BAB I
PENGERTIAN HUKUM PIDANA
1) Hukum material adalah hukum yang berisi adanya subyek/ pelaku dan
tingkah laku yang dirumuskan/norma, saksi yang tegas (KUHP dll).
2) Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
telah diancamkam.
3
d. Menurut S.R. SIANTURI hukum pidana adalah bagian dari hukum positif
yang berlaku disuatu negara dengan memperhatikan waktu, tempat dan bagian
penduduk, yang memuat dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan mengenai
tindakan larangan atau tindakan keharusan dan kepada pelanggarnyabdiancam
dengan pidana. Menetukan pula bilamana dan dalam hal apa pelaku pelanggaran
tersebut dipertanggungjawabkan, serta ketentuan-ketentuan mengenai hak dan
cara penyidikan, penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana demi
tegaknya hukum yang bertitik berat kepada keadilan.
1) Hukum pidana material berisikan norma dan sanksi hukum pidana serta
ketentuan-ketentuan umum yang membatasi, memperluas atau menjelaskan
norma dan pidana tersebut.
2) Hukum pidana formal adalah seluruh garis hukum, yang menjadi dasar
atau pedoman bagi penegak hukum dan keadilan untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan hukum pidana material.
b. Hukum pidana bersifat hukum publik adalah karena pada hukum pidana
terdapat ciri-ciri yang terdapat dalam hukum publik.
Ada beberapa sarjana yang tidak sependapat bahwa hukum pidana bersifat
hukum publik. (VAN KAN, PAUL SCHOLTEN, LOGEMAN, LEMAIRE dan
UTRECHT). Para sarjana ini berpendapat, bahwa hukum pada pokoknya tidak
mengadakan kaedah-kaedah (norma) baru, melainkan norma hukum pidana itu
telah ada sebelumnya pada bagian hukum lainnya dan juga sudah ada sanksinya.
Alasan lainnya yang dikemukakan untuk memperkuat pendapat mereka ialah
bahwa justru tidak selalu penguasa wajib menuntut suatu tindak pidana tertentu
karena dipersyaratkan harus ada “pengaduan” dari yang dirugikan atau terkena
tindak pidana, menunjukkan bahwa hukum pidana tidak bersifat hukum publik.
a. Norma
b. Sanksi
Ada tiga macam cara untuk merumuskan norma yaitu sebagai berikut:
BAB II
ILMU PENGETAHUAN HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI
Tugas utama dari ilmu pengetahuan hukum pidana adalah untuk mempelajari dan
menjelaskan (nterprestasi) hukum (tidak) pidana yang berlaku pada suatu waktu dan
negara (tempat) tertentu. Ia mempelajari norma-norma dalam hubungannya dengan
pemidanaan 9kontruksi), dan kemudian menerapkan hukum pidana yang berlaku
secara teratur dan berurutan. Dengan perkataan lain ia mengolah suatu tindak pidana
yang sudah terjadi kemudian dihubungkan dengan penerapan hukum pidana yang
berlaku.
Pada dasarnya obyek dari ilmu pengetahuan hukum pidana mengenai kejahatan
dan pidana, dan obyek kriminologi adalah orang yang melakukan kejahatan itu sendiri
sebagai gejala dalam masyarakat ( bukan sebagai norma hukum positif semata-mata).
Tugas IPHP adalah untuk menjelaskan (interprestasi) hukum pidana, mengkaji norma
hukum pidana (konstruksi) dan penerapan ketentuan yang berlaku terhadap suatu
tindak pidana yang terjadi (sistimatika), sedangkan tugas kriminologi adalah untuk
mencari dan menentukan sebab-sebab dari kejahatan serta menemukan cara-cara
pemberantasannnya. Tujuan IPHP adalah untuk memahami pengertian yang obyektif
dari peraturan hukum pidana yang berlaku, sedangkan tujuan dari kriminologi adalah
untuk mengamankan masyarakat dari penjahat.
9. Kriminologi
a) Pengertian kriminologi
b) Etimologi kriminil
c) Politik kriminil
BAB III
SEJARAH HUKUM PIDANA
Hukum pidana yang bersifat hukum publik yang kita kenal sekarang, telah
melalui suatu perkembangan yang lama dan lamban. Dalam pra sejarah
perkembangan hukum pidana, suatu tindakan/perbuatan hanya dipandang
sebagai suatu tindakan merusak atau merugikan kepentingan orang lain, yang
kemudian disusuli dengan pembalasan. Pembalasan itu pada umumnya tidak
hanya merupakan kewajiban dari seseorang yang dirugikan atau terkena
tindakan, melainkan meluas menjadi kewajiban dari seluruh keluarga, famili dan
bahkan dalam beberapa hal menjadi kewajiban dari masyarakat.
9
Hukum pidana tertua sekitar abad ke-V yang dikenal di negara-negara barat
adalah hukum pidana jerman yang dinakan LEGES BARBARORUM yang
terutama terdiri dari Lex Salica, Lek Frisionum dan Lex Saxonum. Kemudian
Undang-undang dari Raja-raja Perancis yang dinakan CAPITULARIA. Hukum-
hukum inilah juga yang ditiru oleh negari Belanda pada zaman itu.
Pada abad pertengahan, Hukum CANNONIK yang dibuat sekitar 1140, yaitu
hukum gereja, banyak mempengaruhi hukum pidana. Sejak resepsi dari Hukum
ROMAWI sampai waktu revolusi Perancis meletus, pelaksanaan hukuman sangat
kasar dan kejam. Dasar dari penghukuman pada waktu itu adalah perbuatan
pembalasan yang dilakukan oleh penguasa demi nama Tuhan.
Peristiwa kedua yang terjadi pada waktu yang hampir bersamaan 1764
adalah tulisan BACCARIA yang muncul di Milaan yang berjudul “Dei delitti e delle
pene” yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Ia dengan lantang
memprotes pelaksanaan hukuman-hukuman yang diluar perikemanusian dan
kejamnya hukuman-hukuman. Kedua-duanya peristiwa itu, disamping anjuran-
anjuran pemakaian akal budi pada zaman RENAISSANCE sangat banyak
pengaruhnya terhadap pembaharuan hukum pidana.
Menurut HAN BIN SIONG ada tiga pendapat mengenai daerah berlakunya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 (tentang berlakunya Hukum Pidana) pada
masa sesudah pembentukan NKRI pada tanggal 17 Agustus 1950 dan sebelum
tanggal 29 September 1958 pada saat UU Nomor 1 Tahun 1946 dikukuhkan
dengan UU nomor 73 Tahun 1958 untuk diberlakukan untuk seluruh daerah
Indonesia. Tiga pendapat tersebut antara lain sebagai berikut:
9) Perubahan ancaman pidana denda pasal-pasal 364, 373, 384 dan 407
ayat ke 1 KUHP (tipiring) dari f. 25 menjadi Rp. 250.
11) Penambahan ancaman pidana pasal 359, 360 dan 188 KUHP (UU no.
1960).
16) Pemberatan ancaman pidana terhadap pasal-pasal 109, 210, 387, 415,
416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP dalam rangka TP korupsi.
BAB IV
TUJUAN HUKUM PIDANA DAN DASAR HUKUM PEMIDANAAN
Dewasa ini kita ketahui bahwa tujuan hukum pidana pada umumnya adalah untuk
melindungi kepentingan orang perorangan atau HAM dan melindungi kepentingan-
kepentingan masyarakat dan negara agar tindakan yang dilakukan oleh penguasa tidak
sewenang-wenang.
Pada zaman sebelum revolusi Perancis misalnya, hukum pidana pada umumnya
belum tertulis, dalam banyak hal, baik/buruknya atau dapat tidaknya dipidana suatu
tindakan tergantung kepada “kebijaksanaan hakim” sebagai alat dari Raja. Karena
banyak peristiwa terjadi kesewenang-wenangan dari penguasa mengenai penentuan
sesuatu tindakan yang dapat dipidana maupun mengenai jenis dan beratnya pidana.
a. Mashab Klasik.
17
b. Mashab Modern.
Salah satu alat untuk mencapai tujuan hukum pidaa adalah memidana seseorang
yang telah melakukan tindak pidana. Perseolannya sekarang adalah “apakah dasar
dari pemidanaan?” dengan perkataan lain “apa alasannya untuk membenarkan
penjatuhan pidana oleh penguasa?” penugasan perseolan ini secara mendalam
terletak dalam ilmu filsafat hukum pidana yang termasuk dalam ilmu filsafat pada
umumnya. Dasar-dasar tersebut dapat ditemukan melalui beberapa tolak pangkal
pemikiran seperti: bertolak-pangkal ke Tuhanan (theologis), bertolak-pangkal kepada
falsafah atau bertolak-pangkal kepada perlindungan hukum.
Alasan pemidanaan dapat digolongkan dalam tiga golongan pokok, yaitu sebagai
termasuk golongan teori pembalasan, golongan teori tujuan dan kemudian dengan
golongan teori gabungan.
Jelas kiranya, baik dari empat teori tersebut duluan, yang pada
umumnya dikemukakan oleh para sarjana di Jerman, maupun dari teori
tersebut terakhir pada pokoknya mengutarakan beberapa dasar pemidanaan
yang merupakan tuntutan mutlak, dan yang dalam perwujudannya
merupakan pembalasan terhadap penjahat.
c. Teori Gabungan.
Maka oleh karena itu, tidak saja hanya mempertimbangkan masa lalu
yang terdapat dalam teori pembalasan, tetapi juga harus bersamaan
mempertimbangkan masa datanf seperti yang dimaksudkan pada teori
tujuan. Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa
kepuasan, baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu sendiri disamping
kepada masyarakat. (harus ada keseimbangan antara pidana yang
dijatuhkan dengan kejahatan yang telah dilakukan.
BAB V
PENAFSIRAN
Merumuskan bunyi undang-undang adalah suatu pekerjaan berat dan sulit. Yang
harus dirumuskan bukan suatu kejadian yang konkrit, Melainkan sedapat mungkin
perumusan itu harus sedemikian rupa sehingga meliputi segalanya dan dalam
keadaan, agar tiada suatu perbuatan atau kesempatan yang tersisa untuk dapat lolos.
Namun perumusa tersebut harus sederhana akan tetapi jelas dan terang.
Seperti diketahui, hakim pada khususnya, penegak hukum pada umumnya terikat
pada ketentuan perundang-undangan, Hakim mengucapkan keadilan melalui
putusannya harus berdasarkan perundang-undangan dan keyakinannya sendiri.
Namun disamping hakim harus memutus suatu perkara yang undang-undangnya
kurang jelas, atau harus mempertimbangkan hukum yang berlaku dimasyarakat,
adakalanya diperlukan untuk mempberikan interprestasi (penafsiran) kepada istilah-
istilah tertentu dalam perundang-undangan.
Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian sebagai
berikut:
1) Jika suatu istilah sudah jelas pengertiannya, maka pengertian tersebut
harus digunakan, bukan maksud dari istilah tersebut;
3) Akan tetapi jika dari beberapa cara penafsiran digunakan, ternyata ada
salah satu yang memberi arti dari istilah tersebut, maka yang memberikan
arti tersebut yang digunakan, bukan yang memberikan maksudnya;
BAGIAN II
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
BAB IV
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU
Asas-asas legalitas hukum pidana yang terkandung dalam pasal 1 ayat (1)
(berlakunya tidak mutlak) adalah sebagai berikut:
21. Asas-asas yang terkandung dalam pasal 1 KUHP, bukan merupakan asas
konstitusi.
Apakah ketiga asas tersebut merupakan asas-asas hukum pidana secara murni.
Dalam IPHP Belanda, jelas bahwa asas-asas tersebut bukan merupakan pengulangan
asas dari konstitusi (UUD), tetapi pada umumnya dikatakan sebagai pengulangan asas
yang telah ada dalam ketentuan umum mengenai perundang-undangan. Asas-asas
yang tersebut dalam pasal 1 KUHP secara formal bukan merupakan asas
konstitusional. Namun secara material dapat disimpulkan sebagai tersirat berdasarkan
asas konstitusional dalam pengertian “setidak-tidaknya dalam penerapannya harus
dipandang sebagai berdasar dan bersumber dari UUD 1945.
Salah satu penyebab dari revolusi Perancis adalah adanya hasrat masyarakat
untuk mendapatkan kepastian hukum, rakyat tertinkdas menghendaki adanya
kepastian hukum. Tahun 1789 asas Nullum Delictum sudah dicantumkan dalam
Kosntitusi Prancis. Kemudian dicantumkan pula dalam Code Penalnya. Negeri
Belanda yang pernah mengalami penjajahan Prancis telah juga mencantumkan asas
tersebut dalam Wvs melalui Code Penal yang dibawa Prancis. Pada tahun 1915 (mulai
berlaku tahun 1918) asas tersebut telah pula dicantumkan dalam KUHP untuk
Indonesia yang merupakan jajahan Belanda pada ketika itu. Akhirnya ketentuan
tersebut berlaku pula setelah Indonesia merdeka.
Asas pertama dari pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “ Hukum pidana” harus
bersumber pada undang-undang”, disebut juga asas legalitas. Artinya pemidanaan
harus berdasarkan undang-undang (lege). Yang dimaksud dengan undang-undang
disini adalah dalam pengertian luas, yaitu bukan saja yang secara tertulis telah
dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah dengan DPR,
akan tetapi juga produk perundang-undangan lainnya seperti peraturan/instruksi
Menteri, Gubernur/Kepala Daerah dan lain sebagainya.
Asas kedua adalah “ Ketentuan pidana dalam undang-undang tidak boleh berlaku
surut”, asas ini adalah merupakan asas undang-undang hukum pada umumnya dan
juga merupakan asas hukum pidana sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 1
KUHP. Pasal 2 AB tidak menentukan pengecualian terhadap asas ini. Hal ini
dimaksudkan untuk menegakkan kepastian hukum bagi seluruh justisiabel. Apakah
undang-undang hukum pidana menganut asas ini secara konsekwen.
26
Semula dianut bahwa setiap orang dianggap (suatu fiksi) mengetahui isi undang-
undang. Tetapi kemudian anggapan ini ditinggalkan dan diganti dengan suatu
pendapat bahwa: “setiap orang terikat pada suatu undang-undang sejak dinyatakan
berlaku” pendapat ini telah ditegaskan alam putusan MA pada tahun 1955. Ini berarti
bahwa setiap orang “tidak perlu merasa terikat” kepada undang-undang, untuk
melakukan suatu tindakan tertentu yang belum/tidak diancam dengan pidana,
walaupun tidak ditentukan sebagai tindak pidana. Dengan perkataan lain seandainya
ia melakukan suatu tindakan tertentu yang baru kemudian hari terhadap tindakan yang
serupa diancam dengan pidana, petindak tidak dapat dipidana atas dasar ketentuan
yang baru itu. Jika konsekwen asas “tidak berlaku surut” dianut dalam hal
sebaliknyapun seharusnya berlaku hal yang sama.
26. Pengecualian terhadap asas tidak berlaku surut (pasal 1 ayat 2 KUHP).
Telah disinggung diatas apakah asa “tidak berlaku surut” berlaku mutlak atau
tidak. Tanpa memasuki pembahasan ayat-ayat pasal 1 KUHP, sebenarnya pertanyaan
tersebut sudah dapat dijawab, dengan menggunakan suatu adagium yang berbunyi:
“Tidak ada suatu peraturan yang tanpa kekecualian”. Ketentuan dalam ayat 2 ayat 1
KUHP dengan tegas merupakan pengecualian terhadap asas “tidak berlaku surut”
Sehubungan dengan uraian diatas, apakah perubahan “hukum pidana adat” yang
pada umumnya tidak tertulis, juga dapat dianggap sebagai termasuk dalam pengertian
perubahan perundang-undangan yang berlaku menyeluruh, atau dengan perkataan lain
apakah “hukum pidana adat” demikian pula kebiasaan-kebiasaan dapat dianggap
sebagai undang-undang dalam arti unifikasi? Kiranya sepanjang mengenai materi
hukum pidana, dalam hal ini KUHP dan aturan hukum pidana lainnya, yang sudah
berlaku secara menyeluruh (unifikasi) bagi penduduk indonesia pada umumnya,
“hukum pidana addat” dan kebiasaan-kebiasaan walaupun hanya berlaku setempat,
tidak kurang nilainya untuk dipertimbangkan sebagai hal-hal/fakta yang turut
mempengaruhi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya.
Para sarjana pada umumnya berpendapat bahwa suatu peraturan “baru” yang
bersifat sementara” tidak termasuk dalam pengertian perubahan perundang-undangan,
yang dengan demikian jika berlakunya peraturn yang bersifat sementara itu dihentikan,
juga tidak telah terjadi perubahan perundang-undangan, yang lantas dapat memakai
peraturan yang lebih menguntungkan tersangka.
Seperti diketahui, perubahan perundang-undangan dikatakan terjadi, bilamana
keadaan hukum masyarakat yang sejalan dengan politik hukum pemerintah berubah.
Dalam keadaan seperti terurai diatas, tidak telah terjadi perubahan kesadaran hukum
masyarakat, bahkan peraturan-peraturan (pokok)nyapun tidak dicabut, Isinya yang
tidak diberlakukan dalam waktu tertentu, bukan undang-undangnya.
Apakah pada masa kini, masa yang berbeda dengan zaman prae Revolusi
Perancis, ketika penindasan individu merajalela, masih tetap harus dipertahankan
makna pasal 1 KUHP, yang pada umumnya dikatakan sebagai “penjamin perlindungan
individu” sesuai dengan makna Pancasila, perlindungan huukum tidak hanya bertitik
berat kepada individu, melainkan harus ada keseimbangan antara kepentingan individu
dan masyarakat. Sebenarnya dalam hal tersebut terakhir ini, kepentingan individu
sekaligus telah tercakup didalamnya. Dalam mengadakan keseimbangan antara
individu dan masyarakat, sudah seharusnya diperhatikan kesadaran hukum
masyarakat dan perubahan-perubahan keadaan dalam hubungannya dengan perasaan
keadilan masyarakat.
