Anda di halaman 1dari 6

 

        -- PEMBAGIAN HUKUM PIDANA --


 
Hukum Pidana dapat dibagi sebagai berikut:
1) Hukum Pidana Objektif (lus Punale), yang dapat dibagi ke dalam:
Hukum Pidana Materiil
Hukum Pidana Formil (Hukum Acara Pidana).
2) Hukum Pidana Subjektif (ius Puniendi).
3) Hukum Pidana Umum.
4) Hukum Pidana Khusus, yang dapat dibagi lagi ke dalam:
Hukum Pidana Militer.
Hukum Pidana Pajak (Fiskal).
 
Apa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Objektif (lus Punale)
Hukum Pidana Objektif (Ius Punale) ialah semua peraturan yang mengandung keharusan atau larangan,
terhadap pelanggaran mana- diancam dengan hukuman yang bersifat siksaan.
Hukum Pidana Objektif dibagi dalam Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil:
Hukum Pidana Materiil ialah peraturan-peraturan yang menegaskan:
(1) Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum.
(2) Siapa yang dapat dihukum.
(3) Dengan hukuman apa menghukum seseorang.
 
Apa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Materiil
Singkatnya Hukuman Pidana Materiil mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-
syarat bila seseorang dapat dihukum.
Jadi Hukuman Pidana Materiil mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat
bila seseorang dapat dihukum.
Hukum Pidana Materiil membedakan adanya:
(a) Hukum Pidana Umum.
(b) Hukum Pidana Khusus, misalnya Hukum Pidana Pajak (seorang yang tidak membayar pajak
kendaraan bermotor, hukumannya tidak terdapat dalam Hukum Pidana Umum, akan tetapi diatur
tersendiri dalam Undang-undang (Pidana Pajak)).
 
Apakah Hukum Pidana Formil itu dan bagaimana hubungan antara Hukum Pidana Formil atau Hukum
Acara Pidana dengan Hukum Pidana Materiil?
Hukum Pidana Formil ialah hukum yang mengatur cara-cara menghukum seseorang yang melanggar
peraturan pidana (merupakan pelaksanaan dari Hukum Pidana Materiil).
Dapat juga dikatakan bahwa Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana memuat peraturan-
peraturan tentang bagaimana memelihara atau mempertahankan Hukum Pidana Materiil, dan karena
memuat cara-cara untuk menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana, maka hukum ini
dinamakan juga Hukum Acara Pidana.
 
Di mana Hukum Acara Pidana terkumpul/diatur
Hukum Acara Pidana terkumpul/diatur dalam Reglemen Indonesia yang dibarui disingkat dahulu RIB
(Herziene Inlandsche Reglement — HIR) sekarang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) Tahun 1981.
 
Apa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Subjektif (lus Puniendi)?
Hukum Pidana Subjektif (Ius Puniendi), ialah hak Negara atau alat-alat untuk menghukum berdasarkan
Hukum Pidana Objektif.
Pada hakikatnya Hukum Pidana Objektif itu membatasi hak Negara untuk menghukum. Hukum Pidana
Subjektif ini baru ada, setelah ada peraturan-peraturan dari Hukum Pidana Objektif terlebih dahulu.
Dalam hubungan ini tersimpul kekuasaan untuk dipergunakan oleh Negara, yang berarti, bahwa tiap
orang dilarang untuk mengambil tindakan sendiri dalam menyelesaikan tindak pidana (perbuatan
melanggar hukum = delik).
 
Apa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Umum?
Hukum Pidana Umum ialah Hukum Pidana yang berlaku terhadap setiap penduduk (berlaku terhadap
siapa pun juga di seluruh Indonesia) kecuali anggota ketentaraan.
 
Apakah yang dimaksud dengan Hukum Pidana Khusus?
Hukum Pidana Khusus ialah Hukum Pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang yang tertentu.
 
Contoh:
a) Hukum Pidana Militer., berlaku khusus untuk anggota militer dan mereka yang dipersamakan dengan
militer.
b) Hukum Pidana Pajak, berlaku khusus untuk perseroan dan mereka yang membayar pajak (wajib
pajak).

