Anda di halaman 1dari 20

PERBANDINGAN HUKUM PIDANA

[PERBANDINGAN HUKUM PIDANA MATI DI INDONESIA DENGAN HUKUM


PIDANA MATI DI INGGRIS]

OLEH:

KELOMPOK II
1. Lenny Oktavia (D1A11137)
2. Lalu Wiryan D1A020288
3. Megawati Iskandar Putri (D1A020328)
4. Mia Septisia D1A020331
5. Nia Maharani (D1A019608)

Fakultas Hukum
Universitas Mataram
2023

1
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Tuhan YME atas segala rahmat dan hidayah-Nya serta
kemudahan dan kelapangan yang diberikan kepada kami selama menyusun Makalah yang
berjudul “Perbandingan Hukum Pidana Mati di Indonesia Dengan Hukum Pidana Mati di
Inggris” penulisan makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas kelompok pada matakuliah
Perbandingan Hukum Pidana sebagai matakuliah wajib pada program studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Mataram.
Indonesia dan Inggris sudah memiliki perbedaan sistem hukum yang sangat nyata.
Indonesia menganut sistem hukum Civil Law atau Eropa Kontinental, sedangkan Inggris
menagnut sistem hukum Common Law atau Anglo Saxon. Oleh sebab itu, dalam makalah ini
penulis mengulik lebih dalam mengenai perbedaan yang ada dalam hukum pidana yang dianut
dari kedua negara tersebut.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah
membantu penulis menyelesaikan makalah ini, terutama kepada dosen pengampu Ibu Titin
Nurfatlah, SH.,MH yang telah memberikan dan membimbing kami dalam penulisan makalah
ini. Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, setiap koreksi dan masukan yang ditujukan dalam penyempurnaan tulisan ini akan sangat
penulis harapkan. Semoga tulisan ini mampu menjadi bahan kajian dan pembelajaran bagi
siapapun yang membaca, terlebih bagi yang ingin mengetahui perbedaan hukum pidana yang
terdapat di Indonesia dan Inggris.

Mataram, 20 April 2023

Penulis

2
DAFTAR HALAMAN
1. HALAMAN COVER …………………………………………................……………………… 1
2. KATA PENGANTAR………………………………………………......................………… 2
3. DAFTAR ISI …………………………………………………………………………......…………… 3
4. BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang …………………………………………………………………………………..4
b. Rumusan Masalah ……………………………………………………………………………5
C. Tujuan Penulisan …………………………………………………………………………6
5. BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………………7
6. BAB III PENUTUP
Kesimpulan dan Saran ………………………………………………………………………….. 21

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………..

3
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Perbandingan hukum pidana (comparative criminal law), merupakan perbandingan
sistem dan ketentuan pidana di berbagai negara agar dapat meningkatkan kualitas serta dapat
mengembangkan ilmu hukum pidana secara praktis dalam bidang legislatif dan yudikatif
yang bertujuan untuk menjaga harmonisasi hukum antarnegara 1. Perbandingan hukum
pidana mempunyai peranan penting di bidang hukum pidana secara nasional maupun
internasional.
Studi perbandingan hukum pidana pada dasarnya memperbandingkan berbagai sistem
hukum yang ada. Dalam Black’s Law Dictionary didefinisikan: “Comparative Jurisprudence
is the study of the principles of legal science by the comparison of various systems of law"
dalam hal ini yang diperbandingkan adalah dua atau lebih sistem hukum yang berbeda.
Hukum pidana positif Indonesia ialah berasal dari keluarga hukum Civil Law System yang
mementingkan sumber hukum dari peraturan perundangan yang ada dan berlaku di Indonesia.
Sementara Inggris menganut sistem hukum Common Law System yang mengutamakan
kebiasaan yang berlaku disana. Kebiasaan tersebut dapat berupa Norma maupun putusan-
putusan hakim sebelumnya. Selain perbedaan seperti yang tersebut diatas sistem hukum
pidana kedua negara sebenarnya memiliki kesamaan. Di Indonesia dikenal hukum pidana adat
yang sampai saat ini masih diakui dan dipakai dalam masyarakat. Dilihat dari sumber
hukumnya sebenarnya hukum pidana adat tersebut berasal dari kebiasaan yang berlaku
dimasyarakat. Hal tersebut sama halnya dengan sumber hukum Common Law yang berasal
dari kebiasaan yang ada di masyarakat. Setiap sistem hukum pasti memiliki asas-asas yang
kemudian dijabarkan dalam aturan-aturan hukumnya. Salah satu asas hukum yang sangat
penting dan dimiliki oleh setiap sistem hukum adalah asas legalitas atau dikenal dengan asas
“Nullum delictum, nulla poena, sina praevia lege poenali"2
Pada awalnya, sebagian besar di dunia menerapkan pidana mati baik Negara maju
maupun negara berkembang yang terdapat di benua Amerika, Eropa, Asia, Afrika, dan
Australia. Akan tetapi, pada perkembangannya beberapa negara maju khususnya di benua
Eropa dan Amerika telah menghapuskan ketentuan pidana mati dalam hukum pidananya.
Sebagaimana disebutkan bahwa dari 100% negara seluruh dunia, 90% telah menghapuskan

