Anda di halaman 1dari 154

RINGKASAN ASAS-ASAS HUKUM PIDANA

BAB I
PENGERTIAN HUKUM PIDANA

1. Pengertian Hukum Pidana

a. Sudiman Kartohadiprodjo Hukum adalah sesuatu yang bersangkutan


dengan manusia, dalam keadaan hubungannya dengan manusia lainnya.
b. Tambunan A Hukum adalah refleksi kehidupan dan penghidupan
masyarakat dalam mencapai cita-citanya.

2. Pembagian Hukum dari berbagai segi


Dikenal beberapa pembagian/pengelompokan atau pembedaan sebagai berikut :

a. Hukum tidak tertulis disamping hukum yang tertulis:

1) Hukum tidak tertulis dapat juga disebut sebagai hukum kebiasaan,


yaitu yang merupakan ketentuan-ketentuan yang lazim dipatuhi masyarakat
walaupun tidak tertulis.

2) Hukum tertulis adalah hukum yang tertulis dan dalam bentuk


perundang-undangan yang disyahkan oleh pemerintah pusat atau
pemerintah daerah.

b. Hukum filsafat disamping hukum positif:

1) Hukum filsafat adalah dalam mencari yang lebih sempurna daripada


hukum positif yang sedang berlaku, mencarinya kepada hukum alam (natural
recht) yang landasannya lebih tinggi daripada hukum positif dan yang
diharapkan berlaku abadi, tidak berubah karena tempat dan waktu.
2) Hukum positif positif adalah hukum yang berlaku sebagai hukum
bagi masyarakat suatu negara pada waktu tertentu.

c. Hukum publik disamping hukum perdata:

1) Hukum publik adalah keseluruhan garis-garis hukum yang


berhubungan dengan bangunan negara atau badan-badan negara yaitu,
bagaimana badan-badan negara melaksanakan tugasnya, bagaimana
hubungan kekuasaannya satu sama lainnya dan perbandingan atau
hubungannya dengan masyarakat atau perseorangan dan sebaliknya.
Hukum publik dibagi tiga yaitu :

a) Hukum tata negara adalah serangkaian ketentuan-ketentuan


yang mengatur bangunan negara, hubungan-hubungan bandan negara
sesamanya dan bagaimana cara melaksanakan tugas-tugasnya.

b) Hukum Administrasi/Hukum tata usaha/Hukum pemerintahan


adalah serangkaian ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana
2

caranya badan-badan pemerintahan dan badan-badan peradilan


administrasi menjalankan tugasnya.

c) Hukum pidana adalah serangkaian ketentuan-ketentuan yang


mengatur tingkah laku yang dilarang atau yang diharuskan yang
terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana, jenis dan macam
pidana dan cara-cara menyidik, menuntut, periksaan persidangan serta
melaksanakan pidana

2) Hukum perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur


hubungan hukum antara sesama warga perseorangan atau antara warga
tersebut dengan penguasa sebagai pribadi/perseorangan. Dalam hal ini
penguasa tunduk kepada peradilan perdata.

d. Hukum material disamping hukum formal:

1) Hukum material adalah hukum yang berisi adanya subyek/ pelaku dan
tingkah laku yang dirumuskan/norma, saksi yang tegas (KUHP dll).

2) Hukum formal adalah hukum yang mengatur bagaimana tatacara


penyelesaian pelanggaran terhadap hukum material (KUHAP).

e. Hukum Obyektif dan hukum subyektif:

1) Hukum obyektif adalah semua garis-garis hukum yang terdapat


dalam hukum positif.

2) Hukum subyektif adalah yang memuat ketentuan-ketentuan


mengenai hubungan hukum antara pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu
timbulnya hak tertentu bagi seseorang dari aturan-aturan dalam hukum
obyektif pada suatu kejadian atau keadaan tertentu.

3. Arti dan pembagian hukum pidana

a. Menurut POMPE mengatakan bahwa hukum pidana adalah semua aturan


hukum yang menentukan terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan
pidana dan apa macam pidananya yang bersesuaian.

b. Menurut ROESLAN SALEH dan Prof. MOELJATNO mengatakan hukum


pidana adalah bagian dari hukum yang mengadakan dasar dan aturan-aturan
untuk menentukan:

1) Perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang


dengan disertai sanksi berupa suatu pidana tertentu, bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.

2) Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
telah diancamkam.
3

3) Dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan


apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

c. Menurut SATAUCHID KARTANEGARA Hukum pidana adalah sejumlah


peraturan-peraturan yang merupakan bagian dari hukum positif yang
mengandung larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang ditentukan oleh
negara atau kekuasaan lain yang berwenang untuk menentukan peraturan-
peraturan, larangan atau keharusan mana disertai ancaman pidana, dan apabila
hal ini dilanggar timbulkan hak dari negara untuk melakukan tuntutan,
menjalankan pidana dan melaksanakan pidana.

d. Menurut S.R. SIANTURI hukum pidana adalah bagian dari hukum positif
yang berlaku disuatu negara dengan memperhatikan waktu, tempat dan bagian
penduduk, yang memuat dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan mengenai
tindakan larangan atau tindakan keharusan dan kepada pelanggarnyabdiancam
dengan pidana. Menetukan pula bilamana dan dalam hal apa pelaku pelanggaran
tersebut dipertanggungjawabkan, serta ketentuan-ketentuan mengenai hak dan
cara penyidikan, penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana demi
tegaknya hukum yang bertitik berat kepada keadilan.

4. Pembagian hukum pidana dari berbagai segi

Hukum pidana dapat dibedakan atau dikelompokkan tergantung dari penglihatan,


perbedaan terpenting dari hukum pidana adalah sebagai berikut:

a. Hukum pidana tertulis dengan memedomani pasal 1 KUHP dan hukum


pidana yang tidak tertulis hukum adat yang berlaku dalam masyarakat.

b. Hukum pidana sebagai hukum positif adalah hukum dengan


memperbandingkan hukum masa kini ( ius constitutum) dengan hukum yang
dicita-citakan (ius constituendum), hukum pidana termasuk hukum positif. Artinya
rangkaian tulisan ini yang akan dibahas adalah hukum pidana yang masih berlaku
sampai sekarang.

c. Hukum pidana sebagai bagian hukum publik, dalam memperbandingkan


hukum publik dan hukum perdata, bahwa hukum pidana disamping hukum
administrasi merupakan bagian dari hukum publik, karena adanya beberapa
materi dalam hukum pidana “berbau” hukum perdata yaitu bahwa penuntutannya
dititik beratkan kepada yang dirugikan, kejahatan-kejahatan penghinaan,
perzinahan, pencurian dalam keluarga dan lain sebagainya, hanyalah merupakan
pengecualian saja.

d. Hukum pidana obyektif dan hukum pidana subyektif:

1) Hukum pidana obyektif (ius poenale) adalah seluruh garis hukum


mengenai tingkah laku yang diancam dengan pidana, mengenai jenis dan
macam pidana, dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan dan
dilaksanakan pada waktu tertentu dan dalam batas-batas daerah hukum
tertentu. Artinya semua warga dari daerah hukum tersebut wajib mentaati
hukum pidana dalam arti obyektif tersebut.
4

2) Hukum pidana subyektif (ius puniendi) adalah merupakan hak dari


penguasa untuk mengancamkan suatu pidana kepada suatu tingkah laku
tertentu sebagaimana digariskan dalam hukum pidana obyektif, mengadakan
penyidikan, menjatuhkan pidana dan mewajibkan terpidana melaksanakan
pidana yang dijatuhkan.

e. Hukum pidana material dan hukum pidana formal:

1) Hukum pidana material berisikan norma dan sanksi hukum pidana serta
ketentuan-ketentuan umum yang membatasi, memperluas atau menjelaskan
norma dan pidana tersebut.

2) Hukum pidana formal adalah seluruh garis hukum, yang menjadi dasar
atau pedoman bagi penegak hukum dan keadilan untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan hukum pidana material.

f. Hukum pidana terkodifikasi dan tersebar:

Hukum pidana terkodifikasi adalah (undang-undang) hukum pidana


yang telah dikumpulkan dan dibukukan, seperti KUHP, KUHPM, dan syarat-
syarat yang harus dipenuhi untuk pengkodifikasian adalah: harus mendasari
ilmu pengetahuan hukum pidana yang tinggi serta menyeluruh, harus
mendapat dukungan dari masyarakat dan harus dibukukan secara
sistematis.

g. Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus:

1) Hukum pidana umum adalah ketentuan-ketentuan hukum pidana


yang berlaku secara umum bagi semua orang (KUHP).

2) Hukum pidana khusus adalah karena pengaturannya secara khusus


yang adakalanya bertitik berat kepada kekhususan suatu golongan tertentu
(KUHPM, UU TPK dll) tindak pidana yang tidak diatur dalam KUHP.

h. Hukum pidana umum nasional.

Dalam memperbedakan hukum pidana yang berlaku untuk seluruh negara


dengan hanya berlaku pada suatu daerah/propinsi tertentu, diperbedakan antara
hukum pidana umum dan hukum pidana setempat. Seperti diketahui, gubernur/
kepala daerah tingkat I dapat juga membuat perundang-undangan dalam bidang
hukum pidana, akan tetapi terbatas sekali maksimum ancaman pidananya dan
tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi.

5. Sifat huku pidana.

a. Ciri-ciri hukum publik:

Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan publik (masyarakat


umum), sedangkan hukum perdata mengatur kepentingan privat. Apabila diperinci
sifat hukum publik tersebut, dalam hubungannya dengan hukum pidana, maka
akan kita temukan ciri-ciri hukum publik yaitu sebagai berikut:
5

1) Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat


dengan perseorangan;

2) Kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi dari orang


perorangan;

3) Penuntutan seseorang (yang telah melakukan suatu tindakan yang


(yang dirugikan), melainkan pada umumnya, negara/penguasa wajib
menunut seseorang tersebut;

4) Hak subyektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukum


pidana obyektif atau hukum pidana positif.

b. Hukum pidana bersifat hukum publik adalah karena pada hukum pidana
terdapat ciri-ciri yang terdapat dalam hukum publik.

c. Pendapat bahwa hukum pidana bukan hukum publik.

Ada beberapa sarjana yang tidak sependapat bahwa hukum pidana bersifat
hukum publik. (VAN KAN, PAUL SCHOLTEN, LOGEMAN, LEMAIRE dan
UTRECHT). Para sarjana ini berpendapat, bahwa hukum pada pokoknya tidak
mengadakan kaedah-kaedah (norma) baru, melainkan norma hukum pidana itu
telah ada sebelumnya pada bagian hukum lainnya dan juga sudah ada sanksinya.
Alasan lainnya yang dikemukakan untuk memperkuat pendapat mereka ialah
bahwa justru tidak selalu penguasa wajib menuntut suatu tindak pidana tertentu
karena dipersyaratkan harus ada “pengaduan” dari yang dirugikan atau terkena
tindak pidana, menunjukkan bahwa hukum pidana tidak bersifat hukum publik.

6. Norma dan Saksi.

a. Norma

Manusia hidup bermasyarakat, baik karena dikehendakinya ataupun tidak.


Mereka bergaul satu sama lainnya, seperti yang dikatakan oleh ARISTOTELES
bahwa manusia merupakan ZOON POLITCION, yaitu manusia sebagai makhluk
sosial yang dalam hidupnya selalu mencari sesamanya untuk hidup bersama.
Karena manusia mempunyai kebutuhan dan kepentingan sendiri- sendiri atau
bersama-sama. Adapaun norma dibagi 4 macam yaitu sebagai berikut:

1) Norma keagamaan adalah norma-norma yang ada pada suatu ajaran


agama dan diakui oleh pemeluk-pemeluk agama yang bersangkutan sebagai
berdasarkan firman Tuhan.

2) Norma kesusilaan adalah ketentuan-ketentuan bertingkah laku dalam


hubungan antara sesama manusia yang dalam banyak hal kepada “ kata
hati nurani “ tegasnya, nooma kesusilaan adalah ketentuan-ketentuan
tentang tingkah laku yang baik dan yang jahat.

3) Norma kesopanan adalah aturan-aturan dalam suatu masyarakat


tertentu tentang sopan santun dalam hubungan anggota-anggota
masyarakat itu sesamanya.
6

4) Norma hukum adalah ketentuan-ketentuan yang kompleks mengenal


kehidupan dan penghidupan manusia dalam pergaulan sehari-hari, yang
berlaku pada waktu dan tempat tertentu. Norma tersebut harus ditaati baik
sebagai perseorangan maupun dalam hubungan bermasyarakat.

b. Sanksi

Sanksi pada umumnya adalah alat pemaksa agar seseorang mentaati


norma-norma yang berlaku. Tugas sanksi adalah sebagai berikut:

1) Merupakan alat pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma


hukum ditaati oleh setiap orang;

2) Merupakan akibat hukum bagi seseorang yang melanggar norma


hukum.

c. Cara merumuskan norma dan sanksi dalam hukum pidana

1) Cara merumuskan norma.

Ada tiga macam cara untuk merumuskan norma yaitu sebagai berikut:

a) Menentukan unsur-unsur dari suatu tindakan terlarang atau yang


diharuskan;

b) Menyebut nama atau kwalifikasi dari tindakannya saja;

c) Unsur-unsur dan namanya (atau kwalifikasinya) sama-sama


disebutkan

2) Cara merumuskan sanksi ada 2 yaitu sebagai berikut:

a) Dalam KUHP pada umumnya kepada tiap-tiap pasal, atau juga


pada ayat-ayat dari suatu pasal, yang berisikan norma langsung diikuti
dengan suatu sanksi.

b) Dalam beberapa undang-undang hukum pidana lainnya, pasal-


pasal awal ditentukan hanya norma-norma saja tanpa diikuti secara
langsung dengna sanksi pada pasal tersebut.
7

BAB II
ILMU PENGETAHUAN HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI

7. Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana.

Obyek ilmu pengetahuan hukum pidana terutama adalah mempelajari asas-asas


dan peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku, menghubungkan
asas-asas/peraturan-peraturan yang satu dengan yang lainnya, dengan demikian dapat
dipahami pengertian yang obyektif dari peraturan-peraturan yang berlaku (hukum
pidana positif) yang merupakan tujuan dari ilmu pengetahuan hukum pidana.

Tugas utama dari ilmu pengetahuan hukum pidana adalah untuk mempelajari dan
menjelaskan (nterprestasi) hukum (tidak) pidana yang berlaku pada suatu waktu dan
negara (tempat) tertentu. Ia mempelajari norma-norma dalam hubungannya dengan
pemidanaan 9kontruksi), dan kemudian menerapkan hukum pidana yang berlaku
secara teratur dan berurutan. Dengan perkataan lain ia mengolah suatu tindak pidana
yang sudah terjadi kemudian dihubungkan dengan penerapan hukum pidana yang
berlaku.

8. Hubungan kriminologi dengan ilmu pengetahuan hukum pidana.

Pada dasarnya obyek dari ilmu pengetahuan hukum pidana mengenai kejahatan
dan pidana, dan obyek kriminologi adalah orang yang melakukan kejahatan itu sendiri
sebagai gejala dalam masyarakat ( bukan sebagai norma hukum positif semata-mata).
Tugas IPHP adalah untuk menjelaskan (interprestasi) hukum pidana, mengkaji norma
hukum pidana (konstruksi) dan penerapan ketentuan yang berlaku terhadap suatu
tindak pidana yang terjadi (sistimatika), sedangkan tugas kriminologi adalah untuk
mencari dan menentukan sebab-sebab dari kejahatan serta menemukan cara-cara
pemberantasannnya. Tujuan IPHP adalah untuk memahami pengertian yang obyektif
dari peraturan hukum pidana yang berlaku, sedangkan tujuan dari kriminologi adalah
untuk mengamankan masyarakat dari penjahat.

9. Kriminologi

a) Pengertian kriminologi

Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan mempelajari sebab-sebab timbulnya


suatu kejahatan dan keadaan-keadaan yang pada umumnya turut
mempengaruhinya, serta mempelajari cara-cara memberantas kejahatan tersebut.
Batasan pertama berbeda dengan IPHP yang mengartikan kejahatan sebagimana
yang dirumuskan dalam hukum pidana positif, kriminologi merumuskan kejahatan
sebagai setiap tingkah laku yang merusak dan tidak susila (dalam arti luas), yang
menimbulkan ketidaktentraman dan keresahan dalam suatu masyarakat tertentu,
karena masyarakat taebut tidak menyenangi tingkah laku tersebut.

Menurut SUTHERLAND dan CRESSEY, yang kita ambil sebagai batasan


kedua, kriminologi adalah himpunan pengetahuan mengenai kejahatan sebagai
gejala masyarakat. Yang termasuk dalam ruang lingkupnya adalah proses
pembuatan perundang-undangan, pelanggaran perundang-undangan,
pelanggaran perundang-undangan dan rekasi terhadap pelanggaran tersebut
yang saling mempengaruhi secara beruntun. Selanjutnya dikatakan bahwa
kriminologi terdiri dari 3 bagian utama yaitu sebagai berikut:
8

1) Ilmu kemasyarakatan dari hukum atau pemasyarakatan hukum yaitu


usaha penganalisaan keadaan secara ilmiah yang akan turut
memperkembangkan hukum pidana;

2) Etimologi kriminil yaitu penelitian secara ilmiah mengenai sebab-sebab


dari kejahatan; dan

3) Pemberantasan atau pencegahan kejahatan.

b) Etimologi kriminil

Etimologi kriminil adalah mempelajari sebab-sebab timbulnya suatu


kejahatan, yang terbagi 3 mashab yang disebut mashab antropologis/mashab
Italia, mashab sosiologia/mashab prancis dan mashab biososiologis/mashab
campuran. Ketiga mashab tersebut termasuk ajaran determinisme yaitu bahwa
kehendak manusia itu sudah ditentukan terlebih dahulu.

Sebab-sebab timbulnya kejahatan adalah karena penyebab dalam yang


bersumber pada bentuk-bentuk jasmaniyah, watak dan rohaniah seseorang, atau
karena penyebab luar yang bersumber pada derajat/tingkatan dan lingkungan
seseorang atau karena penyebab gabungan antara penyebab dalam dan luar
yaitu resultante dari faktor pribadi dan faktor lingkungan.

c) Politik kriminil

Politik kriminil adalah merupakan bidang lainnya dari kriminolgi. Tugasnya


ialah untuk menemukan cara-cara memberantas kejahatan. Setelah menemukan
penyebab-penyebab dari suatu kejahatan, maka hasil penemuan itu digunakan
untuk menemukan cara pemberantasannya atau pencegahannya. Cara
pemberantasan ada dua yaitu dengan cara kemasyarakatan dan perseorangan.

BAB III
SEJARAH HUKUM PIDANA

10. Perkembangan Hukum Pidana ke arah Bersifat Hukum Publik.

a. Hukum pidana ketika bersifat hukum perdata.

Hukum pidana yang bersifat hukum publik yang kita kenal sekarang, telah
melalui suatu perkembangan yang lama dan lamban. Dalam pra sejarah
perkembangan hukum pidana, suatu tindakan/perbuatan hanya dipandang
sebagai suatu tindakan merusak atau merugikan kepentingan orang lain, yang
kemudian disusuli dengan pembalasan. Pembalasan itu pada umumnya tidak
hanya merupakan kewajiban dari seseorang yang dirugikan atau terkena
tindakan, melainkan meluas menjadi kewajiban dari seluruh keluarga, famili dan
bahkan dalam beberapa hal menjadi kewajiban dari masyarakat.
9

b. Perkembangan ke arah sifat hukum publik.

Pada suatu masyarakat hukum yang sudah lebih maju, kejahatan-kejahatan


dan pembalasan tidak dapat dibiarkan lagi, karena mengganggu keamanan dan
ketertiban dalam masyarakat. Penguasa dari suatu masyarakat yang lebih maju
pada mulanya berusaha menghukum orang-orang yang mengancam kepentingan
masyarakat dan menghambat tindakan-tindakan pembalasan oleh yang dirugikan
secara sendiri-sendiri. Demi keamanan dan ketertiban timbulah kemudian “stelsel
komposisi” yaitu suatu kewajiban bagi yang merugikan (penjahat, pembunuh dan
sebagainya) untuk melakukan penebusan kesalahannya dengan membayar ganti
rugi atau denda kepada orang yang dirugikan. Disamping itu diwajibkan pula
membayar denda kepada masyarakat yang seimbang dalam masyarakat itu
disebut sebagai fredum. Semula jumlah denda lebih banyak tergantung kepada
keinginan dari fihak yang dirugikan, tetapi kemudian dikendalikan ditentukan oleh
penguasa.

11. Hukum pidana di negara Barat.

a. Perlunya mempelajari hukum pidana Barat.

Perlunya mempelajari perkembangan hukum pidana secara pintas lalu di


negara-negara Barat adalah karena hukum pidana yang berlaku di Indonesia
sekarang masih banyak yang berasal dari negeri Belanda. Bahkan kebanyakan
materi hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang (KUHP, KUHPM,
berbagai ordonansi) secara yuridis masih tertulis dalam bahasa Belanda. Suatu
keadaan yang perlu disesalkan.

b. Hukum pidana di Negara-negara barat.

Hukum pidana tertua sekitar abad ke-V yang dikenal di negara-negara barat
adalah hukum pidana jerman yang dinakan LEGES BARBARORUM yang
terutama terdiri dari Lex Salica, Lek Frisionum dan Lex Saxonum. Kemudian
Undang-undang dari Raja-raja Perancis yang dinakan CAPITULARIA. Hukum-
hukum inilah juga yang ditiru oleh negari Belanda pada zaman itu.

Pada abad pertengahan, Hukum CANNONIK yang dibuat sekitar 1140, yaitu
hukum gereja, banyak mempengaruhi hukum pidana. Sejak resepsi dari Hukum
ROMAWI sampai waktu revolusi Perancis meletus, pelaksanaan hukuman sangat
kasar dan kejam. Dasar dari penghukuman pada waktu itu adalah perbuatan
pembalasan yang dilakukan oleh penguasa demi nama Tuhan.

c. Peristiwa JEAN CALAS.

Pada abad ke XVIII ada dua peristiwa yang menggemparkan, yang


mempunyai pengaruh luar biasa terhadap pendapat umum. Peristiwa pertama
adalah mengenai pedagang JEAN CALAS yang pada tahun 1762 di Toulause
dijatuhi hukuman mati dan dijalankan. Dan ternyata kemudian ia tidak bersalah.
VOLTAIRE telah menggugatnya dan meminta supaya diadakan pemeriksaan
revisi. Pemeriksaan revisi terjadi pada tahun 1765, dimana dinyatakan bahwa
JEAN CALAS tidak bersalah dan Putusan yang pertama dibatalkan. Tetapi nyawa
JEAN CALAS sudah tidak ada lagi.
10

Peristiwa kedua yang terjadi pada waktu yang hampir bersamaan 1764
adalah tulisan BACCARIA yang muncul di Milaan yang berjudul “Dei delitti e delle
pene” yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Ia dengan lantang
memprotes pelaksanaan hukuman-hukuman yang diluar perikemanusian dan
kejamnya hukuman-hukuman. Kedua-duanya peristiwa itu, disamping anjuran-
anjuran pemakaian akal budi pada zaman RENAISSANCE sangat banyak
pengaruhnya terhadap pembaharuan hukum pidana.

d. Kode Penal di Perancis.

DI Perancis setelah revolusi 1789, pada tahun 1791 terbentuk CODE


PENAL. Yang pertama yang dalam banyak hal dipengaruhi oleh jalan pikirannya
BECCARIA, tetapi tidak panjang umurnya, karena pertentangan-pertentangan
yang tajam pada waktu itu untuk mencari kebenaran yang ideal. Timbul kemudian
CODE PENAL baru pada tahun 1810 dalam pemeritah NAPOLEON yang berlaku
hingga saat ini. Code Penal tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran
seorang utilist Inggris yang bernama BENTHAM. Hukum pidana ini dalam banyak
hal masih ditujukan untuk menakut-nakuti, terutama terlihat dari ancaman
pidananya.

e. Hukum Pidana di Negeri Belanda.

Di negeri Belanda mulai ada gerakan untuk membuat perundang-undangan


hukum pidana pada tahun 1795. Baru tahun 1809 terwujud : CRIMINEEL
WETBOEK VOOR HOT KONINGKRIJK HOLLAND dalam pemerintahan
LODEWIJK NAPOLEON, yang merupakan kodifikasi umum yang pertama yang
bersifat Nasional. Kitab Undang-undang ini tidak bertahan lama, karena
pendudukan Perancis pada tahun 1811, yang memberlakukan Code Penal
Perancis sebagai penggantinya. Pada tahun 1813 Perancis meninggalkan negeri
Belanda, namun Code Penal masih berlaku terus sampai tahun 1886. Pada masa
ini Code Penal tersebut banyak mengalami perubahan-perubahan terutama
mengenai ancaman pidananya yang kejam menjadi diperlunak. Pidana
penyiksaan dan pidana “cap bakar” ditiadakan. Salah satu peristiwa penting yang
terjadi ketika itu ialah penghapusan pidana mati (dengan undang-undang 17
september 1870 statblad no. 162) dama WvS, sedang di WvMS jika terjadi pada
waktu damai dan tidak dilakukan kepada musuh. Pada tahun 1881 hukum pidana
nasional Belanda terwujud dan yang mulai berlaku pada tahun 1886, yang
bernama WETBOEK VAN STRAFRECHT sebagai pengganti Code Penal warisan
dari Napoleon.

12. Hukum Pidana di INDONESIA sebelum PROKLAMASI 17 Agustus 1945.

a. Masa sebelum penjajahan Belanda (V.O.C)

Sebelum kedatangan orang-orang Belanda pada tahun 1596 d Indonesia,


hukum yang berlaku di daerah-daerah Indonesia pada umumnya adalah hukum
yang tidak tertulis yang disebut hukum adat. Dalam sistim hukum adat tidak
dikenal pemisahan hukum pidana dan hukum privaat. Di berbagai daerah hukum
adat dipengaruhi oleh agama Islam (Aceh, Palembang, Ujung Pandang) dan
agama Hindu. Tetapi pada sebagian besar daerah-daerah Indonesia masih
bersifat asli.
11

b. Masa statuta Betawi.

Kedatangan pedagang-pedagang Belanda (VOC) di Indonesia membawa


suasana “penjajahan” Untuk kepentingan-kepentingan perdagangan mereka,
berdasarkan oktrooi Staten Generaal di negeri Belanda, VOC telah melaksanakan
berlakunya peraturan-peraturannya sendiri di Indonesia, semula peraturan-
peraturan tersebut berbentuk plakaat-plakaat. Dkemudian plakaat-plakaat itu
dihimpun dan diumumkan dengan nama STATUTEN VAN BATAVIA (Statuta
Batavia) pad tahun 1642, tetapi belum merupakan kodifikasi. Kemudian pada
tahun 1848 diadakan INTERIMAIRE STRAF BEPALINGEN. Disamping kedua
peraturan tersebut berlaku juga Oud Hollands Recht dan Romeins recht (hukum
Belanda kuno dan hukum Romawi).

c. Campur tangan V.O.C pada peradilan adat.

Pada zaman “penjajahan VOC” bagi penduduk Indonesia dinyatakan


berlaku hukum adat masing-masing. Tetapi dalam berbagai hal VOC mencampuri
peradilan-peradilan adat dengan alasan sebagai berikut:

1) Sistim hukuman pada hukum adat, tidak memadai untuk memaksakan


rakyat mentaati peraturan-peraturan;

2) Hukum adat ada kalanya tidak mampu menyelesaikan suatu perkara,


karena persoalan alat-alat bukti;

3) Adanya tindakan-tindakan tertentu yang menurut hukum adat bukan


merupakan kejahatan, sedangkan menurut hukum positif merupakan tindak
pidana yang harus diberikan suatu sanksi.

d. Kodifikasi hukum pidana.

Dalam pengaturan perundang-undangan di Hindia Belanda dulu (pasal 75


RR dan 131 IS), ditentukan asas konkordansi, atas dasar konkordansi tersebut di
Indonesia diberlakukan WETBOEK VAN STRAFRECHT VOOR EURO PEANEN
yang telah dikodifisir (diumumkan dalam stb 18866/55) dan dinyatakan mulai
berlaku sejak tanggal 1 Januari 1867. Kemudian bagi masyarakat bukan orang-
orang Eropa diadakan WETBOEK Van STRAFRECHT VOOR INLANDER yang
dinyatakan mulai berlaku 1 januari 1873 (Stb 1872/85) yang konkordan dengan
Wvs untuk golongan Eropa tadi, dengan sedikit perbedaan dalam berat/ringannya
ancaman pidananya.

Bersamaan dengan itu dinyatakan berlaku dua macam POLITEK


STRAFREGLEMENT. Yang satu berlaku untuk golongan Eropa dan yang satu
lagi untuk bukan golongan Eropa. Dengan demikian ternyata pada waktu itu
terjadi dualisme dalam hukum pidana, keadan mana berlaku hingga tanggal 1
Januari 1918.

e. Unifikasi hukum pidana.

IDENBURG (Miniter van Kolonien) berpendapat bahwa dengan dualisme


harus dihapuskan. Setelah kurang lebih 2 tahun berusaha, pada tahun 1915
Koninkelijkje Besluit (KB) disahkan WETBOEK VAN STRAFRECH VOOR
12

NEDERLANDS INDEI, yang dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari


1918. Wvs ini berlaku bagi golongan Eropa maupun yang bukan. Sejak itu
terdapat unifikasi hukum pidana di Indonesia, yang berlaku untuk seluruh
penduduk.

f. Tiga lingkungan hukum.

Maksud untuk memberlakukan hanya Wvs 1918 saja untuk seluruh


penduduk Indonesia ternyata belum sepenuhnya dapat terlaksana. Hal ini erat
sekali hubungannya dengan Peraturan Peradilan Hindia Belanda yang menurut
Peraturan tersebut ada tiga macam lingkungan hukum atau lingkungan peradilan
yaitu:

1) Peradilan Pemerintah (umum) yang berlaku untuk setiap orang,


2) Peradilan Swapraja, dan
3) Peradilan Pribumi.

Untuk peradilan perintah digunakan Wvs, sedangkan untuk peradilan


Swapraja dan Pribumi digunakan hukum adat, Ketentuan ini terdapat dalam pasal
130 Indische Staatsregeling, yang mengatakan antara lain bahwa sumber hukum
dari hukum pidana bagi daerah-daerah Swapraja dan daerah-daerah yang
dibenarkan menggunakan hukum sendiri adalah hukum adat. Alasan-alasan
untuk menggunakan tiga macam lingkungan peradilan pada waktu itu ialah
sebagai berikutJ:

1) Penghematan biaya negara;


2) Pada beberapa bagian dimana berlaku Peradilan Pribumi ditinjau dari
sudut ekonomi dianggap tidak penting memberlakukan Wvs.

g. Zaman penjajahan Jepang.

Dengan undang-undang nomor 1 Tahun 1942, perundang-undangan yang


berasal dari zaman penjajahan pemerintahan Belanda, dinyatakan masih berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan bala tentara Jepang.
Kemudian pada zaman Jepang tersebut telah juga diadakan perubahan-
perubahan sesuai dengan kepentingannya. Pada zaman ini daerah Indonesia
dibagi dua bagian, yang “dijajah” oleh dua penguasa pusat militer yang tidak
saling membawahkan. Akibatnya dalam berbagai hal ada perbedaan peraturan
yang berlaku di masing-masing daerah tersebut.

13. Zaman INDONESIA Merdeka.

a. Aturan-aturan Peralihan pada UUD 1945.

Kemerdekaan RI diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan


diumumkan UUD RI. Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD tersebut, semua
perundang-undangan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut UUD tersebut, dengan alasan untuk mengisi kekosongan
hukum.

Peraturan Presiden RI nomor 2 tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945 yang


terdiri dari 2 pasal menentukan: Pasal 1 “ segala badan-badan Negara dan
13

peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara RI pada tanggal 17


Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut UUD, masih tetep
berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan UUD tersebut.” Pasal 2 . “ Peraturan
ini berlaku tanggal 17 Agustus 1945.” Isi Perpres ini hampir sama dengan bunyi
pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Bedanya ialah bahwa pada Perpres dengan
tegas dinyatakan tanggal perbatasan yaitu tanggal 17 Agustus 1945 dan aturan-
aturan yang bertentangan dengan UUD dianggap tidak berlaku.

b. Undang-undang nomor 1 Tahun 1946

Pasal I Undang-undang nomor 1 tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946,


Berita RI II nomor 2 Tahun 1945, Peraturan-peraturan Hukum Pidana yang
berlaku sekarang adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada
tanggal 8 Maret 1942. Berarti bahwa semua peraturan-peraturan hukum pidana
yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang dan yang dikeluarkan oleh Panglima
Tertinggi Balatentara Hindia Belanda/Nica setelah tanggal 8 Maret 1942 dengan
sendirinya tidak berlaku.

c. Daerah berlakunya Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1946.

Menurut HAN BIN SIONG ada tiga pendapat mengenai daerah berlakunya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 (tentang berlakunya Hukum Pidana) pada
masa sesudah pembentukan NKRI pada tanggal 17 Agustus 1950 dan sebelum
tanggal 29 September 1958 pada saat UU Nomor 1 Tahun 1946 dikukuhkan
dengan UU nomor 73 Tahun 1958 untuk diberlakukan untuk seluruh daerah
Indonesia. Tiga pendapat tersebut antara lain sebagai berikut:

1) UU nomor 1 Tahun 1946, berlaku diseluruh wilayah bekas NRI Yogya,


ditambah dengan daerah pulihan. Dengan perkataan lain berlaku di
Sumatera minus negara Sumatera Timur, Jawa dan Madura minus Jakarta
Raya dan kalimantan minus Kalimantan Barat (sebagai daerah pulihan), atas
nama Prof OEMAR SENOAJI SH. dll.

2) UU Nomor 1 Tahun 1946 berlaku di seluruh wilayah bekas NRI Yogya,


ditambah dengan daeerah pulihan, kecuali daerah-daerah pulihan di
Kalimantan. Dengan perkataan lain, hanya berlaku di Sumatera minus Neg.
Sumatera Timur dan di Jawa + Madura minus jakarta Raya (atas nama HAN
BIN SIONG)

3) UU nomor 1 tahun 1946, berlaku diseluruh Jawa dan Madura serta


Sumatera, tanpa kecuali (atas nama Prof. MOELJATNO SH).

Adanya pendapat-pendapat tersebut, tidak dapat dilepaskan dari fakta


sejarah perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia dalam segala bidang.

d. Peraturan Hukum Pidana yang berlaku sejak 29 September 1958.

Sejak tanggal 29 September 1958, UU nomor 1 Tahun 1946 berlaku di


seluruh wilayah Indonesia. Ini berarti bahwa peraturan-peraturan Hukum Pidana
sebagai berikut tidak berlaku lagi yaitu:
14

1) Peraturan-peraturan hukum pidana yang dibuat pemerintah penduduk


Jepang.

2) Perturan-peraturan hukum pidana yang dibuat Penguasa Militer


Belanda.

3) Dan Peraturan-peraturan hukum pidana lainnya yang tidak dibuat oleh


Pemerintah RI, menurut makna dari UU Nomor 1 Tahun 1946, kecuali
ditentukan lain karena sesuatu pertimbangan.

14. Hukum Pidana di Indonesia sekarang dan sistimatikanya.

a. Hukum pidana di Indonesia sekarang. Hukum pidana yang berlaku di


Indonesia sekarang ialah sebagai berikut:

1) KUHP sebagaiman ditetapkan pada UU Nomor 1 Tahun 1946 jo UU


Nomor 73 Tahun 1958, beserta perubahan-perubahannya sebagaimana
antara lain ditentukan dalam UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang perubahan
KUHP; UU Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang beberapa perubahan dalam
KUHP; UU Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang perubahan jumlah maksimum
pidana denda dalam KUHP, UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang penambahan
ketentuan-ketentuan mengenai “hijacking” (pembajakan udara) pada Bab
XXIX buku ke-II KUHP (tentang kejahatan penerbangan dan sarana
penerbangan)

2) KUHPM sebagaimana ditentukan pada UU Nomor 39 Tahun 1974.

3) Perundang-undangan hukum pidana lainnya antara lain mengenai TPE


(UU Nomor 7 Drt Tahun 1955), tindak pidana subversi (UU Nomor 11 Pnps
Tahun 1963), tindak pidana korupsi (UU Nomor 3 1971), pelanggaran lalu
lintas dan angkutan jalan raya (UU Nomor 3 Tahun 1965) tentang perbankan
(UU Nomor 14 Tahun 1967) dan lain sebagainya.

4) HIR dab beberapa pasal tertentu dari Strafvordering, UU Nomor Drt


Tahun 1951, yang sejak tanggal 31 Desember 1981 telah diganti dengan
KUHAP (UU Nomor 8 Tahun 1981), UU Kepolisian, UU Kejaksaan dan
Kejaksaan Tinggi sepanjang tidak bertentangan dengan KUHAP; UU Hukum
acara pidana militer (UU Nomor 1 Drt Tahun 1958) UU pokok kekuasaan
kehakiman dan lain sebagainya.

b. Sistematika Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Peraturan hukum pidana yang berlaku di Indonesia, ada yang sudah


dikodifikasikan, tetapi masih (lebih) banyak yang tidak dikodifikasikan. Yang
dikodifikasikan antara lain adalah: KUHP, KUHPM, KUHAP, KUHAPMIL. Hukum
pidana materiil yang paling pokok adalah KUHP terdiri dari ada tiga buku yaitu:
Buku I tentang Aturan Umum, Buku II tentang Kejahatan dan Buku III tentang
Pelanggaran.
15

c. Perubahan-perubahan dalam KUHP.

Perubahan-perubahan yang diadakan pada undang-undang tersebut pada


garis besarnya adalah mengenai:

1) Tidak berlakunya perundang-undangan hukum pidana yang dibuat oleh


Pemerintahan penjajahan Jepang.

2) Tidak berlakunya perundang-undangan yang dibuat oleh Panglima


Tertinggi Tentara Hindia Belanda.

3) Penggantian nama Hindia Belanda menjadi Indonesia.

4) Penambahan beberapa delik yang pada umumnya mengenai sebagai


berikut:

a) Alat pembayaran (uang)


b) Pencegahan keonaran dalam masyarakat.
c) Pencegahan penodaan bendera RI, dengan penambahan pasal-
pasal: 52a. 142a. Dan 154a di KUHP.

5) Pengadaan jenis pidana tutupan ( UU Nomor 20 Tahun 1946)

6) Pemberatan ancaman pidana untuk delik-delik yang ditentukan dalam


Bab I dan II KHUP dengan syarat-syarat menghalang-halangi:

a) Perlengkapan sandang pangan oleh pemerintah


b) Penyelenggaraan keamanan rakyat
c) Perjuangan bangsa Indonesia.

7) Pemberatan ancaman pidana dengan diduakali-lipatkan untuk pasal:


211, 212,213,214,216, 217,218, KUHP, apabila dilakukan didaerah yang
dinyatakan dalam keadaan bahaya,

8) Perluasan lautan wilayah (lautan teritorial) Indonesia dan ketentua-


ketentuan mengenai perairan Indonesia. (ketentuan ini berhubungan dengan
Bab I KUHP.

9) Perubahan ancaman pidana denda pasal-pasal 364, 373, 384 dan 407
ayat ke 1 KUHP (tipiring) dari f. 25 menjadi Rp. 250.

10) Penambahan ancaman pidana denda dalam semua perundang-


undangan hukum pidana di Indonesia (kecuali TP ekonomi).

11) Penambahan ancaman pidana pasal 359, 360 dan 188 KUHP (UU no.
1960).

12) Tidak berlakunya ketentuan pasal 63 ayat 2 KUHP terhadap tindak


pidana subversi. Sedangkan ketentuan mengenai tindak pidana subversi
pada umumnya dapat dipandang sebagai penyempurnaan delik-delik pada
Bab 1 Buku 1 KUHP (Vide UU No. 11 Tahun 1963).
16

13) Pelaksanaan pidana mati ( UU no. Tahun 1964).

14) Penodaan terhadap suatu agama. Penambahan pasal 156a dalam


KUHP.

15) Mengenai delik pers. Ada hubungannya dengan pasal-pasal 154,


155,156 KUHP (UU no 1 Tahun 1966.

16) Pemberatan ancaman pidana terhadap pasal-pasal 109, 210, 387, 415,
416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP dalam rangka TP korupsi.

17) Pemberatan ancaman pidana untuk kejahatan perjudian sebagaimana


diatur dalam pasal 303 dan 542 KUHP, sedangkan materi deliknya
dipindahkan menjadi pasal 303 bis (kejahatan).

18) Ketentuan mengenai landas kontinen Indonesia, sehubungan dengan


ketentuan-ketentuan mengenai berlakunya ketentuan pidana Indonesia.

19) Penambahan mengenai pasal 3, 4, 95 KUHP, yang pada garis


besarnya mengatur tentang pengertian dan kejahatan-kejahatan yang
berhubungan dengan penguasaan pesawat udara secara melawan hukum
dan kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.

BAB IV
TUJUAN HUKUM PIDANA DAN DASAR HUKUM PEMIDANAAN

15. Tujuan hukum pidana.

Dewasa ini kita ketahui bahwa tujuan hukum pidana pada umumnya adalah untuk
melindungi kepentingan orang perorangan atau HAM dan melindungi kepentingan-
kepentingan masyarakat dan negara agar tindakan yang dilakukan oleh penguasa tidak
sewenang-wenang.

Pada zaman sebelum revolusi Perancis misalnya, hukum pidana pada umumnya
belum tertulis, dalam banyak hal, baik/buruknya atau dapat tidaknya dipidana suatu
tindakan tergantung kepada “kebijaksanaan hakim” sebagai alat dari Raja. Karena
banyak peristiwa terjadi kesewenang-wenangan dari penguasa mengenai penentuan
sesuatu tindakan yang dapat dipidana maupun mengenai jenis dan beratnya pidana.

Di daerah-daerah di Indonesia sebelum kedatangan pejanjah Belanda, pada


umumnya hukum adat tidak tertulis. Hukum adat tidak mengenal sistem “praeextintente
regels”. Seluruh lapangan hidup menjadi batu ujian perihal apa yang dilarang dan apa
yang dibolehkan. Tiap-tiap perbuatan atau tiap-tiap situasi yang tidak selaras dengan
atau memperkosa keselamatan masyarakat, keselamatan golongan, famili, dan
sebagainya dapat merupakan pelanggaran hukum.

a. Mashab Klasik.
17

Kembali kepada perkembangan tujuan hukum pidana di negara Barat


(Perancis), adanya gerakan-gerakan yang memprotes kesewenang-wenangan
penguasa tersebut. Yang dipelopori dengan tulisannya yang tajam adalah
Beccaria.

Dalam peristiwa pemidanaan JEAN CALAS, VOLTAIRE telah memprotes


pemidanaan itu dan meminta diadakan pemeriksaan ulang. Ajaran TRIAS
POLITICA dari MONTESQUIEU (1689-1775), DU CONTRAT SOCIAL dari JEAN
JACQUES ROUSSEAU (1712-1778) turut pula mempercepat peniadaan
kewenang-wenangan dari penguasa. Mereka melihat penderitaan orang-orang
karena tindakan –tindakan yang sewenang-wenang. Pengikut-pengikut ajaran ini
yang pada pokoknya menganggap bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk
menjamin kepentingan hukum individu atau perseorangan.

b. Mashab Modern.

Perkembangan ilmu kemasyarakatan juga mempengaruhi perkembangan


ilmu pengetahuan hukum pidana. Kriminologi yang obyek penelitiannya antara
lain adalah tingkah laku orang perseorangan dan atau amasyarakat adalah salah
satu ilmu yang memperkaya IPHP. Karena pengaruh kriminologi sebagai bagian
dari “ social sciance” menimbulkan aliran baru yang mengganggap bahwa tujuan
dari Peraturan hukum pidana adalah untuk memberantas kejahatan agar
terlindung kepentingan hukum masyarakat.

c. Tujuan hukum pidana di Indonesia.

Negara Indonesia sebelum merdeka pernah dijajah oleh Perancis, Belanda


dan timbul tenggelamnya hukum adat yang berlaku di daerah-daerah yang
didalamnya ada delik adat yang sedang berkembang menuju pemenuhan
perasaan keadilan masyarakat, sempat seakan-akan terhenti, karena sebagai
akibat dari penjajahan yang lebih menguntungkan kepentingan dari penjajah
tersebut. Setelah Indonesia merdeka selayaknya dan seharusnya hukum pidana
Indonesia disusun dan dirumuskan sedemikian rupa,, agar semua kepentingan
Negara, masyarakat dan individu warga negara dan atau penduduk Indonesia
diayomi dalam keseimbangan yang serasi berdasarkan Pancasila. Dengan
demikian tujuan dari hukum pidana Indonesia adalah Pengayoman semua
kepentingan secara berimbang.

16. Dasar pemidanaan.

Salah satu alat untuk mencapai tujuan hukum pidaa adalah memidana seseorang
yang telah melakukan tindak pidana. Perseolannya sekarang adalah “apakah dasar
dari pemidanaan?” dengan perkataan lain “apa alasannya untuk membenarkan
penjatuhan pidana oleh penguasa?” penugasan perseolan ini secara mendalam
terletak dalam ilmu filsafat hukum pidana yang termasuk dalam ilmu filsafat pada
umumnya. Dasar-dasar tersebut dapat ditemukan melalui beberapa tolak pangkal
pemikiran seperti: bertolak-pangkal ke Tuhanan (theologis), bertolak-pangkal kepada
falsafah atau bertolak-pangkal kepada perlindungan hukum.

a. Tolak-pangkal ke-Tuhanan sebagai dasar pemidanaan.


18

Yang bertolak-pangkal kepada Ke-Tuhanan untuk mencari dasar


pemidanaan mengemukakan bahwa menurut ajaran Kedaulatan Tuhan
sebagaimana tercantum dalam Kitab-kitab Suci, penguasa adalah abdi Tuhan
untuk melindungi yang baik, akan tetapi mengecutkan penjahat dengan
penjatuhan pidana. Pidana adalah tuntutan keadilan dan kebenaran Tuhan.
Demikian juga THOMAS van AQUINO bertolak-pangkal pada negara sebagai
pembuat undang-undang dimana hakim bertindak atas kekuasaan yang diberikan
Tuhan kepadanya. Thomas mencari dasar tersebut dalam kebutuhan negara
untuk mencapai tujuannya yaitu kesejahteraan umum. Karena itulah negara selain
berhak menentukan hukum, juga berhak memaksa untuk mentaati hukum,
dengan ancaman pidana.

b. Tolak-pangkal falsafah sebagai dasar pemidanaan.

Pemidanaan bertolak-pangkal kepada perjanjian masyarakat (du contrat


social, maatschappelijke verdrag). Artinya ada persetujuan fiktif antara rakyat
dengan negara, dimana rakyatlah yang berdaulat dan menentukan bentuk
pemerintahan. Kekuasaan negara tidak lain dari kekuasaan yang diberikan oleh
rakyat. Setiap warga negara menyerahkan sebagian dari hak asasinya
(kemerdekaannya) yang mana ia menerima sebagai imbalannya perlindungan
kepentingan hukumnya dari negara, yang untuk ini negara memperoleh hak untuk
memidana. Ini adalah ajaran “edaulatan rakyat” dari J.J. ROUSSEAU.

c. Tolak-pangkal perlindungan hukum sebagai dasar pemidanaan.

BENTHAM (juga Van HAMEL dn SIMONS) mencari dasar pemidanaan


bertolak-pangkal kepada: kegunaan dan kepentingan penerapan ketentuan
pidana untuk mencapai tujuan dari kehidupan dan penghidupan bersama yaitu
perlindungan hukum. Dengan perkataan lain dasar pemidanan adalah karena
penerapan pidana merupakan alat untuk menjamin ketertiban hukum.

17. Alasan dan maksud pemidanaan.

Alasan pemidanaan dapat digolongkan dalam tiga golongan pokok, yaitu sebagai
termasuk golongan teori pembalasan, golongan teori tujuan dan kemudian dengan
golongan teori gabungan.

a. Teori Pembalasan (teori absolut)

Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah


melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak, harus
diadakan pembalasan yang berupa pidana. Tidak dipersoalkan akibat dari
pemidanann bagi terpidana. Bahan pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah
masa lampau, maksudnya masa terjadinya tindak pidana itu. Teori pembalasan ini
terbagi lima yaitu :

1) Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dari etika.

Teori dikemukakan oleh IMMANUEL KANT yang mengatakan bahwa


pemidanaan adalah merupakan tuntutan mutlak dari kesusilaan (etika)
terhadap seorang penjahat. Ahli filsafat ini mengatakan bahwa dasar
pemidanaan adalah tuntutan mutlak dari hukum kesusilaan kepada
19

seseorang penjahat yang telah merugikan orang lain. Sehubungan dengan


itu, Kant mengatakan selanjutnya “Walaupun besuk dunia akan kiamat,
namun penjahat terakhir harus menjalankan pidananya”.

2) Pembalasan “bersambut”, (dialektis)

Teori ini dikemukakan oleh HEGEL, yang mengatakan bahwa hukum


adalah perwujudan dan kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah
merupakan tantangan kepada hukum dan keadilan. Karena ahli filsafat ini
mengatakan untuk mempertahankan hukum yang merupakan perwujudan
dari kemerdekaan dan keadilan, kejahatan-kejahatan secara mutlak harus
dilenyapkan dengan memberikan “ketidakadilan” (pidana) kepada penjahat.

3) Pembalasan demi “keindahan” atau kepuasan.

Teori ini dikemukakan oleh HERBART, yang mengatakan bahwa


adalah merupakan tuntuta mutlak dari perasaan ketidakpuasan masyarakat,
sebagai akibat dari kejahatan, untuk memidana penjahat, agar
ketidakpuasan masyarakat tertimbangi atau rasa keindahan masyarakat
terpulihkan kembali.

4) Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan.

Teori ini dikemukakan oleh STAHL (termasuk juga GEWIN dan


THOMAS AQUINO) yang mengatakan, bahwa kejahatan adalah merupakan
pelanggaran terhadap prikeadilan Tuhan dan harus ditiadakan. Karenanya
mutlak harus diberikan penderitaan kepada penjahat, demi terpeliharanya
prikeadilan Tuhan. Cara mempertahankan prikeadilan Tuhan ialah melalui
kekuasaan yang diberikan oleh Tuhan kepada Penguasa negara.

5) Pembalasan sebagai kehendak manusia.

Para sarjana dari mashab hukum alam (JEAN JACQUES ROUSSEAU,


HUGO DE GROOT atau GROTIUS, BECCARIA dll) yang memandang
negara sebagai hasil kehendak manusia, mendasarkan pemidanaan juga
sebagai perwujudan dari kehendak manusia. Menurut ajaran ini adalah
merupakan tuntutan alam bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan, dia
akan menerima sesuatu yang jahat. Menurut ajaran ini dalam fiksi
pembentukan negara, warga-warga negara telah menyerahkan sebagian
hak-haknya kepada negara, untuk mana ia memperoleh perlindungan atas
kepentingan hukumnya sebagai imbalannya. Jadi jika kepentingan hukum ini
terganggunya karena suatu kejahatan, maka untuk menjamin perlindungan
hukum kepada penjahat mutlak harus diberikan pembalasan berupa pidana.

Jelas kiranya, baik dari empat teori tersebut duluan, yang pada
umumnya dikemukakan oleh para sarjana di Jerman, maupun dari teori
tersebut terakhir pada pokoknya mengutarakan beberapa dasar pemidanaan
yang merupakan tuntutan mutlak, dan yang dalam perwujudannya
merupakan pembalasan terhadap penjahat.

b. Teori Tujuan (Teori Relatif, teori perbaikan).


20

Teori-teori yang termasuk golongan teori tujuan membenarkan pemidanaan


berdasarkan atau tergantung kepada tujuan pemidanaan yaitu: untuk
perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan. Perbedaan dari
beberapa teori yang termasuk teori tujuan, terletak pada caranya untuk mencapai
tujuan dan penilaian terhadap kegunaan pidana. Berbeda dengan teori
pembalasan, maka teori tujuan mempersoalkan akibat-akibat dari pemidanaan
kepada penjahat atau kepada kepentingan masyarakat. Dipandang dari tujuan
pemidanaan, maka teori ini dapat dibagi sebagai berikut:

1) Pencegahan terjadinya suatu kejahatan dengan mengadakan ancaman


pidana yang cukup berat untuk menakut-nakuti calon-calon penjahat.
Seseorang calon penjahat apabila mengetahui adanya ancaman pidana
yang cukup berat diharapkan akan mengurungkan niatnya. Cara ini ditujukan
secara umum. PAUL ANSELM van FEUERBACH yang mengemukakan teori
ini dengan nama yang cukup terkenal sebagai “ VOM PSYCHOLOGISCHEN
ZWANG”, mengakui juga bahwa hanya dengan mengadakan ancaman
pidana saja tidak memadai, melainkan diperlukan penjatuhan pidana kepada
si penjahat.

2) Perbaikan atau “pendidikan” bagi penjahat.

Kepada penjahat diberikan “pendidikan” berupa pidana, agar ia kelak


dapat kembali ke lingkungan masyarakat dalam keadaan mental yang lebih
baik dan berguna. Cara perbaikan penjahat ada tiga macam yaitu :
perbaikan intelektual, perbaikan moral dan perbaikan yuridis, (GROLMAN,
Van KRAUSE, RODER).

3) Menyingkirkan penjahat dari lingkungan/pergaulan masyarakat.

Kepada penjahat yang sudah kebal dengan ancaman pidana yang


berupa usaha menakut-nakuti, supaya dijatuhi perampasan kemerdekaan
yang cukup lama, bahkan jika perlu dengan pidana mati. Denagan demikian
ia tersingkirkan dari pergaulan masyarakat ( FEERI, GARAFOLO dll).

4) Menjamin ketertiban hukum.

Dengan cara mengadakan norma-norma yang menjamin ketertiban


hukum. Kepada pelanggar norma tersebut, negara menjatuhkan pidana.
Ancaman pidana akan bekerja sebagai peringatan dan mempertakutkan.
Jadi diletakkan pada bekerjanya pidana sebagai pencegahan. (FRANS VON
LITZ, Van HAMEL, SIMON dll).

c. Teori Gabungan.

Kemudian timbul golongan ketiga yang mendasarkan pemidanaan kepada


perpaduan teori pembalasan dengan teori tujuan, yang disebut sebagai teori
gabungan. Penganutnya antara lain adalah BINDING. Dikatakan teori
pembalasan dan teori tujuan masing-masing menpunyai kelemahan-kelemahan,
untuk mana dikemukakan keberatan-keberatannya sebagai berikut :

a. Terhadap teori pembalasan :


21

1) Sukar menentukan berat/ringannya pidana.