28
Asas kedua sebagai akibat logis dari asas pertama, dengan sendirinya juga tidak
bersifat mutlak lagi. Ayat kedua pasal 1 KUHP lebih menguatkan lagi bahwa asas “
tidak berlaku surut” itu tidak mutlak, dengan ditentukannya dapat berlaku surut suatu
ketentuan pidana yang menguntungkan bagi tersangka. Ketentuan ini berbeda dengan
yang diatur dalam pasal 2 AB, dimana ketentuan mengenai “berlaku surutnya suatu
peraturan” tidak diatur.
Sudah barang tentu dalam rangka penerapan “ketidak mutlakan” itu sudah
seyogyanya apabila hal itu hanya diterapkan dalam hal-hal yang sangat perlu saja,
agar jangan sampai tujuan asas-asas pasal 1 KUHP yaitu untuk menciptakan suasana
“kepastian hukum dalam masyarakat” tidak menjadi goyah. Dengan perkataan lain
legalitas dalam rangka penerapan hukum pidana masih tetap merupakan titik berat,
akan tetapi demi penegakkan rasa kadilan terutama dalam hubungannya dengan
hukum adat (yang tidak tertulis) yang masih hidup dan berakar dalam masyarakat
tertentu/setempat dalam hal-hal yang perlu, dimungkinkan adanya penyimpangan-
penyimpangan.
BAB V
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA DIHUBUNGKAN
DENGAN TEMPAT DAN ORANG
Sesuai dengan sistimatika KUHP, kini akan dibahas pasal 2 sampai dengan pasal
8 KUHP, mengikuti sistimatika KUHP, dimaksudkan untuk memudahkan memahami
hukum pidana yang berlaku sekarang. Bukanlah juga merupakan pendirian dari Bpk.
Sianturi, S.H., agar supaya sistimatika ini dianuti dalam menghadapi pembuatan
undang-undang hukum pidana nasional baru.
Prof MOELJATNO, pada seminar hukum nasional 1963, yang sejalan dengan
pendapat dari POMPE, yang mengatakan bahwa asas-asas yang terdapat pada pasal
2 sampai dengan 8 KUHP, dianggap sebagai batas perlintasan antara hukum pidana
dan hukum acara pidana. Dalam hal ini “berlakunya hukum pidana” atau batas-batas
berlakunya hukum pidana dalam undang-undang” jika dalam pasal 1 KUHP berlakunya
dihubungkan degan waktu, maka pasal 2 sampai dengan 8 KUHP, dihubungkan
dengan tempat dan orang/pelakunya. Dengan perkataan lain dimana dan kepada
siapakah undang-undang hukum pidana Indonesia berlaku.
a. Tentang larangan penuntutan dua kali perkara yang sama (non bis in idem),
sebagaimana diatur dalam pasal 76 KUHP. Hakim Indonesia harus
memperhitungkan “putusan” yang telah mempunyai kekuatan tetap dari hakim
asing tersebut. Artinya hukum pidana asing yang telah diberlakukan kepada
seseorang, yang jika orang tersebut berada di Indonesia, berlaku pula hukum
pidana Indonesia terhadapnya, maka putusan hakim asing kepada seseorang
tersebut, harus diperhitungkan supaya tidak terjadi penuntutan untuk kedua
kalinya.
b. Wilayah Indonesia.
Wilayah suatu negara pada umumnya terdiri dari 3 macam yaitu daratan,
lautan dan udara, setiap wilayah negara mempunyai perbatasan tertentu, baik
terhadap negara (2) tetangga, maupun terhadap lautan lepas dan mungkin juga
terhadap “ daerah tak bertuan”. Batas-batas daratan wilayah suatu negara pada
umumnya ditentukan dengan perjanjian-perjanjian perbatasan antara negara-
negara yang berbatasan.
Semula batas-batas lautan wilayah Indonesia adalah selebar 3 (tiga) mil laut
kearah lautan lepas diukur dari pantai/air rendah (waktu pasang surut) sesuai
dengan ketentuan dalam “territoriale Zee en Marietime Kringen Ordinantie 1939
(STb. 1939/442) sesuai pula dengan perjanjian internasional pada waktu
Ordonansi 1939 tersebut dibuat. Semula tahun 1960 terjadi perkembangan
undang-undang mengenai batas-batas perairan Indonesia dimana lautan- wilayah
Indonesia tercakup. Pasal 1 UU Nomor. 4 Prp tahun 1960 tanggal 18 Pebruari
1960 menentukan :
Yang terpokok dalam asal personalitas adalah orang, person dalam hal ini
berlakunya hukum pidana dikaitkan dengan orangnya, tanpa mempersoalkan
dimana orang itu berada, yaitu didalam/diluar wilayah Indonesia. Pada dasarnya
orang yang dikaitkan itu adalah warga negara dari negara yang bersangkutan,
dalam hal ini warga negara Indonesia. Jika asas personalitas dianut secara
murni di Indonesia, yang dapat diartikan bahwa hukum pidana Indonesia berlaku
bagi setiap warga negara Indonesia dimanapun ia berada. Dalam KUHP
Indonesia asas personalitas digunakan dalam batas-batas tertentu. Yaitu pada
umumnya dalam hal yang berhubungan dengan :
Ke-1 Salah satu kejahatan, tersebut dalam Bab I dan II Buku kedua,
dan tersebut pasal-pasal : 160, 161, 240, 279, 450, dan 451;
(obyeknya adalah keamanan negara).
(2) Penuntutan perkara sebagai dimaksud pada ayat (1) ke 2 dapat juga
dilakukan bilamana tersangka menjadi warga negara Indonesia setelah
melakukan tindakan itu.
Pasal 6
Pasal 1a :
Pasal 2 :
Pasal 4 KUHPM
Ke- 1 Yang dalam hubungan dinasnya dia berada diluar Indonesia, telah
melakukan suatu tindak pidana.
Ke- 2 Yang tidak dalam hubungan dinasnya dia berada diluar Indonesia,
telah melakukan suatu kejahatan yang ditentukan dalam Kitab
undang-undang (Hukum Pidana Militer) ini.
Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan ialah bahwa setiap negara yang
berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya atau kepentingan nasionalnya.
Dalam hal ini bukan kepentingan perorangan yang diutamakan, kepentingan-
kepentingan nasional yang ditentukan harus dilindungi adalah sebagai berikut :
34
Subyek petindak yang ditentukan dalam pasal 4 KUHP adalah setiap orang,
sedangkan locus delictinya ditentukan diluar Indonesia, karena siapa saja diluar negeri,
melakukan kejahatan seperti yang ditentukan dalam pasal 4 KUHP, kepada petindak
tersebut diberlakukan ketentuan pidana di Indonesia. Apabila telah terjadi tindak
pidana sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 4 KUHP tersebut, dan petindak tidak
datang ke Indoenesia (dalam rangka menyerahkan diri atau tidak), maka harus diteliti
apakah telah ada perjanjian ektradisi antara Indonesia dengan negara yang
bersangkutan dimana kejahatan tersebut telah terjadi. Jika misalnya sudah ada harus
diteliti mengenai siapa saja yang telah diperjanjikan. Didalam suatu perjanjian ektradisi
biasanya diperjanjikan bahwa :
Dalam perjanjian tersebuttidak kurang dari 27 macam tindak pidana yang dapat
diserahkan seperti : pembunuhan berencana, pembunuhan, pemerkosaan, penculikan,
penganiayaan, perampasan kemerdekaan, korupsi, pemerasan, pemalsuan
uang/materai, penyelundupan, penunuan (arson), pelanunan (piracy), pemberontakan
dan lain sebagainya.
Semula tidak dirasakan akan adanya keperluan untuk mengadili seorang penjahat
yang bukan warga negara dan bukan penduduk dari suatu negara, kendati ia berada di
negara itu, jika kejahatan tersebut tidak merugikan kepentingan perseorangan atau
35
4) Ajaran Berbagi tempat tindak pidana. Menurut ajaran ini tempat tindak
pidana adalah gabungan dari ketiga-tiganya atau dua diantara ajaran-ajaran
tersebut diatas. Ajaran seperti ini besar faedahnya di suatu negara yang
luas dan sulit perhubungan/pengangkutan seperti di Indonesia, terutama
dibagian pedalaman. Penggunaannya sangat dibutuhkan terutama dalam
hal-hal terjadi penghinaan dengan alat tulisan ataupun radio (amatir) jarak
jauh.
Waktu tindak pidana selalu bersesuai dengan tempat tindak pidana. Artinya
dimana dan kapan unsur dari suatu tindak pidana telah sempurna, pada saat
kesempurnaan itulah waktu tindak pidana. Dengan mengikuti uraian-uraian
mengenai ajaran-ajaran tempat tindak pidana tersebut diatas,, maka penentuan
waktu terjadinya tindak pidanapun mengikuti salah satu ajaran yang dipergunakan
tersebut.
BAB VI
PENGECUALIAN-PENGECUALIAN BERLAKUNYA
KETENTUAN PIDANA INDONESIA
hukum nternasional diakui kesamaan hak dari setiap negara yang berdaulat dan
seakan-akan adanya “negara dunia”. Selanjutnya dalam ketentuan hukum
internasional, diakui pula suatu asas, bahwa terhadap mereka yang melakukan
tugas perwakilan kenegaraan diluar negaranya, mempunyai kekebalan terhadap
hukum negara dimana ia bertugas. Asas tersebut adalah “hak exterritorialitas”
istilah tersebut berasal dari suatu fiksi, seakan-akan dimanapun mereka
berada/bertugas selalu dianggap seperti dinegaranya sendiri. Sebenarnya istilah
tersebut kurang tepat, karena pengecualian terhadap berlakunya hukum asing
tidak selamanya dikaitkan kepada teritoir, melainkan dalam banyak hal kepada
orangnya sendiri selaku pejabat.
BAB VII
PERJANJIAN EKSTRADISI (Uitleverings-tractaat)
Lian halnya apabila penjahat tersebut berasal dari negara lain, terutama dari
negara (seperjanjian) yang meminta pengektradisian tersebut. Pada umumnya sesuai
dengan yang diperjanjikan, negara yang dimohonkan untuk penyerahan (ektradisi)
tersebut. Mempunyai kewajiban untuk melaksanakannya. Dalam hal ini peranan hakim
dari negara yang akan mengektradisikan penjahat tersebut bertindak sebagai
penasehat pemerintah, untuk menentukan apakah penyerahan tersebut sesuai dengan
apa yang diperjanjikan.
BAGIAN III
SEBAB-AKIBAT, BERSIFAT MELAWAN HUKUM DAN KESALAHAN
BAB VIII
HUBUNGAN SEBAB-AKIBAT, BERSIFAT MELAWAN HUKUM
DAN KESALAHAN DENGAN TINDAK PIDANA
Tidak dapat disangkal, bahwa suatu kejadian selalu ada penyebabnya. Apabila
kalau ditelusuri bahwa penyebab-penyebab dari suatu kejadian, dengan cara
menjadikan penyebab terdekat (kepada kejadian) menjadi “kejadian” yang harus dicari
lagi penyebabnya, maka tidak akan habis-habisnya penyebab itu.
merupakan norma atau bagian norma dari tindak pidana tersebut) dan kesalahan yang
tercakup pada tindak pidana tersebut.
41. Sebab akibat, bersifat melawan hukum dan kesalahan dalam suatu tindak
pidana.
SIMONS yang memerikan batasan bahwa “tindak pidana” adalah suatu tindakan
yang diancam dengan pidana oleh undang-undang bertentangan dengan hukum,
dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.
Kemudian beliau membagi tindak pidana yang dirumuskan dalam undang-undang,
dalam dua golongan unsur-unsur, yang tiap-tiap golongan tersebut dibagi lagi dalam
unsur-unsur sebagai berikut :
BAB IX
AJARAN SEBAB-AKIBAT
Untuk bisa menjawab suatu permasalahan atau persoalan tindak pidana yang
terjadi, maka tidak bisa dihindarkan untuk tidak mempersoalkan apa gerangan yang
harus diartikan dengan sebab yang menimbulkan akibat tertentu dalam hubungannya
dengan pelaku. Dengan kata lain, dalam hubungannya dengan unsur-unsur lainnya
dari suatu tindak pidana, maka tujuan mempelajari masalah sebab-akibat adalah
sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui dan menentukan hubungan sebab dan akibat yang berarti
menentukan ada/tidaknya telah terjadi suatu tindakan yang dapat dipidana.
b. Untuk dapat menentukan siapa yang harus dipertanggungjawabkan atas
suatu akibat tertentu yang berupa suatu tindak pidana.
b. Delik Material adalah delik atau tindak pidana-tindak pidana yang dianggap
sempurna jika akibatnya sudah nyata contohnya (pasal 187/pembakaran, pasal
338/pembunuhan, pasal 378/penipuan. Bahwa delik-delik material yang
mengsyaratkan harus terjadi dulu akibat, yang paling banyak hubungannya
dengan ajaran sebab-akibat. Dengan perkataan lain setelah terjadi suatu akibat
yang ditentukan dalam pasal tersebut, baru dapat didakwakan bahwa pelaku
melanggar pasal yang bersangkutan.
akan terjadi. karena jalan pemikiran yang demikian ini, bahwa setiap peristiwa yang
mendahului, dianggap sama nilainya sebagai sebab dari akibat, maka sama dengan
disebut “teori sama nilai” atau aequivalentie theorie.
a. Teori pengaruh tersebar atau “die meist Bedingung” atas nama BIRK
MAYER, yang menentukan sebagai sebab dari suatu akibat adalah peristiwa yang
paling besar pengaruhnya kepada timbulnya akibat itu.
diketahui oleh pelaku, atau disebut juga dengan teori kesimbangan subyektif.
Dalam hal ini sebenarnya Von KRIES memasukkan unsur “kesalahan” dalam
ajarannya, karenan pengetahuan pelaku erat sekali hubungannya dengan
“hubungan batin pelaku terhadap akibat yang dikehendakinya”.
Penerangan ajaran-ajaran sebab akibat dalam praktek, adalah lebih serasi, jika
selalu disesuaikan dengan perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Artinya secara kasusitis diadakan keseimbangan antara kesadaran hukum
perseorangan atau kelompok masyrakat tertentu dengan kesadaran hukum masyarakat
pada umumnya, dan berpedoman pada ajaran-ajaran conditio sine qua non, teori
umum keseimbangan dan teori khusus secara berimbang.
Pada arrest Hoog Militer Gerechtschof 8 Februari 1924, dalam menentukan sebab
dari akibat telah digunakan ajaran “ adanya hubungan langsung antara kelakuan dan
akibat ”. Hal ini bersumber pada pasal 1248 KUHPer tentang kewajiban ganti rugi,
dapat disimpulkan dari pasal 1248 KUHPer bahwa kerugian hanya meliputi keadaan
yang ditimbulkan secara langsung karena tidak ditepatinya perjanjian.
VAN HAMEL mengajarkan bahwa seseorang yang tidak berbuat dapat dianggap
sebagai sebab dari suatu akibat, jika ia mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat,
istilah kewajiban hukum ditafsirkan oleh berbagai sarjana sebagai kewajiban yang
bersumber kepada hukum dan yang timbul karena jabatan atau pekerjaan. Sarjana lain
berpendapat bahwa sumber kewajiban hukum, selain dari hukum dan pekerjaan juga
dari keputusan-keputusan yang menjadi kesadaran dalam masyarakat. Karena
pendapat ini dihubungkan dengan arrest H.R. tertanggal 31 Januari 1919 mengenai
bangunan “ perbuatan yang bertentangan dengan hukum “ (onrechtmatige daad)
sebagaimana dalam pasal 1365 B.W sebagai berikut :
44
Antara sebab (motif), tindakan dan akibat (sebagai tujuan yang dikehendaki yang
terjadi) harus ada hubungannya. Hubungan itu disebut sebagai hubungan-kausal atau
hubungan sebab-akibat. Nyatalah bahwa hubungan satu sama lain antara sebab,
tindakan dan akibat, dilihat dari sudut ajaran sebab-akibat, ada yang mempunyai
hubungan kausal dalam pengertian hukum pidana, tetapi ada juga yang mempunyai
hubungan dalam pengertian luas, yang apabila tidak ada pembatasannya, maka akan
lebih mengaburkan penerapan ketentuan-ketentuan undang-undang hukum pidana.
Sudah barang tentu dalam rangka pemidanaan hal tersebut diatas, harus masih
dikaitkan dengan kesalahan pelaku dan apakah tindakan bersifat melawan hukum atau
tidak.
45
Sering menjadi bahan perdebatan yang hangat antara penuntut umum disatu
pihak dengan terdakwa dan pembelanya dilain pihak, dalam suatu persidangan
pengadilan mengenai : sejauh manakah hakekat dari sebab-akibat yang terkandung
dalam perumusan suatu delik/kejahatan: dan sejauhmanakah pengaruhnya untuk
menentukan pertanggungjawaban terdakwa. Dalam delik-delik material pihak terdakwa
sering tidak membatasi diri untuk hanya menanggapi perumusan suatu
kelakuan/perbuatan/tindakan dalam undang-undang. Mereka cenderung untuk
menjelajahi kejadian/perbuatan lainnya, situasi dan kondisi yang mendahului tindakan
yang dilakukannya yang sesuai dengan perumusan undang-undang. Hal ini
dimaksudkan agar fakta/data itu dapat diterima sebagai sebab dari tindakan yang
dilakukan itu, bahkan juga sebagai sebab dari akibat yang terlarang. Tentunya yang
dikemukannya itu adalah hal-hal/keadaan-keadaan yang akan menguntugkan pihak
terdakwa. Dalam hal inii fakta/data yang dikemukakan itu ada kemungkinan
dimaksudkan untuk memberikan “bukti perlawanan” tentang ketidakadaan atau
peniadaan kesalahan pelaku, atau juga untuk meniadakan sifat melawan hukum dari
tindakan pelaku tersebut. Mungkin dan minimal sebagai keadaan-keadaan yang dpat
memperingan pertanggungjawaban pidana pelaku atau dalam rangka permohonan
clementie (belas kasihan) hakim.