1
Hamzah,”Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara”
2
Cn, “PERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DENGAN HUKUM PIDANA INGGRIS”
4
pidana mati yang sebagian besarnya merupakan Negara maju di dunia. Penghapusan pidana
mati tersebut muncul sejak disahkannya ICCPR (Internasional Convenant Civil and Political
rights) pada tahun 19653. Ketentuan dalam ICCPR ini yang menjadi dasar masyarakat
internasional sepakat untuk menghapuskan hukuman mati sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 6 (1) ICCPR disebutkan bahwa: “Every human being has the inherent right to life. This
right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life ”. Isi pasal ini
yang kemudian, mempengaruhi beberapa Negara-negara maju di Eropa untuk menghapuskan
pidana mati, tak terkecuali di Negara Inggris. Berbeda dengan negara-negara berkembang
yang ada di di benua Asia dan Afrika termasuk Indonesia yang masih menerapkan pidana
mati sebagai salah satu alat untuk pencegahan tindak pidana Indonesia sebagai salah satu
Negara berkembang di Asia dan menganut CivilLaw System, masih menerapkan dan
memberlakukan pidana mati. Ketentuan pidana mati diatur secara umum dalam Pasal 10
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahwa pidana mati salah satu pidana pokok. Pidana
mati tersebut terdapat dalam beberapa tindak pidana seperti Pasal 104, Pasal 111 ayat (2) dan
Pasal 340 KUHP. Selain itu, diatur dalam undang-undang khusus di luar KUHP misalnya di
UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme, UU Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Tindak Pidana Narkotika, dan beberapa UU lainnya.
b. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas maka ruang lingkup masalah pokok
dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana perbandingan hukum pidana Indonesia dengan Inggris?
2. Bagaimana perbandingan pengaturan pidana mati di Indonesia dengan Inggris?
c. Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian latar belakang dan pokok permasalahan sebagaimana telah
dikemukakan di atas maka penelitian ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan hukum pidana Indonesia dengan Inggris.
2. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan pengaturan pidana mati di Indonesia
dengan Inggris.

3
1“Use Of Capital Punishment by Country,”accessed March 1, 2020,
http://en.wikipedia.org/wiki/Use_of_capital_punishment_by_country
5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Perbandingan Hukum Pidana Inggris dengan Hukum Pidana Indonesia
A. Perbandingan dan Perbedaan Asas Legalitas Indonesia dengan Asas Legalitas
Inggris
a) Asas legalitas Indonesia
Asas legalitas dipandang sebagai asas terpenting dalam hukum pidana Indonesia,
karenanya diatur dalam KUHP, sebagai babon atau induknya hukum pidana. Pengaturan
asas legalitas dalam Buku I (satu) KUHP tentang Ketentuan Umum, membawa
konsekuensi bahwa ketentuan asas legalitas itu berlaku terhadap kejahatan-kejahatan
yang diatur dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III KUHP. Demikian juga
berlaku bagi semua peraturan pidana yang diatur dalam UU di luar KUHP, kecuali UU
tersebut membuat penyimpangan (lex specialist derogat lex generalis).
Asas legalitas pada hakikatnya adalah tentang ruang berlakunya hukum pidana
menurut waktu dan sumber/dasar hukum (dasar legalisasi) dapat dipidananya suatu
perbuatan. (jadi sebagai “dasar kriminalisasi atau landasan yuridis pemidanaan)4 .
Perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP (WvS) terdiri dari 2 ayat yang
selengkapnya sbb:
1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
2) Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang- undangan,
dipakai aturan yang paling ringan (menguntungkan) bagi terdakwa 5.
Terkait dengan asas legalitas, Moeljatno memberikan 3 (tiga) pengertian yang terkandung
dalam asas legalitas, yaitu 6 :
1) Tiada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu undang-undang.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku.
b) Asas Legalitas Inggris
4
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2003, hlm. 358.
5
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan ke XI, Fakultas Hukum UGM, Jogjakarta, 1979.
hlm.13.
6
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, tanpa penerbit, hlm. 17.
6
Walaupun asas ini tidak pernah secara formal dirumuskan dalam perundang-
undangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan. Karena bersumber pada
case law, pada mulanya pengadilan di Inggris merasa dirinya berhak menciptakan delik.
Namun dalam perkembangannya tahun 1972 House of Lords menolak secara bulat
adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan delik-delik baru atau memperluas delik
yang ada. Jadi nampaknya ada pergeseran dari asas legalitas dalam pengertian materiil ke
asas legalitas dalam pengertian formal. Artinya suatu perbuatan pada mulanya dapat
ditetapkan sebagai suatu delik oleh hakim berdasarkan common law (hukum kebiasaan
yang dikembangkan lewat putusan pengadilan), namun dalam perkembangannya hanya
dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang (statute law)7 .
2. Perbandingan dan Perbedaan Asas Mens Rea Indonesia dengan Asas Mens Rea
Inggris
a. Asas Mens Rea Indonesia
Doktrin mens rea ini dilandaskan pada maxim actus nonfacit reum nisi mensit rea,
yang berarti “Suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika
pikiran orang itu jahat”. Konsep “actus reus” ini tidak hanya mengenai suatu perbuatan
saja, tetapi meliputi pengertian yang lebih luas lagi, yaitu:
1) Perbuatan atau tingkah laku dari perbuatan si pelaku yang didakwa (the conduct of
accussed person).
2) Hasil atau akibat perbuatan itu (its results/consequences).
3) Keadaan-keadaan yang tercantum atau terkandung dalam perumusan tindak pidana itu
(surrouding circumstances which are included in the definition of the offences),
misalnya dalam peristiwa pembunuhan disebutkan “jiwa orang lain”. Oleh karena itu
dalam textbook sering disebutkan bahwa actus reus terdiri dari semua unsur yang
terdapat dari peristiwa-peristiwa pidana atau kejahatan, kecuali unsur yang
berhubungan dengan keadaan jiwa atau sikap batin terdakwa8 .
Menurut Prodjohamidjodjo, seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal (1)
Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain harus ada unsur
melawan hukum (unsur objektif), dan (2) Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam

7
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Edisi 1, Cet. 3, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1998,
hlm. 35
8
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, PT Refika Aditarma, Bandung, 2011, hlm.74.
7
bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya (unsur subjektif) 9.
Dalam hukum pidana konsep liability atau pertanggungjawaban merupakan konsep sentral
yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan ini dikenal
dengan sebutan mens rea. Suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali
jika pikiran orang itu jahat 10.
Menurut pandangan tradisional, disamping syarat-syarat objektif melakukan perbuatan
pidana, harus dipenuhi pula syarat-syarat subjektif atau syarat-syarat mental untuk dapat
dipertanggungjawabkan dan dijatuhkan kepadanya. Syarat subyektif ini disebut dengan
kesalahan. Menurut sistem hukum continental syarat-syarat subjektif ini dibagi dua, yaitu
bentuk kesalahan (kesengajaan dan kealpaan) dan mampu bertanggungjawab. Dalam sistem
hukum common law adapun syarat-syarat ini disatukan dalam mens rea11 . Dengan demikian
maka yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana adalah penilaian apakah seseorang
tersangka atau terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas sesuatu tindak pidana yang
terjadi12. Kesalahan, pertanggungjawaban, dan pidana merupakan tiga unsur yang saling
berkaitan satu dengan yang lain, dan berakar dalam satu keadaan yang sama yaitu adanya
pelanggaran terhadap satu sistem aturan-aturan hukum.
b. Asas Mens Rea Inggris
Walaupun tidak pernah dirumuskan dalam undang-undang, hukum pidana Inggris juga
menganut asas kesalahan yang dirumuskan dalam bahasa latin actus non facit reum nisi
mens sit rea (an act does not make a person guilty, unless the mind is legally
blameworthy). Berdasarkan asas ini, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk seseorang
dapat dipidana, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang (actus reus) dan ada sikap
batin jahat/tercela (mens rea).
Mens rea sering diterjemahkan dengan guilty or wicked mind (sikap batin jahat), tetapi
terjemahan demikian menurut para penulis dipandang kurang tepat atau dapat membuat
keliru. Menurut L.B. Curzon, J.C Smith, dan Brian Hogan, mens rea tetap ada sekalipun
seseorang berbuat secara jujur (dengan itikad baik) ataupun dengan kesadaran jiwa yang

9
Prodjohamidjojo Martiman,  Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.Pradnya Paramita, Jakarta,
1997, hlm.3.
10
Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungan Jawab Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982,
hlm.23.
11
Ibid, hlm.32-33
12
SR Sianturi, Asas-asas Hukum Di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1982,
hlm.250.
8
bersih serta meyakini bahwa perbuatannya sesuai dengan moral dan benar menurut
hukum. Sikap batin orang yang termasuk Mens Rea dapat berupa : intention
(kesengajaan), recklessness (kesembronoan), dan negligence (kealpaan/kurang hati-hati).
Dikatakan ada recklessness apabila seseorang megambil dengan sengaja suatu resiko
yang tidak dapat dibenarkan (deliberate taking of an unjusttifiable risk). Misal A
mengendarai mobil dengan cepat dengan harapan cepat sampai di rumah. Ia tidak
mengharapkan terjadinya tabrakan atau melukai orang, tetapi ia dapat membayangkan
atau memperkirakan kemungkinan terjadinya akibat yang demikian. Apabila ternyata A
menabrak B, maka dalam hal ini ada recklessness. Jadi pada intinya, recklessness itu
adalah “mengambil suatu risiko dengan sengaja” (taking a deliberate risk) dan risiko itu
merupakan risiko yang tidak dapat dibenarkan (unjustifiable risk).
Dapat dikatakan bahwa recklessness di Inggris dapat disamakan dengan bewuste schuld
(kealpaan/kesalahan yang disadari) atau dalam istilah Inggris disebut advertent negligence
(kealpaan yang penuh perhatian/kehati-hatian) dan dalam beberapa hal dapat disamakan
dengan dolus eventualis13 .
3. Perbandingan Asas Strict Liability Indonesia dengan Asas Strict Liability Inggris
a) Asas Strict Liability di Indonesia
Dalam perkembangan hukum pidana saat ini, diperkenalkan pula tindak-tindak pidana
yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun
pelakunya tidak memiliki Mens Rea (unsur pembuat delik) yang disyaratkan. Cukup
hanya dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan Actus Reus, yaitu
melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melaksanakan
perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana14 . Tindak pidana ini yang disebut
offences of strict liability atau absolute prohibition. Penerapannya sangat berkaitan
dengan ketentuan tertentu dan terbatas, untuk lebih jelasnya yang menjadi landasan
penerapan Strict Liability antara lain15 :
1) Perbuatan itu tidak berlaku umum terhadap semua jenis tindak pidana, akan tetapi
sangat terbatas terutama mengenai kejahatan anti sosial atau yang membahayakan
sosial.

