Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MATA KULIAH HUKUM PENITENSIER

“Makalah Jenis Pidana pada RUU KUHP Terbaru”

Dosen Pengampu :

Dr. Fanny Tanuwijaya, S.H., M.Hum.

Disusun Oleh:

Carmelie Clara Martin 190710101446

UNIVERSITAS JEMBER

2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah
ini bisa selesai pada waktunya. Tugas makalah ini merupakan salah satu tugas di
bidang mata kuliah Hukum Penitensier. Dengan terselesaikannya tugas makalah
saya ini, maka saya berharap telah memenuhi tugas Hukum Penitensier dan
mendapatkan nilai yang baik, serta bermanfaat. Terima kasih juga saya ucapkan
kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-idenya
sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata” sempurna”.
Namun oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Agar penulisan makalah di
masa mendatang bisa menjadi lebih baik.

Saya berharap semoga makalah ini dapat memberi informasi yang berguna
bagi pembacanya, terutama mahasiswa, supaya kelak menjadi pribadi yang
berwawasan luas dalam jenis pidana pada RUUKUHP terbaru. Namun terlepas dari
itu, saya memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
saya sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

ii
DAFTAR ISI

COVER i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah 2

1.2 Rumusan Masalah 3

1.3 Tujuan Penulisan 3

BAB II Pembahasan

2.1 Perbedaan antara jenis pidana pada KUHP saat ini dengan RUU KUHP

Terbaru 4

2.2 Kelanjutan pidana mati sebagai pidana pokok dalam RUU KUHP

Terbaru 6

2.3 Pengaturan tiap pidana dalam RUU KUHP 7

BAB III Kesimpulan 15

DAFTAR PUSTAKA 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Dari segi historisnya, Mokhammad Najih menyatakan bahwa Bangsa
Indonesia sejak kemerdekaannya pada pada tanggal 17 Agustus 1945 telah
memilih untuk menggunakan undang-undang hukum pidana yang pernah
diberlakukan pada masa kolonial, sebagaimana dikukuhkan dalam UU No.
1/1946 yang mengukuhkan W.v.S menjadi KUHP induk dari segala hukum
1
pidana. Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi, dan arus
globalisasi mengharuskan hukum pidana juga berkembang mengikuti
perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat. Perkembangan ini
juga berdampak terhadap bervariasinya dan berkembangnya tindak pidana
dari masa ke masa. Dalam penegakan hukum, hal ini juga harus diimbangi
dengan produk hukum yang progresif dan responsif. Mengingat bahwa
hukum tidaklah statis, demikian pula masyarakat yang terus berkembang
dan dinamis. Oleh sebab itu, hukum haruslah dinamis dengan melakukan
perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan zaman dan dinamika
kehidupan masyarakat. Mengacu pada KUHP, KUHP yang berlaku saat ini
tentu juga perlu diperbaharui.
Memiliki KUHP nasional atau Hukum Pidana Indonesia dalam sistem
hukum nasional tentu merupakan harapan besar bagi bangsa Indonesia.
Dapat dikatakan bahwa, sejak kemerdekaan hingga sampai saat ini
keinginan mewujudkan sistem hukum nasional merupakan agenda utama
dalam pembanguan hukum nasional. Politik hukum pidana dalam hal ini
tentu memiliki andil dalam setiap proses pembaharuan hukum pidana
Indonesia. Sangat besar harapan bangsa Indonesia untuk memiliki KUHP
Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai, pandangan, konsep, ide, gagasan,
cita-cita, dan ideologi bangsa Indonesia. Namun, senyatanya hingga kini hal

1
Mokhammad Najih, 2014, Politik Hukum Pidana; Konsepsi Pembaharuan Hukum Pidana dalam
Cita Negara Hukum, cetakan pertama, Setara Press, Malang, h. 42.

