Anda di halaman 1dari 14

PEMBARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana

Dosen Pengampu : Ondik Ardianto, M.H.

Oleh :

M.ILHAM BAGUS DHOFIR ARIYANTO

(12102183105)

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKUTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia dan rahmatNya, sehingga
makalah hukum pidana dengan judul “PEMBARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”
dapat terselesaikan dengan lancar dan tanpa menemui masalah yang berarti. Adapun
penyusunan makalah “PEMBARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA” ini adalah untuk
melengkapi tugas mata kuliah hukum pidana.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang ciri-ciri, sejarah, perkembangannya di
Indonesia, tolak ukur dan ruang lingkup serta orientasi pembaruan hukum pidana,
pembaruan hukum pidana di indonesia. Materi-materi dalam makalah ini diperoleh penyusun
dari sumber-sumber yang relevan untuk kemudian disusun kembali menggunakan kata yang
lebih sederhana sehingga diharapkan akan memudahkan pembaca dalam memahami isi dari
makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.
Pada kesempatan ini pula, penyusun sampaikan ucapan terimakasih kepada semua
pihak yang turut andil dalam penyusunan makalah ini.
Akhirnya, penyusun berharap semoga makalah ini dapat menjadi bacaan yang
menarik dan bermanfaat untuk kita semua. Aamiin.

Tulungagung, 26 maret 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 4

B. Rumusan Masalah 5

C. Tujuan Penelitian 5

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Hukum Pidana 6

B. Pengertaian Hukum Pidana 7

C. Tolak ukur dan ruang lingkup orientasi pembaruan hukum pidana.. 9

D. Pembarua hukum pidana di indonesia 10

BAB. III PENUTUP

1. Kesimpulan 18

DAFTAR PUSTAKA 20
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1
ayat 3 UUD 1945 sebagai negara hukum, maka untuk menjalankan suatu negara dan
perlindungan hak asasi harus berdasarkan hukum. Pembagian hukum menurut isinya
ada 2 yaitu : Hukum privat(hukum sipil) yaitu hukum yang mengatur hubungan-
hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitik beratkan
kepada kepentingan orang seseorang. Dan Hukum publik(Hukum negara) yaitu
hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapannya atau
hubungan antara negara dengan perseorangan (warga negara).
Permasalahan dalam pembaruan hukum pidana indonesia adalah sumber perumusan
KUHP yang baru tersebut harus diambil. Dimana sumber hukum pidana indonesia,
terutama asas-asas hukumnya bersumber eropa kontinental dan lebih 80 negara di
dunia menganutnya.
Masalah yang penting diperhatikan dalam pembaruan hukum pidana indonesia ada
dua, yaitu masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnnya dijadikan tindak
pidana yang diatur dalam KUHP dan masalah penerapan sanksi apa yang sebaiknya
digunakan sesuai rasa keadilan masyarakat untuk diberikan kepada sang pelanggar.

B. Rumusan masalah

1. pengertian hukum pidana


2. sejarah hukum pidana
3. tolak ukur dan orientasi pembaruan hukum pidana
4. pembaruan hukum pidana di indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
C. sejarah hukum pidana

a. zaman Vrenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)

(1) Sekitar tahun 1596, Vrenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)


Masuk ke wilayah indonesia dengan tujuan berdagang, dan pada saat itu hanya
Membawa hukum yang berlaku di kapal yang disebut dengan Scheeprecht.
(2) Dalam tahun 1915 dibuat kodifikasi kitab undang-undang hukum pidana
(KUHP) yang mulai berlaku tanggal 1 januari 1918.

b. Massa penjajahan jepang dari tahun 1942-1945(sekitar 3,5 tahun) tetap diberlakukan
KUHP tahun 1915 sejak tanggal 7 maret 1942 .

c. Setelah Indonesia Merdeka tanggal 17 Agustus 1945, yaitu :


(1) KUHP tahun 1915 tetap berlaku berdasarkan peraturan Presiden RI tanggal 10 oktober
1945 Nomor 2.
(2) Tahun 1958 diberlakukan KUHP 1915 untuk seluruh indonesia berdasarkan pasal II
Aturan Perlaihan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45), “ semua lembaga negara
yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-
Undang Dasar dan beum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Selanjutnya KUHP 1915 yang berlaku tahun 1918 ditegaskan lagi berlaku dengan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946 Berita RI Tahun II
Nomor 9 (15 Maret 1946), dan dikukuhkan lagi dengan Undang-Undang Nomor 73
tahun 1958 yang berlaku untuk seluruh indonesia, dan sejak pengukuhan ada 19
perubahan khusus terkait hukuman denda, yaitu : a) perubahan ancaman pidana denda
pasal-pasal 364, 373,384 dan 407 ayat ke-1 KUHP (kejahatan-kejahatan ringan) dari F
25,- menjadi Rp250.