13
Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm.36-38.
14
Saskia Eryarifa, Asas Strict Liability dalam pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana
Lingkungan Hidup, Jurnal MAHUPAS,Vol. 1 No. 2, 2022
15
Hanafi, Amrani dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana (Perkembangan dan Penerapan), Rajawali Press,
Jakarta,2015, hlm. 118
9
2) Perbuatan tersebut benar-benar bersifat melawan hukum yang bertentangan dengan
kehati-hatian yang diwajibkan hukum.
3) Perbuatan tersebut dilarang keras oleh undang-undang karena dikategorikan sebagai
kegiatan yang bersifat potensial mengandung bahaya kepada kesehatan,keselamatan,
dan moral publik.
4) Perbuatan atau aktivitas tersebut secara keseluruhan dilakukan dengan cara tidak
melakukan pencegahan yang sangat wajar.
Strict liability hanya digunakan untuk tindak pidana ringan (Regulatory Offences) yang
hanya mengancam pidana denda16 .
Dalam praktik hukum di Indonesia, ajaran asas Strict Liability sudah diterapkan, antara
lain untuk pelanggaran lalu lintas. Para pengemudi kendaraan kendaraan bermotor menerobos
lampu lalu lintas, misalnya tidak berhenti pada waktu lampu lalu lintas yang menunjukkan
lampu berwarna merah, akan ditilang oleh SATLANTAS dan selanjutnya akan di sidang di
pengadilan.
Hakim dalam memutuskan hukuman atas pelanggaran tersebut tidak mempersoalkan ada
atau tidaknya kesalahan pada pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas itu. Pada
ketentuan Pasal 211 KUHAP pembuktian pelanggaran-pelanggaran jenis lalu lintas jalan
dapat dilakukan dengan mudah dan nyata , karena tidak mungkin dapat dipungkiri lagi oleh
pelanggar. Berita acara yang ditiadakan diganti dengan surat bukti pelanggaran lalu lintas
yang disingkat TILANG yang diisi Satuan Polisi Lalu Lintas. Oleh karena itu, asas ini tidak
berlaku bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang telah
diatur atau ditetapkan oleh undang-undang. Untuk tindak pidana tertentu , pelaku atau si
pembuat tindak pidana tersebut dapat dipidana hanya karena telah terpenuhinya unsur-unsur
tindak pidana oleh perbuatannya. Dalam hal ini kesalahan pembuat tindak pidana dalam
melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Dalam UU No.32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 88 UU PPLH ini disebutkan
secara tegas mengenai konsep strict liability.
” Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3 (Bahan
Berbahaya dan Beracun, editor), menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas
kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”

16
Virginia v. Perkembangan Asas Strict Liability di Berbagai Negara, 2021. hlm 27

10
Ketentuan dalam pasal tersebut jelas membuktikan bahwa apabila telah jelas
perbuatannya maka tidak diperlukan lagi pembuktian unsur kesalahan dari pelaku17 . Asas
inilah yang dikenal dengan Strict Liability.
b) Asas Strict Liability di Inggris
Prinsip Strict liability merupakan prinsip pertanggungjawaban hukum yang telah
berkembang berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands V. Fletcher Tahun 1868.
Dalam kasus ini pengadilan tingkat kasasi Inggris menentukan suatu kriteria sebagai
penentu, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability
jika penggunaan tersebut bersifat tidak alami atau tidak seperti biasanya.
Jenis pertanggungan jawaban ini muncul sebagai reaksi atas kekurangan dari sistem
atau jenis pertanggungjawaban fault based liability . Pertanggungjawaban hukum
konvensional selama ini menggunakan asas pertanggungjawaban fault based. Artinya
bahwa tidak seorangpun dapat dikenai tanggung jawab apabila pada dirinya tidak terdapat
unsur-unsur kesalahan.
Walaupun pada prinsipnya dalam hukum pidana Inggris berlaku asas Mens Rea, namun
di Inggris terdapat delik-delik yang tidak dipersyaratkan adanya Mens Rea (berupa
intention ,recklessness atau negligence(kelalaian). Pelaku atau si pembuat sudah dapat
dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-
undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Disini berlaku strict liability
(pertanggungjawaban tanpa kesalahan).
Dalam hukum pidana Inggris Strict Liability terdapat dalam hukum kebiasaan dan
Undang-undang. Asas ini berlaku terhadap delik18 :
1) Tindakan yang mengganggu ketertiban umum (gangguan terhadap fasilitas umum,
menghalangi jalan raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan).
2) Penghinaan terhadap agama, Tuhan dan orang yang dianggap suci.
3) Penghinaan terhadap Pengadilan dan delik ini melalui publikasi yang dapat
mempengaruhi keputusan pengadilan.
4) Tindak pidana fitnah atau pencemaran nama baik.
4. Perbandingan dan Perbedaan Asas Vicarious Liability Indonesia dengan Asas
Vicarious Liability Inggris
a) Asas Vicarious Liability di Indonesia
17
Ahmad Rofiq,Pujiono, Asas Strict Liability sebagai Penyeimbang Asas Kesalahan dalam Hukum Pidana Indonesia, Jurnal
JJR 24(24), 2022.
18
Richard Card, Introduction to criminal Law, Butterworths, London,1984, hal.72.
11
walaupun tidak secara eksplisit mengakui adanya penerapan konsep vicarious liability,
namun secara implisit dapat ditafsirkan dari ketentuan perundang-undangan juga dalam
praktek penegakan hukum lewat putusan- putusan pengadilan.
Ada 2 (dua) syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan suatu
perbuatan pidana dengan konsep vicarious liability, yakni19 :
a. Harus terdapat hubungan, seperti hubungan pekerjaan antara majikan dan pekerja.
b. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja tersebut harus berkaitan
dengan ruang lingkup pekerjaannya.
Berdasarkan syarat-syarat di atas dapat disimpulkan bahwa tidak semua perbuatan
pekerja atau pegawai merupakan tanggung jawab majikan, tetapi hanya perbuatan yang ada
hubungannya dengan pekerjaan itulah yang dapat diterapkan konsep ini. Selain itu, ada 2
(dua) prinsip yang harus dipenuhi dalam menerapkan konsep vicarious liability, yaitu20 :
a. Prinsip Pendelegasian
Prinsip ini berkaitan dengan pemberian izin kepada seseorang untuk mengelola suatu
usaha. Si pemegang izin tidak menjalankan langsung usaha tersebut, tetapi ia
memberikan kepercayaan atau mendelegasikan secara penuh kepada seseorang untuk
mengelola perusahaan tersebut.
b. Tindakan buruh adalah tindakan majikan Prinsip ini perkataan selling merupakan actus
reus. Penyerahan barang oleh penjual kepada pembeli harus dalam kondisi yang baik.
Walaupun yang menjual itu adalah pekerja atau pegawainya tetapi yang bertanggung
jawab atas barang yang dijual adalah pemilik.
b) Asas Vicarious Liability di Inggris
Penerapan konsep vicarious liability ini pada mulanya hanya digunakan dalam hukum
perdata. Namun dalam hukum pidana merupakan hal baru karena menyimpang dari asas
kesalahan yang dianut selama ini. Pada akhirnya sejalan dengan perkembangan yang ada
konsep ini mulai diterapkan pada kasus- kasus pidana. Perkembangan konsep ini
didukung oleh putusan-putusan pengadilan yang kemudian diikuti oleh putusan
pengadilan berikutnya, yang pada dasarnya menganut asas precedent yang bersifat stare
decises. Perkembangan yang pesat mengenai vicarious liability terjadi di negara-negara
yang menganut sistem common law, terutama di negara Inggris dan Amerika Serikat.

