUHP) serta
dalam masa hukumannya dikenakan kewajiban kerja (Pasal 14 KUHP), sedangkan
pidana kurungan dikenakan paling pendek satu hari dan paling lama satu tahun (Pasal
18 ayat (1) KUHP) tetapi dapat diperpanjang sebagai pemberatan hukuman penjara
paling lama satu tahun empat bulan (Pasal 18 ayat (3) KUHP) serta dikenakan
kewajiban kerja tetapi lebih ringan daripada kewajiban kerja terpidana penjara (Pasal
19 ayat (2) KUHP). kemudian Pidana penjara dikenakan kepada orang yang melakukan
tindak pidana kejahatan, sedangkan Pidana kurungan dikenakan kepada orang yang
melakukan tindak pidana pelanggaran (lihat buku ketiga KUHP tentang Pelanggaran),
atau sebagai pengganti pidana denda yang tidak bisa dibayarkan (Pasal 30 ayat (2)
KUHP).
6. Pidana Penjara dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Pidana yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan merupakan sesuatu yang adil
dalam berbagai perspektif teori pemidanaan (Gargi Roy, 2014: 95). Namun, harus
dipertimbangkan pula sisi keadilan dan kemanfaatan bentuk pemidanaan yang akan
dijatuhkan kepada pelaku kejahatan. Jangan sampai pemidanaan yang dijatuhkan
melanggar hak asasi manusia si pelaku kejahatan itu sendiri. Pidana penjara sebagai
jenis pidana yang merampas hak kebebasan seseorang tentu saja melanggar hak asasi
manusia, terutama apabila pidana penjara dijatuhkan seumur hidup, ini merupakan
bentuk hukuman yang sangat tidak manusiawi (Esther Gumboh, 2011: 77).
Pidana penjara terkadang harus dijalani seseorang yang divonis pidana mati,
yang seringkali tanpa kejelasan kapan ia akan divonis. Harus diakui banyak hal negatif
dari sistem pembinaan dalam pidana penjara, yang harus dialami narapidana
diantaranya:
1) Secara sosiologis pemenjaraan menjadikan seseorang terpisah dari keluarganya.
Apabila ia adalah kepala keluarga maka sejatinya ia mempunyai kewajiban
memberi nafkah keluarganya, istri dan anak-anaknya maupun orang lain yang
sebelum ia dipenjara ia tanggung nafkahnya, selain itu tentu saja pemenuhan
kebutuhan biologisnya pun menjadi terganggu;
2) Di penjara, sistem pembinaan ternyata kurang berjalan dengan baik, di LAPAS
ditemukan kelompok-kelompok yang sering memeras kelompok lainnya, bertindak
kasar dan berkelahi. Petugas LAPAS seringkali bertindak pilih kasih, dan LAPAS
pun berfungsi menjadi tempat transfernya ilmu kejahatan sehingga timbul adagium
bahwa LAPAS merupakan sekolah ilmu kejahatan (SIK) (Andrew Stevano
Kokong, 2012: 53);
3) Sistem pemidanaan melalui pidana penjara menjadikan seorang narapidana
terisolasi dari masyarakat dan keluarga, sehingga secara psikologis narapidana
dapat mengalami stress dan penurunan kesehatan mental(Alison Liebling, 2006:
425);
4) Keluar dari penjara, masyarakat justru takut dan bahkan tidak mau menerima
kembali mantan narapidana, karena takut apabila mantan narapidana tersebut
melakukan kejahatan kembali. Terjadi labelling mantan narapidana dengan sebutan
penjahat, sehingga keluar dari LAPAS ia sangat kesulitan mendapat pekerjaan
untuk menghidupi diri dan keluarganya, sehingga tidak sedikit narapidana yang
akhirnya melakukan kejahatan kembali (residivist).
Perkembangan teori pidana dan pemidanaan dari retributif kepada keadilan
restoratif, yang menghendaki adanya perlakuan yang lebih manusiawi kepada pelaku
kejahatan, dan melindungi hak-hak korban maupun keluarga dan masyarakat. Pada
proses penyelesaian kasus pidana menurut restorative justice melalui musyawarah
untuk mufakat, di mana masing-masing pihak mempunyai kedudukan yang sama dan
tidak ada yang mendominasi (John Braithwaite, 2002: 565), adapun fokus
penyelesaiannya terletak pada mediasi dan pemulihan hubungan antara pelaku
kejahatan dan korban (Edward J. Gumz dan cynthia L. Grant, 2009: 121). Penyelesaian
perkara dengan restorative justice bertujuan menghasilkan keberhasilan dalam
penegakan hukum dengan melibatkan seluruh pihak yang terlibat dalam suatu
kejahatan, yaitu pelaku, korban, anggota keluarga dari pelaku dan korban, serta
masyarakat. Penyelesaian kasus pidana dapat lebih adil dan lebih efektif karena semua
pihak terlibat aktif (okwendi Joseph Solomon dan Richard Nwankwoala, 2014: 128).
