Anda di halaman 1dari 11

UAS HUKUM PENITENSIER

PAPER
“Keefektifan Pidana dan Pembebasan Bersyarat
Menurut Teori Pemidanaan”

Oleh:
I Made Deni Dwi Nuarthawan
NIM 2014101045

HALAMAN SAMPUL

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2023
“Keefektifan Pidana dan Pembebasan Bersyarat dan Alternatifnya Menurut
Teori Pemidanaan”
Oleh: I Made Deni Dwi Nuarthawan
Abstrak
Dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terkait
jenis pidana, dengan menambahkan pidana pengawasan sebagai alternatif baru
yang tidak terdapat dalam KUHP yang berlaku saat ini. Pidana pengawasan
dianggap sebagai langkah menuju pemidanaan yang lebih humanis, menggantikan
peran pidana bersyarat. Meskipun demikian, pelaksanaan pidana bersyarat masih
terbatas, dan faktor yuridis dan non-yuridis mempengaruhi keputusan hakim.
Artikel juga membahas dampak pidana penjara terhadap narapidana dan
masyarakat, serta peran hakim dalam mempertimbangkan pidana bersyarat. RUU
KUHP mengenalkan pidana pengawasan sebagai opsi baru, dengan batasan
ancaman pidana maksimal 7 tahun penjara. Kesimpulan artikel menyoroti
perlunya pembaruan sistem pidana untuk mencapai efektivitas dan keadilan yang
lebih baik di Indonesia. Saran meliputi optimalisasi pidana pengawasan, reformasi
pidana bersyarat, peningkatan peran hakim wasmat, dan evaluasi rutin
implementasi pidana bersyarat, diharapkan dapat membawa perubahan positif
dalam sistem pemidanaan Indonesia.
Kata Kunci: Pidana Bersyarat, Alternatif Pemidanaan, Pemidanaan
Pendahuluan
RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP)
mengatur sejumlah peraturan baru, dengan merumuskan kembali ketentuan
pemidanaan dibandingkan KUHP saat ini. Dalam KUHP sekarang, jenis-jenis
pidana yang dijelaskan dalam Pasal 10 huruf a mencakup pidana mati, pidana
penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Namun, RUU
KUHP menghadirkan perubahan dengan menetapkan dalam Pasal 66 ayat (1)
bahwa "Pidana pokok terdiri atas: a. pidana penjara; b. pidana tutupan; c. pidana
pengawasan; d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial." Salah satu perbedaan
mencolok adalah adanya penambahan jenis pidana pengawasan dalam RUU
KUHP, yang tidak terdapat dalam KUHP yang berlaku saat ini.1
Negara sejatinya menjamin hak-hak narapidana sesuai dengan ketentuan
yang diuraikan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Salah satu hak yang dijamin
adalah pembebasan bersyarat, namun pemberian hak ini tunduk pada prosedur
tertentu. Menurut Pasal 43 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999
Tentang Syarat dan Tata Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan,
pembebasan bersyarat dapat diberikan kepada narapidana setelah menjalani
1
Husin, Kadri dan Budi Rizki Husin. Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Cet.1. Jakarta:
Sinar Grafika. 2016. Hal 210