           -- Sifat Hukum Pidana --


 
Tindak pidana mempunyai dua sifat yaitu sifat formil dan sifat materiil, sifat formil dalam tindak pidana
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang adalah melakukan perbuatan (dengan
selesainya tindak pidana itu, tindak pidana terlaksana), kemudian dalam sifat materiil, dalam jenis tindak
pidana yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang adalah timbulnya suatu akibat
(dengan timbulnya akibat, maka tindak pidana terlaksana).
Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam buku Azas-azas Hukum pidana di Indonesia memberikan suatu
pengertian mengenai tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain,
yaitu Hukum Perdata, Hukum Ketatanegaraan, dan Hukum Tata Usaha Pemerintah, yang oleh
pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana, maka sifat-sifat yang ada dalam
suatu tindak pidana adalah sifat melanggar hukum, karena tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat
melanggar hukum.
Istilah Tindak Pidana adalah dimaksudkan sebagai terjemahan dari istilah Belanda “Strafbaar Feit”
atau “Delik”. Menurut K. Wantjik Saleh, ada enam istilah yang tercipta dalam bahasa Indonesia untuk
menterjemahkan istilah “strafbaar feit”  atau”  delik”  ini; yaitu:  
1.     Perbuatan yang boleh dihukum
2.     Peristiwa pidana
3.     Pelanggaran pidana
4.     Perbuatan pidana
5.     Tindak pidana

  -- Sumber Hukum Pidana --


 
Sumber Hukum Pidana
Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak
tertulis. Di Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional,
sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan dari pemerintah kolonial
Hindia Belanda. Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain :
Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).
Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah
kemerdekaan antara lain :
UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana Imigrasi.
UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.
UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme
dll
Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan lainnya, seperti UU.
No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan sebagainya.
Hukum pidana Indonesia tersusun dalam sistem yang terkodifikasi dan sistem di luar kodifikasi. Sistem
yang terkodifikasi adalah apa yang termuat dalm KUHP. Di dalam KUHP tersusun berbagai jenis
perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana, perbuatan mana dapat dihukum. Namun di luar
KUHP, masih terdapat pula berbagai pengaturan tentang perbuatan apa saja yang juga dapat dihukum
dengan sanksi pidana. Dalam hal ini,Loebby Loqman membedakan sumber-sumber hukum pidana
tertulis di Indonesia adalah :
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);
Undang-undang yang merubah/ menambah KUHP;
Undang-undang Hukum Pidana Khusus;
Aturan-aturan pidana di luar Undang-undang Hukum Pidana.
Di negara-negara Anglo Saxon tidak dikenal satu kodifikasi atas kaidah-kaidah hukum pidana. Masing-
masing tindak pidana diatur dalam satu Undang-undang saja. Hukum pidana Inggris misalnya, walupun
bersumber dari Common Law dan Statute Law (undang-undang), hukum pidana Inggris terutama
bersumber pada Common Law, yaitu bagian dari hukum inggris yang bersumberdari kebiasaan atau adat
istiadat masyarakat yang dikembangkan berdasarkan keputusan pengadilan. Jadi bersumber dari hukum
tidak tertulis dan dalam memecahkan masalah atau kasus-kasus tertentu dikembangkan dan
diunifikasikan dalam keputusan-keputusan pengadilan sehingga merupakan suatu precedent. Oleh
karena itu, Common law ini sering juga disebut case law atau juga disebut hukum presedent.
Lain halnya dalam negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental. Hukum pidana dikodifikasikan dalam
suatu kitab Undang-undang. Berbagai tindak pidana diatur dalam satu kitab Undang-undang. Tetapi
ternyata sistem hukum Indonesia juga mengenal adanya tindak pidana di luar KUHP. Inilah yang disebut
sebagai tindak pidana khusus dalam arti sebenarnya. Contoh undang-undang ini adalah Undang-undang
Anti Korupsi, Undang-undang Money Laundrey, UU Traficking dan lain sebagainya.