Pelaku kejahatan harus memperbaiki akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan yang
dilakukannya, korban secara fisik dan psikis mendapat pemulihan dalam bentuk ganti
rugi dan mengurangi bahkan penyembuhan rasa takut atau trauma, masyarakat
mengambil bagian dalam pemulihan akibat negatif dengan cara menerima kembali
pelaku kejahatan dan memberi pengajaran kepada anggota masyarakat lainnya supaya
tidak melakukan kejahatan lainnya.
Apabila dilihat dari kajian restorative justice di atas, maka tujuan pemidanaan
dalam RKUHP sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c, yaitu untuk,
“menyelesaikan konflik yang timbul oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan,
dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat”, adalah sesuai dengan teori
restorative justice yang menitikberatkan penyelesaian perkara pada pemulihan
keseimbangan dan rasa damai di masyarakat. Sebenarnya, bila dilihat dari perspektif
hukum adat, maka masyarakat adat Indonesia sudah sejak lama menggunakan prinsip
ini. Karenanya, rumusan Pasal 54 ayat (1) huruf c RKUHP sejalan dengan dengan teori
keseimbangan yang bersumber dari adat bangsa Indonesia (Siti Nurjanah, 2011). Pidana
penjara dalam RKUHP dapat dijatuhkan untuk (1) seumur hidup atau untuk waktu
tertentu, (2) paling lama 15 tahun berturut-turut atau paling singkat 1 hari kecuali
ditentukan minimum khusus (Pasal 69). Kemudian diatur pembatasan pidana penjara
untuk waktu tertentu tidak boleh lebih dari 20 tahun.
RKUHP juga merumuskan aturan bahwa terpidana mati yang telah menjalani
pidana paling kurang 17 tahun dapat diberikan pembebasan bersyarat apabila terpidana
berkelakuan baik (Pasal 70). Pasal 71 merumuskan bahwa pidana penjara bahkan sejauh
mungkin tidak dijatuhkan apabila:
1) terdakwa berusia kurang dari 18 tahun atau lebih dari 70 tahun;
2) terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana;
3) kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar;
4) terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban;
5) terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan
menimbulkan kerugian yang besar;
6) tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;
7) korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut;
8) tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin
terulang lagi;
9) kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan
tindak pidana yang lain;
10) pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau
keluarganya;
11) pembinaan yang non-institusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri
terdakwa;
12) penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya
tindak pidana yang dilakukan terdakwa;
13) tindak pidana terjadi di kalangan keluarga;
14) terjadi karena kealpaan.
Perumusan peniadaan pidana penjara atau perubahan bentuk pidana dari pidana
penjara kepada bentuk pidana atau tindakan dalam Pasal 71 RKUHP diatas merupakan
bentuk perlindungan hak terpidana dan keluarganya. Dengan demikian RKUHP
berupaya membentuk hukum pidana yang melindungi hak-hak terpidana. Walaupun
demikian, pidana penjara tetap tidak memberikan porsi yang besar bagi perlindungan
korban dan masyarakat. Sebagai bentuk perlindungan korban RKUHP merumuskan
pada Pasal 99 ayat (1) bahwa: “Dalam putusan hakim dapat ditetapkan kewajiban
terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahli
warisnya”. Kemudian Pasal 100 RKUHP merumuskan tentang kewajiban adat yang
harus dilaksanakan oleh terpidana.