1
pidana minimal 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya, dengan catatan bahwa 2/3
(dua pertiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Peraturan
ini mencerminkan upaya untuk memberikan perlindungan hukum dan penjaminan
hak kepada narapidana dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.
Dalam reformasi hukum pidana, penjatuhan pidana berupa pencabutan
kemerdekaan terus menjadi perhatian utama dalam sistem sanksi pidana,
sementara penghapusan pidana ini ternyata tidak semudah itu dilakukan. Herman
G. Moeller mengemukakan bahwa penjara seringkali mengakibatkan
dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya merugikan narapidana yang
harus tinggal di dalamnya untuk waktu yang lama, sehingga mereka kesulitan
mengintegrasikan diri kembali ke masyarakat secara produktif. Terkait hal ini,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun
1945) mengakui adanya Hak Asasi Manusia, namun juga memberikan
kewenangan untuk menyimpangi hak-hak tersebut dalam situasi tertentu.
Contohnya, meskipun remisi diakui sebagai hak narapidana, hak ini dapat
diabaikan sesuai dengan ketentuan konstitusi.2 Penerapan sanksi pidana penjara
tidak hanya memberikan dampak negatif bagi terpidana secara individu, tetapi
juga berdampak pada masyarakat secara keseluruhan. Terpidana tidak hanya
mengalami penderitaan secara personal, tetapi juga keluarga dan orang-orang
yang bergantung pada terpidana turut merasakannya. Dampak negatif juga terlihat
pada masyarakat, terutama dalam bentuk residivisme yang sering terjadi setelah
penjatuhan pidana penjara. Oleh karena itu, masyarakat berharap agar penegak
hukum dapat bekerja secara profesional sesuai dengan tugas dan fungsinya,
dengan harapan dapat mengurangi dampak buruk dari pidana penjara.
Pembahasan
A. Kenyataan Pelaksanaan Pidana Bersyarat
Penerapan pidana bersyarat sesuai dengan ketentuan KUHP saat ini belum
optimal dalam menjalankan peran sebagai alternatif efektif terhadap pidana
penjara. Oleh karena itu, RUU KUHP memasukkan ketentuan mengenai pidana
pengawasan (probation), sebuah konsep yang telah berhasil diterapkan di berbagai
negara. Pasal 79 hingga Pasal 81 dalam RUU KUHP mengatur mengenai pidana
pengawasan sebagai opsi pengganti pidana penjara jangka pendek, menggantikan
peran pidana bersyarat dalam KUHP yang sebelumnya ada. Pidana pengawasan
diberlakukan untuk terdakwa yang melakukan tindak pidana yang dapat diancam
dengan pidana penjara maksimal 7 (tujuh) tahun. Dengan adanya pidana
pengawasan, konsep pemidanaan bertransisi dari pendekatan pembalasan terhadap
pelaku ke perlindungan individu pelaku tindak pidana. Meskipun demikian,

2
Victory Prawira Yan Lepa, “Pidana Pengawasan dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia”, Artikel
Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, Lex Administratum,
Vol. II/No. 3/Jul-Okt/2014, hal. 67.

