Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH HUKUM PERBANDINGAN PIDANA

Disusun oleh :

Nama: Bintang Mahamaeru S


NIM: E0018085
Kelas: Perbandingan Hukum Pidana C

Dosen Pengampu :

Dr. Rehnalemken Ginting SH, MH.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa kolonialisasi, Negara jajahan mau tidak mau dipaksa menganut
Negara yang menjajahannya. Penjajah adalah bangsa yang dominan menentukkan
aturan yang ada di masyarakat. Selain itu untuk mengisikekosongan hukum yang ada
di Negara jajahannya, maka diterapkanlah hukum yang ada di Negaranya, tentu dengan
penyesuaian ala kadarnya sesuai kondisi wilayah jajahannya. Penerapan hukum seperti
ini, dalam pemahaman hukum sekarang masih digunakan, yaitu hukum mengikuti
warga negaranya. Berlakunya BW di wilayah Hindia Belanda pada waktu itu adalah
berdasarkan asas konkordansi / concordantie beginsel yang tercantum didalam Pasal
131 Indische Staatsregeling, yang biasa disingkat dengan IS. Asas tersebut menentukan
bahwa bagi setiap orang Eropa yang berada di wilayah Hindia Belanda berlaku hukum
perdata yang berlaku di negeri Belanda. Pasal 131 IS ini juga sekaligus merupakan
dasar hukum berlakunya BW dan WvK di wilayah Hindia Belanda.

Keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diterapkan di dalam


sistem hukum nasional Indonesia melalui asas konkordansi menjadi hal yang patut
dipertanyakan dari segi keberlakuaknnya di Indonesia. Keberadaan masyarakat
Indonesia yang sangat pluralis dan keberadaan beragamnya sistem norma yang
berkembang di dalam masyarakat Indonesia menjadi factor lanjutan dan factor paling
penting untuk melihat apakah KUHP yang diterapkan oleh Indonesia melalui Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 adalah solusi terbaik bagi masyarakat Indonesia untuk
mencapai ketertiban hukum. Setelah kurang lebih 3 (tiga) abad dalam masa penjajahan,
termasuk penjajahan dalam ranah pemberlakuan hukum, setelah kemerdekaan
Indonesia dihadapkan pada pilihan untuk menerapkan kembali aturan-aturan Hindia-
Belanda atau dalam keadaan kekosongan hukum (walaupun dalam aspek
kemasyarakatan, masyarakat Indonesia memiliki sistem norma yang berkembang di
dalamnya).
B. Permasalahan
1) Apa makna asas konkordansi?
2) Sejarah asas konkordansi KUHP?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Asas Konkordansi

Asas Konkordansi adalah suatu asas yang melandasi diberlakukannya hukum Eropa
atau hukum di negeri Belanda pada masa itu untuk diberlakukan juga kepada Golongan
Eropa yang ada di Hindia Belanda (Indonesia pada masa itu). Berlakunya hukum Belanda di
Indonesia tidak lain adalah berdasarkan asas konkordansi (konkordan) diartikan dengan
keselarasan, atau asas konkordansi adalah suatu asas penselarasan /keselarasan dalam
memberlakukan sistem dan tata hukum asing (Belanda) di Indonesia sama seperti bagaimana
keadaan hukum yang sebenarnya asal dari tata hukum itu. Keberdaan asas ini tertuang dalam
pasal 131 ayat (2) sub (a) Indische Staatregelings yang berbunyi : “Untuk Golongan Bangsa
Belanda untuk itu harus dianut (dicontoh) Undang-Undang diNegeri Belanda”. Ini berarti
bahwa hukum berlaku bagi orang-orang negeri.1

Belanda di Indonesia harus dipersamakan (menganut/mencontoh) dengan hukum yang


berlaku di Negeri Belanda, kenyataan ini juga konsekuensi logis dari posisi pemerintah
Belanda yang pernah berkuasa di Indonesia. KUHP berlaku di Indonesia saat ini terbentuk
sejak tahun 1915 (dalam bentuk kodifikasi) melalui Staatsblad 1915 No. 732 KUHP ini mulai
berlaku sejak 1 Januari 1918 ketika Indonesia masih dalam penjajahan Belanda. Setelah
Indonesia merdeka, KUHP dinyatakan berlaku melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 (sudah diubah dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia) F199UUD
1945 merupakan inti tata hukum Indonesia.