2) Diragukan adanya hak negara untuk menjatuhkan pidana sebagai
pembalasan.
3) Hukuman pidana sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi
masyarakat.

b. Terhadap teori tujuan :

1) Pidana hanya ditujukan untuk mencegah kejahatan, sehingga


dijatuhkan pidana yang berat baik oleh teori pencegahan umum
maupun pencegahan khusus.
2) Jika ternyata kejahatan itu ringan, maka penjatuhan pidana yang
berat, tidak akan memenuhi rasa keadilan.
3) Bukan hanya masyarakat yang harus diberi kepuasan, tetapi juga
kepada penjahat itu sendiri.

Maka oleh karena itu, tidak saja hanya mempertimbangkan masa lalu
yang terdapat dalam teori pembalasan, tetapi juga harus bersamaan
mempertimbangkan masa datanf seperti yang dimaksudkan pada teori
tujuan. Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa
kepuasan, baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu sendiri disamping
kepada masyarakat. (harus ada keseimbangan antara pidana yang
dijatuhkan dengan kejahatan yang telah dilakukan.

BAB V
PENAFSIRAN

18. Perumusan Undang-undang harus sederhana tetapi jelas.

Merumuskan bunyi undang-undang adalah suatu pekerjaan berat dan sulit. Yang
harus dirumuskan bukan suatu kejadian yang konkrit, Melainkan sedapat mungkin
perumusan itu harus sedemikian rupa sehingga meliputi segalanya dan dalam
keadaan, agar tiada suatu perbuatan atau kesempatan yang tersisa untuk dapat lolos.
Namun perumusa tersebut harus sederhana akan tetapi jelas dan terang.

Seperti diketahui, hakim pada khususnya, penegak hukum pada umumnya terikat
pada ketentuan perundang-undangan, Hakim mengucapkan keadilan melalui
putusannya harus berdasarkan perundang-undangan dan keyakinannya sendiri.
Namun disamping hakim harus memutus suatu perkara yang undang-undangnya
kurang jelas, atau harus mempertimbangkan hukum yang berlaku dimasyarakat,
adakalanya diperlukan untuk mempberikan interprestasi (penafsiran) kepada istilah-
istilah tertentu dalam perundang-undangan.

Bahasa undang-undang sering tidak sama dengan bahasa sehari-hari,


adakalanya bahasa undang-undang mempunyai pengertian lebih luas atau lebih
sempit. Bahkan dapat dirasakan agak menyimpang.

19. Penafsiran istilah-istilah.


22

a. Urut-urutan menerapkan penafsiran.

Dalam praktek penggunaan undang-undang sehari-hari, tidak selalu kita


temukan pengertian dari suatu istilah yang terdapat dalam suatu perumusan
undang-undang yang sedang kita hadapi. Tetapi bagaimanapun juga harus
ditemukan tafsir atau pengertiannya. Untuk itu sebagai pedoman untuk mencari
dan menemukan pengertian tersebut, harus dimulai dengan penerapan car a
penafsiran yang lebih mengikat. Pertama-tama harus mencari dalam ketentuan
undang-undang, jika tidak ada mencari dengan PENJELASAN undang-undang
yang bersangkutan, apabila tidak ditemukan maka digunakan cara-cara
penafsiran menurut doktrin.

Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian sebagai
berikut:
1) Jika suatu istilah sudah jelas pengertiannya, maka pengertian tersebut
harus digunakan, bukan maksud dari istilah tersebut;

2) Jika suatu istilah tidak jelas pengertiannya, baru digunakan tafsirnya


(dengan mempergunakan salah satu dari penafsiran yang lebih relavan);

3) Akan tetapi jika dari beberapa cara penafsiran digunakan, ternyata ada
salah satu yang memberi arti dari istilah tersebut, maka yang memberikan
arti tersebut yang digunakan, bukan yang memberikan maksudnya;

4) Yang tidak kurang pentingnya untuk diperhatikan adalah mengenai


bahasa Undang-undang yang secara formal berlaku.
b. Penafsiran (interprestasi) menurut doktrin dan analogi.

Telah diuraikan diatas bahwa urut-urutan menggunakan penafsiran adalah


sebagai berikut:

1) Penafsiran secara otentik, yaitu mencari pada pasal-pasal undang-


undang (pasal 360 KUHP);

2) Penafsiran menurut penjelasan undang-undang (memorie van


toelichting);

3) Penafsiran sesuai dengan jurisprodensi, yaitu terutama mencari dalam


putusan-putusan kasasi MA, fatwa MA, surat-surat MA, putusan-putusan
banding atau putusan pengadilan/mahkamah pada tingkat pertama yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah lazim diikuti oleh pradilan
lainnya.

4) Penafsiran menurut doktrin (IPHP) ada sembilan yaitu sebagai berikut:

a) Penafsiran menurut tata bahasa (grammaticale interpretatie)


adalah penafsiran menurut tata bahasa yang memberikan arti kepada
suatu istilah atau perkataan sesuai dengan tata bahasa.
23

b) Penafsiran secara sistematis adalah apabila suatu istilah atau


perkataan dicantumkan dua kali dalam satu pasal atau pada suatu
undang-undang, maka pengertiannya harus sama pula.

c) Penafsiran mempertengtangkan adalah menemukan kebalikan


dari pengertian suatu istilah yang sedang dihadapi.

d) Penafsiran memperluas adalah memperluas pengertian dari suatu


istilah berbeda dengan pengertiannya yang digunakan sehari-hari.
Mengenai penggunaan cara penafsiran ini, sering terjadi perbedaana
pendapat diantara para sarjana karena sukar memberi batasan bagi
perluasan tersebut, hal ini menjadi perhatian karena analogi juga
dikatakan sebagai perluasan cakupan ketentuan suatu peraturan, pada
hal pada umumnya analogi tridak boleh dipergunakan dalam hukum
pidana.

e) Penafsiran mempersempit adalah mempersempit pengertian dari


suatu istilah.

f) Penafsiran historis adalah dengan mempelajari sejarah hukum


yang mempelajari pembuatan undang-undang yang bersangkutan akan
ditemukan pengertian dari suatu istilah yang sedang dihadapi.

g) Penafsiran teleogis adalah mencari tujuan atau maksud dari suatu


peraturan perundang-undangan untuk mempercepat proses
penyelesaian suatu perkara khusus.

h) Penafsiran logis adalah mencari pengertian dari suatu istilah atau


ketentuan berdasarkan hal-hal yang masuk akal. Cara ini tidak banyak
dipergunakan.

i) Analogi adalah memperluas cakupan atau pengertian dari


ketentuan undang-undang.

BAGIAN II
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

BAB IV
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU

20. Asas-asas yang terkandung dalam Pasal 1 KUHP.

Pasal 1 KUHP (Asas legalitas- hukum tertulis)

(1) Tiada suatu tindakan dapat dipidana kecuali atas ketentuan-ketentuan


pidana dalam undang-undang yang telah ada terlebih dahulu.
(2) Dalam hal terjadi perubahan perundang-undangan setelah tindakan tersebut
dilakukan, dipakailah ketentuan-ketentuan yang paling menguntungkan bagi
tersangka.
24

Dapat dipidananya suatu tindakan (tertentu) sudah harus terlebih dahulu


ditentukan sebelum seseorang melakukannya. Walaupun dari perumusan
tersebut seakan-akan sesuatu tindakanlah yang dapat dipidana, tetapi
sebenarnya yang dimaksud bukan “tindakan” yang dapat dipidana, melainkan
petindaknya. Perumusan ini sesuai dengan “gaya bahasa aslinya” atau
merupakan terjemahan dari cara atau jalan fikiran pembuat undang-undang di
negeri Belanda.

Asas-asas legalitas hukum pidana yang terkandung dalam pasal 1 ayat (1)
(berlakunya tidak mutlak) adalah sebagai berikut:

a. Bahwa hukum pidana bersumber atau berdasarkan peraturan-peraturan


tertulis (undang-undang dalam arti luas).
b. Ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut. Asas kedua ini adalah
merupakan makna atau amanat dari ketentuan “terlebih dahulu” (asas
indobioprorio).
c. Dilarang menggunakan analogi, dalam penerapan hukum pidana. Asas ini
adalah merupakan makna dari “peraturan tertulis”.

21. Asas-asas yang terkandung dalam pasal 1 KUHP, bukan merupakan asas
konstitusi.

Apakah ketiga asas tersebut merupakan asas-asas hukum pidana secara murni.
Dalam IPHP Belanda, jelas bahwa asas-asas tersebut bukan merupakan pengulangan
asas dari konstitusi (UUD), tetapi pada umumnya dikatakan sebagai pengulangan asas
yang telah ada dalam ketentuan umum mengenai perundang-undangan. Asas-asas
yang tersebut dalam pasal 1 KUHP secara formal bukan merupakan asas
konstitusional. Namun secara material dapat disimpulkan sebagai tersirat berdasarkan
asas konstitusional dalam pengertian “setidak-tidaknya dalam penerapannya harus
dipandang sebagai berdasar dan bersumber dari UUD 1945.

22. Sejarah ringkas dari asas legalitas.

Uraian-uraian mengenal sejarah pasal 1 KUHP dalam buku-buku, tulisan para


sarjana terkenal pada umumnya dimulai pada zaman dimana hukum pidana belum
tertulis, ketika mana kesewenang-wenangan penguasa (raja, hakim) semakin tidak
tertahankan oleh rakyat lagi. Pada zaman hukum pidana belum tertulis, sementara
kekuasaan raja bersifat mutlak, dan sumber hukum pidana adalah “hukum adat” atau
kebiasaan-kebiasaan yang berkembang kearah “keyakinan atau keadilan pribadi” sang
kuasa. Ketidakpastian hukum semakin meluas, pegangan bagi rakyat tidak ada.
Rakyat bergolak menuntut perlakuan yang adil, menuntut diberikannya oleh penguasa
hak-hak perlindungan hukum dan adanya jaminan atas hak-hak tersebut.

Atas anjuran LAFAYETTE yang mula-mula timbul di Amerika ajarannya tentang


HAM, kemudian faham itu berpindah ke Inggris sebagaimana diajarkan oleh JONH
LOCKE, selanjutnya faham tersebut dikenal pula di Prancis sebagaimana diajarkan
oleh MONTESQUIEU (1688-1755) dengan ajaran mengenai “pemisahan kekuasaan
negara menjadi tiga jenis” (trias politica) dengan maksud untuk melindungi
hak-hak/kepentingan individu terhadap kesewenang-wenangan.
25

JEAN JACQUES ROUSSEAU (1712-1778) dengan ajarannya mengenai “fiksi


perjanjian masyarakat” dalam tulisannya yang berjudul Du CONTRAT SOCIAL (1762)
mengetengahkan bahwa pemerintahan adalah suatu badan, yang terjadi atas dasar
kesepakatan antara warga-warga dan penguasa dalam hubungannya masing-masing,
yang ditugaskan untuk melaksanakan undang-undang dan menjamin kemerdekaan
politik dan perdata. Sementara itu BECCARIA di Italia (1764) menganjurkan pula agar
hukum pidana harus bersumber pada umumnya pada hukum tertulis, supaya HAM
dapat dijamin dan dapat mengetahui tindakan-tindakan terlarang dan yang diharuskan.

Salah satu penyebab dari revolusi Perancis adalah adanya hasrat masyarakat
untuk mendapatkan kepastian hukum, rakyat tertinkdas menghendaki adanya
kepastian hukum. Tahun 1789 asas Nullum Delictum sudah dicantumkan dalam
Kosntitusi Prancis. Kemudian dicantumkan pula dalam Code Penalnya. Negeri
Belanda yang pernah mengalami penjajahan Prancis telah juga mencantumkan asas
tersebut dalam Wvs melalui Code Penal yang dibawa Prancis. Pada tahun 1915 (mulai
berlaku tahun 1918) asas tersebut telah pula dicantumkan dalam KUHP untuk
Indonesia yang merupakan jajahan Belanda pada ketika itu. Akhirnya ketentuan
tersebut berlaku pula setelah Indonesia merdeka.

23. Asas legalitas.

Asas pertama dari pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “ Hukum pidana” harus
bersumber pada undang-undang”, disebut juga asas legalitas. Artinya pemidanaan
harus berdasarkan undang-undang (lege). Yang dimaksud dengan undang-undang
disini adalah dalam pengertian luas, yaitu bukan saja yang secara tertulis telah
dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah dengan DPR,
akan tetapi juga produk perundang-undangan lainnya seperti peraturan/instruksi
Menteri, Gubernur/Kepala Daerah dan lain sebagainya.

Pidana adalah alat pamungkas (ultimum remedium) untuk menegakkan hukum.


Ini berarti bahwa penentuan pidana dalam undang-undang untuk suatu tindakan
tertentu harus sedemikian rupa perlunya, karena alat penegak hukum (sanksi) lainnya
sdah tidak serasi lagi. Suatu tindakan dapat merupakan pelanggaran terhadap norma
hukum perdata, hukum tata negara, hukum administrasi, hukum agama, hukum adat
atau hukum kebiasaan. Sampai batas-batas tertentu tindakan yang merupakan
pelanggaran norma hukum tersebut, tidak perlu diancam dengan pidana dan tidak perlu
diadakan ketentuan pidana terhadapnya. Tetapi jika melampaui batas tertentu
tersebut, yaitu jika sudah dirasakan lebih merugikan kepentingan umum, maka alat
pamungkas yaitu pidana sudah perlu diadakan, demi keseimbangan dan sekaligus
merupakan pencegahan. Jika ketentuan pidana terhadap tindakan tersebut diadakan,
maka menjadil ia sebagai tindak pidana.

24. Asas tidak berlaku surut.

Asas kedua adalah “ Ketentuan pidana dalam undang-undang tidak boleh berlaku
surut”, asas ini adalah merupakan asas undang-undang hukum pada umumnya dan
juga merupakan asas hukum pidana sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 1
KUHP. Pasal 2 AB tidak menentukan pengecualian terhadap asas ini. Hal ini
dimaksudkan untuk menegakkan kepastian hukum bagi seluruh justisiabel. Apakah
undang-undang hukum pidana menganut asas ini secara konsekwen.
26

Semula dianut bahwa setiap orang dianggap (suatu fiksi) mengetahui isi undang-
undang. Tetapi kemudian anggapan ini ditinggalkan dan diganti dengan suatu
pendapat bahwa: “setiap orang terikat pada suatu undang-undang sejak dinyatakan
berlaku” pendapat ini telah ditegaskan alam putusan MA pada tahun 1955. Ini berarti
bahwa setiap orang “tidak perlu merasa terikat” kepada undang-undang, untuk
melakukan suatu tindakan tertentu yang belum/tidak diancam dengan pidana,
walaupun tidak ditentukan sebagai tindak pidana. Dengan perkataan lain seandainya
ia melakukan suatu tindakan tertentu yang baru kemudian hari terhadap tindakan yang
serupa diancam dengan pidana, petindak tidak dapat dipidana atas dasar ketentuan
yang baru itu. Jika konsekwen asas “tidak berlaku surut” dianut dalam hal
sebaliknyapun seharusnya berlaku hal yang sama.

25. Asas larangan menggunakan analogi.

Asas ketiga, “Dilarang menggunakan analogi” dalam penerapan hukum pidana.


Menggunakan analogi dalam hukum pidana berarti : menganggap “sesuatu” sebagai
termasuk dalam pengertian dari suatu istilah/ketentuan undang-undang hukum pidana,
karena “sesuatu” itu banyak sekali kemiripannya atau kesamaannya dengan
istilah/ketentuan tersebut. Dengan perkataan lain analogi terjadi, bilamana
menganggap bahwa sesuatu peraturan hukum tertentu juga meliputi suatu hal yang
banyak kemiripannya dengan yang telah diatur, padahal semulanya tidak demikian.

Contoh terkenal mengenai penerapan analogi adalah tentang pencurian listrik.


Dipersoalkan apakah aliran listrik dianggap sebagai barang, dan apakah telah terjadi
tindakan “mengambil” HR memutuskan bahwa alairan listrik termasuk dalam pengertian
barang dan dengan demikian telah terjadi “pengambilan” sesuai istilah yang digunakan
pasal 362 KUHP, walaupun dalam kenyataannya yang terjadi adalah penyalurannya.
Pertimbangan HR (Hoge Raad) adalah, bahwa maksud pasal 362 KUHP adalah untuk
melindungi harta orang lain. Tanpa merumuskan apa yang dimaksud dengan barang
(arrest HR tanggal 23 Mei 1921 W. 10728).

26. Pengecualian terhadap asas tidak berlaku surut (pasal 1 ayat 2 KUHP).

Telah disinggung diatas apakah asa “tidak berlaku surut” berlaku mutlak atau
tidak. Tanpa memasuki pembahasan ayat-ayat pasal 1 KUHP, sebenarnya pertanyaan
tersebut sudah dapat dijawab, dengan menggunakan suatu adagium yang berbunyi:
“Tidak ada suatu peraturan yang tanpa kekecualian”. Ketentuan dalam ayat 2 ayat 1
KUHP dengan tegas merupakan pengecualian terhadap asas “tidak berlaku surut”

27. Perubahan perundang-undangan dan hubungannya dengan hukum adat dan


kebiasaan.

Penggunaan istilah perubahan mencakup pengertian sebagai perubahan


sebagian atau keseluruhannya termasuk penghapusan suatu perundang-undangan,
apa ayang dimaksudkan dengan perundang-undangan disini, terdapat dua pendapat.
Pendapat pertama menafsirkannya secara sempit, yaitu dengan menggunakan cara
penafsiran sistematis, istilah perundang-undangan dalam ayat kedua ini dihubungkan
dengan istilah undang-undang atau perundangan dalam ayat pertama pasal 1 KUHP.
Sehingga perundang-undangan disama artikan dengan undang-undang dibidang
hukum pidana saja. Pendapat kedua menafsirkan istilah perundang-undangan secara
luas, POMPE antara lain mengatakan bahwa istilah perundang-undangan tidak harus
diartikan sebagai perundang-undangan pidana.
27

Sehubungan dengan uraian diatas, apakah perubahan “hukum pidana adat” yang
pada umumnya tidak tertulis, juga dapat dianggap sebagai termasuk dalam pengertian
perubahan perundang-undangan yang berlaku menyeluruh, atau dengan perkataan lain
apakah “hukum pidana adat” demikian pula kebiasaan-kebiasaan dapat dianggap
sebagai undang-undang dalam arti unifikasi? Kiranya sepanjang mengenai materi
hukum pidana, dalam hal ini KUHP dan aturan hukum pidana lainnya, yang sudah
berlaku secara menyeluruh (unifikasi) bagi penduduk indonesia pada umumnya,
“hukum pidana addat” dan kebiasaan-kebiasaan walaupun hanya berlaku setempat,
tidak kurang nilainya untuk dipertimbangkan sebagai hal-hal/fakta yang turut
mempengaruhi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya.

28. Temporaire ordonatie.

Para sarjana pada umumnya berpendapat bahwa suatu peraturan “baru” yang
bersifat sementara” tidak termasuk dalam pengertian perubahan perundang-undangan,
yang dengan demikian jika berlakunya peraturn yang bersifat sementara itu dihentikan,
juga tidak telah terjadi perubahan perundang-undangan, yang lantas dapat memakai
peraturan yang lebih menguntungkan tersangka.
Seperti diketahui, perubahan perundang-undangan dikatakan terjadi, bilamana
keadaan hukum masyarakat yang sejalan dengan politik hukum pemerintah berubah.
Dalam keadaan seperti terurai diatas, tidak telah terjadi perubahan kesadaran hukum
masyarakat, bahkan peraturan-peraturan (pokok)nyapun tidak dicabut, Isinya yang
tidak diberlakukan dalam waktu tertentu, bukan undang-undangnya.

29. Ketentuan yang paling menguntugkan bagi tersangka.

Jika perubahan ketentuan ini mengenai pengurangan atau penurunan jenis


bahkan penghapusan pidana, mudah dipahami bahwa yang lebih menguntungkan
ditinjau dari sudut tersangka, adalah ketentuan-ketentuan yang mengenai pengurangan
tersebut. Tetapi ketentuan-ketentuan yang dapat dirubah bukan hanya pidananya saja,
melainkan dapat juga mengenai normanya, bahkan norma dari undang-undang hukum
lainnya yang ada hubungannya dengan undang-undang hukum pidana. Selain
daripada itu, yang diubah itu dapat juga berupa suatu ketentuan umum seperti
ketentuan-ketentuan mengenai berlakunya hukum pidana menurut tempat atau waktu,
percobaan, penyertaan, atau gabungan dari ketentuan-ketentuan tersebut. Dalam hal
perubahan tersebut berupa gabungan, tidak selalu mudah untuk menentukan yang
lebih menguntungkan tersangka.

30. Mutlak/tidaknya penerapan asas-asas pasal 1 KUHP.

Apakah pada masa kini, masa yang berbeda dengan zaman prae Revolusi
Perancis, ketika penindasan individu merajalela, masih tetap harus dipertahankan
makna pasal 1 KUHP, yang pada umumnya dikatakan sebagai “penjamin perlindungan
individu” sesuai dengan makna Pancasila, perlindungan huukum tidak hanya bertitik
berat kepada individu, melainkan harus ada keseimbangan antara kepentingan individu
dan masyarakat. Sebenarnya dalam hal tersebut terakhir ini, kepentingan individu
sekaligus telah tercakup didalamnya. Dalam mengadakan keseimbangan antara
individu dan masyarakat, sudah seharusnya diperhatikan kesadaran hukum
masyarakat dan perubahan-perubahan keadaan dalam hubungannya dengan perasaan
keadilan masyarakat.
28

Asas pertama, menekankan “harus bersumber kepada ketentuan tertulis”


(perundang-undangan). Pada hal hukum adat di Indonesia masih merupakan hukum
yang pada umumnya tidak tertulis, akan tetapi masih hidup dalam masyarakat
setempat.

Asas kedua sebagai akibat logis dari asas pertama, dengan sendirinya juga tidak
bersifat mutlak lagi. Ayat kedua pasal 1 KUHP lebih menguatkan lagi bahwa asas “
tidak berlaku surut” itu tidak mutlak, dengan ditentukannya dapat berlaku surut suatu
ketentuan pidana yang menguntungkan bagi tersangka. Ketentuan ini berbeda dengan
yang diatur dalam pasal 2 AB, dimana ketentuan mengenai “berlaku surutnya suatu
peraturan” tidak diatur.

Mengenai asas ketiga yaitu “Larangan menggunakan analogi”, kiranya sudah


cukup panjang lebar, selain daripada ‘induknya” sendiri yaitu asas pertama sudah tidak
bersifat lagi, kiranya sebagai penyimpulan dan uraian-uraian tersebut maka larangan
penggunaan analogipun tidak lagi bersifat mutlak.

Sudah barang tentu dalam rangka penerapan “ketidak mutlakan” itu sudah
seyogyanya apabila hal itu hanya diterapkan dalam hal-hal yang sangat perlu saja,
agar jangan sampai tujuan asas-asas pasal 1 KUHP yaitu untuk menciptakan suasana
“kepastian hukum dalam masyarakat” tidak menjadi goyah. Dengan perkataan lain
legalitas dalam rangka penerapan hukum pidana masih tetap merupakan titik berat,
akan tetapi demi penegakkan rasa kadilan terutama dalam hubungannya dengan
hukum adat (yang tidak tertulis) yang masih hidup dan berakar dalam masyarakat
tertentu/setempat dalam hal-hal yang perlu, dimungkinkan adanya penyimpangan-
penyimpangan.

BAB V
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA DIHUBUNGKAN
DENGAN TEMPAT DAN ORANG

31. Uraian umum untuk pasal 2 sampai dengan 8 KUHP.

Sesuai dengan sistimatika KUHP, kini akan dibahas pasal 2 sampai dengan pasal
8 KUHP, mengikuti sistimatika KUHP, dimaksudkan untuk memudahkan memahami
hukum pidana yang berlaku sekarang. Bukanlah juga merupakan pendirian dari Bpk.
Sianturi, S.H., agar supaya sistimatika ini dianuti dalam menghadapi pembuatan
undang-undang hukum pidana nasional baru.

Prof MOELJATNO, pada seminar hukum nasional 1963, yang sejalan dengan
pendapat dari POMPE, yang mengatakan bahwa asas-asas yang terdapat pada pasal
2 sampai dengan 8 KUHP, dianggap sebagai batas perlintasan antara hukum pidana
dan hukum acara pidana. Dalam hal ini “berlakunya hukum pidana” atau batas-batas
berlakunya hukum pidana dalam undang-undang” jika dalam pasal 1 KUHP berlakunya
dihubungkan degan waktu, maka pasal 2 sampai dengan 8 KUHP, dihubungkan
dengan tempat dan orang/pelakunya. Dengan perkataan lain dimana dan kepada
siapakah undang-undang hukum pidana Indonesia berlaku.

Menurut sejarah hukum, yang pertama sekali dikenal mengenai pengkaitan


berlakunya hukum pidana adalah kepada orang yang disebut dengan “asas
29

personalitas”. Selanjutnya berkembang berkaitan dengan wilayah, yang disebut


dengan “asas teritorialitas”. Dalam perkembangan selanjutnya, dikaitkan pula
dengan “kepentingan negara/masyarakat yang harus dilindungi” yang disebut sebagai
“asas perlindungan”. Akhirnya karena hubungan antar negara sudah semakin dekat,
beberapa hak tertentu dianggap sebagai kepentingan bersama yang perlu dilindungi
secara bersama. Maka batas negara, orang dan kepentingan negara sendiri seakan-
akan ditiadakan. Berkaitan dengan hal-hal yang perlu dilindungi secara bersama itu
disebut sebagai “asas universalitas”. Suhubungan dengan asas universalitas, ada
anggapan seakan-akan ada hukum pidana yang berlaku secara universal untuk semua
negara-negara. Ternyata dalam ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP, tidak
benar demikian keadaannya. Hanya dalam dua hal, undang-undang hukum pidana
asing, harus mendapat perhatian petugas hukum/hakim kita yaitu:

a. Tentang larangan penuntutan dua kali perkara yang sama (non bis in idem),
sebagaimana diatur dalam pasal 76 KUHP. Hakim Indonesia harus
memperhitungkan “putusan” yang telah mempunyai kekuatan tetap dari hakim
asing tersebut. Artinya hukum pidana asing yang telah diberlakukan kepada
seseorang, yang jika orang tersebut berada di Indonesia, berlaku pula hukum
pidana Indonesia terhadapnya, maka putusan hakim asing kepada seseorang
tersebut, harus diperhitungkan supaya tidak terjadi penuntutan untuk kedua
kalinya.

b. Tentang penuntutan yang dapat dilakukan terhadap warga negara


Indonesia, termasuk “warga negara baru” yang melakukan suatu tindakan diluar
negeri yang dapat dipidana menurut undang-undang hukum pidana asing dan
tindakan tersebut merupakan kejahatan di Indonesia, pasal 5 KUHP. Disini
diisyaratkan bahwa tindakan tersebut harus merupakan tindak pidana menurut
hukum pidana asing itu.

Dari rumusan-rumusan yang digunakan dalam pasal 2 sampai dengan 8 KUHP,


sebagaimana akan diuraikan sebagaiberikut, ternyata selalu ada kaitannya dengan
tempat dan orang. Berarti asas-asas yang diutarakan diatas, yaitu asas teritorialitas,
asas personalitas, asas perlindungan dan asas universalitas, tidak ada yang murni
dirumuskan dalam suatu pasal. Bahkan menurut POMPE, setelah beliau mengupas
pasal-pasal tersebut, ukuran yang dapat dipertahankan dalam pasal 2 sampai dengan
8 KUHP tersebut adalah asas perlindungan dalam arti luas.

32. Asas Territorialitas.

a. Penonjolan asas territorialitas pada pasal 2 KUHP.

Asas territorialitas adalah tentang wilayah atau territoir dalam hubungannya


dengan berlakunya undang-undang hukum pidana. Dengan perkataan lain yang
diutamakan ialah batas-batas territoir dimana undang-undang hukum pidana
tersebut berlaku. Tetapi bilamana dihubungkan dengan petindaknya, dalam hal
ini yang menjadi permasalahan adalah batas-batas wilayah tempat petindak
melakukan tindakannya, atau batas-batas wilayah dimana tindak pidana terjadi.

Pasal 2 KUHP berbunyi: “ Ketentuan pidana dalam undang-undang


Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di
wilayah Indonesia”. Jika rumusan ini dihubungkan dengan uraian diatas, maka
akan dioperoleh data sebagai berikut:
30

1) Pertama : undang-undang Indonesia berlaku di wilayah Indonesia;


2) Kedua : orang/pelaku berada di Indonesia; dan
3) Ketiga : suatu tindak pidana terjadi di wilayah Indonesia.

b. Wilayah Indonesia.

Wilayah suatu negara pada umumnya terdiri dari 3 macam yaitu daratan,
lautan dan udara, setiap wilayah negara mempunyai perbatasan tertentu, baik
terhadap negara (2) tetangga, maupun terhadap lautan lepas dan mungkin juga
terhadap “ daerah tak bertuan”. Batas-batas daratan wilayah suatu negara pada
umumnya ditentukan dengan perjanjian-perjanjian perbatasan antara negara-
negara yang berbatasan.

Semula batas-batas lautan wilayah Indonesia adalah selebar 3 (tiga) mil laut
kearah lautan lepas diukur dari pantai/air rendah (waktu pasang surut) sesuai
dengan ketentuan dalam “territoriale Zee en Marietime Kringen Ordinantie 1939
(STb. 1939/442) sesuai pula dengan perjanjian internasional pada waktu
Ordonansi 1939 tersebut dibuat. Semula tahun 1960 terjadi perkembangan
undang-undang mengenai batas-batas perairan Indonesia dimana lautan- wilayah
Indonesia tercakup. Pasal 1 UU Nomor. 4 Prp tahun 1960 tanggal 18 Pebruari
1960 menentukan :

1) Perairan Indonesia ialah laut wilayah Indonesia beserta perairan


pedalaman Indonesia.
2) Laut wilayah Indonesia ialah lajur laut selebar 12 mil laut yang garis
luarnya diukur tegak lurus atas garis dasar atau titik pada garis dasar yang
terdiri dari garis-garis lurus, yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis
rendah dari pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang terluar dalam wilayah
Indonesia, dengan ketentuan bahwa jika pada selat yang lebarnya tidak
melebihi 24 mil laut dan Negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya
Negara tepi, maka garis laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.
3) Perairan pedalaman Indonesia ialah semua perairan yang terletak pada
sisi dalam garis dasar sebagai yang dimaksud pada ayat (2).
4) Mil laut ialah, 1/60 erajat lintang.

Alasan-alasan untuk memperluas lautan territorial Indonesia dan menambah


dengan lautan pedalaman Indonesia tersebut sebagai tidak terpisahkan dari
daratan Indonesia dalam memori penjelasan undang-undang tersebut antara lain
sebagai berikut:

1) Indonesia merupakan gugusan pulau-pulau yang dari dahulu kala


merupakan kesatuan;
2) Demi pengawasan lautan tersebut dengan sebaik-baiknya;
3) Untuk kepentingan pertahanan negara (jika terjadi peperangan); dan
4) Untuk kepentingan perekonomian dan perlindungan mata pencaharian
rakyat nelayan dan sebagainya.
31

33. Asas Personalitas.

a. KUHP menganut asas personalitas terbatas.

Yang terpokok dalam asal personalitas adalah orang, person dalam hal ini
berlakunya hukum pidana dikaitkan dengan orangnya, tanpa mempersoalkan
dimana orang itu berada, yaitu didalam/diluar wilayah Indonesia. Pada dasarnya
orang yang dikaitkan itu adalah warga negara dari negara yang bersangkutan,
dalam hal ini warga negara Indonesia. Jika asas personalitas dianut secara
murni di Indonesia, yang dapat diartikan bahwa hukum pidana Indonesia berlaku
bagi setiap warga negara Indonesia dimanapun ia berada. Dalam KUHP
Indonesia asas personalitas digunakan dalam batas-batas tertentu. Yaitu pada
umumnya dalam hal yang berhubungan dengan :

1) Kesetiaan yang diharapkan dari seseorang warga negara terhadap


negara dan pemerintahnya.

2) Kesadaran dari seseorang warga negara untuk tidak melakukan suatu


tindak pidana diluar negeri dimana tindakan itu merupakan kejahatan ditanah
air.

3) Dan diperluas dengan pejabat-pejabat (pegawai negeri) yang pada


umumnya adalah warga negara yang disamping kesetiaannya sebagai
warga negara, juga diharapkan kesetiaannya kepada tugas/jabatan yang
dipercayakan kepadanya.

Ketentuan-ketentuan mengenai asas ini telah dibatasi, namun jika dikaji


ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal 5,6,7 dan 8 KUHP tidak murni
penggunaannya. Ini ternyata aantara lain dari ketentuan pada pasal 5 ayat (1) ke
2 yang mengkaitkan perundang-undangan asing; pada ketentuan pasal 7, bahwa
pejabat (pegawai negeri) Indonesia tidak selalu berkewarganegaraan Indonesia.
Namun demikian pada umumnya dalam ketentuan-ketentuan pasal-pasal yang
bersangkutan, masih jelas tampak penonjolan dari warga negara (person)
tersebut. Asas ini disebut juga sebagai asas nasional aktif, karena yang paling
banyak ditonjolkan adalah aktivitas dari warga negara nasional. Tolak pangkal
dari asas personalitas ialah, bahwa setiap negara yang berdaulat, wajib sejauh
mungkin mengatur sendiri warga negaranya.

b. Asas personalitas terbatas dalam pasal 5 dan 6 KUHP.

Pasal 5 KUHP berbunyi :

(1) Ketentuan pidana dalam undang-undang berlaku bagi warga negara


Indonesia yang diluar Indonesia melakukan:

Ke-1 Salah satu kejahatan, tersebut dalam Bab I dan II Buku kedua,
dan tersebut pasal-pasal : 160, 161, 240, 279, 450, dan 451;
(obyeknya adalah keamanan negara).

Ke-2 Salah satu tindakan yang menurut ketentuan pidana dalam


undang-undang Indonesia dipandang sebagai kejahatan, dan
32

menurut undang-undang negara dimana tindakan itu dilakukan,


diancam dengan pidana.

(2) Penuntutan perkara sebagai dimaksud pada ayat (1) ke 2 dapat juga
dilakukan bilamana tersangka menjadi warga negara Indonesia setelah
melakukan tindakan itu.

Pasal 6

Berlakunya pasal 5, ayat pertama, kedua dibatasi sedemikian rupa,


sehingga pidana mati tidak dapat dijatuhkan sehubungan dengan perkara
tersebut jika menurut undang-undang negara dimana tindakan itu telah
dilakukan, tidak diancam pidana mati.

Ditonjolkannnya asas personalitas dalam pasal 5 dan 6 KUHP, jelas


ditentukan secara tegas bahwa subyeknya adalah warga negara Indonesia.
Bukan seperti pasal-pasal yang mendahuluinya yang menyebutkan setiap
orang. Perlu dicatat, bahwa semua kejahatan yang disebutkan dalam pasal 5
ayat 1 ke- 1, kecuali tersebut pasal 450 dan 451, tidak saja dapat merupakan
subyek seseorang warga negara Indonesia, melainkan setiap orang di
wilayah Indonesia. Karenanya ditinjau dari sudut penerapan pasal-pasal
kejahatan tersebut, asas personalitas yang terkandung dalam pasal 5
tersebut adalah tidak murni.

c. Perluasan berlakunya asas personalitas bagi pejabat RI di luar negeri.

Pasal 7 KUHP berbunyi :

Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi pejabat


Indonesia, yang diluar Indonesia melakukan kejahatan-kejahatan tersebut
dalam bab XXVIII Buku Kedua.

Pasal ini telah memperluas berlakunya asas personalitas, yaitu bahwa


walaupun pejabat Indoensia itu pada umumnya adalah berwarganegaraan
Indoenesia, tetapi masih banyak yang berkewarganegaraan asing, terutama
di Kedutaan-kedutaan RI, Konsulat RI atau yang ditunjuk mewakili RI dalam
perserikatan-perserikatan Internasional. Dalam hal ini yang
berkewarganegaraan asing lebih diutamakan kepegawaiannya daripada
kewarganegaraannya.

d. Yang dimaksud dengan pejabat (pegawai negeri) Indonesia.

Siapa-siapa yang dimaksud dengan pejabat atau pegawai negeri Indonesia?


KUHP tidak memberikan suatu pengertian yang otentik. Pasal 92 KUHP hanya
memperluas pengertian dari pegawai negeri/pejabat tersebut. Untuk itu ilmu
pengetahuan hukum pidana memberikan jawaban yaitu, bahwa yang
dimaksudkan dengan pegawai negeri pada umumnya ialah: “ seseorang yang
diangkat oleh penguasa umum dan ditetapkan untuk melakukan suatu tugas
umum yang merupakan sebagian dari tugas negara atau badan-badan negara”.

Pengertian pegawai negeri sebagaimana diatur dalam undang-undang


nomor 8 tahun 1974, Lembaran Negara no. 55 1974 (sebagai pengganti dari
33

pasal 1 undang-undang pokok kepegawaian, undang-undang no 18 tahun 1961,


Lembaran Negara no 263 tahun 1961 yang telah dicabut ) yang berbunyi sebagai
berikut :

Pasal 1a :

Pegawai negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang


ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku diangkat oleh
pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau
diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 2 :

(1) Pegawai negeri terdiri dari :


a. Pegawai negeri sipil dan
b. Anggotan ABRI.

(2) Pegawai negeri sipil terdiri dari :


a. Pegawai negeri sipil pusat,
b. Pegawai negeri sipil daerah dan
c. Pegawai negeri sipil lainnya yang ditetapkan dengan Perpem.

e. Asas personalitas bagi militer.

Sehubungan dengan perluasan pengertian pegawai tersebut pasal 92 (3)


KUHP yang berbunyi: “ semua anggota Angkatan Bersenjata juga dianggap
sebagai (pegawai negeri)”, perlu diperhatikan bahwa bagi anggota ABRI, selain
ketentuan dalam pasal-pasal 7 KUHP jo Bab XXVIII Buku kedua (dan kejahatan-
kejahatan lainnya tersebut dalam pasal 4, 5 dan 8 yang dilakukan diluar negeri),
berlaku juga ketentuan-ketentuan pada pasal 4 KUHPM.

Pasal 4 KUHPM

Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia, selain daripada dalam


hal-hal yang ditentukan dalam KUHP, berlaku bagi seseorang militer;

Ke- 1 Yang dalam hubungan dinasnya dia berada diluar Indonesia, telah
melakukan suatu tindak pidana.

Ke- 2 Yang tidak dalam hubungan dinasnya dia berada diluar Indonesia,
telah melakukan suatu kejahatan yang ditentukan dalam Kitab
undang-undang (Hukum Pidana Militer) ini.

34. Asas perlindungan (asas nasional pasif/baca pasal 4 KUHP).

Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan ialah bahwa setiap negara yang
berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya atau kepentingan nasionalnya.
Dalam hal ini bukan kepentingan perorangan yang diutamakan, kepentingan-
kepentingan nasional yang ditentukan harus dilindungi adalah sebagai berikut :
34

a. Keselamatan kepala/wakil kepala negara RI; keutuhan dan keamanan


negara serta pemerintahan yang sah RI; keamanan negara terhadap
pemberontakan; keamanan penyerahan barang-barang Angkatan Perang RI pada
waktu perang, keamanan mastabat kepala negara RI dan lain sebagainya.
b. Keamanan idiologi negara Pancasila dan haluan negara.
c. Keamanan perekonomian negara RI.
d. Keamanan uang negara, nilai-nilai surat-surat berharga yang
dikeluarkan/disahkan oleh pemerintah RI.
e. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan dan lain
sebagainya.

Ketentuan pasal 4 KUHP pada umumnya mengatur tentang perlindugan terhadap


kepentingan nasional Indonesia, akan tetapi yang benar-benar hanya mengatur
perlindungan nasional Indonesia saja, adalah ketentuan-ketentuan tersebut dalam
angka ke-1, ke-2 sebagian yaitu perlindungan segel atau merk yang dikeluarkan oleh
pemerintah Indonesia, dan ke-3. Selebihnya disamping melindungi kepentingan
nasional, juga ,melindungi kepentingan negara-negara asing secara imbal balik.

Subyek petindak yang ditentukan dalam pasal 4 KUHP adalah setiap orang,
sedangkan locus delictinya ditentukan diluar Indonesia, karena siapa saja diluar negeri,
melakukan kejahatan seperti yang ditentukan dalam pasal 4 KUHP, kepada petindak
tersebut diberlakukan ketentuan pidana di Indonesia. Apabila telah terjadi tindak
pidana sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 4 KUHP tersebut, dan petindak tidak
datang ke Indoenesia (dalam rangka menyerahkan diri atau tidak), maka harus diteliti
apakah telah ada perjanjian ektradisi antara Indonesia dengan negara yang
bersangkutan dimana kejahatan tersebut telah terjadi. Jika misalnya sudah ada harus
diteliti mengenai siapa saja yang telah diperjanjikan. Didalam suatu perjanjian ektradisi
biasanya diperjanjikan bahwa :

a. Pelaku kejahatan politik tidak diperjanjikan penyerahannya;


b. Dapat menolak untuk menyerahkan warga negara sendiri;
c. Dapat menolak untuk menyerahkan seseorang petindak, apabila perkara
tersebut ditangani sendiri oleh negara dimana kejahatan tersebut terjadi;
d. Permintaan penyerahan dilakukan melalui jalan diplomatik secara tertulis,
yang ditujukan kepada pejabat tertentu dengan perjanjikan;
e. Ditentukan jenis/macam kejahatan yang dilakukan untuk mana petindaknya
dapat dimintakan penyerahannya. (undang-undang nomor 9 tahun 1974 tentang
pengesahan perjanjian antara pemerintah RI dan pemerintah malasyia mengenai
ekstradisi LN. No.63 tahun 1974, tanggal 26 desember 1974.

Dalam perjanjian tersebuttidak kurang dari 27 macam tindak pidana yang dapat
diserahkan seperti : pembunuhan berencana, pembunuhan, pemerkosaan, penculikan,
penganiayaan, perampasan kemerdekaan, korupsi, pemerasan, pemalsuan
uang/materai, penyelundupan, penunuan (arson), pelanunan (piracy), pemberontakan
dan lain sebagainya.

35. Asas Universalitas (alat pembayaran, pembajakan laut, pembajakan udara)

Semula tidak dirasakan akan adanya keperluan untuk mengadili seorang penjahat
yang bukan warga negara dan bukan penduduk dari suatu negara, kendati ia berada di
negara itu, jika kejahatan tersebut tidak merugikan kepentingan perseorangan atau
35

hukum dari negara yang bersangkutan, untuk melindungi kepentingan-kepentingan dari


masing negara-negara maka perlu diadakannya perjanjian-perjanjian.

Berdasarkan perjanjian-perjanjian internasional yang disepakati bahwa negara-


negara yang menyetujui perjanjian-perjanjian tersebut diharapkan agar supaya
menuangkan dalam perundang-undangan masing-masing.

36. Tempat dan waktu tindak pidana.

Sekalipun dalam undang-undang hukum pidana tidak ditentukan secara tegas


mengenai tempat kejadian suatu tindak pidana dan waktu terjadinya, namun tempat
dan waktu tersebut sangat penting, semakin penting lagi karena pasal 121 jo 143
KUHAP menekankan harus menyebut tempat dan waktu dalam surat dakwaan dengan
ancaman batal demi hukum. Jadi bukan hanya pengamatan tentang telah terjadinya
sesuatu tindak pidana saja yang harus diperhatikan, tetapi juga tentang tempat dan
waktu.

a. Tempat tindak pidana.

Kepentingan atau manfaat untuk megetahui tempat tindak pidana adalah


untuk menjawab pertanyaan: apakah sesuatu tindak pidana terjadi diwilayah
Indonesia atau diluar Indonesia (pasal 2 s/d 8 KUHP), dan pengadilan manakah
yang kompeten untuk mengadili sesuatu perkara. Selanjutnya persoalan tempat
tindak pidana penting juga sehubungan dengan perumusan KUHP seperti antara
lain: di muka umum ( pasal 156, 492 ), pekarangan tertutup ( pasal 167 ), ditempat
yang dilalui orang (pasal 495), diatas perahu atau perahu Indonesia, atau kapal
Indonesia dan lain sebagainya.

Pada umumnya tempat sesuatu tindak pidana ditempat dimana tindak


pidana itu telah dilakukan oleh petindaknya dan pada ketika itu pula telah
sempurna (voltoid) semua unsur-unsur dari tindak pidana tersebut. Tetapi suatu
tindakan dan akibatnya, tidak selalu bersamaan waktunya, sehingga menjadi
persoalan terjadinya tindak pidana. Didalam prakteknya biasanya persoalan ini
diselesaikan secara kasuistis (kejadian demi kejadian) sesuai dengan kebutuhan
akan menegakkan kebenaran dan keadilan, cara-cara yang lazim digunakan
untuk pemecahannya adalah mengikuti salah satu pola dari 4 macam ajaran
sebagai berikut:

1) Ajaran tindakan badaniah. Untuk menentukan tempat kejadian, pusat


perhatian adalah kepada tempat dimana petindak ketika melakukan suatu
tindak pidana, dan unsur-unsur tindak pidana pada ketika itu sudah
sempurna.

2) Ajaran tempat bekerjanya alat. Tempat kejadian adalah dimana alat


yang digunakan bekerja dan telah membuat sempurna (menimbulkan) suatu
tindak pidana.

3) Ajaran akibat dari tindakan. Tempat tindak pidana adalah ditempat


terjadinya suatu akibat, yang merupakan penyempurnaan dari tindak pidana
yang telah terjadi (M menembak N di Jakarta dalam keadaan terluka N
dibawa ke Bogor untuk dirawat, tetapi setelah beberapa hari kemudian N
meninggal di Bogor, tempat kejadian adalah di Bogor).
36

4) Ajaran Berbagi tempat tindak pidana. Menurut ajaran ini tempat tindak
pidana adalah gabungan dari ketiga-tiganya atau dua diantara ajaran-ajaran
tersebut diatas. Ajaran seperti ini besar faedahnya di suatu negara yang
luas dan sulit perhubungan/pengangkutan seperti di Indonesia, terutama
dibagian pedalaman. Penggunaannya sangat dibutuhkan terutama dalam
hal-hal terjadi penghinaan dengan alat tulisan ataupun radio (amatir) jarak
jauh.

Ada suatu ketentuan yang perlu mendapat perhatian mengenai penentuan


tempat kejadian, yaitu yang dihubungkan dengan “tempat pemenuhan kewajiban”.
Hal ini terjadi pada umumnya dalam delikkeharusan (delik ommisi). Tempat tindak
pidana, dalam hal seseorang tidak memenuhi kewajibannya untuk hadir sebagai
saksi pada tanggal dan tempat ditentukan, adalah dimana ia harus memberikan
kesaksian. Dan tindak pidana itu dipandang sempurna pada tanggal yang
ditentukan itu.

b. Waktu tindak pidana.

Waktu tindak pidana selalu bersesuai dengan tempat tindak pidana. Artinya
dimana dan kapan unsur dari suatu tindak pidana telah sempurna, pada saat
kesempurnaan itulah waktu tindak pidana. Dengan mengikuti uraian-uraian
mengenai ajaran-ajaran tempat tindak pidana tersebut diatas,, maka penentuan
waktu terjadinya tindak pidanapun mengikuti salah satu ajaran yang dipergunakan
tersebut.

Manfaat pengetahuan tentang waktu tindak pidana, pada umumnya


ditemukan dalam undang-undang hukum pidana antara lain sebagai berikut :

1) Peranan waktu dalam pasal 1 KUHP;


2) Umur petindak ketika melakukan suatu tindak pidana;
3) Bagi seseorang yang tidak terus menerus gila, apakah ia pada saat
melakukan tindak pidana dalam keadaan gila atau tidak;
4) Kedaluwarsa dalam penuntutan;
5) Batas waktu mengadu atau menarik pengaduan suatu delik aduan;
6) Pengulangan tindak pidana tertentu;
7) Apakah telah terjadi “tertangkap tangan” atau tidak dan lain
sebagainya.

BAB VI
PENGECUALIAN-PENGECUALIAN BERLAKUNYA
KETENTUAN PIDANA INDONESIA

37. Pembatasan (pengecualian) menurut hukum internasional.

a. Pengaruh hukum internasional.

Atas pengaruh dan berdasarkan hukum internasional, dalam pasal 9 KUHP


ditentukan “ Berlakunya pasal 2 sampai dengan pasal 5, 7 dan 8 dibatasi oleh
pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum internasional”. Dalam
37

hukum nternasional diakui kesamaan hak dari setiap negara yang berdaulat dan
seakan-akan adanya “negara dunia”. Selanjutnya dalam ketentuan hukum
internasional, diakui pula suatu asas, bahwa terhadap mereka yang melakukan
tugas perwakilan kenegaraan diluar negaranya, mempunyai kekebalan terhadap
hukum negara dimana ia bertugas. Asas tersebut adalah “hak exterritorialitas”
istilah tersebut berasal dari suatu fiksi, seakan-akan dimanapun mereka
berada/bertugas selalu dianggap seperti dinegaranya sendiri. Sebenarnya istilah
tersebut kurang tepat, karena pengecualian terhadap berlakunya hukum asing
tidak selamanya dikaitkan kepada teritoir, melainkan dalam banyak hal kepada
orangnya sendiri selaku pejabat.

Kalau seseorang dari mereka yang mendapat “hak pengecualian” tersebut


melakukan suatu tindak pidana dinegara asing, penyelesaiannya biasa dilakuan
setelah “mempersona non gratakan” oknum tersebut, yang ditempuh melalui
saluran-saluran diplomatik, supaya oknum tersebut ditarik kembali ke negerinya.
Dalam KUHP ketentuan seperti ini tidak diadakan.

Ketentuan-ketentuan hukum internasional yang diakui itu, tidak selalu


merupakan hukum tertulis. Namun dengan pennjukan pasal 9 KUHP, maka
berlakulah ketentuan-ketentuan, bahwa suatu kebiasaan (internasional) dapat
dianggap sebagai hukum (undang-undang) jika ada penunjukan dari undang-
undang. KUHP tidak memperinci siapa-siapa dan daerah-daerah mana yang
dianggap mempunyai hak exterritorialitas” ia hanya menunjuk saja kepada hukum
internasional yang diakui oleh Indonesia. Ketentuan seperti ini lebih fleksibel,
sehingga setiap perubahan dalam hukum internasional, bahkan perubahan
pengakuan terhadapp hukum internasional selalu dapat “tertampung” tanpa perlu
merubah rumusan pasal 9 KUHP.

b. Orang-orang yang mempunyai hak-hak exterritorialitas (kekebalan hukum)

Sesuai dengan ketentuan hukum internasional, yang diakui mempunyai hak


exterritorialitas atau kekebalan hukum terhadap hukum asing adalah sebagai
berikut :

1. Kepala Negara asing dalam kedudukannya sebagai kepala negara


sahabat (Raja/Ratu, Kaisar, Syah, Presiden, Sultan dan sebagainya).

2. Duta asing, yaitu pejabat-pejabat yang mewakili pemerintah (kepala)


negara asing. (Duta-duta besar, Duta, Sekretaris, Atase dan keluarganya.

3. Konsul-konsul asing yaitu para pejabat yang bertugas melindungi


kepentingan perdagangan, kerajinan, pertanian, pelayaran dan warga
negara dari negaranya sendiri yang berada di suatu negara asing dimana
pejabat tersebut ditempatkan.

4. Anggota-anggota kesatuan Angkatan Perang asing yang


bertugas/berkunjung di suatu negara atas persetujuan pemerintah negara
yang dikunjungi.
38

c. Hak exterritorialitas yang dikaitkan dengan tempat.

Selain daipada hak exterritorialitas yang dikaitkan dengan orangnya, dikenal


pula hak exterritorialitas yang dikaitkan dengan suatu tempat tertentu yaitu
sebagai berikut :

1. Gedung-gedung, pekarangan tertutup dan segala benda yang ada


diatasnya dari Kedutaan asing.

2. Benda-benda bergerak yang digunakan oleh oknum-oknum yang


mempunyai hak exterritorialitas, seperti dokumen-dokumen, yang arsip-
arsip, pengangkutan dan lai sebagainya.

3. Kapal-kapal perang asing dan kapal-kapal asing yang khusus


digunakan dalam rangka tugas kenegaraan asing. Dalam hal ini hak
exterritorilitas tersebut terkait pada kapal-kapal itu sendiri, dan bukan melalui
oknum-oknum/penguasa yang ada dalam kapal tersebut. Jadi apabila orang-
orang kapal mendarat, melakukan suatu tindak pidana di Indonesia tetap
dapat dituntut oleh penguasa Indonesia.

38. Pengecualian-pengecualian berlakunya ketentuan pidana berdasarkan


hukum nasional.

Dalam hukum nasional dikenal juga (dasar-dasar) pengecualian berlakunya


ketentuan pidana Indonesia. Yaitu antara lain tidak dapat dituntutnya seseorang angota
DPR/MPR karena hal-hal yang dibicarakannya dalam sidang-sidang DPR/MPR dalam
kedudukannya selaku wakil rakyat. Dalam sejarah Konstitusi RI, ketentuan mengenai
kekebalan DPR/MPR tersebut pernah dikenal pada zaman Konstitusi RIS 1950 dan
Undang-Undang Dasar Sementara RI Tahun 1950-1959. Selanjutnya dasar-dasar
pengecualian berlakunya ketentuan pidana terdapat dalam undang-undang hukum
pidana itu sendiri.

BAB VII
PERJANJIAN EKSTRADISI (Uitleverings-tractaat)

39. Ekstradisi sebagai tugas kepolisian di bidang internasional.

Mengekstradisikan seseorang tersangka adalah merupakan suatu tindakan untuk


membantu penguasa negara asing dalam tugas-tugas kepolisian dibidang
internasional. Pengskstradisian tersangka pada umumnya dilakukan diantara
pemerintah-pemerintah yang bersahabat dan yang mengadakan perjanjian ekstradisi
termaksud. Pelaksanaan perjanjian ekstradisi tersebut pada umumnya mendasari asas
berimbal-balik (het beginsel van reciprociteit). Artinya masing-masing pemerintah hanya
akan memenuhi kewajibannya (untuk menyerahkan) apabila fihak lainnya menghormati
hak-hak pemerintah yang bersangkutan sesuai dengan yang diperjanjikan. Apabila
suatu fihak menolak permintaan fihak lainnya, yang alasannya tidak memuaskan, maka
penolakan tersebut dapat berakibat diputuskannya perjanjian tersebut.

Pada dasarnya setiap pemerintah negara dapat menolak untuk


mengekstradisikan warganya sendiri yang melakukan suatu kejahatan diluar negeri
akan tetapi sudah berada di negaranya sendiri. Bahkan dia dapat menolak untuk
39

diekstradisikan, apabila kejahatan yang dilakukannya itu tercakup dalam ketentuan


berlakunya ketentuan pidana, misalnya seperti yang terdapat dalam pasal 5 sampai
dengan 8 KUHP. Bukankah seseorang hanya akan diajukan ke Pengadilan yang
ditentukan untuknya.

