Anda di halaman 1dari 18

HUKUM PIDANA

1. DEFINISI HUKUM PIDANA MENURUT PARA AHLI

Menurut Wirjono Prodjodikoro


"Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana, pidana diartikan sebagai
hal yang dipidanakan, yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang
oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakan dan juga hal yang tidak sehari-hari
dilimpahkan".
- Menurut Moeljatno
"Hukum pidana adalah sebagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu
negara, yang mengadakan dasar-dasar aturan-aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar
larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan tersebut dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang di sangka telah melanggar larangan tersebut.

- Menurut Sianturi
"Hukum pidana adalah dari hukum positif yang berlaku disuatu negara dengan
memperhatikan waktu, tempat dan bagian penduduk yang memuat dasar-dasar dan
ketentuan-ketentuan mengenai tindakan larangan atau tindakan kekerasan dan
kepada pelanggarnya diancam dengan pidana. Menentukan pula bagaimana dalam
hal apa pelaku pelanggaran tersebut dipertanggungjawabkan serta kententuan-
ketentuan mengenai hal dan cara penyelidik, penuntutan, penjatuhan pidana dan
pelaksanaan pidana demi tegaknya hukum yang bertitik berat kepada keadilan.
Perumusan hukum pidana mencakup juga hukum pidana adat, yang bertujuan
mengadakan keseimbangan diantara berbagai kepentingan atau keadilan".
- Menurut Simon
"Hukum pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan larangan-larangan yang
diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barangsiapa
yang tidak menaati kesemuanya aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi
akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan itu untuk mengadakan (menjatuhi)
dan menjalankan pidana tersebut".
- Menurut J.M Van Bemmelen
"Hukum pidana terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, dari peraturan
umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan itu sendiri dan pidana
yang diancamkan terhadap perbuatan-perbuatan itu”.
- Menurut Mesger
"Hukum pidana adalah aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan
tertentu yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana."
Inilah beberapa pengertian hukum pidana menurut para ahli, Secara sederhana dapat
dikemukakan bahwa hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkannya
kepada pelaku.

2. TUJUAN HUKUM PIDANA


Tujuan hukum pidana dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

1. Tujuan hukum pidana sebagai hukum Sanksi. Tujuan ini bersifat konseptual atau filsafati
yang bertujuan member dasar adanya sanksi pidana. Jenis bentuk dan sanksi pidana dan
sekaligus sebagai parameter dalam menyelesaikan pelanggaran pidana. Tujuan ini biasanya
tidak tertulis dalam pasal hukum pidana tapi bisa dibaca dari semua ketentuan hukum
pidana atau dalam penjelasan umum.
2. Tujuan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap orang yang melanggar hukum pidana.
Tujuan ini bercorak pragmatik dengan ukuran yang jelas dan konkret yang relevan dengan
problem yang muncul akibat adanya pelanggaran hukum pidana dan orang yang melakukan
pelanggaran hukum pidana. Tujuan ini merupakan perwujudan dari tujuan pertama.

3. SIFAT – SIFAT HUKUM PIDANA


 Mengatur hub, antara Negara atau masyarakat dengan perseorang
 Kedududkan pengusaha lebih tinggi dari pada orang perorang
 Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh adanya hukum pidana itu sendiri
 Penuntutan seseorang yang dirugikan tidak tergantung pada orang tersebut tetapi
Negara/penguasa lah yang menuntut.

4. SEJARAH HUKUM PIDANA

Jonkers dalam bukunya “Het Nederlandsch-Indische Strafstelsel” yang diterbitkan pada tahun
1940 menuliskan pada kalimat pertama mengatakan De Nederlander, die over wijdezeeen en
oceanen baan koos naar de koloniale gebieden, nam zijn eigenrecht mee (orang-orang Belanda
yang dengan melewati lautan dan samudra luas memiliki jalan untuk menetap di tanah-tanah
jajahannya, membawa hukumnya sendiri untuk berlaku baginya.

Sejarah hukum pidana Indonesia secara umum tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
masyarakat Indonesia, masyarakat Indonesia yang terbagi dalam banyak kerajaan, masyarakat
Indonesia di bawah jajahan Belanda dan masyarakat Indonesia setelah masa kemerdekaan.
Hukum pidana modern Indonesia dimulai pada masa masuknya bangsa Belanda di Indonesia,
adapun hukum yang ada dan berkembang sebelum itu atau setelahnya, yang hidup
dimasyarakat tanpa pengakuan pemeritah Belanda dikenal dengan hukum adat. Pada masa
penjajahan Belanda pemerintah Belanda berusaha melakukan kodifikasi hukum di Indonesia,
dimulai tahun 1830 dan berakhir pada tahun 1840, namun kodifikasi hukum ini tidak termasuk
dalam lapangan hukum pidana.