19
Grace Yurico Bawole,  Analisis Hukum Terhadap Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Konsep Strict
Liability dan Vicarious Liability, Jurnal Lex Et Societatis Vol,6 No. 8, 2018, hlm.20
20
Ibid
12
Secara tradisional konsep ini telah diperluas terhadap suatu situasi dimana pengusaha
bertanggung jawab terhadap perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawainya dalam
ruang lingkup pekerjaan. Tanggung jawab yang dipikul oleh majikan itu dapat terjadi satu
diantara tiga hal berikut ini 21:
1. Peraturan perundang-undangan secara eksplisit menyebutkan pertanggungjawaban
suatu kejahatan secara vicarious;
2. Pengadilan telah mengembangkan doktrin pendelegasian dalam kasus pemberian
lisensi. Doktrin tersebut berisi tentang pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan
yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegasikan kewenangannya
menurut undang-undang kepada orang lain itu. Jadi harus ada prinsip pendelegasian;
dan,
3. Pengadilan dapat menginterpretasikan kata-kata dalam undang-undang sehingga
tindakan dari pekerja atau pegawai dianggap sebagai tindakan dari pengusaha.
B. Bagaimana Perbandingan Pengaturan Hukuman Mati di Indonesia dan Inggris
Jika dilihat dari sejarahnya, negara-negara yang menerapkan Civil Law telah lama
menghapuskan hukuman mati, tetapi tidak dengan Indonesia. Indonesia yang pernah dijajah
ratusan tahun oleh Belanda, yang mana hukum Belanda berasal dari kodifikasi hukum
Perancis, maka Indonesia termasuk dari negara yang menganut sistem hukum civil law (Eropa
Kontinental). Sistem kodifikasi ini menjadi ciri khas atau syarat utama dalam sistem hukum
Civil Law (Eropa Kontinental). Berdasarkan asas korkondansi dan untuk mencegah adanya
kekosongan hukum saat Indonesia merdeka, Indonesia mengadopsi hampir seluruh hukum
pidana Belanda yang kemudian menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meskipun,
Belanda telah menghapuskan hukuman mati dari hukum pidananya sejak 17 September
187022 . Berdasarkan sejarah ini, semestinya Indonesia turut menghapus hukuman mati sejak
Belanda menghapus hukuman mati dari hukum pidananya. Akan tetapi, sampai disahkannya
Undang-Undang No.1 Tahun 2003 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP
Nasional yang baru, Indonesia masih belum menghapus hukuman mati dari ketentuan hukum
pidananya.
Berbeda dengan Indonesia, Inggris sebagai negara maju dengan sistem hukum
Common Law (Anglo Saxon) sudah lama meniadakan hukuman mati dalam sanksi pidananya.
Sebelum meniadakan hukuman mati Inggris juga pernah memberlakukan hukuman mati. Pada
21
C.M.V. Clarkson, Understanding Criminal Law, Second Edition, Fontana Press, London,1995, hlm.108-109