2
implementasi pidana pengawasan harus memperhatikan kepentingan korban agar
tujuan pemidanaan yang mengutamakan keadilan restoratif dapat tercapai.3
Dalam konteks peradilan pidana, KUHP mengenalkan opsi alternatif
terhadap sanksi pidana penjara, yakni pidana bersyarat. Pasal 14a hingga Pasal 14f
KUHP merinci pidana bersyarat sebagai bentuk alternatif yang bersifat non-
institusional, dapat dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana. Namun, terdapat
batasan tertentu terkait terpidana yang layak menerima pidana bersyarat, yakni
terpidana yang dihukum kurang dari 1 tahun, di mana hakim percaya bahwa
terhadap terdakwa dapat dilakukan pengawasan yang memadai terkait pemenuhan
syarat-syarat yang telah ditetapkan.4
Penetapan putusan pidana bersyarat sebenarnya bertujuan untuk
menghindarkan terpidana dari dampak negatif penjara yang dianggap kurang
efektif. Selain itu, penjatuhan pidana bersyarat oleh hakim dapat menjadi solusi
terhadap masalah kapasitas yang berlebihan di Lembaga Pemasyarakatan di
Indonesia, yang terus meningkat karena jumlah terpidana yang dihukum penjara
terus bertambah. Pidana pada dasarnya merupakan hukuman atau sanksi yang
diberikan oleh hakim atau negara kepada seseorang atau beberapa individu
sebagai konsekuensi hukum atas perbuatan yang melanggar larangan pidana.
Dalam konteks sanksi hukum, ini merujuk pada hukuman yang diberikan kepada
pelanggar hukum. Ini merupakan manifestasi konkret dari kekuasaan negara
dalam menjalankan fungsi hukumnya untuk menegakkan ketaatan terhadap
hukum di negara ini.5
Hukum pidana Indonesia menentukan jenis-jenis sanksi pidana atas pidana
pokok dan pidana tambahan. Hal tersebut secara tegas dirumuskan di dalam Pasal
10 KUHP yang berbunyi:
Pidana terdiri atas:
a) Pidana Pokok:
a. Pidana mati;
b. Pidana penjara;
c. Pidana kurungan;
d. Pidana denda.
b) Pidana Tambahan:
a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang-barang tertentu;
c. Pengumuman putusan hakim.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 20 tahun 1946, sistem hukum pidana
Indonesia memperkenalkan jenis pidana pokok baru yang dikenal sebagai pidana
3
Lepa, V. P. (2014). Pidana Pengawasan Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia. Lex
Administratum, 2(3).
4
Mulyadi, L., & SH, M. (2016). Pergeseran perspektif dan praktik dari mahkamah agung republik
indonesia mengenai putusan pemidanaan. Majalah Varia Peradilan, 6, 1-17.
5
Barlian, A. E. A., & Arief, B. N. (2017). Formulasi Ide Permaafan Hakim (RECHTERLIJK PARDON)
dalam Pembaharuan Sistem Pemidanaan di Indonesia. Law Reform, 13(1), 28-44.

3
tutupan. Pidana tutupan sebenarnya merupakan bentuk pidana penjara, namun
dalam mengadili seseorang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan
pidana penjara, dan karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim
berhak untuk menjatuhkan pidana tutupan. Sebagai tambahan, jenis pidana ini
merupakan salah satu dari berbagai macam pidana yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) saat ini.6
Menurut Muladi, upaya untuk memanfaatkan pidana bersyarat dianggap
sangat penting, terutama seiring dengan rencana pembentukan hukum pidana
Indonesia yang bersifat kemanusiaan, didasarkan pada Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai pengganti Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih berlaku hingga saat ini dan
berasal dari masa penjajahan kolonial.7 Pemanfaatan pidana bersyarat
dimaksudkan untuk memastikan bahwa regulasi dan implementasi pidana
bersyarat dapat mencapai tujuan pemidanaan, seperti pencegahan (umum dan
khusus), perlindungan masyarakat, pemeliharaan solidaritas masyarakat, dan
pengimbangan. Namun, dalam praktiknya, penggunaan pidana bersyarat oleh
hakim masih sangat terbatas. Menurut hasil penelitian dari Tim Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya di Pengadilan Negeri Malang, penjatuhan pidana bersyarat
sebagai alternatif pemidanaan terhadap sanksi pidana penjara oleh hakim masih
jarang terjadi. Pada tahun 2010, dari 28 perkara pidana dengan hukuman penjara
di bawah 1 tahun, hanya 1 perkara yang dijatuhi pidana bersyarat. Kemudian,
pada periode 2011 hingga 2013, dari 431 perkara pidana yang ditangani, hanya 3
perkara yang mendapatkan putusan pidana bersyarat.8
Secara umum teori pemidanaan itu bersifat pembalasan dan tujuan dari
pidana itu sendiri, sebagaimana yang dituliskan oleh Andi Hamzah: Ada tiga
golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana:9
1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien).
2. Teori relatif atau tujuan (doeltheorien)
3. Teori gabungan (verenigingstheorien).
Teori-teori pemidanaan memiliki keterkaitan langsung dengan aspek
subjektif dari hukum pidana. Teori-teori tersebut menjelaskan dasar-dasar hak
negara dalam memberlakukan dan melaksanakan hukuman pidana. Berat atau
ringannya hukuman tidak selalu menjadi penentu kesadaran seorang narapidana.
Hukuman yang berat tidak menjamin kesadaran, bahkan bisa memicu perilaku
yang lebih buruk. Di sisi lain, hukuman yang ringan terkadang dapat menjadi
pendorong bagi narapidana untuk kembali melakukan tindak pidana.