2
tersebut belum dapat terwujud, walaupun proses pembaharuannya telah
berjalan sudah sangat lama namun belum disahkan hingga saat ini. Jika
dikaji, naskah RUU KUHP memiliki sejarah riwayat yang sangat panjang.
Barda Nawawi Arief dalam Makalahnya yang berjudul “RUU Baru Sebuah
Restrukturisasi/Rekonstruksi/Reformasi Sistem Hukum Pidana Indonesia”
yang disampaikan pada Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi di
Surabaya 9-11 Maret 2015 menguraikan riwayat singkat perkembangan
RUU KUHP. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa, embrio RUU KUHP
ini sudah berumur sekitar 51 tahun, sejak tahun 1964 (konsep 1) sampai
konsep 2014/2015.2 Oleh karena itu, penulisan kali ini akan membahas lebih
lanjut terkait jenis pidana dalam RUU KUHP terbaru.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa perbedaan antara jenis pidana pada KUHP saat ini dengan RUU
KUHP terbaru?
1.2.2 Bagaimana kelanjutan pidana mati sebagai pidana pokok dalam
RUU KUHP terbaru?
1.2.3 Bagaimana pengaturan tiap pidana dalam RUU KUHP?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Agar pembaca mengetahui perbedaan antara jenis pidana pada
KUHP saat ini dengan RUU KUHP terbaru
1.3.2 Agar pembaca mengetahui kelanjutan pidana mati sebagai pidana
pokok dalam RUU KUHP terbaru
1.3.3 Agar pembaca mengetahui pengaturan tiap pidana dalam RUU
KUHP

2
Barda Nawawi Arief I, 2015, RUU Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi/Reformasi Sistem
Hukum Pidana Indonesia, Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi, Mahupiki dan Fakultas
Hukum Pelita Harapan Surabaya, Surabaya, h. 2

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perbedaan antara jenis pidana pada KUHP saat ini dengan RUU KUHP
terbaru

Suatu putusan pemidanaan yang diberikan oleh Hakim dalam perkara


pidana akan memberikan Terdakwa sanksi pidana (straffen) berupa sanksi
pidana pokok yang dapat disertai dengan sanksi pidana tambahan (ataupun
dengan tindakan/ maatregelen). Sanksi pidana pokok adalah hukuman dalam
hukum pidana yang tidak dapat digabung di antara sejenisnya (terkecuali
diatur secara khusus dalam aturan pidana relevan) serta bersifat mandiri
(dapat dijatuhkan tanpa ada sanksi pidana tambahan).3 Sedangkan sanksi
pidanatambahan ialah hukuman dalam hukum pidana yang bersifat fakultatif
(dapat diberikan atau tidak diberikan oleh Hakim) serta tidak dapat berdiri
sendiri dalam penjatuhannya karena harus diberikan dengan adanya snaksi
pidana pokok.4 Tindakan merupakan suatu perlakuan yang diberikan kepada
pelaku tindak pidana melalui vonis Hakim serta berfungsi sebagai prevensi
khusus.5 Pemberian sanksi pidana dengan tindakan dalam suatu putusan
pemidanaan dikenal pula sebagai double track system, di mana sistem ini
berkembang sebagai solusi atas perbedaan di antara pandangan aliran klasik
yang berlandaskan pada keadilan retributif dan pandangan aliran modern yang
berlandaskan pada perlindungan bagi masyarakat (Carl Stoos sebagai pelopor
awal sistem ini untuk KUHP Swiss).6

Selanjutnya, lex generalis mengenai sanksi pidana di Indonesia diatur


di dalam KUHP. Pada ketentuan Pasal 10 KUHP telah diatur sanksi pidana

3
C. Djisman Samosir, Penologi dan Pemasyarakatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2016, hlm. 20.
4
Ibid.
5
J. Remmelink, Pengantar Hukum Pidana Material 3 Hukum Penitensier, terjemahan dari
Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht, Alih Bahasa, Tristam P. Moeliono,
Maharsa, Yogyakarta, 2017, hlm. 4.
6
H. C. Fragoso, The ‘Dual-Track’ System of Sanctions in Continental Criminal Law, International
Journal of Offender Therapy and Comparative Criminology, Volume 12, Issue 1, January 1968,
hlm. 37

4
pokok dan sanksi pidana tambahan. Sedangkan tindakan belum diatur secara
eksplisit di dalam KUHP dan hanya tampak sebagai tindakan dalam hal
Hakim berwenang memerintahkan untuk:

1) seseorang dimasukkan ke rumah sakit jiwa yang diatur dalam Pasal 44


KUHP;
2) anak yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya/ walinya/
pemeliharanya/ pemerintah tanpa pidana apapun yang diatur di dalam
Pasal 45-46 KUHP (yang telah diatur lex specialis dalam Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak).
Lalu di dalam Pasal 64 RKUHP September 2019 diatur bahwa jenis sanksi
pidana berkembang menjadi tiga macam yakni “a. pidana pokok; b pidana
tambahan; dan c. pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu
yang ditentukan dalam Undang-Undang”. Selain itu, tindakan di dalam
RKUHP September 2019 juga telah diatur secara menyeluruh bagi subjek
hukum manusia (termasuk anak) dan korporasi di dalam ketentuan Pasal 103
hingga Pasal 131.
Kesemua sanksi pidana maupun tindakan RKUHP September 2019 di
atas, untuk pemberiannya kepada pelaku harus memperhatikan ketentuan:

1) tujuan pemidanaan (Pasal 51-Pasal 52);

2) pedoman pemidanaan (Pasal 53-Pasal 56);

3) pedoman penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan


perumusan alternatif (Pasal 57);
4) pemberatan pidana (Pasal 58-Pasal 59);

5) ketentuan lain tentang pemidanaan (Pasal 60-Pasal 63).

Hal ini cukup berbeda dengan penggunaan jenis sanksi pidana KUHP
di atas yang belum mengenal kelima hal penting tersebut untuk diperhatikan
karena tidak diatur di dalam KUHP. Tujuan pemidanaan merupakan salah
satu aspek penting yang menjadi dasar analisis pengaturan sanksi pidana
pokok dalam kedua aturan tersebut.

5
2.2 Kelanjutan pidana mati sebagai pidana pokok dalam RUU KUHP terbaru

Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu
diancamkan secara alternatif Dengan adanya pengaturan pidana mati di dalam
Pasal 63, maka para penyusun RKUHP Nasional (istilah yang dipergunakan
oleh Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A.) masih berpegang prinsip bahwa
hingga sekarang atau minimal hingga RKUHP Nasional produk 2004, pidana
mati masih diperlukan sebagai bagian dari sanksi pidana yang dapat dijatuhkan
oleh hakim. Dari prinsip bahwa pidana mati masih diperlukan sebagai bagian
dari sanksi pidana, maka kalau kita tarik ke arah persoalan pihak yang pro dan
kontra terhadap pidana mati, maka para penyusun RKUHP Nasional ada pada
pihak yang pro terhadap pidana mati, tetapi dengan syarat. Pertama, perlu
diingat bahwa penundaan pelaksanaan pidana mati dengan masa percobaan
selama 10 tahun tersebut sifatnya adalah “dapat”. Penggunaan kata “dapat”
mempunyai arti yang tidak pasti. Dapat berarti “ya” atau “tidak”, sangat
tergantung pada ukuran yang juga sangat tidak objektif dan sangat sulit untuk
mencari ukurannya, yaitu: 1. reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu
besar; 2. terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk
diperbaiki; 3. kedudukan terpidana dalam penyertaan pidana tidak terlalu
penting; dan 4. ada alasan yang meringankan. Kedua, ukuran: 1. reaksi
masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; 2. terpidana menunjukkan
rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; 3. kedudukan terpidana dalam
penyertaan pidana tidak terlalu penting; dan 4. ada alasan yang meringankan.
bersifat kumulatif ataukah alternatif. Dengan menengarai adanya kata “dan”
pada nomor 3, nampaknya perancang RKUHP Nasional menghendaki adanya
sifat kumulatif. Maka dapat dikatakan sangat selektif sekali dalam pengaturan,
pelaksana dan mungkin menjadi sangat sulit seseorang untuk dapat
memenuhinya, atau dengan kata lain sebetulnya RKUHP berprinsip sekali
pidana mati dijatuhkan maka tidak akan terjadi perubahan. Ketiga, bilamana
evaluasi akan dilaksanakan? Apakah sudah dimulai pada saat pelaku tindak

6
pidana ditahan, ataukah setelah ia menjalani pidana? Bukankah proses
“pembinaan” dilaksanakan selama statusnya sebagai “narapidana”?

