Anda di halaman 1dari 14

HUKUM PIDANA

A. Pengertian Hukum Pidana


1. Menurut POMPE, menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah keseluruhan aturan
ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan
pidananya.
2. Menurut MOELJATNO, mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian daripada
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan untuk :
a) Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa
melanggar larangan tersebut.
b) Menetukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana
yang telah diancamkan.
c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Pidana adalah Keseluruhan peraturanperaturan hukum yang menentukan perbuatan apa yang merupakan tindak pidana, kapan dan
dalam hal-hal apa dapat dijatuhkan pidana serta bagaimana cara pengenaan pidananya.
Contoh : Seperti kasus yang sedang hangat menjadi perbincangan yaitu kasus kopi sianida,
dimana jessica Kumala Wongso menjadi terdakwa kasus pembunuhan 'Kopi Maut' Wayan
Mirna Salihin.
B. Sifat Hukum Pidana
Hukum Pidana itu bersifat sebagai hukum publik, yaitu hukum yang mengatur
hubungan antara individu dengan suatu masyarakat hukum umum, yakni negara atau daerahdaerah di dalam negara (P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung :
Citra Aditya Bakti, hlm.14).
Sifat Hukum Pidana sebagai Hukum Publik tampak jelas dari kenyataan-kenyataan, yaitu
antara lain :
a. Bahwa sifat melawan hukum dalam Hukum Pidana tetap ada sekalipun tindakan
tersebut dilakukan atas persetujuan terlebih dahulu dari korban;
b. Bahwa penuntutan perkara pidana tidak digantungkan pada keinginan dari orang yang
telah dirugikan oleh suatu tindak pidana, melainkan ada pada negara.

Misalnya dalam hal terjadinya tindak pidana penipuan, penuntutan seorang penipu
tidak tergantung kepada kehendak orang yang ditipu, melainkan kewenangan instansi
Kejaksaan sebagai alat pemerintah. Hanya saja sebagai kekecualian, ada beberapa tindak
pidana yang hanya dapat diajukan ke pengadilan atas pengaduan (klacht) dari orang yang
diganggu kepentingannya, misalnya tindak pidana penghinaan dan perzinahan.
C. Tahap-tahap Hukum Pidana
1. Tahap Formulasi
Yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh pembuat undang-undang tahap ini dapat
pula disebut tahap kebijakan legislatif.
2. Tahap Aplikasi
Yaitu penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak huku mulai dari kepolisian,
sampai pengadilan. Tahap ini disebut pula tahap kebijakan.
3. Tahap Eksekusi
Yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana, tahap ini dapat disebut juga sebagai tahap kebijakan
eksekutif atau administrasi (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992 : 157).
D. Jenis-jenis Hukum Pidana
1. Hukum pidana dalam arti objektif dan dalam arti subjektif
Hukum pidana objektif (ius poenale) adalah hukum pidana yang dilihat dari aspek laranganlarangan berbuat, yaitu larangan yang disertai dengan ancaman pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut. Jadi hukum pidana objektif memiliki arti yang sama dengan
hukum

pidana

materiil.

Sebagaimana

dirumuskan

oleh

Hazewinkel

Suringa, ius

poenali adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandunng larangan dan perintah dan
keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana bagi si pelanggarnya.
Sementara hukum pidana subjektif (ius poeniendi) sebagai aspek subjektifnya hukum pidana,
merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau kewenangan negara :
1) Untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum.
2) Untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya dengan
menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan tersebut, serta

3) Untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar
hukum pidana tadi.
Jadi dari segi subjektif negara memiliki dan memegang tiga kekuasaan/hak fundamental
yakni :
1) Hak untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan menentukan
bentuk serta berat ringannya ancaman pidana (sanksi pidana) bagi pelanggarnya.
2) Hak untuk menjalankan hukum pidana dengan menuntut dan menjatuhkan pidana
pada si pelanggar aturan hukum pidana yang telah dibentuk tadi, dan
3) Hak untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan pada pembuatnya.
Walaupun negara mempunyai kewenangan/kekuasaan diatas namun tetap dibatasi jika tidak
maka

negara

akan

melakukan

kesewenangan-wenangan

sehingga

menimbulkan

ketidakadilan, ketidaktentraman dan ketidaktenangan warga diantara negara. Pembatasan