Salah satu bidang kriminologi adalah untuk mencari dan menentukan penyebab
dari suatu kejahatan. Tujuan utamanya ialah untuk mencari suatu cara pencegahan
atau pemberantasan kejahatan, antara lain dengan jalan peniadaan atau memperkecil
“penyebab”. Kriminologi tidak terbatas hanya mencari “penyebab” dari sudut
perumusan undang-undang saja, melainkan meninjau/mengamatinya dari segala sudut,
terutama dari sudut keadaan masyarakat.
Demikian juga kesadaran hukum masyarakat umum atau setempat, dalam banyak
hal dapat dilihat sebagai gejala yang turut serta memperngaruhi pengertian tindak
pidana. Namun dalam praktek hukum, hasil pengamatan kriminologi sering juga
dikemukakan sebagai suatu hal yang diharapkan dapat mempengaruhi
“pertanggungjawaban” terdakwa. Bahkan sering diharapkan untuk menentukan apakah
perbuatan seseorang merupakan tindakan tercela atau suatu tindak pidana atau tidak.
46
Karenanya tepat sekali tindakan hakim atau Mahkamah Agung yang tidak
menentukan ajaran-ajaran mana dari sekian banyak ajaran itu yang mutlak dipedomani
atau digunakan. Penggunaan ajaran-ajaran itu tentulah harus dengan etikat baik untuk
mencapai tujuan hukum dan terciptanya keseimbangan antara keadilan dan ketertiban.
BAB X
BERSIFAT MELAWAN HUKUM (Wederechtelijk)
Cakupan pengertian hukum adalah lebih luas dari yang dicakup pengertian
undang-undang maupun perundang-undangan. Berbagai perumusan untuk
memberikan penjelasan atau semacam batasan mengenai istilah hukum telah banyak
dikemukakan. Antara lain yang memebrikan perumusan-perumusan adalah, Aristoteles,
cicero, Grotius, Hobbes, von Jhering, Holmes, Van Vollenhoven, Russian Penal Code,
Iwa Kusuma Sumantri dll. Sudiman Kartohadiprodjo sendiri mengatakan bahwa hukum
adalah sesuatu yang bersangkutan dengan manusia, dalam keadaan hubungannya
dengan manusia lainnya. Dengan lain perumusan dapat dikatakan bahwa hukum
adalah segala aturan baik tidak tertulis maupun tertulis yang mengatur mengenai
kehidupan, penghidupan dan hubungan manusia sesamanya beserta kepentingan-
kepentingannya, sedangkan undang-undang adalah merupakan bagian tertulis dari
hukum pada umumnya.
Inti dari arrest HR atau putusan Hakim Yurisprodensi MA Belanda tentang pasal
1365 BW, mengenai pengertian dari “tindakan yang tidak sesuai dengan hukum”
(onrechtmatige daad) yaitu sebagai berikut:
Pedapat tersebut diatas diikuti oleh banyak sarjana. Dalam hal ini POMPE
mempersamakan “tindakan yang tidk sesuai dengan huku” dengan “bersifat melawan
hukum”.
Seseorang yang melakukan suatu tindakan yang bersifat melawan hukum, tidak
selalu diancam dengan pidana menurut undang-undang hukum pidana. Suatu tindakan
yang bertentangan dengan hukum perdata, atau bertentangan dengan hukum
administrasi, bertentangan dengan hukum agama, dan lain sebagainya, tidak diancam
dengan pidana dan tidak dapat dipidana. Dengan perkataan lain karena hukum tidak
saja mencakup undang-undang hukum pidana, melainkan juga hukum perdata, hukum
administrasi dan hukum tatanegara, maka yang diancam dengan pidana hanyalah
suatu tindakan yang diancam dengan pidana. Namun pengaruh dari ssesuatu tindakan
yang bersifat melawan hukum diluar pengertian hukum pidana, tidak kurang pentingnya
dalam pembahasan suatu tindak pidana tertentu.
Bagi para sarjana yang menganut pandangan formal mengenai sifat melawan
hukum dalam hubungannya dengan perumusan suatu delik, apabila bersifat melawan
hukum tidak dirumuskan dalam suatu delik, tidak perlu lagi diselidiki tentang bersifat
melawan hukum itu. Karena dengan sendirinya seluruh tindakan itu sudah bersifat
melawan hukum. Sedangkan jika bersifat melawan hukum ini dicantumkan dalam
rumusan delik, maka bersifat melawan hukum itu harus diselidiki. Dan dalam rangka
penuntutan/mengadili harus terbukti bersifat melawan hukum tersebut. Justru
dicantumkannya bersifat melawab hukum tersebut dalam norma deik, menghendaki
penelitian apaka tindakan itu bersifat melawan hukum atau tidak. Demikianlah antara
lain pendapat SIMONS dan para pengikut ajaran formal.
Sebaliknya para penganut bersifat melawan hukum yang material antara lain
ZEVENBERGEN mengatakan bahwa pada setiap delik dianggap ada unsur
bersifat melawan hukum dan harus dibuktikan. Penganut lainnya antara lain Van
HAMEL berpendirian yang agak lunak mengatakan, bahwa pada setiap delik
dianggap ada unsur bersifat melawan hukum. Tetapi sehubungan dengan
pembuktian, dikatakannya jika bersifat melawan hukum dicantumkan dengan
tegas sebagai unsur delik, atau bersifat melawan hukum tidak dinyatakan dengan
tegas akan tetapi timbul keragu-raguan apakah menurut faham masyarakat
tindakan itu bersifat melawan hukum, maka dalam dua hal tersebut harus ada
usaha (pembuktian)
maka harus diberantas. Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan luar biasa
atau tidak, maka diambil sebagai patokan penentuan/ukuran yaitu, jika dalam
keadaan yang sama setiap orang akan melakukan perbuatan yang sama pula,
maka dalam hal ini tidak dikatakan bahwa telah terjadi perbuatan yang luar biasa.
Dari penyamaan arti bersifat melawan hukum dengan tindakan yang tidak
sesuai dengan hukum, beliau mengajarkan bahwa bersifat melawan hukum harus
disandarkan kepada paham kemasyarakatan, yaitu kepatutan yang harus
diindahkan dalam pergaulan masyarakat.
mengikuti perkembangan kesadaaran hukum masyarakat dan bahwa hakim tidak boleh
menolak mengadili suatu perkara.
Prof. Mr. Djoko Setiono, beliau mengutarakan ada 5 macam aliran dalam rangka
perkembangan hukum sebagai berikut :
c. Aliran Freirechts Lehre yang artinya peranan hakim diperluas lagi, karena
kepadanya dipercayakan untuk menerapkan hukum “demi kepentingan umum”.
Jika perlu demi kepentingan umum tersebut, ia dapat menyimpang dari ketentuan
undang-undang, apabila undang-undang tersebut dalam prakteknya dipandang
sudah beku sangat berbahaya, karena sudah barang tentu dalam hal ini
subyektifitas hakim tidak begitu saja diabaikan.
e. Aliran Open systeem van het recht (atas nama PAUL van SCHOLTEN)
dimana para hakim diberi peranan yang semakin luasyaitu bahwa hakim harus
menemukan atau menciptakan hukum, selain dari tugas penerapan undang-
undang.
Dari perkembangan aliran hukum tersebut diatas, jelas bahwa peranan semakin
luas diberikan kepada hakim, tetapi bagaimanapun juga harus dicegah agar jangan
sampai hakim “ menggantikan “ Raja-raja Romawi yang dalam masalah hukum dikenal
dengan dua pepatah Romawi yang berbunyi “ princep legibus solutus est. Salus publica
supreme lek “ (Kaisar tak terikat oleh undang-undang. Kesejahteraan umum adalah
hukum yang tertinggi), Maksudnya sekalipun mungkin hukum yang diciptakan hakim
tersebut, demi kepentingan umum, namun hakim jangan sampai menjadi “princep”
yang menentukan apa saja yang merupakan kepentingan umum. Hal ini sangat
bertentangan dengan asas-asas dari Pancasila.
Penjelasan UUD 1945 menentukan bahwa bukan hanya hukum tertulis dan/atau
yang dibuat penguasa yang menjadi sumber hukum di Indonesia tetapi juga hukum
tidak tertulis yang umumnya berbentuk hukum adat yang tidak mesti yang dibuat
penguasa. Maka di Indoenesia ada penambahan pengertian hukum positif yaitu bukan
saja yang dibuat/diterapkan oleh penguasa, melainkan juga yang hidup dan berakar
dalam masyarakat setempat yang berbentuk hukum adat sekalipun dalam berbagai hal
diperlukan “pengarahan” agar tidak menyimpang dari garis-garis Pancasila, serta ke
Bhinekaan itu masih dalam keharmonisan dari Ketunggal ikaan (Hukum tidak tertulis
masih tetap berlaku di Indonesia).
53
BAB XI
KESALAHAN
Salah satu pokok persoalan yang sangat penting tetapi sangat rumit dalam
mempelajari hukum pidana adalah tentang pengertian kesalahan, karena dalam
penentuan ada atau tidaknya dan macamnya kesalahan, akan menentukan pula pada
umumnya dapat atau tidaknya pelaku dipidana. Dalam hal dapat dipidana menentukan
pula berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan.
Pengertian kesalahan bisa dilihat dari sudut bahasa sehari-hari, moral, hukum
perdata dan dari sudut hukum pidana sbb:
Beberapa pembahasan para sarjana pada garis besarnya adalah sebagai berikut:
a. Pendapat SIMONS
1) Kemampuan bertanggungjawab.
b. Pendapat NOYON
Atau dengan perkataan lain, ada terdapat kesalahan pada pelaku, jika 4 ciri-
ciri tersebut ada padanya. Tetapi diutarakan pula bahwa tidak selamanya
kesalahan itu dalam arti selengkapnya, harus menjadi unsur dari suatu tindak
pidana.
c. Pendapat POMPE
Jika ketiga unsur ini terdapat barulah kita dapat mengatakan adanya
“kesalahan pidana”. Jadi bukan sekedar norma-hukum yang dilanggar, dalam
penentuan kesalahan-pidana, tidak dipersoalkan tentang norma-norma
kesusilaan. Walaupun undang-undang harus menghormati norma kesusilaan,
55
tetapi ia berhak membuat peraturan, yang wajib ditaati oleh setiap orang,
walaupun akan bertentangan dengan kata hatinya.
1) Kemampuan bertanggungjawab.
2) Kesengajaan atau kealpaan, (sebagai bentuk kesalahan, dan pula
sebagai penilaian dari hubungan bathin dengan perbuatannya pelaku)
3) Tidak adanya alasan pemaaf.
Pendapat ini berbeda dengan yang ada pada kepustakaan pada umumnya
yang mengenal adanya 3 gradasi kesengajaan, yaitu sebagai berikut :
Selain tersebut diatas maksud bagi beliau adalah sikap bathin yang lain dari
pada kesengajaan yang merupakan unsur perbuatan pidana, yaitu unsur
melawan hukum yang subyektif, sedangkan kesengajaan adalah unsur
kesalahan.
1) Melakukan perbuatan pidana (dalam hal ini terkait pula sifat melawan
hukum);
2) Mampu bertanggungjawab;
3) Dengan sengaja atau kealpaan;
4) Tidak ada alasan pemaaf.
1) Mampu bertanggungjawab;
2) Sengaja atau culpa; dan
3) Tidak ada alasan pemaaf.
a. Adanya perangsang,
b. Adanya kehendak, Penyebab terjadinya suatu tindak pidana
c. Adanya tindakan
Dari uraian tersebut diatas dapat dirumuskan bahwa kesengajaan adalah suatu
kehendak/keinginan untuk melkasanakan suatu tindakan yang didorong oleh
pemenuhan nafsu. Dengan perkataan lain kesengajaan itu ditujukan terhadap
suatu tindakan (kehendak daripada pelaku).
Untuk memahami jalan pikiran dari kedua ajaran tersebut, kita kembalikan ingatan
kita sejenak pada uraian no. 41 diatas, dimana menurut SIMONS, tindak pidana itu
terdiri daari dua golongan unsur yaitu, unsur obyektif dan unsur subyektif. Unsur
Obyektif adalah perbuatan/tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat dan keadaan-
keadaan atau masalah tertentu. Dan unsur Subyektif adalah kesalahan dan
pertanggung jawaban pidana. Jika kehendak itu ditujukan kepada perbuatan, maka
disebut sebagai kesengajaan formal, dan jika ditujukan akibat timul dari perbuatan
tersebut disebut sebagai kesengajaan material.
a. Diterminisme
b. Indeterminisme
a. Pertama dolus malus yaitu dalam hal seseorang melakukan suatu tindak
pidana, tidak saja ia hanya menhendaki tindakannya itu, tetapi juga menginsyafi
bahwa tindakannya itu dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana.
Kesengajaan tanpa sifat tertentu, dalam praktek peradilan dan menurut doktrin
dikenal dan diperbedakan beberpa garadasinya. Gradasi seperti ini juga diketemukan
oleh penganut teori perkiraan untuk memperkuat pendiriannya terhadap penganut teori
kehendak. Gradasi kesengajaan tersebut adalah sebagai berukut :
dan pengetahuan dari pelaku, pasal 338 KUHP matinya seseorang tersebut
adalah merupakan perwujudan dari maksud dan tujuan dari pelaku).
4) Sudah tahu yang terdapat dalam pasal 483 ke-2/ kejahatan penerbit.
Jika dalam suatu perumusan tindak pidana digunakan istilah dengan sengaja
menurut doktrin harus ditafsirkan secara luas, artinya mencakup ketiga gradasi
kesengajaan. Bahwa pengertian dari dengan sengaja sebagai dikehendaki dan
diinsyafi telah diperluas tetapi juga hal-hal yang mengarah atau berdekatan
dengan kehendak atau keinsyafan itu. Arrest HR telah memutuskan bahwa unsur
kesengajaan ada, dalam hal pelaku telah mempunyai pengahrapan tertentu.
c. Diketahui.
d. Dengan maksud.
4) Jika diatas telah diurikan bahwa unsur kesengajaan itu meliputi seluruh
unsur-unsur lainnya yang ditempatkan dibelakangnya, ternyata tidak selalu
dipedomani secara konsekwn, lalu dicarilah jalan keluar dengan
menggunakan penafsiran tertentu. (pasal 160, 167, 212 KUHP).
b. Dolus indeterminatus adalah sasaran yang dituju adalah sasaran yang tidak
terlebih dahulu ditentukan.
Didalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Dari ilmu
pengetahuan hukum pidana diketahui bahwa inti, sifat-sifat atau ciri-cirinya adalah
sebagai berikut :
b. Pelaku dapet memperkirakan akibat ayang akan terjadi, tetapi merasa dapat
mencegahnya. Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk tidak
melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak
diurungkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela, karena bersifat melawan
hukum.
Memori van Tulechting (MvT) menjelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri
pelaku terdapat sebagai berikut :
Kealpaan seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan.
Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya daripada kesengajaan. Tetapi
dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah keabliakn dari kesengajaan, karena
bilamana dalam kesengajaan, suatu akibat yang timbul itu dikehendaki pelaku, maka
dalam kealpaan, justru akibat itu dikehendaki, walaupun pelaku dapat memperkirakan
sebelumnya.
d. Ancaman pidana terhadap delik yang dilakukan dengan sngaja, lenih berat
dibandingkan terhadap delik yang bersamaan karena kealpaannya.
e. Jika dolus eventualis dibandingkan dengan kealpaan yang berat, maka pada
dolus eventualis disyaratkan adanya kesdaran akan kemungkinan terjadinya
suatu akibat, kendatipun ia bisa berbuat lain, tetapi tokoh lebih suka melakukan
tindakan itu walaupun tahu resikonya.
76. Culpa lata dan Culpa Levis serta kealpaan disadari dan tidak disadari.
Pebgradasian bentuk kealpaan dapat diterangkan dari dua sudut sebagai berikut :
Jika diatas dikatakan ada bentuk kejahatan dengan kesengajaan dan ada bentuk
kejahatan dengan kealpaan sebagai berikut :
79. Feit Material. ( tindak pidana yang tidak perlu mempermasalahkan adanya unsur-
unsur kesalahan/tidak ada unsur kesalahan)/unsur kesengajaan/kealpaan terhadap
tindak pidana)
a. Melkboer
b. Perpajakan di negeri Belanda
c. Perpajakan di Indonesia
d. Undang-undang devisa Indonesia
e. Pendapat mengenai “tidak dengan sengaja”
Kealpaan itu dapat terjadi karena perbuatan yang disengaja, karena perbuatan
yang tidak disengaja dan karena tidak melakukan sesuatu perbuatan.
Kesimpulan yang dapat diambil yang juga menjadi pandangan dari SR.
SIANTURI, SH. mengenai uraian tersebut diatas adalah sebagai berikut :
BAGIAN EMPAT
BAB XII
ISTILAH DAN PERUMUSAN ARTI TINDAK PIDANA
Istilah seperti juga perkataan adalah merupakan referensi, tetapi juga sering
dikatakan orang bahwa istilah itu dianggap merupakan suatu perjanjian antara orang-
orang yang meggunakannya tentang apa yang dimaksud atau yang diartikan dengan
suatu istilah. Demikianlah istilah (term) “Het strafbare feit” telah diterjemahkan dalam
bahasa indonesia sebagai berikut :
83. Pengertian dari “Een strafbaar feit” menurut para sarjana-sarjana barat.
b. Perumusan Van HAMEL yang merumuskan “strafbaar feit” itu sama dengan
yang dirumuskan oleh SIMONS hanya beliau menambahkan dengan kalimat “
tindakan mana bersifat dapat dipidana”.
