1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar
larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan tersebut dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang di sangka telah melanggar larangan tersebut.
- Menurut Sianturi
"Hukum pidana adalah dari hukum positif yang berlaku disuatu negara dengan
memperhatikan waktu, tempat dan bagian penduduk yang memuat dasar-dasar dan
ketentuan-ketentuan mengenai tindakan larangan atau tindakan kekerasan dan
kepada pelanggarnya diancam dengan pidana. Menentukan pula bagaimana dalam
hal apa pelaku pelanggaran tersebut dipertanggungjawabkan serta kententuan-
ketentuan mengenai hal dan cara penyelidik, penuntutan, penjatuhan pidana dan
pelaksanaan pidana demi tegaknya hukum yang bertitik berat kepada keadilan.
Perumusan hukum pidana mencakup juga hukum pidana adat, yang bertujuan
mengadakan keseimbangan diantara berbagai kepentingan atau keadilan".
- Menurut Simon
"Hukum pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan larangan-larangan yang
diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barangsiapa
yang tidak menaati kesemuanya aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi
akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan itu untuk mengadakan (menjatuhi)
dan menjalankan pidana tersebut".
- Menurut J.M Van Bemmelen
"Hukum pidana terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, dari peraturan
umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan itu sendiri dan pidana
yang diancamkan terhadap perbuatan-perbuatan itu”.
- Menurut Mesger
"Hukum pidana adalah aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan
tertentu yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana."
Inilah beberapa pengertian hukum pidana menurut para ahli, Secara sederhana dapat
dikemukakan bahwa hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkannya
kepada pelaku.
1. Tujuan hukum pidana sebagai hukum Sanksi. Tujuan ini bersifat konseptual atau filsafati
yang bertujuan member dasar adanya sanksi pidana. Jenis bentuk dan sanksi pidana dan
sekaligus sebagai parameter dalam menyelesaikan pelanggaran pidana. Tujuan ini biasanya
tidak tertulis dalam pasal hukum pidana tapi bisa dibaca dari semua ketentuan hukum
pidana atau dalam penjelasan umum.
2. Tujuan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap orang yang melanggar hukum pidana.
Tujuan ini bercorak pragmatik dengan ukuran yang jelas dan konkret yang relevan dengan
problem yang muncul akibat adanya pelanggaran hukum pidana dan orang yang melakukan
pelanggaran hukum pidana. Tujuan ini merupakan perwujudan dari tujuan pertama.
Jonkers dalam bukunya “Het Nederlandsch-Indische Strafstelsel” yang diterbitkan pada tahun
1940 menuliskan pada kalimat pertama mengatakan De Nederlander, die over wijdezeeen en
oceanen baan koos naar de koloniale gebieden, nam zijn eigenrecht mee (orang-orang Belanda
yang dengan melewati lautan dan samudra luas memiliki jalan untuk menetap di tanah-tanah
jajahannya, membawa hukumnya sendiri untuk berlaku baginya.
Sejarah hukum pidana Indonesia secara umum tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
masyarakat Indonesia, masyarakat Indonesia yang terbagi dalam banyak kerajaan, masyarakat
Indonesia di bawah jajahan Belanda dan masyarakat Indonesia setelah masa kemerdekaan.
Hukum pidana modern Indonesia dimulai pada masa masuknya bangsa Belanda di Indonesia,
adapun hukum yang ada dan berkembang sebelum itu atau setelahnya, yang hidup
dimasyarakat tanpa pengakuan pemeritah Belanda dikenal dengan hukum adat. Pada masa
penjajahan Belanda pemerintah Belanda berusaha melakukan kodifikasi hukum di Indonesia,
dimulai tahun 1830 dan berakhir pada tahun 1840, namun kodifikasi hukum ini tidak termasuk
dalam lapangan hukum pidana.
Dalam hukum pidana kemudian diberlakukan interimaire strafbepalingen. Pasal 1 ketentuan ini
menentukan hukum pidana yang sudah ada sebelum tahun 1848 tetap berlaku dan mengalami
sedikit perubahan dalam sistem hukumnya. Walaupun sudah ada interimaire strafbepalingen,
pemerintah Belanda tetap berusaha menciptakan kodifikasi dan unifikasi dalam lapangan
hukum pidana, usaha ini akhirnya membuahkan hasil dengan diundangkannya koninklijk
besluitn 10 Februari 1866. wetboek van strafrech voor nederlansch indie (wetboek voor de
europeanen) dikonkordinasikan dengan Code Penal Perancis yang sedang berlaku di Belanda.
