Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHALUAN

A. Latar Belakang

Pada masa sekarang pajak adalah sumber pendapatan negara yang

terbesar sebagai pembiayaan pengeluaran negara, pembangunan, dan utang

negara. Dan juga pajak adalah urunan masyarakat untuk kas negara yang terdapat

di undang-undang No. 28 Tahun 2007. Berdasarkan Ketentuan Umum dan

Tatacara Perpajakan yang mengacu pada Pasal 1 Undang – Undang Nomor 28

Tahun 2007 Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh

orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang

dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk

keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Mardiasmo, 2009 :

19). Pajak merupakan sektor pendapatan yang paling utama di Indonesia. Untuk

itu pemerintah sangat mengoptimalkan pendapatan pada sektor perpajakan,

dukungan serta peran aktif masyarakat sebagai warga negara sangat dibutuhkan,

mengingat masyarakat merupakan peran serta utama sebagai wajib pajak yang

merupakan faktor yang vital terwujudnya pendapatan pajak yang optimal.

Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif

perpajakan, mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan

Pajak untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berfungsi

1
sebagai sarana dalam memulai proses awal administrasi perpajakan karena

didalamnya terdapat nomor yang merupakan identitas setiap wajib pajak yang

tentunya akan dipakai dalam setiap kegiatan dan dokumen perpajakan. Begitu

pula sebaliknya seseorang dikatakan menjadi Wajib Pajak apabila memang sudah

memenuhi unsur subjektif dan objektifnya sehingga jika salah satunya tidak

terpenuhi maka ia kehilangan status sebagai Wajib Pajak. Bagi para wajib pajak,

menganggap bahwa tata cara perpajakan di Indonesia adalah hal yang biasa.

Wajib Pajak juga berhak mendapatkan imformasi atau transparansi dari

tata cara perpajakan dan peruntukannya bahkan tidak di ketahui. Dalam hal ini

Wajib Pajak, berhak untuk menauntuk menghindari adanya pajak berganda

seperti misalnya wanita yang menikah tanpa melakukan perjanjian pemisahan

dan penghasilan serta tidak ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban

perpajakannya terpisah dari suaminya, dan masih banyak lagi masalah - masalah

yang mengakibatkan Nomor Pokok Wajib Pajak terhapuskan. Penghapusan

NPWP dapat dilakukan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau secara jabatan

berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil Verifikasi sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai

tata cara pemeriksaan atau tata cara verifikasi.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2011, verifikasi adalah

serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif atau

penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau

2
berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktur

Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak,

menerbitkan/menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau

mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Namun pada

umumnya ada pula masyarakat yang mengabaikan, juga ada pula yang tidak

mengetahui tahapan-tahapan untuk melakukan pembayaran dan apa sebenarnya

fungsi dan manfaat pajak itu sendiri bahkan perkembangan sistem perpajakan di

Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan di Indoensia?

3
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Sistem Hukum Pidana di Indonesia

Di Indonesia mempunyai 2 (dua) sistem hukum pidana, yaitu hukum pidana

yang berasal dari negara barat tepatnya dari Belanda yang dikenal dengan nama

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum pidana adat.

1. Hukum Pidana berdasarkan KUHP


Indonesia merupakan salah satu negara penganut sistem huku eropa,
Berlakunya hukum Belanda di Indonesia tidak lain adalah berdasarkan asas
konkordansi (konkordan) diartikan dengan keselarasan, atau asas konkordansi
adalah suatu asas penselarasan /keselarasan dalam memberlakukan sistem dan
tata hukum asing (Belanda) di Indonesia sama seperti bagaimana keadaan
hukum yang sebenarnya asal dari tata hukum itu. Keberdaan asas ini tertuang
dalam pasal 131 ayat (2) sub (a) Indische Staatregelings yang berbunyi :
“Untuk Golongan Bangsa Belanda untuk itu harus dianut (dicontoh) Undang-
Undang diNegeri Belanda”. Ini berarti bahwa hukum berlaku bagi orang-
orang negeri.
Belanda di Indonesia harus dipersamakan (menganut/mencontoh)
dengan hukum yang berlaku di Negeri Belanda, kenyataan ini juga
konsekuensi logis dari posisi pemerintah Belanda yang pernah berkuasa di
Indonesia. KUHP berlaku di Indonesia saat ini terbentuk sejak tahun 1915
(dalam bentuk kodifikasi) melalui Staatsblad 1915 No. 732 KUHP ini mulai
berlaku sejak 1 Januari 1918 ketika Indonesia masih dalam penjajahan
Belanda. Setelah Indonesia merdeka, KUHP dinyatakan berlaku melalui