Kesulitan itu tidak semakin berkurang setelah istilah strafbaar feit itu
diterjemahkan kedalam bahasa indonesia. Lebih-lebih lagi setelah kepada terjemahan
itu diberikan perumusan. Perundang-undangan indonesia telah menggunakan kempat-
empatnya istilah diatas dalam berbagai undang-undang. “perbuatan yang dapat
dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana”.
Para sarjana indonesia juga telah menggunakan beberapa atau salah satu dari
tersebut diatas antara lain sebagai berikut:
Diantara para sarjana indonesia tersbut telah memberikan pendapat atau alasan-
alasannya, mengapa harus menggunakan istilah yang dipilihnya itu sebagai terjemahan
dari “starfbaar” dan “ feit” yang kemudian dimajemukkan. Beberapa diantara pendapat
tersebut adalah sebagai berikut :
1) Kalau untuk recht, sudah lazim dipakai istilah : Hukum, maka dihukum
lalu berarti:berecht, diadili, yang sama sekali tidak mesti berhubungan
dengan straf, pidana: karena perkara-perkara perdatapun di-bercht, diadili,
Maka beliau memilih untuk terjemahan stafbaar adalah istilah PIDANA
sebagai singkatan dari YANG DAPAT DIPIDANA.
b. Pendapat UTRECHT.
c. Pendapat SATOCHID.
(yang dapat di-) PIDANA. Kepada istilah tersebut harus pula diperjanjikan
penegrtiannya dalam bentuk perumusan. Dalam perumusan tersebut harus
tercakup semua unsur-unsur dari delik (tindak pidana), atas dasar mana dapat
dipidananya petindak yang telah memenuhi unsur-unsur tersebut.
Perlu diperhatikan pula, apabila masalah waktu, tempat dan keadaan (WTK) ini
dilihat dari sudut hukum pidana formal, maka ia sangat penting, karna tanpa
kehadirannya dalam surat dakwaan, maka surat dakwaan itu adalah batal demi hukum.
Jadi sama dengan unsur-unsur lainnya yang harus hadir/terbukti yaitu sebagai berikut :
Dengan demikian dapat dirumuskan pengertian dari tindak pidana sebagai : Suatu
tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau diharuskan)
dan diancam dengan pidana oleh undang-undang bersifat melawan hukum, serta
dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu bertanggung jawab).
tersebut kepada unsur-unsur dari delik yang didakwakan. Dapat disimpulkan sebagai
pedoman tentang penerapan unsur-unsur delik yaitu sebagai berikut :
a. Tiada pidana, tanpa telah terjadi suatu tindakan yang terlarang dan diancam
pidana oleh undang-undang.
c. Tiada pidana, tanpa sifat melawan hukum (dari tindakan tersebut). Mngingat
bahwa unsur tindak pidana itu ada lima, sdangkan jika salah satu unsur tidak ada
atau tidak terbukti, sebenarnya dapat juga disimpulkan hal sebagai berikut :
89. Setiap delik harus dipandang sebagai berunsurkan bersifat melawan hukum.
BAB XIII
SUBYEK TINDAK PIDANA
Jadi yang dianggap sebagai subyek tindak pidana adalah manusia, sedangkan
hewan dan badan-badan tidak dianggap sebagai subyek. Bahwa hanya manusialah
yang dianggap sebagai subyek tindak pidana, dismpulkan antara lain sebagai berikut :
a. Sumber keuangan negara (perpajakan, bea import dan eksport barang dan
lain sebagainya).
BAB XIV
SIFAT TNDAK PIDANA
Bahwa hukum pidana termasuk hukum publik dan sifatnya adalah sebagai
pengatur hubungan hukum antara manusia dengan sesamanya, pengaturan mana
dibebankan kepada penguasa, sedangkan ukurannya dititikberatkan pada kepentingan
umum pada umumnya. Pada umumnya sifat tindak pidana dapat dirumuskan sebagai
“pembatasan beberapa kepentingan atau tindakan, dengan mengadakan larangan-
larangan atau keharusan-keharusan tertentu supaya tercapai dan terpelihara
72
Dari pendapat para ahli tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana
ditujukan untuk mengayomi kepeentingan hukum yaitu sebagai berikut:
a. Kepentingan perseorangan;
c. Kepentingan masyarakat
BAB XV
JENIS-JENIS TINDAK PIDANA
Dalam undang-undang hukum pidana yang berlaku sekarang ada dua macam
pembagian tindak pidana, yaitu kejahatan yang ditempatkan dalam buku ke II dan
pelanggaran ditempatkan dalam buku ke III. Kegunaan pembedaan kejahatan terhadap
pelanggaran, kita temukan dalam sistimatika KUHP yang merupakan buku induk bagi
semua perundang-undangan hukum pidana, karena dikaitkan dengan akibat hukum
yang penting dan tertentu sebagai berikut :
1) Residive untuk kejahatan tertentu diatur dalam pasal 486,487 dan 488.
2) Residive untuk pelanggaran diatur dalam pasal-pasal yang
bersangkutan (489,492,495,501,517,530,536,540,541,542,544,545 dan
549).
k. Kesalahan
Pada kejahatan selalu ditentukan atau dapat disimpulkan adanya salah satu
bentuk kesalahan sedangkan pada pelanggaran tidak.
75
l. Kwalifikasi
Hanya dalam kejahatan dikenal adanya kejahatan ringan (pasal 302 (1), 352
(1), 364,379,384,407 (1), 482 dan 315 KUHP).
Delik mandiri adalah jika tindakan yang dilakukan itu hanya satu kali saja,
untuk mana petindak dipidana, delik lanjutan atau delik yang sama berulang
adalah bilamana tindakan yang sama berulang dilakukan, dan merupakan atau
dapat dianggap sebagai pelanjutan dari tindakan semula.
f. Apakah pada tindak pidana itu ditentukan keadaan yang memberatkan atau
meringankan pidana. Tindakan ini diperbedakan sebagai :
1) Delik biasa.
2) Delik diperberat.
3) Delik diperingan.
g. Bentuk kesalahan.
h. Apakah tindak pidana itu mengenai hak hidup negara, ketatanegaraan atau
pemerintahan negara.
i. Perbedaan subjek.
j. Cara penuntutan.
BAB XVI
PERUMUSAN TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG
Pada dasarnya suatu delik mempuyai 5 unsur, namun dalam perumusan pasal-
pasal delik, tidak selalu kita temukan kelima-limanya unsur-unsur tersebut dalam
perumusan satu pasal saja adakalanya :
a. Salah satu unsur terdapat dalam pasal-pasal terakhir dari sesuatu undang-
undang (misalnya unsur ksalahan, ketentuan pidana dsb).
b. Subyek dari suatu tindak pidana tidak secara tegas ditentukan dalam pasal
tersebut (pasal 104,106,107 dsb)
c. Unsur kesalahan tidak dicantumkan (seperti halnya dalam tindak pidana
pelanggaran pada umumnya)
d. Unsur tindakan yang terlarang belum ditentukan secara tegas (pasal 122
KUHP, pasal 124 KUHPM)
e. Hampir semua unsur tidak secara tegas dirumuskan (351, 134, 315).
f. Unsur bersifat melawan hukum tercantum secara tegas, tetapi adakalanya
tidak demikian.
Demikian pula mengenai unsur-unsur dari unsur tindak pidana tersebut tidak
selalu mengikuti suatu urut-urutan tertentu. Umumnya perumusan suatu tindak pidana
diawali dengan “subyek” seperti “barang siapa” pegawai negeri, militer dan lain
seterusnya, tetapi teerdapat pula perumusan-perumusan yang tidak demikian. Unsur
kesalahan ada kalanya ditempatkan pada awal, pertengahan atau pada akhir
perumusan.
Berlakunya suatu ketentuna pidana (dalam hal ini tindak pidana) adalah
sejak saat (setelah) ketentuan tindak pidana itu diundangkan oleh penguasa yang
berwenang untuk itu, atau ditentukan suatu waktu tertentu. Penentuan waktu
tersebut umumnya adalah pada saat pengundangannya. Penentuan seperti itu
lajim disebutkan sebagai menganut asas legalitas atau juga asas “ NULLUM
DELICTUM, NULA POENA SINE PRAEVIA LEGE POENALI “ artinya tidak ada
delik atau tiada pidana tanpa terlebih dahulu ada ketentuan larangan dan pidana
menurut undang-undang.
77
BAGIAN V
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
BAB XVII
PENGERTIAN DAN UUNSUR-UNSUR
a. Keadaan jiwanya :
b. Kemampuan jiwanya :
BAB XVIII
NON COMPOS MENTIS
Selain daripada apa yang dirumuskan dalam pasal 44 tersebut, ternyata dalam
praktek sehari-hari, masih ada lagi hal-hal atau keadaan yang harus digolongkan pada
katagori ketidakmampuan bertanggungjawab, yaitu apa yang disebut sebagai “dalam
keadaan jiwa yang tidak sadar”. Pada waktu pembentukan undang-undang telah
diusulkan oleh Menteri Kehakiman Belanda agar ketidaksadaran dicantumkan sebagai
salah satu syarat untuk menentukan ketidakmampuan bertanggungjawab.
80
Seseoraang mungkin dihinggapi oleh penyakit jiwa secara terus menerus tetapi
mungkin juga secara sementara atau kumat-kumatan. Dalam hal ini gila kumat-
kumatan yang termasuk cakupan pasal 44 adalah jika gilanya sedang kumat. Selain
daripada kumat-kumatan, dikenal pula adanya “kegilaan” untuk sesuatu perbuatan
tertentu yang dapat dimasukkan dalam pengertian pasal 44 yang disebut sebagai :
Apakah ketentuan dalam pasal 44, juga merupakan unsur dari suatu tindak
pidana? Lajim diajarkan bahwa, ketentuan tersebut dikatakan sebagai “unsur
terkaitkan” artinya ketentuan tersebut dengan sendiriya adalah merupakan salah satu
unsur dari setiap tindak pidana, akan tetapi mengenai pembuktiannya, baru diusahakan
bilamana ada keraguan tentang kesehatan jiwa dari petindak.
Namun demikian, Hakim tidak terikat pada nasehat tersebut. Hakim dapat
menyakininya atau tidak meyakininya, walaupun dalam soal ini sang Hakim tidak
merupakan seorang ahli.
Dalam ilmu hukum pidana, dianut suatu pendirian bahwa seseorang dapat
menentukan “kehendaknya” untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.
Jika seseorang menentukan untuk melakukan kehendaknya, maka bentuknya adalah
“dengan sengaja” atau dengan “alpa”. Bentuk dengan sengaja atau alpa adalah juga
merupakan bentuk-bentuk dari “kesalahan”.
Asas “tiada pidana, tanpa kesalahan” sudah umum diterima sebagai salah satu
asas hukum pidana. Dari asas ini dapat disimpulkan, bahwa pemidanaan seseorang,
atau pertanggungjawaban pidana baru akan ada, bilamana ada kesalahan pada
seseorang terlebih dahulu. Berarti harus diadakan terlebih dahulu
batas-batas/ketentuan mengenai “kesalahan”. Dalam hal ini perlu diingat, bahwa asas
ini hanyalah salah satu asas hukum pidana dalam rangka pemidanaan atau
pertanggungjawaban pidana dari seseorang.
BAB XIX
USIA BELUM DEWASA
Sistem Code Penal di Nederland sampai tahun 1886 ialah adanya pembatasan
umur. Seorang anak yang belum mencapai usia 16 tahun yang melakukan suatu
tindak pidana, tidak dipidana, akan tetapi anak itu dapat diperintahkan oleh hakim
perdata untuk mendapatkan pendidikan paksa dari pemerintah. Jika anak itu sudah
berusia 16 tahun tetapi belum dewasa (21 Tahun) hakim harus menyelidiki apakah
anak itu sudah mencapai akal yang dapat membedakan yang baik dan yang buruk
(berakal), maka terhadap naka itu sesuai dengan asas peradilan, dapat dipidana
dengan pengurangan 1/3 nya. Dan jika sebaliknya anak itu tidak dipidana tetapi harus
mendapat didikan paksa.
Kemudian pada tahun 1886 semenjak berlakunya KUHP nasional Belanda, yang
dalam banyak hal mencontoh KUHP Jerman, terjadi perubahan dalam pembatasan
usia sebagai berikut :
a. Seseorang anak yang belum mencapai usia 10 tahun, jika melakukan suatu
tindak pidana, tidak dipidana, akan tetapi harus mendapat pendidikan paksa dari
pemerintah.
b. Jika seseorang anak yang usianya antara 10 tahun dan 16 tahun melakukan
suatu tindak pidana, dan sudah berakal, anak itu harus dipidana dengan
pengurangan 1/3 nya. Tetapi jika belum berakal anak itu tidak dipidana, akan
tetapi harus diperintahkan oleh hakim pidana untuk dididik paksa oleh pemerintah
sampai anak itu berumur 18 tahun.
c. Seorang anak yang sudah berusia 16 tahun atau lebih, jika melakukan suatu
tindak pidana, harus dipidana.
Atas dasar konkordansi, sistem yang terakhir diuraikan, dianut dalam KUHP
Indonesia, tetapi batas usia adalah 16 tahun. Dalam hal ini kepada hakim diberi
kekuasaan untuk menentukan, apakah anak yang sebelum berumur 16 tahun, jika
melakukan suatu tindakan :
Pendidikan itu antara lain mengenai kerohanian, sopan santun, tata tertib,
kerajinan tangan dan suatu pekerjaan yang dapat digunakan kelak sebagai mata
pencahariannya dalam masyarakat. Perintah hakim mengenai pendidikan paksa,
disebut juga sebagai putusan tak pasti, artinya hakim hanya memerintahkan
84
BAB XX
DAYA PAKSA
Pasal 48 KUHP. Tidak dipidana barang siapa melakukan suatu tindakan karena
didorong oleh daya paksa. Istilah daya paksa sebenarnya sudah mencakup istilah
didorongkan oleh daya paksa. Tetapi untuk dapat mengerti jalan pikiran para penulis
hukum pidana mengenai pasal ini, sementara dipisahkan saja pengertian tersebut.
Mengenai daya paksa dapat disimpulkan pendapat para ahli hukum pidana sebagai
berikut :
Dalam hal ini siterpaksa (petindak) tidak dapat bertindak lain, selain daripada
apa yang dipaksakan kepadanya. Bagi terpaksa tiada persoalan pilihan. Daya-
daya yang dapat memaksakan seseorang untuk bertindak secara terpaksa dapat
berupa paksaan badaniah, atau karena paksaan rokhaniah.
85
b. Paksaan relatif.
Jika paksaan mutlak tidak ada persoalan pilihan, dalam paksaan relatif
secara teoritis ada persoalan pilihan, walaupun pilihan itu lebih condong kepada
“diplihkan” oleh pemaksa. Atau dapat dikatakan bahwa jika siterpaksa
dipersoalkan pilihan tersebut, tiada dapat diharapkan bahkan tidak diharuskan
daripadanya untuk memilih yang lain selain daripada apa yang telah ia laukan
sesuai dengan kehendak pemaksa. Dengan perkataan lain kehendak pemaksa
yang dilakukan oleh siterpaksa. Sedangkan jika siterpaksa akan melakukan
kehendak sendiri, ia akan mendapatkan perlakuan yang merugikan dirinya yang
tidak dapat dhindarinya.
peniadaan sifat melawan hukum” sebagai dasar untuk tidak memidana petindak yang
telah melakukan suatu tindakan. Sekarang yang menjadi persoalan, ukuran apakah
yang telah dibuat oleh doktrin, supaya sesuatu ketentuan dalam KUHP, termasuk
dalam pengertian “dasar-dasar peniadaan kesalahan” atau “dasar-dasar peniadaan
sifat melawan hukum.
Telah disinggung bahwa tanpa memenuhi salah satu unsur dari tindak pidana
tiada pemidanaan. Yang dipidana adalah petindak, bukan tindakannya dan bukan pula
kesalahannya. Khusus mengenai peniadaan pidana berdasarkan peniadaan kesalahan
dan peniadaan sifat melawan hukum. Dalam hal seseorang telah melakukan suatu
tindakan, seperti yang dikehendaki oleh pemaksa atau penyuruh, perlu dipikirkan
tentang dasar-dasar dari “pembebanan” unsur kehendak itu (yang merupakan unsur
kesalahan) kepada pemaksa atau penyuruh, sekalipun menurut praktek hukum yang
berlaku sampai sekarang ini sudah dianggap ada jalan pemecahannya.
BAB XXI
PEMBELAAN PAKSA
a. Uraian umum.
Salah satu segi dari kehidupan sehari-hari ialah bahwa setiap orang harus
merasa terlindung. Tugas perlindungan ini pada umumnya dibebankan pada
polisi. Kalau ada serangan kepada seseorang, polisi wajib melindungi orang itu.
Tetapi dalam kenyataanya, tidak setiap serangan yang terjadi baik kepada
negara, kehormatan susila maupun harta benda perseorangan diketahui oleh
polisi. Lebih-lebih lagi kalau serangan atau ancaman serangan itu sifatnya
mendadak.
87
1) Ditinjau dari sudut tindakan yang dibenarkan pasal 48 dan pasal 49 (1).