Di dunia, sistem hukum dibagi kedalam dua golongan: 1. Sistem Eropa Kontinental
(civil Law System). 2. System Anglo Saxon (common Law System). Indonesia menganut
sistem eropa kontinental tetapi dalam perkembangannya maka hukum Indonesia juga
mengadopsi sistem Anglo saxon. Asas konkordasi asas keselarasan (concordantie begeinsel)
adalah asas yang menyamakan hukum yang ada di Belanda dengan hukum yang ada di
Indonesia. Hukum kodifikasi (misal Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Pidana) yang

1
Adrian Sutedi, Op.Cit, hal 2-3.
sekarang berlaku di Indonesia adalah selaras (Konkordan) dengan Hukum Kodifikasi yang
berlaku di Belanda.

Keselarasan Hukum Kodifikasi tersebut disebabkan berlakunya asas konkordansi


(asas keselarasan-asas persamaan berlakunya sistem hukum) di Indonesia. Asas konkordansi
diatur dalam 1.S pasal 131 ayat 2 berbunyi: "untuk golongan bangsa Belanda untuk itu harus
dianut (dicontoh) Undang-Undang di negeri belanda Hal itu berarti, bahwa hukum yang
berlaku bagi orang-orang Belanda di Indonesia harus dipersamakan dengan hukum yang
berlaku di negeri Belanda.

Oleh karena berdasarkan asas konkordansi, sistem hukum pidana Indonesia


mengadopsi hukum pidana dari Belanda, maka istilah asal dari “tindak pidana” berasal dari
kata “strafbaar feit”. “Strafbaar feit” adalah istilah Belanda yang dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan dengan berbagai istilah. Selanjutnya, muncullah beberapa pandangan yang
bervariasi dalam bahasa Indonesia sebagai padanan dari istilah “strafbaar feit” tersebut,
seperti: “perbuatan pidana”, “peristiwa pidana”, “tindak pidana”, “perbuatan yang dapat
dihukum” dan lain sebagainya. Bahkan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan itu
sendiri dipergunakan istilah yang tidak sama, seperti:

a) Undang-undang Dasar Sementara 1950 di dalam Pasal 14 ayat (1)


menggunakan istilah “peristiwa pidana”.
b) Undang-undang No.1/drt/1951 tentang Tindakan Sementara Untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-
pengadilan Sipil, di dalam Pasal 5 ayat (3b), memakai istilah “perbuatan
pidana”.
c) Undang-undang Darurat No.2 tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie
Ttijdelijke Bijzondere Straf Bepalingan Stb. 1958 No. 17, memakai istilah
“perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum”.
d) Undang-undang No 16/Drt/1951 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan, menggunakan istilah “hal yang diancam dengan hukum dan
perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman”.
e) Undang-undang No.7/Drt/1953 tentang Pemilihan Umum, menggunakan
istilah “tindak pidana”.
f) Undang-undang No 7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan
Tindak pidana Ekonomi, menggunakan istilah “tindak pidana”.
g) Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, menggunakan istilah
“tindak pidana”.
h) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, sesuai dengan judulnya,
menggunakan istilah “tindak pidana”.

Untuk menghindari perbedaan persepsi atas padanan dan istilah “strafbaar feit” yang
sangat bervariasi dari penggunaan istilah yang berbeda tersebut, kiranya di masa yang akan
datang perlu menggunakan istilah yang baku, paling tidak yang terdapat di dalam produk
peraturan perundang-undangan. Dari beberapa contoh perundang-undangan tersebut di atas,
dan juga istilah yang digunakan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(RKUHP) yang akan datang, kiranya istilah “tindak pidana” merupakan istilah yang tepat
untuk menggantikan istilah “strafbaar feit”, di samping sudah biasa dipergunakan dalam
pergaulan masyarakat. Berikut pandangan beberapa ahli hukum pidana terkait istilah dari
“strafbaar feit”: Moeljatno mengatakan, “perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifat
perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.”.2 Selanjutnya
Moeljatno menyatakan, perumusan tindak pidana hanya memuat tiga hal, yaitu subjek delik
yang dituju oleh norma hukum (norm addressaat), perbuatan yang dilarang (strafbaar), dan
ancaman pidana (strafmaat). 3