Inilah yang kemudian menjadi Wetboek van Strafrecht atau dapat disebut Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sampai saat ini dengan perubahan-perubahan
yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia.
Zaman Indonesia merdeka untuk menghindari kekosongan hukum berdasarkan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 semua perundang-undangan yang ada masih berlaku selama belum
diadakan yang baru. Untuk mengisi kekosongan hukum pada masa tersebut maka
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang berlakunya hukum pidana yang
berlaku di Jawa dan Madura (berdasarkan Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1946
diberlakukan juga untuk daerah Sumatra) dan dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 untuk diberlakukan untuk seluruh daerah Indonesia untuk menghapus dualsme
hukum pidana Indonesia. Dengan demikian hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang
ialah KUHP sebagaimana ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 beserta perubahan-perubahannya antara lain dalam
Undang-Undang 1 Tahun 1960 tentang perubahan KUHP, Undang-Undang Nomor 16 Prp
Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP, Undang-Undang Nomor 18 Prp.
Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Maksimum Pidana Denda Dalam KUHP, Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Penambahan KetentuanKetentuan Mengenai
Pembajakan Udara pada Bab XXIX Buku ke II KUHP.
Hukum Pidana Objektif (Ius Punale) ialah semua peraturan yang mengandung keharusan atau
larangan, terhadap pelanggaran mana- diancam dengan hukuman yang bersifat siksaan.
Hukum Pidana Objektif dibagi dalam Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil:
Hukum Pidana Materiil ialah peraturan-peraturan yang menegaskan:
(1) Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum.
(2) Siapa yang dapat dihukum.
Singkatnya Hukuman Pidana Materiil mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran
serta syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum.
Jadi Hukuman Pidana Materiil mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta
syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum.
(b) Hukum Pidana Khusus, misalnya Hukum Pidana Pajak (seorang yang tidak membayar
pajak kendaraan bermotor, hukumannya tidak terdapat dalam Hukum Pidana Umum, akan
tetapi diatur tersendiri dalam Undang-undang (Pidana Pajak)).
Apakah Hukum Pidana Formil itu dan bagaimana hubungan antara Hukum Pidana Formil atau
Hukum Acara Pidana dengan Hukum Pidana Materiil?
Hukum Pidana Formil ialah hukum yang mengatur cara-cara menghukum seseorang yang
melanggar peraturan pidana (merupakan pelaksanaan dari Hukum Pidana Materiil).
Dapat juga dikatakan bahwa Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana memuat
peraturan-peraturan tentang bagaimana memelihara atau mempertahankan Hukum Pidana
Materiil, dan karena memuat cara-cara untuk menghukum seseorang yang melanggar peraturan
pidana, maka hukum ini dinamakan juga Hukum Acara Pidana.
6. KUHP
KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiil di Indonesia. KUHP yang sekarang
diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van
Strafrecht voor Nederlands-Indië. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor
732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Setelah kemerdekaan, KUHP tetap
diberlakukan disertai penyelarasan kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi relevan.
Hal ini berdasarkan pada Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang menyatakan bahwa: "Segala
badan negara dan peraturan yang masih ada langsung diberlakukan selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini." Ketentuan tersebutlah yang kemudian menjadi dasar
hukum pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan pada masa kolonial pada masa
kemerdekaan.
Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diberlakukan secara nasional tidak berarti bahwa
upaya untuk membuat sistem hukum pidana yang baru terhenti. Upaya melakukan pembaruan hukum
pidana terus berjalan semenjak tahun 1958 dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional
sebagai upaya untuk membentuk KUHP Nasional yang baru. Seminar Hukum Nasional I yang diadakan
pada tahun 1963 telah menghasilkan berbagai resolusi yang antara lain adanya desakan untuk
menyelesaikan KUHP Nasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sebenarnya sudah beberapa kali
ada usaha perbaikan KUHP dengan pembuatan Rancangan KUHP. Rancangan tersebut antara lain:
Isi
Adapun isi dari KUHP disusun dalam 3 (tiga) buku, antara lain:
Tidak dipidananya seseorang atas pelanggaran ketentuan pidana yang bersifat umum
disebabkan tidak dapat dituntutnya si pembuat (vervolgingsuitslutingsgronden) karena alasan
pemaaf dan dihapuskannya perbuatan si pembuat karena alasan pembenar.