                   -- Sejarah Hukum Pidana di Indonesia --


 
Ada 5 Masa Hukum Pidana di Indonesia :
1. Zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)
2. Zaman Hindia Belanda
3. Zaman Pendudukan Jepang
4. Zaman Kemerdekaan
5. Rancangan KUHP Baru
 
 
A. Zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)
Pada masa ini selain hukum-hukum adat pidana yang berlaku bagi kaum pribumi di Indonesia, penguasa
VOC mulai memberlakukan plakat-plakat yang berisi hukum pidana. Tahun 1642, Joan Maetsuycker
mantan Hof van Justitie di Batavia yang mendapat tugas dari Gubernur Jenderal van Diemen
merampungkan suatu himpunan plakat-plakat yang dinamakan Statuten van Batavia, kemudian pada
tahun 1650 himpunan ini disahkan oleh Heeren Zeventien. Menurut Utrecht, hukum yang berlaku di
daerah yang dikuasai oleh VOC, ialah :
Hukum statuta yang termuat di dalam Statuten van Batavia
Hukum Belanda Kuno
Asas-asas Hukum Romawi 
Hubungan hukum Belanda kuno ialah sebagai pelengkap jika statuta tidak dapat menyelesaikan
masalah, hukum Belanda kuno diaplikasikan. Sedangkan hukum Romawi berlaku untuk mengatur
kedudukan hukum budak (Slaven Recht)
Statuta Betawi itu berlaku bagi daerah Betawi dan sekitarnya, Tetapi ini merupakan teori saja karena
pada prakteknya orang pribumi tetap tinduk pada hukum adat. Di daerah lainnya pun tetap berlaku
hukum adat pidana. Campur tangan VOC hanya dalam masalah pidana yang berkaitan dengan
kepentingan dagangnya. Di daerah Cirebon berlaku Papakem Cirebon yang mendapat pengaruh VOC.
Pada tahun1848 dibentuk lagi intermaire strafbepalingen, barulah pada tahun 1866 muncul kodifikasi
yang sistematis. Mulai tanggal 10 Februari 1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia :
Het Wetbook van Starftrecht voor Europeanen (Stbl. 1866 No. 55) yang berlaku bagi golongan Eropa
mulai 1 Januari 1867. Kemudian dengan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 berlaku KUHP untuk golongan
Bumiputera dan Timur Asing.
Het Wetbook van Starftrecht voor Inlands en daarmede gelijkgestelde (Stbl. 1872 No. 85) mulai berlaku
1 Januari 1873.
B. Zaman Hindia Belanda
Berdasarkan sejaragh dari tahun 1811 sampai 1814 Indonesia pernah dibawah kepemimpinan Inggris.
Berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas koloni Belanda dikembalikan kepada
Belanda lagi. Dengan Regerings Reglement 1815 dengan tambahan (Supletoire Instructie 23 September
1815)maka hukum dasar colonial tercipta. Agar tidak terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan
proklamasi 19 Agustus 1816 , Stbl.1816 No. 5 yang mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua
peraturan bekas pemerintahan Inggris tetap dipertahankan. Untuk orang pribumi hukum adat pidana
masih diakui asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang dari pemerintah.
Kepada bangasa Indonesia ditetapkan pidana berupa kerja paksa di perkebunan yang didasarkan pada
Stbl. 1828 No. 16, mereka dibagi atas dua golongan, yaitu:
Yang dipidana kerja rantai
Yang dipidana kerja paksa
Yang terdiri atas yang diberi upah dan yang tidak diberi upah[6]. Tetapi dalam prakteknya pidana kerja
paksa dikenakan dengan tiga cara:
Kerja paksa dengan dirantai dan pembuangan
Kerja paksa dengan dirantai tetapi tidak dibuang
Kerja pakasa tanpa rantai tetapi dibuang 
KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa tersebut pada dasarnya adalah salinan Code Penal yang berlaku
di Negeri Belanda tetapi berbeda dari sumbernya tersebut, yang berlaku di Indonesia terdiri atas 2 buku,
sedangkan Code Penal terdiri atas 4 buku. KUHP yang berlaku bagi golongan bumiputera juga saduran