Lian halnya apabila penjahat tersebut berasal dari negara lain, terutama dari
negara (seperjanjian) yang meminta pengektradisian tersebut. Pada umumnya sesuai
dengan yang diperjanjikan, negara yang dimohonkan untuk penyerahan (ektradisi)
tersebut. Mempunyai kewajiban untuk melaksanakannya. Dalam hal ini peranan hakim
dari negara yang akan mengektradisikan penjahat tersebut bertindak sebagai
penasehat pemerintah, untuk menentukan apakah penyerahan tersebut sesuai dengan
apa yang diperjanjikan.

BAGIAN III
SEBAB-AKIBAT, BERSIFAT MELAWAN HUKUM DAN KESALAHAN

BAB VIII
HUBUNGAN SEBAB-AKIBAT, BERSIFAT MELAWAN HUKUM
DAN KESALAHAN DENGAN TINDAK PIDANA

40. Hubungan sebab-akibat, bersifat melawan hukum dan kesalahan.

Tidak dapat disangkal, bahwa suatu kejadian selalu ada penyebabnya. Apabila
kalau ditelusuri bahwa penyebab-penyebab dari suatu kejadian, dengan cara
menjadikan penyebab terdekat (kepada kejadian) menjadi “kejadian” yang harus dicari
lagi penyebabnya, maka tidak akan habis-habisnya penyebab itu.

Apabila diteliti hakekat dari penyebab-penyebab tersebut, akan ternyata bahwa


penyebab-penyebab itu pada suatu saat dapat berupa suatu perbuatan tertentu, pada
saat lain berupa suatu kehendak, suatu keadaan, suatu dorongan dan lain sebagainya.
Pencarian penyebab, tidak terbatas kepada hanya suatu tindakan yang dapat dipidana
saja, melainkan berlaku untuk semua kejadian/peristiwa. Dalam uraian ini disoroti
hanya mengenai sebab dari suatu tindak pidana saja, yang karenanya yang
menjadikan patokan utama adalah sejak suatu kejadian merupakan suatu tindak
pidana, maka penyebab terdekat kepada tindak pidana itu yang dipersoalkan
sepanjang penyebab itu belum termasuk dalam rumusan norma dari suatu tindak
pidana.

Setiap penyebab mengandung akibat, ibarat hukum alam yang menentukan


adanya reaksi terhadap setiap aksi. Apabila penyebab yang terdekat merupakan suatu
yang terdapat dalam hati pelaku, jelas adanya hubungan yang erat antara penyebab
dengan kesalahan pelaku. Sedangkan apabila penyebab tersebut berupa suatu
perbuatan itu adalah suatu larangan atau keharusan yang terhadap pelanggarannya
diancam dengan pidana. Dengan perkataan lain perbuatan itu bertengan dengan
hukum. Keadaan ini memperlihatkan adanya kaitan antara penyebab dengan sifat
melawan hukum dari tindakan yang bersangkutan. Dengan perkataan lain perbuatan
adalah merupakan perwujudan dari “gerak” jasmaniah seseorang, sedangkan
kesalahan tersebut merupakan kenyataan kejiwaan pada orang yang bersangkutan
yang mengomando gerak jasmaniah. Kesimpulannya adalah seyiap kita membicarakan
suatu tindak pidana, maka dalam pembahasan tindak pidana tidak terlebas dari
pembahasan sebab-akibat, sifat melawan hukum dari tindakan termaksud I yanag
40

merupakan norma atau bagian norma dari tindak pidana tersebut) dan kesalahan yang
tercakup pada tindak pidana tersebut.

41. Sebab akibat, bersifat melawan hukum dan kesalahan dalam suatu tindak
pidana.

Materi seba-akibat, bersifat melawan hukum dan kesalahan dalam pembahasan


suatu tindak pidana termasuk Pertanggunggjawaban pidana, sangat erat hubungannya.
Secara bersamaan tiga materi tersebut sering dirumuskan sebagai bagian dari norma
dalam suatu pasal tindak pidana. Dalam batasan (definisi) tindak pidana yang
dikemukakan oleh beberapa sarjana juga mudah dilihat bahwa materi-materi
terkandung didalamnya.

SIMONS yang memerikan batasan bahwa “tindak pidana” adalah suatu tindakan
yang diancam dengan pidana oleh undang-undang bertentangan dengan hukum,
dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.
Kemudian beliau membagi tindak pidana yang dirumuskan dalam undang-undang,
dalam dua golongan unsur-unsur, yang tiap-tiap golongan tersebut dibagi lagi dalam
unsur-unsur sebagai berikut :

a. Unsur obyektf terdapat diluar diri pelaku/petindak yang pada umumnya


berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat dan keadaan-keadaan tertentu.

b. Unsur Subyektif terdapat atau melekat pada diri petindak/pelaku berupa


kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari petindak.

ROESLAN SALEH yang mempunyai pendapat yang sama dengan MOELJATNO


mengatakan: “bahwa dalam makna perbuatan pidana secara mutlak harus termaktub
unsur formal, yaitu mencocoki rumusan undang-undang dan unsur material, yaitu sifat
bertentangan dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau dengan pendek
sifat melawan hukum, tidak kuran dan tidak lebih dari itu, maka sampailah kita pada
pertanyaan kedua, yaitu unsur kesalahan, unsur mana karena tidak masuk dalam
pengertian perbuatan pidana lagi, harus merupakan unsur bagi pengertian lain.
Pengertian ini dapat kita namakan “pertanggung jawab dalam hukum pidana”,
kemudian beliau menjelaskan lagi bahwa “kesengajaan dan kealpaan bukan unsur
perbuatan pidana, sehingga tidak perlu dimasukkan dalam rumusan delik. Baik
kesengajaan maupun kealpaan adalah merupakan unsur kesalahan yang menentukan
pertanggung jawab dari tersangka.

VAN ECK menganjurkan, sebabagaimana dapat dibaca dalam buku POMPE


“bahwa persoalan causaliteit untuk hukum pidana, seharusnya diganti dengan
persoalan pertanggungjawaban untuk akibat”. Dalam batasan yang diberikan oleh
SIMONS jelas tersurat dan/atau tersirat dalam materi sebab-akibat, bersifat melawan
hukum dan kesalahan. Dalam “batasan” yang dikemukakan RUSLAN SALEH dimana
diperbedakan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, dapat
disimpulkan bahwa materi sebab-akibat, bersifat melawan hukum dan suatu
tindakan/perbuatan tercakup dalam perbuatan pidana.
41

BAB IX
AJARAN SEBAB-AKIBAT

42. Tujuan mempelajari sebab-akibat.

Untuk bisa menjawab suatu permasalahan atau persoalan tindak pidana yang
terjadi, maka tidak bisa dihindarkan untuk tidak mempersoalkan apa gerangan yang
harus diartikan dengan sebab yang menimbulkan akibat tertentu dalam hubungannya
dengan pelaku. Dengan kata lain, dalam hubungannya dengan unsur-unsur lainnya
dari suatu tindak pidana, maka tujuan mempelajari masalah sebab-akibat adalah
sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui dan menentukan hubungan sebab dan akibat yang berarti
menentukan ada/tidaknya telah terjadi suatu tindakan yang dapat dipidana.
b. Untuk dapat menentukan siapa yang harus dipertanggungjawabkan atas
suatu akibat tertentu yang berupa suatu tindak pidana.

43. Sebab-akibat dalam delik material dan formal.

Dalan pembagian jenis-jenis tindak pidana diketahui, dibedakan antara delik


materia dan delik formal dengan perbedaan sebagai berikut :

a. Delik Formal adalah tindak pidana-tindak pidana yang dianggap telah


sempurna (voltooid) asal saja seseorang telah melakukan tindakan yang dilarang
atau tidak melakukan yang diharuskan dan mencocoki unsur-unsur dari pasal
KUHP. Contohnya (pasal 160/penghasutan penguasa umum, pasal
209/penyuapan, pasal 242/sumpah palsu dan pasal 362/pencurian dll). Pada delik
formal misalnya pencurian sapi perahan, tidak disyaratkan harus telah terjadi
akibat dari hilangnya sapi perahan tersebut pada pemilik aslinya. Pada hal
sebagai akibatnya dapat berupa : hilangnya mata pencaharian pemilik sapi, atau
tidak dapatnya lagi pemilik sapi untuk mengantarkan susu pada langganan-
langganannya dan lain sebagainya, dikarenakan delik formal peranan sebab-
akibat tidak seberapa.

b. Delik Material adalah delik atau tindak pidana-tindak pidana yang dianggap
sempurna jika akibatnya sudah nyata contohnya (pasal 187/pembakaran, pasal
338/pembunuhan, pasal 378/penipuan. Bahwa delik-delik material yang
mengsyaratkan harus terjadi dulu akibat, yang paling banyak hubungannya
dengan ajaran sebab-akibat. Dengan perkataan lain setelah terjadi suatu akibat
yang ditentukan dalam pasal tersebut, baru dapat didakwakan bahwa pelaku
melanggar pasal yang bersangkutan.

44. Teori syarat (conditio sine qua non)

Suatu kejadian yang merupakan akibat biasanya ditimbulkan oleh beberapa


peristiwa atau keadaan atau faktor yang satu sama lainnya merupakan suatu rangkaian
yang berhubungan, atau tanpa adanya syarat itu, akibat tersebut tak akan timbul,
karena semua faktor-faktor/syarat-syarat tersebut merupakan sebab dari kematian-
kematian tersebut. Yang dianggap sebagai syarat menurut VON BURI adalah setiap
peristiwa/faktor yang jika ditiadakan, maka tidak dapat dibayangkan bahwa akibat itu
42

akan terjadi. karena jalan pemikiran yang demikian ini, bahwa setiap peristiwa yang
mendahului, dianggap sama nilainya sebagai sebab dari akibat, maka sama dengan
disebut “teori sama nilai” atau aequivalentie theorie.

45. Teori khusus (individualiserende theorie)

Berlainan dari teori VON BURI, TRAEGER mengadakan perbedaan antara


rangkaian peristiwa-peristiwa/kelakuan-kelakuan dan mencari salah satu diantara
peristiwa-peristiwa tersebut, yang paling dekat menimbulkan akibat yang terlarang itu
oleh undang-undang. Ia tidak menganggap semua peristiwa yang mendahului sebagai
syarat dari timbulnya akibat. Ia membedakan antara syarat dan alasan. TRAEGER
hanya mencari satu peristiwa saja, yang harus dianggap sebagai sebab daripada akibat
itu.

Sebagian penganut ajaran in, dalam membatasi peristiwa-peristiwa yang harus


dianggap sebagai sebab, mendasarkan penelitiannya kepada fakta setelah delik terjadi.
Peristiwa-peristiwa manakah diantara semua peristiwa-peristiwa itu secara khusus lebih
cenderung menimbulkan akibat itu. Ajaran ini disebut sebagai “teori khusus”.
Kemudian teori khusus ini berkembang, dan yang termasuk padanya antara lain
sebagai berikut:

a. Teori pengaruh tersebar atau “die meist Bedingung” atas nama BIRK
MAYER, yang menentukan sebagai sebab dari suatu akibat adalah peristiwa yang
paling besar pengaruhnya kepada timbulnya akibat itu.

b. Teori yang paling menentukan, atas nama BINDING. Yang mngatakan,


peristiwa yang harus dianggap sebagai sebab adalah peristiwa positif (yang
menjurs kepada timbulnya akibat) yang lebih menentukan daripada peristiwa
negatif (yang menahan akibat tidak timbul).

c. Teori kepastian, atas nama KOHLER, dikatakannya bahwa yang harus


dianggap sebagai sebab ialah peritiwa yang pasti menimbulkan suatu akibat.
Diutarakannya bahwa jika kita menanam bibit bunga dan kemudian berkembang,
maka peristiwa-peristiwa/syarat-syarat untuk pertumbuhannya dapat disebut
antara lain, hujan, sinar matahari, tanah dan lain sebagainya. Teori ini lebih
menonjol jika peristiwa/syarat-syarat itu hampir sama nilainya.

46. Teori Umum (generaliseerende theorie)

Penganut lainnya yang juga menganut ajaran pembatasan, mendasarkan


penelitiannya kepada fakta sebelum delik terjadi (ante factum) yaitu pada fakta yang
pada umumnya menurut perhitungan yang layak, dapat dianggap sebagai
sebab/kelakuan yang menimbulkan akibat itu. Fakta yang dianggap sebagai mencakupi
(strekken) dan selanjutnya menimbulkan akibat itu. Didalam teori ini dikenal beberapa
teori yang berbeda. Perbedannya bertolak pangkal pada pengertian dari istilah “
perhitungan yang layak “.

a. Teori keseimbangan atas nama Von KRIES yang pertama


mengemukakannya ajarannya adalah bahwa peristiwa/kelakuan yang harus
dianggap sebagai sebab dari pada akibat yang timbul, adalah kelakuan yang
menurut perhitungan yang layak dengan akibat itu. Sedangkan yang dimaksud
dengan perhitungan yang layak adalah peristiwa yang diketahui atau yang harus
43

diketahui oleh pelaku, atau disebut juga dengan teori kesimbangan subyektif.
Dalam hal ini sebenarnya Von KRIES memasukkan unsur “kesalahan” dalam
ajarannya, karenan pengetahuan pelaku erat sekali hubungannya dengan
“hubungan batin pelaku terhadap akibat yang dikehendakinya”.

b. Teori keseimbangan obyektif atas nama RUMELIN.

Sarjana ini mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan perhitungan yang


layak, bukan hanya apa yang diketahui oleh pelaku itu sendiri, tetapi juga apa
yang kemudian diketahui oleh hakim, walaupun hal ini tidak diketahui oleh pelaku
sebelumnya.

c. Teori keseimbangan gabungan (antara subyektif dan obyektif) atas nama


SIMONS. Menurut sarjana ini, yang dimaksud dengan perhitungan yang layak
adalah menurut pengalaman manusia.

47. Pendapat-pendapat mengenai sebab-akibat.

Penerangan ajaran-ajaran sebab akibat dalam praktek, adalah lebih serasi, jika
selalu disesuaikan dengan perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Artinya secara kasusitis diadakan keseimbangan antara kesadaran hukum
perseorangan atau kelompok masyrakat tertentu dengan kesadaran hukum masyarakat
pada umumnya, dan berpedoman pada ajaran-ajaran conditio sine qua non, teori
umum keseimbangan dan teori khusus secara berimbang.

Pada arrest Hoog Militer Gerechtschof 8 Februari 1924, dalam menentukan sebab
dari akibat telah digunakan ajaran “ adanya hubungan langsung antara kelakuan dan
akibat ”. Hal ini bersumber pada pasal 1248 KUHPer tentang kewajiban ganti rugi,
dapat disimpulkan dari pasal 1248 KUHPer bahwa kerugian hanya meliputi keadaan
yang ditimbulkan secara langsung karena tidak ditepatinya perjanjian.

48. Kaitan ajaran sebab-akibat dengan delik omosi.

Telah diuraikan diatas tentang hubungan ajaran sebab-akibat dengan delik


material, sekarang akan diutarakan tentang hubungannya dengan delik omisi yang
sebenarnya yang pada umumnya merupakan/termasuk delik formal dan delik omisi
yang tidak sebenarnya yang juga disebut delik campuran komisi dan omisi pada
umumnya termasuk delik material. Sepanjang delik omisi merupakan delik formal,
maka pengkaitannya dengan ajaran sebab akibat tidak banyak manfaatnya. Pada delik
omisi yang termasuk delik material, yang mensyaratkan adanya akibat tertentu.

VAN HAMEL mengajarkan bahwa seseorang yang tidak berbuat dapat dianggap
sebagai sebab dari suatu akibat, jika ia mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat,
istilah kewajiban hukum ditafsirkan oleh berbagai sarjana sebagai kewajiban yang
bersumber kepada hukum dan yang timbul karena jabatan atau pekerjaan. Sarjana lain
berpendapat bahwa sumber kewajiban hukum, selain dari hukum dan pekerjaan juga
dari keputusan-keputusan yang menjadi kesadaran dalam masyarakat. Karena
pendapat ini dihubungkan dengan arrest H.R. tertanggal 31 Januari 1919 mengenai
bangunan “ perbuatan yang bertentangan dengan hukum “ (onrechtmatige daad)
sebagaimana dalam pasal 1365 B.W sebagai berikut :
44

Perbuatan yang bertentangan dengan hukum ditafsirkan sebagai :

a. Marusak hak subyektif seseorang menurut undang-undang.


b. Merusak seseuatu yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku
menurut undang-undang.
c. Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan.
d. Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan dalam
masyarakat.

49. Perumusan sebab-akibat dalam undang-undang.

Dalam undang-undang hukum pidana, sebab-akibat dirumuskan antara lain


sebagai berikut :

a. Penyebab dirumuskan secara jelas. Yaitu berupa suatu kelakuan yang


dilarang atau diharuskan (pasal 187 ayat 3, pasal 194 ayat 2, pasal 351 ayat 3).

b. Suatu akibat dirumuskan secara jelas, yaitu suatu kenyataan yang


ditimbulkan oleh suatu penyebab (causa) (Pasal 187 ayat 3, pasal 194 ayat 2,
pasal 351 ayat 3).

c. Dapat disimpulkan bahwa sebab dan akibat itu sebagai dirumuskan


sekaligus (pasal 338, Pasal 351 ayat 1 KUHP).

d. Sebab (causa) dirumuskan berupa suatu kelakuan tertentu, tanpa


mensyaratkan telah timbul akibatnya (pasal 122 ayat 2 KUHP).

e. Akibat dirumuskan berupa suatu kenyataan tertentu, tanpa menentukan


suatu kelakuan/tindakan tertentu sebagai sebabnya ( pasal 359 dan 360 KUHP).

f. Perumusab sebab dan akibat, dapat disimpulkan sebagai tidak diperlukan,


dalam rangka telah terjadi atau tidaknya suatu tindak pidana (pasal 362, pasal
108 ayat ke 1 KUHP).

g. Perumusan sebab-akibat “tercakup” dalam jiwa pelaku yang berbentuk


“pendorong” (sebab) dan kenyataan/peristiwa yang dikehendaki (akibat).

50. Hubungan kausal antara sebab dan akibat.

Antara sebab (motif), tindakan dan akibat (sebagai tujuan yang dikehendaki yang
terjadi) harus ada hubungannya. Hubungan itu disebut sebagai hubungan-kausal atau
hubungan sebab-akibat. Nyatalah bahwa hubungan satu sama lain antara sebab,
tindakan dan akibat, dilihat dari sudut ajaran sebab-akibat, ada yang mempunyai
hubungan kausal dalam pengertian hukum pidana, tetapi ada juga yang mempunyai
hubungan dalam pengertian luas, yang apabila tidak ada pembatasannya, maka akan
lebih mengaburkan penerapan ketentuan-ketentuan undang-undang hukum pidana.
Sudah barang tentu dalam rangka pemidanaan hal tersebut diatas, harus masih
dikaitkan dengan kesalahan pelaku dan apakah tindakan bersifat melawan hukum atau
tidak.
45

Perumusan-perumusan delik sehubungan dengan motif, tindakan dan akibat


dilihat dari sudut ajaran sebab-akibat terdapat perbedaan-perbedaan. Umumnya motif
itu tidak dimasukkan sebagai unsur dalam perumusan delik, walaupun ada kalanya
motif itu dapat dirasakan sebagai juga merupakan sebab (dari suatu tindakan). Suatu
tindakan yang dirumuskan dalam suatu delik, dapat juga dipandang merupakan sebab
dari suatu akibat tertentu, dapat disimpulkan sebagai paduan dari sebab akibat, dan
dapat dipandang hanya sebagai tindkan saja yang tidak mempersoalkan sebab dan
akibat. Sedangkan mengenai perumusan akibat ada kalanya hanya dapat disimpulkan
dari suatu tindakan yang dirumuskan dengan catatan bahwa walaupun akibat itu belum
terjadi.

51. Sebab- akibat dalam praktek hukum.

Sering menjadi bahan perdebatan yang hangat antara penuntut umum disatu
pihak dengan terdakwa dan pembelanya dilain pihak, dalam suatu persidangan
pengadilan mengenai : sejauh manakah hakekat dari sebab-akibat yang terkandung
dalam perumusan suatu delik/kejahatan: dan sejauhmanakah pengaruhnya untuk
menentukan pertanggungjawaban terdakwa. Dalam delik-delik material pihak terdakwa
sering tidak membatasi diri untuk hanya menanggapi perumusan suatu
kelakuan/perbuatan/tindakan dalam undang-undang. Mereka cenderung untuk
menjelajahi kejadian/perbuatan lainnya, situasi dan kondisi yang mendahului tindakan
yang dilakukannya yang sesuai dengan perumusan undang-undang. Hal ini
dimaksudkan agar fakta/data itu dapat diterima sebagai sebab dari tindakan yang
dilakukan itu, bahkan juga sebagai sebab dari akibat yang terlarang. Tentunya yang
dikemukannya itu adalah hal-hal/keadaan-keadaan yang akan menguntugkan pihak
terdakwa. Dalam hal inii fakta/data yang dikemukakan itu ada kemungkinan
dimaksudkan untuk memberikan “bukti perlawanan” tentang ketidakadaan atau
peniadaan kesalahan pelaku, atau juga untuk meniadakan sifat melawan hukum dari
tindakan pelaku tersebut. Mungkin dan minimal sebagai keadaan-keadaan yang dpat
memperingan pertanggungjawaban pidana pelaku atau dalam rangka permohonan
clementie (belas kasihan) hakim.

52. Sebab-akibat ditinjau dari sudut kriminologi.

Salah satu bidang kriminologi adalah untuk mencari dan menentukan penyebab
dari suatu kejahatan. Tujuan utamanya ialah untuk mencari suatu cara pencegahan
atau pemberantasan kejahatan, antara lain dengan jalan peniadaan atau memperkecil
“penyebab”. Kriminologi tidak terbatas hanya mencari “penyebab” dari sudut
perumusan undang-undang saja, melainkan meninjau/mengamatinya dari segala sudut,
terutama dari sudut keadaan masyarakat.

Demikian juga kesadaran hukum masyarakat umum atau setempat, dalam banyak
hal dapat dilihat sebagai gejala yang turut serta memperngaruhi pengertian tindak
pidana. Namun dalam praktek hukum, hasil pengamatan kriminologi sering juga
dikemukakan sebagai suatu hal yang diharapkan dapat mempengaruhi
“pertanggungjawaban” terdakwa. Bahkan sering diharapkan untuk menentukan apakah
perbuatan seseorang merupakan tindakan tercela atau suatu tindak pidana atau tidak.
46

53. Ajaran sebab-akibat yang dipedomani.

Walaupun undang-undang berusaha membatasi perumusan sebab dan akibat,


namun untuk kebutuhan praktek hukum sehari-hari sering mengarah kepada perluasan
atau penyempitan dari hal-hal yang dipandang sebagai sebab atau akibat. Untuk
seyogyanya harus selalu diperhatikan mengenai kepastian hukum dalam arti tidak
boleh terlalu menyimpang dari pembatasan undang-undang yang dipadukan dengan
kesadaran hukum masyarakat yang masih hidup. Tentunya kesemuanya itu harus
seirama dengan poltik hukum pemerintah yang telah digariskan oleh pemegang
kedaulatan rakyat.

Karenanya tepat sekali tindakan hakim atau Mahkamah Agung yang tidak
menentukan ajaran-ajaran mana dari sekian banyak ajaran itu yang mutlak dipedomani
atau digunakan. Penggunaan ajaran-ajaran itu tentulah harus dengan etikat baik untuk
mencapai tujuan hukum dan terciptanya keseimbangan antara keadilan dan ketertiban.

BAB X
BERSIFAT MELAWAN HUKUM (Wederechtelijk)

54. Istilah melawan hukum dan melawan undang-undang.

Cakupan pengertian hukum adalah lebih luas dari yang dicakup pengertian
undang-undang maupun perundang-undangan. Berbagai perumusan untuk
memberikan penjelasan atau semacam batasan mengenai istilah hukum telah banyak
dikemukakan. Antara lain yang memebrikan perumusan-perumusan adalah, Aristoteles,
cicero, Grotius, Hobbes, von Jhering, Holmes, Van Vollenhoven, Russian Penal Code,
Iwa Kusuma Sumantri dll. Sudiman Kartohadiprodjo sendiri mengatakan bahwa hukum
adalah sesuatu yang bersangkutan dengan manusia, dalam keadaan hubungannya
dengan manusia lainnya. Dengan lain perumusan dapat dikatakan bahwa hukum
adalah segala aturan baik tidak tertulis maupun tertulis yang mengatur mengenai
kehidupan, penghidupan dan hubungan manusia sesamanya beserta kepentingan-
kepentingannya, sedangkan undang-undang adalah merupakan bagian tertulis dari
hukum pada umumnya.

Perbedaan pengertian hukum dan undang-undang, berakibat harus membedakan


pengertian dari “bersifat melawan hukum” terhadap bersifat melawan hukum undang-
undang”. Bersifat melawan undang-undang berarti bertentangan dengan undang-
undang, atau tidak sesuai dengan larangan/keharusan yang ditentukan dalam undang-
undang, atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh undang-undang.
Bersifat melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum, atau tidak sesuai dengan
larangan dan keharusan hukum, atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi
oleh hukum, dalam hal ini yang dinaksud dengan hukum adalah hukum positif atau
hukum yang berlaku.

Inti dari arrest HR atau putusan Hakim Yurisprodensi MA Belanda tentang pasal
1365 BW, mengenai pengertian dari “tindakan yang tidak sesuai dengan hukum”
(onrechtmatige daad) yaitu sebagai berikut:

a. Merusak hak subyektif seseorang menurut undang-undang;


b. Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku
menurut undang-undang;
47

c. Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan; dan


d. Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan dalam
masyarakat.

Pedapat tersebut diatas diikuti oleh banyak sarjana. Dalam hal ini POMPE
mempersamakan “tindakan yang tidk sesuai dengan huku” dengan “bersifat melawan
hukum”.

SIMONS mengatakan, sebagai pengertian dari bersifat melawan hukum adalah


bertentangan dengan hukum pada umumnya. Tetapi dalam hubungan bersifat
melawan hukum sebagai salah satu unsur tindak pidana/delik, beliau mengatakan
supaya selalu berpegangan kepada norma delik sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang hukum pidana. Jika ada perselisihan mengenai ada tidaknya sifat
melawan hukum dari suatu tindakan, hakim tetap terikat pada perumusan undang-
undang. Artinya yang harus dibuktikan hanyalah yang dengan tegas dirumuskan dalam
undang-undang dalam rangka usaha pembuktian. MOEJATNO dan ROESLAN SALEH
lebih cenderung pada pendapat bahwa bersifat melawan hukum harus diartikan dengan
bertentangan dengan hukum.

55. Tindakan yang bersifat melawan hukum.

Seseorang yang melakukan suatu tindakan yang bersifat melawan hukum, tidak
selalu diancam dengan pidana menurut undang-undang hukum pidana. Suatu tindakan
yang bertentangan dengan hukum perdata, atau bertentangan dengan hukum
administrasi, bertentangan dengan hukum agama, dan lain sebagainya, tidak diancam
dengan pidana dan tidak dapat dipidana. Dengan perkataan lain karena hukum tidak
saja mencakup undang-undang hukum pidana, melainkan juga hukum perdata, hukum
administrasi dan hukum tatanegara, maka yang diancam dengan pidana hanyalah
suatu tindakan yang diancam dengan pidana. Namun pengaruh dari ssesuatu tindakan
yang bersifat melawan hukum diluar pengertian hukum pidana, tidak kurang pentingnya
dalam pembahasan suatu tindak pidana tertentu.

56. Bersifat melawan hukum sebagai unsur delik.

Dalam sistem perundang-undangan hukum pidana yang berlaku sekarang,


ternyata bersifat melawan hukum (dari suatu tindakan) tidak selalu dicantumkan
sebagai salah satu unsur delik. Akibatnya timbul persoalan, apakah sifat melawan
hukum, harus selalu dianggap sebagai salah satu unsur delik, walaupun tidak
dirumuskan secara tegas, ataukah baru dipandang sebagai unsur dari suatu delik.
Pasal-pasal KUHP yang dengan tegas mencantumkan bersifat melawan hukum antara
lain adalah pasal-pasal sbb : 167, 168, 333, 334, 335, 362, 368, 378, 406, dan
termasuk juga pasal-pasal 302, 392, 282 dan sebagainya.

Secara formal atau secara perumusan undang-undang, suatu tindakan adalah


bersifat melawan hukum, apabila seseorang melanggar suatu ketentuan undang-
undang, karena bertentangan dengan undang-undang. Dengan perkataan lain semua
tindakan yang bertentangan dengan undang-undang, atau suatu tindakan yang telah
memenuhi perumusan delik dalam undang-undang, baik bersifat melawan hukum itu
dirumuskan atau tidak, adlah tindakan-tindakan yang bersifat melawan hukum. Sifat
melawan hukum itu akan hilang atau ditiadakan jika ada dasar-dasar peniadannya
ditentukan dalam undang-undang.
48

Bagi para sarjana yang menganut pandangan formal mengenai sifat melawan
hukum dalam hubungannya dengan perumusan suatu delik, apabila bersifat melawan
hukum tidak dirumuskan dalam suatu delik, tidak perlu lagi diselidiki tentang bersifat
melawan hukum itu. Karena dengan sendirinya seluruh tindakan itu sudah bersifat
melawan hukum. Sedangkan jika bersifat melawan hukum ini dicantumkan dalam
rumusan delik, maka bersifat melawan hukum itu harus diselidiki. Dan dalam rangka
penuntutan/mengadili harus terbukti bersifat melawan hukum tersebut. Justru
dicantumkannya bersifat melawab hukum tersebut dalam norma deik, menghendaki
penelitian apaka tindakan itu bersifat melawan hukum atau tidak. Demikianlah antara
lain pendapat SIMONS dan para pengikut ajaran formal.

Senaliknya para sarjana yang berpandangan material tentang bersifat melawan


hukum, mengatakan bahwa sifat melawan hukum, selalu dianggap ada dalam setiap
delik, walaupun tidak dengan tegas dirumuskan. Penganut teori ini mengemukakan
bahwa pengertian dari hukum yang merupakan salah satu kata yang terdapat dalam
bersifat melawan hukum, tidak hanya didasarkan kepada undang-undang saja, tetapi
kepada yang lebih luas lagi, yaitu asas-asas umum yang berlaku sebagai hukum.
Dengan perkataan lain bersifat melawan hukum berarti harus dapat dirasakan sebagai
tidak boleh terjadi, bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat.
Atau lebih tepat jika diartikan dengan “tidak boleh terjadi dalam rangka pengayoman
hukum dan perwujudan cita-cita masyarakat”.

57. Bersifat melawan hukum formal dan material

Jika terjadi perbedaan penadapat, sudah lajim apabila masing-masing pihak


berusaha mencari sandaran-sandaran dari pendirian yang dikemukannya, sambil
menunjukkan kekurangan-kekurangan pada pendapat pihak lainnya. Berikut ini
diutarakan beberapa tolak pangkal pendirian tersebut sambil memberikan contoh-
contoh yang dikemukakan sebagai berikut :

a. Penganut bersifat melawan hukum formal

Para penganut bersifat melawan hukum formal mengatakan bahwa pada


setiap pelanggaran delik sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum
dari tindakan pelanggaran tersebut. Dengan demikian dalam hal delik tidak
dengan tegas menyatakan bersifat melawan hukum sebagai unsur, sudah dengan
sendirinya bersifat melawan hukum ada, dan tidak perlu dibuktikan. Tetapi jika
dengan tegas dicantumkan bersifat melawan hukum sebagai unsur delik maka
harus dibuktikan adanya bersifat melawan hukum itu, barulah seseorang itu dapat
dikatakan telah melakukan delik tersebut. Pendirian ini dihubungkan pula dengan
sejarah percantuman bersifat melawan hukum sebagai unsur delik. Yaitu adanya
kekhawatiran, jika bersifat melawan hukum tidak disebut sebagai unsur delik,
maka seseorang yang benar-benar menjalankan hak/kewajibannya akan dapat
dianggap telah melakukan suatu delik tertentu.

b. Alasan-alasan bersifat melawan hukum formal

Sehubungan dengan penderian masing-masing pihak tersebut, alasan-


alasan yang diberikan oleh penganut bersifat melawan hukum formal untuk
membenarkan penderian mereka, antara lain SIMONS mengatakan sebagai
berikut :
49

1) Dari adagium “ setiap orang dianggap mengetahui undang-undang “,


maka tidak perlu dicari, apakah tindakan seseorang itu sesuai dengan
kesadaran hukum masyarakat atau tidak, Bukankah setiap orang
mengetahui undang-undang dan ia telah melanggar undang-undang.

2) Kemudian kalau dianut pendirian bersifat melawan hukum yang


material, maka setiap orang akan membela diri dengan mengatakan bahwa
ia tidak mengetahui perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh
undang-undang. Berarti hakim harus membuktikan sifat terlarang dari
perbuatan tersebut, dan harus dapat menginsyafkan kepada terdakwa
bahwa perbuatan itu adalah terlarang. Sebagai akibat dari tugas yang sulit
ini, ada kemungkinan hakim akan melepaskan terdakwa, yang berarti
berlakunya KUHP diperlunak karenanya.

3) Sehubungan dengan uraian tersebut no 2) berarti kepada hakim telah


dibebani suatu tugas lainnya, yaitu sebagai pembuat/pencipta undang-
undang. Pada hal tugas hakim bukan untuk menentukan atau menciptakan
suatu ketentuan baru, dalam hal ini apakah suatu tindakan terlarang atau
tidak, melainkan hal itu adalah tugas dari pembuat undang-undang.

4) Sebagai akibat dari tersebut 20 ialah bahwa setiap hakim akan “


menciptkan undang-undang “ atau mengadakan tafsiran sendiri yang tidak
terlepas dari pengaruh subyektifitasanya. Berarti akan terdapat bermacam-
macam mengakibatkan ketidakpastian hukum.

c. Penganut bersifat melawan hukum material

Sebaliknya para penganut bersifat melawan hukum yang material antara lain
ZEVENBERGEN mengatakan bahwa pada setiap delik dianggap ada unsur
bersifat melawan hukum dan harus dibuktikan. Penganut lainnya antara lain Van
HAMEL berpendirian yang agak lunak mengatakan, bahwa pada setiap delik
dianggap ada unsur bersifat melawan hukum. Tetapi sehubungan dengan
pembuktian, dikatakannya jika bersifat melawan hukum dicantumkan dengan
tegas sebagai unsur delik, atau bersifat melawan hukum tidak dinyatakan dengan
tegas akan tetapi timbul keragu-raguan apakah menurut faham masyarakat
tindakan itu bersifat melawan hukum, maka dalam dua hal tersebut harus ada
usaha (pembuktian)

d. Alasan-alasan bersifat melawan hukum material

Pihak penganut bersifat melawan hukum yang material memberikan alasan-


alasan, bahwa delik itu tidak hanya mempersoalkan tindakan-tindakan yang
terlarang saja, tetapi juga mempersoalkan apakah pelaku dapat dicela karena
melakukan suatu tindakan tercela. Pelaku harus dapat dipersalahkan (dicela)
menghindari melakukan tindakan yang tercela yang berarti bersifat melawan
hukum. Orang yang melakukan perbuatan yang terpuji, tidak dilarang. Seseorang
yang menolong seseorang lainnya yang dalam keadaan bahaya, tidak dilarang
malahan terpuji.

Selanjutnya VOS mengajar bahwa hukum pidana ditujukan kepada


perbuatan yang luar biasa. Artinya kalau terjadi suatu perbuatan yang luar biasa,
50

maka harus diberantas. Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan luar biasa
atau tidak, maka diambil sebagai patokan penentuan/ukuran yaitu, jika dalam
keadaan yang sama setiap orang akan melakukan perbuatan yang sama pula,
maka dalam hal ini tidak dikatakan bahwa telah terjadi perbuatan yang luar biasa.

Dari penyamaan arti bersifat melawan hukum dengan tindakan yang tidak
sesuai dengan hukum, beliau mengajarkan bahwa bersifat melawan hukum harus
disandarkan kepada paham kemasyarakatan, yaitu kepatutan yang harus
diindahkan dalam pergaulan masyarakat.

Untuk memperkuat sandaran-sandaran tersebut dikatakan pula, bahwa


pasal 302 KUHP, mengarah kepada pengertian kepatutan dalam masyarakat. Hal
itu ternyata dari penggunaan rumusan “ tanpa tujuan yang patut “ istilah/rumusan
ini tidak lain harus diartikan sebagai perumusan dari tindakan menurut paham
kemasyarakatan. Memotong sapi adalah suatu perbuatan menyakiti bahkan
mengakibatkan matinya sapi tersebut. Tetapi bukan suatu tindakan yang tanpa
tujuan tertentu. Karena tindkan itu dilakukan untuk mempeoleh dagingnya.
Sehubungan dengan contoh penganiayaan, tindakan sang ayah yang memikul
anaknya, seorang guru yang menytrap muridnya, orang primitif yang hampir
telanjang berada dimuka umum tersebut, menurut paham kemasyarakatan tidak
terlarang dan tidak tercela. Tidak ada gunanya memidana yang tidak tercela.

Hakim adalah juga merupakan sumber hukum, bukankah dalam praktek,


suatu putusan hakim jika diikuti oleh hakim-hakim lainnya dalam
persoalan/perkara yang sama berfungsi sebagai hukum juga? Apalagi jika suatu
perkara sampai ke Mahkamah Agung dalam rangka Kasasi, dimana MA kemudian
menguatkan putusan terdahulu atau mengambil putusan sendiri, maka putusan
MK itu berlaku sebagai “ketentuan” yang mengikat dan berfungsi sebagai hukum
yang disebut sebagai hukum hakim. Sehubungan dengan peranan para hakim
sebagai sumber hukum para penganut bersifat melawan hukum material
menambahkan lagi bahwa hakim wajib mengikuti perkembangan kesadaran
hukum masyrakat. Hakim tidak boleh menolak untuk memberi putusan terhadap
suatu perkara dengan alasan tidak terang hukumnya.

58. Peranan hakim sebagai sumber hukum

Berbicara mengenai perbedaan pandangan antara para penganut bersifat


melawan hukum yang formal dan yang material mengenai peranan hakim, nampak
jelas adanya kekhawatiran dipihak penganut yang formal yang apabila terlalu luas
diberikan kewenangan pada hakim dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, sebagai
akibat dari kemungkinan “ pembentukan hukum “ dan atau “penafsiran” yang dilakukan
secara sendiri-sendiri. Sekalipun harus diakui bahwa hakim akan selalu menilai
sesuatu perkara seobyektif mungkin dari sudut yang obyektif, sebagaimana yang
dikemukakan oleh TRAPMAN, namun bukan suatu kemustahilan berbicara juga
subyektifitas para hakim yang bersangkutan.

Sebaliknya para penganut bersifat melawan hukum yang material banyak


memperhitungkan peranan hakim sebagai sumber hukum melalui putusan-putusannya.
Sudah barang tentu diharapkan bahwa hakim tersebut akan selalu mengadakan
penilaian seobyektif mungkin dari posisi yang obyektif. Alasan tambahan untuk
menguatkan pendirian mereka ini ialah dengan mengutarakan bahwa hakim harus
51

mengikuti perkembangan kesadaaran hukum masyarakat dan bahwa hakim tidak boleh
menolak mengadili suatu perkara.

Prof. Mr. Djoko Setiono, beliau mengutarakan ada 5 macam aliran dalam rangka
perkembangan hukum sebagai berikut :

a. Aliran legisten yang artinya hakim hanya menerapkan undang-undang,


karena undang-undang dipandang sudah lengkap.

b. Aliran Begriffs jurisprudents yang artinya mengutarakan bahwa undang-


undang tidak lengkap dan yang lengkap adalah hukum.

c. Aliran Freirechts Lehre yang artinya peranan hakim diperluas lagi, karena
kepadanya dipercayakan untuk menerapkan hukum “demi kepentingan umum”.
Jika perlu demi kepentingan umum tersebut, ia dapat menyimpang dari ketentuan
undang-undang, apabila undang-undang tersebut dalam prakteknya dipandang
sudah beku sangat berbahaya, karena sudah barang tentu dalam hal ini
subyektifitas hakim tidak begitu saja diabaikan.

d. Aliran Sosiologis yang diartinya memberikan obyektif garantion das recht.


Disini timbul persoalan atau pemecahan antara pelaksanaan ketentuan undang-
undang terhadap penegakan keadilan; antara ketentuan undang-undang terhadap
kesadaran hukum masyarakat. Hakim harus selalu memperhatikan kesadaran
hukum masyarakat (Kekuasaan kehakiman UU nomor 49 Tahun 2009).

e. Aliran Open systeem van het recht (atas nama PAUL van SCHOLTEN)
dimana para hakim diberi peranan yang semakin luasyaitu bahwa hakim harus
menemukan atau menciptakan hukum, selain dari tugas penerapan undang-
undang.

Dari perkembangan aliran hukum tersebut diatas, jelas bahwa peranan semakin
luas diberikan kepada hakim, tetapi bagaimanapun juga harus dicegah agar jangan
sampai hakim “ menggantikan “ Raja-raja Romawi yang dalam masalah hukum dikenal
dengan dua pepatah Romawi yang berbunyi “ princep legibus solutus est. Salus publica
supreme lek “ (Kaisar tak terikat oleh undang-undang. Kesejahteraan umum adalah
hukum yang tertinggi), Maksudnya sekalipun mungkin hukum yang diciptakan hakim
tersebut, demi kepentingan umum, namun hakim jangan sampai menjadi “princep”
yang menentukan apa saja yang merupakan kepentingan umum. Hal ini sangat
bertentangan dengan asas-asas dari Pancasila.

59. Peniadaan sifat melawan hukum

Dalam undang-undang hukum pidana diadakan ketentuan-ketentuan yang


meniadakan sifat melawan hukum dari suatu tindakan. Ketentuan-ketentuan tersebut
ialah sebagai berikut :

a. Mengenai orang cacad atau sakit jiwa/ingatan.


b. Seseorang yang melakukan karena terpaksa (pasal 48 KUHP)
c. Seseorang yang melakukan perlawanan terpaksa (pasal 49 KUHP)
d. Seseorang yang melakukan ketentuan undang-undang (pasal 50 KUHP)
e. Seseorang yang melakukan perintah jabatan (pasal 51 ayat (1) KUHP)
52

f. Seseorang yang tidak melapor


g. Seseorang yang membunuh musuh
h. Seseorang yang menolak jadi saksi
i. Lain-lain.

60. Usaha pembuktian sifat melawan hukum dari suatu tindakan.

Dengan mengartikan bersifat melawan hukum sebagai bertentangan dengan


hukum positif di Indonesia, ini berarti pendirian tersebut lebih condong mengikuti
pandangan bersifat melawan hukum yang material. Yaitu semua delik harus selalu
dianggap mempuunyai unsur bersifat melawan hukum. Dalam rangka penyelesaian
perkara di persidangan, maka jika dalam rumusan delik dengan tegas dituliskan bersifat
melawan hukum, harus pula tercantum usaha pembuktiannya dalam surat dakwaan
jaksa. Jika tidak demikian berarti salah satu unsur yang dirumuskan dalam delik
terpenuhi, yang bagi hakim menjadi bahan pertimbangan untuk melepaskan tersangka
dari penuntutan.

61. Unsur bersifat melawan hukum dlam perundang-undangan “warusan”

Dalam penerapannya di Indonesia mengenai pendapat bahwa bersifat melawan


hukum harus diartikan sebagai bertentangan dengan hukum positif ada dua sudut
sebagai berikut :

a. Pertama dari sudut perundang-undangan yang kita warisi dari jaman


penjajahan Hindia Belanda “ Peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau
sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan
Republik Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempeunyai arti lagi
harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku ”.

b. Kedua dari sudut hukum yang berlaku di Indonesia sebagaimana


diamanatkan dalam penjelasan UUD 1945 dan usaha-usaha yang sedang
dilaksanakan untuk membentuk undang-undang hukum pidana nasional.

62. Pengaruh hukum tidak tertulis

Penjelasan UUD 1945 menentukan bahwa bukan hanya hukum tertulis dan/atau
yang dibuat penguasa yang menjadi sumber hukum di Indonesia tetapi juga hukum
tidak tertulis yang umumnya berbentuk hukum adat yang tidak mesti yang dibuat
penguasa. Maka di Indoenesia ada penambahan pengertian hukum positif yaitu bukan
saja yang dibuat/diterapkan oleh penguasa, melainkan juga yang hidup dan berakar
dalam masyarakat setempat yang berbentuk hukum adat sekalipun dalam berbagai hal
diperlukan “pengarahan” agar tidak menyimpang dari garis-garis Pancasila, serta ke
Bhinekaan itu masih dalam keharmonisan dari Ketunggal ikaan (Hukum tidak tertulis
masih tetap berlaku di Indonesia).
53

BAB XI
KESALAHAN

63. Pengertian Kesalahan (schuld) secara umum.

Salah satu pokok persoalan yang sangat penting tetapi sangat rumit dalam
mempelajari hukum pidana adalah tentang pengertian kesalahan, karena dalam
penentuan ada atau tidaknya dan macamnya kesalahan, akan menentukan pula pada
umumnya dapat atau tidaknya pelaku dipidana. Dalam hal dapat dipidana menentukan
pula berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan.

Pengertian kesalahan bisa dilihat dari sudut bahasa sehari-hari, moral, hukum
perdata dan dari sudut hukum pidana sbb:

a. Mengatakan yang tidak benar (berbohong).


b. Menyataka ketercelaan (terdakwa bersalah dolus/culpa).
c. Melakukan suatu perbuatan (seseorang yang melempari buah dipohon lalu
terkena kaca rumah orang).
d. Melakukan suatu tidanakan/perbuatan terlarang sesuai dengan
kehendaknya atau akibatnya itu dikehendaki (mencuri,membunuh).

64. Pengertian kesalahan dalam hukum pidana.

Mengenai pengertian kesalahan dalam hukum pidana, telah banyak diteorikan


orang, mereka telah membahas pengertian kesalahan dengan berbagai cara dan
menempatkan kesalahan sebagai salah satu unsur dari tindak pidana (SIMONS) tetapi
ada juga yang menempatkannya sebagai unsur dari pertanggung jawab pidana
(ROESLAN SALEH, MOELJATNO). Tentang “kesalahan” ini, terutama dalam
hubungannya dengan pemidanaan sangat penting, karena telah umum dianut suatu
adagium (yang semula berasal dari penafsiran pasal 44 KUHP) yang berbunyi: “Tidak
ada pemidanaan, tanpa adanya kesalahan”.

Beberapa pembahasan para sarjana pada garis besarnya adalah sebagai berikut:

a. Pendapat SIMONS

SIMONS secara panjang lebar membahas tentang pengertian kesalahan.


Beliau berpendapat bahwa, sudah sekian banyak pembahasan tentang hal ini,
tetapi sampai kini (1921) tentang isib dari pengertian kesalahan itu masih tetap
berbeda dan tidak pasti, sehubungan dengan uraian tersebut beliau mengatakan
bahwa untuk mengatakan adanya kesalahan pada pelaku, harus dicapai dan
ditentukan terlebih dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku yaitu sebagai
berikut :

1) Kemampuan bertanggungjawab.

2) Hubungan kejiwaan antara pelaku, kelakuannya dan akibat yang


ditimbulkan (termasuk pula kelakuan yang tidak bertentangan dengan hukum
dalam penghidupan sehari-hari)

3) Dolus (kesalahan)/Culpa (kelalaian).


54

Menurut beliau sebagaimana telah diuraikan lebih dahulu, kesalahan adalah


merupakan unsur subyektif dari tindak pidana.

b. Pendapat NOYON

NOYON mengatakan bahwa untuk masalah “kesalahan” sebaiknya dibahas


mengenai, hal yang berhubungan dengan penerapan hukum positif. Bukan
tentang hakekat yang sebenarnya dari kesalahan itu. Diakuinya pula adanya
ketidakpastian tentang sejauhmana ciri-ciri dari kesalahan berlaku dalam hukum
positif. Sebagai berikutn:

1) Bahwa pelaku mengetahui atau harus dapat mengetahui hakekat dari


kelakuannya dan keadaan yang bersamaan dengan kelakuan itu (sepanjang
keadaan-keadaan itu ada hubungannya).

2) Bahwa pelaku mengetahui atau patut harus menduga bahwa


kelakuannya itu bertentangan dengan hukum.

3) Bahwa kelakuannya itu dilakukan, bukan karena sesuatu keadaan jiwa


yang norma (pasal 44 KUHP)

4) Pelaku kelakuannya itu dilakukan, bukan karena pengaruh dari suatu


keadaan darurat/paksa.

Atau dengan perkataan lain, ada terdapat kesalahan pada pelaku, jika 4 ciri-
ciri tersebut ada padanya. Tetapi diutarakan pula bahwa tidak selamanya
kesalahan itu dalam arti selengkapnya, harus menjadi unsur dari suatu tindak
pidana.

c. Pendapat POMPE

POMPE dalam pembahasannya mengenai kesalahan, mengatakan bahwa


dilihat dari kehendak, kesalahan itu merupakan bagian dari kehendak pelaku,
sedangkan sifat melawan hukum, merupakan bagian luar dari padanya. Artinya
kesalahan merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum yang
(seharusnya) dapat dihindari yaitu penggangguan ketertiban hukumm yang
seharusnya dapat dihindarkan. Sedangkan sifat melawan hukum, merupakan
kelakuan yang bertentangan dengan hukum, untuk kelakuan mana ia dicela.

POMPE, SCUREUDER mengatakan bahwa untuk pengertian kesalahan


menurut hukum pidana menuntut adanya 3 ciri-ciri atau unsur-unsur yaitu sebagai
berikut :

1) Kelakuan yang bersifat melawan hukum.


2) Dolus atau culpa.
3) Kemampuan bertanggungjawa pelaki.

Jika ketiga unsur ini terdapat barulah kita dapat mengatakan adanya
“kesalahan pidana”. Jadi bukan sekedar norma-hukum yang dilanggar, dalam
penentuan kesalahan-pidana, tidak dipersoalkan tentang norma-norma
kesusilaan. Walaupun undang-undang harus menghormati norma kesusilaan,
55

tetapi ia berhak membuat peraturan, yang wajib ditaati oleh setiap orang,
walaupun akan bertentangan dengan kata hatinya.

d. Pendapat ROESLAN SALEH.

ROESLAN SALEH yang sama pendapatnya dengan MOELJATNO


mengatakan antara lain: “ Perbuatan pidana dan pertanggungjawab dalam pidana
bagi kami tidaklah hanya sekedar perhubungan dengan soal “ strafbaar feit “
belaka. Bahwa perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana merupakan
dua pengertian dasa dalam hukum pidana. Kemudian dapat disimpulkan bahwa
unsur kesalahan itu mempunyai unsur-unsur pula yaitu sebagai berikut :

1) Kemampuan bertanggungjawab.
2) Kesengajaan atau kealpaan, (sebagai bentuk kesalahan, dan pula
sebagai penilaian dari hubungan bathin dengan perbuatannya pelaku)
3) Tidak adanya alasan pemaaf.

Gradasi kesengajaan bagi beliau hanyalah sebagai berikut :

1) Kesengajaan sebagai keharusan (kepastian) dan


2) Kesengajaan sebagai kemungkinan.

Pendapat ini berbeda dengan yang ada pada kepustakaan pada umumnya
yang mengenal adanya 3 gradasi kesengajaan, yaitu sebagai berikut :

1) Kesengajaan sebagai keharusan (kepastian) dan


2) Kesengajaan sebagai kemungkinan.
3) Kesengajaan sebagai maksud

Selain tersebut diatas maksud bagi beliau adalah sikap bathin yang lain dari
pada kesengajaan yang merupakan unsur perbuatan pidana, yaitu unsur
melawan hukum yang subyektif, sedangkan kesengajaan adalah unsur
kesalahan.

Selanjutnya ditambahkan tentang adanya kesalahan sebagai berikut :


“sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa
haruslah” :

1) Melakukan perbuatan pidana (dalam hal ini terkait pula sifat melawan
hukum);
2) Mampu bertanggungjawab;
3) Dengan sengaja atau kealpaan;
4) Tidak ada alasan pemaaf.

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pengertian dasar dari hukum


pidana adalah sebagai berikut :

1) Perbuatan pidana dan


2) Pertanggungjawaban pidana.
56

Unsur-unsur perbuatan pidana adalah sebagaia berikut :

1) Formil adalah Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan


sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa
yang melanggar larangan tersebut;

2) Materiil adalah Bersifat melawan hukum.

Unsur pertanggungan jawab pidana adalah : Kesalahan. Sedangkan unsur-


unsur dari kesalahan adalah sebagai berikut :

1) Mampu bertanggungjawab;
2) Sengaja atau culpa; dan
3) Tidak ada alasan pemaaf.

Tolak pangkal dari memasukkan kesalahan sebagai unsur dari


pertanggungjawaban pidana adalah Orang hanya akan dipidana, jika ia
mempunyai pertanggungan jawab pidana. Dan dasar dari dipidananya sipelaku
adalah atas asas “ Tidak dipidana jika tiada kesalahan “

65. Kesengajaan ( dolus ) pada umumnya.

Kesengajaan (dolus) adalah mrupakan bagiam dari kesalahan (schuld).


Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu
tindakan (terlarang/keharusan) dibandingkan dengan Culpa. Karenanya ancaman
pidana pada suatu dlik lebih berat, apabila dilakukan dengan sengaja, dibandingkan
dngan apabila dilakukan dgan kealpaan.

Banyak para sarjana mengemukakan pndapatnya mengenai pengertian dari


kesengajaan (dolus) dalam rangka memperincinya. Dalam beberapa hal tidak terdapat
keseragaman tafsir antara para sarjana tersebut. Perbedaan tafsir tersbut antara lain
terdapat dalam bidang peristilahan yang digunakan dalam perumusan perundang-
undangan, dalam bidang gradasi kesngajaan dan terutama dalam bidang penentuan
erat/renggangnya atau jauh/dekatnya kejiwaan seseorang pelaku kepad tindakan yang
dilakukannya termasuk penyebab dan akibatnya. Uraian-uraian mengenai kesengajaan
dapat dilakukan dari berbagai sudut atau pandangan. Dengan demikian dalam uraian-
uraian sebelumnya, akan diutarakan dari berbagai sudut yaitu dari sudut memori
penjelasan, dari sudut terbentuknya, dari sudut sifatnya, dari sudut istilah-istilah yang
digunakan dalam perundang-undangan dan dari sudut ajaran-ajaran lainnya seprti
penguraian dengan titik berat ketertentuan dari obyek atau tujuan yang dikehendaki
oleh pelaku.