1) Serangan :
a) Harus diperkenankan;
b) Harus terpaksa;
c) Harus dilakukan untuk :
i. diri atau
ii. kehormatan sendiri atau orang lain.
iii. atau harta benda
Sehubungan dengan syarat ini, ukuran yang lajim dipakai untuk menentukan
yang diperkenankan ialah asas penggantian ialah menggantikan suatu tindakan
pembelaaan tanpa melakukan suatu tindak pidana dengan suatu tindakan yang
cukup memadai untuk menghindari serangan tersebut. Apabila seseorang
mengalami suatu serangan, baginya ada beberapa pilihan tindakan antara lain :
89
Syarat kedua ialah bahwa pembelaan harus perlu atau terpaksa. Dengan
perkataan lain tindakan pembelaan harus merupakan “tindakan terwajar”, yang
ringan, yang terpaksa dilakukannya untuk menghindarkan diri dari suatu
serangan. Ukuran lajim dipakai untuk menentukan “tindakan terwajar” adalah
dengan menggunakan asas keseimbangan. Seberat-beratnya tindakan yang
dapat diartikan dalam pengertian terpaksa, harus masih ada keseimbangan
antara kepentingan hukum yang dirugikan dan kepentingan hukum yang dibela.
Seandainya pembela dengan melakukan suatu tindakan yang tidak merupakan
tindak pidana sudah cukup dalam rangka pembelaan, maka tindakan lainnya yang
dapat merupakan tindak pidana juka dilakukan sebagai pembelaan, tidak
dilindungi pasal 49 KUHP, karena tindakan tersebut bukan merupakan tindakan
yang terpaksa. Dan jika harus melakukan suatu perlawanan yang dapat
merupakan tindak pidana harus ada keseimbangan.
f. Obyek pembelaan.
Pembelaan paksa pada dasarnya hanya boleh terjadi sebagai akibat dari adanya
serangan atau ancaman. Menjadi persoalan, bagaimanakah jika seseorang mengira
bahwa ia diserang atau diserang?
Tindak pidana (barang siapa yang melakukan tindakan) pembelaan paksa yang
melampau batas, yang merupakan akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat,
yang ditimbulkan oleh serangan atau ancaman serangan tersebut pasal 49 ayat 2.
Untuk ini syarat-syarat serangan seperti diutarakan diatas harus ada. Sedangkan
syarat-syarat pembelaan diperluas atau dengan perkataan lain kalaupun pembelaan itu
terlampau sepanjang keterlampauan itu merupakan akibat langsung dari kegoncangan
jiwa yang hebat, yang ditimbulkan oleh serangan/ancaman serangan tersebut, masih
termasuk keadaan yang meniadakan pidana petindak.
BAB XXII
KETENTUAN UNDANG-UNDANG DAN PERINTAH JABATAN
seperti ini disebut sebagai pengertian dalam arti luas, sehubungan dengan peniadaan
pidana bagi petindak, yang terpenting dalam ketentuan undang-undang adalah
mengenai pelaksanaannya yang ridak terlepas dari beberpa keadaan yaitu sebagai
berikut :
a. Pasal 51 ayat (1) : Tidak dipidana, barang siapa melakukan suatu tindakan
pelaksanaan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang
untuk itu.
Antara pemberi perintah dan pelaksana perintah harus ada hubungan dalam
rangka perintah jabatan. Hubungan itu harus menurut hukum publik.
Dipersyaratkan pula tentang kewenangan penguasa itu. Artinya posisi pemberi
perintah harus didasarkan kepada ketetuan dari hukum publik. Mudah dimengerti
bahwa kedudukan pemberi perintah adalah lebih tinggi dari tpelaksana dalam
hubungan pelaksanaan perintah tersebut. Adanya hubungan jabatan disini tidak
selalu mutlak, walaupun pada umumnya adalah demikian, ingat ketentuan pasal
525 KUHP. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa perintah jabatan harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
b. Pasal 51 ayat (2). Perintah jabatan yang diberikan tanpa kewenangan, tidak
menghapuskan pidana, kecuali jika oleh pelaksana perintah tersebut dengan
etikat baik mengira bahwa perintah itu diberikan dengan kewenangan dan
pelaksanannya termasuk dalam lingkungan ketaatannya.
diartikan secara luas yaitu bahwa menurut perhitungan yang layak atau menurut
perhitungan umum ia seharusnya mengetahui. Tegasnya pidana ditiadakan
kepada pelaksana perintah hanya jika ia melaksanakan perintah atas dasar
sebagai berikut :
BAB XXIII
KETENTUAN-KETENTUAN PENIADAAN PIDANA LAINNYA
121. Ketentuan peniadaan pidana diluar Bab III buku I KUHP, tetapi masih
didalam KUHP.
b. Salah satu asas dari hukum acara pidana ialah bahwa sseseorang petindak
pidana tidak diwajibkan untuk membuktikan kesalahan. Bahkan padanya diakui
adanya hak ingkar. Petindak wajiba melaporkan dirinya bahwa ia telah melakukan
suatu tindakan, dan tidak pula akan menambahkan tindak pidana yang
dilakukannya jika ia menyembunyikan diri karena telah melakukan suatu tindak
pidana.
Peniadaan pidana di luar KUHP dapat ditemukan yang merupakan tambahan atau
pengecualian terhadap asas-asas umum yang diatur dalam bab I KUHP.
Selain daripada itu, jika pada salah seorang peserta petindak dari kejahatan
terhadap keamanan negara dalam KUHP tidak dikenal peniadaan tuntutan pidana,
maka dalam pasla 72 ayat (1) KUHPM, ketentuan itu dikenal yang agaknya didasarkan
pada asas kegunaan. Sedangkan peniadaan pidana disini adalah merupakan lanjutan
dari peniadaan tuntutan pidana yang termasuk golongan peniadaan sifat melawan
hukum.
BAB XXIV
PENGURANGAN DAN PENAMBAHAN PIDANA
Selain daripada pasal yang diutarakan tersebut, dikenal beberapa keadaan yang
dapat dijadikan dasar untuk pengurangan pidana yang dalam banyak hal sering
dilakukan dalam praktek hukum sebagai kelanjutan dari adanya kebebasan bagi hakim
untuk menentukan putusannya antara ancaman pidana maksimum dan minimum, dan
seyogyanya dapat pula ditampung dalam rangka pembentukan hukum pidana nasional.
Keadaan-keadaan itu adalah :
b. Seorang ibu yang sedang nyidam yang melakukan suatu kejahatan (tindak
pidana tertentu).
g. Seorang yang pada waktu melakukan tindak pidana tidak mungkin dapat
mengetahui bahwa perbuatannya itu dapat dipidana.
Asas umum untuk penambahan pidana dalam Bab III Buku I KUHP ada dua
macam yang diatur dalam pasal 52 dan 52 a KUHP sebagai berikut :
Selain daripada itu dikenal pula beberapa keadaan yang menjadi dasar dari
penambahan pidana sebagai berikut :
a. Pejabat.
b. Bendera kebangsaan.
c. Residive/pengulangan.
sepertiga saja. Jadi ditinjau dari sudut “seandainya” itu tadi, maka gabungan itu
justru merupakan pengurangan pidana. Beda gabungan dengan pengulangan
yang terpokok ialah bahwa pada gabungan antara tindak pidana yang satu
dengan lainnya belum ada putusan tetap, sedangkan pada pengulangan sudah
ada.
1) Akibat yang lebih berat daripada akibat yang ditentukan terlebih dahulu
(pembakaran, penganiayaan dan sebagainya).
2) Dilakukan secara bersama-sama.
3) Dilakukan pada malam hari dan lain sebagainya.
BAGIAN VI
BAB XXV
DASAR-DASAR PEMIDANAAN PERCOBAAN
Ada dua aliran mengenai dasar pemidanaan percobaan yang paling menonjol.
Sitem pemidanaan untuk percobaan agak menyimpang dari sistem pemidanaan suatu
delik sempurna yang justru mengancam pidana apabila unsur-unsur delik tersebut telah
sempurna dipenuhi. Untuk percobaan pemidanaan diadakan justru belum terjadi
sesuatu yang merugikan kepentingan hukum seperti yang seutuhnya dilindungi dalam
pasal tindak pidana yang bersangkutan. Karenanya dicari dasar hukum dari
pemidanaan tersebut.
Aliran pertama bertolak pangkal kepada diri atau jiwa dari petindak. Yang
dinilai pertama-tama adalah isi kewajiban dari petindak, yaitu kehendaknya atau
niat petindak untuk melakukan suatu kejahatan. Niatnya harus ternayata dari
tindakannya yang juga merupakan pernyataan keberbahayaan dari petindak. Para
penganut aliran pertama menghendaki pemberantasan kejahatan pada tindakan
permulaannya atau mengadakan perlawanan terhadap orang-orang yang
bertabiat jahat. Justru itulah sebabnya mengapa petindak yang baru saja
menyatakan niat jahatnya dalam bentuk tindakan permulaan sudah harus
dipidana, walaupun belum terjadi sesuatu kerugian kepentingan hukum sesuai
dengan pasal-pasal tindak pidana.
Aliran kedua bertolak pangkal kepada tindakan dari petindak yang telah
membahayakan sesuatu kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-
undang. Dasar pemidanaan menurut aliran ini adalah suatu perbandingan atau
hubungan tertentu antara tindakan dengan kepentingan hukum yang dilindungi.
Seandainya hubungan tersebut tidak menunjukkan perlunya pemidanaan maka
tidak ada pemidanaan, walaupun digembor-gemborkan adanya niat padanya
untuk melakukan sesuatu kejahatan. Sampai dimana batas-batas dari hubungan
itu. Karena aliran kedua ini bertolak pangkal kepada tindakan yang telah
98
Perbedaan kwantitas dari tindak pidana satu dengan lainnya masih tetap perlu
diperhatikan dan ditegaskan. Dengan demikian misalnya dapat ditentukan antara lain
sebagai berikut :
BAB XXVI
PERUMUSAN PERCOBAAN DALAM KUHP
130. Niat
Niat adalah salah satu syarat dari percobaan untuk melakukan kejahatan (pasal
53 KUHP). Dengan demikian percobaan untuk melakukan kejahatan, apabila
kejahatan yang diniat itu adalah pembunuhan maka sehubungan dengan ketentuan
tadi). Dari uraian singkat tersebut sudah dapat dipastikan bahwa niat tersebut tidak
dimaksudkan untuk mengganti unsur kesalahan (kesengajaan dan kealpaan) dari
kejahatan itu. Dari ajaran Schuld pada umumnya yang dimaksud dengan niat adalah
sama dengan pengertian sengaja dalam semua gradasinya. Pencatuman niat dalam
perumusan percobaan merupakan suatu kekhususan.
Pada syarat ketiga ini ada 3 macam hal yang menjadi perhatian yaitu :
a. Tidak selesai.
b. Hanyalah.
c. Keadaan-keadaan diluar kehendak petindak.
Yang tidak selesai itu adalah kejahatan, atau kejahatan itu tidak terjadi sesuai
dengan ketentuan undang-undang, atau tidak sempurna memenuhi unsur-unsur dari
kejahatan menurut rumusannya. Dengan perkataan lain niat petindak untuk
melaksanakan kejahatan tertentu yang sudah dinyatakan dengan tindakannya terhenti
sebelum sempurna terjadi kejahatan itu. Dapat juga dikatakan, bahwa tindakan untuk
merugikan sesuatu kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang hukum
pidana itu terhenti sebelum terjadi “kerugian” yang sesuai dengan perumusan undang-
undang. Yang dimaksud dengan keadaan diluar kehendak petindak adalah setiap
keadaan baik badaniah/fisik maupun rohaniah/psychis yang datangnya dari luar yang
menghalangi atau menyebabkan tidak sempurna terselesaikan kejahatan itu.
BAB XXVII
TEORI-TEORI MENGENAI PERCOBAAN
Dikatakan percobaan yang tidak wajar, bilamana niat petindak telah dinyatakan
dengan adanya permulaan pelaksanaan tindakan, tetapi tidak selesai pelaksanaan
tindakan itu, adalah karena tidak mungkin terjadi dan diluar kehendaknya. Tegasnya
ada keadaan yang diluar kehendak petindak, yang tidak dimungkinkan penyelesaian
tindakan itu, walaupun ia telah melakukan tindakan-tindakan kearah penyelesaian itu.
Keadaan itu bukan merupakan halangan/rintangan yang dilakukan oleh manusia,
makhluk lainnya atau alam, melainkan karena alat untuk menyelesaikan tindakan itu,
atau sasaran dari tindakan itu tidak wajar, yang tidak diketahui oleh petindak. Jadi
bukan percobaannya yang tidak wajar, tetapi alat atau sasarannya.
Ketidakwajaran ada dua tingkatan yaitu mutlak tidak wajar dan relatif tidak wajar.
Karenanya dikenal empat bentuk ketidakmungkinan sebagai penyebab dari tidak
terselesaikan suatu kejahatan itu :
134. Penilaian kasuistis untuk percobaan yang tidak wajar/karena alatnya yang
tidak wajar.
Beberapa kejadian sering dibicarakan dalam rangka percobaan yang tidak wajar.
Dikatakan juga sebagai telah terjadi kekeliruan mengenai kewajarannya. Dalam
contoih yang terkenal mengenai petani dari Beieren yang mendoakan supaya
seseorang lain mati sebagai akibat dari doanya. Ternyata tidak apa-apa kepada orang
lain itu. Dari sudut percobaan yang tidak wajar, kejadian ini termasuk : percobaan
yang alatnya secara mutlak tidak wajar. Tetapi sebenarnya apa yang telah dikerjakan
oleh petani itu, yaitu berdoa, bukanlah alat untuk membunuh dan bahkan secara hukum
pidana tidak ada hubungannya dengan pembunuhan.
Ketentuan-ketentuan lain yang mirip dengan percobaan yang diatur dalam KUHP
adalah makar dan mufakat jahat. Menurut pasal 87 KUHP, dikatakan bahwa ada makar
terhadap suatu tindakan, jika niat petindak telah dinyatakan dengan adanya permulaan
pelaksanaan tindakan seperti dimaksud dalam pasal 53.
102
Makar hanya pada beberapa kejahatan tertentu saja ditentukan dalam KUHP.
Terutama dalam buku kedua Bab I,II dan III (kejahatan terhadap keamanan negara,
martabat presiden dan wakil presiden, negara sahabat dan kepala negara sahabat
serta wakilnya). Dihubungkannya makar dengan percobaan (pasal 53 KUHP) harus
ditafsirkan bahwa dari tiga syarat percobaan yang ditentukan untuk menentukan
adanya makar sudah cukup jika dipenuhi dua syarat yang terdahulu saja. Selanjutnya
untuk adanya makar tidak perlu dipersoalkan apakah yang diniatkan itu berhasil atau
tidak berhasil. Ancaman pidana bagi makar yang sudah sempurna pasal 87 terhadap
suatu kejahatan tertentu, percobaan terhadap kejahatan tersebut 9misalnya
pembunuhan presiden) dan terselesaikan “kejahatan khusus” itu sendiri sama saj dan
termasuk dalam ketentuan pada pasal yang bersangkutan (kejahatan selesai) perlu
diperhatikan juga bahwa pembatalan niat secara sukarela dalam soal makar tidak
meniadakan pidana.
Pasal 88 yang menentukan : dikatakan mufakat jahat jika dua orang atau lebih
telah mufakat untuk melakukan kejahatan. Jika dibandingkan ketentuan dalam pasal
ini dengan ketentuan percobaan terutama tentang hal-hal yang dibahas dalam syarat
kedua dari percobaan, yaitu mengenai persiapan pelaksanaan (yang tidak dipidana)
dan tindakan pelaksanaan (yang dipidana), maka mufakat jahat termasuk dalam
pengertian persiapan pelaksanaan. Jika dalam percobaan, kegiatan sampai persiapan
pelaksanaan saja belum diancam pidana, maka pada mufakat jahat (yang hampir sama
dengan persiapan pelaksanaan) untuk kejahatan tertentu, sudah diancam pidana (para
petindak). Ketentuan seperti ini sengaja diadakan justru untuk mencegah kejahatan
tertentu tersebut pada tingkat permulaannya sekali. Dalam hal ini KUHP tiada
persoalan peniadaan pidana, kendati ada pembatalan secara sukarela. Dalam KUHPM
pada pasal 72, atas dasar kegunaan ditiadakan penuntutan kepada salah seorang
peserta yang melaporkan mufakat jahat tersebut pada saat masih dapat dicegah
kejahatan tersebut.
BAGIAN VII
PENYERTAAN
BAB XXVIII
BENTUK DAN POKOK PERSOALAN PENYERTAAN
Apakah yang dimaksudkan dengan istilah penyertaan? Jelas bahwa makna dari
istilah ini ialah bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana
atau dengan lain perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk
mewujudkan suatu tindak pidana. Ternyata dalam Bab V KUHP yang ditentukan
mengenai PENYERTAAN terbatas hanya sejauh yang tercantum dalam pasal 55
sampai dengan 60 yang pada garis besarnya berbentuk penyertaan dalam arti sempit
(pasal 55) dan pembantuan (pasal 56 dan 59). Bentuk-bentuk itu diperinci sebagai
berikut :
b. Ada yang menyuruh (dan ada yang disuruh) melakukan suatu tindak pidana;
103
c. Ada yang melakukan dan ada yang turut serta melakukan tindak pidana;
f. Ada petindak (dader) dan ada pembantu untuk melakukan suatu kejahatan.
a. Penyerta yang (turut) melakukan tindak pidana itu, tidak mengetahui bahwa
tindakannya merupakan tindak pidana, atau ia terpaksa melakukannya, dan
sebagainya (manus minitra);
Salah satu unsur tindak pidana adalah subyek. Artinya ada seseorang atau
beberapa orang melakukan suatu tindakan yang dapat dipidana. Jika subyek itu hanya
satu orang saja, maka tidak ada persoalan mengenai siapa yang
dipertanggungjawa,bkan, jika semua unsur-unsurnya terpenuhi. Tetapi bilamana
subyek itu terdiri dari dua orang atau lebih, maka timbullah persoalan mengenai apakah
setiap subyek itu harus memenuhi semua unsur-unsur dari tindak pidana tersebut,
bagaimana hubungan antara subyek-subyek tersebut dan terutama bagaimanakah
pertanggungjawaban pidana setiap subyek.