4
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 (sudah diubah dan disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat Indonesia) F199UUD 1945 merupakan inti tata hukum
Indonesia. Di dunia, sistem hukum dibagi kedalam dua golongan:
a. Sistem Eropa Kontinental (civil Law System).
Sistem Eropa Kontinental adalah sebagai suatu tradisi hukum yang
berasal dari hukum roma yang terkodifikasi dalam Corpus Juris Civilis
Justitian dan tersebar ke seluruh benua eropa dan seluruh dunia. Prinsip
utama yang menjadi dasar sistem hukum eropa kontinental adalah
“hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam
peraturan dan dalam bentuk Undang-Undang dan tersusunsecara
sistematis didalam kodifikasi atau kompilasi tertentu”. Prinsip ini dianut
karena nilai utama yang menjadi tujuan hukum adalah keapstian hukum.
b. System Anglo Saxon (common Law System).
Sistem hukum anglo saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan
pada yurispudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang
kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya
Indonesia menganut sistem eropa kontinental tetapi dalam
perkembangannya maka hukum Indonesia juga mengadopsi sistem Anglo
saxon. Asas konkordasi asas keselarasan (concordantie begeinsel) adalah asas
yang menyamakan hukum yang ada di Belanda dengan hukum yang ada di
Indonesia. Hukum kodifikasi (misal Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum
Pidana) yang sekarang berlaku di Indonesia adalah selaras (Konkordan)
dengan Hukum Kodifikasi yang berlaku di Belanda. Keselarasan Hukum
Kodifikasi tersebut disebabkan berlakunya asas konkordansi (asas
keselarasan-asas persamaan berlakunya sistem hukum) di Indonesia. Asas
konkordansi diatur dalam 1.S pasal 131 ayat 2 berbunyi: "untuk golongan
bangsa Belanda untuk itu harus dianut (dicontoh) Undang-Undang di negeri
belanda Hal itu berarti, bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang Belanda

5
di Indonesia harus dipersamakan dengan hukum yang berlaku di negeri
Belanda.
Oleh karena berdasarkan asas konkordansi, sistem hukum pidana
Indonesia mengadopsi hukum pidana dari Belanda, maka istilah asal dari
“tindak pidana” berasal dari kata “strafbaar feit”. “Strafbaar feit” adalah
istilah Belanda yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan berbagai
istilah. Selanjutnya, muncullah beberapa pandangan yang bervariasi dalam
bahasa Indonesia sebagai padanan dari istilah “strafbaar feit” tersebut, seperti:
“perbuatan pidana”, “peristiwa pidana”, “tindak pidana”, “perbuatan yang
dapat dihukum” dan lain sebagainya. Bahkan di dalam berbagai peraturan
perundang-undangan itu sendiri dipergunakan istilah yang tidak sama, seperti:
1. Undang-undang Dasar Sementara 1950 di dalam Pasal 14 ayat (1)
menggunakan istilah “peristiwa pidana”.
2. Undang-undang No.1/drt/1951 tentang Tindakan Sementara Untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara
Pengadilanpengadilan Sipil, di dalam Pasal 5 ayat (3b), memakai istilah
“perbuatan pidana”.
3. Undang-undang Darurat No.2 tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie
Ttijdelijke Bijzondere Straf Bepalingan Stb. 1958 No. 17, memakai istilah
“perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum”.
4. Undang-undang No 16/Drt/1951 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan, menggunakan istilah “hal yang diancam dengan hukum dan
perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman”.
5. Undang-undang No.7/Drt/1953 tentang Pemilihan Umum, menggunakan
istilah “tindak pidana”.
6. Undang-undang No 7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak pidana Ekonomi, menggunakan istilah “tindak pidana”.
7. Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, menggunakan istilah
“tindak pidana”.