2.3 Pengaturan tiap pidana dalam RUU KUHP

2.3.1 Pidana Mati

Pidana mati adalah sanksi yang dilakukan dengan suatu pilihan


perbuatan mematikan (oleh negara) kepada pelaku tindak pidana yang
telah diputus bersalah atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap. Sanksi pidana ini telah dikenal sejak zaman kerajaan di Indonesia,
sebelum masa penjajahan.7 Sanksi ini juga bersifat khas dikarenakan
setelah eksekusinya dilaksanakan, maka Terpidana yang sudah
kehilangan nyawa tersebut tidak dapat hidup kembali (apabila ternyata
muncul kekeliruan atas perkara yang bersangkutan).8 Hal inilah yang
merupakan salah satu alasan banyak pihak menolak (kontra) sanksi
pidana mati.

Pidana mati di dalam KUHP dikenal sebagai jenis sanksi pidana pokok
dengan urutan pertama (urutan ini bermakna susunan berdasarkan berat
ringannya sanksi pidana), sedangkan pengaturan pidana mati di dalam
RKUHP September 2019 bukan lagi sebagai jenis pidana pokok
melainkan diatur sebagai pidana yang bersifat khusus untuk tindak
pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. Pengaturan
demikian di Pasal 98 RKUHP dinyatakan bahwa pidana ini sebagai
upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Tujuan pemidanaan yang
diatur dalam Pasal 51-52 RKUHP September 2019 menunjukkan bahwa
Indonesia di masa mendatang akan menggunakan teori utilitarian (teori
kegunaan atau teori relatif) yang bertujuan bahwa pelaksanaan sanksi
pidana bukan untuk merendahkan martabat manusia dan berorientasi

7
C. Djisman Samosir, Op. Cit., hlm 21.
8
J. E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 67.

7
pada pencegahan terjadinya tindak pidana, pemasyarakatan pelaku
tindak pidana, pemulihan keseimbangan di masyarakat, serta penjeraan
bagi pelakunya. Berlandaskan pada tujuan pemidanaan tersebut, maka
pidana mati memang tidak sejalan dengan tujuan tersebut karena
pelaksanaan pidana mati lebih berorientasi pada pembalasan atas tindak
pidananya di masa lampau sehingga tidak ada individualisasi pidana
bagi Terpidana tersebut. Mengingat pula bahwa Indonesia adalah negara
berdasarkan pada Pancasila, maka pemberian sanksi pidana mati
sesungguhnya bertentangan dengan Sila Kedua Pancasila. Pelanggaran
Sila Kedua karena manusia sebagai pelaku tindak pidana juga harus
diperlakukan sebagaimana keluhuran harkat dan martabatnya, pidana
mati dengan cara ditembak sampai meninggal bukanlah sanksi yang
tepat untuk memenuhi keluhuran tersebut.9

2.3.2 Pidana Penjara

Pidana penjara merupakan sanksi pembatasan kemerdekaan/ bergerak


yang diberikan kepada Terpidana dan yang bersangkutan telah
didaftarkan ke suatu Lembaga Pemasyarakatan. Sanksi pidana ini baru
dikenal sejak adanya masa penjajahan. Sanksi ini bersifat istimewa
karena memberikan kesempatan kedua bagi pelaku agar menjadi lebih
baik secara pribadi dan di kemudian hari bagi masyarakat sekitar
(prevensi khusus) serta diharapkan tercapainya pula prevensi umum.

