PENDAHALUAN
A. Latar Belakang
negara. Dan juga pajak adalah urunan masyarakat untuk kas negara yang terdapat
Tahun 2007 Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
19). Pajak merupakan sektor pendapatan yang paling utama di Indonesia. Untuk
dukungan serta peran aktif masyarakat sebagai warga negara sangat dibutuhkan,
mengingat masyarakat merupakan peran serta utama sebagai wajib pajak yang
Pajak untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berfungsi
1
sebagai sarana dalam memulai proses awal administrasi perpajakan karena
didalamnya terdapat nomor yang merupakan identitas setiap wajib pajak yang
tentunya akan dipakai dalam setiap kegiatan dan dokumen perpajakan. Begitu
pula sebaliknya seseorang dikatakan menjadi Wajib Pajak apabila memang sudah
memenuhi unsur subjektif dan objektifnya sehingga jika salah satunya tidak
terpenuhi maka ia kehilangan status sebagai Wajib Pajak. Bagi para wajib pajak,
menganggap bahwa tata cara perpajakan di Indonesia adalah hal yang biasa.
tata cara perpajakan dan peruntukannya bahkan tidak di ketahui. Dalam hal ini
dan penghasilan serta tidak ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban
perpajakannya terpisah dari suaminya, dan masih banyak lagi masalah - masalah
NPWP dapat dilakukan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau secara jabatan
2
berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktur
umumnya ada pula masyarakat yang mengabaikan, juga ada pula yang tidak
fungsi dan manfaat pajak itu sendiri bahkan perkembangan sistem perpajakan di
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
3
BAB II
LANDASAN TEORI
yang berasal dari negara barat tepatnya dari Belanda yang dikenal dengan nama
4
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 (sudah diubah dan disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat Indonesia) F199UUD 1945 merupakan inti tata hukum
Indonesia. Di dunia, sistem hukum dibagi kedalam dua golongan:
a. Sistem Eropa Kontinental (civil Law System).
Sistem Eropa Kontinental adalah sebagai suatu tradisi hukum yang
berasal dari hukum roma yang terkodifikasi dalam Corpus Juris Civilis
Justitian dan tersebar ke seluruh benua eropa dan seluruh dunia. Prinsip
utama yang menjadi dasar sistem hukum eropa kontinental adalah
“hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam
peraturan dan dalam bentuk Undang-Undang dan tersusunsecara
sistematis didalam kodifikasi atau kompilasi tertentu”. Prinsip ini dianut
karena nilai utama yang menjadi tujuan hukum adalah keapstian hukum.
b. System Anglo Saxon (common Law System).
Sistem hukum anglo saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan
pada yurispudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang
kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya
Indonesia menganut sistem eropa kontinental tetapi dalam
perkembangannya maka hukum Indonesia juga mengadopsi sistem Anglo
saxon. Asas konkordasi asas keselarasan (concordantie begeinsel) adalah asas
yang menyamakan hukum yang ada di Belanda dengan hukum yang ada di
Indonesia. Hukum kodifikasi (misal Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum
Pidana) yang sekarang berlaku di Indonesia adalah selaras (Konkordan)
dengan Hukum Kodifikasi yang berlaku di Belanda. Keselarasan Hukum
Kodifikasi tersebut disebabkan berlakunya asas konkordansi (asas
keselarasan-asas persamaan berlakunya sistem hukum) di Indonesia. Asas
konkordansi diatur dalam 1.S pasal 131 ayat 2 berbunyi: "untuk golongan
bangsa Belanda untuk itu harus dianut (dicontoh) Undang-Undang di negeri
belanda Hal itu berarti, bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang Belanda
5
di Indonesia harus dipersamakan dengan hukum yang berlaku di negeri
Belanda.
Oleh karena berdasarkan asas konkordansi, sistem hukum pidana
Indonesia mengadopsi hukum pidana dari Belanda, maka istilah asal dari
“tindak pidana” berasal dari kata “strafbaar feit”. “Strafbaar feit” adalah
istilah Belanda yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan berbagai
istilah. Selanjutnya, muncullah beberapa pandangan yang bervariasi dalam
bahasa Indonesia sebagai padanan dari istilah “strafbaar feit” tersebut, seperti:
“perbuatan pidana”, “peristiwa pidana”, “tindak pidana”, “perbuatan yang
dapat dihukum” dan lain sebagainya. Bahkan di dalam berbagai peraturan
perundang-undangan itu sendiri dipergunakan istilah yang tidak sama, seperti:
1. Undang-undang Dasar Sementara 1950 di dalam Pasal 14 ayat (1)
menggunakan istilah “peristiwa pidana”.
2. Undang-undang No.1/drt/1951 tentang Tindakan Sementara Untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara
Pengadilanpengadilan Sipil, di dalam Pasal 5 ayat (3b), memakai istilah
“perbuatan pidana”.
3. Undang-undang Darurat No.2 tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie
Ttijdelijke Bijzondere Straf Bepalingan Stb. 1958 No. 17, memakai istilah
“perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum”.
4. Undang-undang No 16/Drt/1951 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan, menggunakan istilah “hal yang diancam dengan hukum dan
perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman”.
5. Undang-undang No.7/Drt/1953 tentang Pemilihan Umum, menggunakan
istilah “tindak pidana”.