6
8. Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, sesuai dengan judulnya,
menggunakan istilah “tindak pidana”.
Untuk menghindari perbedaan persepsi atas padanan dan istilah
“strafbaar feit” yang sangat bervariasi dari penggunaan istilah yang
berbeda tersebut, kiranya di masa yang akan datang perlu menggunakan
istilah yang baku, paling tidak yang terdapat di dalam produk peraturan
perundang-undangan. Dari beberapa contoh perundang-undangan tersebut
di atas, dan juga istilah yang digunakan dalam Rancangan Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan datang, kiranya istilah
“tindak pidana” merupakan istilah yang tepat untuk menggantikan istilah
“strafbaar feit”, di samping sudah biasa dipergunakan dalam pergaulan
masyarakat. Berikut pandangan beberapa ahli hukum pidana terkait istilah
dari “strafbaar feit”: Moeljatno mengatakan, “perbuatan pidana hanya
menunjuk kepada sifat perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan
ancaman pidana kalau dilanggar.”. Selanjutnya Moeljatno menyatakan,
perumusan tindak pidana hanya memuat tiga hal, yaitu subjek delik yang
dituju oleh norma hukum (norm addressaat), perbuatan yang dilarang
(strafbaar), dan ancaman pidana (strafmaat).
Ketiga hal ini merupakan masalah kriminalisasi yang termasuk dalam
lingkup tindak pidana. Sebaliknya pertanggungjawaban pidana hanya
mempersoalkan segi-segi subjektif dari pembuat tindak pidana. Dalam
tahap ini, persoalan tidak lagi berkisar pada masalah perbuatan dan sifat
melawan hukumnya, melainkan berkaitan dengan dalam keadaan
bagaimanakah pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana.
2. Sistem Hukum Pidana Adat
keberadaan hukum pidana adat pada masyarakat merupakan
pencerminan kehidupan masyarakat tersebut dan pada masing-masing daerah
memiliki Hukum Pidana Adat yang berbeda-beda sesuai dengan adat istiadat
yang ada didaerah tersebut dengan ciri khas tidak tertulis ataupun

7
terkodifikasikan. Sumber hukum pidana tidak tertulis ini perlu mendapat
perahtian.

Antara hukum pidana adat menurut KUHP dan hukum pelangaran adat terdapat

perbedaan sebagai berikut :

a. Sistem terbuka

KUHP menganut sistem tertutup. Sistem pelanggaran yang dianut hukum

pidana adat adalah terbuka tidak seperti hukum pidana barat yang tertutup

yang terikat pada suatu ketentuan yang terdapat pada pasal 1 KUHP karena

apa yang dilarang atau dibolehkan menurut hukum adat itu akan selalu diukur

dengan mata rantai lapangan hidup seluruhnya. Apabila terjadi peristiwa yang

mengganggu keseimbangan kehidupan masyarakat adat maka itu

dikategorikan sebagai pelanggaran. Apabila pelanggaran terjadi makapara

petugas hukum (jika diminta) akan berusaha mengembalikan keseimbangan

itu dengan mencari jalan penyelesainnya. Setelah kesepakatan tercapai

barulah dilihatpada norma-norma hukum adat yang ada atau menetukan

hukum yang baru untuk memenuhi kesepakatan guna penyelesaian.

b. Melakukan kesalahan

Hukum pidana adat hanyamengenal delik yang bertentangan dengan

kepentingan masyarakat setempat dan atau bertentangan dengan kepentingan

pribadi seseorang. Begitu pula delik adat yangmemerlukan adanya

pembuktian, tetapi ada jga yang tidak memerlukan pembuktian sama sekali

8
karena diamggap umum mengetahuinya atau dikarenakan hukum sudah

terkena akibat perbuatannya. Menurut hukum pidana adat selain kesalahan

dapat dibebankan kepada orang lain, begitu juga orang lain dapat pula

menanggung perbuatan salah.

B. Sistem Hukum Pidana Jepang

Tradisi hukum eropa kontinental menyebar ke luar dari Eropa terutama melaui

penjajahan. Akan tetapi, terdapat pula Negara – Negara yang menjalankan tradisi

eropa kontinental meskipun tidak pernah dijajah dan Jepang merupakan salah

satunya. Jepang banyak dipengaruhi oleh sistem hukum Jerman.

