Disusun oleh :
Dosen Pengampu :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa kolonialisasi, Negara jajahan mau tidak mau dipaksa menganut
Negara yang menjajahannya. Penjajah adalah bangsa yang dominan menentukkan
aturan yang ada di masyarakat. Selain itu untuk mengisikekosongan hukum yang ada
di Negara jajahannya, maka diterapkanlah hukum yang ada di Negaranya, tentu dengan
penyesuaian ala kadarnya sesuai kondisi wilayah jajahannya. Penerapan hukum seperti
ini, dalam pemahaman hukum sekarang masih digunakan, yaitu hukum mengikuti
warga negaranya. Berlakunya BW di wilayah Hindia Belanda pada waktu itu adalah
berdasarkan asas konkordansi / concordantie beginsel yang tercantum didalam Pasal
131 Indische Staatsregeling, yang biasa disingkat dengan IS. Asas tersebut menentukan
bahwa bagi setiap orang Eropa yang berada di wilayah Hindia Belanda berlaku hukum
perdata yang berlaku di negeri Belanda. Pasal 131 IS ini juga sekaligus merupakan
dasar hukum berlakunya BW dan WvK di wilayah Hindia Belanda.
PEMBAHASAN
Asas Konkordansi adalah suatu asas yang melandasi diberlakukannya hukum Eropa
atau hukum di negeri Belanda pada masa itu untuk diberlakukan juga kepada Golongan
Eropa yang ada di Hindia Belanda (Indonesia pada masa itu). Berlakunya hukum Belanda di
Indonesia tidak lain adalah berdasarkan asas konkordansi (konkordan) diartikan dengan
keselarasan, atau asas konkordansi adalah suatu asas penselarasan /keselarasan dalam
memberlakukan sistem dan tata hukum asing (Belanda) di Indonesia sama seperti bagaimana
keadaan hukum yang sebenarnya asal dari tata hukum itu. Keberdaan asas ini tertuang dalam
pasal 131 ayat (2) sub (a) Indische Staatregelings yang berbunyi : “Untuk Golongan Bangsa
Belanda untuk itu harus dianut (dicontoh) Undang-Undang diNegeri Belanda”. Ini berarti
bahwa hukum berlaku bagi orang-orang negeri.1
Di dunia, sistem hukum dibagi kedalam dua golongan: 1. Sistem Eropa Kontinental
(civil Law System). 2. System Anglo Saxon (common Law System). Indonesia menganut
sistem eropa kontinental tetapi dalam perkembangannya maka hukum Indonesia juga
mengadopsi sistem Anglo saxon. Asas konkordasi asas keselarasan (concordantie begeinsel)
adalah asas yang menyamakan hukum yang ada di Belanda dengan hukum yang ada di
Indonesia. Hukum kodifikasi (misal Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Pidana) yang
1
Adrian Sutedi, Op.Cit, hal 2-3.
sekarang berlaku di Indonesia adalah selaras (Konkordan) dengan Hukum Kodifikasi yang
berlaku di Belanda.
Untuk menghindari perbedaan persepsi atas padanan dan istilah “strafbaar feit” yang
sangat bervariasi dari penggunaan istilah yang berbeda tersebut, kiranya di masa yang akan
datang perlu menggunakan istilah yang baku, paling tidak yang terdapat di dalam produk
peraturan perundang-undangan. Dari beberapa contoh perundang-undangan tersebut di atas,
dan juga istilah yang digunakan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(RKUHP) yang akan datang, kiranya istilah “tindak pidana” merupakan istilah yang tepat
untuk menggantikan istilah “strafbaar feit”, di samping sudah biasa dipergunakan dalam
pergaulan masyarakat. Berikut pandangan beberapa ahli hukum pidana terkait istilah dari
“strafbaar feit”: Moeljatno mengatakan, “perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifat
perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.”.2 Selanjutnya
Moeljatno menyatakan, perumusan tindak pidana hanya memuat tiga hal, yaitu subjek delik
yang dituju oleh norma hukum (norm addressaat), perbuatan yang dilarang (strafbaar), dan
ancaman pidana (strafmaat). 3
Ketiga hal ini merupakan masalah kriminalisasi yang termasuk dalam lingkup tindak
pidana. Sebaliknya pertanggungjawaban pidana hanya mempersoalkan segi-segi subjektif
dari pembuat tindak pidana. Dalam tahap ini, persoalan tidak lagi berkisar pada masalah
perbuatan dan sifat melawan hukumnya, melainkan berkaitan dengan dalam keadaan
bagaimanakah pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana.
2
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 56-57.
3
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana (Jakarta:PT Bina Aksara 1983),
hlm. 11
dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai
diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS
negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada
tahun 1886.4
Dualisme ini mula-mula juga ada dalam Hukum Pidana. Untuk orang-orang
Eropa berlaku suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersendiri yang termuat
dalam Firman Raja Belanda tanggal 10 Februari 1866 (Staatsblad 1866 nomor 55),
yang mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 1867. Sedang untuk orang-orang Indonesia
dan orang- orang Timur Asing berlaku suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
4
Sudarto, Hukum Pidana I, hal 15.