Ketiga hal ini merupakan masalah kriminalisasi yang termasuk dalam lingkup tindak
pidana. Sebaliknya pertanggungjawaban pidana hanya mempersoalkan segi-segi subjektif
dari pembuat tindak pidana. Dalam tahap ini, persoalan tidak lagi berkisar pada masalah
perbuatan dan sifat melawan hukumnya, melainkan berkaitan dengan dalam keadaan
bagaimanakah pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana.

B. Sejarah Asas Konkordansi

Induk peraturan hukum pidana Indonesia adalah Kitab Undang undang


Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht
voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali

2
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 56-57.
3
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana (Jakarta:PT Bina Aksara 1983),
hlm. 11
dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai
diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS
negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada
tahun 1886.4

Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda, namun


pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi
pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan
disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.
Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-
undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809 pada saat
pemerintahan Lodewijk Napoleon. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini
disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua
tahun berlaku, pada tahun 1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code
Penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte
menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda.
Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai
tahun 1886.5

Selama usaha pembaharuan hukum pidana itu, Code Penal mengalami


bebarapa perubahan, terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyiksaan dan
pidana cap bakar yang ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana
yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang
baru dengan nama Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon
dan mulai diberlakukan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886.

Dualisme ini mula-mula juga ada dalam Hukum Pidana. Untuk orang-orang
Eropa berlaku suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersendiri yang termuat
dalam Firman Raja Belanda tanggal 10 Februari 1866 (Staatsblad 1866 nomor 55),
yang mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 1867. Sedang untuk orang-orang Indonesia
dan orang- orang Timur Asing berlaku suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

4
Sudarto, Hukum Pidana I, hal 15.
5
Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
(Jakarta, 1982)
tersendiri yang termuat dalam ordonantie tanggal 6 Mei 1872 (Staatsblad 1872 nomor
85), mulai berlaku tanggal 1 Januari 1873. Seperti pada waktu itu di Negeri Belanda,
kedua-dua Kitab Undnag-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia ini adalah
jiplakan dari Code Penal dari negara Prancis, yang oleh Kaisar Napoleon dinyatakan
berlaku di Negeri Belanda ketika Belanda ada dalam kekuasaan Perancis pada
permulaan abad ke sembilan.6

Pada tahun 1881, di bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru
dan mulai diberlakukan pada tahun 1886. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
baru ini berlaku secara nasional dan sebagian besar juga mencontoh Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana di Negara Jerman. Di Indonesia juga dibentuk Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana baru (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie)
dengan Firman Raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915, mulai berlaku tanggal 1
Januari 1918, yang sekaligus menggantikan kedua-dua Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana sebelumnya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru ini berlaku di
seluruh Hindia Belanda (Indonesia).

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada masa itu terdapat juga
dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidana
bagi golongan non-Eropa. Kenyataan ini dirasakan Idenburg (Minister van Kolonien)
sebagai permasalahan yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun
berusaha pada tahun 1915 keluarlah Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15
Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie dan
berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 Januari 1918

Setelah Indonesia merdeka, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini berlaku


melalui ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 diadakan penegasan tentang hukum pidana
yang berlaku di Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 ini
antara lain diatur tentang hukum pidana yang berlaku adalah peraturan-peraturan
hukum pidana yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 (peraturan-peraturan hukum
pidana yang berlaku pada masa Hindia Belanda), nama undang-undang hukum pidana

6
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal 5.
“Wetboek van Strafrecht voor Neredrlandch-Indie” diubah menjandi “Wetboek van
Strafrecht”, undang-undang tersebut dapat disebut “Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana”.
Selanjutnya, baru pada tanggal 29 September 1958, dengan diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 dinyatakan berlakunya hukum pidana
diseluruh Indonesia dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai
intinya.