tersebut melalui koridor-koridor hukum yang ditetap dalam hukum pidana materiil dan
hukum pidana formil. Juga dibatasi oleh hukum formil artinya tindakan-tindakan nyata
negara sebelum, pada saat dan setelah menjatuhkan pidana serta menjalankannya itu diatur
dan ditentukan secara rinci dan cermat, yang pada garis besarnya berupa tindakan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dengan pembuktian dan pemutusan
(vonis) dan barulah vonis dijalankan (eksekusi). Perlakuan-perlakuan negara terhadap
pesakitan/pelaku pelanggaran harus menurut aturan yang sudah ditetapkan dalam hukum
pidana formil.
2. Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil
Tentang hukum pidana materil dan hukum pidana formil akan dijelaskan menurut pendapat
ahli dibawah ini :
1) van HAMEL memberikan perbedaan antara hukum pidana materil dengan hukum
pidana formil. Hukum pidana materil itu menunjukkan asas-asas dan peraturanperaturan yang mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman. Sedangkan
hukum pidana formil menunjukkan bentuk-bentuk dan jangka-jangka waktu yang
mengikat pemberlakuan hukum pidana materil.

2) van HATTUM, hukum pidana materil adalah semua ketentuan dan peraturan yang
menujukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakantindakan yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan
terhadap tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat
dijatuhkan terhadap orang tersebut (hukum pidana materil kadang disebut juga hukum
pidana abstrak). Sedangkan hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang
mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus
diberlakukan secara nyata. Biasanya orang menyebut hukum pidana formil adalah
hukum acara pidana.
3) SIMONS, hukum pidana materil itu memuat ketentuan-ketentuan dan rumusanrumusan dari tindak pidana, peraturan-peraturan mengenai syarat tentang bilamana
seseorang itu menjadi dapat dihukum, penunjukkan dari orang-orang yang dapat
dihukum dan ketentuan-ketentuan mengenai hukuman-hukumannya sendiri; jadi ia
menentukan tentang bilamana seseorang itu dapat dihukum, siapa yang dapat
dihukum dan bilamana hukuman tersebut dapat dijatuhkan.
3. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus
Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga
negara (subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu.
Setiap warga negara harus tunduk dan patuh terhadap hukum pidana umum. Hukum pidana
khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh negara yang hanya dikhususkan berlaku
bagi subjek hukum tertentu saja. Misalnya hukum pidana yang dimuat dalam BAB XXVIII
buku II KUHP tentang kejahatan jabatan yang hanya diperuntukkan dan berlaku bagi orangorang warga. penduduk negara yang berkualitas sebagai pegawai negeri saja atau hukum
pidana yang termuat dalam Kitab UU Hukum Pidana Tentara (KUHPT) yang hanya berlaku
bagi subjek hukum anggota TNI saja.
Jika ditinjau dari dasar wilayah berlakunya hukum, maka dapat dibedakan antara hukum
pidana umum dan hukum pidana lokal. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang
dibentuk oleh pemerintahan negara pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan
berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Contohnya
adalah hukum pidana yang dimuat dalam KUHP, berlaku untuk seluruh wilayah hukum
negara RI (asas toritorialitet, pasal 2 KUHP). Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum

pidana yang dibuat oleh pemerintah daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan
perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahah daerah
tersebut. Hukum pidana lokal dapat dijumpai did alam PERDA, baik di tingkat propinsi,
kabupaten maupun pemerintahan kota. Menurut PAF. LAMINTANG, penjatuhan-penjatuhan
hukum seperti tlah diancamkan terhadap setiap pelanggar dan peraturan-peraturan daerah itu
secara mutlak harus dilakukan oleh pengadilan.
Dengan demikian, maka masalah terbukti atau tidaknya sseorang yang telah dituduh
melakukan suatu pelanggaran terhadap peraturan daerah, pengadilanlah satu-satunya lembaga
yang berwenang untuk memutuskannya. Dengan pula mengenai hukuman yang bagaimana
yang akan dijatuhkan kepada si pelanggar dan mengenai akibat-akibat hukum lainnya seperti
dirampasnya barang-barang bukti untuk keuntungan negara, dikembalikannya barang-barang
bukti kepaa terhukum dan lain-lainnya, hanya pengadilanlah yang berwenang untuk
memutuskannya. Tidak seorangpun termasuk pemerintah-pemerintah daerah dan alat-alat
kekuasaannya boleh menahan, memeriksa orang yang dituduh telah melakukan suatu
pelanggaran terhadap barang-barangnya tanpa mengajukan mereka ke pengadilan untuk
diadili. Dalam melakukan penahanan, pemeriksaan, dan penyitaan-penyitaan, pemerintahpemerintah daerah berikut alat kekuasaannya, terikat pada ketentuan-ketentuan seperti yang
telah diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana. Setiap tindakan yang
diambil oleh alat-alat negara dengan maksud menghukum seseorang yang telah dituduh
melakukan suatu pelanggaran terhadap peraturan-peraturan daerah atau terhadap ketentuanketentuan pidana menurut UU tanpa bantuan dari pengadilan, pada hakikatnya merupakan
suatu perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) yang dilarang oleh hukum. Sebagaimana
diungkapkan oleh HAZEWINKEL SURINGA: di dalam hukum pidana baik negara maupun
badan yang bersifat hukum publik yang lebih rendah lainya, tidak berwenang main hakim
sendiri. Maka dapat dikatakan telah terjadi perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad) dan jika dilakukan oleh penguasa disebut onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan
melanggar hukum oleh penguasa).
4. Hukum Pidana Tertulis dan Hukum Pidana Tidak Tertulis
Hukum pidana tertulis adalah hukum pidana undang-undang, yang bersumber dari hukum
yang terkodifikasi yaitu Kitab Undang-udang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan bersumber dari hukum yang diluar kodifikasi
yang tersebar diberbagai peraturan perundang-undangan. Hukum pidana yang berlaku dan

dijalankan oleh negara adalah hukum tertulis saja, karena dalam hal berlakunya hukum
pidana tunduk pada asas legalitas sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 (1) KUHP berbunyi
tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
Sementara itu hukum pidana tidak tertulis adalah sebagai wujud dari Keanekaragaman
Hukum Adat di Indonesia, yang masih diakui sepanjang tidak bertentangan dengan
Pancasila. Hukum adat Dasar-Dasar Hukum Pidana pada umumnya tidak tertulis. Menurut
Wirjono, tidak ada hukum adat kebiasaan (gewoonterecht) dalam rangkaian hukum pidana.
Ini resminya menurut Pasal 1 KUHP, tetapi sekiranya di desa-desa daerah pedalaman di
Indonesia ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas kebiasaan dan yang
secara konkrit, mungkin sekali hal ini berpengaruh dalam menafsirkan pasal-pasal dari
KUHP. Namun demikian ada satu daar hukum yang dapat memberi kemungkinan untuk
memberlakukan hukum pidana adat (tidak tertulis) dalam arti yang sangat terbatas
berdasarkan Pasal 5 (3b) UU No. 1/Drt/1951. Dengan demikian sistim hukum pidana di
Indonesia mengenal adanya hukum pidana tertulis sebagai diamanatkan di dalam Pasal 1
KUHP, akan tetapi dengan tidak mengesampingkan asas legalitas dikenal juga hukum pidana
tidak tertulis sebagai akibat dari masih diakuinya hukum yang hidup di dalam masyarakat
yaitu yang berupa hukum adat.
5. Hukum Pidana Yang DiKodifikasikan dan Tidak Dikodifikasikan
Hukum pidana yang dikodifikasikan (codificatie, belanda) adalah hukum pidana tersebut
telah disusun secara sistematis dan lengkap dalam kitab undang-undang, misalnya Kitab
undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Sedangkan yang
termasuk dalam hukum pidana tidak terkodifikasi adalah berbagai ketentuan pidana yang
tersebar di luar KUHP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana
Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, UU No. 9
Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Me-nyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan lainnya yang di dalamnya mengandung
sanksi berupa pidana.