5
Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
(Jakarta, 1982)
tersendiri yang termuat dalam ordonantie tanggal 6 Mei 1872 (Staatsblad 1872 nomor
85), mulai berlaku tanggal 1 Januari 1873. Seperti pada waktu itu di Negeri Belanda,
kedua-dua Kitab Undnag-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia ini adalah
jiplakan dari Code Penal dari negara Prancis, yang oleh Kaisar Napoleon dinyatakan
berlaku di Negeri Belanda ketika Belanda ada dalam kekuasaan Perancis pada
permulaan abad ke sembilan.6
Pada tahun 1881, di bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru
dan mulai diberlakukan pada tahun 1886. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
baru ini berlaku secara nasional dan sebagian besar juga mencontoh Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana di Negara Jerman. Di Indonesia juga dibentuk Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana baru (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie)
dengan Firman Raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915, mulai berlaku tanggal 1
Januari 1918, yang sekaligus menggantikan kedua-dua Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana sebelumnya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru ini berlaku di
seluruh Hindia Belanda (Indonesia).
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada masa itu terdapat juga
dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidana
bagi golongan non-Eropa. Kenyataan ini dirasakan Idenburg (Minister van Kolonien)
sebagai permasalahan yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun
berusaha pada tahun 1915 keluarlah Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15
Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie dan
berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 Januari 1918
6
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal 5.
“Wetboek van Strafrecht voor Neredrlandch-Indie” diubah menjandi “Wetboek van
Strafrecht”, undang-undang tersebut dapat disebut “Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana”.
Selanjutnya, baru pada tanggal 29 September 1958, dengan diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 dinyatakan berlakunya hukum pidana
diseluruh Indonesia dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai
intinya.
Ketentuan
I.S. pada masa Hindia Belanda merupakan sebuah dasar konstitusi yang
berlaku atau sebagai UUD pada saat itu. Adapun ketentuan dalam I.S. yang sangat
penting adalah pasal 163 dan 131: Pasal 163 I.S.; mengkotak-kotakkan. penduduk
Indonesia menjadi 3 golongan. Pasal 131 I.S.; memberikan pengaturan
pemberlakukan hukum kepada golongan sebagaimana diatur dalam pasal 163 yaitu:
bahwa untuk golongan Eropa berlaku hukum Eropa, untuk golongan Timur Asing
berlaku hukum Adat Timur Asing, dan golongan Bumiputera berlaku Hukum Adat
dan Hukum Islam.7
7
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985) hal
Dalam WNA terdiri dari Warga Negara Asing Asli dan Warga Negara Asing
Keturunan
Masa Jepang
Satu-satunya peraturan pokok yang dikeluarkan oleh Pemerintah Militer Jepang di Indonesia
adalah UU No. 1 Tahun 1942. Berdasarkan UU ini maka berlakulah kembali semua peraturan
perundangan Hindia Belanda yang tidak bertentangan dengan kekuasaan Militer Jepang.
Hukum Pidana kita masih bersifat dualistis dan pluralistis. Bersifat dualistis karena pasal 131
I.S. menggolongkan sistem di Indonesia, yaitu terdiri dari sistem Hukum Barat dan Hukum
Adat.
Dualisme hukum ini terjadi karena pada waktu Belanda datang ke Indonesia, Belanda tidak
memberlakukan hukumnya dan juga tidak mengikuti Hukum Adat. Pluralisme hukum artinya
berlakunya lebih dari satu sistem hukum pada waktu yang sama, tempat yang sama dan
mengenai hal yang sama. Pluralisme bukan merupakan sistem hukum tetapi hanya suatu
keadaan.
menggolongkan penduduk
a) Golongan Eropa,
b) Golongan Timur Asing,
c) Golongan Bumiputera
Dengan adanya penggolongan ini maka berlaku beberapa sistem yaitu Hukum Islam, Hukum
Adat dan Hukum Barat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Keberadaan KUHP sebagai adaptasi pandangan positivistik dalam sistem hukum nasional
yang berlandaskan pada asas konkordansi berlakunya tentu tidak akan lepas dari kekuasaan
Negara atas rakyatnya. Hal ini searah dengan pandangan bahwa hukum adalah perintah
penguasa. Tentunya semangat ini amat bertentang dengan padangan sejarah hukum sebagai
pandangan yang historis megenai hukum dalam masyarakat, bahwa hukum tentu harus
berangkat dari jiwa bangsa masyarakat (volkgeist), bahwa hukum adalah kristalisasi nilai-
nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Sehingga keberadaan KUHP ditengah-tengah
norma-norma sosial dan agama yang ditaati masyarkat menjadi kembali dipertanyakan
dengan segala pertentangannya.
DAFTAR PUSTAKA