Pidana penjara di dalam KUHP dikenal sebagai jenis sanksi pidana


pokok dengan urutan kedua, sedangkan pengaturan pidana penjara di
dalam RKUHP September 2019 diatur sebagai pidana pokok dengan
urutan pertama. Berlandaskan pada tujuan pemidanaan Pasal 51-52
RKUHP September 2019, maka pidana penjara adalah jenis sanksi
pidana pokok yang dapat memenuhinya. Selanjutnya, terdapat beberapa

9
C. Djisman Samosir, Op. Cit., hlm 22.

8
hal penting yang perlu dipahami lebih lanjut dari tabel pidana penjara di
atas dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan di RKUHP September
2019 sebagai berikut:

• Pidana penjara dengan pidana bersyarat di dalam KUHP belum


banyak digunakan secara berkelanjutan di Indonesia. Sejalan dengan itu,
Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa hal itu terjadi karena pidana
penjara dengan pidana bersyarat: 10

a) tidak bersifat mengikat (imperatif);

b) memunculkan ketidakpercayaan Hakim atas pelaksanaannya;

c) memunculkan reaksi di masyarakat sebagai dampak dari


pemberiannya kepada pelaku tindak pidana.

Pidana bersyarat ini dihapuskan di dalam RKUHP September 2019 dan


memunculkan pidana pengawasan (yang akan dibahas pada B.7).

• Pelepasan/ pembebasan bersyarat di KUHP telah diatur lebih lanjut


dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
(UU Pemasyarakatan). Pengaturan di RKUHP September 2019 diatur
juga mengenai pembebasan bersyarat, namun belum menyeluruh
dengan hak-hak Warga Binaan Pemasyarakatan lainnya (misal cuti
mengunjungi keluarga, asimilasi, dan sejenisnya) dan tidak ada
ketentuan yang merujuk pada ketentuan lain di UU Pemasyarakatan
(ataupun tidak menggunakan UU Pemasyarakatan). Oleh karena itu,
perlu ditegaskan bagaimana kedudukan bagi UU Pemasyarakatan
dengan peraturan pelaksana lainnya yang telah ada dalam hukum positif
dengan keberlakuan RKUHP tersebut di masa mendatang. Apabila tidak
ditegaskan dan melihat pada asas legalitas yang memberlakukan

10
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara,Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 176.

9
RKUHP dan UU Pemasyarakatan secara bersamaan, maka akan
menimbulkan kebingungan bagi masyarakat (keduanya saling
melengkapi/ salah satunya menjadi tidak berlaku/ bagaimana).

2.3.3 Pidana Kurungan

Pidana kurungan merupakan sanksi pembatasan kemerdekaan/ bergerak


yang lebih ringan daripada pidana penjara kepada Terpidana dan telah
didaftarkan ke suatu Lembaga Pemasyarakatan yang sewilayah dengan
pengadilan yang memberikan putusan pemidanaan in kracht (dan
sewilayah dengan domisili Terpidana kurungan). Sanksi pidana ini baru
dikenal sejak adanya masa penjajahan. Sanksi ini bersifat istimewa
karena memberikan kesempatan kedua bagi pelaku agar menjadi lebih
baik secara pribadi dan di kemudian hari bagi masyarakat sekitar
(prevensi khusus) serta diharapkan tercapainya pula prevensi umum.

Pidana kurungan di dalam KUHP dikenal sebagai jenis sanksi pidana


pokok dengan urutan ketiga, sedangkan pengaturan pidana kurungan di
dalam RKUHP September 2019 dihapuskan. Pidana kurungan di KUHP
ini jarang digunakan dalam penyelesaian suatu kasus pidana. Kalaupun
pernah ada yang diberikan pidana kurungan, dalam pelaksanaannya
Terpidana kurungan dipersamakan dengan mereka yang menjalani
pidana penjara (minimalnya fasilitas untuk melaksanakan pidana
kurungan sehingga pada prakteknya ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan, dengan sel/ kamar yang sama dengan Terpidana
penjara).29 Hal inilah yang mungkin menjadi alasan pembuat RKUHP
September 2019 menghapuskan pidana kurungan di masa mendatang.

Berlandaskan pada tujuan pemidanaan Pasal 51-52 RKUHP September


2019, maka pidana kurungan adalah jenis sanksi pidana pokok yang
dapat memenuhinya (walau pada prakteknya berdasarkan KUHP hingga

10
tahun 2019 belum dilaksanakan secara maksimal). Akan tetapi, pidana
kurungan telah dihapuskan di dalam RKUHP September 2019.

