Dosen Pengampu :
Disusun Oleh:
UNIVERSITAS JEMBER
2021
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah
ini bisa selesai pada waktunya. Tugas makalah ini merupakan salah satu tugas di
bidang mata kuliah Hukum Penitensier. Dengan terselesaikannya tugas makalah
saya ini, maka saya berharap telah memenuhi tugas Hukum Penitensier dan
mendapatkan nilai yang baik, serta bermanfaat. Terima kasih juga saya ucapkan
kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-idenya
sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata” sempurna”.
Namun oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Agar penulisan makalah di
masa mendatang bisa menjadi lebih baik.
Saya berharap semoga makalah ini dapat memberi informasi yang berguna
bagi pembacanya, terutama mahasiswa, supaya kelak menjadi pribadi yang
berwawasan luas dalam jenis pidana pada RUUKUHP terbaru. Namun terlepas dari
itu, saya memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
saya sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
ii
DAFTAR ISI
COVER i
KATA PENGANTAR ii
BAB I Pendahuluan
BAB II Pembahasan
2.1 Perbedaan antara jenis pidana pada KUHP saat ini dengan RUU KUHP
Terbaru 4
2.2 Kelanjutan pidana mati sebagai pidana pokok dalam RUU KUHP
Terbaru 6
DAFTAR PUSTAKA 17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Mokhammad Najih, 2014, Politik Hukum Pidana; Konsepsi Pembaharuan Hukum Pidana dalam
Cita Negara Hukum, cetakan pertama, Setara Press, Malang, h. 42.
2
tersebut belum dapat terwujud, walaupun proses pembaharuannya telah
berjalan sudah sangat lama namun belum disahkan hingga saat ini. Jika
dikaji, naskah RUU KUHP memiliki sejarah riwayat yang sangat panjang.
Barda Nawawi Arief dalam Makalahnya yang berjudul “RUU Baru Sebuah
Restrukturisasi/Rekonstruksi/Reformasi Sistem Hukum Pidana Indonesia”
yang disampaikan pada Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi di
Surabaya 9-11 Maret 2015 menguraikan riwayat singkat perkembangan
RUU KUHP. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa, embrio RUU KUHP
ini sudah berumur sekitar 51 tahun, sejak tahun 1964 (konsep 1) sampai
konsep 2014/2015.2 Oleh karena itu, penulisan kali ini akan membahas lebih
lanjut terkait jenis pidana dalam RUU KUHP terbaru.
2
Barda Nawawi Arief I, 2015, RUU Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi/Reformasi Sistem
Hukum Pidana Indonesia, Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi, Mahupiki dan Fakultas
Hukum Pelita Harapan Surabaya, Surabaya, h. 2
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perbedaan antara jenis pidana pada KUHP saat ini dengan RUU KUHP
terbaru
3
C. Djisman Samosir, Penologi dan Pemasyarakatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2016, hlm. 20.
4
Ibid.
5
J. Remmelink, Pengantar Hukum Pidana Material 3 Hukum Penitensier, terjemahan dari
Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht, Alih Bahasa, Tristam P. Moeliono,
Maharsa, Yogyakarta, 2017, hlm. 4.
6
H. C. Fragoso, The ‘Dual-Track’ System of Sanctions in Continental Criminal Law, International
Journal of Offender Therapy and Comparative Criminology, Volume 12, Issue 1, January 1968,
hlm. 37
4
pokok dan sanksi pidana tambahan. Sedangkan tindakan belum diatur secara
eksplisit di dalam KUHP dan hanya tampak sebagai tindakan dalam hal
Hakim berwenang memerintahkan untuk:
Hal ini cukup berbeda dengan penggunaan jenis sanksi pidana KUHP
di atas yang belum mengenal kelima hal penting tersebut untuk diperhatikan
karena tidak diatur di dalam KUHP. Tujuan pemidanaan merupakan salah
satu aspek penting yang menjadi dasar analisis pengaturan sanksi pidana
pokok dalam kedua aturan tersebut.