dari KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada KUHP
1918 pun, pidananya lebih berat daripada KUHP Belanda 1886. Oleh karena itu perlu ditinjau secara
sekilas lintas perkembangan kodifikasi di Negeri Belanda.
Pertama kali ada kodifikasi di bidang hukum pidana terjadi sejak adanya Crimineel Wetbook voor het
koninglijk Holland 1809. Kitab undang-undang 1809 memuat ciri modern di dalamnya, menurut vos,
yakni:
Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam pemeberian pidana.
Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja.
Penghapuaan perampasan umum.
Akan tetapi kodifikasi ini berumur singkat karena masuknya Code Penal Perancis ke Belandatahun
1811.Belanda terus berusaha untuk mengadakan perubahan juga usaha untuk menciptakan KUHP
nasional, tetapi tidak berhasil, kecuali perubahan sebagian.Dengan KB tanggal 28 September 1870
duibentuklah panitia negara yang menyelesaikan rancangan pada tahun 1875.Pada tahun 1879 Menteri
Smidt mengirim rancangan tersebut ke Tweede Kamer. Diperdebatkan dalam Staten Generaal dengan
Menteri Moddermanyang sebelumnya adalah anggota panitia negara. Pada tanggal 3 maret 1881
lahirlah KUHP Belanda yang baru dan berlaku mulai tanggal 1 september 1886. Setelah KUHP baru
muncul, barulah KUHP Hindia Belanda, yaitu 1866 dan 1872 yang banyak persamaan dengan Code Penal
Perancis diganti dan disesuaikan dengan KUHP baru,
Berdasarkan asas konkordansi KUHP Belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindia
Belanda. Semula direncanakan tetap ada dua KUHP, masing-masing untuk golongan Eropa dan
Bumiputera. Setelah selesai kedua rancangan tersebut Menteri jajahan Belanda Mr. Idenburg
berpendapat sebaiknya hanya ada satu KUHP di Hindia Belanda. Sesuai usul Mr. Idenburg maka
dibentuklah komisi yang menyelesaikan tugasnya tahun 1913dengan KB tanggal 15 oktober 1915 dan
diundangkan pada September 1915nomor 732 lahirlah Wesboek van straftrecht voor Nederlandsch
Indie untuk seluruh golongan penduduk dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918. Peralihan dari masa
dualisme, yaitu dua macam WvKuntuk dua golongan penduduk menurut Jonkers lebih bersifat formil
daripada materiel.
C. Zaman Pendudukan Jepang
WvSI tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang, hal ini didasarkan pada undang-undang (Osamu
Serei) No. 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku tanggal 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan Jawa
Madura. Jadi hanya pasal-pasal yang menyangkut pemerintah Belanda, misalnya penyebutan Raja/Ratu
yang tidak berlaku lagi. Peraturan ini juga dikeluarkan di daerah selain Jawa dan Madura.
Dibanding dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak berubah, karena
terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur dalam Osamu Serei No.3 tahun 1942 tanggal 20
September 1942.
D. Zaman Kemerdekaan
Keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi kemedekaan. Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku tanggal 18 Agustus 1945. Untuk memperkuat aturan peralihan
tersebut, maka Presiden mengeluarkan peraturan tanggal 10 Oktober 1945 yang dinamakan Peraturan
No.2. Barulah dengan UU no. 1 Tahun 1946 diadakan perubahan yang mendasar atas WvSI. Ditentukan
dalam UU No.1 Tahun 1946 tersebut bahwa hukum pidana yang berlaku mulai tahun 1946 ialah hukum
pidana yang berlaku tanggal 8 Maret 1942 dengan pelbagai perubahan dan penambahan yang
disesuakan dengan keadaan Negara Republik Indonesia dengan nama Wetbook van Strafrecht voor
NederlandschIndie diubah menjadi Wetbook van Strafrecht yang dapat disebut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP).