6
Zulfa, E. A. (2018). Menakar Kembali Keberadaan Pidana Mati (Suatu Pergeseran Paradigma
Pemidanaan Di Indonesia). Lex Jurnalica, 4(2), 93-100.
7
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: PT Alumni, 2013, hal. 119.
8
Sonda Tallesang, Ismail Navianto, Abdul Madjid, “Dasar Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan
Putusan Pidana Bersyarat sebagai Alternatif Pidana Penjara (Studi di Pengadilan Negeri Malang)”,
Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, April 2014.
9
Andi Hamzah, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal.212

4
Pentingnya usaha untuk menyadarkan narapidana harus diperhatikan
dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti keberadaan lapangan kerja.
Kehadiran pekerjaan dapat menjadi faktor kunci, karena jika seorang pelaku
tindak pidana tidak memiliki pekerjaan, masalahnya bisa menjadi siklus setan.
Dengan kata lain, setelah menjalani hukuman, ada risiko terjadinya
kecenderungan untuk kembali melakukan tindak pidana jika kondisi sosial dan
ekonominya tidak membaik.Adapun aktor yuridis dan non yuridis sehingga hakim
di pengadilan tidak menjatuhkan putusan pidana bersyarat sebagai alternatif
sanksi pidana penjara, di antaranya:10
1. Faktor yuridis terkait dengan regulasi pidana bersyarat diatur dalam
KUHP. Menurut KUHP, pidana bersyarat dapat diberlakukan terhadap
terdakwa yang dihukum penjara tidak lebih dari satu tahun.
2. Faktor non yuridis, dari segi faktor-faktor yang bersifat praktis, sebagai
berikut:
a. Terdakwa sudah ditahan, sehingga hakim meyakini bahwa penjatuhan
putusan pidana penjara yang singkat akan terasa lebih ringan dan
efektif bagi terdakwa. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa masa tahanan terdakwa selama proses peradilan akan dianggap
sebagai pengurangan dalam pelaksanaan pidana penjara yang
diterapkan oleh hakim
b. Dalam dakwaan jaksa penuntut umum, terdakwa diminta agar dijatuhi
pidana penjara. Oleh karena itu, jika terdakwa akhirnya dihukum
dengan pidana bersyarat, kemungkinan besar jaksa penuntut umum
dapat mengajukan banding. Hal ini dapat menimbulkan penderitaan
lebih lanjut bagi terdakwa karena status hukumnya yang menjadi tidak
pasti.
c. Ketika tidak terjadi kesepakatan damai atau pemberian maaf dari
korban kepada pelaku, hakim cenderung menghindari menggunakan
pidana bersyarat. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran bahwa
penerapan pidana bersyarat dapat menciptakan ketegangan dan
dianggap tidak adil oleh korban dan masyarakat, yang melihatnya
sebagai hukuman yang lebih ringan daripada pidana penjara.
d. Berdasarkan tingkat beratnya tindakan pidana yang dilakukan oleh
terdakwa dan pertimbangan faktor-faktor serta konteks perbuatan
pidana dalam kasus tersebut, hakim masih perlu menyelidiki dengan
lebih mendalam tentang latar belakang terjadinya tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa, sifat jahat dan perilaku kriminal terdakwa,
serta konteks kejadian kejahatan tersebut. Oleh karena itu, terkadang
hakim mengambil pendekatan yang hati-hati ketika memutuskan
untuk menjatuhkan pidana bersyarat.
10
Sapto Handoyo. (2018). Pelaksanaan pidana bersyarat dalam sistem pemidanaan di Indonesia.
PALAR (Pakuan Law review), 4(1).