5
2.2 Kelanjutan pidana mati sebagai pidana pokok dalam RUU KUHP terbaru
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu
diancamkan secara alternatif Dengan adanya pengaturan pidana mati di dalam
Pasal 63, maka para penyusun RKUHP Nasional (istilah yang dipergunakan
oleh Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A.) masih berpegang prinsip bahwa
hingga sekarang atau minimal hingga RKUHP Nasional produk 2004, pidana
mati masih diperlukan sebagai bagian dari sanksi pidana yang dapat dijatuhkan
oleh hakim. Dari prinsip bahwa pidana mati masih diperlukan sebagai bagian
dari sanksi pidana, maka kalau kita tarik ke arah persoalan pihak yang pro dan
kontra terhadap pidana mati, maka para penyusun RKUHP Nasional ada pada
pihak yang pro terhadap pidana mati, tetapi dengan syarat. Pertama, perlu
diingat bahwa penundaan pelaksanaan pidana mati dengan masa percobaan
selama 10 tahun tersebut sifatnya adalah “dapat”. Penggunaan kata “dapat”
mempunyai arti yang tidak pasti. Dapat berarti “ya” atau “tidak”, sangat
tergantung pada ukuran yang juga sangat tidak objektif dan sangat sulit untuk
mencari ukurannya, yaitu: 1. reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu
besar; 2. terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk
diperbaiki; 3. kedudukan terpidana dalam penyertaan pidana tidak terlalu
penting; dan 4. ada alasan yang meringankan. Kedua, ukuran: 1. reaksi
masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; 2. terpidana menunjukkan
rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; 3. kedudukan terpidana dalam
penyertaan pidana tidak terlalu penting; dan 4. ada alasan yang meringankan.
bersifat kumulatif ataukah alternatif. Dengan menengarai adanya kata “dan”
pada nomor 3, nampaknya perancang RKUHP Nasional menghendaki adanya
sifat kumulatif. Maka dapat dikatakan sangat selektif sekali dalam pengaturan,
pelaksana dan mungkin menjadi sangat sulit seseorang untuk dapat
memenuhinya, atau dengan kata lain sebetulnya RKUHP berprinsip sekali
pidana mati dijatuhkan maka tidak akan terjadi perubahan. Ketiga, bilamana
evaluasi akan dilaksanakan? Apakah sudah dimulai pada saat pelaku tindak
6
pidana ditahan, ataukah setelah ia menjalani pidana? Bukankah proses
“pembinaan” dilaksanakan selama statusnya sebagai “narapidana”?