Penggunaan pidana adat dalam pemidanaan pada Pasal 100 ini sesuai dengan
rumusan dalam Pasal 2 ayat (2). Perumusan kata “dapat” dalam Pasal 99 ayat (1)
menunjukkan bahwa penetapan ganti kerugian bukanlah dalam kewajiban pidana, yang
berarti boleh dilakukan atau tidak. Seharusnya apabila kejahatan yang dilakukan
terpidana memang menimbulkan kerugian kepada korban atau ahli warisnya maka
terpidana wajib memberikan ganti rugi kepada korban atau ahli warisnya sesuai dengan
kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukannya. Hal ini sesuai dengan
rumusan pembayaran ganti kerugian dalam hukum pidana Islam atau dalam hukum
pidana adat. Dalam rangka perubahan ide pemidanaan ini, selain pidana penjara, dalam
RKUHP juga dirumuskan jenis pemidanaan baru berupa pidana pidana pengawasan,
pidana denda, dan pidana kerja sosial (Pasal 65 ayat (1) RKUHP), sedangkan pidana
mati diubah menjadi pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara
alternatif (Pasal 66 RKUHP). Pidana denda adalah sanksi yang bertujuan untuk
mengembalikan keseimbangan agar ketertiban di dalam masyarakat pulih (I A Budijava
dan Julianus Bandrio, 2010: 77). Namun masih pidana denda memiliki kelemahan
diantaranya dengan adanya pilihan hukuman membayar denda atau kurungan. Banyak
terpidana yang dihukum denda, lebih memilih menjalani hukuman kurungan. Mereka
cenderung berpikiran lebih enak menjalani hukuman kurungan beberapa bulan dari
pada harus mengeluarkan uang dalam jumlah banyak. Dengan menjalani hukuman
kurungan, seolah-olah hukuman denda itu sudah dibayar lunas oleh terpidana. Adanya
penggantian hukuman tersebut sangat menguntungkan pelaku kejahatan, padahal
sesungguhnya tujuan utama menjatuhkan hukum denda adalah untuk dibayar, bukan
untuk diganti dengan hukuman lain. Pidana denda yang dijatuhkan pengadilan selama
ini dapat dikatakan tidak efektif, karena sulit untuk dieksekusi dan tujuannya tidak
tercapai sebagaimana yang diharapkan. hampir semua terpidana yang dijatuhi pidana
denda, tidak bersedia atau tidak mau membayar denda tersebut. terpidana lebih memilih
untuk menjalani hukuman kurungan pengganti. kelemahan perangkat hukum adalah
tidak adanya upaya paksa bagi terpidana untuk melaksanakan hukuman denda.
kelemahan ini tentu saja menguntungkan terpidana di satu pihak, namun merugikan
negara di lain pihak. bagi terpidana tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk
membayar denda, namun bagi negara kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku
menjadi tidak dapat dipulihkan (Gatot Supramono, 2008: 35)
Kesimpulan
Pidana penjara adalah salah satu jenis pidana yang terdapat dalam sistem hukum pidana
di Indonesia. Pidana penjara juga menjadi pidana pokok yang dapat digunakan dan
seringkali digunakan oleh hakim. Banyak yang harus dipelajari dan dicermati dalam
Pidana penjara, mulai dari perkembangannya, sejarah awal diterapkan, pengaturannya,
dampak pemberlakuan hukum pidana terhadapp anggaran negara, manfaat penjatuhan
pidana itu sendiri, pasal yang mengatur serta pembaharuan pidana penjara itu sendiri
dalam hukum pidana. Hal-hal tersebut berkesinambungan satu sama lain sehingga harus
dipahami bagaimana satu faktor mempengaruhi atau berjalan berdampingan dengan
yang lainnya.
Daftar Pustaka
https://www.bing.com/ck/a?!&&p=c48b5c3b942b7b1aJmltdHM9MTcxMTMyNDgw
MCZpZ3VpZD0yZGNjZDg5OC0xZjllLTYxOTgtMzZkOS1jYjdmMWVjODYwMz
kmaW5zaWQ9NTI4Ng&ptn=3&ver=2&hsh=3&fclid=2dccd898-1f9e-6198-36d9-
cb7f1ec86039&psq=pidana+penjara&u=a1aHR0cHM6Ly9qdXJuYWwudW5zLmFjL
mlkL3l1c3Rpc2lhL2FydGljbGUvZG93bmxvYWQvMTEwODgvOTkyMA&ntb=1
Jurnal Pidana Penjara Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia_Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung djati Bandung_Kurnia Dede
Perbedaan Pidana Kurungan dengan Pidana Penjara (hukumonline.com)
Ini loh, 5 Perbedaan Pidana Penjara dan Kurungan | Kawan Hukum Indonesia
Sejarah dan Perkembangan Pidana Penjara di Indonesia (123dok.com)
http://lapassalemba.kemenkumham.go.id/profil/sejarah-pemasyarakatan
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/issue/view/2984
240047-eksistensi-pidana-penjara-dalam-perspekt-04188f7f.pdf (neliti.com)
Sejarah Berlakunya Hukum Pidana di Dunia Hingga Masuk Ke Indonesia
(ardiarmandanu.com)
KUH_Pidana.pdf (jdihn.go.id)

Anda mungkin juga menyukai