5
Dalam hal pengawasan terhadap penjatuhan pidana bersyarat, ketentuan
KUHAP berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 280 ayat (4), yang menyatakan,
"Pengawasan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 berlaku
pula bagi pemidanaan bersyarat." Hakim pengawas dan pengamat (wasmat)
bertanggung jawab melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa putusan
pengadilan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 11
Meskipun demikian, dalam praktiknya, pelaksanaan pengawasan dan pengamatan
oleh hakim terhadap narapidana yang dijatuhi pidana bersyarat seringkali
terbentur oleh beberapa kendala. Faktor-faktor ini menjadi hambatan bagi hakim
pengawas dan pengamat dalam menjalankan tugas pengawasan tersebut, di
antaranya:12
1. Anggaran yang relatif kecil
Keterbatasan anggaran menjadi salah satu kendala dalam memberikan
dukungan yang memadai untuk pelaksanaan pengawasan dan pengamatan.
2. Kurangnya efektivitas tugas hakim wasmat
Tugas hakim wasmat dinilai kurang efektif karena pelaksanaan sanksi
sepenuhnya menjadi wewenang jaksa penuntut umum, bapas, dan lapas
sebagai eksekutor dan instansi pelaksana dari pidana yang dijatuhkan oleh
hakim.
3. Kurangnya kerjasama dari pihak Lapas
Terkadang, kurangnya kerjasama dari pihak Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas) terhadap fungsi pengawasan dan pengamatan yang dilakukan oleh
hakim menjadi hambatan.
4. Tidak langsungnya pengawasan terhadap terdakwa
Pengawasan terhadap terdakwa yang dijatuhi pidana bersyarat tidak bisa
langsung diawasi oleh hakim karena terpidana tidak ditahan di dalam
lembaga pemasyarakatan.

B. Alternatif Pengganti dari Pidana Bersyarat


Sanksi merupakan elemen penting dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), yang umumnya berwujud pidana penjara yang mengakibatkan
kehilangan kemerdekaan. Meskipun pelaksanaan pidana penjara mendapat kritik,
Indonesia tetap mempertahankan pidana penjara, meskipun dengan pembatasan
dan upaya perbaikan dalam implementasinya. Seiring itu, negara juga berupaya
mencari alternatif bagi pidana penjara, dan RUU KUHP hadir dengan
mengusulkan jenis pidana baru, seperti pidana pengawasan, sebagai alternatif
yang dapat dijalankan.13 Penting untuk diingat kembali bahwa tujuan dari pidana
tidak hanya untuk menimbulkan rasa derita, melainkan juga untuk membimbing
narapidana menuju taubat dan mendidik agar dapat menjadi warga masyarakat
11
Rumadan, I. (2013). Problem Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia Dan Reorientasi Tujuan
Pemidanaan. Jurnal Hukum dan Peradilan, 2(2), 263-276.
12
Achmad Ali, 2018, Menguak Tabir Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, hal. 125
13

6
yang bermanfaat. Pidana seharusnya tidak dianggap sebagai tindakan balas
dendam dari negara terhadap pelaku kejahatan, melainkan sebagai upaya
pengayoman untuk mencapai pemulihan dan reintegrasi sosial. 14 Pidana
pengawasan, yang menjadi pengganti pidana bersyarat dalam Pasal 79 RUU
KUHP, dapat diberlakukan kepada terdakwa yang terlibat dalam tindak pidana
dengan ancaman pidana penjara maksimum tujuh tahun. Dengan batasan ancaman
pidana tersebut, konsep ini tampaknya bertujuan memberikan ukuran objektif
untuk tindak pidana yang dianggap tidak begitu berat. Selain itu, konsep ini juga
mencerminkan upaya untuk mengobjektifkan penilaian terhadap sikap batin
pelaku yang dianggap tidak begitu jahat, meskipun ukuran ini tidak dinyatakan
secara eksplisit. Menurut Barda Nawawi Arief, batasan ancaman pidana tersebut
dapat mengindikasikan niat untuk memberikan pertimbangan yang lebih rasional
terhadap pelanggaran yang kurang serius.15
Dalam Pasal 80 ayat (2) RUU KUHP, ditetapkan bahwa jangka waktu
pengawasan pidana pengawasan memiliki batas maksimum 3 (tiga) tahun.
Apabila terpidana melakukan pelanggaran hukum selama masa pengawasan, Balai
Pemasyarakatan Kemenkumham berhak mengajukan usulan kepada hakim
pengawas untuk memperpanjang masa pengawasan, dengan ketentuan bahwa
perpanjangan tersebut tidak boleh melebihi dua kali masa pengawasan yang
belum dijalani. Sebaliknya, jika terpidana menunjukkan perilaku baik selama
masa pengawasan, Balai Pemasyarakatan Kemenkumham berhak mengajukan
usulan kepada hakim pengawas untuk memperpendek masa pengawasan. Meski
demikian, hakim pengawas tidak dapat mengubah penetapan jangka waktu
pengawasan tanpa mendengar pendapat para pihak terlebih dahulu. 16 Sementara
itu, RUU tidak mengatur lebih lanjut bagaimana prosedur pengajuan usul
memperpendek masa pengawasan dan siapa saja yang perlu didengar oleh hakim
pengawas untuk sampai pada keputusan menyetujui usul Balai Pemasyarakatan
tersebut.
Menurut Muladi, pidana bersyarat dan bentuk-bentuk alternatif pidana
perampasan kemerdekaan lain yang hampir sama, seperti probation, memiliki
beberapa keuntungan. Pertama, memberikan kesempatan kepada terpidana untuk
memperbaiki dirinya di masyarakat. Kedua, lebih mengutamakan keamanan
masyarakat daripada risiko yang mungkin ditimbulkan jika terpidana langsung
dilepaskan ke masyarakat. Ketiga, memungkinkan terpidana untuk melanjutkan
kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia, sesuai dengan nilai-nilai yang

14
Saputra, S. N. E., & Isnawati, M. (2022). Overcrowding Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Dalam
System Pemidanaan Di Indonesia. Pagaruyuang Law Journal, 52-70.
15
Utomo, D. S. B., & Novianto, W. T. PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT BAGI KORUPTOR DALAM
PERSPEKTIF UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Jurnal Hukum
dan Pembangunan Ekonomi, 5(2). Hal. 8
16
Irmawanti, N. D., & Arief, B. N. (2021). Urgensi tujuan dan pedoman pemidanaan dalam rangka
pembaharuan sistem pemidanaan hukum pidana. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 3(2),
217-227.

7
berlaku di masyarakat. Keempat, dapat mencegah terjadinya stigma yang biasanya
terkait dengan pidana perampasan kemerdekaan.
Penutup
A. Kesimpulan
Pelaksanaan pidana bersyarat oleh hakim masih terbatas, dan jumlah
penjatuhan pidana bersyarat oleh hakim relatif sedikit. Faktor-faktor yuridis dan
non-yuridis, termasuk batasan ancaman pidana penjara dan pertimbangan praktis,
mempengaruhi keputusan hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat. Pidana
bersyarat dalam KUHP dianggap kurang efektif sebagai alternatif pidana penjara,
sehingga diusulkan untuk digantikan oleh pidana pengawasan dalam RUU KUHP.
Pidana pengawasan menjadi opsi alternatif untuk pidana penjara jangka pendek,
menggantikan peran pidana bersyarat, dengan batasan hingga 7 tahun penjara.
Pidana pengawasan mengubah orientasi pemidanaan dari pembalasan menjadi
perlindungan individu pelaku tindak pidana, namun perlu memperhatikan
kepentingan korban. Kesimpulan ini mencerminkan perlunya pembaruan dalam
sistem pidana untuk mencapai efektivitas dan keadilan yang lebih baik.
B. Saran
Guna meningkatkan efektivitas sistem pemidanaan di Indonesia,
diperlukan optimalisasi pidana pengawasan sebagai alternatif efektif, reformasi
pidana bersyarat dengan memberikan lebih banyak fleksibilitas kepada hakim,
peningkatan peran hakim wasmat, penyusunan pedoman komprehensif,
peningkatan pendidikan hukum, fasilitasi partisipasi korban, evaluasi rutin
implementasi pidana bersyarat, dan perbaikan infrastruktur Lapas. Dengan
langkah-langkah ini, diharapkan sistem pemidanaan Indonesia dapat berkembang
menjadi lebih adil dan sesuai dengan nilai-nilai keadilan serta kemanusiaan.