Berdasarkan hal tersebut jadi F 25 (gulden) sama dengan Rp250 berarti F 1 (gulden) =
Rp25, maka bila sanksi Rp900 (yang tercantum dalam KUHP) sama dengan F 36
(gulden), demikian juga sanksi Rp4.500 (yang tercantum dalam KUHP) = F 180
(gulden).1
Dalam KUHP Belanda nasional si pelanggar diperhatikan. Pada umumnya
KUHP Belanda yang bersifat nasional itu adalah lebih modern dan lebih
sesuai dengan kemajuan aman, jika dibandingkan dengan KUHP dari lain-lain
negara pada waktu itu, sebab KUHP Belanda ini dibuat belakangan, sehingga
dapat menarik keuntungan-keuntungan dari KUHP negara lain.

Perbedaan yang penting antara KUHP Belanda 1886 dengan copynya di


Indonesia yang mulai berlaku 1 januari 1918 ialah masih ada hukuman mati
dalam KUHP Indonesia pada tahun 1918.2

1
Pembaruan hukum pidana indonesia, Dr. Monang Siahaan, S.H, M.M

2
Buku latihan ujian hukum pidana Prof. Drs. C.S.T. Kansil SH.
D. Pengertian Hukum Pidana

Untuk mengetahui hakikat Hukum Pidana, terlebih dahulu perlu dikemukakan pandangan
ahli. Sarjana-sarjana klasik seperti WLG Lemaire menyatakan bahwa Hukum Pidana
terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang
(oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa
hukuman,yaitu suatu penderitaan yang bersifat khusus.3 Juga Van Hattum memberikan
definisi Hukum Pidana adalah suatu keseluruhan asas-asas dan peraturan-peraturan yang
diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum lainnya, dimana mereka itu sebagai
pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan
yang bersifat melanggar hukum dan yang telah mengaitkan pelanggaran terhadap
peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.4

Pompe memberikan definisi sebagai keseluruhan peraturan hukum yang menentukan


perbuatan-perbuatan apa yang diancam dengan pidana dan dimana itu pidana menjelma.5
3
PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana.1984
4
Ibid.
5
AZ Abidin dan Andi Hamzah, Pengantar Hukum Pidana Indonesia,2010
Dari definisi yang diberkan oleh Pompe tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur Hukum
Pidana ada 2 (dua) yakni pertama, berupa peraturan hukum yang menentukan perbuatan
apa yang diacam dengan pidana. Kedua, peraturan hukum tentang pidana berat dan
jenisnya, serta cara menerapkannya.6

Lazimnya orang membicarakan Hukum Pidana berkaitan dengan perbuatan yang


dilarang dan ancaman sanksi terhadap perbuatan yang dilarang tersebut. Moelyatno
memberikan definisi sebagai berikut : Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan
untuk:
1. Menentukan perbuatan—perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
yang melanggar larangan tersebut.
2. Menentukann kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan
itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanaka apabila
ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.7

Menurut penulis, definisi yang diberikan oleh Moelyatno merupakan terlengkap


karena mencakup Hukum Pidana Materil (nomor 1), Hukum Pidana Formil (nomer 2) dan
Hukum Pelaksanaan Pidana (nomer 3) oleh karena itu definisi ini layak untuk dijadikan
pedoman dalam mempelajari Hukum Pidana.

Dengan demikian Hukum Pidana diartikan sebagai suatu ketentuan hukum/undang-


undang yang yang menentukan perbuatan yang dilarang/pantang untuk dilakukan dan
ancaman sanksi terhadap pelanggaran larangan tersebut. Banyak ahli berpendapat bahwa
Hukum Pidana menempati tempat tersendiri dalam sistematik hukum, hal ini disebabkan
karena Hukum Pidana tidak menetapkan norma tersendiri, akan tetapi memperkuat norma-
norma di bidang hukum lain dengan menetapkan ancaman sanksi atas pelanggaran
norma-norma di bidang hukum lain trsebut.

6
Ibid.
7
Moelyatno,Asas-Asas Hukum Pidana.1983
E. Tolak Ukur Dan Ruang Lingkup Serta Orientasi Pembaruan Hukum
Pidana.

1. Pembaruan hukum pidana materil


Bahasan dalam pembaruan hukum pidana materil difokuskan pada perubahan hukum pidana
materil. Menurut Barda Nawawi Arief, makna dan hakikat pembaruan hukum pidana adalah
sebagai berikut.
a. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan
(1) Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya
bagian dari upaya mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah
kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan
masyarakat dan sebagainya).
(2) Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada haikatnya
bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya dan penilaian
penanggulangan kejahatan).