Perbedaan hubungan antara para pelaku peserta tersebut sangat penting karena
akibat hukum atau pertanggungjawaban yang dikaitkan pada para pelaku perserta
diperbedakan secara tegas tergantung pada erat tidaknya hubungan-hubungan itu.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa yang menjadi pokok persoalan dalam ajaran
penyertaan adalah untuk menentukan benuk hubungan antara peserta-peserta tersebut
104
BAB XXIX
PENYERTAAN DALAM ARTI SEMPIT
Yang dimaksud dengan penyertaan (deelneming) dalam arti sempit dalam tulisan
ini ialah semua bentuk-bentuk penyertaan yang ditentukan dalam pasal 55 KUHP. Hal
ini dimaksudkan untuk membedakan pembantuan (pasal 56) sebagai salah satu bentuk
penyertaan (deelneming) yang diatur dalam Bab V buku I KUHP. Walaupun ketentuan
pasal 55 KUHP dapat saja dikaitkan dengan pengertian penyertaan, namun satu hal
yang ditekankan dalam pasal ini adalah soal pemidanaan, dimana kepada petindak dan
setiap orang yang dipersamakan dengan petindak diperbedakan dengan pidana
kepada pembantu (pasal 56,57 KUHP). Sedangkan yang dipidana sebagai petindak
ditentukan ada 5 golongan yaitu sebagai berikut :
Dalam bahasa sehari-hari sering kita dengar bahwa yang dimaksud dengan
petindak adalah seorang yang melakukan suatu tindakan. Dalam rangka pembahasan
hukum pidana, istilah petindak selalu dikaitkan dengan unsur-unsur dari sesuatu tindak
pidana. Jadi menurut ilmu hukum pidana yang dimaksud dengan petindak adalah
barang siapa yang telah mewujudkan/memenuhi semua unsur-unsur (termasuk unsur
subyek) dari sesuatu tindak pidana sebagaimana unsur-unsur itu dirumuskan dalam
undang-undang.
Kesimpulan yang sebaiknya dapat ditarik dari uraian terebut diatas ialah bahwa
pengertian dari mereka yang melakukan dapat satu orang saja atau lebih. Dalam hal
satu orang saja, ia menjawab pertanyaan : “ siapa saja yang dapat dipidana”. Dalam
hal dua orang atau lebih, maka untuk membedakan dengan mereka yang turut serta
melakukan, sebaiknya diartikan bahwa setiap petindak itu memenuhi semua unsur-
unsur tindak pidana.
Dasar dari tidak dipidananya orang yang disuruh adalah pasal-pasal 44,48,51
ayat kedua, serta ketentuan-ketentuan menurut pengetahuan hukum pidananyang
intinya bahwa padanya tiada terdapat unsur kesalahan (mens rea) atau keslahannya
ditiadakan, kendati tindakan telah dilakukannya.
e. Pendapat bahwa yang bukan pegawai negeri dapat juga sebagai pelaku
peserta atau menyuruhlakukan, juga dikemukakan oleh J.M van BEMMELEN.
Syarat kerjasama secara sadar tersebut diatas. Lebih cenderung dapat diterapkan
kepada suatu tindak pidana sengaja. Tetapi banyak juga dipersoalkan apakah bentuk
pelaku penyertaan ini mungkin terjadi dalam suatu delik alpa.
147. Mereka yang menggerakkan untuk melakukan suatu tindakan dengan daya
upaya tertentu (uitlokking).
f. Penyesatan, untuk istilah ini ada juga menyebutkan dengan tipu daya, tetapi
untuk tidak dikaburkan dengan kejahatan penipuan dan juga menggunakan dua
kali kata-kata yang sama yaitu daya upaya tipu daya maka sebaiknya digunakan
istilah penyesatan. Adapun yang dimaksud dengan penyesatan ialah agar
supaya seseorang tergerak hatinya untuk cenderung melakukan sesuatu tindakan
sebagaimana yang dikehendaki (digerakkan) oleh penggerak.
Penggerak tidak melakukan sendiri tindak pidana yang dikehendakinya itu, tetapi
ia menggerakkan orang lain untuk melakukannya. Hubungan antara penggerak
dengan orang lain itu tidak harus selalu langsung. Tidak merupakan syarat mutlak
supaya A (penggerak) langsung menggerakkan C (sitergerak) dengan pemberian untuk
109
melakukan suatu tindak pidana. Dapat juga terjadi bahwa C turut melakukan yang
dikehendaki A itu, seangkan C sama sekali tidak pernah dikenal oleh A. Untuk jelasnya,
A menggerakkan B dan kemudian pada waktu dan tempat yang terpisah B bersama-
sama C, melakukan tindakan yang dikehendaki oleh A. Dalam hal ini A tetap
dipertanggungjawabkan sebagai penggerak dari B maupun C. Dalam hal ini C
dipandang telah turut tergerak melakukan tindakan tersebut, karena daya upaya dari A.
Salah satu hal yang tidak kurang pentingnya dalam penggerakan, adlah bahwa
hubungan klusal antara daya upaya yang digunakan dan tindak pidana yang dilakukan
harus ada. Artinya justru sitergerak itu tergerak hatinya untuk melakukan tindak pidana
adalah karena daya upaya dari penggerak. Jadi secara singkat urutannya adalah :
PENGGERAK – DAYA- UPAYA – SITERGERAK – TINDAK PIDANA.
Jelaslah bahwa tindak pidana yang dikehendaki oleh penggerak harus benar-
benar terjadi. dan terjadinya adalah karena daya upaya dari penggerak. Dalam
perkembangan hukum pidana, ternayat pengertian tindak pidana telah diperluas
dengan percobaannya. Seandainya tindakan tergerak hanya sampai pada suatu
tingkat percobaan yang dapat dihukum saja dari tindak pidana yang dikehendaki
penggerak, maka penggerak sudah dapat dipidana menurut pasal 55 (2). Kenyataan ini
adalah lebih cenderung untuk mengartikan percobaa sebagai tindak pidana khusus.
Sarjana lain (antara lain POMPE, VAN HATTUM) tidak sependapat bahwa
peserta penggerak termasuk golongan yang accessoire, melainkan termasuk yang
berdiri sendiri. Alasannya ialah bahwa penggerak menurut undang-undang dipidana
sebagai petindak seperti halnya belaku, penyuruh dan pelaku peserta. Ini berarti
bahwa pemidanaan terhadap penggerak tidak tergantung kepada tindakan yang
digerakkan.
BAB XXX
BENTUK-BENTUK YANG MIRIP PENYERTAAN
Pada umumnya bentuk-bentuk penyertaan yang tidak diatur dalam Bab V tersebut
dapat digolongkan dalam 5 bentuk yaitu sebagai berikut :
Bahwa ada seseorang didalam hal ini anggota-anggota suatu badan hukum yang
bersangkutan yang turut dipidana sebagai peserta. Melalui subyek badan hukum,
walaupun ia sama sekali tidak tahu menahu mengenai tindak pidananyang telah terjadi.
112
Sering terjadi bahwa penjahat-penjahat lebih lihai daripada penyidik, terutama jika
penjahat-penjahat mempunyai suatu organisasi yang rapi. Akibatnya ialah bahwa
banyak penjahat yang lolos dari inceran polisi, sukar ditangkap, bahkan terhadap
seseorang yang dicurigai, polisi tidak bisa berbuat apa-apa karena barang bukti tidak
ada. Kecenderungan penjahat untuk berorganisasi pada umumnya terdapat dalam
dunia spionase, perdagangan wanita atau bahan-bahan yang membiuskan, pemalsuan
uang dan kegiatan yang berlatar belakang politik. Untuk mengatasi kesulitan penyidik
dalam usaha untuk menangkap seseorang penjahat atau mencari bukti-bukti,
menggerakkan seseorang (biasanya salah seorang dari yang dicurigai) untuk
melakukan suatu tindak pidana. Sudah barang tentu tindak pidana yang digerakkan
adalah yang mirip dengan tindak pidana yang telah terjadi. bahkan lebih jauh daripada
itu ada juga terjadi seorang pegawai penyidik memasuki organisasi penjahat untuk
maksud yang sama.
BAB XXXI
PEMBANTUAN
Ke-1 mereka yang dengan sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan,
Ditinjau dari sudut pemidanaan ada dua macam penyertaan yaitu sebagai
berikut :
Mengenai tersebut a telah kita bahas. Kini tiba giliran membahas b. Jelas kiranya
bahwa jika ada pembantu tentu ada yang dibantu, yaitu yang disebut sebagai pelaku
utama atau petindak. Hubungan antara pembantu dengan petindak atau pelaku utama
adalah pembantuan. Pembantuan ditentukan bersamaan dengan terjadinya kejahatan
(pasal 56 ke-1) atau mendahului terjadinya kejahatan (pasal 56 ke-2). Menurut memori
penjelasan dikatakan : pembantuan dapat terjadi selama dan sebelum pelaksanaan
dari suatu kejahatan, yang dalam kedua hal tersebut bersifat fisik.
113
Pembantuan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pertama dilihat dari sudut waktu
pemberian bantuan dan kedua dilihat dari sudut daya upaya yang merupakan bantuan.
Pada jenis yang pertama yang menjadi ukuran adalah waktu pemberian bantuan.
Menurut pasal 56 ke-1, waktu pemberian bantuan harus berbarengan dengan
terjadinya suatu kejahatan.
a. Pembantuan aktif adalah sesuai dengan penafsiran secara tata bahasa yaitu
benar-benar terjadi suatu gerakan untuk melakukan sesuatu tindakan (bantuan).
Dilihat dari sudut ajaran bentuk pertanggungjawaban peserta mandiri dan peserta
terkait, pembantu (sebagai peserta dalam arti luas) termasuk dalam golongan
pembantu pertanggungjawaban peserta terkait. Artinya pertanggungjawaban
pembantu terkait/tergantung kepada pertanggungjawaban petindak/pelaku utama.
Apabila misalnya petindak benar-benar, melakukan kejahatan yang dikehendakinya itu,
maka tanggungjawab pembantu adalah sebagai pembantu pada petindak yang
ancaman pidananya ditentukan pada pasal 57 ayat 1,2 dan 3. Pada dasarnya
maksimum dikurangi dengan sepertiga dari maksimum yang diancamkan untuk
kejahatan tersebut. Apabila petindak hanya sampai pada percobaan saja, maka
pembantu adalah merupakan pembantu bagi petindak untuk percobaan melakukan
kejahatan. Dan apabila petindak tidak jadi melakukan kejahatan, atau baru saja pada
persiapan melaksanakan yang tidak diancam dengan pidana, atau apa yang dilakukan
oleh petindak bukanlah suatu kejahatan, bahkan apabila pelaku dibebaskan dari
tuduhan atau dilepaskan dari penuntutan, maka terhadap pembantu tiada persoalan
pemidanaan.
Dengan mengesampingkan para pengurus (pasal 59) dan pelaku dari delik pers,
maka bentuk penyertaan sebagaimana ditetkan dalam pasal 55 dan 56 adalah sebagai
berikut :
Tersebut a sampai dengand ditentukan dalam pasal 55, yang dalam uraian ini ia
beri nama penyertaan (deelneming) dalam arti sempit, dan tersebut e ditentukan dalam
pasal 56 sebagai pembantuan.
b. Bahwa ancaman pidana bagi peserta pada a sampai dengan d kecuali yang
disuruh adalah yang maksimum;
c. Bahwa bentuk penyertaan pada a,b,c dan d terutama setelah diadakan pasal
163 bis adalah bentuk penyertaan mandiri;
d. Bahwa unsur kesengajaan (untuk melakukan) tindak pidana tertentu tersebut
ada pada setiap peserta (kecuali yang disuruh);
e. Bahwa setiap peserta (kecuali yang disuruh) pada a sampai dengan d
bertanggungjawab atau dipandang telah turut melakukan semua unsur-unsur
obyektif dari tindak pidana tersebut, walaupun mungkin yang ia lakukan hanya
sebagian (medeplegen), atau sama sekali tidak turut melakukannya (penyuruh
atau penggerak).
Secara khusus dapat juga diperbedakan antara pelaku peserta dengan pembantu,
demikian juga antara penggerak dengan pembantu terutama mengenai daya upaya
yang dirumuskan sama.
Selain daripada itu oleh IPHP dikemukakan ada tiga aliran untuk memperbedakan
benteuk penyertaan pelau peserta dengan pembantuan yaitu sebagai berikut :
BAB XXXII
MASALAH DAN PENGURUS
BAB XXXIII
TINDAK PIDANA PERS
Apabila terjadi suatu delik pers, mudah dibayangkan keterlibatan beberapa orang,
yaitu penulis, pencetak dan penerbitanya. Tentang sepanjang tiga pekerjaan itu tidak
dilakukan sendiri oleh hanya satu orang saja. Berarti tidak ada persoalan penyertaan.
Karena ada urut-urutan pekerjaan tersebut yang dilakukan penulis, pencetak dan
penerbit, secara gampangnya dapat dikatakan telah terjadi penyertaan/kerjasama
diantara mereka. Tetapi sebenarnya apabila diperhatikan peranan masing-masing akan
nampak perbedaannya dalam rangka terjadinya delik pers tersebut. Pencetak tidak
tahu menahu tentang isi yang sebenarnya dari tulisan/cetakan tersebut dan juga ia
tidak ikut berperan untuk mengumumkannya. Jika dicocokkan dengan syarat-syrat
delik pers, ia hanya memenuhi syarat d, syarat pencetakannya. Penerbit hanya
mengumumkannya saja. Ia tidak tahu menahu tentang isi dari barang cetakan itu. Jadi
tidak dipenuhi semua syarat-syarat tersebut apabila ia menyuruh orang lain mencetak
dan menerbitkannya. Lain halnya jika pencetak mengerti benar isi dari dicetaknya
(sebagai penghinaan misalnya) dan padanya juga ada kehendak supaya cetakan itu
diterbitkan/diumumkan yang ditujukan kepada umum. Demikian juga jika penerbit
118
mengerti benar isi dari barang cetakan tersebut (sebagai suatu penghinaan misalnya)
dan juga berkehendak untuk mengumumkannya/menerbitkannya berbarengan dengan
kehendak petindak/penulis. Maka dalam dua hal ini benar-benar telah terjadi
penyertaan diantara mereka.
f. Pasal 321 : menyiarkan ...... tulisan yang isinya menghina orang yang sudah
mati.
BAGIAN VIII
PERBARENGAN (SAMENLOOP/CUNCURSUS)
BAB XXXIV
PEMBANTUAN
a. Pengertian umum.
Sedangkan dalam hal tersebut 1), 2) dan 3) belum ada salah satu dari tindak
pidana itu yang sudah pernah diadili.
2) Bahwa dua/lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau
dua orang/lebih dalam rangka penyertaan);
174. Perbarengan tindakan tunggal (PTT) pasal 63. (dalam praktek apakah hakim
mengikutinya yang terpenting untuk keadilan).
Ketentuan dalam pasal 63 ayat 2 sesuai dengan asas lex specialis derogat
lex generali, yang artinya ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum.
Berfikir atas dasar asas ini, sebenarnya tidak ada persoalan perbarengan lagi,
karena sudah ditentukan hanya satu ketentuan pidana yang diterapkan yaitu yang
khusus.
Yang dimaksud dengan ketentuan pidana khusus adalah, jika pada tindak
pidana khusus itu termuat atau tercakup semua unsur-unsur yang ada pada
tindak pidana umum, akan tetapi padanya masih ada unsur lainnya atau suatu
kekhususan.
Manfaat dari perbedaan tersebut akan lebih terasa jika dihubungkan dengan
bangunan hukum pidana lainnya seperti tersebut diatas, untuk jelasnya adalah
sebagai berikut :
176. Perbarengan tindakan jamak (PTJ) tindak pidana yang berdiri sendiri dan
akan diadili sekaligus tidak ada perwujudan kehendak jahat.
a. Perumusan dalam KUHP diatur dalam pasal 65, 65, 70dan 70 bis.
b. Aneka ragam perbarengan tindakan jamak.
c. Delik tertinggal.
Delik tertinggal ialah suatu delik yang seharusnya merupakan bagian atau
salah satu delik dari delik berbarengan akan tetapi karena sesuatu delik ini
ditinggalkan atau tertinggal tidak ikut sekaligus diperiksa dalam persidangan
pengadilan. Tertinggalnya delik ini mungkin karena belum diketahui pada
penyidikan delik lainnya ataupun mungkin juga karena belum lengkap alat-alat
pembuktiaannya. Masalah delik tertinggal ini sangat penting, karena ketentuan
stelsel pemidanaannya sama dengan delik berbarengan yang disidangkan
sekaligus.
Dalam KUHP yang berlaku dewasa ini jelas diatur mengenai perbarengan dalam
satu Bab tersendiri (Bab VI, buku ke I). Didalam undang-undang hukum pidanna
beberapa negara asing, bangunan perbarengan tidak diatur secara tersendiri,
melainkan dimasukkan merupakan bagian dari pemberatan ancaman pidana.
BAB XXXV
STELSEL PEMIDANAAN
a. Stelsel pidana minimum secara umum, yaitu ditentukan secara umum pidana
terendah yang berlaku untuk setiap tindak pidana. Yang dianut dalam KUHP ialah
sebagai berikut :
Dua stelsel pokok pemidanaan untuk perbarengan adalah stelsel komulasi murni
dan stelsel absorsi murni, sedangkan stelsel antara adalah stelsel komulasi terbatas
dan stelsel absorsi dipertajam.