Pada hal yang disebutkan pertama (strafuitslutingsgronden), jaksa penuntut umum telah
mengajukan surat dakwaan. Terdakwa telah diperiksa dalam sidang pengadilan, bahkan telah
diajukannya requisitoir (tuntutan) oleh Jaksa Penuntut, dan telah terbukti terwujudnya tindak
pidana itu oleh si pembuat.
Namun, karena terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipidananya si pembuat, majelis
hakim tidak menjatuhkan pidana (veroordering) kepadanya, melainkan menjatuhkan putusan
lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging).
Putusan itu dijatuhkan terhadap pokok perkaranya atau terhadap tindak pidana yang
didakwakan.
Bab III KUHP menentukan tujuh alasan (dasar) yang menyebabkan tidak dapat dipidananya
si pembuat ini, ialah:
Dari tujuh alasan tersebut di atas, kemudian dibagi menjadi dua alasan, yaitu:
Alasan ini bersifat subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin
sebelum atau pada pada saat akan berbuat. Alasan pemaaf ini terdiri dari:
Alasan ini bersifat objektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin si
pembuat. Alasan pembenar ini terdiri dari:
Ada beberapa perbedaan antara alasan pemaaf dengan alasan pembenar yaitu: pada alasan
pemaaf si pelaku tidak dipidana meskipun perbuatannya terbukti melanggar undang-undang.
Artinya perbuatannya itu tetap bersifat melawan hukum, namun karena hilang atau hapusnya
kesalahan pada diri si pelaku, perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya atau si pelaku dimaafkan atas perbuatannya tersebut. Contohnya orang gila yang
melakukan pembunuhan atau perkosaan.
Lebih lanjut akan dijelaskan alasan-alasan pemaaf dan pembenar menurut undang-undang di
bawah ini.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuatnya
karena pertumbuan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat
memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama 1 tahun
sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung Pengadilan Tinggi, dan
Pengadilan Negeri.
Dari norma yang dirumuskan pada ayat (1), jelas ada dua penyebab tidak dipidananya karena
tidak mampunya bertanggung jawabnya si pembuat yang terbukti melakukan tindak pidana,
yaitu:
Undang-undang sendiri tidak memberi tidak memberi keterangan yang lebih jelas tentang
tidak mampu bertanggung jawab. Di dalam Memorie van Toelighting (MvT), ada keterangan
mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab, yaitu:
1) Apabila si pembuat tidak memiliki kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak
berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.
2) Apabila si pembuat berada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga dia tidak
dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat
menentukan akibat perbuatannya.
Pasal 44 ayat (1) tidak merumuskan arti tidak mampu bertanggung jawab, melainkan sekadar
menyebut tentang dua macam keadaan jiwa orang yang tidak mampu bertanggung jawab
terhadap perbuatan yang dilakukannya.
Sementara itu tidak dijelaskan mengenai kapan keadaan orang yang mampu bertanggung
jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sementara itu, tidak dijelaskan mengenai
kapan keadaan orang yang mampu bertanggung jawab.
Berpikir sebaliknya dari ketentuan Pasal 44 ayat (1), dapat disimpulkan bahwa orang mampu
bertanggung jawab atas perbuatannya ialah bila dalam berbuat itu, tidak terdapat dua keadaan
sebagaimana diterangkan dalam pasal tersebut.
Dengan berpijak pada prinsip itu, dalam rangka mencapai keadilan dari vonis hakim maka
dalam hal kemampuan bertanggung jawab ini dirumuskan secara negatif, ditentukan keadaan
tertentu mengenai jiwa seseorang yang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana
karena melakukan perbuatan.
Sebaliknya, ketika tampak gejala-gejala abnormal, gejala-gejala itu akan diselidiki apakah
gejala-gejala yang tampak itu benar dan merupakan alasan pemaaf sebagimana dimaksudkan
oleh Pasal 44 (1).
Keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab seperti yang sudah diuraikan diatas
adalah bersifat umum (permanent insanity).
Sedangkan yang sifatnya khusus (temporary insanity) berkaitan erat dengan perbuatan itu
sendiri serta keadaan-keadaan objektif dan atau subjektif tertentu ketika seorang itu berbuat.