Dalam hukum pidana kemudian diberlakukan interimaire strafbepalingen. Pasal 1 ketentuan ini
menentukan hukum pidana yang sudah ada sebelum tahun 1848 tetap berlaku dan mengalami
sedikit perubahan dalam sistem hukumnya. Walaupun sudah ada interimaire strafbepalingen,
pemerintah Belanda tetap berusaha menciptakan kodifikasi dan unifikasi dalam lapangan
hukum pidana, usaha ini akhirnya membuahkan hasil dengan diundangkannya koninklijk
besluitn 10 Februari 1866. wetboek van strafrech voor nederlansch indie (wetboek voor de
europeanen) dikonkordinasikan dengan Code Penal Perancis yang sedang berlaku di Belanda.
Inilah yang kemudian menjadi Wetboek van Strafrecht atau dapat disebut Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sampai saat ini dengan perubahan-perubahan
yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia.

Zaman Indonesia merdeka untuk menghindari kekosongan hukum berdasarkan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 semua perundang-undangan yang ada masih berlaku selama belum
diadakan yang baru. Untuk mengisi kekosongan hukum pada masa tersebut maka
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang berlakunya hukum pidana yang
berlaku di Jawa dan Madura (berdasarkan Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1946
diberlakukan juga untuk daerah Sumatra) dan dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 untuk diberlakukan untuk seluruh daerah Indonesia untuk menghapus dualsme
hukum pidana Indonesia. Dengan demikian hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang
ialah KUHP sebagaimana ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 beserta perubahan-perubahannya antara lain dalam
Undang-Undang 1 Tahun 1960 tentang perubahan KUHP, Undang-Undang Nomor 16 Prp
Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP, Undang-Undang Nomor 18 Prp.
Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Maksimum Pidana Denda Dalam KUHP, Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Penambahan KetentuanKetentuan Mengenai
Pembajakan Udara pada Bab XXIX Buku ke II KUHP.

5. PEMBAGIAN HUKUM PIDANA

Hukum Pidana dapat dibagi sebagai berikut:

1) Hukum Pidana Objektif (lus Punale), yang dapat dibagi ke dalam:

Hukum Pidana Materiil


Hukum Pidana Formil (Hukum Acara Pidana).
2) Hukum Pidana Subjektif (ius Puniendi).

3) Hukum Pidana Umum.

4) Hukum Pidana Khusus, yang dapat dibagi lagi ke dalam:

Hukum Pidana Militer.


Hukum Pidana Pajak (Fiskal).
Apa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Objektif (lus Punale)

Hukum Pidana Objektif (Ius Punale) ialah semua peraturan yang mengandung keharusan atau
larangan, terhadap pelanggaran mana- diancam dengan hukuman yang bersifat siksaan.

Hukum Pidana Objektif dibagi dalam Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil:
Hukum Pidana Materiil ialah peraturan-peraturan yang menegaskan:
(1) Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum.
(2) Siapa yang dapat dihukum.

(3) Dengan hukuman apa menghukum seseorang.

Apa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Materiil

Singkatnya Hukuman Pidana Materiil mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran
serta syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum.

Jadi Hukuman Pidana Materiil mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta
syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum.

Hukum Pidana Materiil membedakan adanya:

(a) Hukum Pidana Umum.

(b) Hukum Pidana Khusus, misalnya Hukum Pidana Pajak (seorang yang tidak membayar
pajak kendaraan bermotor, hukumannya tidak terdapat dalam Hukum Pidana Umum, akan
tetapi diatur tersendiri dalam Undang-undang (Pidana Pajak)).

Apakah Hukum Pidana Formil itu dan bagaimana hubungan antara Hukum Pidana Formil atau
Hukum Acara Pidana dengan Hukum Pidana Materiil?

Hukum Pidana Formil ialah hukum yang mengatur cara-cara menghukum seseorang yang
melanggar peraturan pidana (merupakan pelaksanaan dari Hukum Pidana Materiil).

Dapat juga dikatakan bahwa Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana memuat
peraturan-peraturan tentang bagaimana memelihara atau mempertahankan Hukum Pidana
Materiil, dan karena memuat cara-cara untuk menghukum seseorang yang melanggar peraturan
pidana, maka hukum ini dinamakan juga Hukum Acara Pidana.