66. Kesengajaan menurut memeori penjelasan (MvT)

Menurut memori penjelasan yang dimaksudkan dengan kesengajaan adalah “


menghendaki dan menginsyafi “ terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya. Artinya
seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja harus menghndaki serta
mengisyafi tindakan tersebut dan/atau akibatnya.
57

67. Kesengajaan dari sudut terbentuknya.

Manusia yang sehat mmpunyai bermacam-macam keinginan. Adakalanya


keinginan itu menjurus pada suatu tindakan yang dilarang dan diancam dengan pidana
oleh perundang-undangan, karena didalam diri manusia memiliki nafsu kendati dilarang
oleh prundang-undangan. Nafsu untuk memeiliki tersebut adalah merupakan
perangsang atau motif dari kelakuannya selanjutnya. Jika ia selanjutnya merencanakan
cara-cara yang akan dilakukannya untuk memiliki benda tersebut, maka padanya telah
ada kehendak. Untuk terjadinya suatu tindak pidana, maka kemudian ia melakukan
suatu tindakan yang dikehendakinya itu. Ada tiga tingkatan yang harus dilaluinya
tersebut yaitu :

a. Adanya perangsang,
b. Adanya kehendak, Penyebab terjadinya suatu tindak pidana
c. Adanya tindakan

Dari uraian tersebut diatas dapat dirumuskan bahwa kesengajaan adalah suatu
kehendak/keinginan untuk melkasanakan suatu tindakan yang didorong oleh
pemenuhan nafsu. Dengan perkataan lain kesengajaan itu ditujukan terhadap
suatu tindakan (kehendak daripada pelaku).

68. Teori kehendak dan teori perkiraan

SIMONS mengatakan bahwa dengan dmikian, kesengajaan itu adalah merupakan


kehendak (de wil), ditujukan kepada perwujudan dari suatu tindakan yang dilarang atau
diharuskan oleh undang-undang. Ajaran ini disebut sebagai Teori kehendak. Teori
kehendak ini disangkal oleh para sarjana lainnya dengan mengemukakan alasan,
bahwa seseorang hanya dapat mengharapkan suatu wujud perbuatan tertentu. Untuk
suatu akibat yang akan timbul dari perbuatan itu, tidak mungkin ia secara tepat
menghndakinya. Paling banter ia bisa mengharapkan atau memperkirakannya, Teori ini
disebut sebagai Teori Perkiraan.

Untuk memahami jalan pikiran dari kedua ajaran tersebut, kita kembalikan ingatan
kita sejenak pada uraian no. 41 diatas, dimana menurut SIMONS, tindak pidana itu
terdiri daari dua golongan unsur yaitu, unsur obyektif dan unsur subyektif. Unsur
Obyektif adalah perbuatan/tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat dan keadaan-
keadaan atau masalah tertentu. Dan unsur Subyektif adalah kesalahan dan
pertanggung jawaban pidana. Jika kehendak itu ditujukan kepada perbuatan, maka
disebut sebagai kesengajaan formal, dan jika ditujukan akibat timul dari perbuatan
tersebut disebut sebagai kesengajaan material.

69. Teori dterminisme dan indeterminisme mengenai kehendak.

Telah dijelaskan menurut SIMONS, kesngajaan adalah merupakan kehendak dari


pelaku. Sehubungan dengan persoalan kehendak, dilapangan ilmu filsafat (diluar
lapangan hukum pidana) diknal dua aliran yaitu sbagai berikut :

a. Diterminisme

Adadalah merupakan suatu ajaran yang mengatakan bahwa kehendak


manusia itu sebnarnya ditentukan terlebih dahulu oleh suatu pengaruh.
LOMBROSO telah melakukan penyelidikan dengan seksama secara antropologi,
58

terutama mengenai tengkorak dari sejumlah narapidana. Ia mengabil kesimpulan


bahwa bentuk-bentuk tengkorak tertentu menandakan atau merupakan ciri-ciri
dari kecenderungannya untuk melakukan suatu tindakan tertentu (atau mlakukan
suatu tindak pidana akan tetapi tidak dipidana karena bukan atas kehendaknya
dan akan tetapi karena ciptaan).

A. LACASSAGNE MANOUVHIER, TARDE dan sebagainya (Mashab


sosisologis) tidak sependapat dengan ajaran LOMBROSO, mereka mengatakan
bahwa sumber-sumber atau sebab-sebab dari seseorang melakukan kejahatan,
adalah pengaruh dari lingkungan masyarat. Juga TURATI, COLIJANI dan MARX
termasuk mashab ini, yang mengajarkan bahwa keadaan ekonomi yang jelek
adalah penyebab dari terjadinya kejahatan perekonomian, kesusilaan, pelacuran
dan sebagainya.

b. Indeterminisme

Sebaliknya ajaran indeterminisme, walaupun mengakui adanya pengaruh


dari keadaan-keadaan lingkunganya, mengatakan bahwa manusia itu tetap dapat
menentukan kehendaknya (teori ini tidak berdasarkan penyelidikan). Tetapi
dalam hubungannya dengan ilmu hukum pidana, setidak-tidaknya melalui ilmu
pengetahuan kejahatan, justru ajaran indeterminisme yang dapat digunakan.
Karena dalam ilmu hukum pidana yang terpenting adalah
pertanggungjawabannya sebagai akibat dari tindak pidana yang dilakukannya
merupakan perwujudan dari kehendaknya.

70. Sifat kesengajaan (dolus malus).

Menurut sifatnya ada dua jenis kensengajaan yaitu sebagai berikut :

a. Pertama dolus malus yaitu dalam hal seseorang melakukan suatu tindak
pidana, tidak saja ia hanya menhendaki tindakannya itu, tetapi juga menginsyafi
bahwa tindakannya itu dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana.

b. Kedua kesengajaan yang tidak mmpunyai sifat trtentu (kleurloos begrip)


yaitu dalam hal seseorang melakukan suatu tindak pidana tertentu, cukuplah jika
(hanya) menghendaki tindakannya itu. Artinya ada hubungan yang erat antara
kewajiban (bathin) dengan tindakannya. Tidak disyaratkan apakah ia menginsyafi
bahwa tindakannya itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.

71. Gradasi/tingkatan kesengajaan.

Kesengajaan tanpa sifat tertentu, dalam praktek peradilan dan menurut doktrin
dikenal dan diperbedakan beberpa garadasinya. Gradasi seperti ini juga diketemukan
oleh penganut teori perkiraan untuk memperkuat pendiriannya terhadap penganut teori
kehendak. Gradasi kesengajaan tersebut adalah sebagai berukut :

a. Kesengajaan dengan maksud (oogmerk).

Kesengajaan dengan maksud berarti terjadinya suatu tindakan atau akibat


tertentu (yang sesuai dengan perumusan undang-undang hukum pidana), adalah
betul-betul sebagai perwujudan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan dari
pelaku (pasal 406 KUHP perbuatan merusak itu adalah perwujudan dari kehendak
59

dan pengetahuan dari pelaku, pasal 338 KUHP matinya seseorang tersebut
adalah merupakan perwujudan dari maksud dan tujuan dari pelaku).

b. Kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan.

Pada gradasi ksengajaan dengan kesadaran pasti, yang menjadi sandaran


adalah, seberapa jauh pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan
akibat yang merupakan salah satu unsur daripada suatu delik yang telah terjadi
(sebelum sasaran itu tercapai akan timbul akibat lain daripada yang dikehendaki
oleh si pelaku). Contoh: A dengan sengaja menembak B yang kebetulan berada
dibalik kaca etalase. Tujuan atau maksud A adalah matinya B. Tetapi untuk dapat
terwujudnya tujuan itu, ia pasti menyadari bahwa kaca etalase itu akan rusak
ditembus oleh peluru senapannya. Terhadap B, pada A ada kesengajaan sebagai
maksud dan untuk tindakan merusak kaca itu (delik formal) ada kesengajaan
dengan kesadaran pasti.

c. Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (dolus eventualis)

Kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan, sebelumnya disebut juga


sebagai kesengajaan bersayarat. Kesengajaan jenis ini bergradasi terendah.
Bahkan sering sukar memperbedakan dengan kealpaan (culpa). Yang menjadi
sandaran jenis kesengajaan ini ialah, sejauh mana pengetahuan atau kesadaran
pelaku, tentang tindakan dan akibat terlarang (beserta tindakan atau akibat
lainnya) yang mungkin akan terjadi. (pelaku sadar bahwa suatu akibat akan
timbul tetapi dia tidak akan mngurungkan niatnya, orang itu menyadari bahwa
perbuatan yang dilakukan akan menimbulkan kerugian bagi orang lain). Contoh :
Bilamana seseorang menempatkan senjata dibelakang pintu rumahnya, agar
apabila ada pencuri masuk melalui pintu itu akan tertembak dan mengakibatkan
luka atau matinya pencuri itu. Kemudian jika benar-benar ada pencuri masuk,
tertembak lalu mati, maka pada pelaku itu terdapat kesengajaan jenis ini,
kesadaran akan kemungkinan tertembaknya pencuri atau tamu yang tidak
diundang itu jika benar-benar datang dan yang mengakibatkan luka atau
kematiannya ada pada pelaku.

72. Kesengajaan dalam perumusan KUHP

Dalam pasal-pasal KUHP, tidak ditemukan suatu ketentuan penafsiran resmi


mengenai istilah kesengajaan, rupanya tentang penafsiran kesengajaan, lebih banyak
dipercayakan kepada perkembangan kesadaran hukum masyarakat sebagai pemain,
dan penonton. Dalam KUHP dan perundang-undangan hukum pidana lainnya
perumusan “bentuk kesengajaan” seseorang, bukan hanya instilah kesngajaan (dengan
sengaja, sengaja) saja yang digunakan tetapi terdapat istilah-istilah lainnya. Apabila
dicantumkan kesengajaan atau dengan istilah lainnya sebagai unsur delik, dapat
dipersoalkan pula dalam gradasi manakah harus diartikan. Apakah mencakup ketiga
gradasi tersebut?

a. Istilah yang digunakan dalam KUHP untuk menyatakan kesengajaan.

Adapun istilah yang digunakan dalam KUHP adalah sebagai berikut :

1) Kesengajaan, dengan sengaja, sengaja. Terdapat dalam pasal


187/pembakaran, 281/merusak kesusilaan dimuka umum,
60

304/menyengsarakan orang yang wajib dirawatnya, 310/menista,


333/merampas kemerdekaan orang, 338/merampas jiwa orang,
354/penganiayaan berat, 372/penggelapan barang.

2) Yang diketahuinya yang terdapat dalam pasal 204/menjual barang


yang merusak kesehatan, 220/memberikan laporan palsu, 419/penyuapan
pasif dan sebagainya.

3) Sedang diketahuinya terdapat dalam pasal 110 ayat ke 2


ke-3/menyediakan alat-alat pemberontakan, 275/mnyimpan barang untuk
pemalsuan surat, 250/ menyediakan barang untuk memalsukan uang dan
sebagainya.

4) Sudah tahu yang terdapat dalam pasal 483 ke-2/ kejahatan penerbit.

5) Dapat mengetahui, pasal 164, 464/kewajiban untuk melaporkan


tentang adanya suatu kemufakatan untuk melakukan atau rencana
kejahatan.

6) Telah dikenalnya pasal 245, 247/ mengeluarkan uang palsu.

7) Tidak diketahuinya, pasal 282/ kejahatan pornografi.

8) Bertentangan dengan pengetahuannya pasal 311/menfitnah.

9) Pengurangan hak secara curang pasa 397/kejahatan dalam kepailitan.

10) Dengan tujuan yang nyata pasal 310/menista, pencemaran.

11) Dengan kehendak/maksud.

b. Istilah dengan sengaja

Jika dalam suatu perumusan tindak pidana digunakan istilah dengan sengaja
menurut doktrin harus ditafsirkan secara luas, artinya mencakup ketiga gradasi
kesengajaan. Bahwa pengertian dari dengan sengaja sebagai dikehendaki dan
diinsyafi telah diperluas tetapi juga hal-hal yang mengarah atau berdekatan
dengan kehendak atau keinsyafan itu. Arrest HR telah memutuskan bahwa unsur
kesengajaan ada, dalam hal pelaku telah mempunyai pengahrapan tertentu.

c. Diketahui.

Mengenai pengertian dari istilah diketahui atau diinsyafi, terdapat perbedaan


faham diantara para sarjana, apakah meliputi ketiga gradasi kesengajaan atau
hanya gradasi pertama dan kedua. JONGKERS menyimpulkan bahwa pengertian
dari “diketahui itu termasuk istilah sengaja dalam arti dikehendaki dan diinsyafi
dan tidak boleh diartikan sebagai pengetahuan mutlak, tetapi harus diartikan
dalam pengertian umum yang juga berarti diharapkan, dimengerti.
61

d. Dengan maksud.

Penggunaan istilah dengan maksud sebagai tujuan yang termasuk dalam


gradasi kesengajaan, jangan dicampur adukkan dengan perumsan pasal undang-
undang yang menggunakan istilah “dengan maksud” lainnya. Dalam hal pertama
yang menjadi inti pemikiran adalah gradasi dari kesengajaan. Yaitu bahwa suatu
tindakan dan akibat yang betul-betul sebagai kehendak dan keinsyafan pelaku.
Sedangkan dalam hal kedua “dengan maksud” lainnya digunakan sebagai istilah
“dengan sengaja” yang pengertiannya mungkin lebih sempit, mungkin sama dan
bahkan mungkin lebih luas dari pengertian istilah “dengan sengaja” itu sendiri.

e. Kesengajaan tercakup dalam suatu istilah atau kata kerja.

Selain dari penggunaan istilah-istilah tersebut diatas, untuk menyatakan


adanya unsur kesengajaan, terdapat sejumlah delik yang tidak secara tegas
menggunakan salah satu istilah tersebut, namun harus ditafsirkan sebagai
tindakan yang dilakukan dengan sengaja. Demikian penggunaan istilah sbb:

1) Menghasut dalam pasal 160 KUHP.


2) Memaksa masuk, pasal 167 KUHP. Dan tidak menggunakan istilah
datang masuk.
3) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi rapat umum
yng diizinkan pasal 173 KUHP.
4) Melawan pasal 212 KUHP.

f. Penempatan unsur kesengajaan dalam perumusan delik.

Penempatan unsur kesengajaan adakalanya ditempatkan pada awal,


terkadang ditengah-tengah dan mungkin pada perumusan delik. Maksud pembuat
undang-undang menurut MvT bahwa semua unsur-unsur lainnya dari suatu delik,
yang terdapat dibelakang unsur kesengajaan, dipengaruhi oleh unsur
kesengajaan. Artinya semua unsur unsur lainnya tersebut dilakukan dengan
sengaja atau diketahui dan atau diinsyfinya, sedangkan unsur-unsur yang ada di
depannya tidak dipersyaratkan demikian itu.

1) Jika unsur kesengajaan diletakkan pada awal perumusan delik, atau


dengan perkataan lain dibelakang unsur kesengajaan terdapat unsur-unsur :

a) Tindakan terlarang dan diancam dengan pidana oleh undang-


undang.
b) Bersifat melawan hukum, dan
c) Keadaan-keadaan tertentu.

2) Jika unsur kesengajaan diletakkan ditengah-tengah perumusan suatu


delik, seperti yang dirumuskan dalam pasal 224 KUHP.

3) Terdapat pula penempatan unsur kesengajaan di belakang perumusan


delik, telah disinggung bahwa istilah “mnghasut”, “memaksa masuk”,
“melawan”, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan “merintangi” dan
sebagainya, mengandung unsur kesengajaan.
62

4) Jika diatas telah diurikan bahwa unsur kesengajaan itu meliputi seluruh
unsur-unsur lainnya yang ditempatkan dibelakangnya, ternyata tidak selalu
dipedomani secara konsekwn, lalu dicarilah jalan keluar dengan
menggunakan penafsiran tertentu. (pasal 160, 167, 212 KUHP).

5) Dalam beberapa perumusan delik disamping unsur dengan sengaja


terdapat pula unsur “dengan melawan hukum” terkadang dirangkaikan
dengan kata penghubung “dan” (pasal-pasal 180, 198, 406 dsb) terkadang
tanpa penghubung tersebut (pasal 257, 333, 372 KUHP).

6) Pada prinsipnya semua unsur yang ditempatkan dibelakang unsur


ksengajaan dipengaruhi oleh kesengajaan itu, akan tetapi ketentuan ini tidak
berlaku terhadap ketentuan umum buku I KUHP. Jadi pasal 56 KUHP
seseorang yang memberikan dengan sengaja bantuan, tidak harus
mengetahui atau lebih tepat tidak merupakan “kesengajaan melakukan
kejahatan” tersebut.

7) Sehubungan dengan pengaruh kesengajaan ini, perlu diketahui bahwa


ia tidak disyaratkan harus mempengaruhi hal-hal/keadaan-keadaan yang
secara nyata memberatkan pemidanaannya.

8) Dengan rencana lebih dahulu (juga disebut “dolus premditatus) bukan


salah satu bentuk khusu dari kesengajaan. Tetapi ia adalah keadaan jiwa
dari pelaku, dimana kesengajaan itu dibentuk.

73. Kekeliruan (eror) pada kesengajaan (dolus).

Ada beberapa kekeliruan yang mungkin terjadi dalam rangka ksengajaan.


Kekeliruan itu dapat terjadi karena yang dituju/dikehendaki salah, atau sasaran yang
dikehendaki keliru sehingga tindak pidana yang terjadi berubah, atau terjadi kekeliruan
mengenai hukum, atau kekeliruan mengenai fakta/tindakan, ataupun terjadi
penyimpangan dari sasaran, sehingga sasaran yang tidak dituju yang terkena.
Kekeliruan-kekeliruan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Kekeliruan mengenai orang (eror in persona) artinya bahwa terdapat


kekeliruan antara apa yang dikehendaki oleh pelaku dengan apa yang telah ia
lakukan sebagai akibat dari salah penglihatan. (contoh Si A mau membunuh B
tetapi si A salah sasaran mmbunuh C)

b. Kekeliruan mengenai sasaran ( eror in objecto) artinya Kesulitan akan timbul


jika suatu perumsan delik menentukan identitas dan seseorang yang akan
menjadi korban (pasal 104 KUHP) Jika pelaku berkehendak membunuh
(menembak mati) presiden, tetapi karena kkeliruan mengenaai identitas, yang
tertembak mati adalah ajudannya, maka dalam hal ini, terhadap pelaku ditinjau
dari sudut matinya ajudan yang dikenakan adalah pasal 338 KUHP.

c. Kekeliruan mengenai hukum (rechts-dwaling/error juris) artinya adalah


mengenai apakah sesuatu tindakan dan akibatnya dilarang oleh undang-undang
atau tidak, yang berarti pula apakah tindakan itu dapat dipidana atau tidak.
(contoh di negara A judi dibolehkan ternyata si B main judi disuatu tempat dimana
dinegara C tempat tersebut judi dilarang/karena tidak mendapatkan ijin).
63

d. Kekeliruan mengenai fakta/tindakan (feitelijke dwaling error facti) artinya


kekeliruan pada salah satu unsur dari perumusan delik. Demikianlah jika sorang
pegawai penyidik/penyelidik Polisi menangkap basah seseorang yang ia sangka
telah melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang.

74. Pembagian atau jenis dolus dihubungkan dengan sasaran.

Ajaran lainnya tentang pembagian kesengajaan adalah diperbedakannya


mengenai “tertentu atau tidak tertentunya” suatu tujuan yang dikehendaki oleh pelaku
yang disebut sebagai berikut :

a. Dolus determinatus adalah sasaran yang dituju adalah merupakan sasaran


yang sudah terlebih dahulu ditentukan.

b. Dolus indeterminatus adalah sasaran yang dituju adalah sasaran yang tidak
terlebih dahulu ditentukan.

c. Dolus alternativus adalah sasaran yang dituju bisa A dan bisa B.

d. Dolus generalus adalah pelaku menghendaki sasaran secara umum.

e. Dolus inderctus adalah kesengajaan yang tidak langsung (orang


menganiaya ternyata yang dianiaya meninggal dunia).

f. Dolus premiditatus adalah kesengajaan yang direncanakan terlebih dahulu


oleh pelaku.

75. Kealpaan (Culpa).

Didalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Dari ilmu
pengetahuan hukum pidana diketahui bahwa inti, sifat-sifat atau ciri-cirinya adalah
sebagai berikut :

a. Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena


menggunakan ingatan/otaknya secara salah, seharusnya ia menggunakan
ingatnnya (sebaik-baiknya), tetapi ia tidak digunakan. Dengan perkataan lain ia
telah melakukan suatu tindakan (aktif atau pasif) dengan kurang kewaspadaan
yang diperlukan.

b. Pelaku dapet memperkirakan akibat ayang akan terjadi, tetapi merasa dapat
mencegahnya. Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk tidak
melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak
diurungkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela, karena bersifat melawan
hukum.

Memori van Tulechting (MvT) menjelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri
pelaku terdapat sebagai berikut :

a. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan,


b. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan,
64

c. Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.

Kealpaan seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan.
Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya daripada kesengajaan. Tetapi
dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah keabliakn dari kesengajaan, karena
bilamana dalam kesengajaan, suatu akibat yang timbul itu dikehendaki pelaku, maka
dalam kealpaan, justru akibat itu dikehendaki, walaupun pelaku dapat memperkirakan
sebelumnya.

Perbedaan antara kesengajaan dengan kealpaan dalam hubungannya dengan


suatu tindakan yang dapat dipidana adalah sebagai berikut:

a. Ssuatu akibat pada kealpaan, tidak dikehendaki pelaku walaupun dapat


diperkirakan, sdangkan pada kesengajaan justru akibat itu adalah perwujudan dari
kehendak dan keinsyafannya.

b. Percobaan untuk melakukan suatu kejahatan karena kealpaan pada


umumnya tidak dapat dibayangkan, karena memang niat untuk melakukannya
tidak ada, karenanya tidak mungkin ada pemidanaan.

c. Disamping bentuk kejahatan sengaja tidak dengan sendirinya adapula


bentuk kejahatan kealpaan.

d. Ancaman pidana terhadap delik yang dilakukan dengan sngaja, lenih berat
dibandingkan terhadap delik yang bersamaan karena kealpaannya.

e. Jika dolus eventualis dibandingkan dengan kealpaan yang berat, maka pada
dolus eventualis disyaratkan adanya kesdaran akan kemungkinan terjadinya
suatu akibat, kendatipun ia bisa berbuat lain, tetapi tokoh lebih suka melakukan
tindakan itu walaupun tahu resikonya.

76. Culpa lata dan Culpa Levis serta kealpaan disadari dan tidak disadari.

Pebgradasian bentuk kealpaan dapat diterangkan dari dua sudut sebagai berikut :

a. Dilihat dari sudut kecerdasan atau kekuatan ingatan pelaku, maka


diperbedakan gradasi kealpaan sebagai berikut dengan :

1) Kealpaan yang berat (culpa lata)/kekurangan waspadaan.

2) Kealpaan yang ringan (culpa levis)/hasil perkiraan atau perbandingan.

b. Dilihat dari sudut kesadaran diperbedakan gradasi sebagai berikut :

1) Kealpaan yang disadari (bewuste schuld), terhadap artinya adalah


dengan sengaja sadar akan terjadi timbulnya akibat.

2) Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld) artinya ia tidak sadar


dalam melakukan kegiatan akan tetapi timbul terjadinya akibat.
65

77. Perbarengan unsur kesengajaan dan kealpaan dalam satu delik.

Jika diatas dikatakan ada bentuk kejahatan dengan kesengajaan dan ada bentuk
kejahatan dengan kealpaan sebagai berikut :

a. Suatu kejahatan yang unsur-unsurnya seluruhnya diliputi unsur kesengajaan


dan kealpaan tetapi ancaman pidananya sama saja.

b. Suatu kejahatan yang sebagaian unsurnya diliputi kesengajaan, tetapi unsur


lainnya mungkin diliputi oleh kesengajaan, tetapi mungkin pula diliputi oleh
kealpaan (pro partus dolus pro partus culpa).

78. Istilah untuk kealpaan dalam undang-undang

Prumusan atau istilah-istilah yang digunakan dalam undang-undang yang


menunjukkan kealpaan adalah sebagai berikut :

a. Karena salahnya (pasal 188, 191 ter, 195, 360 KUHP).


b. Kealpaan (pasal 231, 232 KUHP).
c. Harus dapat menduga (pasal 287, 292, 480 KUHP).
d. Ada alasan kuat baginya untuk menduga ( pasal 282 ayat 2).

Dihubungkan dengan gradasi kealpaan, dalam pengertian yang manakah


kealpaan dalam undang-undang hukum pidana diartikan/ Ternyata dalam KUHP tidak
ada ketentuan atau penjelasan. Dari jurisprodensi diperoleh bahwa untuk delik
kejahatan, yang digunakan pada umumnya adalah gradasi kealpaan yang terberat yaitu
culpa lata atau grove schuld.

79. Feit Material. ( tindak pidana yang tidak perlu mempermasalahkan adanya unsur-
unsur kesalahan/tidak ada unsur kesalahan)/unsur kesengajaan/kealpaan terhadap
tindak pidana)

a. Melkboer
b. Perpajakan di negeri Belanda
c. Perpajakan di Indonesia
d. Undang-undang devisa Indonesia
e. Pendapat mengenai “tidak dengan sengaja”

80. Perbuatan diikuti dengan “tindakan kealpaan”

Kealpaan itu dapat terjadi karena perbuatan yang disengaja, karena perbuatan
yang tidak disengaja dan karena tidak melakukan sesuatu perbuatan.

81. Kesimpulan mengenai kesalahan

Kesimpulan yang dapat diambil yang juga menjadi pandangan dari SR.
SIANTURI, SH. mengenai uraian tersebut diatas adalah sebagai berikut :

a. Ciri dari kesalahan dalam arti hukum pidana adalah :

1) Adanya hubungan jiwa pelaku dengan tindakan dan/atau akibat yang


terjadi dan dalam beberapa hal yang akan terjadi; hubungan jiwa dan
66

tindakan mana dapat ia nilai, menyadari ketercelaannya jika terjadi, yang


seharusnya dapat ia hindarinya sebelumnya. Dengan perkataan lain adanya
hubungan jiwa dari pelaku yang mampu bertanggung jawab dngan tindakan/
akibatnya.

2) Bentuk kesalahan itu adalah dengan sengaja atau kealpaan.

3) Atas tindakan pelaku itu tidak ada dasar-dasar peniadaan kesalahan


(pasal 44, 48, 49 ayat 2, 51 ayat 2 KUHP), mengenai soal mampu
bertanggungjawab dan dasar-dasar pemidanaan keslahan akibat akan
dibahas dalam bab pertanggungjawaban pidana.

b. Bentuk-bentuk kesengajaan adalah :

1) Kesengajaan (yang bnar-benar) menjadi tujuannya.


2) Kesengajaan dengan kesadaran pasti.
3) Kesengajaan bersayrat atau dengan kesadaran kemungkinan.
4) Kesengajan dengan maksud atau dengan tujuan.

c. Betuk-bentuk kealpaan adalah :

1) Kealpaan berat (dihubungkan dengan delik kejahatan pada umumnya).


2) Kealpaan ringan (dihubungkan dengan delik pelanggaran disampingi
kealpaan berat)

d. Kesalahan adalah merupakam unsur dari timdak pidana (disamping juga


merupakan unsur dari pertanggungjawaban pidana).

BAGIAN EMPAT

BAB XII
ISTILAH DAN PERUMUSAN ARTI TINDAK PIDANA

82. “Het Strafbare feit”

Istilah seperti juga perkataan adalah merupakan referensi, tetapi juga sering
dikatakan orang bahwa istilah itu dianggap merupakan suatu perjanjian antara orang-
orang yang meggunakannya tentang apa yang dimaksud atau yang diartikan dengan
suatu istilah. Demikianlah istilah (term) “Het strafbare feit” telah diterjemahkan dalam
bahasa indonesia sebagai berikut :

a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum.


b. Peristiwa pidana.
c. Perbuatan pidana dan
d. Tindak pidana.
67

83. Pengertian dari “Een strafbaar feit” menurut para sarjana-sarjana barat.

a. Perumusan SIMONS yang merumuskan adalah suatu handeling


(tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,
bertentangan dengan hukum, dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang
mampu bertanggungjawab. Kemudian beliau membagi dua unsur yaitu :

1) Unsur-unsur obyektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan


akibat keadaan/masalah tertentu.

2) Unsur-unsur subyektif yang berupa kesalahan dan kemampuan


bertanggung jawab dari ptindak.

b. Perumusan Van HAMEL yang merumuskan “strafbaar feit” itu sama dengan
yang dirumuskan oleh SIMONS hanya beliau menambahkan dengan kalimat “
tindakan mana bersifat dapat dipidana”.

c. Perumusan Vos mengenai “strafbaar feit” adalah suatu kelakuan (gedraging)


manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.

d. Perumusan POMPE mengenai “strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran


kaidah (penggangguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai
kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan
ketertiban hukum dan menjamin ksejahteraan umum.

84. Terjemahan “strafbaar feit”

Kesulitan itu tidak semakin berkurang setelah istilah strafbaar feit itu
diterjemahkan kedalam bahasa indonesia. Lebih-lebih lagi setelah kepada terjemahan
itu diberikan perumusan. Perundang-undangan indonesia telah menggunakan kempat-
empatnya istilah diatas dalam berbagai undang-undang. “perbuatan yang dapat
dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana”.

Para sarjana indonesia juga telah menggunakan beberapa atau salah satu dari
tersebut diatas antara lain sebagai berikut:

a. Perbuatan yang boleh dihukum (MR.KARNI, SUSILO, H.J. van


SCHRAVENDIJK).

b. Peristiwa pidana (Mr. R. TRESNA, E. UTRECHT, WIRYONO


PRODJODIKORO).

c. Perbuatan pidana (MOELJATNO, SUPRAPTO).

d. Tindak pidana (SATOCHID KARTANEGARA, WIRJONO PRODJODIKORO,


SUBEKTI, CH. HIMAWAN, SIANTURI).
68

85. Pengertian “Strafbaar feit” setelah diterjemahkan.

Diantara para sarjana indonesia tersbut telah memberikan pendapat atau alasan-
alasannya, mengapa harus menggunakan istilah yang dipilihnya itu sebagai terjemahan
dari “starfbaar” dan “ feit” yang kemudian dimajemukkan. Beberapa diantara pendapat
tersebut adalah sebagai berikut :

a. Pendapat MOELJATNO dan RUSLAN SALEH

Prof MOEJATNO, setelah membahas, menguraikan beberapa istilah yang


telah digunakan untuk terjemahan strafbaar feit, pilihan beliau jatuh pada istilah
“perbuatan pidana” dengan alsan dan pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut:

1) Kalau untuk recht, sudah lazim dipakai istilah : Hukum, maka dihukum
lalu berarti:berecht, diadili, yang sama sekali tidak mesti berhubungan
dengan straf, pidana: karena perkara-perkara perdatapun di-bercht, diadili,
Maka beliau memilih untuk terjemahan stafbaar adalah istilah PIDANA
sebagai singkatan dari YANG DAPAT DIPIDANA.

2) Perkataan perbuatan sudah lazim dipergunakan dalam percakapan


sehari-hari : perbuatan tak senonoh, perbuatan jahat dan sbagainya dan
juga sebagai istilah teknis seperti: perbuatan melawan hukum. Perkataan
perbuatan berarti dibuat oleh seseorang dan menunjuk baik pada yang
melakukan maupun pada akibatnya. Sedangkan perkataan peristiwa tidak
menunjukan, bahwa yang menimbulkannya adalah “handeling” atau
“gedraging” seseorang, mungkin juga hewan atau alam. Dan perkataan
tindak berarti langkah dan baru dalam bentuk tindak tanduk atau tingkah
laku.

b. Pendapat UTRECHT.

Yang mnganjurkan pemakaian istilah peristiwa pidana, karena istilah


peristiwa itu meliputi perbuatan (handelen atau doen positif) atau melalaikan
(verzuim atau nalaten niet-doen negatif) maupun akibatnya.

c. Pendapat SATOCHID.

Dalam rangkain kuliah beliau menganjurkan pemakaian istilah tindak pidana,


karena istilah tindak pidana (tindakan), mencakup pengertian melakukan atau
berbuat dan /atau pengertian tidak melakukan, tidak berbuat, tidak melakukan
suatu perbuatan.

Istilah perbuatan berarti melakukan, berbuat tidak mencakup pengertian


mengakibatkan/tidak melakon. Istilah peristiwa, tidak menunjukkan kepada hanya
tindakan manusia. Sedangkan terjemahan pidana untuk strafbaar adalah sudah
tepat.

Sekiranya adalah lebih tepat, untuk menggunakan istilah TINDAK-PIDANA


seperti diuraikan SATOCHID dengan tambahan penjelasan, bahwa istilah tindak
pidana dipandang diperjanjikan sebagai kependekan dari : TINDAK- (AN- yang
dilakukan oleh manusia, untuk mana ia dapat di) PIDANA atau (PE-) TINDAK
69

(yang dapat di-) PIDANA. Kepada istilah tersebut harus pula diperjanjikan
penegrtiannya dalam bentuk perumusan. Dalam perumusan tersebut harus
tercakup semua unsur-unsur dari delik (tindak pidana), atas dasar mana dapat
dipidananya petindak yang telah memenuhi unsur-unsur tersebut.

86. Berbagai perumusan tindak pidana.

Sebelum dicoba memberikan perumusan tindak pidana, terlebih dahulu akan


disitir beberapa perumusan yang telah diperkenalkan oleh beberapa sarjana kita
sebagai berikut:

a. Prof. MOELJATNO memilih PERBUATAN-PIDANA sebagai terjemahan dari


“Strafbaar fait” beliau memberikan perumusan (pembatasan) sebagai perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan
tersebut.

b. Mr. R. TRESNA mengemukakan bahwa sungguh tidak mudah memberikan


suatu ketentuan atau definisi yang tepat, mengatakan bahwa : PERISTIWA
PIDANA itu ialah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap
perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.

c. Dr. WIRJONO PRODJODIKORO, merumuskan TINDAK-PIDANA berarti


sesuatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelaku
itu dapat dikatakan merupakan “subyek” tindak pidana.

87. Unsur-unsur tindak pidana.

Perlu diperhatikan pula, apabila masalah waktu, tempat dan keadaan (WTK) ini
dilihat dari sudut hukum pidana formal, maka ia sangat penting, karna tanpa
kehadirannya dalam surat dakwaan, maka surat dakwaan itu adalah batal demi hukum.
Jadi sama dengan unsur-unsur lainnya yang harus hadir/terbukti yaitu sebagai berikut :

a. Unsur ke-1 Subyek,


b. Unsur ke-2 Kesalahan,
c. Unsur ke-3 Bersifat melawan hukum (dari tindakan),
d. Unsur ke-4 Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-
undang/perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana,
e. Unsur ke-5 Waktu, tempat dan keadaan (unsur subyektif lainnya).

Dengan demikian dapat dirumuskan pengertian dari tindak pidana sebagai : Suatu
tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau diharuskan)
dan diancam dengan pidana oleh undang-undang bersifat melawan hukum, serta
dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu bertanggung jawab).

88. Penerapan unsur-unsur delik.

Untuk kebutuhan praktek perumusan seperti ini sangat memudahkan pekerjaan


penegak hukum, baik ia sebagai peserta pemain, maupun sebagai peninjau. Apakah
suatu peristiwa telah memenuhi unsur-unsur dari suatu delik yang dirumuskan dalam
pasal undang-undang, maka diadakanlah penyesuaian atau pencocokan dari peristiwa
70

tersebut kepada unsur-unsur dari delik yang didakwakan. Dapat disimpulkan sebagai
pedoman tentang penerapan unsur-unsur delik yaitu sebagai berikut :

a. Tiada pidana, tanpa telah terjadi suatu tindakan yang terlarang dan diancam
pidana oleh undang-undang.

b. Tiada pidana tanpa kesalahan.

c. Tiada pidana, tanpa sifat melawan hukum (dari tindakan tersebut). Mngingat
bahwa unsur tindak pidana itu ada lima, sdangkan jika salah satu unsur tidak ada
atau tidak terbukti, sebenarnya dapat juga disimpulkan hal sebagai berikut :

d. Tiada pidana, tanpa adanya unsur-unsur subyektif (petindak yang


ditentukan)/ subyek dan kesalahan

e. Tiada pidana, tanpa adanya unsur-unsur obyektif lainnya (bersifat melawan


hukum, tindakan terlarang serta diancam dengan pidana oleh undang-undang,
faktor-faktor obyektif lainnya.

89. Setiap delik harus dipandang sebagai berunsurkan bersifat melawan hukum.

Jika diprbandingkan unsur ktiga dan keempat, seakan-akan terdapat


pengertiannya yang bertentangan. Jika dalam unsur keempat misalnya ditentukan
“sebagaimana telah dirumuskan dalam undang-undang” dapat dipersoalkan, apakah
unsur ketiga (bersifat melawan hukum) juga telah dirumuskan dalam undang-undang,
Pada umumnya unsur ketiga itu (bersifat melawan hukum) disimpulkan sebagai sudah
dirumuskan dalam undang-undang kedatipun usaha pembuktiannya mengikuti suatu
“cara” tersendiri (pasal 44, 48, 49 (1), 50, 51 (1) KUHP).

BAB XIII
SUBYEK TINDAK PIDANA

90. Manusia sebagai subyek.

Dalam sejarah perundang-undangan hukum pidana, pernah dikenal bahwa


subyek dari sesuatu tindak pidana bukan hanya manusia saja, tetapi juga hewan pada
abad pertengahan (tahun 1571) pernah dipidana seekor banteng (sapi) karena
membunuh seorang wanita, dan sekarang sudah tidak dianut lagi.

Jadi yang dianggap sebagai subyek tindak pidana adalah manusia, sedangkan
hewan dan badan-badan tidak dianggap sebagai subyek. Bahwa hanya manusialah
yang dianggap sebagai subyek tindak pidana, dismpulkan antara lain sebagai berikut :

a. Perumusan delik yang selalu menentukan subyeknya dngan istilah : barang


siapa, warga negara indonesia, nahkoda, pegawai negeri dan lain sebagainya.
Penggunaan istilah-istilah tersebut selain daripada yang ditentukan dalam
rumusan delik yang bersangkutan, dapat ditemukan dasarnya pada pasal-pasal :
2 s/d 9 KUHP. Untuk istilah barang siapa, dalam pasal-pasal : 2,3,4 KUHP
digunakan istilah setiap orang.
71

b. Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana seperti diatur, terutama


dalam pasal-pasal 44,45, 49 KUHP, yang antara lain mensyaratkan “kejiwaan”
dari petindak.

91. Perluasan subyek.

Dalam perkembangan hukum pidana selanjutnya bukan hanya manusia yang


dianggap sebagai subyek, terutama dalam hal-hal yang menyangkut :

a. Sumber keuangan negara (perpajakan, bea import dan eksport barang dan
lain sebagainya).

b. Pengaturan perekonomian (pengendalian harga, penggunaan cek,


pengaturan perusahaan dan sebagainya)

c. Pengaturan keamanan (subversi, keadaan bahaya dan sebagainya).

92. Sebab-sebab perluasan subyek.

Tentang ketentuan mengenai pemidanaan terhadap suatu badan hukum atau


perserikatan dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut :

a. Bahwa pemidanaan itu pada prinsipnya bukan diarahkanditujukan kepada


badan hukum/perserikatan, tetapi sebenarnya kepada sekelompok manusia yang
bekerjasama untuk sesuatu tujuan atau yang mempunyai kekayaan bersama
untuk sesuatu tujuan yang tergabung dalam badan hukum tersebut.

b. Adanya beberapa ketentuan yang harus menyimpang dari penerapan hukum


pidana umum, terhadap badan-badan tersebut dalam hal badan-badan itu dapat
dipidana, atau dalam hal tujuan dari badan-badan itu terlarang dan dapat
dipidana, sepertui tidak mungkinnya menjatuhkan pidana perampasan
kemerdekaan (pidana penjara, tutupan,kurungan) pada badan hukum, dan tidak
mungkinnya pidana denda diganti dengan pidana kurungan dan lain sebagainya.

Singkatnya penentuan atau perluasan badan hukum sebagai subyek tindak


pidana, adalah karena sesuatu kebutuhan, terutama dalam soal perpajakan,
perekonomian dan keamanan negara, yang disesuaikan dengan perkembangan
peradaban dan ilmu pengetahuan manusia. Namun pada hakekatnya manusia
yang merasakan/menderita pemidanaan itu.

BAB XIV
SIFAT TNDAK PIDANA

93. Pengayoman berimbang

Bahwa hukum pidana termasuk hukum publik dan sifatnya adalah sebagai
pengatur hubungan hukum antara manusia dengan sesamanya, pengaturan mana
dibebankan kepada penguasa, sedangkan ukurannya dititikberatkan pada kepentingan
umum pada umumnya. Pada umumnya sifat tindak pidana dapat dirumuskan sebagai
“pembatasan beberapa kepentingan atau tindakan, dengan mengadakan larangan-
larangan atau keharusan-keharusan tertentu supaya tercapai dan terpelihara
72

kepentingan umum dalam keseimbanganny dengan kepentingan individu, pembatasan


mana dibebankan kepada penguasa, sebagai pemegang kedaulatan rakyat”.

Menurut SIMONS tindak pidana ditujukan kepada kepentingan ditentukan oleh


hukum. Dari ketentuan ini dapat timbul hak-hak subyektif, tetapi tidak semua tindak
pidana selalu menyangkut atau tertuju kepada suatu hak subyektif. Menurut pndapat
FEUERBACH yang mengatakan bahwa didalam setiap kejahatan dilihatnya adanya
perkosaan terhadap hak-hak subyektif itu.

Menurut KESSLER sebagaimana dikutip oleh SIMONS adalah bahwa tindak


pidana, tidak ditujukan kepada sesuatu kepentingan hukum, melainkan ditujukan
kepada kepentingan negara, masyarakat atau persorangan yang ditentukan dalam
hukum.

Dari pendapat para ahli tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana
ditujukan untuk mengayomi kepeentingan hukum yaitu sebagai berikut:

a. Kepentingan perseorangan;

b. Kepentingan negara; dan

c. Kepentingan masyarakat

94. Alasan dipidannya petindak.

Agar pembatasan itu ditaati oleh orang-orang, maka ditentukanlah ancaman


pidana terhadap pelanggarnya/petindaknya, timbul persoalan mengapa harus dipidana
petindak itu? Beberapa sarjana berpendapat bahwa dipidannya petindak adalah
karena:

a. Petindak teah memperkosa kepentingan hukum.

b. Petindak telah membahayakan kepentingan hukum.

95. Pengayoman kepentingan hukum.

POMPE telah mengajarkan bahwa tindak pidana adalah pelanggaran terhadap


kaidah, dan tindak pidana ditujukan kepada kepentingan-kepentingan yang merupakan
pemeliharaan tujuan hukum. Sedangkan tujuan hukum adalah untuk memelihara
kesejahteraan umum dengan memperhatikan perbandingan yang tepat dan adil antara
kepentingan-kepentingan itu. Kepentingan-kepentingan itu tergantung pada penilaian
suatu bangsa tertentu pada suatu waktu tertentu dan mencerminkan sifat-sifat dari
bangsa itu pada suatu masa tertentu.

Berbeda dengan pembagian sarjana-sarjana terdahulu. POMPE membagi norma


dalam 4 golongan sebagai berikut :

a. Merusak kepentingan-kepentingan tertentu yang dilindungi hukum.

b. Mewujudkan bahaya atau mewujudkan suatu kemungkinan bahaya bagi


kepentingan itu, untuk mana dituntut adanya pemidanaan.
73

c. Sedikit banyak menghasilkan bahaya bagi kepentingan hukum menurut


perumusan tindak pidana, tanpa harus ada bahaya atau kemungkinan bahaya.

d. Merusak kepentingan-kepentingan dalam bidang kehormatan, ketaatan


kepada penguasa, atau merusak kepentingan-kepentingan hukum yang sukar
dibuktikan, tetapi menyingung kesejahteraan umum, untuk mana diperlukan
pemidanaan.

BAB XV
JENIS-JENIS TINDAK PIDANA

96. Perbedaan kejahatan terhadap pelanggaran.

Dalam undang-undang hukum pidana yang berlaku sekarang ada dua macam
pembagian tindak pidana, yaitu kejahatan yang ditempatkan dalam buku ke II dan
pelanggaran ditempatkan dalam buku ke III. Kegunaan pembedaan kejahatan terhadap
pelanggaran, kita temukan dalam sistimatika KUHP yang merupakan buku induk bagi
semua perundang-undangan hukum pidana, karena dikaitkan dengan akibat hukum
yang penting dan tertentu sebagai berikut :

a. Berlakunya aturan pidana dalam undang-undang menurut tempat yang


terdapat dalam Bab I pasal 2 s.d 9 KUHP, tidak selalu mengenai tindak pidana
tetapi adakalanya hanya mengenai kejahatan tertentu saja (pasal 5).

b. Dalam bab II Buku I KUHP yang mengatur tentang pidana diperbedakan


antara lain sebagai berikut :

1) Masa percobaan pemidanaan, bagi kejahatan lebih lama daripada bagi


pelanggaran pada umumnya.

2) Pelepasan bersyarat hanya berlaku untuk kejahatan (pidana penjara)


pasal 15 KUHP.

3) Pencabutan hak-hak tertentu hanya boleh dijatuhkan pada kejahatan


tertentu (pasal 36, 37).

4) Pada umumnya ancaman bagi kejahatan lebih berat dibandingkan


dengan pelanggaran.

c. Dalam Bab III Buku I KUHP ditentukan bahwa :

1) Putusan hakim untukmenyerahkan seorang anak yang belum cukup


umur kepada pemerintah, hanya jika anak itu telah melakukan suatu
kejahatan atau beberapa pelanggaran tertentu (pasal 45).

2) Adanya pemberatan pidana karena melakukan suatu kejahatan dengan


menggunakan bendera kebangsaan RI (pasal 52 a).
74

d. Dalam Bab IV Buku I KUHP ditentukan bahwa :

1) Prcobaan melakukan kejahatan dipidana (pasal 53).


2) Percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana (pasal 54).

e. Dalam Bab V antara lain :

1) Mmbantu untuk melakukan suatu kejahatan dipidana, tetapi utnuk


pelanggaran tidak (pasal 56,60)
2) “Omkering van bewijlast” bagi pengurus-pengurus dan sebagainya,
hanya berlaku untuk pelanggaran (pasal 59).

f. Bab VI antara lain

1) Untuk pemidanaan beberapa kejahatan sekaligus, umumnya


digunakan stelsel penyerapan.
2) Untuk pemidanaan beberapa pelanggaran sekaligus umumnya
digunakan stelsel penjumlahan.

g. Dalam Bab VII antara lain :

“Pengaduan” hanya diatur untuk beberapa kejahatan tertentu saja,


sedangkan seseorang yang melakukan suatu pelanggaran, selalu dapat dituntut
tanpa adanya pengaduan.

h. Dalam Bab VIII antara lain :

1) Daluwarsa penuntutan pidana pada kejahatan umumnya lebih lama


waktunya dibandingkan dengan pelanggaran.
2) Hanya ada pelanggaran saja, ada kemungkinan penyelesaian diluar
acara pidana dengan pembayaran maksimum denda dengan sukarela.

i. Bab IX antara lain :

1) Pembantuan dan percobaan untuk melakukan kejahatan termasuk


dalam arti kejahatan. Pembantuan percobaan untuk dilakukan pelanggaran
tidak diatur seperti itu.
2) Pemufakatan hanya untuk melakukan kejahatan.

j. Residive antara lain :

1) Residive untuk kejahatan tertentu diatur dalam pasal 486,487 dan 488.
2) Residive untuk pelanggaran diatur dalam pasal-pasal yang
bersangkutan (489,492,495,501,517,530,536,540,541,542,544,545 dan
549).

k. Kesalahan

Pada kejahatan selalu ditentukan atau dapat disimpulkan adanya salah satu
bentuk kesalahan sedangkan pada pelanggaran tidak.
75

l. Kwalifikasi

Hanya dalam kejahatan dikenal adanya kejahatan ringan (pasal 302 (1), 352
(1), 364,379,384,407 (1), 482 dan 315 KUHP).

97. Perbedaan delik-delik lainnya.

Selain daripada pembedaan tindak pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran,


masih dikenal lagi pembedaan lain yang dasarnya antara lain sebagai berikut :

a. Cara perumusannya, yaitu berhadapan dengan delik material. Pada delik


formal yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang beserta hal/keadaan
lainnya dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan itu.

b. Cara melakukan tindak pidana sbb:

1) Delik komisi adalah tindakan aktif yang dilarang yang untuk


pelanggarannya diancam dengan pidana (338, 362, 284) dll.
2) Delik Omisi adalah tindakan pasif yang diharuskan, yang tidak
melakukannya diancam dengan pidana (164,224,478,531 KUHP).
3) Delik Campuran komisi dan omisi adalah suatu tindakan sekaligus
merupakan delik komisi dan omisi. (pasal 194, 306)

c. Ada tidaknya pengulangan atau kelanjutannya.

Delik mandiri adalah jika tindakan yang dilakukan itu hanya satu kali saja,
untuk mana petindak dipidana, delik lanjutan atau delik yang sama berulang
adalah bilamana tindakan yang sama berulang dilakukan, dan merupakan atau
dapat dianggap sebagai pelanjutan dari tindakan semula.

d. Berakhir atau berkesinambungannya suatu delik.

Kebanyakan tindakan adalah sudah sempurna jika petindak telah melakukan


sesuatu tindakan terlarang menurut undang-undang, tetapi dalam beberapa hal,
suatu tindakan terlarang berkesinambungan atau berjalan dengan sendirinya.

e. Apakah tindakan terlarang tersebut merupakan kebiasaan dari petindak atau


tidak.

f. Apakah pada tindak pidana itu ditentukan keadaan yang memberatkan atau
meringankan pidana. Tindakan ini diperbedakan sebagai :

1) Delik biasa.
2) Delik diperberat.
3) Delik diperingan.

g. Bentuk kesalahan.

1) Dlik sengaja dan


2) Delik Kealpaan.
76

h. Apakah tindak pidana itu mengenai hak hidup negara, ketatanegaraan atau
pemerintahan negara.

i. Perbedaan subjek.
j. Cara penuntutan.

BAB XVI
PERUMUSAN TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG

98. Perumusan unsur delik dalam undang-undang.

Pada dasarnya suatu delik mempuyai 5 unsur, namun dalam perumusan pasal-
pasal delik, tidak selalu kita temukan kelima-limanya unsur-unsur tersebut dalam
perumusan satu pasal saja adakalanya :

a. Salah satu unsur terdapat dalam pasal-pasal terakhir dari sesuatu undang-
undang (misalnya unsur ksalahan, ketentuan pidana dsb).
b. Subyek dari suatu tindak pidana tidak secara tegas ditentukan dalam pasal
tersebut (pasal 104,106,107 dsb)
c. Unsur kesalahan tidak dicantumkan (seperti halnya dalam tindak pidana
pelanggaran pada umumnya)
d. Unsur tindakan yang terlarang belum ditentukan secara tegas (pasal 122
KUHP, pasal 124 KUHPM)
e. Hampir semua unsur tidak secara tegas dirumuskan (351, 134, 315).
f. Unsur bersifat melawan hukum tercantum secara tegas, tetapi adakalanya
tidak demikian.

Demikian pula mengenai unsur-unsur dari unsur tindak pidana tersebut tidak
selalu mengikuti suatu urut-urutan tertentu. Umumnya perumusan suatu tindak pidana
diawali dengan “subyek” seperti “barang siapa” pegawai negeri, militer dan lain
seterusnya, tetapi teerdapat pula perumusan-perumusan yang tidak demikian. Unsur
kesalahan ada kalanya ditempatkan pada awal, pertengahan atau pada akhir
perumusan.

99. Penentuan mulai dan berhenti berlakunya suatu ketentuan pidana.

Berlakunya ketentuan pidana menurut waktu mempersoalkan saat ditentukan


sebagai titik awal dari berlakunya suatu ketentuan hukum pidana (dalam hal tindak
pidana) untuk penentuan titik awal yang sudah lajim dibahas adalah sebagai berikut :

a. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Berlakunya suatu ketentuna pidana (dalam hal ini tindak pidana) adalah
sejak saat (setelah) ketentuan tindak pidana itu diundangkan oleh penguasa yang
berwenang untuk itu, atau ditentukan suatu waktu tertentu. Penentuan waktu
tersebut umumnya adalah pada saat pengundangannya. Penentuan seperti itu
lajim disebutkan sebagai menganut asas legalitas atau juga asas “ NULLUM
DELICTUM, NULA POENA SINE PRAEVIA LEGE POENALI “ artinya tidak ada
delik atau tiada pidana tanpa terlebih dahulu ada ketentuan larangan dan pidana
menurut undang-undang.
77

b. Berdasarkan “kesadaran hukum masyarakat”.

Berlakunya suatu ketentuan hukum pidana adalah sejak saat oleh


masyarakat dirasakan bahwa suatu tindakan tertentu sebagai suatu tindak pidana.
Bukan sesuatu barang baru apabila dikatakan bahwa perbuatan undang-undang
selalu ketinggalan dibandingkan dengan suatu kebutuhan. Apa yang kini dalam
kehidupan masyarakat dirasakan bahwa suatu tindakan tertentu dirasakan
sebagai sangat tercela dan dibutuhkan campur tangan penguasa, undang-
undangnya belum ada atau belum berubah. Demikian juga sebaliknya, apa yang
kini tidak lagi dipandang sebagai suatu tindakan tercela, undang-undang yang
menyatakan tindakan tersebut terlarang, dan diancam pidana masih terus hidup.

c. Berlakunya suatu ketentuan pidana “dipandang” bersamaan dengan saat


berlakunya suatu undang-undang tertentu dalam terjadi analogi terhadap undang-
undang tersebut atau bagiannya.

BAGIAN V
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

BAB XVII
PENGERTIAN DAN UUNSUR-UNSUR

100. Mampu bertanggungjawab

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah


melakukan suatu tindak pidana dan memnuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan
dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang
terlarang/diharuskan, seseorang akan dipertanggungjawab pidanakan atas tindakan-
tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat m]elawan hukum (dan tidak ada
peniadaan sifat melawan hukum atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut
kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang “mampu bertanggung
jawab” yang dapat dipertanggungjawab pidanakan. Dapat dikatakan seseorang mampu
bertanggungjawab bilamana pada umumnya adalah sebagai berikut :

a. Keadaan jiwanya :

1) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara.


2) Tidak cacad dalam pertumbuhan (gagu,idioot, dsb).
3) Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap,
pengaruh bawah sadar, melindur, mengigau karena demam, nyidam dsb.
Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar atau tidak sadar.

b. Kemampuan jiwanya :

1) Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya.


2) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan
dilaksanakan atau tidak dan,
3) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
78

101. Pertanggungjawaban pidana.

Telah diutarakan bahwa pertanggungjawaban pidana dimaskudkan untuk


menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawaban atas suatu
tindak pidana yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan
dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang
dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggungjawab.
Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk
kesengajaan atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela dan tertuduh menyadari
tindakan yang dilakukan tersebut. Selanjutnya perlu diperhatikan bahwa tiada
ketentuan hukum yang meniadakan sifat melawan hukum dari tindakan tersebut atau
tiada alasan pembenar. Dan juga tiada ketentuan yang meniadakan kesalahan
tertuduh atau tiada alasan pemaaf. Dua unsur tersebut masih akan dibahas lagi pada
saat pembahasan pasal 44 s.d pasal 51 KUHP dan ketentuan lainnya.

Bila kita hendak menghubungkan petindak dengan tindakannya dalam rangka


mempertanggungjawab pidanakan petindak atas tindakannya, agar supaya dapat
ditentukan pemidanaan kepada petindak harus diteliti dan dibuktikan bahwa :

a. Subyek harus sesuai dengan perumusan undang-undang (subyek).


b. Terdapat kesalahan pada petindak (sengaja/alpa).
c. Tindakan itu bersifat melawan hukum.
d. Tindakan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang
(dalam arti luas).
e. Dan dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan-
keadaan lainnya yang ditentukan dalam undang-undang.

102. Ketentuan pertanggungjawaban pidana dalam undang-undang.

Pertanggungjawaban pidana dalam KUHP secara umum tersimpulkan ditentukan


dalam BAB III buku ke-1, dan terdapat pula secara tersebar dalam pasal-pasal undang-
undang. Hal itu tersimpulkan dengan menggunakan penafsiran secara argumen a
contario (tidak ditentukan dalam KUHP). Seorang petindak yang telah melakukan
suatu tindakan yang dapat dipidana, mungkin dipidana atau dibebaskan. Pe,bebasan
ada dua macam yaitu pembebasan dari pemidanaan apabila tidak terdapat “kesalahan”
dan pelepasan dari segala dakwaan/tuntutan bilamana dakwaan terbukti akan tetapi
bukan merupakan suatu tindak pidana atau lebih tegas lagi tiada terdapat unsur bersifat
melawan hukum. (pasal 191 KUHAP).

Mengenai pemidanaan pidana, dikenal beberapa penggolongan atau pembedaan


sebagai berikut :

a. Menurut penjelasan (memorie van toelichting) pembedaan didasarkan pada


sifat dengan memperbandingkan pertanggungjawabannya. Diperbedakan antara
“penyebab-penyebab dalam dan luar” dari penghapusan pertanggungjawaban
tersebut. Penyebab-penyebab dalam dari penghapusan pertanggungjawaban
diatur dalam pasal 44 KUHP dan penyebab-penyebab luar diatur dalam pasal
48,49,50 dan 51 KUHP.

b. Perbedaan dilakukan menurut doktrin ialah dibedakannya antara dasar-


dasar peniadaan pidana secara umum dengan secara khusus. Dasar-dasar
umum ditentukan dalam Bab III buku ke-1 KUHP, sedangkan dasar-dasar khusus
79

terdapat secara tersebar dalam berbagai pasal-pasal undang-undang seperti


misalnya pasal 166, 221 (2), 367 (1) KUHP, (hubungan suami-istri dan atau
keluarga); dan pasal 72 (2) KUHPM (dsar utilitas).

RUSLAN SALEH mempunyai pendapat berkaitan dengan “alasan penghapusan


pidana” setelah menguraikan konsepsi tentang pemisahan antara perbuatan pidana
dan pertanggungjawaban pidana, mengatakan antara lain bahwa penghapusan pidana
itu mungkin karena :

a. Perbuatan yang telah mencocoki rumusan delik itu, kemudian dipandang


tidak bersifat melawan hukum (dalam arti material), atau dengan pendek adanya
“alasan-alasan pembenar”.
b. Melihat pada perbuatannya memanglah suatu perbuatan yang mencocoki
rumusan delik, tetapi setelah dipertimbangkan keadaan pada orangnya maka
dipandang bahwa dia tidak mempunyai kesalahan atau dengan pendek adanya
“alasan pemaaf”.

BAB XVIII
NON COMPOS MENTIS

103. Jiwanya yang cacad atau terganggu karena penyakit.

Pasal 44 KUHP menentukan tidak dipidana seseorang yang melakukan suatu


tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena sbb :

a. Jiwanya cacad dalam pertumbuhannya.


b. Jiwanya terganggu karena peyakit, atau
c. Seseorang yang karena dikagetin, karena tidak menyadari pada saat
melakukan tindak pidana.

Pembuat undang-undang dalam merumuskan pasal 44, bertolak pangkal pada


anggapan bahwa setiap orang mampu bertanggungjawab, karena diangap setiap orang
mempunyai jiwa yang sehat. Itulah sebabnya mengapa justru yang dirumuskan dalam
pasal 44 KUHP mengenai ketidakmampuan bertanggungjawab. Sebaliknya dari
ketentuan tersebut dapat juga diambil suatu pengertian tentang kemampuan
bertanggungjawab yaitu dengan menggunakan penafsiran secara membalik. Jika yang
tidak mampu bertanggungjawab itu adalah seseorang yang jiwanya cacad dalam
pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, maka seseorang yang mampu
bertanggungjawab, adalah yang tidak mempunyai keadaan-keadaan seperti ditentukan
tersebut.

Selain daripada apa yang dirumuskan dalam pasal 44 tersebut, ternyata dalam
praktek sehari-hari, masih ada lagi hal-hal atau keadaan yang harus digolongkan pada
katagori ketidakmampuan bertanggungjawab, yaitu apa yang disebut sebagai “dalam
keadaan jiwa yang tidak sadar”. Pada waktu pembentukan undang-undang telah
diusulkan oleh Menteri Kehakiman Belanda agar ketidaksadaran dicantumkan sebagai
salah satu syarat untuk menentukan ketidakmampuan bertanggungjawab.
80

Seseoraang mungkin dihinggapi oleh penyakit jiwa secara terus menerus tetapi
mungkin juga secara sementara atau kumat-kumatan. Dalam hal ini gila kumat-
kumatan yang termasuk cakupan pasal 44 adalah jika gilanya sedang kumat. Selain
daripada kumat-kumatan, dikenal pula adanya “kegilaan” untuk sesuatu perbuatan
tertentu yang dapat dimasukkan dalam pengertian pasal 44 yang disebut sebagai :

a. Kleptomani yaitu kegilaan untuk mencuri sesuatu macam barang tertentu,


tanpa disadarinya, atau diluar kehendaknya.

b. Pyromanie yaitu kegilaan untuk melakukan pembakarang, tanpa alasan


sama sekali, dan tentunya tanpa kehendak. Juga dalam keadaan ini, seseorang
itu untuk perbuatan lainnya adalah waras.

c. Nymphomanie yaitu kegilaan pada seorang laki-laki yang jika bertemu


dengan seorang wanita, maka ia akan berbuat yang tidak senonoh/yang tidak
layak, begitu pula dengan sebaliknya.

104. Unsur keterkaitan.

Apakah ketentuan dalam pasal 44, juga merupakan unsur dari suatu tindak
pidana? Lajim diajarkan bahwa, ketentuan tersebut dikatakan sebagai “unsur
terkaitkan” artinya ketentuan tersebut dengan sendiriya adalah merupakan salah satu
unsur dari setiap tindak pidana, akan tetapi mengenai pembuktiannya, baru diusahakan
bilamana ada keraguan tentang kesehatan jiwa dari petindak.

Sehubungan dengan pendirian bahwa kesalahan adalah merupakan salah satu


unsur dari tindak pidana, tiada persoalan lagi mengenai, apakah ketentuan pasal 44,
merupakan unsur keterkaitan atau tidak. Sebab seperti telah diutarakan bahwa pada
umumnya, unsur keselahan yang tidak ada atau ditiadakan pada seseorang yang
ditentukan dalam pasal 44 tersebut. Ada tidaknya kesalahan harus selalu dibuktikan.
Jadi seandainya diduga bahwa seseorang petindak mempunyai keadaan jiwa seperti
tersebut dalam pasal 44, dalam rangka pembuktian ada/tidaknya kesalahan padanya
(yang terkait kepada keadaan jiwanya), wajib diadakan penelitian terhadap keadaan
jiwa petindak. Jika keadaan jiwa tersebut sesuai dengan ketentuan dalam pasal 44
berarti dengan sendirinya kesalahan petindak tidak ada atau ditiadakan, yang berarti
pula bahwa pidana kepadanya ditiadakan.

105. Peranan Hakim untuk menentukan keadaan jiwa.

Menjadi persoalan, siapakah yang menentukan bahwa seseorang petindak


mempunyai keadaan jiwa seperti yang ditentukan dalam pasal 44. Jawabannya ialah
bahwa yang menentukan dalam putusannya apakah sesuatu keadaan jiwa sudah
sesuai dengan maksud undang-undang, dalam hal ini pasal 44 adalah Hakim.
Sebenarnya soal keadaan jiwa ini tidak termasuk lapangan ilmu pengetahuan hukum
pidana, akan tetapi termasuk lapangan ilmu penyakit jiwa.

Sehubungan dengan itu, karena hakim harus menentukan dalam putusannya,


maka ia membutuhkan nasehat dari seorang ahli penyakit jiwa, yang berisikan sebagai
berikut :
81

a. Benar/tidaknya seseorang mempunyai keadaan jiwa seperti yang ditentukan


dalam pasal 44 tersebut dan tingkatan dari penyakit, kecacatan atau
ketidaksadaran dari jiwa tersebut.

b. Analisa/diagnosa tentang tingkatan dari kemampuan bertanggungjawab dari


penderita.

Namun demikian, Hakim tidak terikat pada nasehat tersebut. Hakim dapat
menyakininya atau tidak meyakininya, walaupun dalam soal ini sang Hakim tidak
merupakan seorang ahli.

106. Beberapa bahan perbandingan dan renungan.

Dalam ilmu hukum pidana, dianut suatu pendirian bahwa seseorang dapat
menentukan “kehendaknya” untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.
Jika seseorang menentukan untuk melakukan kehendaknya, maka bentuknya adalah
“dengan sengaja” atau dengan “alpa”. Bentuk dengan sengaja atau alpa adalah juga
merupakan bentuk-bentuk dari “kesalahan”.

Asas “tiada pidana, tanpa kesalahan” sudah umum diterima sebagai salah satu
asas hukum pidana. Dari asas ini dapat disimpulkan, bahwa pemidanaan seseorang,
atau pertanggungjawaban pidana baru akan ada, bilamana ada kesalahan pada
seseorang terlebih dahulu. Berarti harus diadakan terlebih dahulu
batas-batas/ketentuan mengenai “kesalahan”. Dalam hal ini perlu diingat, bahwa asas
ini hanyalah salah satu asas hukum pidana dalam rangka pemidanaan atau
pertanggungjawaban pidana dari seseorang.

Sebagai bahan-bahan perbandingan, akan dikutipkan dibawah ini beberapa


bahan antara lain sebagai berikut :

a. Bunyi pasal 3 berhubungan dengan pasal 11 dari Fundamentals of criminal


legislation for U.S.S.R. and the union republics sebagai berikut : article 3 The
basis for criminal Responsibility.

b. Sutherland and Cressey yang mengutip Hall, mengatakan bahwa pada


umumnya suatu kelakuan baru merupakan tindak pidana, bilamana telah
memenuhi 7 unsur-unsur yang satu sama lain berhubungan dan saling mengisi
sebagai berikut : First, Second, Third, Fourth, Fifth, Sixth, Seventh.

c. Pendapat para sarjana pada umumnya mengenai pasal 44 KUHP,


menyimpulkan bahwa yang tidak mampu bertanggungjawab adalah mereka
yang :

1) Jiwanya terganggu oleh penyakit;


2) Jiwanya dalam keadaan tidak sadar;
3) Jiwanya cacad dalam pertumbuhannya.
82

BAB XIX
USIA BELUM DEWASA

107. Berakal dan batas usia belum dewasa.

Sistem Code Penal di Nederland sampai tahun 1886 ialah adanya pembatasan
umur. Seorang anak yang belum mencapai usia 16 tahun yang melakukan suatu
tindak pidana, tidak dipidana, akan tetapi anak itu dapat diperintahkan oleh hakim
perdata untuk mendapatkan pendidikan paksa dari pemerintah. Jika anak itu sudah
berusia 16 tahun tetapi belum dewasa (21 Tahun) hakim harus menyelidiki apakah
anak itu sudah mencapai akal yang dapat membedakan yang baik dan yang buruk
(berakal), maka terhadap naka itu sesuai dengan asas peradilan, dapat dipidana
dengan pengurangan 1/3 nya. Dan jika sebaliknya anak itu tidak dipidana tetapi harus
mendapat didikan paksa.

Kemudian pada tahun 1886 semenjak berlakunya KUHP nasional Belanda, yang
dalam banyak hal mencontoh KUHP Jerman, terjadi perubahan dalam pembatasan
usia sebagai berikut :

a. Seseorang anak yang belum mencapai usia 10 tahun, jika melakukan suatu
tindak pidana, tidak dipidana, akan tetapi harus mendapat pendidikan paksa dari
pemerintah.

b. Jika seseorang anak yang usianya antara 10 tahun dan 16 tahun melakukan
suatu tindak pidana, dan sudah berakal, anak itu harus dipidana dengan
pengurangan 1/3 nya. Tetapi jika belum berakal anak itu tidak dipidana, akan
tetapi harus diperintahkan oleh hakim pidana untuk dididik paksa oleh pemerintah
sampai anak itu berumur 18 tahun.

c. Seorang anak yang sudah berusia 16 tahun atau lebih, jika melakukan suatu
tindak pidana, harus dipidana.

108. Semua anak dianggap mampu bertanggungjawab.

Menurut peraturan yang berlaku sampai sekarang, sistem pertanggungjawaban


anan-anak tidak lagi didasarkan pada mampu atau tidaknya bertanggungjawab.
Semua anak, asal jiwanya sehat dianggap mampu bertanggungjawab dan dapat
dituntut. Namun demikian harus dipahami bahwa terhadap anak “yang dianggap
mampu bertanggungjwab”, masih tetap diadakan kemungkinan untuk tidak dipidana.
Alasan untuk tidak dipidana, terutama bagi anak yang sangat muda, antara lain ialah
bahwa anak itu belum dapat menginsyafi nilai maupun akibat dari tindakan dan pula
belum menginsyafi ketercelaan dari tindakannya, yang dengan demikian tiada
kesalahan padanya.

Atas dasar konkordansi, sistem yang terakhir diuraikan, dianut dalam KUHP
Indonesia, tetapi batas usia adalah 16 tahun. Dalam hal ini kepada hakim diberi
kekuasaan untuk menentukan, apakah anak yang sebelum berumur 16 tahun, jika
melakukan suatu tindakan :

a. Dikembalikan kepada orang tuanya, tanpa pidana apapun;


83

b. Atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah


tanpa pidana apapun, sampai batas anak berumur 18 tahun, (dengan syarat-
syarat tersebut dalam pasal 45 dan 46 KUHP).
c. Atau dipidana dengan pidana maksimum pidana pokok dikurangi 1/3.

109. Ketentuan perbaikan (opvoedende maatregel).

Pengembalian kepada oran tua atau penyerahan kepada pemerintah tersebut,


bukanlah merupakan suatu pidana, melainkan suatu ketentuan perbaikan. Ditinjau dari
sudut hukum acara pidana, sebenarnya ketentuan hakum seperti ini agak menyimpang
dari asas peradilan yang menyatakan “ apabila hakim memperoleh keyakinan bahwa
seseorang terdakwa terlah terbukti melakukan suatu tindak pidana, maka terdakwa
tersebut harus dipidana “. Namun demikian undang-undang masih memberi wewenang
kepada hakim untuk tidak memidana seorang anak yang belum berusia 16 tahun yang
telah melakukan suatu tindak pidana. Selain daripada alasan tersebut, rupanya menjadi
pertimbangan pula, bahwa rumah penjara atau rumah pemasyarakatan atau tempat
“pembimbingan” bagi para narapidana supaya dapat kembali kedalam masyarakat,
dalam kenyataannya tidak kurang seringnya malah merupakan “perguruan tinggi ilmu
kejahatan” bagi calon-calon penjahat besar.

a. Pengembalian kepada orang tua/wali.

Jika hakim memerintahkan ketentuan pertama, yaitu mengembalikan yang


bersalah kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaannya, maka pemerintah
tersebut tidak disertai dengan suatu syarat apapun. Dalam hal ini sang hakim
sudah harus mempertimbangkan sebelumnya, bahwa orang yang akan menerima
anak itu mampu untuk mendidiknya. Istilah orang tua disini harus diartikan seperti
yang ditentukan dalam pasal 91 KUHP dan dihubungkan dengan hukum adat di
Indonesia.

b. Diserahkan kepada pemerintah.

Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kembali


kepada pemerintah untuk dididik maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :

1) Anak itu telah bersalah melakukan suatu kejahatan, atau


2) Anak itu telah bersalah melakukan salah satu pelanggaran yang
ditentukan secara limitatif dalam pasal 45 KUHP.

Menurut pasal 46 KUHP, dapat dibedakan 3 macam bentuk “pendidikan”


dilihat dari sudut pendidikannya yaitu :

1) Pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah;


2) Pendidikan yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah, yayasan,
atau lembaga amal;
3) Pendidikan yang dilakukan oleh seseorang tertentu.

Pendidikan itu antara lain mengenai kerohanian, sopan santun, tata tertib,
kerajinan tangan dan suatu pekerjaan yang dapat digunakan kelak sebagai mata
pencahariannya dalam masyarakat. Perintah hakim mengenai pendidikan paksa,
disebut juga sebagai putusan tak pasti, artinya hakim hanya memerintahkan
84

tentang pendidikan paksa, sedangkan berapa lama harus dijalaninya pendidikan


paksa tersebut, diserahkan kepada pemerintah (Kemenkumham) untuk
menentukannya.

110. Ketentuan pidana dan pendidikan paksa.

Jika hakim memutuskan untuk memidana anak yang bersalah,


pertanggungjawaban pidana bagi seorang anak yang belum dewasa ditentukan dalam
pasal 47 KUHP. Sehubungan dengan hukum acara pidana, dipersoalkan oleh para
sarjana: “apakah dalam hal tiada terdapat kesalahan pada seorang anak, hakim
berwenang untuk memerintahkan ketentuan perbaikan sebagai dimaksud dalam pasal
45 terutama perintah pendidikan paksa. Ada 3 aliran/pendapat mengenai
pemecahannya yaitu sebagai berikut :

a. Ketidakmampuan bertanggungjawab karena usia sangat muda merupakan


ketentuan dalam hukum pidana, dalam hal ini hakim dapat memilih bebas antara
memidana atau memerintahkan ketentuan perbaikan. Berarti bahwa dalam hal
tidak terdapat kesalahan pada anak itu, masih mungkin untuk memerintahkan
ketentuan perbaikan.

b. Ketidakmampuan bertanggungjawab karena usia yang sangat muda,


mengakibatkan tidak terdapatnya kesalahan pada anak tersebut. Konsekwen
kepada asas “tiada pidana tanpa kesalahan, maka anak itu tidak dapat dipidana
dan tidak dapat diperintahkan padanya ketentuan perbaikan. Penderian ini
didasarkan pula pada perumusan undang-undang yang berbunyi “yang bersalah”.
Berarti hanya dalam hal anak itu bersalah boleh memerintahkan ketentuan
tersebut pasal 45 KUHP.

c. Menerapkan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam hal pemidanaan


saja. Dengan demikian perintah ketentuan perbaikan tetap dibearkan, walaupun
anak itu dipertanggungjawabkan karena usia yang sangat muda.

BAB XX
DAYA PAKSA

111. Ketentuan-ketentuan mengenai daya paksa (pasal 48).

Pasal 48 KUHP. Tidak dipidana barang siapa melakukan suatu tindakan karena
didorong oleh daya paksa. Istilah daya paksa sebenarnya sudah mencakup istilah
didorongkan oleh daya paksa. Tetapi untuk dapat mengerti jalan pikiran para penulis
hukum pidana mengenai pasal ini, sementara dipisahkan saja pengertian tersebut.
Mengenai daya paksa dapat disimpulkan pendapat para ahli hukum pidana sebagai
berikut :

a. Paksaan mutlak (tiada pilihan yang terjadi karena si pemaksa).

Dalam hal ini siterpaksa (petindak) tidak dapat bertindak lain, selain daripada
apa yang dipaksakan kepadanya. Bagi terpaksa tiada persoalan pilihan. Daya-
daya yang dapat memaksakan seseorang untuk bertindak secara terpaksa dapat
berupa paksaan badaniah, atau karena paksaan rokhaniah.
85

b. Paksaan relatif.

Jika paksaan mutlak tidak ada persoalan pilihan, dalam paksaan relatif
secara teoritis ada persoalan pilihan, walaupun pilihan itu lebih condong kepada
“diplihkan” oleh pemaksa. Atau dapat dikatakan bahwa jika siterpaksa
dipersoalkan pilihan tersebut, tiada dapat diharapkan bahkan tidak diharuskan
daripadanya untuk memilih yang lain selain daripada apa yang telah ia laukan
sesuai dengan kehendak pemaksa. Dengan perkataan lain kehendak pemaksa
yang dilakukan oleh siterpaksa. Sedangkan jika siterpaksa akan melakukan
kehendak sendiri, ia akan mendapatkan perlakuan yang merugikan dirinya yang
tidak dapat dhindarinya.

c. Keadaan darurat (noodtoestand).

Kejadian yang berhubungan dengan keadaan darurat, sering dijumpai


mendalihkan pasal 48 KUHP sebagai usaha untuk tidak dipidannya seseorang
petindak. Dibandingkan dengan bentuk paksaan relatif, perbedannya ialah bahwa
pada keadaan darurat, sebelum siterpaksa melakukan suatu tindakan, memilih
sendiri diantara dua atau lebih tindakan yang akan dilakukannya. Keadaan
darurat dianggap ada kejadian-kejadian sebagai berikut :

1) Adanya dua kepentingan hukum yang bertentangan.


2) Adanya suatu kepentingan hukum bersamaan dengan kewajiban
hukum lainnya yang saling bertentangan.
3) Adanya dua kewajiban hukum yang bertentangan.

112. Dasar-dasar peniadaan pidana karena daya paksa.

Apakah dasarnya untuk tidak memidana petindak walaupun ia telah melakukan


suatu tindakan, untuk tindakan mana ia sebenarnya dipidana?. Tidak disanksikan lagi,
bahwa jika salah satu unsur tindak pidana tidak ada atau tidak terbukti, maka tidak
telah terjadi suatu tindak pidana. Untuk membuktikan terpenuhinya unsur tersebut
bukan suatu yang mudah, terutama yang menyangkut jiwa atau kehendak seseorang
petindak. Walaupun asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, sudah umum dianut sebagai
salah satu asas hukum pidana, tetapi masih ada kesulitan tentang persoalan:
“bilamanakah kesalahan itu dianggap ada, dan bilamana tidak ada” dalam doktrin
diajarkan bahwa asas ini, timbul sebagai kesimpulan dari ketentuan pasal 44. Jika
demikian halnya maka dapat dikatakan bahwa tidak adanya kesalahan atau peniadaan
kesalahan hanya tergantung kepada keadaan yang merupakan “pengaruh dalam” yang
tersimpulkan dari pasal 44 KUHP yaitu :

a. Keadaan jiwa petindak cacad;


b. Keadaan jiwa petindak terganggu dan
c. Keadaan jiwa petindak tidak sadar.

113. Dasar peniadaan kesalahan atau bersifat melawan hukum.

KUHP tidak memakai istilah “dasar-dasar untuk meniadakan kesalahan” atau


“dasar-dasar untuk meniadakan sifat melawan hukum” atau menurut RUSLAN SALEH
“alasan pemaaf” "dan “alasan pembenar”. KUHP hanya menyebutkan “peniadaan
pidana”. Untuk ketentuan-ketentuan dalam Bab III KUHP tersebut, dokter
membedakan antara “dasar-dasar peniadaan kesalahan” dengan “dasar-dasar
86

peniadaan sifat melawan hukum” sebagai dasar untuk tidak memidana petindak yang
telah melakukan suatu tindakan. Sekarang yang menjadi persoalan, ukuran apakah
yang telah dibuat oleh doktrin, supaya sesuatu ketentuan dalam KUHP, termasuk
dalam pengertian “dasar-dasar peniadaan kesalahan” atau “dasar-dasar peniadaan
sifat melawan hukum.

VOS memakai ukuran sebagai berikut : a) “Kelakuan yang dapat dibenarkan“


untuk menentukan adanya “dasar-dasar peniadaan sifat melawan hukum dan b)
Petindak yang dapat dimaafkan untuk menentukan adanya “dasar-dasar peniadaan
kesalahan”.

114. Pembebanan unsur kesalahan kepada pemaksa.

Telah disinggung bahwa tanpa memenuhi salah satu unsur dari tindak pidana
tiada pemidanaan. Yang dipidana adalah petindak, bukan tindakannya dan bukan pula
kesalahannya. Khusus mengenai peniadaan pidana berdasarkan peniadaan kesalahan
dan peniadaan sifat melawan hukum. Dalam hal seseorang telah melakukan suatu
tindakan, seperti yang dikehendaki oleh pemaksa atau penyuruh, perlu dipikirkan
tentang dasar-dasar dari “pembebanan” unsur kehendak itu (yang merupakan unsur
kesalahan) kepada pemaksa atau penyuruh, sekalipun menurut praktek hukum yang
berlaku sampai sekarang ini sudah dianggap ada jalan pemecahannya.

Dapat tidaknya seseorang menentukan kehendaknya, dalam hukum pidana yang


dianut dalam ajaran indertinisme yaitu bahwa seseorang dianggap (fiksi) dapat
menentukan kehendaknya. Jika dalam undang-undang ditentukan bahwa tindakan
seorang yang gila melakukan suatu tindakan, tidak dapat dipertanggungjawbakan
kepadanya, oleh doktrin diajarkan bahwa kesalahan dari orang yang gila tersebut
ditiadakan. Karenanya dapat disepakati bahwa unsur kesalahan itu dalam hal ini
dibebankan kepada penyebab dalamnya.

BAB XXI
PEMBELAAN PAKSA

115. Ketentuan-ketentuan mengenai pembelaan paksa.

a. Uraian umum.

Maksud tujuan hukum pidana Indonesia secara singkat ialah untuk


mengayomi baik negara, masyarakat, badan-badan maupun warga negaranya
serta penduduk lainnya. Salah satu yang dilindungi itu adalah warga negara serta
penduduk lainnya. Dengan perkataan lain perseoranganpun sepanjang masih
dalam rangka perwujudan masyarakat Pancasila dilindungi oleh hukum.

Salah satu segi dari kehidupan sehari-hari ialah bahwa setiap orang harus
merasa terlindung. Tugas perlindungan ini pada umumnya dibebankan pada
polisi. Kalau ada serangan kepada seseorang, polisi wajib melindungi orang itu.
Tetapi dalam kenyataanya, tidak setiap serangan yang terjadi baik kepada
negara, kehormatan susila maupun harta benda perseorangan diketahui oleh
polisi. Lebih-lebih lagi kalau serangan atau ancaman serangan itu sifatnya
mendadak.
87

Dalam keadaan tersebut pasal 49 KUHP memberikan kelonggaran kepada


seseorang untuk mengadakan pembelaan sendiri. Dengan perkataan lain
undang-undang membenarkan tindakan seseorang untuk membela diri, dalam
hal ia secara mendadak diserang atau terancam serangan. Bahkan lebih jauh
daripada itu undang-undang membenarkan tindakan pembelaan yang melampaui
batas. Sudah pasti bahwa undang-undang tidak dapat membenarkan segala
bentuk sifat dan cara pembelaan. Pembelaan yang dapat dibenarkan diberi
pembatasan seperti yang diatur dalam pasal 49 KUHP.

Jika dibandingkan ketentuan mengenai “pembelaan paksa” dengan keadaan


darurat (noodtoestand), persamaannya yang menonjol ialah bahwa :

1) Petindak yang dilindungi pasal 48 dan pasal 49 ayat 1, dihadapkan


kepada persoalan “pilihan”. Berdasarkan pasal 48, memilih antara
melakukan satu diantara dua kewajiban hukum dan sebagainya. Pasal 49
ayat 1 memilih antara menunggu pembelaan/perlindungan dari polisi atau
melakukan pembelaan sendiri.

2) Sebagai akibta dari adanya persoalan “pilihan”, maka pada masing-


masing kejadian itu (pasal 48 dan 49) ada unsur kehendak (atau kesalahan),
untuk melakukan tindakan yang ia pilih itu.

Perbedaannya ialah sebagai berikut :

1) Ditinjau dari sudut tindakan yang dibenarkan pasal 48 dan pasal 49 (1).

a) Petindak pada keadaan darurat/noodtoestand dihadapkan kepada


dua tindakan yang seharusnya ia lakukan, atau seharusnya ia tidak
lakukan. Artinya tindakan manapun yang dilakukan, tidak bertentangan
dengan hukum. Tetapi sebaliknya tindakan mana saja yang tidak
dilakukan, adalah selalu bertantangan dengan hukum. Tentunya dalam
hal ini sudah dianggap ada kesimbangan dengan memperhitungkan
pengutamaan.

b) Petindak pada noodweer dihadapkan kepada dua tindakan, yaitu


suatu tindakan yang dibenarkan oleh hukum (haknya untuk dilindungi
oleh polisi) dan suatu tindakan lainnya yang seyogyanya bertentangan
dengan hukum, yaitu melakukan suatu tindakan yang akan merugikan
penyerang tindakan tersebut, dinamakan tindakan pembelaan.

2) Ditinjau dari sudut peniadaan sifat melawan hukum.

a) Pada pasal 48 sifat melawan hukumnya ditiadakan, untuk tndakan


yang tidak dilaksanakannya yang seharusnya ia laksanakan.

b) Pada pasal 49 sifat melawan hukumnya ditiadakan pada tindakan


pembelaan (yang justru seharusnya secara teoritis tak boleh
dilakukannya).
88

b. Unsur-unsur pembelaan paksa.

Unsur-unsur dari pembelaan paksa, terbagi dua yaitu sebagai berikut :

1) Ada serangan dan


2) Ada pembelaan.

Tiap-tiap unsur tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1) Serangan :

a) Ketika itu ada serangan, atau ancaman serangan secara


langsung.
b) Serangan itu bersifat melawan hukum.

2) Pembelaan : seketika artinya adanya keseimbangan dengan serangan


antara pembelaan diri.

a) Harus diperkenankan;
b) Harus terpaksa;
c) Harus dilakukan untuk :

i. diri atau
ii. kehormatan sendiri atau orang lain.
iii. atau harta benda

c. Serangan atau ancaman serangan.

Serangan atau ancaman serangan harus bersifat melawan hukum. Jika


pegawai penyidik menangkap seseorang yang sedang melakukan kejahatan
(tertangkap tangan), maka serangan (penagkapan) itu tidak bersifat melawan
hukum, melainkan sebaliknya yaitu merupakan kewajiban hukum bagi pegawai
penyidik tersebut, berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP. Juga
misalnya seorang ayah yang mengejar anaknya yang nakal lalu ditangkap dan
ditempeleng, bukan suatu serangan yang bersifat melawan hukum sehingga
seseorang lain tidak dibenarkan memukul sang ayah dengan alasan untuk
membela diri anak nakal tersebut.

d. Pembelaan harus diperkenankan.

Jika serangan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, maka pembelaan juga


harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat pertama ialah bahwa pembelaan
harus diperkenankan. Pembelaan yang diperkenankan ialah bilamana tidak ada
jalan lain yang mungkin untuk menghindarkan sesuatu serangan.

Sehubungan dengan syarat ini, ukuran yang lajim dipakai untuk menentukan
yang diperkenankan ialah asas penggantian ialah menggantikan suatu tindakan
pembelaaan tanpa melakukan suatu tindak pidana dengan suatu tindakan yang
cukup memadai untuk menghindari serangan tersebut. Apabila seseorang
mengalami suatu serangan, baginya ada beberapa pilihan tindakan antara lain :
89

1) Membiarkan dirinya diserang sampai polisi datang untuk


melindunginya,
2) Melarikan diri atau,
3) Melakukan perlawanan dalam rangka pembelaan dengan kemungkinan
berbagai cara pula

e. Pembelaan harus perlu/terpaksa.

Syarat kedua ialah bahwa pembelaan harus perlu atau terpaksa. Dengan
perkataan lain tindakan pembelaan harus merupakan “tindakan terwajar”, yang
ringan, yang terpaksa dilakukannya untuk menghindarkan diri dari suatu
serangan. Ukuran lajim dipakai untuk menentukan “tindakan terwajar” adalah
dengan menggunakan asas keseimbangan. Seberat-beratnya tindakan yang
dapat diartikan dalam pengertian terpaksa, harus masih ada keseimbangan
antara kepentingan hukum yang dirugikan dan kepentingan hukum yang dibela.
Seandainya pembela dengan melakukan suatu tindakan yang tidak merupakan
tindak pidana sudah cukup dalam rangka pembelaan, maka tindakan lainnya yang
dapat merupakan tindak pidana juka dilakukan sebagai pembelaan, tidak
dilindungi pasal 49 KUHP, karena tindakan tersebut bukan merupakan tindakan
yang terpaksa. Dan jika harus melakukan suatu perlawanan yang dapat
merupakan tindak pidana harus ada keseimbangan.

f. Obyek pembelaan.

Obyek pembelaan ditentukan secara limitatif yaitu diri, kehormatan susila


atau harta benda sendiri atau orang lain. Termasuk dalam pengertian diri atau
tubuh orang adalah jiwa orang. Jadi suatu serangan yang ditujukan untuk
menghilangkan jiwa seseorang, termasuk dalam pengertian diri tersebut.
Kehormatan susila harus diperbedakan dengan kehormatan atau nama baik.
Yang dimaksud dengan kehormatan susila adalah kehormatan yang langsung
berhubungan dengan bidang sexuil atau kebirahian atau kehamilan. Yang
dimaksud dengan harta benda seseorang disini ialah harta benda yang berwujud.
Van hamel memberikan penafisran yang lebih luas, dengan mengatakan bahwa
termasuk juga dalam pengertian harta benda yaitu benda-benda yang tak
terwujud seperti hak pakai atau hak mendiami suatu rumah.

116. Hak bela diri tidak berarti menjadi hakim sendiri.

Telah diutarakan bahwa seseorang berhak mendapatkan perlindungan dari


negara. Juga berarti bahwa seseorang yang mendapat serangan atau ancaman
serangan harus segera melapor kepada polisi untuk mendapat perlindungan.
Ketentuan tersebut dapat pula dikatakan sebagai suatu ketaatan yang diharuskan
karena suatu asas dalam undang-undang yang pada prinsipnya : melarang menjadi
hakim sendiri. Sebagaimana telah diketahui menjadi hakim sendiri pada umumnya dan
dalam batas-batas tertentu hanya diperkenankan dalam soal-soal perbuatan perdata.
Dalam perkara/tindak pidana aduan yang dirugikan dapat menyelesaikan sendiri
perkara tersebut dengan hanya mengharuskan yang merugikan untuk meminta maaf
atau menepung tawari. Menjadi hakim sendiri dalam soal-soal tindak pidana pada
umumnya akan dapat menghancurkan ketertiban dan keamanan karena tindakan balas
membalas yang tidak akan ada akhirnya.
90

117. Perkiraan sebagai dasar pembelaan paksa (putatief noodweer).

Pembelaan paksa pada dasarnya hanya boleh terjadi sebagai akibat dari adanya
serangan atau ancaman. Menjadi persoalan, bagaimanakah jika seseorang mengira
bahwa ia diserang atau diserang?

Apabila atas dasar perkiraan seseorang lalu mengadakan tindakan pembelaan,


maka tindakan tersebut dinamakan sebagai tindakan pembelaan perkiraan. Apabila
tindakan pembelaan perkiraan dilindungi oleh pasal 49? Untuk menjawabnya harus
dipertanyakan dulu beberapa hal dan harus mengetahui situasi tertentu. Misalnya
apakah yang meliputi serangan itu sehingga terjadi salah paham? Apakah gerakan
yang dikira sebagai serangan atau ancaman serangan itu demikian mendadaknya
sehingga ia tidak sempat lagi berfikir apakah tindakan yang dilihatnya itu merupakan
serangan atau tidak? Selanjutnya perlu diketahui bahwa apabila keadaan seseorang
tegang, dimana kecurigaan serta keresahan mencekam setiap orang, (misalnya terjadi
gontok gontokkan karena politik, idiologi atau aagama) maka perkiraan akan adanya
peninjauan mengenai perkiraan, kekeliruan atau kesalahpahaman itu dan ternyata
beralasan, maka adalah relevan untuk memandang tindakan itu sebagai dilindungi pasl
49 KUHP atau setidak-tidaknya merupakan hal yang meringankan pidana.`

118. Pembelaan paksa yang melampaui batas.

Tindak pidana (barang siapa yang melakukan tindakan) pembelaan paksa yang
melampau batas, yang merupakan akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat,
yang ditimbulkan oleh serangan atau ancaman serangan tersebut pasal 49 ayat 2.
Untuk ini syarat-syarat serangan seperti diutarakan diatas harus ada. Sedangkan
syarat-syarat pembelaan diperluas atau dengan perkataan lain kalaupun pembelaan itu
terlampau sepanjang keterlampauan itu merupakan akibat langsung dari kegoncangan
jiwa yang hebat, yang ditimbulkan oleh serangan/ancaman serangan tersebut, masih
termasuk keadaan yang meniadakan pidana petindak.

Syarat-syarat pembelaan yang dapat dilampaui adalah : syarat keterpaksaan


dengan demikian juga syarat yang diperkenankan. Ukuran keseimbangan dari asas
keseimbangan menjadi berat sebelah. Artinya kerugian bagi penyerang akibat tindakan
pembelaan akan lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang diderita oleh pembela
akibat serangan itu. Berarti pula bahwa ukuran yang diperkenankan dari asas
subsidiaritas menjadi longgar yaitu tidak secara ketat lagi terikat kepada tindakan
pembelaan yang teringan yang cukup untuk menghentikan serangan atau ancaman
serangan.

BAB XXII
KETENTUAN UNDANG-UNDANG DAN PERINTAH JABATAN

119. Tindakan berdasarkan ketentuan undang-undang.

Mengenai penegertian ketentuan undang-undang semula dianut dalam arti


sempit. Undang-undang dalam arti sempit di indonesia , berarti peraturan/undang-
undang yang dibuat oleh presiden dengan persetujuan DPR pasal 5 UUD dan
peraturan pemerintah sebagai penggati undang-undang pasal 22 UUD. Pendirian ini
telah berubah sehingga yang ditafsirkan sebagai undang-undang sekarang adalah
“setiap peraturan yang dibuat oleh badan/organ, yang oleh undang-undang diberi
kekuasaan untuk membuat peraturan yang mengikat lingkungannya”. Penafsiran
91

seperti ini disebut sebagai pengertian dalam arti luas, sehubungan dengan peniadaan
pidana bagi petindak, yang terpenting dalam ketentuan undang-undang adalah
mengenai pelaksanaannya yang ridak terlepas dari beberpa keadaan yaitu sebagai
berikut :

a. Apakah tindakan petindak cukup hanya berdasarkan suatu hak atau


kewenangan yang dengan nyata dirumuskan dalam suatu undang-undang.

b. Apakah tindakan petindak harus sesuai dengan kewajiban yang secara


tegas dinyatakan dalam suatu undang-undang.

c. Apakah dalam rangka pelaksanaan undang-undang boleh menggunakan


segala cara.

120. Tindakan berdasarkan perintah jabatan.

a. Pasal 51 ayat (1) : Tidak dipidana, barang siapa melakukan suatu tindakan
pelaksanaan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang
untuk itu.

Antara pemberi perintah dan pelaksana perintah harus ada hubungan dalam
rangka perintah jabatan. Hubungan itu harus menurut hukum publik.
Dipersyaratkan pula tentang kewenangan penguasa itu. Artinya posisi pemberi
perintah harus didasarkan kepada ketetuan dari hukum publik. Mudah dimengerti
bahwa kedudukan pemberi perintah adalah lebih tinggi dari tpelaksana dalam
hubungan pelaksanaan perintah tersebut. Adanya hubungan jabatan disini tidak
selalu mutlak, walaupun pada umumnya adalah demikian, ingat ketentuan pasal
525 KUHP. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa perintah jabatan harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1) Ada hubungan antara pemberi perintah dengan pelaksana perintah


yang berdasarkan hukum publik;

2) Kewenangan pemberi perintah harus sesuai dengan jabatannya


berdasarkan hukum publik tersebut;

3) Bahwa perintah yang diberikan itu termasuk dalam lingkungan


kewenangan jabatannya.

b. Pasal 51 ayat (2). Perintah jabatan yang diberikan tanpa kewenangan, tidak
menghapuskan pidana, kecuali jika oleh pelaksana perintah tersebut dengan
etikat baik mengira bahwa perintah itu diberikan dengan kewenangan dan
pelaksanannya termasuk dalam lingkungan ketaatannya.

Penentuan ketentuan : “perintah jabatan yang diberikan tanpa kewenangan


tidak menghapuskan pidana”, memprkuat ketentuan dalam ayat yang
mendahuluinya. Selain daripada itu, kalimat ini harus diutamakan dari anak
kalimat yang mengikutinya. Berarti bahwa pelaksana perintah harus mengetahui
bahwa perintah yang ia terima, diberikan oleh orang yang berwenang dan
perintah itu termasuk kewenangan dari orang tersebut yang sesuai dengan
jabatannya. Pengertian dari pelaksana perintah harus mengetahui, harus
92

diartikan secara luas yaitu bahwa menurut perhitungan yang layak atau menurut
perhitungan umum ia seharusnya mengetahui. Tegasnya pidana ditiadakan
kepada pelaksana perintah hanya jika ia melaksanakan perintah atas dasar
sebagai berikut :

1) Dengan itikad baik mengira bahwa perintah itu diberikan dengan


kewenangan. Artinya pemberi perintah berwenang dan perintah yang
diberikan termasuk kewenangannya.

2) Dan pelaksanaan perintah itu termasuk dalam lingkungan ketaatannya.

BAB XXIII
KETENTUAN-KETENTUAN PENIADAAN PIDANA LAINNYA

121. Ketentuan peniadaan pidana diluar Bab III buku I KUHP, tetapi masih
didalam KUHP.

a. Seperti telah diutarakan sebelumnya, dasar untuk meniadakan pidana bagi


seorang petindak yang disuruh adalah suatu kesimpulan dari ketentuan pasal 55
KUHP.

b. Salah satu asas dari hukum acara pidana ialah bahwa sseseorang petindak
pidana tidak diwajibkan untuk membuktikan kesalahan. Bahkan padanya diakui
adanya hak ingkar. Petindak wajiba melaporkan dirinya bahwa ia telah melakukan
suatu tindakan, dan tidak pula akan menambahkan tindak pidana yang
dilakukannya jika ia menyembunyikan diri karena telah melakukan suatu tindak
pidana.

c. Obyek dari sesuatu tindakan yang petindaknya dapat dipidana, selalu


menyangkut suatu kepentingan diluar kepentingan sendiri. Dalam hal ini ada
pengecualian misalnya pasal 496 mengancam pidana bagi seseorang yang
membakar barang kepunyaan sendiri yang tidak bergerak. Penggunaan istilah
tidak bergerak disini harus ditafsirkan bahwa tindakan itu dapat menyangkut
kepentingan diluar kepentingan pemilik. Jadi suatu tindakan yang hanya akan
merugikan kepentingan sendiri saja, tidak akan merugikan suatu tindak pidana,
atau setidak-tidaknya sifat melawan hukumnya ditiadakan.

d. Pasal 367 ayat 1 KUHP menggunakan perumusan : tidak mungkin diadakan


tuntutan pidana, dihubungkan dengan hukum acara pidana, maka perumusan ini
menjurus kepada : pernyataan tuntutan tidak dapat diterima dari penuntut umum.
Sedangkan peniadaan pidana yang berdasarkan peniadaan kesalahan menjurus
kepada pembebasan. Peniadaan sifat melawan hukum menjurus kepada
putusan. Pelepasan dari segala tuntutan dalam arti : baik jaksa/oditur maupun
terpidana dapat naik banding.

e. Mengenai peniadaan pidana tuntutan pidana didalam buku satu KUHP,


masih ditemukan ketentuan-ketentuan yang bernada sama walaupun
penyebabnya berbeda yaitu sebagai berikut :

1) Pasal 61, 62 KUHP : petindak penerbit/pencetak.


93

2) Pasal 72 dst : penuntutan hanya asas dasar pengaduan.


3) Pasal 76 dst : gugurnya penuntutan.

f. Dan akhirnya karena dengan mengikuti pendirian bahwa percobaan dan


pernyataannya adalah merupakan “tindak pidana khusus” maka pada pasal-pasal
54 dan 60 KUHP tertafsirkan peniadaan pidana bagi percobaan dan pembantuan
melakukan pelanggaran.

g. Apakah peniadaan pidana yang diuraikan diatas merupakan asas umum?


Jelas bahwa semua ketentuan dalam buku ke-1 adalah merupakan aturan umum
atau asas umum, sehubungan dengan judul bab masing-masing. Sedangkan
yang diatur dalam buku ke II KUHP adalah merupakan asas khusus. Tetapi
ditinjau dari suatu asas peniadaan pidana, bukan suatu hal yang mustahil
menyatukan asas-asas tersebut dalam satu judul yang merupakan asas umum,
walaupun untuk mendekati kesempurnaannya harus membatasinya.
Sesempurna-sempurnanya hukum didunia ini tetap pada perkecualiannya.

122. Ketentuan peniadaan pidana diluar KUHP.

Peniadaan pidana di luar KUHP dapat ditemukan yang merupakan tambahan atau
pengecualian terhadap asas-asas umum yang diatur dalam bab I KUHP.

Demikianlah dalam pasal 32 KUHPM, ditentukan suatu asas peniadaan pidana


yang dapat digolongkan sebagai peniadaan sifat melawan hukum bagi seseorang
justiabel Peradilan Militer, yang dalam waktu perang melakukan suatu tindakan
(menahan/membunuh musuh, merampas alat-alat perang musuh dan sebagainya)
yang dibenarkan menurut hukum perang yang diakui dan berlaku bagi negara-negara
yang berperang tersebut.

Selain daripada itu, jika pada salah seorang peserta petindak dari kejahatan
terhadap keamanan negara dalam KUHP tidak dikenal peniadaan tuntutan pidana,
maka dalam pasla 72 ayat (1) KUHPM, ketentuan itu dikenal yang agaknya didasarkan
pada asas kegunaan. Sedangkan peniadaan pidana disini adalah merupakan lanjutan
dari peniadaan tuntutan pidana yang termasuk golongan peniadaan sifat melawan
hukum.

Peniadaan tuntutan pidana yang didasarkan pada : “usaha memperkuat


kedudukan keuangan negara dalam bidang devisa” dapat ditemukan dalam pasal 19
(2) Undang-undang DEVISA.

BAB XXIV
PENGURANGAN DAN PENAMBAHAN PIDANA

123. Pengurangan pidana didalam dan diluar KUHP.

Dasar-dasar pengurangan pidana secara umum ditentukan dalam pasal 47 KUHP


yang didasarkan pada usia belum dewasa. Mirip dengan pengurangan pidana dapat
pula ditemukan pada pasal 53, 57 KUHP yang sebenarnya bukan pengurangan pidana
dalam arti yang sebenarnya karena suatu hal tertentu. Secara khusus dapat pula
ditemukan dalam pasal 305, 306,308, 341,342 KUHP. Dan pasal 110 KUHPM.
94

Selain daripada pasal yang diutarakan tersebut, dikenal beberapa keadaan yang
dapat dijadikan dasar untuk pengurangan pidana yang dalam banyak hal sering
dilakukan dalam praktek hukum sebagai kelanjutan dari adanya kebebasan bagi hakim
untuk menentukan putusannya antara ancaman pidana maksimum dan minimum, dan
seyogyanya dapat pula ditampung dalam rangka pembentukan hukum pidana nasional.
Keadaan-keadaan itu adalah :

a. Seorang yang melakukan suatu tindak pidana terdorong oleh alasan-alasan


yang patut dihormati menurut penilaian hakim.

b. Seorang ibu yang sedang nyidam yang melakukan suatu kejahatan (tindak
pidana tertentu).

c. Seorang yang turut serta melakukan pemufakatan jahat yang diancam


pidana, telah melaporkan diri sebelum kejahatan tersebut terjadi. dan jika
kejahatan tersebut dapat dicegah, maka terhadap mereka yang melaporkan diri
itu dapat ditiadakan pidana terhadapnya (asas utulitas).

d. Seorang petindak pidana yang dengan sukarela menyerahkan diri kepada


yang berwajib.

e. Seorang petindak pidana yang dengan sukarela mengganti kerugian yang


layak atau memperbaiki kerusakan akibat tindakannya dan oleh yang dirugikan
menghendaki demikian.

f. Seorang melakukan tindak pidana karena kegoncangan jiwa yang sangat,


akibat dari keadaan pribadi atau keluarganya yang sangata berat, keadaan mana
bukan suatu ketercelaan.

g. Seorang yang pada waktu melakukan tindak pidana tidak mungkin dapat
mengetahui bahwa perbuatannya itu dapat dipidana.

124. Penambahan pidana didalam dan diluar KUHP.

Asas umum untuk penambahan pidana dalam Bab III Buku I KUHP ada dua
macam yang diatur dalam pasal 52 dan 52 a KUHP sebagai berikut :

a. Seorang pejabat melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, dan


b. Waktu melakukan kejahatan, menggunakan bendera kebangsaan RI.

Selain daripada itu dikenal pula beberapa keadaan yang menjadi dasar dari
penambahan pidana sebagai berikut :

a. Karena pengulangan (residive)


b. Karena gabungan (samenloop)
c. Karena beberapa keadaan tertentu lainnya yang secara khusus ditentukan
dalam beberapa pasal tindak pidana.
d. Karena beberapa keadaan yang juga menjadi asas umum bagi suatu
ketentuan hukum pidana khusus.
95

a. Pejabat.

Pasal 92 KUHP ternyata hanya memperluas pengertian pejabat dengan


beberapa “jabatan-jabatan yang kurang memenuhi syarat-syarat dari suatu
pejabat dalam arti yang sesungguhnya. Tidak ada suatu penafsiran otentik
mengenai istilah pejabat dalam KUHP. Menurut putusan HR yang telah diterima
di Indonoesia yang diartikan dengan pejabat adalah seseorang yang
ditetapkan/diangkat oleh kekuasaan umum untuk melaksanakan tugas-tugas yang
berhubungan dengan kepentingan umum dan merupakan sebagian dari tugas
negara atau badan-badannya. Jadi syarat-syarat atau ciri-ciri bagi seorang
pejabat adalah sebagai berikut :

1) Diangkat/ditetapkan oleh penguasa umum.


2) Melaksanakan tugas-tugas untuk/mengenai kepentingan umum.
3) Tugas tersebut merupakan sebagian tugas negara/badan-badannya.

b. Bendera kebangsaan.

Bendera kebangsaan merupakan simbol/kebanggaan dari rakyat suatu


negara. Jika seseorang melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan
bendera kebangsaan, ada beberapa kemungkinan yang negatif yang bersamaan
turut terjadinya yaitu misalnya sebagai berikut :

1) Merupakan paksaan psychologis bagi mereka yang dirugikan sebagai


akibat dari rasa hormatnya kepada bendera tersebut.
2) Merupakan penghinaan atau pengotoran terhadap lambang tersebut
yang telah digunakan justru untuk melakukan tindakan yang bertentangan
dengan makna yang terkandung dalam lambang tersebut.

c. Residive/pengulangan.

Ketentuan-ketentuan pengulangan tidak ditempatkan dalam buku I KUHP.


Dalam buku ke II KUHP, justru ditemukan dalam 3 pasal terakhir dan yang hanya
berlaku bagi kejahatan-kejahatan tertentu yang diatur dalam buku ke II KUHP dan
KUHPM. Waktu antara satu kejahatan dengan kejahatan lainnya ditentukan
secara limitatif yaitu 5 tahun sejak menjalani seluruh atau sebagian pidana
penjara sejak pidana tersebut dihapuskan dan jika pada waktu melakukan
kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum kedaluwarsa.
Artinya telah ada putusan hakim untuk kejahatan yang dilakukannya.

d. Gabungan (concursus) perbarengan.

Sering juga dikatakan bahwa gabungan termasuk pemberatan atau


penambahan pidana. Ini adalah sebagai kesimpulan logis dari kata-kata atau
perumusan yang digunakan dalam pasal-pasal 65 (2) dan 66 yang berbunyi
antara lain :......... tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah
sepertiga. Jadi seakan-akan adanya penambahan dengan sepertiga dari
maksimumpidana semula.

Tetapi keadaan yang sebenarnya ialah, jika seandainya ketentuan tentang


gabungan ini tidak diadakan, maka tidak ada suatu larangan untuk menjumlahkan
kedua-duanya maksimum pidana tersebut yang berarti jauh lebih berat dari
96

sepertiga saja. Jadi ditinjau dari sudut “seandainya” itu tadi, maka gabungan itu
justru merupakan pengurangan pidana. Beda gabungan dengan pengulangan
yang terpokok ialah bahwa pada gabungan antara tindak pidana yang satu
dengan lainnya belum ada putusan tetap, sedangkan pada pengulangan sudah
ada.

e. Keadaan khusus tertentu/ keadaan yang mengakibatkan dari perbuatan itu.

Keadaan khusus tertentu dapat pula menjadi dasar penambahan pidana


yang berlakunya hanya terhadap tindak pidana tertentu seperti misalnya :

1) Akibat yang lebih berat daripada akibat yang ditentukan terlebih dahulu
(pembakaran, penganiayaan dan sebagainya).
2) Dilakukan secara bersama-sama.
3) Dilakukan pada malam hari dan lain sebagainya.

f. Keadaan khusus militer.

Dalam KUHPM ditemukan pula dasar-dasar umum tentang penambahan


pidana yang berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang diatur dalam buku ke II
KUHPM seperti misalnya keadaan-keadaan sebagai berikut :

1) Dilakukan pada waktu perang oleh seseorang yang tunduk pada


peradilan militer (pasal 2 jo 35 KUHPM).
2) Melanggar kewajiban jabatan dengan tidak mengurangi ketentuan
pasal 52 KUHP dan pasal 36 KUHPM.
3) Seorang atasan yang bersama-sama dengan bawahannya melakukan
suatu kejahatan bersenjata (pasal 38 KUHPM) untuk atasan ditambah 1/3.

Demikian pula terdapat beberapa dasar penambahan pidana dalam pasal


tindak pidana di KUHPM, yang secara khusus ditentukan antara lain keadaan
sebagai berikut :

1) Dilakukan dalam dinas.


2) Apabila petindak adalah perwira yang memegang Komando dan lain
sebagainya.