2.3.4 Pidana Denda

Pidana denda merupakan hukuman berupa wajib membayarkan


sejumlah uang ke kas negara dari Terpidana. Sanksi pidana ini baru
dikenal sejak adanya masa penjajahan. Sanksi ini bersifat istimewa
karena memberikan kesempatan kedua bagi pelaku untuk menjadi lebih
baik serta jika diberikan secara mandiri (tanpa pidana penjara), maka
pelakunya akan terbebas dari stigma masyarakat dan tidak dibatasi
kebebasan bergeraknya.

Pidana denda di dalam KUHP dikenal sebagai jenis sanksi pidana pokok
dengan urutan ketiga, sedangkan pengaturan pidana denda di dalam
RKUHP September 2019 diatur sebagai pidana pokok dengan urutan
keempat. Berlandaskan pada tujuan pemidanaan Pasal 51-52 RKUHP
September 2019, maka pidana denda adalah jenis sanksi pidana pokok
yang dapat memenuhinya. Selanjutnya, terdapat beberapa hal penting
yang perlu dipahami lebih lanjut dari tabel pidana denda di atas dalam
kaitannya dengan tujuan pemidanaan di RKUHP September 2019
sebagai berikut:

• Pidana denda di RKUHP September 2019 telah disusun dengan


kategorisasi. Berdasarkan Penjelasan dalam RKUHP itu, perumusan
sistem ini dengan tujuan agar perumusan pasal-pasal Tindak Pidana di
Buku II dan peraturan perundang-undangan lain di luar RKUHP tersebut
dilakukan dengan menunjuk kategori denda yang sudah dirumuskan di
Buku I dan tidak perlu menyebutkan jumlah pidana denda tertentu.
Perumusan ini harus diapresiasi karena tidak dapat dipungkiri bahwa
pidana denda yang ada KUHP selama ini (setelah Indonesia menjadi
negara berkembang), maka pidana denda tidak lagi sering digunakan

11
atas dasar nominal mata uang Rupiah yang mulai menguat dan tidak
sama seperti zaman penjajahan dahulu. Telah diatur pula
penyesuaiannya di masa mendatang yang dilakukan melalui Peraturan
Pemerintah. Hal ini lebih memudahkan dibandingkan dengan perubahan
yang berkembang melalui Undang-Undang Nomor 18 Prp 1960 dan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012.

• Dimungkinkan adanya pidana denda pengganti berupa pidana


penjara, pidana pengawasan, atau pidana kerja sosial. Beberapa poin
penting dari pengaturan ini yakni baru dapat dilakukan jika pidana
denda yang diberikan tidak melebihi kategori II serta jika penyitaan dan
pelelangan tidak dapat dilakukan. Apabila dilihat di dalam pengaturan
Buku II RKUHP September 2019 tampak jelas banyak pasal tindak
pidana yang diancamkan di atas kategori II. Oleh karena itu, pengaturan
ini bersifat semu dan belum mengakomodir untuk pidana denda kategori
III hingga kategori VIII bagi subjek hukum manusia maupun korporasi.
Adapula jika membahas korporasi sebagai pelaku tindak pidana,
dimungkinkan terjadi tindak pidana dengan nominal kerugian negara
atau masyarakat yang bernilai sangat besar (dimungkinkan diberikan
pidana kategori VIII) dan membutuhkan sarana penyitaan dan
pelelangan yang dimaksudkan. Jadi penentuan pidana denda yang
sejalan dengan tujuan pemidanaan dan yang memperhitungkan prinsip
“biaya dan hasil” (cost and benefit principle)11 penting untuk dicermati
kembali.

2.3.5 Pidana Tutupan

Pidana tutupan merupakan sanksi pembatasan kemerdekaan/ bergerak


(atas tindak pidana dengan didorong maksud yang patut dihormati)
kepada Terpidana yang telah didaftarkan ke suatu Rumah Tutupan.

11
Suhariyono A. R., Jurnal Perspektif, Volume XVII Nomor 1 Tahun 2012, Edisi Januari, hlm. 21-22.

12
Sanksi pidana ini baru dikenal setelah masa kemerdekaan Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman
Tutupan juncto Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1948 tentang
Rumah Tutupan. Sanksi ini bersifat istimewa karena memberikan
kesempatan kedua bagi pelaku agar menjadi lebih baik secara pribadi
dan di kemudian hari bagi masyarakat sekitar (prevensi khusus) serta
diharapkan tercapainya pula prevensi umum.