6. KUHP
KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiil di Indonesia. KUHP yang sekarang
diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van
Strafrecht voor Nederlands-Indië. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor
732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Setelah kemerdekaan, KUHP tetap
diberlakukan disertai penyelarasan kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi relevan.
Hal ini berdasarkan pada Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang menyatakan bahwa: "Segala
badan negara dan peraturan yang masih ada langsung diberlakukan selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini." Ketentuan tersebutlah yang kemudian menjadi dasar
hukum pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan pada masa kolonial pada masa
kemerdekaan.

Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diberlakukan secara nasional tidak berarti bahwa
upaya untuk membuat sistem hukum pidana yang baru terhenti. Upaya melakukan pembaruan hukum
pidana terus berjalan semenjak tahun 1958 dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional
sebagai upaya untuk membentuk KUHP Nasional yang baru. Seminar Hukum Nasional I yang diadakan
pada tahun 1963 telah menghasilkan berbagai resolusi yang antara lain adanya desakan untuk
menyelesaikan KUHP Nasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sebenarnya sudah beberapa kali
ada usaha perbaikan KUHP dengan pembuatan Rancangan KUHP. Rancangan tersebut antara lain:

1. Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1968.


2. Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1971.
3. Konsep Tim Harris, Basaroeddin, dan Situmorang tahun 1981.
4. Konsep RKUHP tahun 1981/1982 yan diketuai oleh Prof. Soedarto.
5. Konsep RKUHP tahun 1982/1983.
6. Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang mengalami perbaikan.
7. Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang merupakan hasil penyempurnaan tim sampai 27 April
1987 dan disempurnakan lagi sampai pada November 1987.
8. Konsep RKUHP tahun 1991/1992 yan diketuai oleh Prof. Marjono Reksodiputro.
9.

Isi
Adapun isi dari KUHP disusun dalam 3 (tiga) buku, antara lain:

1. Buku I Aturan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 103)


1. Bab I - Aturan Umum
2. Bab II - Pidana
3. Bab III - Hal-Hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana
4. Bab IV - Percobaan
5. Bab V - Penyertaan dalam Tindak Pidana
6. Bab VI - Gabungan Tindak Pidana
7. Bab VII - Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam Hal Kejahatan-Kejahatan
yang Hanya Dituntut atas Pengaduan
8. Bab VIII - Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana
9. Bab IX - Arti Beberapa Istilah yang Dipakai dalam Kitab Undang- Undang
10.Aturan Penutup
2. Buku II Kejahatan (Pasal 104 sampai dengan Pasal 488)
1. Bab I - Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
2. Bab II - Kejahatan-Kejahatan Terhadap Martabat Presiden Dan Wakil Presiden
3. Bab III - Kejahatan-Kejahatan Terhadap Negara Sahabat Dan Terhadap Kepala Negara
Sahabat Serta Wakilnya
4. Bab IV - Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban Dan Hak Kenegaraan
5. Bab V - Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
6. Bab VI - Perkelahian Tanding
7. Bab VII - Kejahatan Yang Membahayakan Keamanan Umum Bagi Orang Atau Barang
8. Bab VIII - Kejahatan Terhadap Penguasa Umum
9. Bab IX - Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu
10.Bab X - Pemalsuan Mata Uang Dan Uang Kertas
11.Bab XI - Pemalsuan Meterai Dan Merek
12.Bab XII - Pemalsuan Surat
13.Bab XIII - Kejahatan Terhadap Asal-Usul Dan Perkawinan
14.Bab XIV - Kejahatan Terhadap Kesusilaan
15.Bab XV - Meninggalkan Orang Yang Perlu Ditolong
16.Bab XVI - Penghinaan
17.Bab XVII - Membuka Rahasia
18.Bab XVIII - Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang
19.Bab XIX - Kejahatan Terhadap Nyawa
20.Bab XX - Penganiayaan
21.Bab XXI - Menadnyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan
22.Bab XXII - Pencurian
23.Bab XXIII - Pemerasan Dan Pengancaman
24.Bab XXIV - Penggelapan
25.Bab XXV - Perbuatan Curang
26.Bab XXVI - Perbuatan Merugikan Pemiutang Atau Orang Yang Mempunyai Hak
27.Bab XXVII - Menghancurkan Atau Merusakkan Barang
28.Bab XXVIII - Kejahatan Jabatan
29.Bab XXIX - Kejahatan Pelayaran
30.Bab XXIX A - Kejahatan Penerbangan Dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana
Penerbangan (UU No. 4 Tahun 1976)
31.Bab XXX - Peahan Penerbitan Dan Percetakan
32.Bab XXXI - Aturan Tentang Pengulangan Kejahatan Yang Bersangkutan Dengan
Berbagai-Bagai Bab
3. Buku III Pelanggaran (Pasal 489 sampai dengan Pasal 569)
1. Bab I - Tentang Pelanggaran Keamanan Umum Bagi Orang Atau Barang Dan Kesehatan
2. Bab II - Pelanggaran Ketertiban Umum
3. Bab III - Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum
4. Bab IV - Pelanggaran Mengenai Asal-Usul Dan Perkawinan
5. Bab V - Pelanggaran Terhadap Orang Yang Memerlukan Pertolongan
6. Bab VI - Pelanggaran Kesusilaan
7. Bab VII - Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman, Dan Pekarangan
8. Bab VIII - Pelanggaran Jabatan
9. Bab IX - Pelanggaran Pelayaran

7. DASAR PENIADAAN KUHP

Tidak dipidananya seseorang atas pelanggaran ketentuan pidana yang bersifat umum
disebabkan tidak dapat dituntutnya si pembuat (vervolgingsuitslutingsgronden) karena alasan
pemaaf dan dihapuskannya perbuatan si pembuat karena alasan pembenar.
Pada hal yang disebutkan pertama (strafuitslutingsgronden), jaksa penuntut umum telah
mengajukan surat dakwaan. Terdakwa telah diperiksa dalam sidang pengadilan, bahkan telah
diajukannya requisitoir (tuntutan) oleh Jaksa Penuntut, dan telah terbukti terwujudnya tindak
pidana itu oleh si pembuat.

Namun, karena terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipidananya si pembuat, majelis
hakim tidak menjatuhkan pidana (veroordering) kepadanya, melainkan menjatuhkan putusan
lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging).

Putusan itu dijatuhkan terhadap pokok perkaranya atau terhadap tindak pidana yang
didakwakan.

Bab III KUHP menentukan tujuh alasan (dasar) yang menyebabkan tidak dapat dipidananya
si pembuat ini, ialah:

 a. adanya ketidakmampuan bertanggung jawab si pembuat, (Pasal 44 ayat (1))


 b. adanya daya paksa (overmacht, Pasal 48)
 c. adanya pembelaan terpaksa (noodweer, Pasal 49 ayat (1)
 d. adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweerexcess, Pasal 49 ayat
(2))
 e. karena sebab menjalankan perintah UU (Pasal 50)
 f. karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1))
 g. karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan i’tikad baik (Pasal 51
ayat (2))

Dari tujuh alasan tersebut di atas, kemudian dibagi menjadi dua alasan, yaitu:

1. Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden)

Alasan ini bersifat subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin
sebelum atau pada pada saat akan berbuat. Alasan pemaaf ini terdiri dari:

 ketidakmampuan bertanggung jawab


 pembelaan terpaksa yang melampaui batas
 menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan i’tikad baik

2. Alasan pembenar (rechtsvaardingingsgronden)

Alasan ini bersifat objektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin si
pembuat. Alasan pembenar ini terdiri dari:

 adanya daya paksa


 adanya pembelaan terpaksa
 sebab menjalankan perintah UU
 sebab menjalankan perintah jabatan yang sah

Ada beberapa perbedaan antara alasan pemaaf dengan alasan pembenar yaitu: pada alasan
pemaaf si pelaku tidak dipidana meskipun perbuatannya terbukti melanggar undang-undang.
Artinya perbuatannya itu tetap bersifat melawan hukum, namun karena hilang atau hapusnya
kesalahan pada diri si pelaku, perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya atau si pelaku dimaafkan atas perbuatannya tersebut. Contohnya orang gila yang
melakukan pembunuhan atau perkosaan.

Sedangkan pada alasan pembenar, tidak dipidananya si pelaku karena perbuatannya


dibenarkan atau perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya, meskipun
kenyataannya perbuatan si pelaku telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana tetapi karena
hapusnya sifat melawan hukum pada perbuatan itu, si pelaku tidak dapat
dipidana. Contohnya, seorang algojo yang mengeksekusi mati terhukum pidana mati karena
menjalankan perintah jabatan.