Peraturan pokok pada Masa Hindia Belanda terdiri dari:

Ketentuan

a) Algemene Bepaling van Wetgeving voor Indonesia (A.B.), yaitu ketentuan


umum tentang peraturan perundangan untuk Indonesia. Dikeluarkan pada
tanggal 30 April 1847 termuat dalam Stb. 1847/23 (staatblaad).
b) Regerings Reglement (R.R.), Dikeluarkan pada tanggal 2 September 1854
termuat dalam Stb. 1854/2.
c) Indische Staatsregeling (I.S.), Indonesia.

I.S. pada masa Hindia Belanda merupakan sebuah dasar konstitusi yang
berlaku atau sebagai UUD pada saat itu. Adapun ketentuan dalam I.S. yang sangat
penting adalah pasal 163 dan 131: Pasal 163 I.S.; mengkotak-kotakkan. penduduk
Indonesia menjadi 3 golongan. Pasal 131 I.S.; memberikan pengaturan
pemberlakukan hukum kepada golongan sebagaimana diatur dalam pasal 163 yaitu:
bahwa untuk golongan Eropa berlaku hukum Eropa, untuk golongan Timur Asing
berlaku hukum Adat Timur Asing, dan golongan Bumiputera berlaku Hukum Adat
dan Hukum Islam.7

Penggolongan penduduk ini sekarang sudah tidak berlaku lagi dengan


keluarnya UU No. 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan. Dalam hal ini maka
kewarganegaraan di Indonesia terdiri dari:

a) Warga Negara Asing (WNI),


b) Warga Negara Indonesia (WNA),

7
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985) hal
Dalam WNA terdiri dari Warga Negara Asing Asli dan Warga Negara Asing
Keturunan

Masa Jepang

Satu-satunya peraturan pokok yang dikeluarkan oleh Pemerintah Militer Jepang di Indonesia
adalah UU No. 1 Tahun 1942. Berdasarkan UU ini maka berlakulah kembali semua peraturan
perundangan Hindia Belanda yang tidak bertentangan dengan kekuasaan Militer Jepang.

Hukum Pidana kita masih bersifat dualistis dan pluralistis. Bersifat dualistis karena pasal 131
I.S. menggolongkan sistem di Indonesia, yaitu terdiri dari sistem Hukum Barat dan Hukum
Adat.

Dualisme hukum ini terjadi karena pada waktu Belanda datang ke Indonesia, Belanda tidak
memberlakukan hukumnya dan juga tidak mengikuti Hukum Adat. Pluralisme hukum artinya
berlakunya lebih dari satu sistem hukum pada waktu yang sama, tempat yang sama dan
mengenai hal yang sama. Pluralisme bukan merupakan sistem hukum tetapi hanya suatu
keadaan.

Bersifat pluralistis karena Pasal 163 I.S. Indonesia menjadi:

menggolongkan penduduk

a) Golongan Eropa,
b) Golongan Timur Asing,
c) Golongan Bumiputera

Dengan adanya penggolongan ini maka berlaku beberapa sistem yaitu Hukum Islam, Hukum
Adat dan Hukum Barat.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Keberadaan KUHP sebagai adaptasi pandangan positivistik dalam sistem hukum nasional
yang berlandaskan pada asas konkordansi berlakunya tentu tidak akan lepas dari kekuasaan
Negara atas rakyatnya. Hal ini searah dengan pandangan bahwa hukum adalah perintah
penguasa. Tentunya semangat ini amat bertentang dengan padangan sejarah hukum sebagai
pandangan yang historis megenai hukum dalam masyarakat, bahwa hukum tentu harus
berangkat dari jiwa bangsa masyarakat (volkgeist), bahwa hukum adalah kristalisasi nilai-
nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Sehingga keberadaan KUHP ditengah-tengah
norma-norma sosial dan agama yang ditaati masyarkat menjadi kembali dipertanyakan
dengan segala pertentangannya.
DAFTAR PUSTAKA

Lukman Hakim. 2020. Asas-Asas Hukum Pidana Buku Ajaran Bagian


Mahasiswa. CV Budi Utama

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987

Herlina Manullang. 2010. Pengantar Ilmu hukum. Medan. UHN Press

Buku Ajar PHI Universitas Udayana,


https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/1ffdd072f1237b157f5169
db27b512cf.pdf

Anda mungkin juga menyukai