Pidana mati di dalam KUHP dikenal sebagai jenis sanksi pidana pokok
dengan urutan pertama (urutan ini bermakna susunan berdasarkan berat
ringannya sanksi pidana), sedangkan pengaturan pidana mati di dalam
RKUHP September 2019 bukan lagi sebagai jenis pidana pokok
melainkan diatur sebagai pidana yang bersifat khusus untuk tindak
pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. Pengaturan
demikian di Pasal 98 RKUHP dinyatakan bahwa pidana ini sebagai
upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Tujuan pemidanaan yang
diatur dalam Pasal 51-52 RKUHP September 2019 menunjukkan bahwa
Indonesia di masa mendatang akan menggunakan teori utilitarian (teori
kegunaan atau teori relatif) yang bertujuan bahwa pelaksanaan sanksi
pidana bukan untuk merendahkan martabat manusia dan berorientasi
7
C. Djisman Samosir, Op. Cit., hlm 21.
8
J. E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 67.
7
pada pencegahan terjadinya tindak pidana, pemasyarakatan pelaku
tindak pidana, pemulihan keseimbangan di masyarakat, serta penjeraan
bagi pelakunya. Berlandaskan pada tujuan pemidanaan tersebut, maka
pidana mati memang tidak sejalan dengan tujuan tersebut karena
pelaksanaan pidana mati lebih berorientasi pada pembalasan atas tindak
pidananya di masa lampau sehingga tidak ada individualisasi pidana
bagi Terpidana tersebut. Mengingat pula bahwa Indonesia adalah negara
berdasarkan pada Pancasila, maka pemberian sanksi pidana mati
sesungguhnya bertentangan dengan Sila Kedua Pancasila. Pelanggaran
Sila Kedua karena manusia sebagai pelaku tindak pidana juga harus
diperlakukan sebagaimana keluhuran harkat dan martabatnya, pidana
mati dengan cara ditembak sampai meninggal bukanlah sanksi yang
tepat untuk memenuhi keluhuran tersebut.9
9
C. Djisman Samosir, Op. Cit., hlm 22.
8
hal penting yang perlu dipahami lebih lanjut dari tabel pidana penjara di
atas dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan di RKUHP September
2019 sebagai berikut:
10
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara,Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 176.
9
RKUHP dan UU Pemasyarakatan secara bersamaan, maka akan
menimbulkan kebingungan bagi masyarakat (keduanya saling
melengkapi/ salah satunya menjadi tidak berlaku/ bagaimana).
10
tahun 2019 belum dilaksanakan secara maksimal). Akan tetapi, pidana
kurungan telah dihapuskan di dalam RKUHP September 2019.
Pidana denda di dalam KUHP dikenal sebagai jenis sanksi pidana pokok
dengan urutan ketiga, sedangkan pengaturan pidana denda di dalam
RKUHP September 2019 diatur sebagai pidana pokok dengan urutan
keempat. Berlandaskan pada tujuan pemidanaan Pasal 51-52 RKUHP
September 2019, maka pidana denda adalah jenis sanksi pidana pokok
yang dapat memenuhinya. Selanjutnya, terdapat beberapa hal penting
yang perlu dipahami lebih lanjut dari tabel pidana denda di atas dalam
kaitannya dengan tujuan pemidanaan di RKUHP September 2019
sebagai berikut:
11
atas dasar nominal mata uang Rupiah yang mulai menguat dan tidak
sama seperti zaman penjajahan dahulu. Telah diatur pula
penyesuaiannya di masa mendatang yang dilakukan melalui Peraturan
Pemerintah. Hal ini lebih memudahkan dibandingkan dengan perubahan
yang berkembang melalui Undang-Undang Nomor 18 Prp 1960 dan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012.
11
Suhariyono A. R., Jurnal Perspektif, Volume XVII Nomor 1 Tahun 2012, Edisi Januari, hlm. 21-22.
12
Sanksi pidana ini baru dikenal setelah masa kemerdekaan Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman
Tutupan juncto Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1948 tentang
Rumah Tutupan. Sanksi ini bersifat istimewa karena memberikan
kesempatan kedua bagi pelaku agar menjadi lebih baik secara pribadi
dan di kemudian hari bagi masyarakat sekitar (prevensi khusus) serta
diharapkan tercapainya pula prevensi umum.
Pidana tutupan yang dikenal di luar KUHP sebagai jenis sanksi pidana
pokok yang dianggap sebagai pidana pokok dengan urutan kelima,
sedangkan pengaturan pidana tutupan di dalam RKUHP September
2019 diatur sebagai pidana pokok dengan urutan kedua.
Sanksi pidana pokok lain yang belum dikaji ialah pidana pengawasan
dan pidana kerja sosial. Kedua sanksi pidana tersebut merupakan
alternatif dari pidana penjara. Pidana pengawasan (probation) menurut
Muladi ialah “suatu sistem yang berusaha untuk mengadakan
rehabilitasi terhadap seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana,
dengan cara mengembalikannya ke masyarakat selama suatu periode
pengawasan”.12 Sedangkan definisi pidana kerja sosial (community
service order) ialah sanksi berupa kerja sosial yang ditentukan oleh
pihak berwenang agar pelaku tindak pidana mampu memperbaiki diri
mereka agar bermanfaat bagi masyarakat sekitar.13
Selain analisis mengenai beragam sanksi pidana pokok di atas, ketentuan dalam
Pasal 57 RKUHP September 2019 yang penting diperhatikan dalam penggunaan
sanksi pidana pokok di masa mendatang ialah “Dalam hal Tindak Pidana diancam
dengan pidana pokok secara alternatif, penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan
12
I Made Ardian Prima Putra, Jurnal Kertha Wicara, Volume 6 Nomor 4, Oktober 2017, hlm. 3.