Menurut stelsel ini, hanya maksimum ancaman pidana yang terberat yang
dikenakan dengan pengertian bahwa maksimum pidana lainnya (sejenis atau
tidak sejenis) diserap oleh yang lebih tinggi. Penggunaan stelsel ini sukar
dielakkan apabila salah satu tindak pidana diantaranya diancam dengan pidana
yang tertinggi, misalnya pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara sementara maksimum 20 tahun. Akan tetapi dalam hal terjadi
perbarengan tindakan jamak, dimana yang satu diancam dengan pidana penjara
maksimum 9 tahun dan yang lainnya maksimum 4 tahun, dengan penggunaan
stelsel ini seakan-akan tindak pidana lainnya itu dibiarkan tanpa penyelesaian
secara hukum pidana. Karena para sarjana pada umumnya lebih cenderung
untuk “mempertajam” atau “menambahnya” seperti tersebut d berikut.
Stelsel ini dapat dikatakan sebagai bentuk antara atau bentuk tengah dari
tersebut a dan b. Artinya untuk setiap tindak pidana dikenakan masing-masing
ancaman pidana yang ditentukan pidananya akan tetapi dibatasi dengan suatu
penambahan lamanya/jumlahnya yang ditentukan berbilang pecahan dari yang
tertinggi.
125
Stelsel ini merupakan varian dari stelsel komulasi terbatas. Menurut stelsel
ini tindak pidana yang lebih ringan ancaman pidananya tidak dipidana, akan tetapi
dipandang sebagai keadaan yang memebratkan bagi tindak pidana yang lebih
berat ancaman pidananya. Penentuan maskimum pidana menurut stelsel ini
hampir sama dengan tersebut c (stelsel komulasi terbatas), yaitu pidana yang
diancamkan terberat ditambah sepertiga.
Dalam hal seseorang yang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, kepadanya hanya boleh diajtuhkan pidana tambahan sebagai berikut :
BAB XXXVI
RESIDIV ATAU PENGULANGAN
Yang dimaksud dengan pengulangan atau residiv secara umum ialah apabila
seorang melakukan suatu tindak pidana dan untuk itu dijatuhkan pidana padanya, akan
tetapi dalam jangka waktu tertentu :
Dari pembatasan tersebut diatas, dapat ditarik syarat-syarat yang harus dipenuhi
yaitu sebagai berikut :
a. Pelakunya sama,
b. Terulangnya tindak pidana, yang untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi
pidana yang sudah BHT.
c. Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu.
Apabila seseorang melakukan dua/lebih tindak pidana (yang untuk contoh berikut
dipermisalkan pencurian) dilihat dari sudut maksimum ancaman pidana, pada
umumnya ada tiga kemungkinan yaitu :
a. Dalam rangka perbarengan, (vide pasal 65, dan 66) ancaman pidananya
adalah maksimum 5 tahun + sepertiga x 5 tahun;
b. Dalam rangka pengulangan, ancaman pidananya menjadi maksimum 5
tahun dan kemudian 5 tahun + sepertiga x 5 tahun;
c. Dalam rangka bukan perbarengan atau pengulangan (umumnya setelah
lewat 5 tahun) ancaman pidananya adalah 2x5 tahun.
BAGIAN IX
PENGADUAN
BAB XXXVII
TINDAK PIDANA ADUAN
Dilihat dari sudut acara penuntutannya, delik aduan diperbedakan dari delik yang
dapat dituntut karena jabatan. Penuntutan suatu delik aduan hanya diterima apabila
telah masuk pengaduan dari penderita atau dari seseorang yang berhak mengadu.
Penyimpangan penuntutan terhadap delik aduan adlah karena kepentingan pribadi (2)
dari yang dirugikan/penderita yang berhak mengadu dipandang perlu untuk diutamakan
perlindungannya. Dengan perkataan lain yang dijadikan alasan untuk menjadikan
suatu delik aduan ialah bahwa dalam hal-hal tertentu, kepentingan seseorang yang
berhak mengadu akan lebih dirugikan apabila perkara itu disidangkan, dibandingkan
dengan kerugian kepentingan umum, apabila perkara itu tidak dituntut karena jabatan.
Misalnya A dihina B. A mungkin akan merasa lebih dirugikan lagi apabila perkara itu
dituntut, karena akan berarti pembeberan materi penghinaan itu kepada umum.
Demikian juga misalnya seorang suami yang masih mencintai istrinya kendati telah
melakukan perjinahan. Sang suami itu tentunya akan lebih malu lagi apabila
perjinahan istrinya itu dipaparkan dalam suatu pengadilan.
128
Delik aduan tidak secara tersendiri dianut dalam suatu Bab KUHP atau
perundang-undangan hukum pidana lainnya, seperti misalnya kejahatan terhadap
ketertiban umum, kejahatan jabatan, kejahatan pelayaran, selain daripada itu delik
aduan, hanya ada pada kejahatan. Tidak ada yang berupa pelanggaran. Biasanya
diperbedakan antara delik aduan yang sebenarnya dan delik aduan nisbi. Jenis delik
aduan sebagai berikut :
a. Delik aduan yang sebenarnya adalah delik-delik yang ditentukan baru dapat
dituntut apabila ada pengaduan. Berupa sebagai berikut :
1) Penghinaan (pasal 319, 310 s.d 318 minus pasal 316 dan pasal 320,
321;
2) Perjinahan pasal 284 (2);
3) Delik kesusilaan pasal 293 (2), pasal 287;
4) Delik pembukaan rahasia pasal 322 (2), 323 (2);
5) Kawin lari pasal 323 (2);
6) Pengancaman pasal 369 (2);
7) Delik penerbitan/percetakan tertentu pasal 485;
8) Dan beberapa delik dalam perundang-undangan lainnya (antara lain
undang-undang Hak cipta no. 6 tahun 1982 dan sebagainya)
b. Delik aduan nisbi secara normaliter adalah delik yang dapat dituntut karena
jabatan, akan tetapi apabila delik-delik tertentu itu terjadi dalam hubungan suami
istri “ yang dalam penjajagan perceraian “ atau sudah bercerai, atau dalam
hubungan keluarga dekat (sedarah atau semenda dalam garis lurus atau dalam
garis menyimpang sampai dua derajat) ia merupakan delik aduan. Delik aduan
nisbi pada umumnya berupa kejahatan terhadap benda yang terjadi dalam
keluarga antara lain sebagai berikut :
BAB XXXVIII
HAK MENGADU DAN MENARIK PENGADUAN
Dalam Bab VII Buku I KUHP, tidak disebutkan siapa-siapa yang mempunyai hak
orijiner untuk mengadukan seseorang yang telah melakukan suatu delik aduan. Yang
ditentukan dalam pasal 72 hanyalah siapa-siapa yang berhak maju sebagai pengadu,
atau yang berhak “menggatikan” pengadu yang orijiner. Dalam hal seseorang yang
terkena delik aduan belum 16 tahun dan belum cukup umur, atau seseorang yang
dibawah pengampuan bukan karena keborosan, yang berhak maju sebagai pengadu
adalah wakilnya yang sah dalam perkara perdata. Hal ini berarti, bahwa apabila yang
mengajukan pengaduan itu bukan wakil yang sah tersebut, maka pengaduan itu tidak
sah. Dan karenanya pelaku delik tersebut tidak dapat dituntut karena syarat
keabsahan pengaduan tidak dipenuhi. Dan harus diperhatikan juga pasal 73 KUHP.
129
Awal penghitungan tenggang waktu itu adalah sejak yang berhak mengadu
mengetahui adanya delik tersebut. Jadi tidak dimuali sejak delik itu terjadi, tidak juga
sejak tindakan itu dapat dijatuhkan pidana sebagaimana dimaksud pada pasal 332 ayat
3, dan tidak pula sejak diketahuinya bahwa pelakunya ternyata masih ada hubungan
keluarga sebagaimana dimaksud dalam pasal 367 dan pasal-pasal lainnya yang
menunjuk pada pasal 367.
Pejabat yang berwenang menerima pengaduan adalah seperti yang diatur dalam
pasal 5, 7 dan 10 KUHAP. Yaitu penyelidik dan penyidik POLRI mempunyai
kewenangan menerima pengaduan dari tindak pidana aduan.
BAB XXXIX
KEMUNGKINAN PEMISAHAN SUBYEK/PELAKU DELIK ADUAN
Dalam delik aduan yang sebenarnya para sarjana berbendapat bahwa tidak
dimungkinkan untuk memisahkan penuntutan bagi para pelaku peserta, karena
penuntutan delik aduan yang sebenarnya adalah benar-benar digantungkan kepada
penderitanya (yang berhak mengadu) agar ia dapat menimbang-nimbang
untung/ruginya apabila perkara itu dipaparkan dalam persidangan. Kalau salah
seorang harus disidangkan, bukanlah telah terpaparkan perkara tersebut? Pada hal
justru “pemaparan/pembeberan” itu, merupakan alasan utama untuk mengadakan delik
aduan, agar kepentingan penderita tidak terlalu dirugikan.
Dan apabila dilihat dari delik aduan nisbi yang terjadi keanyakan sarjana
berpendapat bahwa pemisahan penuntutan peserta dimungkinkan apabila pihak yang
berhak mengadu menghendaki demikian itu, sebenarnya delik aduan nisbi sebenarnya
adalah delik aduan yang dapat dituntut karena jabatan. Ia hanya menjadi delik aduan
apabila ada hubuungan keluarga.
Kasus yang pernah terjadi sehubungan dengan pemisahan ini adalah sebagai
berikut : suatu perjinahan terjadi di daerah hukum pengadilan negeri (landraad)
Padang, dimana yang diadukan hanyalah salah seorang yang melakukan perjinahan.
Timbul persoalan apakah pengaduan itu sah menurut undang-undang atau tidak.
Hakim memutuskan bahwa pengaduan tersebut tidak sah dan perkara itu dinyatakan
tidak dapat diterima. Penuntut umum berwenang menggunakan hak opportunitasnya
untuk menuntut seseorang, sementara membiarkan yang lain karena sesuatu
pertimbangan.
131
BAGIAN X
HAPUSNYA HAK PENUNTUTAN, HAPUSNYA PELAKSANAAN PIDANA
BAB XLI
HAPUSNYA HAK PENUNTUTAN PADA UMUMNYA
194. Oleh undang-undang ditentukan bahwa hak penuntutan hanya ada pada penuntut
umum yaitu Jaksa yang diberi wewenang oleh pasal 13 dan 14 UU No. 8 Tahun 1981
tentang KUHAP, dilingkungan peradilan umum dan oditur militer UU 32 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer.
a. Pengertian penuntutan.
Pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana
harus dituntut dimuka sidang pengadilan pidana. Akan tetapi baik secara umum
ataupun secara khusus undang-undang menetukan peniadaan dan/atau
penghapusan penuntutan dalam hal-hal tertentu. Peniadaan penuntutan atau
penghapusan hak menuntut yang diatur secara umum dalam Bab VIII buku I
adalah jika :
Ne bis in idem atau juga disebut Non bi in idem berarti tidak melakukan
pemeriksaan untuk kedua kalinya mengenai tindakan yang sama. Ketentuan ini
didasarkan pada pertimbangan, bahwa pada suatu saat nantinya harus ada akhir dari
pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari berlakunya ketentuan pidana terhadap suatu
delik tertentu. Asas ini merupakan pegangan agar tidak lagi mengadaka
pemeriksaan/penuntutan terhadap pelaku yang sama dari suatu tindak pidana yang
sudah mendapat putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Penghapusan hak penuntutan bagi penuntut umum yang diatur dalam pasal 82
KUHP mirip dengan ketentuan hukum perdata mengenai transaksi atau perjanjian.
Disatu pihak penyidik atau penuntut umum dan pihak lainnya tersangka merupakan
pihak-pihak yang sederajat terhadap hukum. Dalam perjanjian ini penuntut umum wajib
menghentikan usaha penuntutannya dan sebagai imbalannya tersangka wajib
membayar maksimum denda yang satu-satunya diancamkan, ditambah dengan biaya
penuntutan apabila apabila usaha penuntutan sudah dimulai. Pembayaran harus
dilakukan kepada penuntut umum dalam waktu yang ditetapkan oleh penuntut umum
tersebut.
Mengenai ketentuan ini terdapat perbedaan pendapat antara para sarjana. Dan
para sarjana yang tidak setuju dengan ketetuan ini mengatakan antara lain sebagai
berikut :
a. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan sifat hukum publik yang harus
dimiliki oleh hukum pidana;
b. Seolah-olah satu pelanggaran dapat “dibeli” dengan uang. Yang dengan
demikian menguntugkan bagi mereka yang beruang. Berarti seolah-olah ada
diskirminasi antara yang kaya dan yang miskin terhadap hukum;
c. Tujuan dari preventif dan arti dari pidana ditiadakan;
d. Penyelesaian pelanggaran itu tidak dilakukan dimuka umum;
e. Ganjaran tersangka tersebut tidak seimbang, apabila diingat bahwa hakim
jarang sekali menjatuhkan pidana maksimum.
Beberapa penghapusan hak penuntutan yang tidak diatur dalam KUHP adalah
Abolisi, Amnesti dan turun tangan Presiden berdasarkan undang-undang.
kepentingan negara. Ada tiga kemungkinan cara pemberian abolisi oleh Presiden
sebagai berikut :
BAB XLII
DALUWARSANYA HAK PENUNTUTAN
Bagi pelaku-pelaku tindak pidana yang pada saat melakukan tindak pidana
tersebut belum berumur 18 tahun, tenggang waktu itu dikurangi dengan sepertiganya
(menjadi hanya dua pertiga).
Apabila telah ada tidakan penuntutan yang diketahui oleh tersangka atau
diberitahukan kepadanya sesuai dengan cara-cara yang ditentukan dalam perundang-
undangan, akan tetapi selama jangka waktu yang ditentukan, perkara tersebut tidak
diajukan untuk diperiksa oleh pengadilan, maka setelah tenggang waktu itu hak
penuntutan juga ditentukan hapus. Yang dimaksud dengan tindakan penuntutan
adalah tindakan-tindakan yang ditentukan oleh penuntut umum yang berwenang
melakukan penuntutan (Pasal 14 KUHAP).
BAB XLIII
HAPUSNYA PELAKSANAAN PIDANA
d. Grasi.
Apabila terpidana dalam rangka menunggu putusan banding (atau Kasasi jika
diteruskan) tetap ditahan, berarti ia belum melaksanakan pidana, maka perhitungan
daluwarsa ditunda sampai putusan banding (atau kasasi jika diteruskan) dapat
dilaksanakan. Penundaan ini merupakan salah satu bentuk dari penundaan yang
ditentukan dalam perundang-undangan. Penundaan lainnya adalah sebagai berikut :
d. Apabila terpidana masih ditahan baik dalam rangka perkara itu sendiri,
ataupun karena penahanan untuk perkara lainnya yang telah diputus.
206. Grasi dan Amnesti (Undang-undang Nomor 22 Tahun 2000 tentang Grasi).
BAGIAN XI
PIDANA
BAB XLIV
STELSEL PEMIDANAAN
Pada dasarnya kepada seseorang pelaku suatu tindak pidana harus dikenakan
suatu akibat hukum. Akibat hukum itu pada umumnya berupa hukuman pidana. Akan
tetapi adakalanya dikenakan suatu hukuman yang sebenarnya tidak merugikan pidana,
melainkan suatu tindakan tertentu atau suatu kewajiban yang mirip dengan hukuman
perdata. Bahkan dalam hal tertentu tidak dikenakan suatu hukuman.
Suatu tindakan tertentu atau yang mirip dengan hukuman perdata lainnya ialah
sebagai berikut :
c. Perintah hakim untuk memasukkan seseorang yang sakit kerumah sakit atau
cacad jiwanya ke rumah sakit jiwa;
d. Perintah hakim untuk pengobatan paksa;
e. Perintah hakim untuk pendidikan paksa (anak dibawah umur).
Didalam KUHP, pidana-pidana yang ditentukan ada dua jenis yaitu pidana pokok
yang terdiri dari : pidana mati, pidana penjara, pidana tutupan, pidana kurungan, pidana
denda. Serta pidana tambahan terdiri dari : pencabutan hak-hak tertentu, perampasan
barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim.
a. Pencabutan SIM.
b. Penurunan pangkat (pasal 6 KUHPM).
c. Perampasan barang-barang atau harga lawan barang.
d. Pembayaran uang pengganti.
e. Peutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan terpidana.
f. Penghapusan seluruh atau sebagaian keuntungan tertentu.
g. Pengusiran keluar wilayah Indonesia.
Yang tidak merupakan hukuman pidana akan tetapi diatur dalam KUHP adalah
sebagai berikut :
Sedangkan yang diatur diluar KUHP antara lain adalah sebagai berikut :
a. Tindakan tatatertib
b. Penyelesaian secara hukum disiplin suatu tindak pidana tertentu (pasal 2
KUHPM).
c. Penyelesaian suatu pemasukan/pengeluaran barang secara administratif.
d. Tindakan pengamanan yang dilakukan oleh Polisi terhadap penjahat-
penjahat residiv dalam suatu keadaan tertentu.
Menurut sistem KUHP penjatuhan pidana pokok hanya boleh 1 macam saja
dalam hal hanya satu tindak pidana saja yang dilakukan, yaitu salah satu pidana pokok
yang diancamkan secara alternatif pada pasal tindak pidana yang bersangkutan. Tidak
dibenarkan untuk menjatuhkan pidana pokok, yang tidak diancamkan dalam pasal
tindak pidana yang bersangkutan.
Untuk pidana pokok tersebut masih dapat ditambahkan satu atau lebih pidana
tambahan seperti yang termaksud dalam pasal 10 huruf b KUHP. Dikatakan dapat
139
b. Dapat menjatuhkan pidana pokok tunggal atau ganda dan pidana tambahan
tunggal atau ganda disertai lagi dengan tindakan tata tertib.
a. Diancamkan secara alternatif pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara selama waktu tertentu/terbatas 20 tahun;
140
Dan minimum pidana penjara terbatas tersebut adalah satu hari hal ini diatur
dalam pasal 12 KUHP.