Orang yang tidak mampu bertanggung jawab secara khusus ini, ialah:
a) apabila keadaan jiwanya sedemikian rupa sehingga ia tidak bebas untuk menentukan
kehendaknya terhadap perbuatan apa yang dia lakukan;
b) apabila keadaan jiwanya sedemikian rupa sehingga ia tidak mengerti, tidak menginsyafi
atas suatu perbuatan yang dilakukannya itu sebagai perbuatan yang tercela;
Ada tiga cara yang dapat digunakan dalam rangka menyelidiki keadaan jiwa si pembuat
untuk menentukan apakah si pembuat berada dalam keadaan tidak mampu bertanggung
jawabm yaitu:
1. Dengan metode biologis, artinya dengan menyelidiki gejala-gejala atau keadaan yang
abnormal yang kemudian dihubungkan dengan ketidakmampuan bertanggung jawab.
2. Dengan metode psikologis, artinya dengan menyelidiki ciri-ciri psikologis yang ada
yang kemudian dari ciri-ciri itu dinilai untuk menarik kesimpulan apakah orang itu
mampu bertanggung jawab ataukah tidak;
3. Dengan metode gabungan, kedua cara tersebut di atas digunakan secara bersama-
sama. Di samping menyelidiki tentang gejala gejala abnormal juga dengan meneliti
ciri-ciri psikologis orang itu untuk menarik kesimpulan apakah dia mampu
bertanggung jawab ataukah tidak.
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan
adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-
mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi
sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Mengenai percobaan tindak pidana ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal (hal. 69) menjelaskan bahwa undang-undang tidak memberikan definisi apa yang
dimaksud dengan percobaan itu, tetapi yang diberikan ialah ketentuan mengenai syarat-
syarat supaya percobaan pada kejahatan itu dapat dihukum.
R. Soesilo menjelaskan bahwa menurut kata sehari-hari yang diartikan percobaan yaitu
menuju ke suatu hal, akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau hendak
berbuat sesuatu, sudah dimulai, akan tetapi tidak selesai. Misalnya bermaksud
membunuh orang, orang yang hendak dibunuh tidak mati; hendak mencuri barang,
tetapi tidak sampai dapat mengambil barang itu.
Menurut Pasal 53 KUHP, supaya percobaan pada kejahatan (pelanggaran tidak) dapat
dihukum, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Apabila orang berniat akan berbuat kejahatan dan ia telah mulai melakukan
kejahatannya itu, akan tetapi karena timbul rasa menyesal dalam hati ia mengurungkan
perbuatannya, sehingga kejahatan tidak sampai selesai, maka ia tidak dapat dihukum
atas percobaan pada kejahatan itu, oleh karena tidak jadinya kejahatan itu atas
kemauannya sendiri. Jika tidak jadinya selesai kejahatan itu disebabkan karena misalnya
kepergok oleh agen polisi yang sedang meronda, maka ia dapat dihukum, karena hal
yang mengurungkan itu terletak di luar kemauannya.
Lebih lanjut, R. Soesilo menjelaskan syarat selanjutnya adalah bahwa kejahatan itu
sudah mulai dilakukan. Artinya orang harus sudah mulai dengan melakukan perbuatan
pelaksanaan pada kejahatan itu.Kalau belum dimulai atau orang baru melakukan
perbuatan persiapan saja untuk mulai berbuat, kejahatan itu tidak dapat dihukum.
Misalnya seseorang berniat akan mencuri sebuah sepeda yang ada di muka kantor pos.
Ia baru mendekati sepeda itu lalu ditangkap polisi. Andaikata ia mengaku saja terus
terang tentang niatnya itu, ia tidak dapat dihukum atas percobaan mencuri, karena di sini
perbuatan mencuri belum dimulai. Perbuatan mendekati sepeda di sini baru dianggap
sebagai perbuatan persiapan saja. Jika orang itu telah mengacungkan tangannya untuk
memegang sepeda tersebut, maka di sini perbuatan pelaksanaan pada pencurian
dipandang telah dimulai, dan bila waktu itu ditangkap oleh polisi dan mengaku terus
terang, ia dapat dihukum atas percobaan pada pencurian.
Selanjutnya apabila dalam peristiwa tersebut sepeda telah dipegang dan ditarik sehingga
berpindah tempat, meskipun hanya sedikit, maka orang tersebut tidak lagi hanya
dipersalahkan melakukan percobaan, karena delik pencurian dianggap sudah selesai jika
barangnya yang dicuri itu telah berpindah.