1. Sistem hukum Jerman sendiri kemudian dikenal sebagai tradisi hukum Eropa

Kontinental, dengan demikian dapat dikatakan bahwa Jepang menerapkan

tradisi hukum Eropa Kontinental karena hukum yang berlaku di Jepang

terpengaruh dari hukum Jerman. Penerapan tradisi hukum Eropa Kontinental

di Jepang dapat dilihat dari adanya kodifikasi terhadap hukum pidananya,

yaitu KUHP Jepang atau The Penal Code of Japan yang berakar dari Code

Penal Perancis dimana telah diketahui bahwa tradisi hukum Eropa Kontinental

lebih menekankan kepada sumber hukum tertulis dan terdapat kecenderungan

dilakukan kodifikasi terhadap hukumnya. Selain itu, pentingnya sumber

hukum tertulis dalam ketatanegaraan Jepang dapat dilihat dari Pasal 2

Konstitusi Jepang yang menyatakan bahwa “Takhta Kekaisaran haruslah

merupakan kedinastian dan diwariskan sesuai dengan Undang – Undang

Istana Kaisar yang dikeluarkan oleh Diet.”

9
2. Berdasarkan pasal tersebut, dapat dilihat bahwa ternyata sumber hukum

tertulis, atau dalam hal ini Undang – Undang di Jepang memiliki peranan

yang penting.

Selain konstitusi, jenis hukum lainnya yang dipengaruhi hukum Amerika

adalah Hukum Acara Pidana Jepang yang mengadopsi Hukum Acara Pidana

Amerika. Ini menjadi keunikan tersendiri, sementara Kitab Hukum Pidana Jepang

mengadopsi Perancis/Jerman yang memiliki tradisi civil law/Eropa Kontinental,

Hukum Acara Pidana Jepang mengadopsi Amerika (Common law/Anglo-Saxon)

yang memiliki tradisi hukum yang berbeda dengan civil law. Pada saat

pembabakan hukum asing di Jepang, di tahap II, yaitu saat Jepang membuka

pintu bagi masuknya bangsa Barat ke negerinya, terdapat anggapan dari bangsa

Barat yang menyatakan bahwa hukum Jepang itu kuno, dengan adanya anggapan

tersebut Jepang cepat – cepat memodernisasi hukumnya dengan mengikuti model

Eropa dengan menjiplak hukum Perancis dan Jerman sehingga terbentuk

Konstitusi Meiji. Akan tetapi hadirnya hukum modern Jepang terseut ternyata

tidak menyentuh perilaku orang Jepang itu sendiri. Bagi bangsa Jepang, hukum

tersebut lebih merupankan bunyi–bunyian asing yang khas Eropa yang pada

akhirnya mengakibatkan masyarakat Jepang tetap berpegangan pada tradisi dan

kaidah asli yang telah mengatur kehidupan Jepang selama ratusan tahun. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa hukum modern yang diadopsi oleh Jepang tidak

serta merta membuat Jepang lupa pada hukum yang hidup dalam masyarakat atau

10
tradisinya sendiri. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa Jepang pada awalnya

menganut tradisi hukum Eropa Kontinental yang menekankan sumber hukumnya

pada sumber hukum tertulis. Namun, seiring dengan perkembangan dan

kebutuhan masyarakat, keberadaan hukum tidak tertulis yang merupakan ciri

tradisi hukum Anglo Saxon pun diakui di Jepang untuk mengakomodasi

perkembangan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam sistem hukum pidana Negara Indonesia dan Sistem pidana jepang

memiliki kesamaan menganut sistem hukum eropa yakni eropa kontinental

dan Anglo Saxon, dan pada sistem hukum di Indonesia memiliki sistem

hukum eropa yaitu KUHP dan Sistem Pidana adat, pada proses penyelesaian

perkara pidana yang terjadi di lingkungan masyarakat terlebih di dahulukan

hukam pidana adat.

B. Saran

Sistem hukum pidana di Negara Indonesia dan Jepang sama sama

menganur sistem Eropa Kontinental dalam pelaksanaannya harus lebih efisien

karena beberapa proses pelaksanaan pidana terhadap pelaku kejahatan atau

pelanggaran masih terdapat celah atau kebocoran hukum, dan keselarasan

dalam melaksanakan penyelesaian masalah baikdi tingkat adat maupun

pengadilan.

12

Anda mungkin juga menyukai