22
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2008).
13
tahun 1066 Masehi, Raja William I, menghapus segala hukuman mati, kecuali kejahatan
perang. Namun, penghapusan hukuman mati ini hanya berlaku hingga awal abad ke-16.
Setelah raja Henry VIII berkuasa, hukuman mati kembali diberlakukan untuk kasus
penyimpangan moral, pungutan liar dalam pajak, penolakan untuk mengakui kejahatan, dan
pengkhianatan terhadap kejahatan. Pada abad ke-18 terdapat “The Bloody Code”, dinamakan
seperti itu sebab kejamnya aturan ini terhadap para pekerja miskin, seperti undang-undang
yang disahkan pada tahun 1753 yang menetapkan hukuman gantung karena mencuri barang-
barang karam, yang diajukan atas nama 'Pedagang, Pedagang, dan Penanggung Kota London
23
. Selain di bawah “The Bloody Code” atau atas kejahatan property lebih banyak yang
mendapat hukuman mati, di bawah undang-undang Tudor dan Stuart juga memberi hukuman
mati terhadap kejahatan terhadap orang 24. The Bloody Code pun bertahan hingga Abad ke-19
dan dicabut setelah adanya Undang-Undang Reformasi 1832 yang mengubah sistem pemilu
Inggris. Undang-Undang tersebut membuka parlemen bagi anggota parlemen independent
yang mengajukan pencabutan The Bloody Code ini selama tahun 1830-an. Pada abad ke-19
Inggris mulai meniadakan hukuman pidana yang berlebihan dan mulai membentuk Lembaga
pemasyarakatan dan penjara yang tepat untuk menghukum para pelanggar. Pasukan polisi
professional juga mulai dibentuk pada abad ini25 .
Penyelesaian perkara pidana mati di Inggris terakhir telah dilakukan puluhan tahun
lalu, jauh sebelum Inggris menyatakan bahwa penjatuhan hukuman mati terhadap pelaku
tindak kejahatan itu ilegal. Kasus yang cukup kontroversial pada saat itu dan sangat
bersejarah bagi negara Inggris karena terpidananya merupakan orang yang dieksekusi terakhir
kali di sana, yakni pembunuhan yang dilakukan oleh Gwynne Owen Evans (nama asli : John
Robson Welby) dan Peter Allen terhadap John Alan West seorang sopir yang berusia 53
Tahun. Allen dan Evans sama-sama diadili di Manchester Crown Court pada bulan Juni 1964,
atas pembunuhan besar-besaran terhadap John West (pembunuhan dalam proses atau
kelanjutan dari pencurian). Juri memutuskan kedua pria itu bersalah atas pembunuhan, dan
mereka berdua dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung26.