Lebih lanjut akan dijelaskan alasan-alasan pemaaf dan pembenar menurut undang-undang di
bawah ini.

1. Alasan pemaaf karena kemampuan bertanggung jawab

Pasal 44 KUHP merumuskan:

(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya


karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuatnya
karena pertumbuan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat
memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama 1 tahun
sebagai waktu percobaan.

(3) Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung Pengadilan Tinggi, dan
Pengadilan Negeri.

Dari norma yang dirumuskan pada ayat (1), jelas ada dua penyebab tidak dipidananya karena
tidak mampunya bertanggung jawabnya si pembuat yang terbukti melakukan tindak pidana,
yaitu:

1. karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya


2. karena terganggu jiwanya dari sebab penyakit

Apakah yang dimaksud dengan tidak mampu bertanggung jawab?

Undang-undang sendiri tidak memberi tidak memberi keterangan yang lebih jelas tentang
tidak mampu bertanggung jawab. Di dalam Memorie van Toelighting (MvT), ada keterangan
mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab, yaitu:

1) Apabila si pembuat tidak memiliki kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak
berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.

2) Apabila si pembuat berada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga dia tidak
dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat
menentukan akibat perbuatannya.
Pasal 44 ayat (1) tidak merumuskan arti tidak mampu bertanggung jawab, melainkan sekadar
menyebut tentang dua macam keadaan jiwa orang yang tidak mampu bertanggung jawab
terhadap perbuatan yang dilakukannya.

Sementara itu tidak dijelaskan mengenai kapan keadaan orang yang mampu bertanggung
jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sementara itu, tidak dijelaskan mengenai
kapan keadaan orang yang mampu bertanggung jawab.

Berpikir sebaliknya dari ketentuan Pasal 44 ayat (1), dapat disimpulkan bahwa orang mampu
bertanggung jawab atas perbuatannya ialah bila dalam berbuat itu, tidak terdapat dua keadaan
sebagaimana diterangkan dalam pasal tersebut.

Alasan undang-undang merumuskan mengenai pertanggungjawaban itu secara negatif,


artinya merumuskan tentang keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab dan bukan
mengenai mampu bertanggungjawab, tidak lepas dari sikap pembentuk undang-undang yang
menganggap bahwa setiap orang itu mampu bertanggung jawab.

Dengan berpijak pada prinsip itu, dalam rangka mencapai keadilan dari vonis hakim maka
dalam hal kemampuan bertanggung jawab ini dirumuskan secara negatif, ditentukan keadaan
tertentu mengenai jiwa seseorang yang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana
karena melakukan perbuatan.

Dalam praktik hukum, sepanjang si pembuat tidak memperlihatkan gejala-gejala kejiwaan


abnormal, keadaan jiwa tidak dipermasalahkan.

Sebaliknya, ketika tampak gejala-gejala abnormal, gejala-gejala itu akan diselidiki apakah
gejala-gejala yang tampak itu benar dan merupakan alasan pemaaf sebagimana dimaksudkan
oleh Pasal 44 (1).

Keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab seperti yang sudah diuraikan diatas
adalah bersifat umum (permanent insanity).

Sedangkan yang sifatnya khusus (temporary insanity) berkaitan erat dengan perbuatan itu
sendiri serta keadaan-keadaan objektif dan atau subjektif tertentu ketika seorang itu berbuat.
Orang yang tidak mampu bertanggung jawab secara khusus ini, ialah:

a) apabila keadaan jiwanya sedemikian rupa sehingga ia tidak bebas untuk menentukan
kehendaknya terhadap perbuatan apa yang dia lakukan;

b) apabila keadaan jiwanya sedemikian rupa sehingga ia tidak mengerti, tidak menginsyafi
atas suatu perbuatan yang dilakukannya itu sebagai perbuatan yang tercela;

Ada tiga cara yang dapat digunakan dalam rangka menyelidiki keadaan jiwa si pembuat
untuk menentukan apakah si pembuat berada dalam keadaan tidak mampu bertanggung
jawabm yaitu:

1. Dengan metode biologis, artinya dengan menyelidiki gejala-gejala atau keadaan yang
abnormal yang kemudian dihubungkan dengan ketidakmampuan bertanggung jawab.
2. Dengan metode psikologis, artinya dengan menyelidiki ciri-ciri psikologis yang ada
yang kemudian dari ciri-ciri itu dinilai untuk menarik kesimpulan apakah orang itu
mampu bertanggung jawab ataukah tidak;
3. Dengan metode gabungan, kedua cara tersebut di atas digunakan secara bersama-
sama. Di samping menyelidiki tentang gejala gejala abnormal juga dengan meneliti
ciri-ciri psikologis orang itu untuk menarik kesimpulan apakah dia mampu
bertanggung jawab ataukah tidak.