E. Perbedaan Hukum Pidana dan Hukum Perdata


Untuk mengetahui perbedaan hukum pidana dengan hukum perdata secara jelas, maka
berikut ini adalah penjelasan dari beberapa perbedaan antara hukum pidana dan hukum
perdata :
1. Perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dari segi kepentingan yang
dilindungi
Dari segi kepentingan yang dilindungi, hukum pidana melindungi kepentingan umum dan
kepentingan hukum. Sedangkan hukum perdata melindungi kepentingan perseorangan. Di
dalam hukum pidana, Kepentingan umum mengkhendaki agar pihak yang bersalah dihukum,
sedangkan kepentingan hukum mengkhendaki agar pihak yang tidak bersalah tidak dihukum.
Tidak mengherankan, jika dalam hukum pidana dikenal pameo lebih baik membebaskan
seratus orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah.
Di dalam hukum perdata, kepentingan yang diwakili adalah kepentingan perseorangan,
kepentingan perseorangan di sini membutuhkan kepastian hukum yang menuntut
perlindungan hukum.
2. Perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dari segi inisiatif penuntutannya
ke pengadilan
Di dalam perkara pidana, pihak yang memiliki inisiatif untuk melakukan penuntutan adalah
jaksa selaku penuntut umum. Jaksa tidak mewakili instansi atau kepentinganpribadinya,
melainkan mewakili kepentingan umum/publik.
Di dalam perkara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara perdata terletak pada pihak
yang merasa dirugikan, dalam hal ini adalah pihak penggugat.
3. Perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dari segi terus atau tidaknya
pemeriksaan perkara.
Di dalam perkara pidana, apabila suatu perkara telah diajukan jaksa ke pengadilan, maka
kasus itu akan diteruskan hingga ada putusan pengadilan. Perkara tidak dapat dihentikan jika
jika jaksa atau terdawa menginginkan perkara tersebut dihentikan. Hal ini karena perkara
pidana adalah perkara yang menyangkut kepentingan publik, bukan kepentingan jaksa atau
terdakwa.
Di dalam perkara perdata, para pihak yang berperkara dalam hal ini penggugat maupun
tergugat bisa saja menghentikan perkara dan tidak perlu adanya pemeriksaan lanjutan oleh
hakim jika kedua belah pihak sepakat untuk berdamai atau penggugat mencabut gugatannya.

Jadi, meskipun telah diperiksa oleh hakim, perkara perdata bisa dihentikan. Hal ini karena
perkara perdata hanya melindungi kepentingan para pihak yang berperkara.
4. Perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dari segi aktif dan pasifnya
hakim
Dalam perkara pidana, dikenal asas hakim aktif, artinya sekalipun penuntut tidak
mengemukakan hal-hal tertentu ke pengadilan, namun kalau hakim menganggap sesuatu hal
itu perlu diketahuinya, maka hakim bisa untuk mempertimbangkan hal-hal yang tidak
dimajukan oleh jaksa sebagai penuntut umum tadi.
Dalam perkara perdata, dianut asas hakim pasif yang berarti bahwa luas perkara yang
dipersengketakan yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa, pada asasnya ditetapkan
sendiri oleh para pidak yang berperkara, dan bukan oleh hakim. Oleh karena itu, dalam
perkara perdata hakim tidak bisa menjatuhkan putusan kepada sesuatu yang tidak ada dalam
tuntutan. Hakim juga dilarang untuk mengabulkan lebih dari pada yang dituntut oleh
penggugat.
5. Perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dari segi keyakinan hakim
Dalam perkara pidana, meskipun terdakwa telah mengakui sesuatu hal, hakim tidak dapat
begitu saja menerima pengakuan tersebut jika hakim tidak yakin dengan hal tersebut.
Keyakinan hakim bersifat esensial dalam perkara pidana.
Dalam perkara perdata, jika tergugat mengakui apa yang dituntut oleh penggugat, maka
hakim wajib menerima pengakuan tersebut sebagai sesuatu yang benar ( secara formal )
meskipun ia tidak yakin pada apa yang diakui tergugat. Jadi, hakim tidak boleh lagi
mempersoalkan lebih jauh apa yang diakui oleh tergugat tadi.
6. Perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dari segi kebenaran yang ingin
dicapai
Dalam hukum pidana, kebenaran yang dicari adalah kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang
sesungguhnya meskipun tidak ternyata di pengadilan. Sedangkan dalam hukum perdata
kebenaran yang ingin dicapai adalah kebenaran formal, yaitu kebenaran yang secara formal
ternyata dipengadilan , melalui alat-alat bukti yang sah.
7. Perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dalam dari segi penetapan fakta
dan penemuan hukum