Pidana tutupan yang dikenal di luar KUHP sebagai jenis sanksi pidana
pokok yang dianggap sebagai pidana pokok dengan urutan kelima,
sedangkan pengaturan pidana tutupan di dalam RKUHP September
2019 diatur sebagai pidana pokok dengan urutan kedua.

2.3.6 Pidana Pengawasan dan Kerja Sosial dalam RUU KUHP

Sanksi pidana pokok lain yang belum dikaji ialah pidana pengawasan
dan pidana kerja sosial. Kedua sanksi pidana tersebut merupakan
alternatif dari pidana penjara. Pidana pengawasan (probation) menurut
Muladi ialah “suatu sistem yang berusaha untuk mengadakan
rehabilitasi terhadap seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana,
dengan cara mengembalikannya ke masyarakat selama suatu periode
pengawasan”.12 Sedangkan definisi pidana kerja sosial (community
service order) ialah sanksi berupa kerja sosial yang ditentukan oleh
pihak berwenang agar pelaku tindak pidana mampu memperbaiki diri
mereka agar bermanfaat bagi masyarakat sekitar.13

Selain analisis mengenai beragam sanksi pidana pokok di atas, ketentuan dalam
Pasal 57 RKUHP September 2019 yang penting diperhatikan dalam penggunaan
sanksi pidana pokok di masa mendatang ialah “Dalam hal Tindak Pidana diancam
dengan pidana pokok secara alternatif, penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan

12
I Made Ardian Prima Putra, Jurnal Kertha Wicara, Volume 6 Nomor 4, Oktober 2017, hlm. 3.
13
Gatot Sugiharto, Jurnal Novelty, Volume 7 Nomor 1, Februari 2016, hlm. 90.

13
harus lebih diutamakan jika hal itu dipertimbangkan telah sesuai dan dapat
menunjang tercapainya tujuan pemidanaan.” dengan bagian Penjelasan dari pasal
tersebut yang mengatur bahwa “Meskipun hakim mempunyai pilihan dalam
menghadapi rumusan pidana yang bersifat alternatif, namun dalam melakukan
pilihan tersebut hakim senantiasa berorientasi pada tujuan pemidanaan, dengan
mendahulukan atau mengutamakan jenis pidana yang lebih ringan jika hal tersebut
telah memenuhi tujuan pemidanaan.” Hal ini penting agar prinsip ultimum
remedium tetap terlaksana karena sanksi pidana bukanlah obat untuk semua kasus
tindak pidana, sehingga jika masih bisa dimungkinkan menggunakan sanksi lebih
ringan mengapa harus memberikan yang berat atau bahkan yang terberat.

14
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis atas sejumlah sanksi pidana pokok di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa dalam KUHP maupun RKUHP September 2019 memiliki
persamaan dan perbedaan satu sama lain. Setelah melihat pengaturan secara
normatif, doktrin relevan, dan melihat beberapa fenomena yang terjadi hingga
tahun 2019, maka perumusan sanksi pidana pokok di dalam RKUHP September
2019 yakni:

− Pidana mati telah ada kepastian mengenai pelaksanaannya, namun secara


konsep pidana ini tidak sejalan dengan Pancasila, tidak sejalan dengan tujuan
pemidanaan yang dirancangkan pada Pasal 51-52 RKUHP September 2019,
banyak ditolak oleh organisasi internasional/ negara-negara, serta tidak ada
individualisasi pidana.
− Pidana penjara sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan pada
Pasal 51-52 RKUHP September 2019, telah ada individualisasi pidana. Oleh
karena itu, perlu dipertimbangkan solusi atas fenomena tersebut dengan
memikirkan lebih cermat dan lebih bijak atas pengaturan mengenai pidana
penjara minimum khusus serta mengenai alternatif sanksi pidana pengganti dari
pidana penjara di atas 5 tahun hingga pidana penjara 20 tahun sebelum nantinya
RKUHP September 2019 menjadi hukum positif di masa mendatang.
− Pidana kurungan sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan pada
Pasal 51- 52 RKUHP September 2019 (walau pada prakteknya berdasarkan
KUHP hingga tahun 2019 belum dilaksanakan secara maksimal). Akan tetapi,
pidana kurungan telah dihapuskan di dalam RKUHP September 2019.
− Pidana denda telah disusun secara baik dalam kategorisasi (kategori I hingga
kategori VIII), sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan pada
Pasal 51-52 RKUHP September 2019, dapat dilakukan dengan cara
mengangsur, telah ada individualisasi pidana. Akan tetapi, muncul konsep
penyitaan dan pelelangan atas pidana denda tidak lunas yang dapat menjadi