23
Hay, D. (1975), “Property, authority and the criminal law”, in D. Hay, P. Linebaugh, J.G. Rule, E.P.
Thompson and C. Winslow (eds), Albion's Fatal Tree: Crime and Society in Eighteenth Century England,
London: Allen Lane
24
Emsley, C. (2005), Crime and Society in England 1750–1900 , Harlow, UK: Pearson Education.
25
Gatrell, V. A. C. (1994), The Hanging Tree: Execution and the English People 1770– 1868, Oxford: Oxford
University Press
26
Stephen's Study Room: British Military & Criminal History in the period 1900 to 1999 Last executions in the
UK (archive.org)
14
Perbandingan antara hukuman mati di Indonesia dan Inggris sangat berbeda dalam
berbagai aspek, termasuk dalam sistem peradilan, penerapan hukuman mati, dan sikap
masyarakat terhadap hukuman ini. Pada saat ini, Indonesia masih menerapkan hukuman mati,
sementara Inggris telah menghapus hukuman mati dari sistem hukum pidananya. Berdasarkan
asas konkordansi, Indonesia menerapkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana milik
Belanda yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS) yang berlaku pada masa jajahan belanda dan
pasca kemerdekaan Indonesia hingga saat ini dengan beberapa pembaruan-pembaruan.
Indonesia kemudian merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidananya secara menyeluruh
karena dianggap kurang relevan pada masa yang akan datang dan tidak sesuai nilai-nilai luhur
Indonesia dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, yang akan berlaku sepenuhnya pada tahun 2026 mendatang.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (WvS), hukuman mati disebutkan ke
dalam salah satu bentuk jenis pidana pokok dalam Pasal 10. Hukuman mati diatur untuk
seseorang yang melakukan kejahatan berupa, antara lain. Perbuatan makar terhadap presiden
dan wakil presiden, membujuk negara asing untuk berperang, pembunuhan berencana dan lain
sebagainya. Selain di KUHP, pengaturan mengenai hukuman mati juga terdapat di berbagai
peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Perubahan UU Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan lain sebagainya.
Sementara itu, dalam KUHP Nasional atau KUHP Baru, hukuman mati dapat
diberlakukan apabila terjadi kejahatan atau tindak pidana, seperti tindak pidana terhadap
keamanan negara/makar, tindak pidana terorisme, genosida, tindak pidana terhadap
kemanusiaan, tindak pidana pada masa perang, narkotika dan psikotropika, pembunuhan
berencana, dan korupsi atas dana bagi bencana alam.
Tentunya, di dalam ketentuan KUHP lama dan KUHP baru di Indonesia terdapat
perbedaan mengenai pemberlakuan atau pemberian putusan untuk hukuman mati. Perbedaan
ini dilihat karena dalam KUHP baru terdapat ketentuan mengenai penjatuhan hukuman mati
ini, yaitu pada Pasal 98 yang menjelaskan bahwa hukuman mati atau pidana mati diancamkan
secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan
mengayomi masyarakat. Sedangkan KUHP lama menganggap bahwa hukuman mati / pidana
mati adalah pidana pokok sebagaimana ketentuan pasal 10.
15
Pergeseran hukuman mati menjadi pidana alternatif dapat dikatakan sebagai bentuk
kesadaran Indonesia akan perkembangan negara-negara di dunia yang mulai menghapus
hukuman mati. Namun, di sisi lain pergeseran ini hanya membuat Indonesia seperti ingin
berada di posisi aman, tidak berada di antara negara yang menghapus hukuman mati dengan
negara yang menerapkan hukuman mati. Indonesia menyadari bahwa hukuman mati bukanlah
jenis hukuman yang efektif untuk diberlakukan, tetapi di sisi lain masih mempercayai
penerapan hukuman mati merupakan penjatuhan pidana yang tepat pada kasus-kasus
kejahatan besar tertentu sebagai balasan setimpal atas perbuatan pelaku yang kejam.
Sementara itu, Inggris yang sebelumnya menerapkan hukuman mati dalam berbagai
kasus seperti pembunuhan, perampokan berat, dan pengkhianatan telah lama menghapus
hukuman mati ini dari hukum pidananya. Awalnya Inggris dapat mengatasi pemberian
hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan dengan meresmikan Homicide Act pada Tahun
1957 dan berhasil mengurangi persentase penjatuhan hukuman mati di Inggris per Tahunnya 27
. Kemudian Inggris mengatur kembali peraturannya terkait siapa saja yang dapat dikenakan
hukuman mati dan yang tidak dapat dikenakan hukuman mati. Dalam Murders Act 1965
Section 4, Inggris hanya memberikan izin penghukuman mati kepada pelanggaran perang,
pelanggaran udara dan pelanggaran terhadap kedisiplinan angkatan laut. Section 1 Undang-
Undang ini juga menjelaskan bahwa anak kecil dan remaja diharamkan untuk dijatuhi dengan
hukuman mati28 .
Kemudian pada tahun 1998, Inggris secara resmi menghapus hukuman mati secara
permanen dengan alasan hak asasi manusia dan memberlakukan peraturan terkait Hak Asasi
Manusia (The Human Rights Act 1998). Di mana Article 1 yang ada di dalam Human Rights
Act 1998 itu mengatakan, “Penghapusan Pidana Mati.” Kemudian penjelasan terkait itu,
Hukuman mati harus dihapuskan. Tidak seorang pun akan dihukum dengan hukuman seperti
itu atau dieksekusi29 .
Beberapa alasan mengapa Inggris akhirnya menghapus hukuman mati adalah sebagai
berikut. Penghapusan hukuman mati di Inggris dipengaruhi oleh perubahan politik yang
27
The long fight: executions and death-penalty reforms in Britain, Executions and death-penalty reforms in
Britain, https://www.museumoflondon.org.uk/discover/long-fight-executions-and-death-penalty-reforms-england
diakses pada 15 April 2023 pukul 17.51
28
ELIZABETH II, Murder (Abolition ofDeath Penalty) Act 1965 CHAPTER 71, An Act to abolish capital
punishment in the case of persons convicted in Great Britain of murder or convicted of murder or a
corresponding offence by court-martial and, in connection therewith, to make further provision for the
punishment of persons so convicted. [8th November 1965] Murder (Abolition of Death Penalty) Act 1965
(legislation.gov.uk)
29
The Human Rights Act 1998 (Amendment) Order 2004 The Human Rights Act 1998 (Amendment) Order
2004 (legislation.gov.uk)
16
menimbulkan perubahan pemikiran masyarakat mengenai hukuman mati. Perubahan
pandangan masyarakat terjada tahun 1960-an, mereka mulai mempertanyakan apakah
hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan
karena hanya dianggap pembalasan atas kejahatan yang dilakukan oleh pelanggar, tanpa
memberikan kesempatan bagi pelanggar tersebut untuk memperbaiki perilakunya. Pada
permulaan abad ke-17 juga telah mulai berkembang pemikiran untuk menghapus hukuman
mati karena ketidakmampuan hukuman mati dalam mengurangi jumlah kasus kejahatan.
Akibatnya, pada masa ini terdapat banyak gerakan sosial yang mendukung penghapusan
hukuman mati30 .
Kedua, kekhawatiran atas kesalahan hukum. Salah satu alasan paling kuat mengapa
Inggris menghapuskan hukuman mati adalah karena adanya kekhawatiran bahwa hukuman
mati bisa saja diterapkan pada seseorang yang sebenarnya tidak bersalah.. Ketiga, adanya
alternatif hukuman yang lebih manusiawi. Inggris memiliki berbagai pilihan hukuman lain
yang dapat diterapkan terhadap pelaku kejahatan. Hukuman penjara seumur hidup menjadi
salah satu alternatif yang lebih manusiawi dan dapat membantu memulihkan masyarakat.
Keempat, Inggris menyadari bahwa hukuman mati tidak efektif dalam mencegah kejahatan.
Dalam kenyataannya, beberapa studi menunjukkan bahwa tidak ada hubungan langsung
antara penerapan hukuman mati dan tingkat kejahatan di suatu negara. Di sisi lain, banyak
yang percaya bahwa rehabilitasi dan pendidikan adalah cara yang lebih efektif dalam
mencegah kejahatan. Dalam hal ini, Inggris mengambil keputusan untuk fokus pada upaya-
upaya untuk memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang mungkin menjadi
faktor pendorong terjadinya kejahatan. Kelima, Penghapusan hukuman mati di Inggris juga
dipengaruhi oleh l adanya ICCPR (Internasional Convenant Civil and Political rights) atau
Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang ditetapkan oleh PBB pada
tahun 1966. Dalam Pasal 6 ICCPR yang berbunyi Pasal 6 (1) ICCPR disebutkan bahwa:
“Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No
one shall be arbitrarily deprived of his life” mengatur dengan tegas perlindungan terkait hak
hidup seseorang31 .
BAB III
PENUTUP
30
Samsul, Inosentius (Januari 2015). "Politik Hukuman Pidana Mati" (PDF). Info Singkat. Pusat Pengkajian,
Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. VII (2).