Dalam hukum acara pidana terdapat suatu kaita antara penetapan faktanya dengan penemuan
hukumnya. Berbeda dengan hukum acara perdata di mana di dalam konsideransnya jelas
dipisahkan antara peristiwanya dengan hukumnya.
Dalam hukum acara pidana, di dalam konsideransnya tidak dipisahkan secara tajam antara
peristiwanya dengan hukumnya. Dengan kata lain terdapat suatu kaitan antara penetapan
fakta dan penemuan hukumnya. Yang berkaitan terutama dalam hal ini adalah yang
berhubungan dengan faktor-faktor atau unsur-unsur yang menentukan hukumannya.
8. Perbedaan hukum pidana dan perdata dari segi ukuran sanksinya
Dalam hukum acara pidana, ukuran tentang hukuman tidak menggunakan ketentuan
pembuktian yang umum. Contohnya: jika terdakwa bersikap baik dan sopan dalam
persidangan. Ini jelas tidak menggunakan pembuktian lebih lanjut. Dalam hukum acara
perdata, semua hukuman harus didasarkan pada fakta dengan melalui alat-alat bukti yang sah.
Selain itu, sanksi pada hukum pidana adalah sanksi pidana sedangkan sanksi pada perkara
perdata adalah sanksi perdata.
9. Perbedaan hukum pidana dan perdata dari segi keterikatan hakim pada alat
bukti
Di dalam hukum perdata, hakim semata-mata terikat pada alat-alat bukti yang sah atau biasa
dikenal dengan istilah preponderance of evidence yang secara harfiah dapat diterjemahkan
sebagai pengaruh yang lebih besar dari alat bukti, atau keterikatan hakim sepenuhnya pada
alat bukti.
Di dalam hukum pidana, alat bukti yang sah baru mengikat jika hakim memiliki keyakinan
akan kebenaran alat bukti tersebut. Sebagaimana telah disebbutkan di atas, keyakinan hakim
adalah hal yang paling esensial dalam hukum pidana yang dikenal dengan istilah beyond
reasonable doubt atau alasan yang tidak dapat diragukan lagi. Jadi, hakim harus benar-benar
yakin akan kesalahan terdakwa.
10. Perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dari tuntutan primer dan
subsidernya

Baik dalam hukum acara pidana maupun hukum acara perdata, terdapat tuntutan hak yang
primer dan subsider. Tuntutan subsider dalam hukum acara perdata ada dua kemungkinan,
yaitu :
a) Kemungkinan pertama adalah tuntutannya tertentu.
b) Kemungkinan kedua adalah hanya menyatakan mohon putusan seadil-adilnya.
Perjanjian sewa-menyewa memiliki batas waktu, sehingga jika penggugat menggugat dengan
gugatan subsider, maka :
a) Gugatan primernya : agar tergugat diusir untuk mengosongkan rumah.
b) Gugatan subsidernya : penggugat bersedia memberikan uang pesangon atau
penggugat bersedia memberi tambahan batas waktu.
Dalam hukum pidana, sebagai contoh :
a) Tuntutan primer : pembunuhan berencana ( Pasal 340 KUHP )
b) Tuntutan subsider : pembunuhan biasa ( Pasal 338 KUHP )
11. Perbedaan hukum pidana dan perdata dari segi pemeriksaan pendahuluan
persidangan
Hukum acara pidana mengenal adanya dua tahap pemeriksaan yaitu :
a) Pemeriksaan pendahuluan sebelum perkara pidana diajukan ke pengadilan.
Pemerikasaan pendahuluan dibedakan atas pemeriksaan di kepolisian dan
pemeriksaan di kejaksaan.
b) Pemeriksaan di persidangan pengadilan.
Sedangkan dalam hukum acara perdata, penggugat langsung memasukkan gugatannya ke
pengadilan tanpa melalui polisi maupun jaksa. Dalam pemeriksaan pendahuluan pada perkara
pidana, ada dua hal yang penting :
a) Pengumpulan material pembuktian.
b) Pembuktian yang berhubungan dengan sanksi-sanksi yang bersifat sementara.
F. Sejarah Hukum Pidana
1) Zaman VOC
Di daerah Cirebon berlaku papakeum cirebon yang mendapat pengaruh VOC. Pada tahun
1848 dibentuk lagi Intermaire strafbepalingen. Barulah pada tahun 1866 berlakulah dua
KUHP di Indonesia :

Het Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (stbl.1866 Nomor 55) yang berlaku bagi
golongan eropa mulai 1 januari 1867. kemudian dengan Ordonasi tanggal 6 mei 1872 berlaku
KUHP

untuk

golongan

Bumiputra

dan

timur

asing.