13
Gatot Sugiharto, Jurnal Novelty, Volume 7 Nomor 1, Februari 2016, hlm. 90.
13
harus lebih diutamakan jika hal itu dipertimbangkan telah sesuai dan dapat
menunjang tercapainya tujuan pemidanaan.” dengan bagian Penjelasan dari pasal
tersebut yang mengatur bahwa “Meskipun hakim mempunyai pilihan dalam
menghadapi rumusan pidana yang bersifat alternatif, namun dalam melakukan
pilihan tersebut hakim senantiasa berorientasi pada tujuan pemidanaan, dengan
mendahulukan atau mengutamakan jenis pidana yang lebih ringan jika hal tersebut
telah memenuhi tujuan pemidanaan.” Hal ini penting agar prinsip ultimum
remedium tetap terlaksana karena sanksi pidana bukanlah obat untuk semua kasus
tindak pidana, sehingga jika masih bisa dimungkinkan menggunakan sanksi lebih
ringan mengapa harus memberikan yang berat atau bahkan yang terberat.
14
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis atas sejumlah sanksi pidana pokok di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa dalam KUHP maupun RKUHP September 2019 memiliki
persamaan dan perbedaan satu sama lain. Setelah melihat pengaturan secara
normatif, doktrin relevan, dan melihat beberapa fenomena yang terjadi hingga
tahun 2019, maka perumusan sanksi pidana pokok di dalam RKUHP September
2019 yakni:
15
permasalahan ketika diterapkan oleh Jaksa di Indonesia. Jadi penentuan pidana
denda yang sejalan dengan tujuan pemidanaan dan yang memperhitungkan
prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle) penting untuk dicermati
kembali.
− Pidana tutupan sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan pada
Pasal 51- 52 RKUHP September 2019, namun banyak poin penting untuk
dipikirkan kembali mengenai fungsi hingga teknis pelaksanaan dari pidana
tutupan dalam tujuan pemidanaan di masa mendatang. Jadi penentuan pidana
tutupan yang sejalan dengan tujuan pemidanaan, yang memperhatikan kapasitas
atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum (yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas/ overbelasting), dan yang
memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle)”
penting untuk dicermati kembali.
− Pidana pengawasan dan pidana kerja sosial diatur sebagai alternatif dari pidana
penjara di bawah 5 tahun, sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan
pada Pasal 51-52 RKUHP September 2019. Akan tetapi, perlu dimatangkan
perumusan hingga pelaksanaan (seperti sistem, lembaga, atau hal penting lain
yang diperlukan) dari kedua pidana tersebut yang memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum (yaitu jangan sampai
ada kelampauan beban tugas/ overbelasting) dan yang memperhitungkan
prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle). Hal ini penting agar kedua
sanksi pidana pokok yang baru tersebut dapat diterapkan dan tidak hanya
tercantum dalam pasal hukum positif di masa mendatang saja.
− Pentingnya memahami ketentuan Pasal 57 RKUHP September 2019 yang
relevan dengan prinsip ultimum remedium. Hal ini penting bagi perumus dan
pelaksana RKUHP September 2019 karena sanksi pidana bukanlah obat untuk
semua kasus tindak pidana, sehingga jika masih bisa dimungkinkan
menggunakan sanksi lebih ringan mengapa harus memberikan yang berat atau
bahkan yang terberat.
16
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Jurnal
Galih Puji Mulyono dan Barda Nawawi Arief, Jurnal Law Reform, Volume 12
Nomor 1 Tahun 2016.
17
Hwian Christianto, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 1, April 2009.
I Made Ardian Prima Putra, Jurnal Kertha Wicara, Volume 6 Nomor 4, Oktober
2017. Mukhlis R. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47 Nomor 2, April
2018.
Suhariyono A. R., Jurnal Perspektif, Volume XVII Nomor 1 Tahun 2012, Edisi
Januari.
18