BAGIAN VI

BAB XXV
DASAR-DASAR PEMIDANAAN PERCOBAAN

125. Sejarah dan pengertian percobaan.

M.v.T. atau memori penjelasan menguraikan percobaan sebagai telah dimulainya


tetapi tidak/belum selesai tindakan pelaksanaan kejahatan atau telah dinyatakannya
niatnya untuk melakukan suatu kejahatan tertentu dengan permulaan tindakan
pelaksanaan. Dari uraian ini dapat kita temukan dua penonjolan yaitu : tindakan dan
niat petindak. Penonjolan tindakan akan menjurus kepada tindakan terlarang,
sedangkan penonjolan niat atau kehendak akan menjurus kepada pertanggungjawaban
pidana atau kesalahan. Kedua-duanya dalam rangka pemidanaan.
97

S.R. Sianturi, S.H. mempunyai pendapat bahwa percobaan adalah merupakan


perluasan tindak pidana atau merupakan tindak pidana berbentuk khusus. Apabila kita
berbicara mengenai suatu tindak pidana, kita pasti harus membicarakan tindakan yang
dilarang (diharuskan), pertanggungjawaban pidana dari pelaku, yang pada akhirnya
membicarakan kemungkinan pemidanaannya. Dalam suatu tindak pidana, baik
tindakan yang dilarang maupun dipertanggungjawabkan pidana dan unsur-unsur
lainnya, saling satu sama lain saling terkait. Dalam rangka tidak telah sempurna
dilakukan suatu tindakan terlarang/diharuskan dapat saja dikatakan sebagai belum
memenuhi perumusan undang-undang. Karena seyogyanya tidak dipidana. Agar
supaya dapat dipidana dibuat suatu ketentuan agar dapat dipidana, yang dapat disebut
sebagai perluasan pemidanaan. Sebaliknya dapat saja dikatakan bahwa rangkaian
perbuatan-perbuatan yang telah terjadi, sekalipun belum sempurna memenuhi
perumusan, adalah juga tindakan tercela dan layak dipidana. Karena percobaan
adalah tindakan tercela dan layak dipidana. Karena kedua pendapat tersebut pada
akhirnya sejalan untuk memandang percobaan sebagai bentuk yang lebih ringan baik
ditinjau dari sudut tindakannya, maupun dari sudut ancaman pidananya, maka tiada
banyak manfaatnya untuk mempertajam pembedaan pendapat tersebut.

126. Dua aliran mengenai dasar-dasar pemidanaan.

Ada dua aliran mengenai dasar pemidanaan percobaan yang paling menonjol.
Sitem pemidanaan untuk percobaan agak menyimpang dari sistem pemidanaan suatu
delik sempurna yang justru mengancam pidana apabila unsur-unsur delik tersebut telah
sempurna dipenuhi. Untuk percobaan pemidanaan diadakan justru belum terjadi
sesuatu yang merugikan kepentingan hukum seperti yang seutuhnya dilindungi dalam
pasal tindak pidana yang bersangkutan. Karenanya dicari dasar hukum dari
pemidanaan tersebut.

a. Teori percobaan subyektif.

Aliran pertama bertolak pangkal kepada diri atau jiwa dari petindak. Yang
dinilai pertama-tama adalah isi kewajiban dari petindak, yaitu kehendaknya atau
niat petindak untuk melakukan suatu kejahatan. Niatnya harus ternayata dari
tindakannya yang juga merupakan pernyataan keberbahayaan dari petindak. Para
penganut aliran pertama menghendaki pemberantasan kejahatan pada tindakan
permulaannya atau mengadakan perlawanan terhadap orang-orang yang
bertabiat jahat. Justru itulah sebabnya mengapa petindak yang baru saja
menyatakan niat jahatnya dalam bentuk tindakan permulaan sudah harus
dipidana, walaupun belum terjadi sesuatu kerugian kepentingan hukum sesuai
dengan pasal-pasal tindak pidana.

b. Teori percobaan obyektif.

Aliran kedua bertolak pangkal kepada tindakan dari petindak yang telah
membahayakan sesuatu kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-
undang. Dasar pemidanaan menurut aliran ini adalah suatu perbandingan atau
hubungan tertentu antara tindakan dengan kepentingan hukum yang dilindungi.
Seandainya hubungan tersebut tidak menunjukkan perlunya pemidanaan maka
tidak ada pemidanaan, walaupun digembor-gemborkan adanya niat padanya
untuk melakukan sesuatu kejahatan. Sampai dimana batas-batas dari hubungan
itu. Karena aliran kedua ini bertolak pangkal kepada tindakan yang telah
98

membahayakan suatu kepentingan hukum yang dilindungi undang-undang, maka


aliran ini disebut sebagai “teori percobaan obyektif “.

127. Percobaan terhadap kejahatan.

Sistem hukum pidana tentang pemidanaan percobaan ialah bahwa pada


umumnya yang ditentukan dapat dipidana, adalah percobaan terhadap kejahatan pasal
53. Sedangkan percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana pasal 54. Ternyata
ketentuan umum ini tidak konsekwen dipedomani. Ada beberapa percobaan untuk
melakukan kejahatan dengan tegas dinyatakan tidak dipidana, yaitu seperti : percobaan
melakukan penganiayaan binatang pasal 302 ayat (4); percobaan untuk melakukan
penganiayaan manusia pasal 351 ayat (5), pasal 352 ayat (2) dan percobaan untuk
melakukan ‘perkelahian” pasal 184 ayat (5).

Perbedaan kwantitas dari tindak pidana satu dengan lainnya masih tetap perlu
diperhatikan dan ditegaskan. Dengan demikian misalnya dapat ditentukan antara lain
sebagai berikut :

a. Percobaan melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya matai atau


seumur hidup diancam/dikenakan pidana perampasan kemerdekaan selama-
lamanya maksimum 15 tahun.

b. Percobaan melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya perampasan


kemerdekaan 12 tahun keatas, dikenakan pidana maksimum dua pertiga dari
maksimum tindak pidana itu.

c. Percobaan melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya diatas 3


bulan sampai dengan maksimum pidana perampasan kemerdekaan dibawah 12
tahun, dikenakan selama-lamanya separohnya dari pidana maksimum terhadap
tindak pidana itu.

d. Percobaan melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya maksimum 3


bulan perampasan kemerdekaan tindak pidana.

128. Percobaan terhadap delik kealpaan.

Jika diperhatikan perumusan percobaan, dimana niat merupakan salah satu


syarat, sukar dibayangkan kemungkinan adanya percobaan terhadap delik kelapaan.
Namun kemungkinan tersebut tidak tertutup. Niat adalah salah satu syarat dari
mencoba. Bukan salah satu syarat atau unsur dari kejahatan yang hendak
dilakukannya. Jadi dengan demikian masih saja ada kemungkinan bahwa seseorang
berniat melakukan suatu persetubuhan dengan seorang wanita diluar perkawinan,
sedang sepatutnya ia harus dapat menduga culpa bahwa wanita itu belum cukup
umurnya 15 tahun (penuntutan atas aduan), atau belum cukup 12 tahun umurnya
(penuntutan karena jabatan) pasal 287 KUHP. Meunurut VOS berpendapat bahwa ada
saja kemungkinan terjadinya percobaan terhadap kejahatan alpa dan yang tetap dapat
dipidana.
99

BAB XXVI
PERUMUSAN PERCOBAAN DALAM KUHP

129. Ketentuan mengenai percobaan (pasal 53 dan 54 KUHP).

Ternyata ketentuan tersebut tidak memberikan pembatasan definisi tentang


percobaan. Yang ditentukan adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi, supaya
petindak percobaan dapat dipidana, dan syarat-syarat itu meliputi sebagai berikut :

a. Isi kejiwaan petindak,


b. Kelakuan atau tindakan petindak, serta
c. Hasil dari isi kejiwaan dan tindakan tersebut. Dan isi kejiwaan, tindakan serta
hasil tersebut dirumuskan :

1) Ada niat atau kehendak petidak untuk melakukan kejahatan;


2) Ada permulaan pelaksanaan tindakan;
3) Pelaksanaan tindakan itu tidak selesai hanyalah karena keadaan diluar
kehendak petindak.

130. Niat

Niat adalah salah satu syarat dari percobaan untuk melakukan kejahatan (pasal
53 KUHP). Dengan demikian percobaan untuk melakukan kejahatan, apabila
kejahatan yang diniat itu adalah pembunuhan maka sehubungan dengan ketentuan
tadi). Dari uraian singkat tersebut sudah dapat dipastikan bahwa niat tersebut tidak
dimaksudkan untuk mengganti unsur kesalahan (kesengajaan dan kealpaan) dari
kejahatan itu. Dari ajaran Schuld pada umumnya yang dimaksud dengan niat adalah
sama dengan pengertian sengaja dalam semua gradasinya. Pencatuman niat dalam
perumusan percobaan merupakan suatu kekhususan.

131. Permulaan pelaksanaan tindakan (begin van uitvoering).

Permulaan pelaksanaan tindakan harus dihubungkan dengan kata-kata niat yang


mendahuluinya yang terdapat dalam pokok kalimat perumusan tersebut, jadi yang
dimaksud ialah permulaan pelaksanaan tindakan dari niat petindak. Jika penafsiran ini
dihubungkan dengan ajaran tentang dasar-dasar pemidanaan percobaan, maka ia
termasuk dalam ajaran percobaan subyektif.

Memori penjelasan M.v.T memberikan penjelasan mengenai percobaan yang satu


sama lainnya berbeda sebagai berikut :

a. Pelaksanaan tindakan dari kejahatan.

Percobaan adalah pelaksanaan tindakan dari kejahatan yang telah dimulai


tetapi tidak selesai.

b. Pelaksanaan tindakan dari niat.

Dilain pihak dirumuskan pula bahwa, percobaan adalah sesuatu permulaan


pelksanaan tindakan dari niat yang dinyatakan untuk melakukan suatu kejahatan
tertentu.
100

Dari perumusan a dapat disimpulkan bahwa KUHP seolah-olah menganut


ajaran percobaan obyektif, sedang dari perumusan b mirip dengan ajaran
percobaan subyektif.

132. Pelaksanaan tindkan tidak selesai karena keadaan diluar kehendak-


kehendak.

Pada syarat ketiga ini ada 3 macam hal yang menjadi perhatian yaitu :

a. Tidak selesai.
b. Hanyalah.
c. Keadaan-keadaan diluar kehendak petindak.

Yang tidak selesai itu adalah kejahatan, atau kejahatan itu tidak terjadi sesuai
dengan ketentuan undang-undang, atau tidak sempurna memenuhi unsur-unsur dari
kejahatan menurut rumusannya. Dengan perkataan lain niat petindak untuk
melaksanakan kejahatan tertentu yang sudah dinyatakan dengan tindakannya terhenti
sebelum sempurna terjadi kejahatan itu. Dapat juga dikatakan, bahwa tindakan untuk
merugikan sesuatu kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang hukum
pidana itu terhenti sebelum terjadi “kerugian” yang sesuai dengan perumusan undang-
undang. Yang dimaksud dengan keadaan diluar kehendak petindak adalah setiap
keadaan baik badaniah/fisik maupun rohaniah/psychis yang datangnya dari luar yang
menghalangi atau menyebabkan tidak sempurna terselesaikan kejahatan itu.

BAB XXVII
TEORI-TEORI MENGENAI PERCOBAAN

133. Percobaan yang tidak wajar.

Dikatakan percobaan yang tidak wajar, bilamana niat petindak telah dinyatakan
dengan adanya permulaan pelaksanaan tindakan, tetapi tidak selesai pelaksanaan
tindakan itu, adalah karena tidak mungkin terjadi dan diluar kehendaknya. Tegasnya
ada keadaan yang diluar kehendak petindak, yang tidak dimungkinkan penyelesaian
tindakan itu, walaupun ia telah melakukan tindakan-tindakan kearah penyelesaian itu.
Keadaan itu bukan merupakan halangan/rintangan yang dilakukan oleh manusia,
makhluk lainnya atau alam, melainkan karena alat untuk menyelesaikan tindakan itu,
atau sasaran dari tindakan itu tidak wajar, yang tidak diketahui oleh petindak. Jadi
bukan percobaannya yang tidak wajar, tetapi alat atau sasarannya.

Ketidakwajaran ada dua tingkatan yaitu mutlak tidak wajar dan relatif tidak wajar.
Karenanya dikenal empat bentuk ketidakmungkinan sebagai penyebab dari tidak
terselesaikan suatu kejahatan itu :

a. Alatnya tidak wajar secara mutlak.


b. Alatnya tidak wajar secara relatif.
c. Sasarannya tidak wajar secara mutlak.
d. Sasarannya tidak wajar secara relatif.
101

134. Penilaian kasuistis untuk percobaan yang tidak wajar/karena alatnya yang
tidak wajar.

a. Alatnya tidak wajar secara mutlak.


b. Alatnya tidak wajar secara relatif.
c. Sasarannya tidak wajar secara mutlak.
d. Sasarannya tidak wajar secara relatif.

135. Kejadian-kejadian yang mirip dengan percobaan yang tak wajar.

Beberapa kejadian sering dibicarakan dalam rangka percobaan yang tidak wajar.
Dikatakan juga sebagai telah terjadi kekeliruan mengenai kewajarannya. Dalam
contoih yang terkenal mengenai petani dari Beieren yang mendoakan supaya
seseorang lain mati sebagai akibat dari doanya. Ternyata tidak apa-apa kepada orang
lain itu. Dari sudut percobaan yang tidak wajar, kejadian ini termasuk : percobaan
yang alatnya secara mutlak tidak wajar. Tetapi sebenarnya apa yang telah dikerjakan
oleh petani itu, yaitu berdoa, bukanlah alat untuk membunuh dan bahkan secara hukum
pidana tidak ada hubungannya dengan pembunuhan.

Demikian juga dalam banyak hal ditafsirkan mengenai guna-guna dimana


seseorang telah menusuk-nusuk sebuah boneka yang dikarifatkan sebagai lawannya,
dengan maksud supaya lawannya yang sebenarnya itu mati karena perbuatannya itu.
Ternyata lawannya itu baik-baik saja pada saat terjadinya penusukan-nusukan itu
maupun setelahnya, dan sama sekali tidak tahu menahu tentang guna-guna tersebut.

136. Percobaan dikwalifisir sempurna selesai dan tercegat.

Ada beberapa ajaran lainnya yang sering dibicarakan sehubungan dengan


percobaan. Kendati ajaran ini hingga saat ini belum penting karena sistem hukum
pidana kita tidak mengenalnya, akan tetapi perlu juga sekedar diketahui
ajaran/pengertian tersebut adalah apa yang dinamakan “ percobaan yang dikwalifisir” :

a. Percobaan yang dikwalifisir adalah tidak terselesainya karena kehendaknya


sendiri atau bilamana petindak m,embatalkan lanjutan tindakan yang diniatinya
secara sukarela, untuk melakukan suatu tindak pidana tertentu tetapi telah
memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana lainnya, dalam hal ini petindak dapat
dituntut pidana berdasarkan tindak pidana lainnya itu.

b. Pengertian dari yang pertama ialah bilamana petindak telah melakukan


segala sesuatunya supaya terjadi akibat yang dikehendaki tetapi tidak terwujud.

c. Percobaan tercegat berarti bahwa ketika petindak sedang melakukan


tindakan pelaksanaan ia telah dirintangi/dihalang-halangi sebelum ia dapat
menyelesaikan/menyempurnakan tindakan percobaan tersebut.

137. Makar dan mufakat jahat.

Ketentuan-ketentuan lain yang mirip dengan percobaan yang diatur dalam KUHP
adalah makar dan mufakat jahat. Menurut pasal 87 KUHP, dikatakan bahwa ada makar
terhadap suatu tindakan, jika niat petindak telah dinyatakan dengan adanya permulaan
pelaksanaan tindakan seperti dimaksud dalam pasal 53.
102

Makar hanya pada beberapa kejahatan tertentu saja ditentukan dalam KUHP.
Terutama dalam buku kedua Bab I,II dan III (kejahatan terhadap keamanan negara,
martabat presiden dan wakil presiden, negara sahabat dan kepala negara sahabat
serta wakilnya). Dihubungkannya makar dengan percobaan (pasal 53 KUHP) harus
ditafsirkan bahwa dari tiga syarat percobaan yang ditentukan untuk menentukan
adanya makar sudah cukup jika dipenuhi dua syarat yang terdahulu saja. Selanjutnya
untuk adanya makar tidak perlu dipersoalkan apakah yang diniatkan itu berhasil atau
tidak berhasil. Ancaman pidana bagi makar yang sudah sempurna pasal 87 terhadap
suatu kejahatan tertentu, percobaan terhadap kejahatan tersebut 9misalnya
pembunuhan presiden) dan terselesaikan “kejahatan khusus” itu sendiri sama saj dan
termasuk dalam ketentuan pada pasal yang bersangkutan (kejahatan selesai) perlu
diperhatikan juga bahwa pembatalan niat secara sukarela dalam soal makar tidak
meniadakan pidana.

138. Percobaan terhadap makar dan mufakat jahat.

Pasal 88 yang menentukan : dikatakan mufakat jahat jika dua orang atau lebih
telah mufakat untuk melakukan kejahatan. Jika dibandingkan ketentuan dalam pasal
ini dengan ketentuan percobaan terutama tentang hal-hal yang dibahas dalam syarat
kedua dari percobaan, yaitu mengenai persiapan pelaksanaan (yang tidak dipidana)
dan tindakan pelaksanaan (yang dipidana), maka mufakat jahat termasuk dalam
pengertian persiapan pelaksanaan. Jika dalam percobaan, kegiatan sampai persiapan
pelaksanaan saja belum diancam pidana, maka pada mufakat jahat (yang hampir sama
dengan persiapan pelaksanaan) untuk kejahatan tertentu, sudah diancam pidana (para
petindak). Ketentuan seperti ini sengaja diadakan justru untuk mencegah kejahatan
tertentu tersebut pada tingkat permulaannya sekali. Dalam hal ini KUHP tiada
persoalan peniadaan pidana, kendati ada pembatalan secara sukarela. Dalam KUHPM
pada pasal 72, atas dasar kegunaan ditiadakan penuntutan kepada salah seorang
peserta yang melaporkan mufakat jahat tersebut pada saat masih dapat dicegah
kejahatan tersebut.

BAGIAN VII
PENYERTAAN

BAB XXVIII
BENTUK DAN POKOK PERSOALAN PENYERTAAN

139. Bentuk-bentuk penyertaan.

Apakah yang dimaksudkan dengan istilah penyertaan? Jelas bahwa makna dari
istilah ini ialah bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana
atau dengan lain perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk
mewujudkan suatu tindak pidana. Ternyata dalam Bab V KUHP yang ditentukan
mengenai PENYERTAAN terbatas hanya sejauh yang tercantum dalam pasal 55
sampai dengan 60 yang pada garis besarnya berbentuk penyertaan dalam arti sempit
(pasal 55) dan pembantuan (pasal 56 dan 59). Bentuk-bentuk itu diperinci sebagai
berikut :

a. Dua orang atau lebih bersama-sama (berbarengan) melakukan suatu tindak


pidana;

b. Ada yang menyuruh (dan ada yang disuruh) melakukan suatu tindak pidana;
103

c. Ada yang melakukan dan ada yang turut serta melakukan tindak pidana;

d. Ada yang menggerakkan dan ada yang digerakkan dengan syarat-syarat


tertentu untuk melakukan tindak pidana;

e. Pengurus-pengurus anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-


komisaris yang (diperanggapkan) turut campur dalam suatu pelanggaran tertentu;

f. Ada petindak (dader) dan ada pembantu untuk melakukan suatu kejahatan.

140. Pokok persoalan pada penyertaan.

Memahami bentuk-bentuk hubungan dari penyertaan adalah sangat penting.


Karena sebagaimana terlihat dalam uraian diatas, hubungan antara peserta-peserta itu
sama lainnya tidak sama eratnya. Harus dibedakan hubungan antara seseorang yang
menyuruh terhadap yang disuruh, dengan hubungan seseorang yang menggerakkan
terhadap yang digerakkan; hubungan antara seseorang dan orang lain yang bersama-
sama melakukan suatu tindak pidana, dengan seseorang yang dibantu orang lain
melakukan kejahatan. Untuk jelasnya apabila hubungan itu ditinjau dari sudut
penyerta/peserta akan ditemukan variasi-variasi sebagai berikut :

a. Penyerta yang (turut) melakukan tindak pidana itu, tidak mengetahui bahwa
tindakannya merupakan tindak pidana, atau ia terpaksa melakukannya, dan
sebagainya (manus minitra);

b. Penyerta benar-benar sadar dan langsung turut serta untuk melakukan


tindak pidana (medeplegen);

c. Penyerta melakukan tindak pidana karena adanya sesuatu keuntungan


baginya atau dipermusdah untuk melakukannya;

d. Penyerta hanya sekedar membantu saja;

e. Ia dipandang sebagai penyerta dalam suatu pelanggaran, karena ia adalah


pengurus dan sebagainya.

Salah satu unsur tindak pidana adalah subyek. Artinya ada seseorang atau
beberapa orang melakukan suatu tindakan yang dapat dipidana. Jika subyek itu hanya
satu orang saja, maka tidak ada persoalan mengenai siapa yang
dipertanggungjawa,bkan, jika semua unsur-unsurnya terpenuhi. Tetapi bilamana
subyek itu terdiri dari dua orang atau lebih, maka timbullah persoalan mengenai apakah
setiap subyek itu harus memenuhi semua unsur-unsur dari tindak pidana tersebut,
bagaimana hubungan antara subyek-subyek tersebut dan terutama bagaimanakah
pertanggungjawaban pidana setiap subyek.

Perbedaan hubungan antara para pelaku peserta tersebut sangat penting karena
akibat hukum atau pertanggungjawaban yang dikaitkan pada para pelaku perserta
diperbedakan secara tegas tergantung pada erat tidaknya hubungan-hubungan itu.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa yang menjadi pokok persoalan dalam ajaran
penyertaan adalah untuk menentukan benuk hubungan antara peserta-peserta tersebut
104

yang kemudian menentukan pula pertanggungjawaban pidana dari masing-masing


peserta, karena telah melakukan suatu tindak pidana.

BAB XXIX
PENYERTAAN DALAM ARTI SEMPIT

141. Pemidanaan petindak.

Yang dimaksud dengan penyertaan (deelneming) dalam arti sempit dalam tulisan
ini ialah semua bentuk-bentuk penyertaan yang ditentukan dalam pasal 55 KUHP. Hal
ini dimaksudkan untuk membedakan pembantuan (pasal 56) sebagai salah satu bentuk
penyertaan (deelneming) yang diatur dalam Bab V buku I KUHP. Walaupun ketentuan
pasal 55 KUHP dapat saja dikaitkan dengan pengertian penyertaan, namun satu hal
yang ditekankan dalam pasal ini adalah soal pemidanaan, dimana kepada petindak dan
setiap orang yang dipersamakan dengan petindak diperbedakan dengan pidana
kepada pembantu (pasal 56,57 KUHP). Sedangkan yang dipidana sebagai petindak
ditentukan ada 5 golongan yaitu sebagai berikut :

a. Mereka yang melakukan suatu tindakan;


b. Mereka yang menyuruh melakukan suatu tindakan;
c. Mereka yang turut serta melakukan suatu tindakan;
d. Mereka yang dengan sengaja menggerakkan (orang lain) melakukan suatu
tindakan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan secara pasti (limitatif)
e. Mereka ada yang melakukan dan ada yang membantu melakukan.

142. Pengertian petindak (dader).

Dalam bahasa sehari-hari sering kita dengar bahwa yang dimaksud dengan
petindak adalah seorang yang melakukan suatu tindakan. Dalam rangka pembahasan
hukum pidana, istilah petindak selalu dikaitkan dengan unsur-unsur dari sesuatu tindak
pidana. Jadi menurut ilmu hukum pidana yang dimaksud dengan petindak adalah
barang siapa yang telah mewujudkan/memenuhi semua unsur-unsur (termasuk unsur
subyek) dari sesuatu tindak pidana sebagaimana unsur-unsur itu dirumuskan dalam
undang-undang.

Tetapi karena manusia hidup bermasyarakat, dimana tindakan seseorang tidak


begitu mudah dipisahkan dari tindakan orang lain, sering kita menemui kesulitan untuk
menentukan siapa-siapakah yang akan kita tentukan sebagai petindak sesuai dengan
ketentuan hukum pidana. Dari sudut ajaran sebab akibat saja kita sudah dihadapkan
dengan kesulitan tersebut. Kesulitan-kesulitan akan kita temukan juga dalam suatu
tindakan yang dilakukan oleh orang-orang yang terorganisir.

143. Mereka yang melakukan suatu tindakan (pelaku/pelaku-pelaku).

Simon berpedapat bahwa maksud kalimat mereka yang melakukan suatu


tindakan adalah petindak tunggal, pendapat tersbut ditentang oleh para sarjana
lainnya, karena jika pengertiannya adalah petindak tunggal, maka tidak ada
hubungannya dengan penyertaan. Rumusan ini (dalam arti petindak tunggal)
sebenarnya adalah berlebihan karena seorang petindak tunggal sudah dengan
sendirinya dapat dipidana berdasarkan rumusan tindak pidana dalam undang-undang.
105

Jonkers yang juga mensitir Noyon berpendapat bahwa maksud perumusan


undang-undang mereka yang melakukan adalah petindak-petindak peserta. Walaupun
juga dimaksudkan atau diartikan sebagai petindak tunggal, tetapi yang disebut
belakangan tidak ada artinya sesuai dengan dalih tersebut diatas.

Kesimpulan yang sebaiknya dapat ditarik dari uraian terebut diatas ialah bahwa
pengertian dari mereka yang melakukan dapat satu orang saja atau lebih. Dalam hal
satu orang saja, ia menjawab pertanyaan : “ siapa saja yang dapat dipidana”. Dalam
hal dua orang atau lebih, maka untuk membedakan dengan mereka yang turut serta
melakukan, sebaiknya diartikan bahwa setiap petindak itu memenuhi semua unsur-
unsur tindak pidana.

144. Mereka yang menyuruhlakukan suatu tindakan (doen plegen).

Dalam bentuk penyertaan menyuruhlakukan, penyuruh tidak melakukan sendiri


secara langsung suatu tindak pidana, melainkan menyuruh orang lain. Penyurh berada
dibelakang layar, sedangkan yang melakukan tindak pidana adalah seseorang yang
disuruh. Orang yang disuruh itu merupakan alat ditangan penyuruh. Dalam hal ini
yang disuruh itu telah melakukan tindakan tersebut karena ketidaktahuan, kekeliruan
atau paksaan sehingga padanya tiada unsur kesalahan. Penyuruh dipidana sebagai
petindak, sedangkan yang disuruh tidak dipidana karena padanya tiada unsur
kesalahan atau setidak-tidaknya unsur kesalahannya ditiadakan. Dapat disimpulkan
bahwa penyuruh adalah merupakan petindak yang melakukan suatu tindak pidana
dengan memperalat orang lain untuk melakukannya, yang pada orang lain itu tiada
kesalahan, karena tidak disadarinya, ketidaktahuan, kekeliruan atau dipaksa.

Dasar dari tidak dipidananya orang yang disuruh adalah pasal-pasal 44,48,51
ayat kedua, serta ketentuan-ketentuan menurut pengetahuan hukum pidananyang
intinya bahwa padanya tiada terdapat unsur kesalahan (mens rea) atau keslahannya
ditiadakan, kendati tindakan telah dilakukannya.

145. Mereka yang turut serta melakukan suatu tindakan (medeplegen).

Medeplegen juga diterjemahkan sebagai mereka yang bersama-sama orang lain


melakukan suatu tindakan. Dalam bentuk ini jelas bahwa subyeknya paling sedikit dua
orang. Para pelaku atau pelaku-pelaku peserta dipidana sebagai petindak. Pemakaian
istilah pelaku atau pelaku peserta sebenarnya hanyalah masalah dari sudut siapa
istilah itu digunakan. Dalam bentuk penyertaan ini terutama banyak dipersoalkan
apakah setiap pelaku dan pelaku peserta harus memenuhi semua unsur-unsur tindak
pidana sebagaimana dipersyaratkan bagi seorang petindak. Dibawah ini akan
diuraikan beberapa pendapat sarjana-sarjana sebagai berikut :

a. VAN HAMEL berpendapat bahwa baru dianggap ada persoalan pelau-


pelaku peserta (turut serta melakukan) bilamana tiap-tiap pelaku peserta adalah
petindak sesuai dengan rumusan delik.

b. SIMONS berpendapat agak luas sedikit, yaitu beliau menganggap bahwa


seseorang pelaku peserta adalah petindak walaupun tidak memenuhi semua
unsur-unsrunya tetapi harus memenuhi semua keadaan pribadi petindak
sebagaimana dirumuskan dalam delik.
106

c. NOYON, berpendapat yang berbeda dengan SIMONS beliau


mengemukakan bahwa pengertian turut serta melakukan harus diperbedakan
dengan istilah petindak-petindak peserta. Pendapat ini didasarkan pada pasal 284
KUHP.

d. HOOGE RAAD yang sejalan dengan POMPE mempunyai pandangan yang


dapat dikatakan lebih sesuai dengan rumusan serta jangkauan/maksud dari
undang-undang. Dari pandangan HR ini tersimpul bahwa turut serta melakukan
(pelaku peserta) dapat terjadi dalam berbagai bentuk yaitu :

1) Setiap orang (2) yang bersama-sama mengerjakan secara sempurna


suatu tindak pidana disebut petindak-petindak atau pelaku-pelaku, tetapi
dibenarkan pula untuk menyebutkan mereka sebagai “turut serta melakukan
atau pelaku peserta”.

2) Jika A mengerjakan secara sempurna suatu tindak pidana sebagai


dirumuskan dalam undang-undang, sedangkan peserta-peserta lainnya
hanya mengerjakan sebagian saja, maka dilihat dari sudut A itu sendiri, ia
adalah pelaku, tetapi karena A bekerja sama dengan orang lain maka ia
dapat juga dikwalifisir sebagai pelaku peserta.

3) Tindkan pelaksanaan dari seseorang peserta yang walaupun tidak


memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana disebut juga sebagai pelaku
peserta.

e. Pendapat bahwa yang bukan pegawai negeri dapat juga sebagai pelaku
peserta atau menyuruhlakukan, juga dikemukakan oleh J.M van BEMMELEN.

146. Syarat-syarat kerjasama.

Syarat kerjasama secara sadar tersebut diatas. Lebih cenderung dapat diterapkan
kepada suatu tindak pidana sengaja. Tetapi banyak juga dipersoalkan apakah bentuk
pelaku penyertaan ini mungkin terjadi dalam suatu delik alpa.

Sebagaimana telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu juga merupakan


kesadaran hukum masyarakat dewasa ini, tanpa menghilangkan arti dari kepastian
hukum, maka didalam menerapkan suatu undang-undang kita tidak boleh terlalu kaku.
Teori-teori yang bertentangan dalam membahas sesuatu peraturan hendaklah dapat
diselaraskan dan disesuaikan dengan fungsi hukum bagi masyarakat yang
menggunakan hukum itu sendiri. Yaitu untuk kepentingan perorangan maupun
masyarakat yang diserasikan. Dengan perkataan lain dapatlah dikatakan bahwa
diadakannya peyampuran teori-teori tersebut juga dinamakan teori gabungan atau jalan
tengah.

147. Mereka yang menggerakkan untuk melakukan suatu tindakan dengan daya
upaya tertentu (uitlokking).

Bentuk penyertaan penggerakan mirip dengan bentuk penyertaan menyuruh


melakukan. Perbedaannya ialah, bahwa pada bentuk penyertaan menyuruh
melakukan terdpat syarat-syarat sebagai berikut :
107

a. Peserta yang disuruh adalah peserta yang tidak dapat dipidana;

b. Bahwa daya upaya pada penyuruh, tidak dirumuskan secara limitatif;

Sedangkan syarat-syarat pada penyertaan penggerakan adalah sebagai berikut :

a. Yang digerakkan (materiele/fisike dader) dapat dipidana karena melakukan


suatu tindak pidana seperti halnya penggerak dapat dipidana karena
menggerakkan;

b. Daya upaya yang digunakan penggerak dirumuskan secara limitatif. Dan


daya upaya untuk menggerakkan orang lain dengan syarat-syarat yaitu :
pemberian atau janji, dan penyalahgunaan kekuasaan.

Syarat dalam bentuk penyertaan penggerak adalah sebagai berikut :

a. Kesengajaan penggerak ditujukan agar sesuatu tindakan tertentu dilakukan


oleh pelaku yang digerakkan;

b. Daya upaya untuk menggerakkan adalah tertentu sebagaimana dirumuskan


dalam undang-undang;

c. Adanya orang yang menggerakkan dan telah melakukan suatu tindakan


karena daya upaya tersebut;

d. Pelaku yang digerakkan harus telah melakukan tindak pidana yang


digerakkan atau percobaan untuk tindak pidana tersebut.

148. Tujuan dan kesengajaan (kehendak) penggerak.

Kesengajaan penggerak ditujukan agar sesuatu tindakan dilakuakn oleh pelaku


yang digerakkan. Tujuan penggerakan itu adalah terwujudnya suatu tindak pidana
tertentu. Ini berarti apabila yang dilakukan oleh pelaku yang digerakkan itu adalah
tindak pidana lain, maka penggerak bukan merupakan petindak sebagaimana
dimaksudkan oleh pasal ini. Dengan perkataan lain harus ada hubugan klausal antara
kesengajaan/tujuan penggerak dengan tindak pidana yang terjadi.

149. Daya upaya tertentu.

Daya upaya untuk menggerakkan adalah tertentu sebagaimana dirumuskan


dalam undang-undang yaitu suatu pembiaran, suatu perjanjian, penyalahgunaan
kekuasaan, kekerasan, ancaman atau penyesatan atau dengan pemberian
kesempatan, sarana atau keterangan. Jika diluar daya upaya ini yang digunakan maka
hal tersebut tidak termasuk dalam bentuk penyertaan penggerak. Seperti yang
dikemukakan oleh VOS tentang keberatan-keberatan mengenai pembatasan daya
upaya ini, masih juga dikenal beberapa daya upaya yang seyogyanya dapat
dimasukkan dalam bentuk penyertaan ini, terutama mengingat keadaan kejiwaan
kebanyakan masyarakat di indonesia seperti misalnya hutang budi, setia kawan,
pengejekan, memberitahukan sesuatu kejadian yang benar-benar terjadi, saran yang
seakan-akan baik dan lain sebagainya.
108

Penjelasan-penjelasan seperlunya mengenai daya upaya yang dirumuskan dalam


undang-undang adalah sebagai berikut :

a. Pemberian dan perjanjian, dirumuskan tanpa memberikan suatu


pembatasan. Sehingga pengertiannya dapat luas yaitu dapat berbentuk yang
uang atau benda, bahkan diluar bentuk uang atau benda, bahkan diluar bentuk
uang atau benda seperti jabatan, kedudukan.

b. Penyalahgunaan kekuasaan, juga harus diartikan secara luas. Bukan saja


terbatas pada kekuasaan yang ada padanya karena jabatan, tetapi juga meliputi
kekuasaan yang dimiliki oleh penggerak secara langsung terhadap sitergerak,
seperti hubungan kekeluargaan (ayah terhadap anak), hubungan pekerjaan
(nyonya rumah terhadap pembantunya), hubungan pendidikan (bapak didik
terhadap anak didik), hubungan kepercayaan (dukun-dukun terhadap murid-
muridnya) dan sebagainya.

c. Penyalahgunaan martabat, dapat dikatakan sebagai perluasaan dari


tersebut b. Diatas, yang karena suatu kekhususan di Indonesia ditambah dalam
KUHP yang didalam M.V.S tidak ada. (orang yang dituakan dikampung
menyalahgunakan kedudukannya).

d. Kekerasan, disini harus sedemikian rupa ringannya sehingga tidak


merupakan suatu alasan untuk meniadakan unsur kesalahan/kesengajaan dari
sitergerak (pasal 48 daya paksa) yang mengakibatkan tidak dipidananya
sitergerak.

e. Ancaman, tidak terbatas pada ancaman kekerasan seperti tersebut huruf d


diatas, tetapi meluas juga sampai pada ancaman penghinaan, ancaman
pembukaan rahasia pribadi, ancaman akan memecat atau menyisihkan dari suatu
pergaulan, ancaman akan mengurangi hak/kewenangan tertentu dan lain
sebagainya.

f. Penyesatan, untuk istilah ini ada juga menyebutkan dengan tipu daya, tetapi
untuk tidak dikaburkan dengan kejahatan penipuan dan juga menggunakan dua
kali kata-kata yang sama yaitu daya upaya tipu daya maka sebaiknya digunakan
istilah penyesatan. Adapun yang dimaksud dengan penyesatan ialah agar
supaya seseorang tergerak hatinya untuk cenderung melakukan sesuatu tindakan
sebagaimana yang dikehendaki (digerakkan) oleh penggerak.

g. Pemberian kesempatan sarana atau keterangan adalah merupakan cara


untuk menggerakkan seseorang. Ketentuan ini baru ditambah pada tahun 1925
dalam KUHP. Jadi sebelum tahun 1925 seseorang yang menggerakkan orang
lain dan seterusnya, dengan cara pemberian kesempatan, tidak dipidana sebagai
penyerta penggerak.

150. Orang lain yang digerakkan.

Penggerak tidak melakukan sendiri tindak pidana yang dikehendakinya itu, tetapi
ia menggerakkan orang lain untuk melakukannya. Hubungan antara penggerak
dengan orang lain itu tidak harus selalu langsung. Tidak merupakan syarat mutlak
supaya A (penggerak) langsung menggerakkan C (sitergerak) dengan pemberian untuk
109

melakukan suatu tindak pidana. Dapat juga terjadi bahwa C turut melakukan yang
dikehendaki A itu, seangkan C sama sekali tidak pernah dikenal oleh A. Untuk jelasnya,
A menggerakkan B dan kemudian pada waktu dan tempat yang terpisah B bersama-
sama C, melakukan tindakan yang dikehendaki oleh A. Dalam hal ini A tetap
dipertanggungjawabkan sebagai penggerak dari B maupun C. Dalam hal ini C
dipandang telah turut tergerak melakukan tindakan tersebut, karena daya upaya dari A.

151. Tindakan yang digerakkan benar-benar terjadi.

Salah satu hal yang tidak kurang pentingnya dalam penggerakan, adlah bahwa
hubungan klusal antara daya upaya yang digunakan dan tindak pidana yang dilakukan
harus ada. Artinya justru sitergerak itu tergerak hatinya untuk melakukan tindak pidana
adalah karena daya upaya dari penggerak. Jadi secara singkat urutannya adalah :
PENGGERAK – DAYA- UPAYA – SITERGERAK – TINDAK PIDANA.

Jelaslah bahwa tindak pidana yang dikehendaki oleh penggerak harus benar-
benar terjadi. dan terjadinya adalah karena daya upaya dari penggerak. Dalam
perkembangan hukum pidana, ternayat pengertian tindak pidana telah diperluas
dengan percobaannya. Seandainya tindakan tergerak hanya sampai pada suatu
tingkat percobaan yang dapat dihukum saja dari tindak pidana yang dikehendaki
penggerak, maka penggerak sudah dapat dipidana menurut pasal 55 (2). Kenyataan ini
adalah lebih cenderung untuk mengartikan percobaa sebagai tindak pidana khusus.

152. Pertangungjawaban pada penyertaan mandiri atau terkait.

Ajaran-ajaran mengenai peserta yang berdiri sendiri atau bentuk penyertaan


mandiri dan peserta yang diakitkan kepada peserta lainnya atau bentuk penyertaan
terkait, dipertentangkan dalam menafsirkan bunyi pasal 55. Para sarjana (ZEVEN
BERGEN, VAN HAMEL, SIMONS, VOS) dalam membahas ajaran-ajaran tersebut
memasukkan dalam bentuk pertama (penyertaan mandiri) bentuk-bentuk penyertaan
yang berupa : yang melakukan, yang menyuruhlakukan dan turut serta melakukan,
karena pertanggungjawaban mereka tergantung pada apa yang mereka sendiri
lakukan. Sedangkan yang termasuk bentuk kedua adalah penggerak, karena
pertanggungjawabannya tergantung kepada tindakan yang dilakukan oleh pelaku yang
digerakkannya itu.

Sarjana lain (antara lain POMPE, VAN HATTUM) tidak sependapat bahwa
peserta penggerak termasuk golongan yang accessoire, melainkan termasuk yang
berdiri sendiri. Alasannya ialah bahwa penggerak menurut undang-undang dipidana
sebagai petindak seperti halnya belaku, penyuruh dan pelaku peserta. Ini berarti
bahwa pemidanaan terhadap penggerak tidak tergantung kepada tindakan yang
digerakkan.

153. Pertanggungjawaban yang dibatasi dan diperluas serta penuntutan.

Bahwa pokok persoalan pada penyertaan adalah tentang pertanggungjawaban


masing-masing peserta. Pada ayat 2 pasal 55 ditentukan bahwa “terhadap penggerak
yang diperhitungkan hanya tindakan-tindakan yang dengan sengaja digerakkan beserta
akibat-akibatnya. Dari kata-kata “hanya tindakan-tindakan yang digerakkan”
tersimpulkan bahwa pertanggungjawaban penggerak dibatasi. Yaitu penggerak tidak
dipertanggungjawabkan terhadap tindakan lainnya yang dilakukan oleh sitergerak baik
110

merupakan tindakan yang mendahului, berbarengan atau menyusul yang tidak


digerakkan/dikehendaki oleh penggerak.

Dilain pihak pertanggungjawaban penggerk diperluas dalam hal tindakan yang


dilakukan mempunyai sifat yang sama dengan tindakan yang digerakkan, tetapi terjadi
suatu akibat melebihi dari yang mungkin diperhitungkan semula.

Sehubungan dengan penuntutan terhadap penggerak, perlu diperhatikan tentang


saat dan tempat penggerak itu sendiri terjadi. artinya bukan saja saat dan tempat
penggerak itu sendiri terjadi. artinya bukan saja saat dan tempat tindak pidana (yang
dikehendaki penggerak terjadi) tetapi juga saat dan tempat penggerakkan itu terjadi.
karena justru “penggerakan” itulah yang menjadi dasar pertanggungjawaban
penggerak. Surat dakwaan yang tidak memuat tempat penggerakkan terjadi adalah
batal menurut hukum *(arrest HR 3 juni 1918 W. 10297). Demikian pula surat dakwaan
yang tidak dengan tegas menyebutkan saat penggerakan terjadi adalah batal menurut
hukum (pasal 121 jo 143 KUHAP).

BAB XXX
BENTUK-BENTUK YANG MIRIP PENYERTAAN

154. Bentuk-bentuk penyertaan diluar ketentuan Bab V Buku I KUHP.

Walaupun Bab V mengatur ketentuan umum mengenai penyertaan, ternyata


banyak juga bentuk-bentuk penyertaan yang berada diluar ketentuan Bab V. Hal-hal
tersebut dapat ditemukan baik dalam buku I, III KUHP maupun dalam undang-undang
Hukum pidana lainnya. Ketentuan-ketentuan ini perlu diperhatikan, karena dalam
banyak hal menyangkut persoalan pokok yaitu pertanggungjawaban setiap peserta.

Pada umumnya bentuk-bentuk penyertaan yang tidak diatur dalam Bab V tersebut
dapat digolongkan dalam 5 bentuk yaitu sebagai berikut :

a. Yang menyimpang penuntutannya;


b. Bersanding (noodzakelijke vormen van deelneming);
c. Yang diatur sebagai delik;
d. Yang merupakan penambahan dan
e. Agen-provocateur.

155. Bentuk-bentuk yang menyimpang penuntutannya (pasal 483-484 KUHP).

Penyimpangan terdapat pada pertanggungjawaban atau penuntutan terhadap


seseorang yang seharusnya telah dapat dianggap sebagai penyerta. Pada delik pers,
sebenarnya penerbit dan pencetak telah dapat dimasukkan dalam
penyertaan/penggerakan. (dalam hal ini penerbit bukan sekaligus sebagai penulis dan
demikian pula pencetak tidak sekaligus sebagai penerbit dan penulis). Bukankah dia
telah menerbitkan suatu tulisan yang merupakan suatu tindak pidana untuk penerbitan
mana ia mendapatkan uang dari penulis (pelaku)? Tetapi apabila ia dapat memenuhi
syarat yang diatur dalam pasal 483/484 jo 61/62 KUHP, maka ia tidak
dipertanggungjawabkan atas penerbitan tersebut.

Dalam pasal 72 KUHPM diatur suatu penyimpangan yang sejalan dengan


tersebut diatas, yaitu peniadaan penuntutan terhadap seseorang yang telah turut serta
111

melakukan suatu pemufakatan untuk melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan


negara yang diatur dalam pasal 64 sampai dengan 71 KUHPM, asal saja memenuhi
persyaratan yang diatur dalam pasal tersebut.

156. Bentuk-bentuk penyertaan bersanding (noodzakelijke vormen van


deelneming)/tindak pidana pasti dilakukan oleh 2 orang/lebih.

Bilamana pada uumumnya sesuatu tindak pidana dapat dilakukan secara


sempurna oleh seseorang dan pada penyertaan dilakukan oleh dua orang/lebih, maka
keistimewaan pada bentuk penyertaan bersanding adalah justru tindak pidana baru
mungkin terjadi apabila pelaku yang lainnya adalah merupakan partnernya yang
sewajarnya demikian atau ditentukan sedemikian itu. Dengan perkataan lain tidak
mungkin terjadi tindak pidana jika hanya satu orang saja pelakunya. Bentuknya berupa
: tindak pidana duel pasal 182-186) poligami pasal 279, pasal 284 perzinahan dll.

Selanjutnya ada juga suatu bentuk dimana seseorang dianggap/ditentukan telah


melakukan suatu tindak pidana karena ia tidak menggunakan kewenangan atau
kekuasaannya untuk mencegah terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
orang lain, seperti misalnya seseorang yang tidak memberitahukan adanya sesuatu
permufakatan jahat yang kebetulan ia ketahui (133 KUHPM) atau seseorang militer
atasan yang membiarkan seorang militer bawahan melakukan suatu kejahatan (132
KUHPM). Dalam kejadian ini sebenarnya seseorang militer atasan tidak ada
kegiatannya untuk turut mewujudkan kejahatan yang sedang/telah terjadi. dia
merupakan partner/penyerta. Namun demikian kepadanya diancam pidana yang sama
seperti pembantu. Dengan perkataan lain jika orang lain tidak melakukan suatu tindak
pidana, pasti iapun tidak diancam pidana.

157. Bentuk-bentuk yang diatur sebagai delik.

Sesungguhnya bentuk-bentuk penyertaan yang telah dibahas pada nomor diatas,


dilihat dari sudut delik, untuk terwujudnya suatu tindak pidana disyaratkan mutlak
minimal 2 atau lebih sebagai pelakunya, maka berikut ini fokus penyorotan akan
diutarakan dari sudut lainnya yaitu sebagai berikut :

a. Penyimpangan dalam daya upaya (pasal 160, 162 KUHP).


b. Perbedaan cara/ukuran pemidanaan (pasal 284 sampai dengan pasal 288
KUHP), dan (pasal 504,506,509,516 KUHP).
c. Keadaan yang memberatkan (pasal 78 (1) ke-3, pasal 88 (1) ke-3 KUHPM).
d. Pemudahan tindak pidana (Bab XXX buku II KUHP, pasal 480, 483, 484
KUHP).
e. Delik penyebaran (Verspreidings delict). (pasal 137, 144, 163, 282 KUHP
dan pasal 98 KUHPM).

158. Bentuk-bentuk yang merupakan penambahan.

Bahwa ada seseorang didalam hal ini anggota-anggota suatu badan hukum yang
bersangkutan yang turut dipidana sebagai peserta. Melalui subyek badan hukum,
walaupun ia sama sekali tidak tahu menahu mengenai tindak pidananyang telah terjadi.
112

159. Pelaku penghasut pura-pura (agent provocateur).

Sering terjadi bahwa penjahat-penjahat lebih lihai daripada penyidik, terutama jika
penjahat-penjahat mempunyai suatu organisasi yang rapi. Akibatnya ialah bahwa
banyak penjahat yang lolos dari inceran polisi, sukar ditangkap, bahkan terhadap
seseorang yang dicurigai, polisi tidak bisa berbuat apa-apa karena barang bukti tidak
ada. Kecenderungan penjahat untuk berorganisasi pada umumnya terdapat dalam
dunia spionase, perdagangan wanita atau bahan-bahan yang membiuskan, pemalsuan
uang dan kegiatan yang berlatar belakang politik. Untuk mengatasi kesulitan penyidik
dalam usaha untuk menangkap seseorang penjahat atau mencari bukti-bukti,
menggerakkan seseorang (biasanya salah seorang dari yang dicurigai) untuk
melakukan suatu tindak pidana. Sudah barang tentu tindak pidana yang digerakkan
adalah yang mirip dengan tindak pidana yang telah terjadi. bahkan lebih jauh daripada
itu ada juga terjadi seorang pegawai penyidik memasuki organisasi penjahat untuk
maksud yang sama.

Dilihat dari sudut penyertaan, pegawai penyidik tersebut telah mencukupi


ketentuan-ketentuan penyertaan (sebagai penggerak atau pelaku-peserta).
Sebenarnya “pegawai penyidik pura-pura” ini dapat dituntut/dipidana. Tetapi sepanjang
tindakan pegawai penyidik tersebut benar-benar dalam rangka penyidikan, maka
penuntutan terhadapnya biasanya ditutup. Kalau perlu dengan mempergunakan asas
opportunitas (asas untuk menghentikan penyidikan).

BAB XXXI
PEMBANTUAN

160. Pengertian umum pembantuan.

Pasal 56 : dipidana sebagai pembantu pada suatu kejahatan :

Ke-1 mereka yang dengan sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan,

Ke-2 mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau


keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

Ditinjau dari sudut pemidanaan ada dua macam penyertaan yaitu sebagai
berikut :

a. Mereka yang dipidana sebagai petindak;


b. Mereka yang dipidana sebagai pembantu.

Mengenai tersebut a telah kita bahas. Kini tiba giliran membahas b. Jelas kiranya
bahwa jika ada pembantu tentu ada yang dibantu, yaitu yang disebut sebagai pelaku
utama atau petindak. Hubungan antara pembantu dengan petindak atau pelaku utama
adalah pembantuan. Pembantuan ditentukan bersamaan dengan terjadinya kejahatan
(pasal 56 ke-1) atau mendahului terjadinya kejahatan (pasal 56 ke-2). Menurut memori
penjelasan dikatakan : pembantuan dapat terjadi selama dan sebelum pelaksanaan
dari suatu kejahatan, yang dalam kedua hal tersebut bersifat fisik.
113

Pembantuan harus diberikan dengan sengaja. Kesengajaan harus ditujukan


untuk mewujudkan suatu kejahatan tertentu. Ini tidak berarti bahwa pembantu harus
mengetahui pula cara bagaimana bantuan yang diberikannya dimanfaatkan, kapan dan
dimana dimanfaatkan atau siapa yang dirugikan oleh pelaku utama. Cukup kalau ia
mengetahui bahwa bantuan yang diberikannya misalnya adalah untuk melakukan
pencurian. Jelasnya macam kejahatan yang sedang atau akan terjadi yang
dikehendaki petindak harus diketahui oleh pembantu. Untuk melakukan kejahatan
tertentu yang diketahuinya itulah kesengajaan ditujukan.

161. Jenis-jenis pembantuan.

Pembantuan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pertama dilihat dari sudut waktu
pemberian bantuan dan kedua dilihat dari sudut daya upaya yang merupakan bantuan.
Pada jenis yang pertama yang menjadi ukuran adalah waktu pemberian bantuan.
Menurut pasal 56 ke-1, waktu pemberian bantuan harus berbarengan dengan
terjadinya suatu kejahatan.

Selanjutnya ukuran jenis pembantuan kedua menurut pasal 56 ke-2 adalah


pemberian daya upaya tertentu dan waktunya harus sebelum terjadi kejahatan
tersebut. Dengan perkataan lain jika waktu pemberian bantuan itu berbarengan
dengan atau sesudah kejahatan terjadi

Ringkasnya ialah ciri-ciri dari masing-masing jenis pembantuan adalah sebagai


berikut :

a. Jenis pertama pasal 56 ke-1 yaitu : 1) bantuan diberikan berbarengan atau


pada saat kejahatan dilakukan, 2) daya upaya yang merupakan bantuan tidak
dibatasi (dapat berupa apa saja, berwujud atau tidak).

b. Jenis kedua pasal 56 ke-2 yaitu : 1) bantuan diberikan sebelum kejahatan


dilakukan, 2) daya upaya (yang merupakan bantuan) dibatasi atau tertentu, yaitu
kesempatan, sarana atau keterangan.

c. Pada masing-masing jenis pembantuan disyaratkan sebagai berikut :

1) Pembantu harus mengetahui macam kejahatan yang dikehendaki oleh


petindak (pelaku utama).
2) Bantuan yang diberikan oleh pembantu adalah membantu petindak
untuk mewujudkan kejahatan tersebut. Bukan untuk mewujudkan kejahatan
lain.
3) Kesengajaan pembantu ditujukan untuk memeudahkan atau
memerlancar petindak melakukan kejahatan yang dikehendaki petindak.
Dengan perkataan lain kesengajaan pembantu bukan merupakan unsur dari
kejahatan tersebut. Justru kesengajaan petindak yang merupakan unsur
dari kejahata tersebut.
114

162. Pembantuan pasif

Apakah terjadi pembantuan pasif? Dengan perkataan lain, apakah mungkin


dengan melakukan sesuatu tindakan secara aktif, terjadi kesengajaan untuk memberi
bantuan? IPHP telah menjawab pertanyaan dengan membedakan antara :

a. Pembantuan aktif adalah sesuai dengan penafsiran secara tata bahasa yaitu
benar-benar terjadi suatu gerakan untuk melakukan sesuatu tindakan (bantuan).

b. Pembantuan pasif adalah tidak melakukan suatu gerakan/tindakan, namun


dengan kepasifpannya itu ia telah dengan sengaja memberi bantuan.

163. Pertanggungjawaban pembantuan.

Dilihat dari sudut ajaran bentuk pertanggungjawaban peserta mandiri dan peserta
terkait, pembantu (sebagai peserta dalam arti luas) termasuk dalam golongan
pembantu pertanggungjawaban peserta terkait. Artinya pertanggungjawaban
pembantu terkait/tergantung kepada pertanggungjawaban petindak/pelaku utama.
Apabila misalnya petindak benar-benar, melakukan kejahatan yang dikehendakinya itu,
maka tanggungjawab pembantu adalah sebagai pembantu pada petindak yang
ancaman pidananya ditentukan pada pasal 57 ayat 1,2 dan 3. Pada dasarnya
maksimum dikurangi dengan sepertiga dari maksimum yang diancamkan untuk
kejahatan tersebut. Apabila petindak hanya sampai pada percobaan saja, maka
pembantu adalah merupakan pembantu bagi petindak untuk percobaan melakukan
kejahatan. Dan apabila petindak tidak jadi melakukan kejahatan, atau baru saja pada
persiapan melaksanakan yang tidak diancam dengan pidana, atau apa yang dilakukan
oleh petindak bukanlah suatu kejahatan, bahkan apabila pelaku dibebaskan dari
tuduhan atau dilepaskan dari penuntutan, maka terhadap pembantu tiada persoalan
pemidanaan.