Het Wetboek van Strafrecht voor Inlands en daarmede gelijkgestelde ( Stbl.1872 Nomor 85),
mulai berlaku 1 januari 1873.
2) Zaman Hindia Belanda
Setelah berlakunya KUHP baru di negeri Belanda pada tahun 1886 dipikirkanlah oleh
pemerintahan belanda yaitu 1866 dan 1872 yang banyak persamaanya dengan Code Penal
Perancis, perlu diganti dan disesuaiakan dengan KUHP baru belanda tersebut. Berdasarkan
asas konkordansi (concrodantie) menurut pasal 75 Regerings Reglement, dan 131 Indische
Staatsgeling. Maka KUHP di negeri belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti
Hindia Belanda harus dengan penyusaian pada situasi dan kondisi setempat. Semula di
rencanakan tetap adanya dua KUHP, masing-masing untuk golongan Bumiputera yang baru.
Dengan Koninklijik Besluit tanggal 12 April 1898 dibentuklah Rancangan KUHP golongan
Eropa. Dengan K.B tanggal 15 Oktober 1995 dan diundangkan pada september 1915 Nomor
732 lahihrlah Wesboek van strafrecht voor Nederlandch Indie yang baru untuk seluruh
golongann penduduk. Dengan Invoringsverordening berlakulah pada tanggal 1 Januari 1918
WvSI tersebut.
3) Zaman Pendudukan Jepang
Dibandingkan dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak
berubah, karena terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur di dalam Osamu
Serei Nomor 3 tahun 1942 tanggal 20 sepetember 1942.
4) Zaman Kermedekaan
Ditentukan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tersebut bahwa hukum pidana
yang berlaku sekarang (mulai 1946) pada tanggal 8 Maret 1942 dengan perbagai perubahan
dan penambahan yang diseuakan dengan keadaan Negara Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi
Wetboek van Stafrecht yang dapat disebut kitab Undang-undanhg Hukum Pidana (KUHP).
G. Pengertian Tindak Pidana
Menurut Pompe, Pengertian Tindak Pidana adalah Suatu pelanggaran norma (gangguan
terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah
dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman trhadap pelaku tersebut adalah
perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.

Sementara itu, Moeljatno meyatakan bahwa Pengertian Tindak Pidana berarti perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap siapa saja yg melanggar larangan
tersebut. Perbuatan tersebut harus juga dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan
tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpukan bahwa Pengertian tindak pidana adalah
suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan
tersebut dilarang atau diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang
diberi sanksi berupa sanksi pidana. Untuk membedakan suatu perbuatan sebagai tindak
pidana atau bukan tindak pidana ialah apakah perbuatan tersebut diberi sanksi pidana atau
tidak diberi sanksi pidana.
Contoh :
H. Tujuan Tindak Pidana
Menurut para ahli tujuan hukum pidana adalah :
1.

Memenuhi rasa keadilan (WIRJONO PRODJODIKORO)

2.

Melindungi masyarakat (social defence) (TIRTA AMIDJAJA)

3.

Melindungi kepentingan individu (HAM) dan kepentingan masyarakat dengan negara


( (KANTER DAN SIANTURI)

4.

Menyelesaikan konflik (BARDA .N)

Tujuan Pidana (Menurut literatur Inggris R3D) :


1.

Reformation, yaitu memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan
berguna bagi masyarakat.

2.

Restraint, yaitu mengasingkan pelanggar dari masyarakat sehingga timbul rasa aman
masyarakat

3.

Retribution, yaitu pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan

4.

Deterrence, yaitu menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual
maupun orang lain yang potensi menjadi penjahat akan jera atau takut untuk
melakukankejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.

Jadi dapat disimpulkan tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat.
I. Unsur-unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah :


1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa);
2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud
dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam
kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam
kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut
Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:
1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid;
2. Kwalitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam
kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau
komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398
KUHP.
3. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Seorang ahli hukum yaitu simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai
berikut : (DR. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana; Jakarta, PT. Rineka Cipta, Tahun
2004, Hal 88)
1. Diancam dengan pidana oleh hukum
2. Bertentangan dengan hukum
3. Dilakukan oleh orang yang bersalah

4. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

Anda mungkin juga menyukai