8. PERCOBAAN DALAM TINDAK PIDANA


Mengenai percobaan melakukan tindak pidana dapat dilihat pengaturannya dalam Pasal
53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:

(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan
adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-
mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi
sepertiga.

(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Mengenai percobaan tindak pidana ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal (hal. 69) menjelaskan bahwa undang-undang tidak memberikan definisi apa yang
dimaksud dengan percobaan itu, tetapi yang diberikan ialah ketentuan mengenai syarat-
syarat supaya percobaan pada kejahatan itu dapat dihukum.

R. Soesilo menjelaskan bahwa menurut kata sehari-hari yang diartikan percobaan yaitu
menuju ke suatu hal, akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau hendak
berbuat sesuatu, sudah dimulai, akan tetapi tidak selesai. Misalnya bermaksud
membunuh orang, orang yang hendak dibunuh tidak mati; hendak mencuri barang,
tetapi tidak sampai dapat mengambil barang itu.
Menurut Pasal 53 KUHP, supaya percobaan pada kejahatan (pelanggaran tidak) dapat
dihukum, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu;


Orang sudah memulai berbuat kejahatan itu; dan
Perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, oleh karena terhalang oleh sebab-
sebab yang timbul kemudian, tidak terletak dalam kemauan penjahat itu sendiri.

Apabila orang berniat akan berbuat kejahatan dan ia telah mulai melakukan
kejahatannya itu, akan tetapi karena timbul rasa menyesal dalam hati ia mengurungkan
perbuatannya, sehingga kejahatan tidak sampai selesai, maka ia tidak dapat dihukum
atas percobaan pada kejahatan itu, oleh karena tidak jadinya kejahatan itu atas
kemauannya sendiri. Jika tidak jadinya selesai kejahatan itu disebabkan karena misalnya
kepergok oleh agen polisi yang sedang meronda, maka ia dapat dihukum, karena hal
yang mengurungkan itu terletak di luar kemauannya.

Lebih lanjut, R. Soesilo menjelaskan syarat selanjutnya adalah bahwa kejahatan itu
sudah mulai dilakukan. Artinya orang harus sudah mulai dengan melakukan perbuatan
pelaksanaan pada kejahatan itu.Kalau belum dimulai atau orang baru melakukan
perbuatan persiapan saja untuk mulai berbuat, kejahatan itu tidak dapat dihukum.

Misalnya seseorang berniat akan mencuri sebuah sepeda yang ada di muka kantor pos.
Ia baru mendekati sepeda itu lalu ditangkap polisi. Andaikata ia mengaku saja terus
terang tentang niatnya itu, ia tidak dapat dihukum atas percobaan mencuri, karena di sini
perbuatan mencuri belum dimulai. Perbuatan mendekati sepeda di sini baru dianggap
sebagai perbuatan persiapan saja. Jika orang itu telah mengacungkan tangannya untuk
memegang sepeda tersebut, maka di sini perbuatan pelaksanaan pada pencurian
dipandang telah dimulai, dan bila waktu itu ditangkap oleh polisi dan mengaku terus
terang, ia dapat dihukum atas percobaan pada pencurian.

Selanjutnya apabila dalam peristiwa tersebut sepeda telah dipegang dan ditarik sehingga
berpindah tempat, meskipun hanya sedikit, maka orang tersebut tidak lagi hanya
dipersalahkan melakukan percobaan, karena delik pencurian dianggap sudah selesai jika
barangnya yang dicuri itu telah berpindah.

Yang kemudian perlu diketahui lagi adalah apa yang dimaksud dengan perbuatan
pelaksanaan dan perbuatan persiapan?

R. Soesilo menjelaskan (Ibid, hal. 69-70) pada umumnya dapat dikatakan bahwa
perbuatan itu sudah boleh dikatakan sebagai perbuatan pelaksanaan, apabila orang telah
mulai melakukan suatu anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Jika orang belum
memulai dengan melakukan suatu anasir atau elemen ini, maka perbuatannya itu masih
harus dipandang sebagai perbuatan persiapan. Suatu anasir dari delik pencurian ialah
“mengambil”, jika pencuri sudah mengacungkan tangannya kepada barang yang akan
diambil, itu berarti bahwa ia telah mulai melakukan anasir “mengambil” tersebut.