31
Saputra, R. P. (2020). Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Inggris. Jurnal Pahlawan,
3(1), 47-61
17
Kesimpulan dan Saran
Dari Pembahasan tersebut dapat di simpulkan perbandingan antara hukuman mati di
Indonesia dan Inggris menunjukkan, bahwa kedua negara memiliki pandangan yang berbeda
mengenai hukuman mati. Inggris telah menghapus hukuman mati dari sistem hukumnya
karena alasan-alasan kemanusiaan, sementara Indonesia masih menerapkan hukuman mati
terhadap pelaku kejahatan tertentu. Terlepas dari argumen yang mendukung atau menentang
hukuman mati, penting bagi Indonesia untuk memastikan bahwa sistem peradilan negara
memenuhi standar kemanusiaan dan keadilan yang tinggi serta memenuhi hak asasi manusia
tiap warga negaranya. Dalam hal ini, Indonesia dapat belajar dari pengalaman Inggris dalam
menghapus hukuman mati dari sistem hukumnya. Inggris telah menunjukkan bahwa
memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dapat membantu mengurangi tingkat
kejahatan, dan hal ini dapat dicapai tanpa harus mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan demikian, perbandingan antara hukuman mati di Indonesia dan Inggris
menunjukkan bahwa kedua negara memiliki pandangan yang berbeda mengenai hukuman
mati. Meskipun hukuman mati masih diterapkan di Indonesia, negara ini seharusnya
mempertimbangkan kembali penerapan hukuman mati dalam sistem hukumnya dan fokus
pada upaya-upaya untuk mencegah kejahatan, seperti yang telah dilakukan oleh Inggris.
Penting bagi Indonesia untuk memastikan bahwa sistem peradilan negara memenuhi standar
kemanusiaan dan keadilan yang tinggi, tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dalam
upaya untuk menghukum pelaku kejahatan.

18
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofiq Pujono. (2022). Asas Strict Liability Sebagai Penyumbang Asas Kesalahan Dalam
Hukum Pidana Indonesia . Jurnal JJR, 24.
Andi Hamzah. (2008). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Barda Nawawi Arief. (1993). Perbandingan Hukum Pidana, Edisi 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
C.M.V. Clarkson, Understanding Criminal Law, Second Edition, Fontana Press, London,1995,
hlm.108-109

Clarkson, C. (1995). Undestanding Criminal Law. London : Fontana Press.


ELIZABETH II, Murder (Abolition ofDeath Penalty) Act 1965 CHAPTER 71, An Act to abolish
capital punishment in the case of persons convicted in Great Britain of murder or convicted of murder
or a corresponding offence by court-martial and, in connection therewith, to make further provision for
the punishment of persons so convicted. [8th November 1965] Murder (Abolition of Death Penalty)
Act 1965 (legislation.gov.uk)

Emsley, C. (2005), Crime and Society in England 1750–1900 , Harlow, UK: Pearson Education.

Erdianto Effendi. (2011). Hukum Pidana Indonesia . Bandung: PT Refika Aditarma.


Gatrell, V. A. C. (1994), The Hanging Tree: Execution and the English People 1770– 1868, Oxford:
Oxford University Press

Hay, D. (1975), “Property, authority and the criminal law”, in D. Hay, P. Linebaugh, J.G. Rule, E.P.
Thompson and C. Winslow (eds), Albion's Fatal Tree: Crime and Society in Eighteenth Century
England, London: Allen Lane

Jan Remmelink. (2003). Hukum Pidana, komentar Atas Pasal-pasal Terpenting Dari Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Belanda dan Pidananya Dalam KItab Undang-Undang Hukum Pidan
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Moeljatno. (2002). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, Cetakan Ke VII.
Prodjohamindjojo Martiman. (1997). Memahami Dasa-dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta : PT
Pradnya Paramata.
Richard Card. (1984). Introduction To Criminal Law. London: Butterworths.
Roeslan Saleh. (1982). Pikiran-pikiran Tentang Pertanggung Jawab Pidana . Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Samsul, Inosentius (Januari 2015). "Politik Hukuman Pidana Mati" (PDF). Info Singkat. Pusat
Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI

Saputra, R. P. (2020). Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Inggris. Jurnal Pahlawan

SR Sianturi. (1982). Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Alumni
AHM-PTHM.

19
Stephen's Study Room: British Military & Criminal History in the period 1900 to 1999 Last
executions in the UK (archive.org)

The Human Rights Act 1998 (Amendment) Order 2004 The Human Rights Act 1998 (Amendment)
Order 2004 (legislation.gov.uk)

The long fight: executions and death-penalty reforms in Britain, Executions and death-penalty reforms
in Britain, https://www.museumoflondon.org.uk/discover/long-fight-executions-and-death-penalty-
reforms-england diakses pada 15 April 2023 pukul 17.51

20

Anda mungkin juga menyukai