164. Perbedaan pembantuan dengan penyertaan dalam arti sempit.

Dengan mengesampingkan para pengurus (pasal 59) dan pelaku dari delik pers,
maka bentuk penyertaan sebagaimana ditetkan dalam pasal 55 dan 56 adalah sebagai
berikut :

a. Dua orang/lebih bersama-sama melakukan;


b. Penyuruh dan yang disuruh;
c. Pelaku dan pelaku peserta (medpleger);
d. Penggerak dan tergerak (yang digerakkan); dan
e. Petindak (pelaku utama) dan pembantu.

Tersebut a sampai dengand ditentukan dalam pasal 55, yang dalam uraian ini ia
beri nama penyertaan (deelneming) dalam arti sempit, dan tersebut e ditentukan dalam
pasal 56 sebagai pembantuan.

Perbedaan antara a sampai dengan d terhadap e secara umum adalah sebagai


berikut :

a. Bahwa tindakan yang dilakukan pada a sampai dengan d adalah tibdak


pidana/kejahatan dan pelanggaran;
115

b. Bahwa ancaman pidana bagi peserta pada a sampai dengan d kecuali yang
disuruh adalah yang maksimum;
c. Bahwa bentuk penyertaan pada a,b,c dan d terutama setelah diadakan pasal
163 bis adalah bentuk penyertaan mandiri;
d. Bahwa unsur kesengajaan (untuk melakukan) tindak pidana tertentu tersebut
ada pada setiap peserta (kecuali yang disuruh);
e. Bahwa setiap peserta (kecuali yang disuruh) pada a sampai dengan d
bertanggungjawab atau dipandang telah turut melakukan semua unsur-unsur
obyektif dari tindak pidana tersebut, walaupun mungkin yang ia lakukan hanya
sebagian (medeplegen), atau sama sekali tidak turut melakukannya (penyuruh
atau penggerak).

Sedangkan pada pembantuan (e) adalah sebagai berikut :

a. Bahwa tindakan yang dilakukan harus berupa kejahatan;


b. Bahwa ancaman pidana bagi pembantu dikurangi dengan 1/3;
c. Bahwa penyertaan pembantu, terkait/tergantung kepada pelaksanaan
kejahatan oleh petindak (pelaku utama), karenanya disebut berbentuk penyertaan
terkait;
d. Bahwa unsur kesengajaan (untuk melakukan) kejahatan tertentu tersebut
ada pada pembantu, melainkan hanya kesengajaan untuk melakukan atau
memberi bantuan saja;
e. Bahwa pembantu tidak dipandang sebagai telah turut melakukan sebagian
atau seluruhnya unsur-unsur obyektif dari kejahatan tersebut, sebagaimana pada
penyertaan dalam arti sempit.

165. Perbqedaan pembantuan dengan penyertaan pelaku peserta (medeplegen).

Secara khusus dapat juga diperbedakan antara pelaku peserta dengan pembantu,
demikian juga antara penggerak dengan pembantu terutama mengenai daya upaya
yang dirumuskan sama.

Perbedaan antara pelaku peserta dengan pembantu adalah bahwa :

a. Hubungan pertanggungjawaban antara pelaku peserta adalah mandiri;


b. Hubungan pertanggungjawaban antara pembantu dengan petindak/pelaku
utama adalah terkait.

Selain daripada itu oleh IPHP dikemukakan ada tiga aliran untuk memperbedakan
benteuk penyertaan pelau peserta dengan pembantuan yaitu sebagai berikut :

a. Teori penyertaan obyektif;


b. Teori penyertaan subyektif; dan
c. Teori gabungan

166. Perbedaan pembantuan dengan penggerakan.

Selain dari perbedaan yang bersifat umum antara pembantuan dengan


penyertaan dalam arti sempit (dimana penggerakan termasuk), secara khusus perlu
dibedakan juga mengenai pemberian daya upaya berupa kesempatan, sarana dan
keterangan yang sama-sama dimiliki oleh kedua bentuk penyertaan tersebut. Hal ini
perlu dipertegas untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan : “apabila seseorang
116

memberikan daya upaya berupa kesempatan, sarana atau keterangan, bentuk


penyertaan manakah yang terjadi?” perbedaan yang menonjol dalam hal ini adalah
antara kehendak untuk melakukan delik tersebut atau unsur kesengajaan yang ada
pada peserta-peserta yang bersangkutan. Apabila pada seseorang baru timbul suatu
kehendak untuk melakukan sendiri delik, setelah diberikan kepadanya daya upaya
tersebut, maka ia adalah peserta dalam rangka penggerakan. Sedangkan jika
kehendak/kesengajaan untuk melakukan sendiri suatu delik, sudah ada padanya,
sebelum diberikan kepadanya daya upaya tersebut, maka ia adalah petindak,
sedangkan peserta lainnya itu adalah pembantu. Dengan perkataan lain timbulnya
dolus pada sitergerak dipengaruhi oleh daya upaya yang diterimanya, sedangkan pada
petindak (pelaku utama) timbulnya dolus/kesengajaan tidak karena daya yang
diterimanya, melainkan hanya untuk mempermudah atau memperlancar pelaksanaan
kejahatan yang dikehendakinya itu.

BAB XXXII
MASALAH DAN PENGURUS

167. Pengaruh masalah pribadi.

Pasal 58 : keadaan peribadi yang meniadakan, mengurangkan atau memberatkan


penjatuhan pidana, dalam penerapan ketentuan pidana, hanya diperhitungkan kepada
petindak atau pembantu yang memiliki sendiri.

Pasal ini menentukan keadaan pribadi yang meniadakan pidana, mengurangkan


pidana atau mempererat pidana yang hanya diterapkan kepada peserta yang benar-
benar memilikinya sendiri. Berbicara mengenai keadaan pribadi dibedakan antara lain
sebagai berikut : a. Keadaan pribadi yang meniadakan/memperberat/mengurangkan
pidana/keadaan pribadi subyektif seperti yang dimaksud pasal 58, b. Keadaan pribadi
yang menentukan keterpidanaan suatu delik/keadaan pribadi yang obyektif.

a. Keadaan pribadi yang dimaksud dalam pasal 58.

Keadaan pribadi tersebut pasal 58 ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Keadaan pribadi (subyektif) yang meniadakan pidana.


2) Keadaan pribadi (subyektif) yang meringankan pidana.
3) Keadaan pribadi (subyektif) yang memperberat pidana.

b. Keadaan pribadi yang obyektif.

Keadaan pribadi yang obyektif atau keadaan pribadi yang menentukan


keterpidanaan dari suatu tindakan yang merupakan unsur dari suatu delik.
Selanjutnya berbicara mengenai keadaan, harus diperbedakan antara keadaan
yang subyektif dan keadaan yang obyektif. Keadaan yang obyektif, sealin
daripada yang diutara , maka juha :

1) Sifat berlawanan dengan hukum dari suatu tindakan;


2) Terbukti tidaknya suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang;
3) Pemberatan pidana (secara obyektif) seperti tersebut antara lain 264,
316, 356 (2 dan 3), 363, 365 (1 dan 2 sub 1, 2 dan 3) yang juga merupakan
unsur delik.
117

168. Penyertaan pengurus.

Pasal 59 : untuk pelanggaran-pelanggaran, yang menentukan pidana bagi


pengurus-pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, tidak
akan dijatuhi pidana kepada pengurus atau komisaris tersebut, apabila ternyata bahwa
pelanggaran itu dilakukan diluar pengetahuannya. Pasal 59 mengandung makna
peranggapan bahwa :

a. Semua pengurus atau anggota-anggota pengurus atau komisaris-komisaris


dari suatu perusahaan dipandang sebagai subyek yang telah melakukan
pelanggaran. Karenanya telah dipandang ada bentuk penyertaan “pelaku
peserta”. Pengertian ini tidak mungkin dalam bentuk pembantuan, karena
pembantuan untuk melakukan pelanggaran tidak diancam dengan pidana.

b. Semua pengurus tersebut dipandang sebagai telah memenuhi unsur


kesengajaan dari pelanggaran yang terjadi.

BAB XXXIII
TINDAK PIDANA PERS

169. Pengertian delik pers. (pasal 61 dan pasal 62).

Kejahatan yang dilakukan dengan percetakan disebut secara singkat sebagai


tindak pidana pers atau delik pers. Menurut IPHP yang dimaksud dengan delik pers
adalah suatu pengumuman buah fikiran atau perasaan, yang isinya mengandung suatu
tindakan yang diancam dengan pidana, yang ditujukan kepada umum dengan
menggunakan barang-barang cetakan, dan dengan pengumuman itu delik sudah
sempurna. Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat dari suatu
tindakan untuk dapat disebut sebagai delik pers adalah sebagai berikut :

a. Ada pengumuman buah fikiran atau perasaan;


b. Isi pengumuman mengandung suatu tindakan yang diancam dengan pidana;
c. Pengumuman ditujukan kepada umum;
d. Dengan pengumuman itu delik sudah sempurna.

170. Subyek delik pers.

Apabila terjadi suatu delik pers, mudah dibayangkan keterlibatan beberapa orang,
yaitu penulis, pencetak dan penerbitanya. Tentang sepanjang tiga pekerjaan itu tidak
dilakukan sendiri oleh hanya satu orang saja. Berarti tidak ada persoalan penyertaan.
Karena ada urut-urutan pekerjaan tersebut yang dilakukan penulis, pencetak dan
penerbit, secara gampangnya dapat dikatakan telah terjadi penyertaan/kerjasama
diantara mereka. Tetapi sebenarnya apabila diperhatikan peranan masing-masing akan
nampak perbedaannya dalam rangka terjadinya delik pers tersebut. Pencetak tidak
tahu menahu tentang isi yang sebenarnya dari tulisan/cetakan tersebut dan juga ia
tidak ikut berperan untuk mengumumkannya. Jika dicocokkan dengan syarat-syrat
delik pers, ia hanya memenuhi syarat d, syarat pencetakannya. Penerbit hanya
mengumumkannya saja. Ia tidak tahu menahu tentang isi dari barang cetakan itu. Jadi
tidak dipenuhi semua syarat-syarat tersebut apabila ia menyuruh orang lain mencetak
dan menerbitkannya. Lain halnya jika pencetak mengerti benar isi dari dicetaknya
(sebagai penghinaan misalnya) dan padanya juga ada kehendak supaya cetakan itu
diterbitkan/diumumkan yang ditujukan kepada umum. Demikian juga jika penerbit
118

mengerti benar isi dari barang cetakan tersebut (sebagai suatu penghinaan misalnya)
dan juga berkehendak untuk mengumumkannya/menerbitkannya berbarengan dengan
kehendak petindak/penulis. Maka dalam dua hal ini benar-benar telah terjadi
penyertaan diantara mereka.

171. Syarat-syarat penuntutan dan pemidanaan.

Pasal 61 dan 62 tidak secara tegas mengatur tentang penyertaan penerbit


dan/atau pencetak dalam suatu delik pers. Yang ditentukan disana adalah syarat-
syarat penuntutan terhadap penerbit dan pencetak. Apabila penerbit/pencetak tidak
memenuhi syarat-syarat tersebut yaitu sebagai berikut :

a. Tidak menyebut nama dan tempat tinggal petindak (penulis/pengarang) dan


tidak mengenal petindak (atau yang menyurh terbitkan), atau.

b. Setelah diadakan penyidikan atas perkara tersebut ia tidak dapat


memberitahukan petindak yang sebenarnya kepada penyidik, atau

c. Pada saat cetakan diterbitkan, walaupun penerbit/pencetak mengenal


petindak, petindak tidak dapat dituntut (misalnya karena gila, sakit ingatan), atau
sudah menetap diluar indonesia.

Ia dapat dituntut sebagai pelaku peserta. Dengan perkataan lain


penerbit/pencetak menjadi subyek dari kejahatan yang berupa delik pers tersebut.
Dalam hal ini ia menggantikan pertanggungjawaban dari petindak. Karenanya
dikatakan juga bahwa yang terpenting diatur dalam pasal 61, 62 adalah mengenai
penggantian pertanggungjawaban dari petindak.

172. Delik penyebaran.

Delik-delik penyebaran pada umumnya dapat dilakukan dengan barang cetakan.


Akan tetapi ia tidak termasuk delik pers, karena ia tidak memenuhi syarat pertama,
yaitu bahwa isinya bukan merupakan suatu buah fikiran atau perasaan. Dan untuk
terjadinya delik penyebaran, pengumumannya tidak merupakan syarat utama.

Delik-delik penyebaran antara lain dapat dite’mukan pada :

a. Pasal 137 : menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan yang berisi


penghinaan terhadap Presiden. (bandingkanlah dengan pasal 134).

b. Pasal 144 : menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan yang berisi


penghinaan terhadap raja yang memerintah atau Kepala Negara lainnya dari
Negara sahabat.

c. Pasal 161 : menyiarkan....... tulisan yang menghasut......

d. Pasal 163 : menyiarkan....... tulisan yang berisi penawaran......

e. Pasal 282 : menyiarkan....... tulisan yang melanggar kesusilaan.


119

f. Pasal 321 : menyiarkan ...... tulisan yang isinya menghina orang yang sudah
mati.

BAGIAN VIII
PERBARENGAN (SAMENLOOP/CUNCURSUS)

BAB XXXIV
PEMBANTUAN

173. Pengertian, bentuk dan persoalan perbarengan :

a. Pengertian umum.

Perbarengan merupakan terjemahan dari samenloop atau concursus. Ada


juga yang menterjemahkan dengan gabungan. Apabila pada Bab V buku ke-I
yang disoroti adalah “perbarengan” dua orang atau lebih yang melakukan suatu
tindak pidana, maka dalam bab ini yang menjadi sorotan adalah perbarengan dua
atau lebih tindak pidana yang dipertanggungjawabkan kepada satu orang atau
beberapa orang dalam rangka penyertaan. Tindak pidana-tindak pidana yang
telah terjadi itu sesuai dengan yang dirumuskan dalam perundang-undangan.
Sedangkan kejadian sendiri dapat merupakan hanya satu tindakan saja, dua/lebih
tindakan tersebut masing-masing merupakan delik tersendiri, dipersyaratkan
bahwa salah satu diantaranya belum pernah diadili.

b. Batasan, bentuk dan syrat-syarat.

Dari uraian tersebut dapat dibataskan bahwa perbarengan adalah :

1) Satu tindakan yang dilakukan (aktif/pasif) oleh seseorang yang dengan


tindakan tersebut terjadi dua/lebih tindak pidana sebagaimana dirumuskan
dalam perundangan;

2) Dua atau lebih tindakan yang dilakukan (aktif/pasif) oleh seseorang,


yang dengan ini telah terjadi dua atau lebih tindak pidana sebagaimana
dirumuskan dalam perundangan dan.

3) Dua atau lebih tindakan yang dilakukan (aktif/pasif) oleh seorang


secara berlanjut yang dengan itu telah terjadi dua kali atau lebih tindak
pidana (pada umumnya sejenis).

Sedangkan dalam hal tersebut 1), 2) dan 3) belum ada salah satu dari tindak
pidana itu yang sudah pernah diadili.

1) Perbarengan tindakan tunggal disingkat PTT atau perbarengan


ketentuan pidana.

2) Perbarengan tindakan jamak disingkat PTJ atau perbarengan tindak


pidana-tindak pidana.
120

3) Perbarengan tindakan berlanjut disingkat PTB.

Dengan demikian maka syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat


menyatakan adanya perbarengan adalah sebagai berikut :

1) Ada dua/lebih tindak pidana (sebagaimana dirumuskan dalam


perundang-undangan) dilakukan;

2) Bahwa dua/lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau
dua orang/lebih dalam rangka penyertaan);

3) Bahwa dua/lebih tindak pidana tersebut, belum ada yang diadili;

4) Bahwa dua/lebih tindak pidana tersebut diadili sekaligus.

c. Persoalan dalam perbarengan.

Pokok persoalan mengenai bangunan perbarengan tindak pidana terletak


pada ukuran pidana dikaitkan dengan sistem atau stelsel pemidanaannya. Dalam
hal ini terjadi dua/lebih tindak pidana yang sekaligus disidangkan, baik karena
satu tindakan, maupun karena dua/lebih tindakan, dipersoalkan apakah ancaman
pidana untuk masing-masing tindak pidana tersebut diterapkan.

Ternyata dalam KUHP dianut beberapa stelsel mengenai pemidanaan, yang


pada pokoknya berkisar kepada sistem penyerapan (absortie), penjumlahan
(comulatie) dan stelsel antara.

Persoalan lain mengenai bangunan perbarengan adalah mengenai dogma


hukum tentang sebagai berikut :

1) Penafsiran istilah tindakan;


2) Ukuran untuk menentukan bahwa suatu kejadian merupakan satu
tindakan atau dua/lebih tindakan;
3) Pengertian dari tindakan berlanjut.

Selanjutnya dipersoalkan juga mengenai tempat kejadian (locus delicti)


dalam hubungannya dengan pengadilan mana yang berwenang mengadilinya
sekiranya tindak pidana tersebut terjadi di daerah kekuasaan pengadilan yang
berbeda.

174. Perbarengan tindakan tunggal (PTT) pasal 63. (dalam praktek apakah hakim
mengikutinya yang terpenting untuk keadilan).

a. Perumusan dalam KUHP. (pasal 63)

Dikatakan perbarengan tindakan tunggal, apabila dengan satu tindakan


terjadi dua/lebih tindak pidana. Dengan perkataan lain, dengan tindakan yang
sama telah juga terjadi tindak pidana yang lain. Demikianlah suatu perkosaan
dimuka umum, selain melanggar pasal 285 KUHP, sekaligus merupaka kejahatan
melanggar sesuliaan (pasal 281).
121

b. Tafsir/ukuran untuk menentukan satu tindakan atau lebih.

Diantara para sarjana terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang


dimaksud dengan satu tindakan. Sebelum tahun 1932, HR berpendirian yag
ternyata dari putusannya, bahwa yang dimaksud dengan satu tindakan dalam
pasal 63 ayat 1 adalah tindakan nyata atau tindakan material.

Dengan demikian pendirian baru ini, seperti yang dikemukakan oleh


TAVERNE bertolak pangkal dari : pandangan hukum pidana bahwa tindakan itu
terdiri dari dua/lebih tindakan yang berdiri sendiri yang mempunyai sifat yang
berbeda yang tak ada kaintannya satu sama lain dan dapat dibayangkan
keterpisahan masing-masing.

MODDERMAN telah memperkaya pendirian ini dengan mengatakan


bahwa : dilihat dari sudut badaniah tindakan itu hanyalah satu saja akan tetapi
dari sudut rohaniah ia merupakan pluralitas (ganda).

Sehubungan dengan pendirian HR yang baru tersebut, POMPE (guru besar


di UTRECHT) mengutarakan bahwa apabila seseorang melakukan suatu tindakan
pada suatu tempat pada saat, namun harus dipandang merupakan beberapa
tindakan apabila tindakan itu mempunyai lebih dari satu tujuan atau cakupan.

VAN BENMELEN (guru besar di LEIDEN) juga mengutarakan pendapatnya


sehubungan dengan pendirian terbaru tersebut yang menganjarkan bahwa satu
tindakan dipandang sebagai berbagai tindakan apa-apa bila tindakan itu
melanggar kepentingan hukum, walaupun tindakan itu dilakukan pada satu
tempat dan saat.

c. Ketentuan khusus (lex specialis).

Ketentuan dalam pasal 63 ayat 2 sesuai dengan asas lex specialis derogat
lex generali, yang artinya ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum.
Berfikir atas dasar asas ini, sebenarnya tidak ada persoalan perbarengan lagi,
karena sudah ditentukan hanya satu ketentuan pidana yang diterapkan yaitu yang
khusus.

Yang dimaksud dengan ketentuan pidana khusus adalah, jika pada tindak
pidana khusus itu termuat atau tercakup semua unsur-unsur yang ada pada
tindak pidana umum, akan tetapi padanya masih ada unsur lainnya atau suatu
kekhususan.

175. Perbarengan tindakan berlanjut (PTB) perwujudan satu kehendak jahat.

a. Perumusan dalam KUHP (yang diatur mengenai perbarengan tindakan


berlanjut yang dianut di KUHP, ditentukan dalam pasal 64.

b. Ciri-ciri perbarengan tindakan berlanjut.

Dikatakan perbarengan tindakan berlanjut, apabila tindakan-tindakan itu


masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, akan tetapi ada
hubungan demikian rupa, sehingga harus dipandang sebagai tindakan berlanjut.
122

Ciri-ciri dari perbarengan tindakan berlanjut adalah sebagai berikut :

1) Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu


kehendak jahat;
2) Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan tidak harus sejenis;
3) Tenggang waktu antara terjadinya tindakan-tindakan tersebut tidak
terlalu lama.

Para sarjana ternyata tidak sependapat mengenai rumusan : “ada hubungan


sedemikian rupa” tercantum dalam pasal 64. Perbedaan pendapat itu berkisar
pada :

1) Apakah delik yang terjadi sebagai perwujudan dari hanya satu


kehendak itu harus sama atau sejenis?;

2) Apakah yang dilakukan itu berupa tindakan-tindakan ataukah telah


berupa delik?

H.R. dan para sarjana yang cenderung menganut bahwa tindakan-tindakan


itu harus sejenis sebagaimana diuraikan dalam M.v.T. menggunakan alasan yang
bersandar pada pasal 64 ayat 2.

1) Tindakan memalsukan surat atau uang dan

2) Tindakan mempergunakan surat atau uang yang dipalsu.

c. Berupa tindakan atau delik.

Selanjutnya apakah kejadian itu baru berupa tindakan-tindakan atau sudah


berupa delik-delik. Beberapa sarjana berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
“tindakan berlanjut” sebenarnya adalah seolah-olah beberapa delik telah dijadikan
satu. Sedangkan para sarjana lainnya tetap berpegang teguh kepada rumusan
pasal 64 dan mengatakan undang-undang tidak mengenal istilah delik berlanjut.
Sebenarnya ia berbentuk perbarengan tinkdakan jamak, akan tetapi berupa
pengecualian karena ancaman pidananya sejalan dengan bentuk perbarengan
tindakan tunggal.

Mengenai apakah kejadian atau yang dilakukan itu berupa tindakan-tindakan


atau telah berupa delik sangat erat hubungannya dengan :

1) Pengadilan/mahkamah yang berwenang mengadilinya;


2) Penyertaan dari orang lain; dan
3) Kedaluwarsaan dari delik yang bersangkutan.

Manfaat dari perbedaan tersebut akan lebih terasa jika dihubungkan dengan
bangunan hukum pidana lainnya seperti tersebut diatas, untuk jelasnya adalah
sebagai berikut :

1) Dalam hubungannya dengan kewenangan pengadilan.


2) Dalam hubungannya dengan penyertaan.
3) Dalam hubungannya dengan kedaluwarsaan.
123

176. Perbarengan tindakan jamak (PTJ) tindak pidana yang berdiri sendiri dan
akan diadili sekaligus tidak ada perwujudan kehendak jahat.

a. Perumusan dalam KUHP diatur dalam pasal 65, 65, 70dan 70 bis.
b. Aneka ragam perbarengan tindakan jamak.

Dikatakan perbarengan tindakan jamak atau perbarengan dua/lebih


tindakan, apabila tindakan-tindakan itu berdiri sendiri dan termasuk dua/lebih
ketentuan pidana yang dilakukan oleh satu orang. Tindakan-tindakan tersebut
dapat berupa tindakan-tindakan sejenis, tetapi bukan sebagai perwujudan dari
satu kehendak, dan dapat juga berupa tindakan-tindakan yang beragam.

c. Delik tertinggal.

Delik tertinggal ialah suatu delik yang seharusnya merupakan bagian atau
salah satu delik dari delik berbarengan akan tetapi karena sesuatu delik ini
ditinggalkan atau tertinggal tidak ikut sekaligus diperiksa dalam persidangan
pengadilan. Tertinggalnya delik ini mungkin karena belum diketahui pada
penyidikan delik lainnya ataupun mungkin juga karena belum lengkap alat-alat
pembuktiaannya. Masalah delik tertinggal ini sangat penting, karena ketentuan
stelsel pemidanaannya sama dengan delik berbarengan yang disidangkan
sekaligus.

177. Pengaturan perbarengan dalam Bab tersendiri.

Dalam KUHP yang berlaku dewasa ini jelas diatur mengenai perbarengan dalam
satu Bab tersendiri (Bab VI, buku ke I). Didalam undang-undang hukum pidanna
beberapa negara asing, bangunan perbarengan tidak diatur secara tersendiri,
melainkan dimasukkan merupakan bagian dari pemberatan ancaman pidana.

BAB XXXV
STELSEL PEMIDANAAN

178. Ukuran pidana.

Telah diutarakan bahwa persoalan pokok dalam bangunan perbarengan adalah


mengenai ukuran pidana yang dikaitkan dengan stelsel atau sistem pemidanaan.
Sebagai berikut :

a. Stelsel pidana minimum secara umum, yaitu ditentukan secara umum pidana
terendah yang berlaku untuk setiap tindak pidana. Yang dianut dalam KUHP ialah
sebagai berikut :

1) Pidana penjara terpendek adalah 1 hari (pasal 12), makmimum 15 th.


2) Pidana kurungan terpendek adalah 1 hari (pasal 18) maksimum 1
tahun 4 bulan.
3) Pidana denda paling sedikit adalah 25 sen (pasal 30).
124

b. Stelsel pidana maksimum secara umum. Yaitu ditentukannya secara umum


pidana tertinggi yang berlaku untuk setiap tindak pidana, dengan pengecualian
apabila ada hal-hal yang memberatkan. Dalam KUHP ketentuan ini ditentukan :

1) Pidana penjara maksimum 15 tahun berlanjut kecuali dalam hal


tersebut pada pasal 12 ayat 3,
2) Pidana kurungan maksimum 1 tahun, kecuali dalam hal tersebut pasal
18 ayat kedua.
3) Untuk pidana denda tidak diatur dalam buku I KUHP tidak d[itentukan
maksimumnya. Hal mana berarti harus dicari dalam pasal-pasal tindak
pidana yang bersangkutan dalam KUHP, atau dalam perundang-undangan
apabila diatur diluar KUHP (pasal 103 KUHP)

c. Stelsel pidana maksimum secara khusus. Yaitu ditentukan secara khusus


untuk sesuatu pasal tindak pidana, maksimum ancaman pidananya. Atau jika hal
itu diatur diluar KUHP, ditentukan maksimum pidana untuk sesuatu pasal atau
beberapa pasal dalam perundang-undangan pidana yang bersangkutan.

179. Stelsel pemidanaan untuk perbarengan.

Dua stelsel pokok pemidanaan untuk perbarengan adalah stelsel komulasi murni
dan stelsel absorsi murni, sedangkan stelsel antara adalah stelsel komulasi terbatas
dan stelsel absorsi dipertajam.

a. Stelsel komulasi murni atau stelsel penjumlahan murni.

Menurut stelsel ini untuk setiap tindak pidana diancamkan/kenakan pidana


masing-masing tanpa pengurangan. Jadi apabila seseorang melakukan 3 tindak
pidana yang masing-masing ancaman pidananya maksimum 5 bulan, 4 bulan dan
3 bulan maka jumlah (komulasi) maksimum ancaman pidana 12 bulan.

b. Stelsel absorsi murni atau stelsel penyerapan murni.

Menurut stelsel ini, hanya maksimum ancaman pidana yang terberat yang
dikenakan dengan pengertian bahwa maksimum pidana lainnya (sejenis atau
tidak sejenis) diserap oleh yang lebih tinggi. Penggunaan stelsel ini sukar
dielakkan apabila salah satu tindak pidana diantaranya diancam dengan pidana
yang tertinggi, misalnya pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara sementara maksimum 20 tahun. Akan tetapi dalam hal terjadi
perbarengan tindakan jamak, dimana yang satu diancam dengan pidana penjara
maksimum 9 tahun dan yang lainnya maksimum 4 tahun, dengan penggunaan
stelsel ini seakan-akan tindak pidana lainnya itu dibiarkan tanpa penyelesaian
secara hukum pidana. Karena para sarjana pada umumnya lebih cenderung
untuk “mempertajam” atau “menambahnya” seperti tersebut d berikut.

c. Stelsel komulasi terbatas, atau stelsel komulasi terhambat atau reduksi.

Stelsel ini dapat dikatakan sebagai bentuk antara atau bentuk tengah dari
tersebut a dan b. Artinya untuk setiap tindak pidana dikenakan masing-masing
ancaman pidana yang ditentukan pidananya akan tetapi dibatasi dengan suatu
penambahan lamanya/jumlahnya yang ditentukan berbilang pecahan dari yang
tertinggi.
125

d. Stelsel penyerapan dipertajam.

Stelsel ini merupakan varian dari stelsel komulasi terbatas. Menurut stelsel
ini tindak pidana yang lebih ringan ancaman pidananya tidak dipidana, akan tetapi
dipandang sebagai keadaan yang memebratkan bagi tindak pidana yang lebih
berat ancaman pidananya. Penentuan maskimum pidana menurut stelsel ini
hampir sama dengan tersebut c (stelsel komulasi terbatas), yaitu pidana yang
diancamkan terberat ditambah sepertiga.

180. Stelsel pemidanaan yang dianut dalam Bab VI bukum I KUHP.

Apabila diperhatikan perumusan-perumusan pada Bab VI buku I KUHP dapat


diambil kesimpulan bahwa KUHP menganut beberapa stelsel pemidanaan.

a. Untuk perbarengan tindakan tunggal termaksud dalam pasal 63 ayat 1 dan


2, demikian juga perbarengan tindakan berlanjut pasal 64 ayat 1 dan 2 ditinjau
dari sudut tindak pidana-tindak pidana yang terjadi, dianut stelsel penyerapan
murni. Tetapi apabila dilihat dari sudut ketentuan yang hanya mengenakan satu
ketentuan pidana saja dalam hal ini yang terberat, maka sebenarnya tiada
persoalan penyerapan disini.

b. Untuk perbarengan tindakan berlanjut dimana kejahatan-kejahatan yang


terjadi itu merupakan kejahatan-kejahatan ringan tersebur pasal 364, 373, 379
dan 407 ayat 1, dimana jumlah kerugian yang timbul tidak melebihi Rp. 250,
(undang-undang no. 16 perpu tahun 1960) maka perbarengan tindakan berlanjut
tersebut seakan-akan dikwalifisir sebagai kejahatan biasa.

c. Untuk perbarengan tindakan jamak yang ancaman pidananya sejenis


tercantum dalam pasal 65 KUHP, menurut SIMONS dan POMPE, dipandang
sebagai menggunakan stelsel penyertaan yang dipertajam. Akan tetapi MvT, van
HAMEL dan Vos, menyebutkannya sebagai setelsel komulasi yang terbatas.
Sedangkan untuk tindakan jamak yang ancaman pidananya tidak sejenis tersebut
pasal 66 KUHP, semua menyebutkannya sebagai stelsel komulasi terbatas.

d. Untuk perbarengan tindakan-tindakan yang masing-masing berupa


pelanggaran atau perbarengan kejahatan dan pelanggaran seperti termaksud
pada pasal 70 dengan tidak mempersoalkan apakah ancaman pidananya sejenis
(pasal 65) atau tidak sejenis (pasal 66) dianut stelsel komulasi murni.

181. Penjatuhan pidana poko dan pidana tambahan.

Dalam hal seseorang yang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, kepadanya hanya boleh diajtuhkan pidana tambahan sebagai berikut :

a. Pencabutan hak-hak tertentu,


b. Perampasan barang-barang yang telah disita sebelumnya,
c. Pengumuman putusan hakim.
126

182. Ketentuan pemidanaan bagi delik “tertinggal”

Pasal 71 : jika setelah dijatuhi pidana kepada seseorang kemudian dinyatakan


salah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain (yang juga terjadi)
sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana terdahulu diperhitungkan pada pidana
yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam Bab ini mengenai
perkara-perkara yang diadili pada saat yang sama.

BAB XXXVI
RESIDIV ATAU PENGULANGAN

183. Pengertian dan perbedaannya dengan perbarengan.

Yang dimaksud dengan pengulangan atau residiv secara umum ialah apabila
seorang melakukan suatu tindak pidana dan untuk itu dijatuhkan pidana padanya, akan
tetapi dalam jangka waktu tertentu :

a. Sejak setelah tersebut dilaksanakan seluruhnya atau sebagian, atau


b. Sejak pidana tersebut seluruhnya dihapuskan, atau apabila kewajiban
menjalankan pidana itu belum daluwarsa, ia kemudian melakukan tindak pidana
lagi.

Dari pembatasan tersebut diatas, dapat ditarik syarat-syarat yang harus dipenuhi
yaitu sebagai berikut :

a. Pelakunya sama,
b. Terulangnya tindak pidana, yang untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi
pidana yang sudah BHT.
c. Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu.

Adapun ditinjau dari sudut penempatan ketentuan pidana untuk pengulangan


dapat diperbedakan antara lain sebagai berikut :

a. Ketentuan umum mengenai pengulangan. Biasanya ditempatkan dalam


ketentuan umum (di KUHP tidak diatur).
b. Ketentuan khusus mengenai pengulangan. Penempatannya di suatu Bab
atau beberapa pasal akhir dari suatu buku (di KUHP pada buku ke II). atau
c. Ketentuan yang lebih khusus lagi mengenai pengulangan. Ia hanya berlaku
untuk pasal yang bersangkutan, atau untuk beberapa pasal yang mendahuluinya.

184. Ketentuan pengulangan dalam KUHP.

Dalam buku I KUHP mengenai pengulangan sebagai ketentuan umum tidak


tercantum . materi ini terutama terdapat pada pasal-pasal : 486, 487 dan 488 yang
mencakup kejahatan-kejahatan tertentu dari buku ke II KUHP, dan kejahatan-kejahatan
tertentu dalam KUHPM (sebagai delik pendahulu. Akan tetapi untuk pasal-pasal
tertentu dalam buku II KUHP, masih ada juga ketentuan-ketentuan mengenai
pengulangan yang lebih khusus lagi berlakunya terhadap pasal yang bersangkutan.
Pemberatan maksimum ancaman pidana tersebut ditentukan dalam :
127

a. Pasal 486, (umumnya kejahatan mengenai mencari keuntungan yang tidak


halal), yaitu dapat menambah maksimum ancaman pidana dengan sepertiganya
apabila terdakwa (yang bersalah) mengulangi melakukan salah satu delik.

b. Pasal 487, (umumnya kejahatan terhadap tubuh/jiwa orang) yaitu dapat


menambah maksimum ancaman pidana dengan sepertiganya apabila terdakwa
yang bersalah mengulangi melakukan salah satu delik.

c. Pasal 488, umumnya kejahatan penghinaan), yaitu dapat menambah


maksimim ancaman pidana dengan sepertiganya apabila terdakwa yang bersalah
mengulangi melakukan salah satu delik.

185. Beberapa masalah mengenai pengulangan.

Apabila seseorang melakukan dua/lebih tindak pidana (yang untuk contoh berikut
dipermisalkan pencurian) dilihat dari sudut maksimum ancaman pidana, pada
umumnya ada tiga kemungkinan yaitu :

a. Dalam rangka perbarengan, (vide pasal 65, dan 66) ancaman pidananya
adalah maksimum 5 tahun + sepertiga x 5 tahun;
b. Dalam rangka pengulangan, ancaman pidananya menjadi maksimum 5
tahun dan kemudian 5 tahun + sepertiga x 5 tahun;
c. Dalam rangka bukan perbarengan atau pengulangan (umumnya setelah
lewat 5 tahun) ancaman pidananya adalah 2x5 tahun.

BAGIAN IX
PENGADUAN

BAB XXXVII
TINDAK PIDANA ADUAN

186. Pengertian dan cakupan delik aduan.

Dilihat dari sudut acara penuntutannya, delik aduan diperbedakan dari delik yang
dapat dituntut karena jabatan. Penuntutan suatu delik aduan hanya diterima apabila
telah masuk pengaduan dari penderita atau dari seseorang yang berhak mengadu.
Penyimpangan penuntutan terhadap delik aduan adlah karena kepentingan pribadi (2)
dari yang dirugikan/penderita yang berhak mengadu dipandang perlu untuk diutamakan
perlindungannya. Dengan perkataan lain yang dijadikan alasan untuk menjadikan
suatu delik aduan ialah bahwa dalam hal-hal tertentu, kepentingan seseorang yang
berhak mengadu akan lebih dirugikan apabila perkara itu disidangkan, dibandingkan
dengan kerugian kepentingan umum, apabila perkara itu tidak dituntut karena jabatan.
Misalnya A dihina B. A mungkin akan merasa lebih dirugikan lagi apabila perkara itu
dituntut, karena akan berarti pembeberan materi penghinaan itu kepada umum.
Demikian juga misalnya seorang suami yang masih mencintai istrinya kendati telah
melakukan perjinahan. Sang suami itu tentunya akan lebih malu lagi apabila
perjinahan istrinya itu dipaparkan dalam suatu pengadilan.
128

187. Tempat dan jenis tindak pidana aduan.

Delik aduan tidak secara tersendiri dianut dalam suatu Bab KUHP atau
perundang-undangan hukum pidana lainnya, seperti misalnya kejahatan terhadap
ketertiban umum, kejahatan jabatan, kejahatan pelayaran, selain daripada itu delik
aduan, hanya ada pada kejahatan. Tidak ada yang berupa pelanggaran. Biasanya
diperbedakan antara delik aduan yang sebenarnya dan delik aduan nisbi. Jenis delik
aduan sebagai berikut :

a. Delik aduan yang sebenarnya adalah delik-delik yang ditentukan baru dapat
dituntut apabila ada pengaduan. Berupa sebagai berikut :

1) Penghinaan (pasal 319, 310 s.d 318 minus pasal 316 dan pasal 320,
321;
2) Perjinahan pasal 284 (2);
3) Delik kesusilaan pasal 293 (2), pasal 287;
4) Delik pembukaan rahasia pasal 322 (2), 323 (2);
5) Kawin lari pasal 323 (2);
6) Pengancaman pasal 369 (2);
7) Delik penerbitan/percetakan tertentu pasal 485;
8) Dan beberapa delik dalam perundang-undangan lainnya (antara lain
undang-undang Hak cipta no. 6 tahun 1982 dan sebagainya)

b. Delik aduan nisbi secara normaliter adalah delik yang dapat dituntut karena
jabatan, akan tetapi apabila delik-delik tertentu itu terjadi dalam hubungan suami
istri “ yang dalam penjajagan perceraian “ atau sudah bercerai, atau dalam
hubungan keluarga dekat (sedarah atau semenda dalam garis lurus atau dalam
garis menyimpang sampai dua derajat) ia merupakan delik aduan. Delik aduan
nisbi pada umumnya berupa kejahatan terhadap benda yang terjadi dalam
keluarga antara lain sebagai berikut :

1) Pencurian pasal 367;


2) Pemerasan dan pengancaman pasal 370;
3) Penggelapan pasal 391;
4) Perusakan barang pasal 411.

BAB XXXVIII
HAK MENGADU DAN MENARIK PENGADUAN

188. Yang berhak mengadu.

Dalam Bab VII Buku I KUHP, tidak disebutkan siapa-siapa yang mempunyai hak
orijiner untuk mengadukan seseorang yang telah melakukan suatu delik aduan. Yang
ditentukan dalam pasal 72 hanyalah siapa-siapa yang berhak maju sebagai pengadu,
atau yang berhak “menggatikan” pengadu yang orijiner. Dalam hal seseorang yang
terkena delik aduan belum 16 tahun dan belum cukup umur, atau seseorang yang
dibawah pengampuan bukan karena keborosan, yang berhak maju sebagai pengadu
adalah wakilnya yang sah dalam perkara perdata. Hal ini berarti, bahwa apabila yang
mengajukan pengaduan itu bukan wakil yang sah tersebut, maka pengaduan itu tidak
sah. Dan karenanya pelaku delik tersebut tidak dapat dituntut karena syarat
keabsahan pengaduan tidak dipenuhi. Dan harus diperhatikan juga pasal 73 KUHP.
129

189. Tenggang waktu hak mengadu dan penarikan pengaduan.

Pasal 74 KUHP menentukan bahwa tenggang waktu pengajuan pengaduan


hanya 6 bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya delik aduan jika
ia berada di Indonesia, atau hanya 9 bulan jika ia bertempat tinggal diluar Indonesia.
Dan jika yang terkena delik aduan menjadi berhak mengadu (misalnya ketika delik
aduan diketahui yang mengenai dirinya ia baru berumur 16 tahun kurang 3 bulan) maka
termien tersebut hanya bertenggang waktu selama sisa yang masih kurang dari
tenggang waktu tersebut.

Awal penghitungan tenggang waktu itu adalah sejak yang berhak mengadu
mengetahui adanya delik tersebut. Jadi tidak dimuali sejak delik itu terjadi, tidak juga
sejak tindakan itu dapat dijatuhkan pidana sebagaimana dimaksud pada pasal 332 ayat
3, dan tidak pula sejak diketahuinya bahwa pelakunya ternyata masih ada hubungan
keluarga sebagaimana dimaksud dalam pasal 367 dan pasal-pasal lainnya yang
menunjuk pada pasal 367.

Mengenai pengaduan (klachte) harus diperbedakan dari laporan (aangifte).


Pengaduan adalah merupakan syarat penuntutan dan yang hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang tertentu saja untuk keabsahannya. Sedangkan laporan dapat diberikan
oleh setiap orang dan tidak merupakan salah satu syarat untuk penuntutan.
Pengaduan sebagai syarat dari penuntutan, tidak dengan sendirinya berarti bahwa
penuntut wajib melakukan penuntutan karena pengaduan sudah masuk. Hak
opportunitas bagi penuntut umum masih tetap ada, apabila demi kepentingan umum
perlu dikesampingkan untuk ditutup.

Sekalipun seseorang yang berhak mengadu, sudah mengajukan pengaduan,


namun kepadanya masih berkaitan hak atau kebolehan untuk menarik kembali
pengaduan tersebut dalam tenggang waktu 3 bulan terhitung mulai sejak pengaduan
diajukan. Hak ini telah diberi oleh undang-undang mengingat kepentingan pengadu
yang banyak dipertaruhkan. Dan apabila sudah ditarik pengaduannya maka ia tidak
bisa melakukan pengaduan atau hak untuk mengadu telah hilang.

190. Penyelesaian pengaduan dalam tenggang waktu penarikan kembali.

Apabila suatu pengaduan telah diajukan, dipersoalkan apakah penyidik sudah


harus atau sudah boleh mengadukan penyidikan dalam rangka persiapan untuk
penututan? Ada dua pendapat dengan masing-masing sandarannya sebagai berikut :

a. Pendapat pertama mengatakan, sebaiknya segera diadakan penyidikan.


Alasannya ialah bahwa yang ditentukan di undang-undang adalah penuntutannya,
karena boleh diadakan penyidikan. Sedangkan keperluan penyidikan diadakan
adalah untuk mencegah jangan sampai alat-alat pembuktian sukar diperoleh atau
hilang karena menunggu habisnya tenggang waktu penarikan pengaduan (3
bulan).

b. Pendapat kedua mengatakan, sebaiknya jangan segera diadakan


penyidikan. Alasannya ialah, bahwa dengan diadakannya penyidikan tersebut,
dapat merupakan bahaya tersebar luasnya delik itu. Padahal justru alasan utama
untuk diadakannya delik aduan adalah agar tidak tersebar luas delik itu yang
dengan demikian kepentingan pribadi yang dirugikan itu lebih terlindungi.
130

c. Pendapat dari S. SIANTURI, S.H. sebaiknya tidak perlu diadakan penyidikan


tersebut selama tenggang waktu pengaduan ataupun selama tenggang waktu
penarikan pengaduan, karena diadakannya delik aduan adalah justru untuk
melindungi yang dirugikan. Selain daripada itu, juga memberikan kesempatan
kepada pihak yang dirugikan untuk menyelesaikannya sesuai dengan hukum
yang berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Dipihak penyidik tentunya
usaha penyidikan tersebut akan sia-sia belaka, apabila ternyata dalam tenggang
waktu tersebut pengaduan ditarik kembali.

191. Pejabat yang berwenang menerima pengaduan.

Pejabat yang berwenang menerima pengaduan adalah seperti yang diatur dalam
pasal 5, 7 dan 10 KUHAP. Yaitu penyelidik dan penyidik POLRI mempunyai
kewenangan menerima pengaduan dari tindak pidana aduan.

BAB XXXIX
KEMUNGKINAN PEMISAHAN SUBYEK/PELAKU DELIK ADUAN

192. Pemisahan seseorang pelaku delik aduan.

Dalam rangka penyertaan delik aduan, dipersoalkan apakah mungkin dipisahkan


para pelaku delik aduan. Persoalan ini timbul, karena mungkin pihak penderita
mengingginkan hanya salah seorang saja yang dituntut sedangkan yang lainnya tidak.
Tidak diinginkannya penuntutan terhadap yang lainnya itu adalah karena masih
keluarga dekatnya.

Dalam delik aduan yang sebenarnya para sarjana berbendapat bahwa tidak
dimungkinkan untuk memisahkan penuntutan bagi para pelaku peserta, karena
penuntutan delik aduan yang sebenarnya adalah benar-benar digantungkan kepada
penderitanya (yang berhak mengadu) agar ia dapat menimbang-nimbang
untung/ruginya apabila perkara itu dipaparkan dalam persidangan. Kalau salah
seorang harus disidangkan, bukanlah telah terpaparkan perkara tersebut? Pada hal
justru “pemaparan/pembeberan” itu, merupakan alasan utama untuk mengadakan delik
aduan, agar kepentingan penderita tidak terlalu dirugikan.

Dan apabila dilihat dari delik aduan nisbi yang terjadi keanyakan sarjana
berpendapat bahwa pemisahan penuntutan peserta dimungkinkan apabila pihak yang
berhak mengadu menghendaki demikian itu, sebenarnya delik aduan nisbi sebenarnya
adalah delik aduan yang dapat dituntut karena jabatan. Ia hanya menjadi delik aduan
apabila ada hubuungan keluarga.

193. Kasus pemisahan pelaku.

Kasus yang pernah terjadi sehubungan dengan pemisahan ini adalah sebagai
berikut : suatu perjinahan terjadi di daerah hukum pengadilan negeri (landraad)
Padang, dimana yang diadukan hanyalah salah seorang yang melakukan perjinahan.
Timbul persoalan apakah pengaduan itu sah menurut undang-undang atau tidak.
Hakim memutuskan bahwa pengaduan tersebut tidak sah dan perkara itu dinyatakan
tidak dapat diterima. Penuntut umum berwenang menggunakan hak opportunitasnya
untuk menuntut seseorang, sementara membiarkan yang lain karena sesuatu
pertimbangan.
131

BAGIAN X
HAPUSNYA HAK PENUNTUTAN, HAPUSNYA PELAKSANAAN PIDANA

BAB XLI
HAPUSNYA HAK PENUNTUTAN PADA UMUMNYA

194. Oleh undang-undang ditentukan bahwa hak penuntutan hanya ada pada penuntut
umum yaitu Jaksa yang diberi wewenang oleh pasal 13 dan 14 UU No. 8 Tahun 1981
tentang KUHAP, dilingkungan peradilan umum dan oditur militer UU 32 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer.

a. Pengertian penuntutan.

Pengertian penuntutan ditentukan secara otentik di pasal 1 ayat 7 KUHAP


berbunyi : “ penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”.

b. Yang bertugas menuntut atau penuntut umum.

Yang bertugas menuntut atau penunut umum ditentukan pasal 13 jo pasal 1


ayat 6 yang pada dasarnya berbunyi : “penuntut umum adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim”.

c. Wewenang atau hak penuntut umum.

Wewenang penuntutan umum ditentukan pada pasal 14 KUHAP wewenang


Jaksa tidak diatur dalam KUHAP, hal berkaitan dengan kewenangan dari Jaksa
diatur dalam undang-undang Kejaksaan.

d. Subyek/orang yang dituntut atau terdakwa.

Subyek dituntut adalah seseorang yang sebelumnya telah disidik oleh


penyidik. Ketika ia disidik namanya adalah tersangka, sedangkan sejak ia
ditangani oleh penuntut umum namanya menjadi subyek/orang yang dituntut atau
terdakwa. Dapat panggilan penuntut umum terhadap orang tersebut adalah
terdakwa sejak ia menanganinya. Tentunta hal ini adalah sepanjang
menggunakan KUHAP pasal 1 sampai dengan 283.

e. Hapusnya wewenang hak penuntutan.

Pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana
harus dituntut dimuka sidang pengadilan pidana. Akan tetapi baik secara umum
ataupun secara khusus undang-undang menetukan peniadaan dan/atau
penghapusan penuntutan dalam hal-hal tertentu. Peniadaan penuntutan atau
penghapusan hak menuntut yang diatur secara umum dalam Bab VIII buku I
adalah jika :

1) Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap mengenai


tindakan yang sama (pasal 76 KUHP Ne bis in idem);
132

2) Terdakwa telah meninggal dunia (pasal 77 KUHP);


3) Perkara tersebut telah daluwarsa (pasal 78 KUHP);
4) Terjadi penyelesaian diluar persidangan (pasal 82 KUHP).

f. Penghitungan masa penuntutan karena adanya penghentian penundaan


penghitungan.

195. Ne bis in idem dan tindakan (feit).

Ne bis in idem atau juga disebut Non bi in idem berarti tidak melakukan
pemeriksaan untuk kedua kalinya mengenai tindakan yang sama. Ketentuan ini
didasarkan pada pertimbangan, bahwa pada suatu saat nantinya harus ada akhir dari
pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari berlakunya ketentuan pidana terhadap suatu
delik tertentu. Asas ini merupakan pegangan agar tidak lagi mengadaka
pemeriksaan/penuntutan terhadap pelaku yang sama dari suatu tindak pidana yang
sudah mendapat putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.

196. Penyelesaian diluar sidang/transaksi.

Penghapusan hak penuntutan bagi penuntut umum yang diatur dalam pasal 82
KUHP mirip dengan ketentuan hukum perdata mengenai transaksi atau perjanjian.
Disatu pihak penyidik atau penuntut umum dan pihak lainnya tersangka merupakan
pihak-pihak yang sederajat terhadap hukum. Dalam perjanjian ini penuntut umum wajib
menghentikan usaha penuntutannya dan sebagai imbalannya tersangka wajib
membayar maksimum denda yang satu-satunya diancamkan, ditambah dengan biaya
penuntutan apabila apabila usaha penuntutan sudah dimulai. Pembayaran harus
dilakukan kepada penuntut umum dalam waktu yang ditetapkan oleh penuntut umum
tersebut.

Mengenai ketentuan ini terdapat perbedaan pendapat antara para sarjana. Dan
para sarjana yang tidak setuju dengan ketetuan ini mengatakan antara lain sebagai
berikut :

a. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan sifat hukum publik yang harus
dimiliki oleh hukum pidana;
b. Seolah-olah satu pelanggaran dapat “dibeli” dengan uang. Yang dengan
demikian menguntugkan bagi mereka yang beruang. Berarti seolah-olah ada
diskirminasi antara yang kaya dan yang miskin terhadap hukum;
c. Tujuan dari preventif dan arti dari pidana ditiadakan;
d. Penyelesaian pelanggaran itu tidak dilakukan dimuka umum;
e. Ganjaran tersangka tersebut tidak seimbang, apabila diingat bahwa hakim
jarang sekali menjatuhkan pidana maksimum.

197. Abolisi, Amnesti dan Turun tangan Presiden berdasarkan undang-undang.

Beberapa penghapusan hak penuntutan yang tidak diatur dalam KUHP adalah
Abolisi, Amnesti dan turun tangan Presiden berdasarkan undang-undang.

a. Abolisi adalah halk yang diberikan kepada Presiden untuk menghapuskan


hak penuntutan dari penuntut umum dan penghentiannya apabila sudah dimulai,
terhadap pelak-pelaku tindak pidana-tindak pidana tertentu. Biasanya tindak
pidana politik atau yang beraspek politik. Pemberian abolisi adalah demi
133

kepentingan negara. Ada tiga kemungkinan cara pemberian abolisi oleh Presiden
sebagai berikut :

1) Diberikan dengan undang-undang (atas persetujuan pemerintah


dengan DPR);

2) Berdasarkan undang-undang (tidak perlu persetujuan DPR);

3) Merupakan hak prerogatif Presiden (untuk menjunjung tinggi wibawa


Presiden.
b. Amnesti pada dasarnya ialah hak yang diberikan kepada Presiden untuk
menghapu pens hak penuntutan dari penuntut umum dan sekaligus penghapusan
hak menyuruh melaksanakan pidana dari penuntut umum atau kewajiban
pelaksanaan pidana dari terpidana terhadap pelaku dari suatu tindak pidana-
tindak pidana tertentu demi kepentingan negara.

198. Nasib barang-barang sitaan.

Apabia hak penuntutan hapus, dipersoalkan apakah usaha-usaha penuntutan


yang berupa penyitaan barang-barang tertentu yang sedang berjalan juga hapus?
Bagaimana selanjutnya nasib barang-barang tersebut? Persoalan ini terutama timbul
apabila hapusnya hak penuntutan itu karena meninggalnya tersangka. Dengan
ditentukannya Bab VIII buku I KUHP sebagai ketentuan umum, dapat ditafsirkan
bahwa penyitaan itu sebagai bagian dari usaha penuntutan dalam arti luas juga
dihapus. Namun dengan ditentukannya dalam pasal 77 KUHP “ kewenangan menuntut
pidana hapus jika tersangka meninggal dunia”, yang sebenarnya adalah suatu hal yang
logis, bukanlah tanpa maksud. Nilai praktis dari ketentuan ini ialah, bahwa barang-
barang yang disita yang memenuhi ketentuan ini ialah, bahwa barang-barang yang
disita yang memenuhi ketentuan pasal 39 bis KUHP dan barang-barang tertentu
lainnya seperti tersebut dalam pasal 250 bis KUHP (benda-benda untuk memalsukan
uang) tetap dalam penyitaan.

BAB XLII
DALUWARSANYA HAK PENUNTUTAN

199. Ratio pendaluwarsaan hak penuntutan.

Dalam memeori penjelasan disebutkan bahwa sebagai dasar dari


pendaluwarsaan ialah sebagai berikut :

a. Semakin kaburnya kebutuhan untuk terus menerus mengejar/menuntut


tersangka karena telah terlalu lamanya berlalu kejadian/delik itu dan ingatan
manusia terhadap manusia terhadapnya juga semakin menipis; dan

b. Semakin sukanya menemukan alat pembuktian terhadap delik tersebut.