(3) Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada
hakikatnya bagian dari upaya pembaruan substansi hukum (legal substance) dalam
rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

b. Dilihat dari sudut pendekatan nilai


pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan
dan penilaian kembali nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis, dan sosio-kultural yang
melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana.

Ada tiga argumentasi utama mengapa diperlukan pembaruan hukum pidana di indonesia.
Ketiganya berorientasi kepada alasan politis,sosiologis, dan praktis, yaitu :

(1) Alasan poltis

Alasan politis menegaskan kelayakan indonesia sebagai negara merdeka memiliki


KUHP yang bersifat nasional sehingga dipandang merupakan kebanggaan tersendiri
sebagai negara telah melepaskan kedudukannya dari penjajahanpemerintah Belanda.

(2) Alasan sosiologis

Alasan sosiologis menegaskan bahwa pada dasarnya KUHP adalah pencerminan dari
nilai-nilai kebudayaan suatu bangsa. Wetboek van Strafrecht (W.v.S) tidak mungkin
mencerminkan nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia secara penuh karena tidak
dibuat oleh kita sendiri.

(3) Alasan praktis

Alasan praktis menjelaskan bahwa kenyataan teks resmi W.v.S adalah bahasa
Belanda sehingga jumlah penegak hukum yang memahami bahasa Belanda makin
lama makin sedikit. Terjemahan yang beraneka ragam tidak akan memberikan
penyelenggaraan hukum pidana yang pasti dan seragam sehingga tidak mustahil akan
terjadi keseimbangan penafsiran yang menyimpang dari makna aslinya yang
disebabkan karena suatu terjemahan yang kurang tepat.8

Menurut muladi, dalam konteks sistem hukum pidaa nasional di masa mendatang/ius
constituendum, idealnya dibentuk suatu hukum pidana materil dengan lima karakteristik
sebagai berikut.

(1) Huku pidana nasional dibentuk tidak sekedar alasan sosiologis,politis, dan praktis
semata-mata, namun secara sadar harus disusun dalam kerangka ideologi nasional,
yaitu pancasila.

(2) Hukum pidana nasional di masa mendatang tidak boleh mengabaikan aspek-aspek
yang berkaitan dengan kondisi manusia,alam,dan tradisonal.

(3) Hukum pidana mendatang harus dapat menyesuaikan diri kecenderungan-


kecenderungan universal yang tumbuh dalam pergaulan masyarakat biadab.

(4) Hukum pidana mendatang harus memikirkan aspek-aspek yang bersifat preventif.
8
Dr. Lilik Mulyadi, S.H, M.H, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoretis dan Praktik.2012
(5) Hukum pidana mendatang harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi guna meningkatkan efektif fungsinya dalam masyarakat.

2. Pembaruan hukum pidana formal

Hukum Pidana Formil/Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam kebijakan formulatif


(KUHAP) perlu diperbarui, menurut Dr. Lilik Mulyadi,S.H, M.H, idelanya pembaruan
KUHAP dilakukan dengan dimensi,tolak ukur, dan ruang lingkup serta berorientasi pada
aspek-aspek sebagai berikut.

a. Aspek HAM

Bahwa pembaruan hukum pidana formil atau KUHAP, khususnya KUHAP


berorientasi kepada HAM sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng sehingga harus dilindungi,di hormati dan
dipertahankan serta tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapa pun.

Dalam pembaruan hukum acara pidana ke masa mendatang (ius


constituendum) selalu bermuara atau berlandaskan kepada hak asasi manusia (HAM).
Black Downward, law is greater than upward law, yaitu hukum seperti sarang laba-
laba yang dala penerapannya bersifat diskriminatf. Hukum selalu menindas
masyarakat kelas bawah. Oleh karena itu, hukum dinyatakan seperti air yang mengalir
kebawah. Dengan dimensi yang mengedepankan HAM, secara teoritik dan praktik
KUHAP mendatang hendaknya benar-benar konsekuen menerapkan hal-hal berikut.

(1) Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan
perbedaan perlakuan.

(2) Penangkapan,Penahanan,Penggeledahan, dan penyitaan hanya didasarkan perintah


tertulis oleh pejabat berwenang sesuai undang-undang dan hanya dala hal dan dengan
cara yang diatur oleh undang-undang.

(3) Apabila seseorang ditangkap,ditahan,dituntut atau pun diadili tanpa berdasarkan


undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi, sejak tingkat penyidikan dan
para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaian menyebabkan
asas hukum tersebut dilanggar,dituntut,dipidana dan atau dikenakan hukuman
administrasi.

(4) Peradilan dilakukan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur dan
tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat pemeriksaan.