Yang kemudian perlu diketahui lagi adalah apa yang dimaksud dengan perbuatan
pelaksanaan dan perbuatan persiapan?
R. Soesilo menjelaskan (Ibid, hal. 69-70) pada umumnya dapat dikatakan bahwa
perbuatan itu sudah boleh dikatakan sebagai perbuatan pelaksanaan, apabila orang telah
mulai melakukan suatu anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Jika orang belum
memulai dengan melakukan suatu anasir atau elemen ini, maka perbuatannya itu masih
harus dipandang sebagai perbuatan persiapan. Suatu anasir dari delik pencurian ialah
“mengambil”, jika pencuri sudah mengacungkan tangannya kepada barang yang akan
diambil, itu berarti bahwa ia telah mulai melakukan anasir “mengambil” tersebut.
Dalam hal pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP), misalnya dengan
membongkar, memecah, memanjat, dan sebagainya, maka jika orang telah mulai
dengan mengerjakan pembongkaran, pemecahan, pemanjatan, dan sebagainya,
perbuatannya sudah boleh dipandang sebagai perbuatan pelaksanaan, meskipun ia
belum mulai mengacungkan tangannya pada barang yang hendak diambil. Bagi tiap-tiap
peristiwa dan tiap-tiap macam kejahatan harus ditinjau sendiri-sendiri. Di sinilah
kewajiban hakim.
3. Pompe, ada suatu perbuatan pelaksanaan apabila perbuatan itu bernada membuka
kemungkinan terjadinya penyelesaian dari tindak pidana.
Oleh karena itu, pada akhirnya Hakim yang akan memutuskan apakah tindakan si
pelaku baru merupakan perbuatan persiapan atau perbuatan pelaksanaan.
Dari sudut kriminologi setiap tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak disetujui oleh
masyarakat diartikan sebagai kejahatan. Hal ini dapat dicermati bahwa setiap kejahatan
tidak harus dirumuskan terlebih dahulu dalam suatu peraturan hukum pidana. Apabila
perbuatan yang dilakukan itu telah merugikan, membahayakan, dan tidak disukai
masyarakat atau bahkan menjengkelkan, maka perbuatan tersebut dikatakan sebagai
kejahatan. Dengan demikian perbuatan yang anti sosialpun juga termasuk sebagai suatu
kejahatan.[1]
Kejahatan tidak pernah diberantas secara tuntas, kejahatan hanya dapat dicegah, dikurangi
atau ditanggulangi. Berbagai macam upaya telah dilakukan dalam bidang pencegahan
kejahatan oleh instansi-instansi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan. Dalam hal ini Mardjono Reksodiputro menegaskan bahwa pencegahan
kejahatan mencakup segala usaha yang dilakukan oleh pemerintah (negara) dan masyarakat
terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan (dan mereka yang mempunyai potensi untuk
melakukan kejahatan) maupun setelah terjadinya kejahatan (penyelidikan, pemeriksaan,
peradilan, dan pembinaan si pelanggar hukum).[2]
Permasalahan yang sangat menarik untuk dikaji adalah mengapa kejahatan itu terjadi,
mengapa korban kejahatan kurang mendapatkan perhatian dan bagaimana cara
menanggulangi kejahatan tersebut.
a. Hukuman Mati
b. Hukuman Penjara
Pidana penjara adalah pidana pokok yang dapat dikenakan untuk seumur hidup
atau selama waktu tertentu. Pidana penjara selama waktu tertentu yaitu antara satu
hari hingga dua puluh tahun berturut-turut (Pasal 12 KUHP) serta dalam masa
hukumannya dikenakan kewajiban kerja (Pasal 14 KUHP). Pidana penjara
dikenakan kepada orang yang melakukan tindak pidana kejahatan.
c. Hukuman Kurungan
d. Hukuman Denda
e. Hukuman Tutupan
Pidana tutupan merupakan salah satu bentuk pidana pokok yang diatur dalam
Pasal 10 KUHP. Penambahan pidana tutupan ini didasarkan pada Pasal
1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (“UU
20/1946”).
Sebagaimana antara lain yang pernah dijelaskan dalam artikel Pidana Pokok dan
Tambahan, KUHP sendiri memang tidak membatasi bahwa hukuman tambahan
tersebut terbatas pada 3 (tiga) bentuk di atas saja.