6. Undang-undang No 7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak pidana Ekonomi, menggunakan istilah “tindak pidana”.
7. Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, menggunakan istilah
“tindak pidana”.
6
8. Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, sesuai dengan judulnya,
menggunakan istilah “tindak pidana”.
Untuk menghindari perbedaan persepsi atas padanan dan istilah
“strafbaar feit” yang sangat bervariasi dari penggunaan istilah yang
berbeda tersebut, kiranya di masa yang akan datang perlu menggunakan
istilah yang baku, paling tidak yang terdapat di dalam produk peraturan
perundang-undangan. Dari beberapa contoh perundang-undangan tersebut
di atas, dan juga istilah yang digunakan dalam Rancangan Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan datang, kiranya istilah
“tindak pidana” merupakan istilah yang tepat untuk menggantikan istilah
“strafbaar feit”, di samping sudah biasa dipergunakan dalam pergaulan
masyarakat. Berikut pandangan beberapa ahli hukum pidana terkait istilah
dari “strafbaar feit”: Moeljatno mengatakan, “perbuatan pidana hanya
menunjuk kepada sifat perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan
ancaman pidana kalau dilanggar.”. Selanjutnya Moeljatno menyatakan,
perumusan tindak pidana hanya memuat tiga hal, yaitu subjek delik yang
dituju oleh norma hukum (norm addressaat), perbuatan yang dilarang
(strafbaar), dan ancaman pidana (strafmaat).
Ketiga hal ini merupakan masalah kriminalisasi yang termasuk dalam
lingkup tindak pidana. Sebaliknya pertanggungjawaban pidana hanya
mempersoalkan segi-segi subjektif dari pembuat tindak pidana. Dalam
tahap ini, persoalan tidak lagi berkisar pada masalah perbuatan dan sifat
melawan hukumnya, melainkan berkaitan dengan dalam keadaan
bagaimanakah pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana.
2. Sistem Hukum Pidana Adat
keberadaan hukum pidana adat pada masyarakat merupakan
pencerminan kehidupan masyarakat tersebut dan pada masing-masing daerah
memiliki Hukum Pidana Adat yang berbeda-beda sesuai dengan adat istiadat
yang ada didaerah tersebut dengan ciri khas tidak tertulis ataupun
7
terkodifikasikan. Sumber hukum pidana tidak tertulis ini perlu mendapat
perahtian.
Antara hukum pidana adat menurut KUHP dan hukum pelangaran adat terdapat
a. Sistem terbuka
pidana adat adalah terbuka tidak seperti hukum pidana barat yang tertutup
yang terikat pada suatu ketentuan yang terdapat pada pasal 1 KUHP karena
apa yang dilarang atau dibolehkan menurut hukum adat itu akan selalu diukur
dengan mata rantai lapangan hidup seluruhnya. Apabila terjadi peristiwa yang
b. Melakukan kesalahan
pembuktian, tetapi ada jga yang tidak memerlukan pembuktian sama sekali
8
karena diamggap umum mengetahuinya atau dikarenakan hukum sudah
dapat dibebankan kepada orang lain, begitu juga orang lain dapat pula
Tradisi hukum eropa kontinental menyebar ke luar dari Eropa terutama melaui
penjajahan. Akan tetapi, terdapat pula Negara – Negara yang menjalankan tradisi
eropa kontinental meskipun tidak pernah dijajah dan Jepang merupakan salah
1. Sistem hukum Jerman sendiri kemudian dikenal sebagai tradisi hukum Eropa
yaitu KUHP Jepang atau The Penal Code of Japan yang berakar dari Code
Penal Perancis dimana telah diketahui bahwa tradisi hukum Eropa Kontinental
9
2. Berdasarkan pasal tersebut, dapat dilihat bahwa ternyata sumber hukum
tertulis, atau dalam hal ini Undang – Undang di Jepang memiliki peranan
yang penting.
adalah Hukum Acara Pidana Jepang yang mengadopsi Hukum Acara Pidana
Amerika. Ini menjadi keunikan tersendiri, sementara Kitab Hukum Pidana Jepang
yang memiliki tradisi hukum yang berbeda dengan civil law. Pada saat
pembabakan hukum asing di Jepang, di tahap II, yaitu saat Jepang membuka
pintu bagi masuknya bangsa Barat ke negerinya, terdapat anggapan dari bangsa
Barat yang menyatakan bahwa hukum Jepang itu kuno, dengan adanya anggapan
Konstitusi Meiji. Akan tetapi hadirnya hukum modern Jepang terseut ternyata
tidak menyentuh perilaku orang Jepang itu sendiri. Bagi bangsa Jepang, hukum
tersebut lebih merupankan bunyi–bunyian asing yang khas Eropa yang pada
kaidah asli yang telah mengatur kehidupan Jepang selama ratusan tahun. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa hukum modern yang diadopsi oleh Jepang tidak
serta merta membuat Jepang lupa pada hukum yang hidup dalam masyarakat atau
10
tradisinya sendiri. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa Jepang pada awalnya
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam sistem hukum pidana Negara Indonesia dan Sistem pidana jepang
dan Anglo Saxon, dan pada sistem hukum di Indonesia memiliki sistem
hukum eropa yaitu KUHP dan Sistem Pidana adat, pada proses penyelesaian
B. Saran
pengadilan.
12