Tentulah harus diingat bahwa teks asli Wetbook van Strafrecht sampai kini masih dalam bahasa
Belanda , kecuali penambahan-penambhan kemudian sesudah tahun 1946 itu yang teksnya sudah tentu
dalam bahasa Indonesia. Jadi apa yang sering dipegang oleh pelaksana hukum adalah terjemahan dalam
bahasa Indonesia, yang corak ragamnya tergantung pada selera penerjemah.
Sebagai sejarah perlu diingat bahwa Belanda pada tahun 1945 sampai 1949 kembali ke Indonesia
menduduki beberapa wilayah. Untuk wilayah yang diduduki Belanda itu de facto tidak diberlakukan UU
no.1 tahun 1946, kecuali untuk wilayah Sumatera yang diduduki Belanda sesudah Agresi Militer 1,
ditetapkan bahwa peraturan lama masih tetap berlaku (Peraturan RI). Untuk daerah yang diduduki
Belanda tersebut diberlakukan Wetbook van Straftrecht voor Nederlandsch Indie yang diubah namanya
menjadi Wetbook van Strafrecht voor Indonesieberdasarkan ordonansi tanggal 21 September 1948 Stbl
1948 No.224 mulai berlaku tanggal 22 September 1948 dan semua kata Nederlandsch Indie di dalam
WvS diganti dengan Indonesie. Kalau pemerintah Republik Indonesia mengubah Wetbook vab Strafrecht
Maka Belanda juga melakukan perubahan-perubahan di dalam Wetbook van Strafrecht voor Indonesie.
Dengan adanya penambahan dan perubahan , maka jumlah pasal dalam WvSI berakhir dengan pasal
570, sedangkan KUHP hanya 569. Dengan adanya du macam WvS yang berlaku di dua wilayah yang
berbeda ditambah perubahan dan penambahan yang berbeda pula menimbulkan kerancuan dalam
penerapannya. Terlebih dengan perubahan wilayah akibat Agresi Militer I, menambah wilayah
kedudukan Belanda, yang dengan perjanjian Renville 17 januari 1948 disebut daerah terra Neerlandica.
Dengan Berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia berdasarkan UU No. 73 Tahun 1958,
maka hilanglah dualisme berlakunya dua macam hukum pidana di Indonesia.
E. Rancangan KUHP Baru
Keinginan untuk mengadakan kodifikasi KUHP Nasional yang disusun oleh putera Indonesia sendiri yang
sumbernya digali dari bumi Indonesia dengan memperhatikan perkembnagan dunia modern di bidang
hukum pidana sudah lama dicetuskan. Usaha nyata menuju tercapainya keinginan tersebut antara lain
dapat dikemukakan usaha Basaruddin SH dan Iskandar Situmorang SH yang menyusun Rancangan Buku I
KUHP Tahun 1971 dan Buku II KUHP Tahun 1976. Kemudian sejak tahun 1979 telah dibentuk Tim
Pengkajian Hukum Pidana, yang diberikan tugas menyusun Rancangan KUHP baru oleh Pemerintah
(Menteri Kehakiman dalam hal ini Badan Pembinaan Hukum Nasional). Pada tahun ini disusunlah
materi-materi yang diperlukan. Tahun 1980-1981 mulailah disusun Rancangan Buku I yang antara lain
juga memakai KUHP lamadan Rancangan Basaruddin dab rekan sebagai bahan perbandingan. Tahun
1981-1982 konsep Rancangan Buku I telah diselesaikan dalam arti masih kasar. Pada Tahun 1982
diadakanlah Lokakarya di BABINKUMNAS membahas rancangan tersebut. Sesudah itu, terus-menerus
tim berkumpul untuk memperhalus rumusan Rancangan Buku I tersebut dan menyususn Rancangan
Buku II sampai Tahun 1985, dan pada tahun ini juga diadakan Lokakarya di tempata yang sama guna
membahas Buku II.
Pada Tahun 1986 diadakan Lokakarya Khusus mengenai sanksi pidana di tempat yang sama. Dan
terakhir Lokakarya mengenai delik komputer dan delik terhadap penyelenggaraan peradilan. Perbedaan
yang mencolok antara Rancangan dan KUHP (lama) ialah rancangan hanya terdiri atas dua buku
sedangkan KUHP (lama) yang sama dengan WvS Belanda terdiri atas tiga buku. Dengan sendirinya
perbedaan antara delik kejahatan dan delik pelanggaran di dalam Rancangan telah ditiadakan.

Anda mungkin juga menyukai