8
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Achmad. 2018. Menguak Tabir Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia
Muladi. 2013. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: PT Alumni
Nawawi Arief, Barda. 2016. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta:
Sinar Grafika
Andi Hamzah, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Husin, dkk. 2016. Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Cet.1. Jakarta: Sinar
Grafika.
Artikel
Barlian, A. E. A., & Arief, B. N. (2017). Formulasi Ide Permaafan Hakim
(RECHTERLIJK PARDON) dalam Pembaharuan Sistem Pemidanaan di
Indonesia. Law Reform, 13(1), 28-44.
Irmawanti, N. D., & Arief, B. N. (2021). Urgensi tujuan dan pedoman
pemidanaan dalam rangka pembaharuan sistem pemidanaan hukum
pidana. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 3(2), 217-227.
Lepa, V. P. (2014). Pidana Pengawasan Dalam Sistem Pemidanaan Di
Indonesia. Lex Administratum, 2(3).
Mulyadi, L., & SH, M. (2016). Pergeseran perspektif dan praktik dari mahkamah
agung republik indonesia mengenai putusan pemidanaan. Majalah Varia
Peradilan, 6, 1-17.
Rumadan, I. (2013). Problem Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia Dan
Reorientasi Tujuan Pemidanaan. Jurnal Hukum dan Peradilan, 2(2), 263-
276.
Saputra, S. N. E., & Isnawati, M. (2022). Overcrowding Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) Dalam System Pemidanaan Di
Indonesia. Pagaruyuang Law Journal, 52-70.
Sapto Handoyo. (2018). Pelaksanaan pidana bersyarat dalam sistem pemidanaan
di Indonesia. PALAR (Pakuan Law review), 4(1).
Sonda Tallesang, Ismail Navianto, Abdul Madjid, “Dasar Pertimbangan Hakim
dalam Penjatuhan Putusan Pidana Bersyarat sebagai Alternatif Pidana
Penjara (Studi di Pengadilan Negeri Malang)”, Jurnal Mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, April 2014.
Utomo, D. S. B., & Novianto, W. T. Penjatuhan Pidana Bersyarat Bagi Koruptor
Dalam Perspektif Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di
Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi, 5(2).
Victory Prawira Yan Lepa, “Pidana Pengawasan dalam Sistem Pemidanaan di
Indonesia”, Artikel Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi,
Manado, Sulawesi Utara, Lex Administratum, Vol. II/No. 3/Jul-Okt/2014,
hal. 67.
Zulfa, E. A. (2018). Menakar Kembali Keberadaan Pidana Mati (Suatu Pergeseran
Paradigma Pemidanaan Di Indonesia). Lex Jurnalica, 4(2), 93-100.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 20 tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (Berita RI No
II)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (LN No.76
Tahun 1981. TLN No. 3209)
Undang-Undang tentang Pemasyarakatan. Undang-Undang Nomor 12, LN No.77
Tahun 1995. TLN No. 3614.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, (LN No.69 Tahun 1999.
TLN No. 3846)

Anda mungkin juga menyukai