15
permasalahan ketika diterapkan oleh Jaksa di Indonesia. Jadi penentuan pidana
denda yang sejalan dengan tujuan pemidanaan dan yang memperhitungkan
prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle) penting untuk dicermati
kembali.
− Pidana tutupan sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan pada
Pasal 51- 52 RKUHP September 2019, namun banyak poin penting untuk
dipikirkan kembali mengenai fungsi hingga teknis pelaksanaan dari pidana
tutupan dalam tujuan pemidanaan di masa mendatang. Jadi penentuan pidana
tutupan yang sejalan dengan tujuan pemidanaan, yang memperhatikan kapasitas
atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum (yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas/ overbelasting), dan yang
memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle)”
penting untuk dicermati kembali.
− Pidana pengawasan dan pidana kerja sosial diatur sebagai alternatif dari pidana
penjara di bawah 5 tahun, sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan
pada Pasal 51-52 RKUHP September 2019. Akan tetapi, perlu dimatangkan
perumusan hingga pelaksanaan (seperti sistem, lembaga, atau hal penting lain
yang diperlukan) dari kedua pidana tersebut yang memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum (yaitu jangan sampai
ada kelampauan beban tugas/ overbelasting) dan yang memperhitungkan
prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle). Hal ini penting agar kedua
sanksi pidana pokok yang baru tersebut dapat diterapkan dan tidak hanya
tercantum dalam pasal hukum positif di masa mendatang saja.
− Pentingnya memahami ketentuan Pasal 57 RKUHP September 2019 yang
relevan dengan prinsip ultimum remedium. Hal ini penting bagi perumus dan
pelaksana RKUHP September 2019 karena sanksi pidana bukanlah obat untuk
semua kasus tindak pidana, sehingga jika masih bisa dimungkinkan
menggunakan sanksi lebih ringan mengapa harus memberikan yang berat atau
bahkan yang terberat.

16
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010.

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan


dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.

C. Djisman Samosir, Penologi dan Pemasyarakatan, Nuansa Aulia, Bandung,


2016.

J. Remmelink, Pengantar Hukum Pidana Material 3 Hukum Penitensier,


terjemahan dari Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht,
Alih Bahasa, Tristam P. Moeliono, Maharsa, Yogyakarta, 2017.

J. E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila, PT Citra Aditya Bakti,


Bandung, 2007.

R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo Persada,


Jakarta, 2005.

Jurnal

Auliah Andika Rukman, Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi, Volume IV


Nomor 1, Mei 2016.

Galih Puji Mulyono dan Barda Nawawi Arief, Jurnal Law Reform, Volume 12
Nomor 1 Tahun 2016.

Gatot Sugiharto, Jurnal Novelty, Volume 7 Nomor 1, Februari 2016.

H. C. Fragoso, The ‘Dual-Track’ System of Sanctions in Continental Criminal Law,


International Journal of Offender Therapy and Comparative Criminology,
Volume 12, Issue 1, January 1968.

17
Hwian Christianto, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 1, April 2009.

I Made Ardian Prima Putra, Jurnal Kertha Wicara, Volume 6 Nomor 4, Oktober
2017. Mukhlis R. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47 Nomor 2, April
2018.

Suhariyono A. R., Jurnal Perspektif, Volume XVII Nomor 1 Tahun 2012, Edisi
Januari.

18

Anda mungkin juga menyukai