Dalam hal pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP), misalnya dengan
membongkar, memecah, memanjat, dan sebagainya, maka jika orang telah mulai
dengan mengerjakan pembongkaran, pemecahan, pemanjatan, dan sebagainya,
perbuatannya sudah boleh dipandang sebagai perbuatan pelaksanaan, meskipun ia
belum mulai mengacungkan tangannya pada barang yang hendak diambil. Bagi tiap-tiap
peristiwa dan tiap-tiap macam kejahatan harus ditinjau sendiri-sendiri. Di sinilah
kewajiban hakim.

Mengenai perbuatan pelaksanaan dan perbuatan persiapan, Prof. Dr. Wirjono


Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 110-
111), mengutip Hazewinkel-Suringa, menyebutkan berbagai pendapat sebagai berikut:

1. Van Hamel, menganggap ada perbuatan pelaksanaan apabila perbuatan


menggambarkan ketetapan dari kehendak (vastheid van voornemen) untuk melakukan
tindak pidana.
3. Simons, menganggap ada perbuatan pelaksanaan apabila dari perbuatan itu dapat
langsung menyusul akibat sebagai tujuan dari tindak pidana (constitutief gevolg),
tanpa perlu ada perbuatan lain lagi dari si pelaku.

3. Pompe, ada suatu perbuatan pelaksanaan apabila perbuatan itu bernada membuka
kemungkinan terjadinya penyelesaian dari tindak pidana.

4. Zevenbergen, menganggap percobaan ada apabila kejadian hukum itu sebagian


sudah terjelma atau tampak.

5. Duynstee, dengan perbuatan pelaksanaan seorang pelaku sudah masuk dalam


suasana lingkungan kejahatan (misdadige sfeer).

6. Van Bemmelen, perbuatan pelaksanaan harus menimbulkan bahaya atau


kekhawatiran akan menyusulnya akibat yang dimaksudkan dalam perumusan tindak
pidana.

Oleh karena itu, pada akhirnya Hakim yang akan memutuskan apakah tindakan si
pelaku baru merupakan perbuatan persiapan atau perbuatan pelaksanaan.

9. PERAN DALAM MENGHADAPI TINDAK PIDANA

Dari sudut kriminologi setiap tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak disetujui oleh
masyarakat diartikan sebagai kejahatan. Hal ini dapat dicermati bahwa setiap kejahatan
tidak harus dirumuskan terlebih dahulu dalam suatu peraturan hukum pidana. Apabila
perbuatan yang dilakukan itu telah merugikan, membahayakan, dan tidak disukai
masyarakat atau bahkan menjengkelkan, maka perbuatan tersebut dikatakan sebagai
kejahatan. Dengan demikian perbuatan yang anti sosialpun juga termasuk sebagai suatu
kejahatan.[1]

Kejahatan tidak pernah diberantas secara tuntas, kejahatan hanya dapat dicegah, dikurangi
atau ditanggulangi. Berbagai macam upaya telah dilakukan dalam bidang pencegahan
kejahatan oleh instansi-instansi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan. Dalam hal ini Mardjono Reksodiputro menegaskan bahwa pencegahan
kejahatan mencakup segala usaha yang dilakukan oleh pemerintah (negara) dan masyarakat
terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan (dan mereka yang mempunyai potensi untuk
melakukan kejahatan) maupun setelah terjadinya kejahatan (penyelidikan, pemeriksaan,
peradilan, dan pembinaan si pelanggar hukum).[2]

Permasalahan yang sangat menarik untuk dikaji adalah mengapa kejahatan itu terjadi,
mengapa korban kejahatan kurang mendapatkan perhatian dan bagaimana cara
menanggulangi kejahatan tersebut.

JENIS – JENIS HUKUMAN

Dalam hukum pidana, Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana (“KUHP”) membagi hukuman dalam dua jenis, yakni hukuman pokok dan hukuman
tambahan:

1. Hukuman pokok terbagi menjadi:

a. Hukuman Mati

Setiap orang memang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan


meningkatkan taraf kehidupannya sebagaimana termaktub dalam Pasal
28A Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”). Akan tetapi, hak tersebut
dapat dibatasi dengan instrumen undang-undang. Hukuman mati dijatuhkan pada
perkara pidana tertentu, salah satunya adalah perkara narkotika sebagaimana
disebut dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika (“UU Narkotika”).