200. Tenggang waktu daluwarsanya hak penuntutan.

Untuk menentukan tenggang waktu daluwarsanya hak penuntutan, pembuat


undang-undang membagi tindak pidana dalam 4 bagian yaitu sebagai berikut :
134

a. Pelanggaran-pelanggaran, dan semua kejahatan-kejahatan yang dilakukan


dengan percetakan; (1 tahun).
b. Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau pidana
penjara maksimum 3 tahun; ( 6 tahun).
c. Kejahatan-kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun; ( 12
tahun).
d. Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup.
(18 tahun).

Bagi pelaku-pelaku tindak pidana yang pada saat melakukan tindak pidana
tersebut belum berumur 18 tahun, tenggang waktu itu dikurangi dengan sepertiganya
(menjadi hanya dua pertiga).

201. Tindakan penuntutan menghentikan kedaluwarsaan.

Kedaluwarsaan adalah hapusnya sesuatu karena dimakan waktu yang relatif


pendek atau relatif lama. Tenggang waktu kedaluwarsaan adalah lamanya waktu yang
ditentukan, yaitu sejak ia dipandang ada sampai tidak ada lagi atau dihapuskan. Jadi
tenggang waktu daluwarsanya hak penuntutan adalah suatu jangka waktu yang
ditentukan (misalnya 6 tahun) dimana hak penuntutan itu ada, dan setelah lewat jakwa
waktu itu hak penuntutan itu ditentukan hapus. Alasan untuk penghapusan hak
penuntutan adalah karena tidak/belum dapatnya dilaksanakan hak penuntutan selama
tenggang waktu tertentu sebab pidana tersebut belum/tidak diketahui oleh pejabat
ataupun sudah diketahui akan tetapi pelakunya melarikan diri/menghilang.

Apabila telah ada tidakan penuntutan yang diketahui oleh tersangka atau
diberitahukan kepadanya sesuai dengan cara-cara yang ditentukan dalam perundang-
undangan, akan tetapi selama jangka waktu yang ditentukan, perkara tersebut tidak
diajukan untuk diperiksa oleh pengadilan, maka setelah tenggang waktu itu hak
penuntutan juga ditentukan hapus. Yang dimaksud dengan tindakan penuntutan
adalah tindakan-tindakan yang ditentukan oleh penuntut umum yang berwenang
melakukan penuntutan (Pasal 14 KUHAP).

202. Pertikaian praejudisiil dan penangguhan.

Pasal 81 menentukan : “ penundaan penuntutan (pidana) karena adanya


pertikaian praejudisiil, menunda penghitungan daluwarsa”. Yang dimaksud dengan
pertikaian prajudisiil adalah adanya pertikaian antara fihak-fihak yang bersangkutan
yang tidak merupakan kewenangan dari pengadilan yang akan/sedang mengadili
perkara tersebut. Sedang untuk itu ditentukan harus ada penyelesaian dari pertikaian
itu terlebih dahulu barulah pengadilan yang sedang memeriksa perkara itu dapat
melanjutkan pemeriksannya dan memutuskannya. Pertikaian praejudisiil ada dua
macam sebagai berikut :

a. Pertikaian yang harus ditentukan terlebih dahulu yang berupa tindakan;


b. Pertiakian yang harus diselesaikan terlebih dahulu yang berupa putusan
(yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap) dari hakim lainnya.
135

BAB XLIII
HAPUSNYA PELAKSANAAN PIDANA

203. Hak dan kewaajiban pelaksanaan pidana dan kehapusannya.

Hapusnya pelaksanaan pidana, ditinjau dari sudut penuntut umum berarti


hapusnya hak penuntut umum untuk memerintahkan terpidana menjalani pidananya.
Ditinjau dari sudut terpidana berarti hapusnya kewajibannya untuk menjalani pidana
tersebut. Hapusnya pelaksanaan pidana ditentukan karena :

a. Terpidana meninggal (pasal 83 KUHP);


b. Daluwarsa, yaitu: (pasal 84)

1) Mengenai semua pelanggaran adalah 2 tahun;


2) Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan adalah 5
tahun;
3) Mengenai kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau
pidana penjara paling lama 3 tahun adalah 8 tahun;
4) Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari
tiga tahun adalah 16 tahun, maka tenggang waktu daluwarsa minimal sama
dengan lamanya pidana yang dijatuhkan (pasal 84 ayat 3);
5) Mengenai kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana matai
atau seumur hidup, sebenarnya berdasarkan pasal 84 ayat 3 tersebut diatas
sudah dapat diketahui bahwa tidak mungkin daluwarsa. Hal ini dipertegas
lagi dalam pasal 84 ayat 4 yang menentukan: “kewenangan/hak untuk
pelaksanaan pidana mati tidak mungkin daluwarsa”.

c. Amnesti dengan pengertian apabila seseorang dalam rangka amnesti


tersebut telah dijatuhi pidana oleh Hakim.

d. Grasi.

204. Perambapasan barang dan tindakan tat tirtib.

Meninggalnya terpidana mengaikabtkan hapusnya hak pelaksanaan pidana.


Dipersoalkan apakah juga untuk pelaksanaan pidana denda dan pidana tambahan
perampasan barang turut hapus? Secara umum adalah demikian itu. Dasarnya ialah
sifat hukum pidana, yang hanya mengenal pertanggung jawaban pidana
perseorangan. Artinya siapa yang berbuat dialah yang harus memikul akibatnya. Jadi
tidak dikehendaki agar pidana denda itu dibebankan kepada warisannya atau kepada
ahli-ahli warisnya. Namun dalam hal-hal tertentu ketentuan umum ini disimpangi juga.

205. Awal penghitungan, penghentian dan penundaan tenggan daluwarsa.

Sebagai alasan mengahapuskan pelaksanaan pidana dalam tenggang waktu


tertentu adalah semakin kaburnya ingatan orang akan tindak pidana yang terjadi itu.
Dibandingkan dengan alasan penghapusan hak penuntutan, disini tidak
dipermasalahkan lagi tentang barang bukti, karena memang sudah tidak diperlukan
lagi.

Dalam pasal 85 (1) ditentukan bahwa penghitungan tenggang daluwarsa dimulai


pada esok harinya setelah putusan hakim dapat dilaksanakan. Bukannya ditentukan
136

sejak putusan hakim dijatuhkan. Sebenarnya pada umumnya pelaksanaan pidana


sudah dapat dilaksanakan apabila putusan hakim sudah dijatuhkan dan diterima oleh
terpidana maupun oleh penuntut umum. Akan tetapi apabila penuntut umum atau
terdakwa/terpidana naik banding dan mungkin naik Kasasi lagi, maka pidana baru
dilaksanakan putusan tersebut.

Apabila terpidana dalam rangka menunggu putusan banding (atau Kasasi jika
diteruskan) tetap ditahan, berarti ia belum melaksanakan pidana, maka perhitungan
daluwarsa ditunda sampai putusan banding (atau kasasi jika diteruskan) dapat
dilaksanakan. Penundaan ini merupakan salah satu bentuk dari penundaan yang
ditentukan dalam perundang-undangan. Penundaan lainnya adalah sebagai berikut :

a. Apabila terpidana mengadakan perlawanan terhadap putusan hakim, yang


ketika penyidangan tersebut terpidana/terdakwa tidak hadir atau diadakan
peninjauan kembali oleh MA terhadap perkara tersebut;

b. Apabila terpidana gila setelah ia melaksanakan pidana;

c. Apabila terpidana mohon grasi dan selama menunggu keputusan Presiden


mengenai grasi ia belum melaksanakan pidana (baik ia tetap ditahan ataupun
tidak ditahan); dan

d. Apabila terpidana masih ditahan baik dalam rangka perkara itu sendiri,
ataupun karena penahanan untuk perkara lainnya yang telah diputus.

Penghentian penghitungan tenggan daluwarsa terjadi apabila terpidana melarikan


diri, atau pelepasan besyarat terhadapnya dicabut, maka tenggang waktu yang sudah
berjalan sampai ia melarikan diri atau pelepasan bersyarat dicabut, dihentikan. Artinya
tidak dihitung lagi, melainkan timbul awal penghitungan tenggang daluwarsa yang baru
yaitu esok harinya setelah ia lari, atau esok harinya setelah pencabutan pelepasan
bersyarat tersebut. (vide pasal 85 ayat 2)

206. Grasi dan Amnesti (Undang-undang Nomor 22 Tahun 2000 tentang Grasi).

Mengenai Amnesti adalah bagian dari penghapusan pelaksanaan pidana bagi


terpidana.

Pemberian Grasi atau pengampunan adalah merupakan hak prerogatif dari


kepala negara artinya hak utama atau hak khusus. Pemberian Grasi berati bahwa
terpidana yang menerima grasi tidak usah melaksanakan pidana sebagai yang
dijatuhkan oleh hakim. Dari ketentuan itu dapat diperinci bahwa pemberian
pengampunan itu dapat berupa :

a. Pembebasan dari seluruh pidana;


b. Pembebasan sebagian dari pidana; atau
c. Perubahan dari jenis pidana yang berat kepada yang ringan.

Perbandingan grasi da amnesti (amnesti yang mengandung penghapusan


pelaksanaan pidana) ialah sebagai berikut :
137

a. Grasi diberikan kepada perorangan/terpidana (dengan menyebut nama);


sedangkan amnesti diberikan kepada pelaku-pelaku (tanpa menyebut nama) dari
suatu kejahatan tertentu yang dilakukan dalam waktu dan daerah tertentu;

b. Dalam surat keputusan grasi tidak perlu dipertimbangkan putusan hakim


yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap itu, sedangkan dalam keputusan
amnesti harus dijadikan salah satu pertimbangan;

c. Pemeberian grasi tidak meniadakan kesalahan atau sifat melawan hukum


dari tindakan yang dilakukan terpidana yang karena cap terpidana atau cap
narapidana tetap ada. Sedangkan pemberian amnesti meniadakan kesalahan
dan/atau sifat melawan hukum dari tindakan tertentu tersebut. Karenanya bagi
mereka yang menerima amnesti tidak ada lagi cap terpidana atau cap narapidana;

d. Pemberian grasi tidak meniadakan ketentuan pengulangan (residiv) sebagai


tindakan yang pertama, sedangkan untuk pemberian amnesti meniadakan
tindakan tersebut sebagai dasar/alasan untuk penerapan ketentuan residiv.

BAGIAN XI
PIDANA

BAB XLIV
STELSEL PEMIDANAAN

207. Pidana pada umumnya.

Pada dasarnya kepada seseorang pelaku suatu tindak pidana harus dikenakan
suatu akibat hukum. Akibat hukum itu pada umumnya berupa hukuman pidana. Akan
tetapi adakalanya dikenakan suatu hukuman yang sebenarnya tidak merugikan pidana,
melainkan suatu tindakan tertentu atau suatu kewajiban yang mirip dengan hukuman
perdata. Bahkan dalam hal tertentu tidak dikenakan suatu hukuman.

Ditinjau dari sudut kerugian terpidana, (hukuman) pidana dapat mengenai


sebagai berikut :

a. Jiwa pelaku: (pidana mati);


b. Badan pelaku : (dicambuk, pemotongan bagian badan);
c. Kemerdekaan pelaku : ( pidana penjara, pidana kurungan, pidana tutupan,
pembuangan, pengusiran dsb);
d. Kehormatan pelaku : ( pencabutan hak-hak tertentu, pencabutan SIM,
pengumuman putusan hakim, tegoran dsb);
e. Harta benda/kekayaan : (pidana denda, perampasan barang tertentu dsb).

Suatu tindakan tertentu atau yang mirip dengan hukuman perdata lainnya ialah
sebagai berikut :

a. Mewajibkan ganti rugi;


b. Tindakan tata tertib seperti : (membayar uang jaminan, melakukan jasa-jasa
dsb);
138

c. Perintah hakim untuk memasukkan seseorang yang sakit kerumah sakit atau
cacad jiwanya ke rumah sakit jiwa;
d. Perintah hakim untuk pengobatan paksa;
e. Perintah hakim untuk pendidikan paksa (anak dibawah umur).

Sedangkan dalam hal-hal tertentu hakim dapat memerintahkan supaya pelaku


yang belum dewasa dikembalikan kepada orang tuanya, atau dinasehati saja tanpa
penjatuhan suatu hukuman.

Didalam KUHP, pidana-pidana yang ditentukan ada dua jenis yaitu pidana pokok
yang terdiri dari : pidana mati, pidana penjara, pidana tutupan, pidana kurungan, pidana
denda. Serta pidana tambahan terdiri dari : pencabutan hak-hak tertentu, perampasan
barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim.

Di luar KUHP dikenal juga pidana lainnya seperti sebagai berikut :

a. Pencabutan SIM.
b. Penurunan pangkat (pasal 6 KUHPM).
c. Perampasan barang-barang atau harga lawan barang.
d. Pembayaran uang pengganti.
e. Peutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan terpidana.
f. Penghapusan seluruh atau sebagaian keuntungan tertentu.
g. Pengusiran keluar wilayah Indonesia.

Yang tidak merupakan hukuman pidana akan tetapi diatur dalam KUHP adalah
sebagai berikut :

a. Perintah hakim untuk menempatkan seseorang yang sakit/cacad jiwa dalam


rumah sakit jiwa (pasal 44 KUHP).

b. Pendidikan paksa dan pengembalian seseorang anak yang belum cukup


umur kepada orang tuanya (pasal 45 KUHP).

Sedangkan yang diatur diluar KUHP antara lain adalah sebagai berikut :

a. Tindakan tatatertib
b. Penyelesaian secara hukum disiplin suatu tindak pidana tertentu (pasal 2
KUHPM).
c. Penyelesaian suatu pemasukan/pengeluaran barang secara administratif.
d. Tindakan pengamanan yang dilakukan oleh Polisi terhadap penjahat-
penjahat residiv dalam suatu keadaan tertentu.

208. Penjatuhan pidana menurut sistem KUHP.

Menurut sistem KUHP penjatuhan pidana pokok hanya boleh 1 macam saja
dalam hal hanya satu tindak pidana saja yang dilakukan, yaitu salah satu pidana pokok
yang diancamkan secara alternatif pada pasal tindak pidana yang bersangkutan. Tidak
dibenarkan untuk menjatuhkan pidana pokok, yang tidak diancamkan dalam pasal
tindak pidana yang bersangkutan.

Untuk pidana pokok tersebut masih dapat ditambahkan satu atau lebih pidana
tambahan seperti yang termaksud dalam pasal 10 huruf b KUHP. Dikatakan dapat
139

berarti penambahan pidana tambahan tersebut adalah falkutatif. Untuk penambahan


pidana tambahan dipersayaratkan dengan tegas bahwa :

a. Pidana tambahan yang berupa pencabutan hak-hak tertentu harus


memenuhi ketentuan-ketentuan :

1) Tersebut pasal 35, 36 KUHP.


2) Pasal 37 KUHP.
3) Pasal-pasal : 128, 137, 139, 144, 145, 153, 155, 157, 161, 163, 206 dll.
4) Pasal 38 KUHP.

b. Pidana tambahan yang berupa perampasan barang-barang tertentu


memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut : pasal 39 ayat 1 dan 2, pasal 39
ayat 3, pasal 40 dan pasal-pasal 111 bis, 250 bis, 261 (2), 302 (3), 380 (2).
Perbandingkanlah dengan ketentuan dalam pasal 39 ayat 1 dan 2.

c. Pidana tambahan yang berupa pengumuman putusan hakim harus


memenuhi ketentuan-ketentuan dalam pasal 43 jo pasal 128, 206, 361, 377, 395
dan 405.

209. Ketentuan-ketantuan penjatuhan pidana yang diatur secara khusus.

Didalam perundang-un\dangan yang diluar KUHP, dapat ditemukan ketentuan-


ketentuan yang menyimpang dari sistem penjatuhan pidana yang diatur dalam KUHP.
Penyimpangan-penyimpangan itu berupa sebagai berikut :

a. Dapat menjatuhkan dua pidana pokok sekaligus.

b. Dapat menjatuhkan pidana pokok tunggal atau ganda dan pidana tambahan
tunggal atau ganda disertai lagi dengan tindakan tata tertib.

c. Menyelesaian suatu tindak pidana tertentu secara administratif.

d. Dalam hal-hal tertentu dapat sbb : 1) dapat menjatuhkan pidana mati,


walaupun yang diancamkan pidana penjara seumur hidup. 2) menjatuhkan pidana
penjara walaupun yang diancamkan pidana kurungan atau sebaliknya.

e. Menyelesaikan suatu tindak pidana tertentu secara hukum disiplin (KUHPM).

f. Pengusiran terhadap seseorang terpidana yang telah melaksanakan


pidananya.

210. Maksimum dan minimum pidana.

Didalam KUHP dikenal pidana perampasan kemerdekaan maksimum, yang diatur


secara umum. Maksimum penjatuhan pidana penjara terbatas adalah 15 tahun, yang
hanya boleh dilewati menjadi 20 tanhun dan sekali-kali tidak boleh dilewati lagi dalam
hal :

a. Diancamkan secara alternatif pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara selama waktu tertentu/terbatas 20 tahun;
140

b. Diancamkan secara alternatif pidana penjara seumur hidup atau pidana


penjara selama waktu tertentu 20 tahun;

c. Ada pemberatan pidana karena pengulangan, perbarengan atau karena


ketentuan pasal 52 dan 52 a.

Dan minimum pidana penjara terbatas tersebut adalah satu hari hal ini diatur
dalam pasal 12 KUHP.

Pidana penjara seumur hidup tidak mengenal maksimum dan minimum. Jadi
apabila diancamkan pidana satu-satunya penjara seumur hidup, maka pidana tersebut
tidak mungkin dikurangi dalam putusan hakim. Kalaupun ada pengurangannya hanya
mungkin setelah putusan mempunyai kekuatan yang tetap, yaitu melalui
grasi/pengampunan atau pengurangan/remisi. Dan maksimum pidana kurungan
adalah satu tahun, yang hanya boleh dilewati menjadi satu tahun empat bulan
sedangkan minimumnya adalah 1 hari.

211. Manfaat dari penentuan jenis dan macam pidana.

Manfaat dari penjenisan pidana, dengan sistem KUHP ini paling pertama dapat
disimpulkan sebagai keluwesan bagi pembuat undang-undang untuk mengancamkan
jenis pidana yang telah ditentukan itu kepada suatu pidana tertentu baik secara tunggal
ataupun secara alternatif, sesuai dengan berat ringan tindak pidana yang dirumuskan
dalam pasal yang bersangkutan. Manfaat kedua ialah dalam hal pidana itu
diancamkan secara alternatif, keluwesan bagi hakim untuk memilih dan menjatuhkan
pidana yang lebih sepadan dan tepat, disamping kewenangannya bergerak antara
maksimum dan minimum pidana yang telah ditentukan.

212. Pidana yang tidak digunakan dalam perundang-undangan hukum pidana


Indonesia.

`sebelum abad ke XIII dinegara Barat dikenal beberapa pidana seperti : cap-
bakar yaitu mencap tubuh penjahat dengan cap besi yang sedang membara,
pencambukan dengan rotan yang jumlahnya tergantung kepada berat/ringanya
kejahatan yang dilakukan, pembuangan kesuatu tempat pulau atau benua terpencil,
pengusiran penjahat yang walaupun warga negara sendiri keluar negara bersangkutan
dan lain sebagainya. Kemudian karena pengaruh agama yang semakin berkembang
telah banyak merubah perasaan hukum masyarakat, sehingga pidana-pidana tersebut
dipandang sebagai sangat kejam dan tidak berprikemanusian.

213. Daftar pidana.

Untuk dapat belajar dari pengalaman dalam rangka peningkatan penegakan


hukum dan keadilan daftar pidana tidak kurang pentingnya dan harus dipelihara. Dari
daftar pidana itu kita dapat mengambil suatu gambaran mengenai kualitas, kuantitas,
volume dari tindak pidana masa lalu dalam hubungannya dengan jenis/macam serta
lamanya (banyaknya) pidana yang dijatuhkan. Dalam memperbandingkan daftar
pidana antara yang satu dengan lainnya, akan dapat ditarik suatu kebijaksanaan
umum secara menyeluruh yang dapat bersembunyi menyeimbangkan penjatuhan
pidana diseluruh tanah air.
141

Dalam rangka ini, majalah hukum pidana seperti yang dikeluarkan oleh
PERSAHI, (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) “Law Report” seperti yang pernah
dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman, diskusi-diskusi hukum seperti yang
diprakarsai oleh BPHN sangat banyak membantu untuk mewujudkan keadilan yang
merata.

BAB XLV
PIDANA POKOK

214. Pidana Mati.

Pada zaman perundang-undangan Nabi Musa, pada zaman hukum Yunani,


Romawi, Jerman dan Kanonik telah dikenal pidana mati. Bahkan pelaksanaannya pada
ketika itu sering sangat kejam terutama pada zaman kekaisaran Romawi. Cukup
terkenal sejarah zaman NERO yang ketika itu banyak dijatuhkan pidana mati pada
orang Kristen dengan cara mengikatnya disuatu tiang yang dibakar sampai mati.

Pada zaman Constitutio Criminalis Carolina, ancaman pidana mati banyak


dikurangi dan pelaksanaan yang kejam juga dikurangi. Penentang yang paling keras
terhadap pidana mati adalah C. BECCARIA dan VOLTAIRE. Yang menhendaki agar
penerapan pidana mati lebih diperhatikan kemanusiaannya.

Beberapa alasan dari mereka yang menentang hukuman pidana mati antara lain
adalah sebagai berikut :

a. Sekali pidana mati dijatuhkan dan dilaksanakan, maka tiada jalan lagi untuk
memperbaiki kesalahan hakim jika keliru menjatuhkan putusannya. Pada hal
hakim selaku manusia biasa tidak luput dari kesalahan;

b. Pidana mati itu bertentangan dengan peri kemanusiaan;

c. Dengan penjatuhan pidana mati, sudah tertutup segala usaha untuk


memperbaiki terpidana;

d. Apabila pidana mati itu dipandang perlu sebagai usaha untuk menakut-
nakuti calon penjahat, maka pandangan itu adalah keliru karena pidana mati
biasanya dilaksanakan tidak dimuka umum;

e. Penjatuhan pidana mati pada umumnya mengandung belas kasihan


masyarakat, yang dengan demikian mengundang protes-protes terhadap
pelaksanaannya;

f. Pada umumnya Kepala Negara lebih cnderung untuk mengubah pidana mati
dengan pidana penjara terbatas atau seumur hidup.

Sudah barang tentu bahwa mereka yang cenderung mempertahankan adanya


pidana mati juga mempunyai alasan-alasan untuk itu, yang antara lain sebagai berikut :

a. Ditinjau dari sudut juridis, dikatakan bahwa dengan peniadaan pidana mati,
maka hilanglah suatu alat yang penting untuk penerapan yang baik dari hukum
pidana;
142

b. Mengenai kemungkinan kekeliruan hakim, itu memang dapat terjadi,


bagaimanapun baiknya undang-undang dirumuskan. Kekeliruan itu dapat diatasi
dengan pentahapan upaya-upaya hukum dan pelaksanaannya;

c. Mengenai perbaikan diri dari terpidana, sudah barang tentu dimaksudkan


agar dapat kembali dengan baik dalam masyarakat, terpidana akan kembali lagi
dalam pergaulan masyarakat.

Terlepas dari apa alasannya mengapa untuk ketentuan pidana di KUHP


ditinggalkan asas konkordansi terhadap W.v.S. (KUHP) negeri Belanda, adalah suatu
kenyataan bahwa dalam KUHP digunakan pidana mati tersebut. Yang menjadi
persoalannya sekarang ialah apakah masih perlu pidana mati itu dipertahankan adanya
atau ditiadakannya? Kami lebih cenderung untuk :

a. Dalam keadaan damai meniadakan pidana mati, kecuali apabila kejahatan


tersebut setidak-tidaknya dirasakan sama kwalitasnya, dengan suatu kejahatan
yang diancam dengan pidana mati dalam keadaan bahaya (terutama dalam
keadaan perang).

b. Dalam keadaan bahaya, untuk kejahatan-kejahatan tertentu tetap


dipertahankan. Syarat-syarat untuk pengancaman dan pelaksanaannya harus
diadakan yaitu :

1) Tidak diancamkan secara tunggal, melainkan secara alternatif dengan


pidana penjara terbatas.

2) Antara waktu putusan hakim yang sudah BHT dengan pelaksanaan


pidana mati tersebut, harus ada cukup waktu untuk mempertimbangkan
reaksi masyarakat yang nantinya ditampung dalam Ketetapan Presiden
mengenai hal itu.
Beberapa ketentuan terpenting untuk pelaksanaan pidana mati adalah sebagai
berikut :

Untuk terpidana justisiabel peradilan umum ataupun peradilan militer


mempunyai aturan-aaturan sebagai berikut:

1) Tiga kali 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa/oditur,


yang bersangkutan memberitahukan kepada terpidana tentang akan
dilaksanakan pidana mati tersebut; Dan apabila terpidana hendak
mengemukakan sesuatu maka keterangan atau pesanannya itu diterima
oleh Jaksa tinggi.

2) Apabila terpidana sedang hamil harus ditunda pelaksanaannya sampai


anak yang dikandung lahir.

3) Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menkumham


/Menhan. didaerah hukum pengadilan tingkat pertama yang bersangkutan.
143

4) Kapolda/Pangdam yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai


pelaksanaannya setelah mendengar nasehat dari Jaksa/oditur yang
bersangkutan dan menentukan hari/tanggal pelaksanaan tersebut dan
terpidana kalau militer berpakaian PDH.

5) Pelaksanaan pidana dilakukan oleh regu penembak POLRI/POM


dipimpin seorang Perwira.

6) Kapolda yang bersangkutan (atau Pa yang ditunjuk) harus menghadiri


pelaksanaan tersebut, sedangkan pembela terpidana atas permintaan
sendiri atau terpidana dapat menghadirinya.

7) Pelaksanaan tidak boleh dimuka umum.

8) Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarganya.

9) Setelah pelaksanaan pidana mati tersebut Jaksa membuat berita acara


untuk diserahkan dan disalikan dalam putusan pengadilan.

215. Pidana penjara.

Pidana penjara merupakan salah satu bentuk pidana perampasan kemerdekaan.


Ada beberapa sistem pidana penjara. Yang pertama ialah, masing-masing terpidana
dimasukkan ke sel-sel tersendiri. Ia sama sekali tidak diijinkan menerima tamu, baik
tamu dari luar maupun sesama narapidana, tidak boleh bekerja diluar sel, pekerjaan
satu-satunya ialah untuk membaca kita suci sesuai dengan agamanya.

Sistem yang kedua ialah disebut sebagai AURURN SYSTEM karena pertama
kalinya digunakan di AUBURN. Disebut juga sebagai SILENT SYSTEM, karena
pelaksanaannya. Pada waktu malam hari terpidana dimasukkan sel-sel secara sendiri-
sendiri, pada siang hari diwajibkan bekerja bersama-sama dengan narapidana penjara
lainnya, akan tetapi dilarang berbicara antara sesama narapidana atau kepada orang
lain.

Sistem ketiga yang disebut sebagai ENGLISH SYSTEM atau IRE SYSTEM atau
PROGRESSIVE SYSTEM. Cara pelaksanaan pidana penjara menurut sistem ini
adalah bertahap. Pada tahap pertama selama kurang lebih 3 bulan, terpidana
menjalaninya seperti cellulaire system. Jika telah tiga bulan tersebut terbukti ada
kemajuan kesadaran terpidana, maka diikuti dengan tahap pelaksanaan yang ringan
yaitu ia sudah dibolehkan menerima tamu, berbincang-bincang dengan sesama
narapidana,

Sistem lainnya ialah dimasukkan para narapidana penjara secara berkelompok


dalam satu ruangan dan mereka bekerja juga secara bersama-sama atau dikenal
dengan sistem blok/bangsal.

Menurut pasal 24 jo pasal 29 KUHP, terpidana penjara wajib mengerjakan semua


pekerjaan yang dibebankan kepadanya, menganai hal itu termasuk perbedaan tempat
menjalani pidana penjara kurungan atau kedua-duanya, pengurusan tempat-tempat
144

tersebut, pembedaan terpidana penjara dan terpidana kurungan, upah pekerjaan,


beribadah, hal makanan, pakaian, tidur dan lain sebagainya diatur dalam undang-
undang tersendiri.

216. Pidana kurungan dan kurungan pengganti.

Pidana kurungan adalah juga merupakan salah satu bentuk pidana perampasan
kemerdekaan, akan tetapi dalam berbagai hal ditentukan lebih ringan daripada yang
ditentukan kepada pidana penjara, ketentuan tersebut ialah sebagai berikut :

a. Para terpidana kurungan mempunyai hak pistole artinya mereka mempunyai


hak atau kesempatan untuk mengurusi makanan dan alat tidur sendiri atas biaya
sendiri (pasal 23);

b. Para terpidana mengerjakan pekerjaan-pekerjaan wajib yang lebih ringan


dibandingkan dengan para terpidana penjara (pasal 19).

c. Maksimum ancaman pidana kurungan adalah 1 (satu) tahun. Maksimum ini


boleh sampai 1 tahun 4 bulan dalam hal terjadi pemberatan pidana, karena
perbarengan, pengulangan atau karena ketentuan pasal 52 atau 52 a (pasal 18);

d. Apabila para terpidana penjara dan terpidana kurungan menjalani pidana


masing-masing dalam satu tempat pemasyarakatan, maka para terpidana
kurungan harus terpisah tempatnya (pasal 28);

e. Pidana kurungan dilaksanakan dalam daerah terpidana sendiri (biasanya


tidak diluar daerah Kabupaten yang bersangkutan).

Pidana kurungan pengganti adalah pengganti dari pidana denda yang tidak
dibayar oleh terpidana. Dapat juga dijatuhkan pidana kurungan pengganti, apabila
terpidana tidak membayar harga taksiran (yang ditentukan) dari barang rampasan yang
tidak diserahkan oleh terpidana. Dalam hal ini sebelum pemidanaan, barang-barang
tersebut belum disita, atau dengan perkataan lain masih dalam penguasaan tersangka.
Bahkan juga dapat dijatuhkan apabila biaya pengumuman putusan hakim yang
dibebankan kepada terpidana tidak dibayar oleh terpidana.

217. Pidana bersyarat.

Pidana bersyarat adalah merupakan perintah dari hakim, bahwa pidana yang
diputuskan/dijatuhkan tidak akan dijalani oleh terpidana, kecuali kemudian hakim
memerintahkan supaya dijalani karena terpidana :

a. Sebelum habis masa percobaan, melanggar syarat umum yaitu melakukan


suatu tindak pidana, atau (merupakan syarat mutlak).

b. Dalam masa percobaan tersebut, melanggar suatu syarat khusus (jika


diadakan), atau

c. Dalam masa yang lebih pendek dari percobaan tersebut, tidak


melaksanakan syarat yang lebih khusus, berupa kewajiban mengganti kerugian
fihak korban sebagai akibat tindakan terpidana (pasal 14 c).
145

Hakim dapat memerintahkan pidana bersyarat, jika putusan hakim dijatuhkan


adalah sebagai berikut :

a. Pidana penjara maksimum satu tahun, atau


b. Pidana kurungan (tidak termasuk pidana kurungan pengganti).
c. Pidana denda (akan tetapi tidak termasuk pidana denda dalam perkara-
perkara pemasukan uang negara, atau pengembalian uang negara seperti pidana
denda dalam perkara perpajakan, bea, cukai perkara tindak pidana ekonomi dan
perkara korupsi).

218. Pelepasan bersyarat.

Pada pasal 15 lama ditentukan bahwa pelepasan bersyarat diterapkan kepada


penjatuhan pidana penjara panjang. Pelepasan bersyarat baru diberikan apabila tiga
perempat dari pidananya telah dijalani dalam penjara yang juga berarti minimal tiga
tahun dijalani. Dengan perkataan lain pelepasan bersyarat hanya dapat diberikan
kepada seseorang terpidana yang dijatuhi minimal 3 tahun dan 1 hari pidana penjara,
dan telah dilaksanakan minimal 3 tahun. Berarti kepada seseorang yang dijatuhi
pidana kurungan tidak mungkin diterapkan pelepasan bersayarat.

Pada pasa 15 baru setelah dirubah dengan Stb 1926- 251 jo 486, ditentukan lebih
menguntungkan terpidana. Dalam pasal 15 ditentukan bahwa pelepasan bersyarat
dapat diberikan apabila terpidana telah menjalani 2/3 dari pidananya yang juga harus
berarti sekurang-kurangnya 9 bulan. Pelepasan bersyarat dapat diberikan kepada
seseorang yang dijatuhi pidana penjara minimal 9 bulan dan 1 hari. Jika hal ini terjadi
sebenarnya terpidana telah dirugikan, karena ia hanya mendapat hadiah 1 hari akan
tetapi selama 1 hari + 1 tahun (masa percobaan) ia akan tersiksa oleh syarat-syarat
yang harus ditaatinya. Karenanya apabila hendak memberikan pelepasan bersyarat
harus diperhatikan sisa pidananya yang dibebaskan bersyarat dibandingkan dengan
lamanya masa percobaan yang akan menghantuinya.

219. Pidana bersyarat.

Pidana tutupan sebagai pidana pokok muncul melalui undang-undang nomor 20


Tahun 1946, yang ditambahkan jenis pidana tutupan untuk KUHP dan KUHPM. Pidana
ini dapat dijatuhkan kepada pelaku, apabila ia melakukan suatu kejahatan yang
diancam dengan pidana penjara, akan tetapi karena terdorong oleh maksud yang patut
dihormati. Jika tindakan itu sendiri, atau cara melakukan tindakan itu ataupun akibat
dari tindakan itu adalah sedemikian rupa sehingga lebih wajar dijatuhkan pidana
penjara, maka pidana tutupan tidak berlaku.

Melihat sistem pengancaman pidana tutupan ini, jelas tidak dianut oleh KUHP.
Sistem seperti ini dapat ditemukan dalam KUHPM yaitu kebolehan hakim militer
menjatuhkan pidana kurungan walaupun pidana penjara yang diancamkan atau
sebaliknya, akan tetapi dalam hal-hal tertentu saja.

220. Pidana denda.

Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban seseorang untuk


mengembalikan kesimbangan hukum atau menebus dosanya dengan pembayaran
sejumlah uang tertentu. Minimum pidana denda adalah Rp. 0,25 sen x 15.
146

Maksimumnya tidak ditentukan secara umum melainkan ditentukan dalam pasal-pasal


tindak pidana yang bersangkutan dalam Buku II dan III KUHP.

Jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda yang dijatuhkan kepadanya,
maka dapat diganti dengan pidana kurungan. Pidana ini kemudian disebut sebagai
pidana kurungan pengganti. Maksimum pidana kurungan pengganti adalah 6 bulan;
dan boleh menjadi 8 bulan dalam hal terjadi perbarengan, pengulangan atau
penerapan pasal 52 atau 52 a KUHP.

BAB XLVI
PIDANA TAMBAHAN

221. Umum.

Telah diutarakan pada sistem pemidanaan, bahwa pidana tambahan tidak boleh
dijatuhkan berdiri sendiri, tanpa pidana pokok. Namanya sendiri sebenarnya sudah
berbicara sedemikian itu, yaitu bahwa ia hanyalah merupakan tambahan kepada
sesuatu yang dalam hal ini yang pokok.

Namun baik dalam KUHP maupun di luar KUHP diatur adanya pengecualian.
Dalam KUHP pengecualian tersebut diatur dalam :

a. Pasal 39 ayat 3, dimana tersangka/terdakwa tidak dijatuhi pidana oleh


hakim, melainkan karena ia belum cukup umur, diserahkan kepada pemerintah
untuk pendidikan paksa, akan tetapi barang-barang yang telah disita dalam
perkara tersebut dapat dirampas;

b. Pasal 40, dimana terdakwa karena belum cukup umur diperintahkan oleh
hakim dikembalikan kepada orang tuanya tanpa pidana akan tetapi perampasan
barang-barang yang terlibat dalam perkaranya yang berupa import/eksport/transit
barang-barang yang melanggar peraturan pemasukan uang untuk negara dapat
dilakukan.

222. Pencabutan hak-hak tertentu.

Dari judul ini mudah dimengerti bahwa tidak dimungkinkan untuk mencabut
semua hak-hak terdakwa. Dahulu memang pernah dikenal diancamkan sebagai
pidana tambahan, bagi pelaku dari kejahatan sangat berat, apa yang disebutkan
sebagai “kematian perdata”. Akan tetapi dewasa ini pidana “kematian perdata “sudah
tidak dikenal lagi.

Selanjutnya perlu diperhatikan, bahwa walaupun pidana tambahan ini


dicantumkan dalam Buku I Ketentuan umum, tidak berarti bahwa pidana tambahan ini
dapat ditambahkan untuk setiap pemidanaan. Yang merupakan pidana tambahan (Hak
untuk dipekerjakan sehari-hari atau hak untuk bekerja, hak untuk menjalankan
kekuasaan sebagai bapak, wali, wali pengawas, pengampu, pengampu pengawas baik
untuk anak sendiri ataupun atas orang lain, hak memilih dan dipilih).
147

223. Perampasan barang tertentu.

Seperti halnya dengan pencabutan hak-hak, juga dahulu dikenal perampasan


seluruh barang-barang terdakwa/terpidana. Dewasa ini tidak dikenal lagi. Barang-
barang tertentu yang dapat dicabut selain daripada yang ditentukan dalam pasal 39
dan 40 KUHP yang berlaku secara umum, juga ditentukan tersebar dalam beberapa
pasal tertentu. Apabila suatu barang disita dan diajukan dalam pemeriksaan sidang,
nasib barang tersebut kemudian ditentukan dalam putusan hakim. Ada tiga
kemungkinan penyelesaiannya yaitu sebagai berikut :

a. Dirampas untuk negara. Perampasan ini adalah merupakan pidana


tambahan.

b. Dimusnahkan. Tindakan ini merupakan tindakan kepolisian bukan


merupakan pidana tambahan.

c. Dikembalikan kepada yang paling berhak, hal ini merupakan tindakan


perdata. Apabila secara tegas ditentukan bahwa barang itu dikembalikan sepada
seseorang, maka kewajiban penuntut umum untuk mengembalikan kepada orang
tersebut. Sedangkan apabila tidak secara tegas disebutkan kepada seseorang
pengembalian barang tersebut, maka hal ini dapat diselesaikan secara damai
atau melalui perkara perdata atau secara administratif.

224. Pengumuman putusan hakim.

Pidana pengumuman putusan hakim terutama dimaksudkan untuk pencegahan


agar masyarakat terhindar dari kelihaian busuk atau kesombronoan dari seseorang
pelaku, pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila secara tegas ditentukan
berlaku untuk pasal tindak pidana tertentu. Didalam KUHP, hanya untuk beberapa
jenis kejahatan saja yang diancamkan pidana tambahan ini yaitu terhadap :

a. Menjalankan tipu muslihat dalam penyerahan barang-barang keperluan


Ankkatan Perang dalam waktu perang (128 ayat 3);

b. Penjualan, penawaran, penyerahan, membagikan barang-barang yang


membahayakan jiwa atau kesehatan dengan sengaja atau karena alpa (pasal 206
ayat 2);

c. Kesembronoan seseorang sehingga mengakibatkan orang lain luka atau


mati (pasal 361);

d. Penggelapan (pasal 377);

e. Penipuan (pasal 395); dan

f. Tindakan merugikan pemiutang (pasal 405 ayat 2).


148

BAB XLVII
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MENGENAI PIDANA

225. Sistem lamanya pidana menyusul.

Ada suatu aliran yang menghendaki agar pada saat penjatuhan pidana, cukup
menentukan jenis dan macam pidananya saja. Dalam hal pidana poko berupa
perampasan kemerdekaan atau pidana tambahan pencabutan suatu hak tertentu yang
dijatuhkan, maka lamanya pidana harus dilaksanakan, baru ditentukan kemudian dalam
suatu jangka waktu penilaian tertentu. Jangka waktu ini dibutuhkan untuk mengadakan
penilaian yang lebih mantap mengenai lamanya pidana harus dilaksnakan. Penilaian
tersebut tidak hanya didasarkan kepada tindak pidana yang dilakukan terpidana atau
kesalahan terpidana, melainkan juga tingkah laku terpidana selama jangka waktu
tertentu penilaian tersebut.

Dengan demikian keadaan-keadaan pribadi yang diharapkan terungkapkan dalam


jangka waktu penialian tersebut turut berpengaruh untuk menentukan lamanya pidana
yang layak. Aliran ini ditentang oleh sarjana lainnya dengan mendalih utamakan,
bahwa dengan digantungkannya penentuan lamanya pidana yang harus dijalani, akan
mengurangi kepastian hukum.

226. Sistem pemasyarakatan.

Sejak tahun enampuluhan sudah sangat dirasakan perlunya mengganti KUHP


yang diwarisi dari pemerintah Belanda, karena dalam banyak hal sudah tidak sesuai
lagi baik karena hakekat kemerdekaan Republik Indonesia, maupun karena
perkembangan kesadaran hukum masyarakat. Dalam penertiban Lembaga Pembinaan
Hukum Nasional tahun 1968, kita temukan RUU tentang KUHP Buku kesatu (dan
memang baru buku Kesatu itu yang sudah selesai waktu itu). Dalam BAB mengenai
PIDANA ditentukan susunan pidana sebagai berikut :

a. Pidana Pokok :

1. Pidana mati,
2. Pidana pemasyarakatan yang terdiri dari :

a) Pidana pemasyarakatan istimewa,


b) Pidana pemasyarakatan khusus,
c) Pidana pemasyarakatan biasa.

3. Pidana pembimbingan yang terdiri dari :

a) Pidana pengawasan,
b) Pidana latihan kerja,
c) Pidana kerja bakti.

4. Pidana peringatan yang terdiri dari:

a) Pidana denda,
b) Pidana tegoran.
149

5. Pidana perserikatan yang dapat berupa :

a) Pembubaran perserikatan,
b) Penutupan usahanya sebagian atau seluruhnya,
c) Penempatan usahanya dibawah pengawasan pemerintah untuk
yang ditentukan oleh hakim.
d) Pembayaran uang jaminan yang jumlahnya ditentukan oleh hakim.
e) Penyitaan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana,
f) Perbaikan akibat-akibat dari tindak pidana.

b. Pidana Tambahan :

1. Pencabutan hak tertentu,


2. Perampasan barang tertentu,
3. Pengumuman putusan hakim,
4. Pengenaan kewajiban ganti rugi,
5. Pengenaan kewajiban agama,
6. Pengenaan kewajiban adat.

Sebagai inti dari maksud yang terkandung dalam jenis-jenis pemidanaan tersebut
ialah agar seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana dapat kembali ke
masyarakat umum dengan baik, disamping melindungi kepentingan masyarakat umum.
Karenanya sudah tepat kiranya apabila diberi nama sebagai system pemasyarakatan.
Akan tetapi jika ditinjau kepentingan-kepentingan yang dilindungi baik pelaku, maupun
obyeknya, kiranya dapat juga disebut sebagai sistem Nusantara.

BAGIAN XII
BEBERAPA PENGERTIAN DAN KETENTUAN PENUTUP

BAB XLVIII
PENGERTIAN-PENGERTIAN OTENTIK DALAM KUHP

227. Cakupan pengertian.

Mengenai tafsir otentik yang ditentukan dalam Bab IX Buku I KUHP yang pada
dasarnya dapat dibagi dua ditinjau dari sudut peristilahan yaitu:

a. Memberi pengertian teknis yuridis yang sedikit banyaknya menyimpang dari


pengertian sehari-hari.

b. Memberi pengertian secara ilmu hukum yang ditentukan perundang-


undangan.

Ditinjau dari sudut cakupannya, pengertian-pengertian yang ditentukan dalam Bab


IX ini pada dasarnya dapat dibagi dua pula yaitu perumusan yang :

a. Menegaskan atau membatasi pengertian dari suatu istilah (pasal 87, 88, 88
bis, 90, 92 bis, 95, 97, 98, 101, dan 101 bis ayat ke 1 KUHP);
150

b. Memperluas pengertian dari suatu istilah, yang juga meliputi yang


seyogyanya tidak akan tercakup didalamnya (pasal 86, 91, 92, 96, 99, 100, dan
101 bia ayat ke 2 KUHP).

Telah diutarakan juga bahwa suatu perundang-undangan, adalah suatu


penegasan dari sesuatu yang dipandang sebagai hukum yang berlaku. Karena
pembuatan perundang-undangan adalah juga persoalan teknis perumusan kata-kata
yang harus dapat dirasakan sebagai perwujudan tertulis dari hukum dan kewajaran.
Ketika membuat perumusan inilah sering terjadi kebenturan-kebenturan, apabila
dikehendaki harus mencakup seluruh kebutuhan yang hendak dituangkan dalam
perumusan tersebut. Dalam prakteknya ternyata sudah dipandang baik, apabila
ketentuan tertulis itu dapat diterapkan dalam pengertian yang abstrak, karena kesulitan-
kesulitan yang dihadapi untuk merumuskannya secara konkrit. Namun harus
diusahakan sejauh mungkin agar sesuatu yang dirasakan sebagai tindak pidana, dalam
keadaan yang bagaimanapun, harus tercakup dalam perumusan tersebut. Hal ini
terutama karena pada umumnya hakim mengucapkan keadilan berdasarkan undang-
undang tersebut.

Dalam hal penerapan pengertian dari sesuatu istilah perlu diingatkan kembali
untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :

a. Jika suatu istilah sudah jelas pengertiannya, maka pengertian tersebut yang
harus digunakan, bukan maksud dari istilah tersebut;

b. Jika suatu istilah tidak jelas pengertiannya, baru menggunakan penafsiran


secara doktrin;

c. Jika ternyata ada beberapa penafsiran yang digunakan, diantara mana salah
satu memberi pengertian dari istilah tersebut, maka yang memberikan arti tersebut
digunakan, bukan yang memberikan maksud;

d. Perlu diperhatikan juga bahasa undang-undang yang secara formal berlaku.

228. Yang menegaskan atau membatasi pengertian dari suatu istilah.

Bahwa untuk suatu istilah diberikan suatu pengertian, pada umumnya digunakan
kata sandang (penghubung) yang diartikan atau yang dimaksud atau berarti, untuk
suatu pembahasan pengertian digunakan kata penghubung “ada”.

a. Pasal 87. Makar untuk melakukan suatu tindakan dikatakan ada jika niat
pelaku telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti yang
dimaksudkan dalam pasal 53 KUHP.

b. Pasal 88. Permufakatan jahat dikatakan ada, jika dua orang atau lebih telah
sepakat akan melakukan suatu kejahatan.

c. Pasal 88 bis. Yang dimaskud dengan penggulingan pemerintahan ialah


meniadakan atau secara tidak sah merubah bentuk pemerintahan yang ada
menurut undang-undang.
151

d. Pasal 90. Luka berat berarti :

1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;

2) Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau


pekerjaan pencaharian;

3) Kehilangan salah satu panca indra;

4) Mendapat cacad berat;

5) Menderita sakit lumpuh;

6) Terganggu kekuatan akal selama lebih dari 4 minggu;

7) Gugur atau mati kandungan seorang perempuan.

Pasal 90 ini tidak memberikan suatu batasan mengenai apa yang dimaksud
dengan luka berat, yang ditentukan ialah keadaan-keadaan tertentu yang dapat
diartikan sebagai luka berat.

e. Pasal 92 bis. Yang disebut pengusaha ialah tiap-tiap orang yang


menjalankan perusahaan.

f. Pasal 95. Yang disebut kapal Indonesia adalah perahu yang mempunyai
surat laut ataupun kapal. Atau surat izin sebagai pengganti sementara menurut
ketentuan-ketentuan surat laut dan pas kapal di Indonesia.

g. Pasal 97. Yang diartikan dengan hari ialah waktu selama dua puluh empat
jam, dengan bulan ialah waktu selama tiga puluh hari.

h. Pasal 98. Yang diartikan dengan malam ialah waktu antara matahari
terbenam sampai matahari terbit.

i. Pasal 101. Yang diartikan dengan ternak ialah binatang yang berkuku satu,
pemamah biak dan babi

j. Pasal 101 bis ayat 1 yang diartikan dengan bangunan-bangunan listrik ialah
bangunan-bangunan yang gunanya untuk membangkitkan, menyalurkan,
mengubah atau mengalirkan tenaga listrik; dan sehubungan dengan itu semua
bangunan-bangunan penyelamatan, penegak, pelengkap dan alarm.

229. Yang memperluas pengertian dari suatu istilah.

a. Pasal 86. Apabila disebutkan kejahatan pada umumnya atau suatu


kejahatan secara khusus, maka untuk itu termasuk diartikan atau tercakup
pembantuan dan percobaan terhadap kejahatan itu, sepanjang tidak ditentukan
lain oleh suatu peraturan (vide pasal 53 dan 56).
152

b. Pasal 91 yaitu :

(1) Untuk sebutan kekuasaan bapak tercakup juga kekuasaan kepala


keluarga.
(2) Untuk sebutan orang tua, tercakup juga kepala keluarga.
(3) Untuk sebutan bapak tercakup juga orang yang menjalankan yang
sama dengan kekuasaan bapak.
(4) Untuk sebutan anak, tercakup juga orang yang ada dibawah
kekuasaan bapak yang sama.

c. Pasal 92 yaitu :

(1) Yang juga tercakup dalam pengertian pejabat adalah orang-orang yang
dipilih dalam pemilihan yang berdasarkan peraturan umum, demikian juga
orang-orang yang bukan karena pemilihan menjadi anggota badan pembuat
undang-undang, badan pemerintahan atau badan perwakilan rakyat yang
ditetapkan oleh atau atas nama pemerintah, dan selanjutnya semua anggota
dewan perairan dan semua kepala (golongan) Timur asing yang menjadi
kekuasaan yang sah.
(2) Untuk sebutan pejabat dan sebutan hakim yang tercakup juga hakim
wasit; untuk sebutan hakim tercakup juga mereka yang menjalankan
peradilan administrasi, demikian juga ketua-ketua dan anggota-anggota
peradilan agama.
(3) Semua orang yang termasuk Angkatan Bersenjata, juga tercakup
dalam pengertian pejabat.

Ciri-ciri umum dari seseorang pejabat ialah sebagai berikut :

(1) Diangkat/ditetapkan oleh penguasa umum,


(2) Tugas tersebut merupakan sebagian dari tugas negara/badan-
badannya.

d. Pasal 96 yaitu :

(1) Yang juga tercakup dalam pengertian musuh adalah pemberontak.


Demekian juga tercakup negara atau kekuasaan yang akan menjadi lawan
perang.
(2) Yang tercakup dalam pengertian perang, adalah juga permusuhan
dengan daerah-daerah swapraja, begitu juga perang saudara.
(3) Yang juga tercakup dalam pengertian masa perang adalah waktu
apabila perang sangat mungkin akan terjadi. demikian juga setelah
mobilisasi Angkatan Perang diperhatikan dan selama berlaku mobilisasi itu.

e. Pasal 99. Yang juga tercakup dalam pengertian memanjat adalah masuk
melalui lobang dalam tanah yang sudah ada, tetapi bukan untuk masuk atau
melalui lobang tanah yang sengaja digali, demikian juga menyeberangi parit atau
galian yang digunakan sebagai penghalang masuk.

f. Pasal 100. Tercakup juga dalam pengertian anak kunci palsu ialah semua
alat yang digunakan untuk pembuka kunci itu.
153

g. Pasal 101 (2). Bangunan-bangunan telegrap dan telepon tidak termasuk


dalam pengertian bangunan listrik.

230. Yang juga memerlukan penafsiran otentik.

Jelas kiranya bahwa maksud untuk memberikan tafsir otentik untuk sesuatu
istilah, adalah untuk menghindari pengulangan-pengulangan dan juga untuk lebih
mantap mengetahui pengertian dan/atau cakupan dari sesuatu istilah. Sesuai dengan
perkembangan kebutuhan, kiranya ketentuan dalam Bab IX buku I ini sudah perlu
diperluas. Yang dirasakan perlu dimasukkan dalam Bab ini antara lain ialah pengertian
dan/atau cakupan dari istilah warga negara (vide pasal 5), golongan penduduk (vide
pasal 156, 157), penadah dan penadahan (vide pasal 480) dan barang siapa.

BAB XLIX
KETENTUAN PENUTUP

231. Maksud ketentuan pasal 103.

Pasal 103. Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII juga
berlaku bagi tindakan-tindakan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya
diancam dengan pidana, kecuali jika ditentukan lain oleh undang-undang.

Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan VIII ditentukan berlaku bagi


ketentuan-ketentuan pidana diluar KUHP, kecuali secara tegas disimpangi oleh
undang-undang. Ini berarti bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak boleh disimpangi
oleh perundangan lebih rendah tingkatannya.

Ternyata pasal ini mendiamkan Bab IX dari Buku Kesatu. Timbul persoalan,
bagaimana nasib Bab ini dalam hubungannya dengan perundangan hukum pidana di
luar KUHP? Apabila perundangan lainnya itu secara tegas menyatakan berlakunya Bab
IX Buku I KUHP (kecuali ada beberapa penyimpangan) terhadap perundangan lainnya
itu seperti ternayat dalam KUHPM, maka tidak ada persoalan. Akan tetapi jika
perundagan lainnya itu juga mendiamkannya, maka penerapan Bab IX ini dapat
dilakukan dengan melalui interprestasi menurut doktrin, apabila penafsiran itu tidak
dapat diterapkan mendasarkan suatu jurisprudensi. Biasanya dalam praktek hukum
ketentuan-ketentuan dalam Bab IX itu juga dianut dalam penerapan perundangan
pidana lainnya, kecuali jika ternyata disimpangi oleh undang-undang. Selain daripada
itu secara argentum a contrario masih juga dapat ditegaskan, bahwa pasal 103 KUHP
tidak melarang, penerapan Bab IX/Buku I kepada perundangan pidana lainnya itu.
Karenanya dapat disimpulkan, sesuatu yang tidak dilarang dapat saja dilakukan.

Berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan VIII dalam


penerapannya baik untuk KUHP maupun terhadap perundangan hukum pidana diluar
KUHP, harus selalu diperhatikan perubahan-perubahan yang sudah diundangkan
terhadap Bab I sampai dengan VIII tersebut.

232. Hubungannya dengan KUHPM.

Dilingkungan peradilan militer, peranan pasal 103 ini sangat penting, sedemikian
pentingnya sehingga pasal-pasal PENDAHULUAN yaitu pasal 1 sampai dengan 3
KUHPM mengulangi dan bahkan mempertegasluaskan ketentuan dengan pasal 103.
154

Dalam penjelasan untuk pasal 2 KUHPM, justru ditentukan bahwa “ketentuan” dan
jurisprodensi yang dianut dalam penerapan KUHP, pada dasarnya digunakan juga
dalam penerapan KUHPM. Hal inilah juga yang memastikan bahwa, jika seseorang
hendak mempelajari KUHPM adalah suatu hal yang mustahil jika telah mempelajari
KUHP.

Perangkum

Rustamaji, S.H.
Kapten Chk NRP 21960346940974

Anda mungkin juga menyukai