Pidana penjara seumur hidup tidak mengenal maksimum dan minimum. Jadi
apabila diancamkan pidana satu-satunya penjara seumur hidup, maka pidana tersebut
tidak mungkin dikurangi dalam putusan hakim. Kalaupun ada pengurangannya hanya
mungkin setelah putusan mempunyai kekuatan yang tetap, yaitu melalui
grasi/pengampunan atau pengurangan/remisi. Dan maksimum pidana kurungan
adalah satu tahun, yang hanya boleh dilewati menjadi satu tahun empat bulan
sedangkan minimumnya adalah 1 hari.
Manfaat dari penjenisan pidana, dengan sistem KUHP ini paling pertama dapat
disimpulkan sebagai keluwesan bagi pembuat undang-undang untuk mengancamkan
jenis pidana yang telah ditentukan itu kepada suatu pidana tertentu baik secara tunggal
ataupun secara alternatif, sesuai dengan berat ringan tindak pidana yang dirumuskan
dalam pasal yang bersangkutan. Manfaat kedua ialah dalam hal pidana itu
diancamkan secara alternatif, keluwesan bagi hakim untuk memilih dan menjatuhkan
pidana yang lebih sepadan dan tepat, disamping kewenangannya bergerak antara
maksimum dan minimum pidana yang telah ditentukan.
`sebelum abad ke XIII dinegara Barat dikenal beberapa pidana seperti : cap-
bakar yaitu mencap tubuh penjahat dengan cap besi yang sedang membara,
pencambukan dengan rotan yang jumlahnya tergantung kepada berat/ringanya
kejahatan yang dilakukan, pembuangan kesuatu tempat pulau atau benua terpencil,
pengusiran penjahat yang walaupun warga negara sendiri keluar negara bersangkutan
dan lain sebagainya. Kemudian karena pengaruh agama yang semakin berkembang
telah banyak merubah perasaan hukum masyarakat, sehingga pidana-pidana tersebut
dipandang sebagai sangat kejam dan tidak berprikemanusian.
Dalam rangka ini, majalah hukum pidana seperti yang dikeluarkan oleh
PERSAHI, (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) “Law Report” seperti yang pernah
dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman, diskusi-diskusi hukum seperti yang
diprakarsai oleh BPHN sangat banyak membantu untuk mewujudkan keadilan yang
merata.
BAB XLV
PIDANA POKOK
Beberapa alasan dari mereka yang menentang hukuman pidana mati antara lain
adalah sebagai berikut :
a. Sekali pidana mati dijatuhkan dan dilaksanakan, maka tiada jalan lagi untuk
memperbaiki kesalahan hakim jika keliru menjatuhkan putusannya. Pada hal
hakim selaku manusia biasa tidak luput dari kesalahan;
d. Apabila pidana mati itu dipandang perlu sebagai usaha untuk menakut-
nakuti calon penjahat, maka pandangan itu adalah keliru karena pidana mati
biasanya dilaksanakan tidak dimuka umum;
f. Pada umumnya Kepala Negara lebih cnderung untuk mengubah pidana mati
dengan pidana penjara terbatas atau seumur hidup.
a. Ditinjau dari sudut juridis, dikatakan bahwa dengan peniadaan pidana mati,
maka hilanglah suatu alat yang penting untuk penerapan yang baik dari hukum
pidana;
142
Sistem yang kedua ialah disebut sebagai AURURN SYSTEM karena pertama
kalinya digunakan di AUBURN. Disebut juga sebagai SILENT SYSTEM, karena
pelaksanaannya. Pada waktu malam hari terpidana dimasukkan sel-sel secara sendiri-
sendiri, pada siang hari diwajibkan bekerja bersama-sama dengan narapidana penjara
lainnya, akan tetapi dilarang berbicara antara sesama narapidana atau kepada orang
lain.
Sistem ketiga yang disebut sebagai ENGLISH SYSTEM atau IRE SYSTEM atau
PROGRESSIVE SYSTEM. Cara pelaksanaan pidana penjara menurut sistem ini
adalah bertahap. Pada tahap pertama selama kurang lebih 3 bulan, terpidana
menjalaninya seperti cellulaire system. Jika telah tiga bulan tersebut terbukti ada
kemajuan kesadaran terpidana, maka diikuti dengan tahap pelaksanaan yang ringan
yaitu ia sudah dibolehkan menerima tamu, berbincang-bincang dengan sesama
narapidana,
Pidana kurungan adalah juga merupakan salah satu bentuk pidana perampasan
kemerdekaan, akan tetapi dalam berbagai hal ditentukan lebih ringan daripada yang
ditentukan kepada pidana penjara, ketentuan tersebut ialah sebagai berikut :
Pidana kurungan pengganti adalah pengganti dari pidana denda yang tidak
dibayar oleh terpidana. Dapat juga dijatuhkan pidana kurungan pengganti, apabila
terpidana tidak membayar harga taksiran (yang ditentukan) dari barang rampasan yang
tidak diserahkan oleh terpidana. Dalam hal ini sebelum pemidanaan, barang-barang
tersebut belum disita, atau dengan perkataan lain masih dalam penguasaan tersangka.
Bahkan juga dapat dijatuhkan apabila biaya pengumuman putusan hakim yang
dibebankan kepada terpidana tidak dibayar oleh terpidana.
Pidana bersyarat adalah merupakan perintah dari hakim, bahwa pidana yang
diputuskan/dijatuhkan tidak akan dijalani oleh terpidana, kecuali kemudian hakim
memerintahkan supaya dijalani karena terpidana :
Pada pasa 15 baru setelah dirubah dengan Stb 1926- 251 jo 486, ditentukan lebih
menguntungkan terpidana. Dalam pasal 15 ditentukan bahwa pelepasan bersyarat
dapat diberikan apabila terpidana telah menjalani 2/3 dari pidananya yang juga harus
berarti sekurang-kurangnya 9 bulan. Pelepasan bersyarat dapat diberikan kepada
seseorang yang dijatuhi pidana penjara minimal 9 bulan dan 1 hari. Jika hal ini terjadi
sebenarnya terpidana telah dirugikan, karena ia hanya mendapat hadiah 1 hari akan
tetapi selama 1 hari + 1 tahun (masa percobaan) ia akan tersiksa oleh syarat-syarat
yang harus ditaatinya. Karenanya apabila hendak memberikan pelepasan bersyarat
harus diperhatikan sisa pidananya yang dibebaskan bersyarat dibandingkan dengan
lamanya masa percobaan yang akan menghantuinya.
Melihat sistem pengancaman pidana tutupan ini, jelas tidak dianut oleh KUHP.
Sistem seperti ini dapat ditemukan dalam KUHPM yaitu kebolehan hakim militer
menjatuhkan pidana kurungan walaupun pidana penjara yang diancamkan atau
sebaliknya, akan tetapi dalam hal-hal tertentu saja.
Jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda yang dijatuhkan kepadanya,
maka dapat diganti dengan pidana kurungan. Pidana ini kemudian disebut sebagai
pidana kurungan pengganti. Maksimum pidana kurungan pengganti adalah 6 bulan;
dan boleh menjadi 8 bulan dalam hal terjadi perbarengan, pengulangan atau
penerapan pasal 52 atau 52 a KUHP.
BAB XLVI
PIDANA TAMBAHAN
221. Umum.
Telah diutarakan pada sistem pemidanaan, bahwa pidana tambahan tidak boleh
dijatuhkan berdiri sendiri, tanpa pidana pokok. Namanya sendiri sebenarnya sudah
berbicara sedemikian itu, yaitu bahwa ia hanyalah merupakan tambahan kepada
sesuatu yang dalam hal ini yang pokok.
Namun baik dalam KUHP maupun di luar KUHP diatur adanya pengecualian.
Dalam KUHP pengecualian tersebut diatur dalam :
b. Pasal 40, dimana terdakwa karena belum cukup umur diperintahkan oleh
hakim dikembalikan kepada orang tuanya tanpa pidana akan tetapi perampasan
barang-barang yang terlibat dalam perkaranya yang berupa import/eksport/transit
barang-barang yang melanggar peraturan pemasukan uang untuk negara dapat
dilakukan.
Dari judul ini mudah dimengerti bahwa tidak dimungkinkan untuk mencabut
semua hak-hak terdakwa. Dahulu memang pernah dikenal diancamkan sebagai
pidana tambahan, bagi pelaku dari kejahatan sangat berat, apa yang disebutkan
sebagai “kematian perdata”. Akan tetapi dewasa ini pidana “kematian perdata “sudah
tidak dikenal lagi.
BAB XLVII
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MENGENAI PIDANA
Ada suatu aliran yang menghendaki agar pada saat penjatuhan pidana, cukup
menentukan jenis dan macam pidananya saja. Dalam hal pidana poko berupa
perampasan kemerdekaan atau pidana tambahan pencabutan suatu hak tertentu yang
dijatuhkan, maka lamanya pidana harus dilaksanakan, baru ditentukan kemudian dalam
suatu jangka waktu penilaian tertentu. Jangka waktu ini dibutuhkan untuk mengadakan
penilaian yang lebih mantap mengenai lamanya pidana harus dilaksnakan. Penilaian
tersebut tidak hanya didasarkan kepada tindak pidana yang dilakukan terpidana atau
kesalahan terpidana, melainkan juga tingkah laku terpidana selama jangka waktu
tertentu penilaian tersebut.
a. Pidana Pokok :
1. Pidana mati,
2. Pidana pemasyarakatan yang terdiri dari :
a) Pidana pengawasan,
b) Pidana latihan kerja,
c) Pidana kerja bakti.
a) Pidana denda,
b) Pidana tegoran.
149
a) Pembubaran perserikatan,
b) Penutupan usahanya sebagian atau seluruhnya,
c) Penempatan usahanya dibawah pengawasan pemerintah untuk
yang ditentukan oleh hakim.
d) Pembayaran uang jaminan yang jumlahnya ditentukan oleh hakim.
e) Penyitaan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana,
f) Perbaikan akibat-akibat dari tindak pidana.
b. Pidana Tambahan :
Sebagai inti dari maksud yang terkandung dalam jenis-jenis pemidanaan tersebut
ialah agar seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana dapat kembali ke
masyarakat umum dengan baik, disamping melindungi kepentingan masyarakat umum.
Karenanya sudah tepat kiranya apabila diberi nama sebagai system pemasyarakatan.
Akan tetapi jika ditinjau kepentingan-kepentingan yang dilindungi baik pelaku, maupun
obyeknya, kiranya dapat juga disebut sebagai sistem Nusantara.
BAGIAN XII
BEBERAPA PENGERTIAN DAN KETENTUAN PENUTUP
BAB XLVIII
PENGERTIAN-PENGERTIAN OTENTIK DALAM KUHP
Mengenai tafsir otentik yang ditentukan dalam Bab IX Buku I KUHP yang pada
dasarnya dapat dibagi dua ditinjau dari sudut peristilahan yaitu:
a. Menegaskan atau membatasi pengertian dari suatu istilah (pasal 87, 88, 88
bis, 90, 92 bis, 95, 97, 98, 101, dan 101 bis ayat ke 1 KUHP);
150
Dalam hal penerapan pengertian dari sesuatu istilah perlu diingatkan kembali
untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
a. Jika suatu istilah sudah jelas pengertiannya, maka pengertian tersebut yang
harus digunakan, bukan maksud dari istilah tersebut;
c. Jika ternyata ada beberapa penafsiran yang digunakan, diantara mana salah
satu memberi pengertian dari istilah tersebut, maka yang memberikan arti tersebut
digunakan, bukan yang memberikan maksud;
Bahwa untuk suatu istilah diberikan suatu pengertian, pada umumnya digunakan
kata sandang (penghubung) yang diartikan atau yang dimaksud atau berarti, untuk
suatu pembahasan pengertian digunakan kata penghubung “ada”.
a. Pasal 87. Makar untuk melakukan suatu tindakan dikatakan ada jika niat
pelaku telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti yang
dimaksudkan dalam pasal 53 KUHP.
b. Pasal 88. Permufakatan jahat dikatakan ada, jika dua orang atau lebih telah
sepakat akan melakukan suatu kejahatan.
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
Pasal 90 ini tidak memberikan suatu batasan mengenai apa yang dimaksud
dengan luka berat, yang ditentukan ialah keadaan-keadaan tertentu yang dapat
diartikan sebagai luka berat.
f. Pasal 95. Yang disebut kapal Indonesia adalah perahu yang mempunyai
surat laut ataupun kapal. Atau surat izin sebagai pengganti sementara menurut
ketentuan-ketentuan surat laut dan pas kapal di Indonesia.
g. Pasal 97. Yang diartikan dengan hari ialah waktu selama dua puluh empat
jam, dengan bulan ialah waktu selama tiga puluh hari.
h. Pasal 98. Yang diartikan dengan malam ialah waktu antara matahari
terbenam sampai matahari terbit.
i. Pasal 101. Yang diartikan dengan ternak ialah binatang yang berkuku satu,
pemamah biak dan babi
j. Pasal 101 bis ayat 1 yang diartikan dengan bangunan-bangunan listrik ialah
bangunan-bangunan yang gunanya untuk membangkitkan, menyalurkan,
mengubah atau mengalirkan tenaga listrik; dan sehubungan dengan itu semua
bangunan-bangunan penyelamatan, penegak, pelengkap dan alarm.
b. Pasal 91 yaitu :
c. Pasal 92 yaitu :
(1) Yang juga tercakup dalam pengertian pejabat adalah orang-orang yang
dipilih dalam pemilihan yang berdasarkan peraturan umum, demikian juga
orang-orang yang bukan karena pemilihan menjadi anggota badan pembuat
undang-undang, badan pemerintahan atau badan perwakilan rakyat yang
ditetapkan oleh atau atas nama pemerintah, dan selanjutnya semua anggota
dewan perairan dan semua kepala (golongan) Timur asing yang menjadi
kekuasaan yang sah.
(2) Untuk sebutan pejabat dan sebutan hakim yang tercakup juga hakim
wasit; untuk sebutan hakim tercakup juga mereka yang menjalankan
peradilan administrasi, demikian juga ketua-ketua dan anggota-anggota
peradilan agama.
(3) Semua orang yang termasuk Angkatan Bersenjata, juga tercakup
dalam pengertian pejabat.
d. Pasal 96 yaitu :
e. Pasal 99. Yang juga tercakup dalam pengertian memanjat adalah masuk
melalui lobang dalam tanah yang sudah ada, tetapi bukan untuk masuk atau
melalui lobang tanah yang sengaja digali, demikian juga menyeberangi parit atau
galian yang digunakan sebagai penghalang masuk.
f. Pasal 100. Tercakup juga dalam pengertian anak kunci palsu ialah semua
alat yang digunakan untuk pembuka kunci itu.
153
Jelas kiranya bahwa maksud untuk memberikan tafsir otentik untuk sesuatu
istilah, adalah untuk menghindari pengulangan-pengulangan dan juga untuk lebih
mantap mengetahui pengertian dan/atau cakupan dari sesuatu istilah. Sesuai dengan
perkembangan kebutuhan, kiranya ketentuan dalam Bab IX buku I ini sudah perlu
diperluas. Yang dirasakan perlu dimasukkan dalam Bab ini antara lain ialah pengertian
dan/atau cakupan dari istilah warga negara (vide pasal 5), golongan penduduk (vide
pasal 156, 157), penadah dan penadahan (vide pasal 480) dan barang siapa.
BAB XLIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 103. Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII juga
berlaku bagi tindakan-tindakan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya
diancam dengan pidana, kecuali jika ditentukan lain oleh undang-undang.
Ternyata pasal ini mendiamkan Bab IX dari Buku Kesatu. Timbul persoalan,
bagaimana nasib Bab ini dalam hubungannya dengan perundangan hukum pidana di
luar KUHP? Apabila perundangan lainnya itu secara tegas menyatakan berlakunya Bab
IX Buku I KUHP (kecuali ada beberapa penyimpangan) terhadap perundangan lainnya
itu seperti ternayat dalam KUHPM, maka tidak ada persoalan. Akan tetapi jika
perundagan lainnya itu juga mendiamkannya, maka penerapan Bab IX ini dapat
dilakukan dengan melalui interprestasi menurut doktrin, apabila penafsiran itu tidak
dapat diterapkan mendasarkan suatu jurisprudensi. Biasanya dalam praktek hukum
ketentuan-ketentuan dalam Bab IX itu juga dianut dalam penerapan perundangan
pidana lainnya, kecuali jika ternyata disimpangi oleh undang-undang. Selain daripada
itu secara argentum a contrario masih juga dapat ditegaskan, bahwa pasal 103 KUHP
tidak melarang, penerapan Bab IX/Buku I kepada perundangan pidana lainnya itu.
Karenanya dapat disimpulkan, sesuatu yang tidak dilarang dapat saja dilakukan.
Dilingkungan peradilan militer, peranan pasal 103 ini sangat penting, sedemikian
pentingnya sehingga pasal-pasal PENDAHULUAN yaitu pasal 1 sampai dengan 3
KUHPM mengulangi dan bahkan mempertegasluaskan ketentuan dengan pasal 103.
154
Dalam penjelasan untuk pasal 2 KUHPM, justru ditentukan bahwa “ketentuan” dan
jurisprodensi yang dianut dalam penerapan KUHP, pada dasarnya digunakan juga
dalam penerapan KUHPM. Hal inilah juga yang memastikan bahwa, jika seseorang
hendak mempelajari KUHPM adalah suatu hal yang mustahil jika telah mempelajari
KUHP.
Perangkum
Rustamaji, S.H.
Kapten Chk NRP 21960346940974