Sedangkan tata cara pelaksanaan hukuman mati diatur dalam Undang-Undang


No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang
Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan
Militer (“UU 2/PNPS/1964”) yang antara lain mengatur bahwa pelaksanaan
pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau
peradilan militer dilakukan dengan ditembak sampai mati. Penjelasan lebih lanjut
mengenai hukuman mati dapat Anda simak dalam artikel Pelaksanaan Hukuman
Mati Kejahatan Narkotika.

b. Hukuman Penjara
Pidana penjara adalah pidana pokok yang dapat dikenakan untuk seumur hidup
atau selama waktu tertentu. Pidana penjara selama waktu tertentu yaitu antara satu
hari hingga dua puluh tahun berturut-turut (Pasal 12 KUHP) serta dalam masa
hukumannya dikenakan kewajiban kerja (Pasal 14 KUHP). Pidana penjara
dikenakan kepada orang yang melakukan tindak pidana kejahatan.

c. Hukuman Kurungan

Hukuman penjara maupun kurungan, keduanya adalah bentuk pemidanaan dengan


menahan kebebasan seseorang karena melakukan suatu tindak pidana
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 22 KUHP. Pidana kurungan dikenakan
kepada orang yang melakukan tindak pidana pelanggaran (lihat buku ketiga
KUHP tentang Pelanggaran), atau sebagai pengganti pidana denda yang tidak bisa
dibayarkan [Pasal 30 ayat (2) KUHP].

Penjelasan selengkapnya mengenai hukuman penjara dan hukuman kurungan


dapat Anda simak dalam artikel Perbedaan Pidana Kurungan dengan Pidana
Penjara dan Pengertian Pidana Kurungan, Pidana Penjara, dan Pidana
Seumur Hidup.

d. Hukuman Denda

Hukuman denda dikenakan terhadap pelanggaran yang diatur dalam undang-


undang. Berdasarkan Pasal 30 ayat (2) KUHP, jika pidana denda tidak dibayar,
ia diganti dengan pidana kurungan.

e. Hukuman Tutupan

Pidana tutupan merupakan salah satu bentuk pidana pokok yang diatur dalam
Pasal 10 KUHP. Penambahan pidana tutupan ini didasarkan pada Pasal
1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (“UU
20/1946”).

Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan


hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim
boleh menjatuhkan hukuman tutupan. Demikian yang disebut dalam Pasal 2 ayat
(1) UU 20/1946. Penjelasan selengkapnya mengenai hukuman tutupan dapat Anda
simak dalam artikel Mengenai Hukuman Tutupan.

2. Hukuman tambahan terbagi menjadi:


a. pencabutan beberapa hak yang tertentu;
b. perampasan barang yang tertentu;
c. pengumuman keputusan hakim.

Sebagaimana antara lain yang pernah dijelaskan dalam artikel Pidana Pokok dan
Tambahan, KUHP sendiri memang tidak membatasi bahwa hukuman tambahan
tersebut terbatas pada 3 (tiga) bentuk di atas saja.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana


Korupsi sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 (“UU Korupsi”) misalnya, diatur juga mengenai hukuman tambahan lainnya
selain dari 3 bentuk tersebut, seperti: pembayaran uang pengganti yang besarnya sama
dengan harta benda yang dikorupsi, penutupan perusahaan, dan sebagainya. Pada
prinsipnya memang pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara berdiri sendiri
tanpa pidana pokok oleh karena sifatnya hanyalah merupakan tambahan.
KESIMPULAN
Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkannya kepada
pelaku.
Tujuan hukum pidana dibagi menjadi 2(dua) yaitu;
1. Tujuan hukum pidana sebagai hukum Sanksi
2. Tujuan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap orang yang melanggar hukum pidana.
SIFAT – SIFAT HUKUM PIDANA
 Mengatur hub, antara Negara atau masyarakat dengan perseorang
 Kedududkan pengusaha lebih tinggi dari pada orang perorang
 Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh adanya hukum pidana itu sendiri
 Penuntutan seseorang yang dirugikan tidak tergantung pada orang tersebut tetapi
Negara/penguasa lah yang menuntut.
Hukum Pidana dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1) Hukum Pidana Objektif (lus Punale),: Hukum Pidana Materiil, Hukum Pidana Formil
(Hukum Acara Pidana).
2) Hukum Pidana Subjektif (ius Puniendi).
3) Hukum Pidana Umum.
4) Hukum Pidana Khusus

Anda mungkin juga menyukai