(5) Setiap orang yang tersangkut tindak pidana wajib diberi kesempatan memperoleh
bantuan hukum guna kepentingan pembelaannya.

b. Aspek asas

Pembaruan KUHAP nantinya beroroentasi pula kepada asas yang dianut dalam proses
pemeriksaan perkara. Tegasnya, apakah berorientasi kepada asas atau sistem akusator
(accusatorial common law courts) atau inquisitoir (the inquisitorial ecclesiastical courts)
ataukah campuran keduanya (the mixed type).9

Menurut penulis kurangtepat menerapkan asas hukum pidana yang mencapuradukkan


(the mixed type). Misalnya, paham Eropa Kontinental dengan paham Anglo Saxon. Tiap
paham terdiri dari beberapa asas hukum dan terkait satu sama lain secara harmonis, maka
asas hukum pidana penganut paham Eropa Kontinental dicampur (the mixed type) dengan
asas yang menganut paham Anglo Saxon, dimana satu sama lain saling bertentagan dan tidak
ada hubungan yang harmonis. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi yang menerapkan asas pembuktian terbalik, dimana menurut KUHAP yang
membuktikan kesalahan terdakwa di pengadilan adalah jaksa penuntut umum. Sebaliknya
dalam pembuktian terbalik, terdakwa dibebani membuktikan dirinya tidak bersalah.
Demikian juga dalam KUHAP menerapkan asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence action), sedangkan dalam pembuktian terbalik menggunakan asas menyalahkan
dirinya sendiri atau praduga tidak bersalah (non self incrimination), dan lain-lain.

Berdasarkan hal tersebut, Hukum Pidana Indonesia yang menganut paham Eropa
Kontiental harus taat asas melaksanakannya tanpa mencampuradukkan (the mixed type)
dengan paham hukum lai, terutama Anglo Saxon. Paham Eropa Kontinental dari ratusan asas
yang berlaku, di mana ass yang paling inti atau paling utama adalah asas legalitas, maka
semua asass lain tidak boleh bertentangan dengan asas legalitas tersebut.

9
Dr. Lilik Mulyadi, S.H, M.H, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif,Teoretis dan Praktik.2012
F. PEMBARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

1. Pembaruan Hukum Pidana dalam tindak pidana Korupsi

Pembaruan hukum dalam tindak pidana korupsi, antara lain sebagai berikut.

1. Mengatur mengenai subjeknya, yaitu orang/manusia dan korporasi dalam Pasal 1


Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Pembuktian terbalik
Pembuktian terbalik diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut.
a. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi
b. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi, keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.
c. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda istri atau suami, anak dan harta ebnda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.10

Bila dilihat secara intens,detail dan terinci, ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut adanya dua sistem
pembuktian yaitu, “sistem pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik
yang bersifat terbatas dan berimbang” dan “sisitem negatif” sebagaimana ketentuan
KUHAP. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengertian “pembuktian terbalik yang bersifat
terbatas dan berimbang”, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara bersangkutan dan penuntut
umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaanya.11

2. Tindakan Pembaruan Hukum Pidana

Untuk melakukan pembaruan hukum pidana dilakukan dengan dua hal,yaitu sebagai
berikut.

10
Kompilasi Perundangan Anti Korupsi, hlm,34.
11
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif,Teoretis,Praktik, dan Masalahnya.2012
a. Pemerintah bersama DPR RI

Untuk melakukan pembaruan hukum pidana dalam bentuk undang-undang dilakukan


pemerintah atau presiden RI bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR RI). Hasil pembuatan undang-undang diumumkan dalam lembaran negara, dan setiap
undang-undang sudah diundangkan dalam lembaran negara maka semua anggota
masyarakat dianggap sudah mengetahui undang-undang tersebut, walaupun sebenarnya
masyarkat tidak mengetahui undang-undang tersebut, walaupun sebenarnya masyarakat
tidak mengetahuinya dan mendengarnya saja tidak pernah.

b. Yurisprundensi

Yurisprundensi adalah suatu putusan hakim Mahkamah Agung RI atas suatu


perbuatan yang belum diatur dalam undang-undang atau tidak sesuai lagi dengan kondisi
saat ini, baik mengenal perbuatannya maupun sanksinya (hukuman), dan setelah putusan,
hakim MA mempunyai kekuatan hukum yang tetap merupakan salah satu sumber hukum
formal yang dapat menjadi dasar atau pegangan bagi aparat penegak hukum lain bila ada
suatu masalah yang sama terjadi di wilayah hukumnya massing-masing.

Yurisprundensi mengandung beberapa hal, yaitu sebagai berikut.


(1) Putusan hakim sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
(2) Yurisprundensi merupakan sumber hukum formal.
(3) Terdapat pasal-pasal undang-undang yang tidak jelas atau menimbulkan multitafsir.
(4) Putusan hakim merupakan putusan Hakim Mahkamah Agung sebagai putusan tertinggi
dari putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai