Anda di halaman 1dari 10

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA

1. Pengertian hukum di indonesia terdapat perbedaan diantara para sarjana dan sampai dgn saat ini belum ada kesatuan
pendapat, karena dimensi hukum sangat luas dan batasannyapun tergantung dari sudut pandang masing’s kepada
hukum.
 Hukum adalah sekumpulan peraturan yg mengatur berbagai tata kehidupan/tingkah laku manusia dgn manusia,
manusia dgn lingkungan, manusia dgn alam, baik tertulis maupun tdk tertulis yang dibuat oleh lembaga yang
berwenang dan disertai sanksi yang tegas bagi pelanggarnya.
2. Pembagian hukum dri berbagai segi :
a. Hukum tdk tertulis (hk adat dsbt jga hk kebiasaan yaitu k’ntuan yg lazim dptuhi msy wlaupun tdk trtulis) di
samping yg tertulis (sbgian besar sdh brupa per-uu didlamny mngandung k’ntuan hk yg dbuat o/ lembaga yg
berwenang)
b. Hukum Filsafat (ius constituendum/dicita’skan) di samping hukum positif (ius constitutum/masa kini)
c. Hukum publik di samping hukum perdata
d. Hukum subjektif di samping hukum objektif KUHP
e. Hukum material di samping hukum formil HP. Materil KUHPM
HP. Obyektif UU Tipidsus
hukum pidana HP. Formil KUHAP
Hukum Publik hukum tata negara HP. Subyektif UU 31/97
3. * (Pohon Hukum) hukum adm/htn/hk tata Pemerintahan
Hukum Privaat
4. Kaitan hukum adat dengan asas legalitas => menurut UU selama tidak bertentangan dengan jiwa pancasila masih
terus berlaku dan diakui sebagai hukum adat. UUD NRI tahun 1945 pasal 18b bahwa ”negara mengakui dan
menghormati kesatuan’s masyarakat hukum adat beserta hak’s tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat serta prinsip NKRI”.
 Korelasi Hukum adat dengan hukum pidana => UU Darurat No 1 Tahun 1951 pasal 5 ayat 3 huruf b “bahwa
hukum adat meskipun tidak diatur dalam hukum positif namun hukum adat dapat diberlakukan tetapi dengan
batas pemidanaannya dibatasi, kurungan tidak lebih dari 3 bulan/denda pengganti tidak lebih dari 500 ribu
sepanjang saksi adat tidak terlaksana.
 UU No 14 tahun 1970 => UU No 35 tahun 1999 => UU No 4 tahun 2004 => UU No 48 tahun 2009 pasal 5 ayat
1 tentang kekuasaan kehakiman, hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai’s
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
5. *Prinsip/Dasar Pengertian Hukum Pidana
1. Bagian dr hukum positif yg berlaku di suatu negara dgn memperhatikan waktu, tempat, dan bagian penduduk,
yg memuat dasar’s dan ketentuan’s mengenai tindakan larangan (delik komisi) atau tindakan keharusan (delik
omisi) (kriminal x)
2. Kpd pelanggarnya diancam dgn pidana, menentukan pula bilamana dan dalam hal apa pelaku pelanggaran
tersebut dipertanggungjawabkan (kriminal responsibility)
3. Serta ketentuan’s mengenai hak dan cara penyidikan, penuntutan, penjatuhan pidana, dan pelaksanaan pidana
demi tegaknya hukum yang menitik beratkan pd keadilan (kriminal prosedur)
 Cth : Delik Omisi (tndkan keharusan), pasal 224 keharusan jdi saksi, pasal 531 mmberi prtolongan kpd org yg
dlm keadaan bahaya.
Delik Komisi (tndkan dilarang), pasal 338 dilarang membunuh, pasal 362 dilarang mencuri.
 hukum pidana lebih berat sanksi pidananya dri pd hukum yg lainnya karena hukum pidana berkaitan dgn hak
subyektif negara (hak untuk menegakkan hukum obyektif (kuhap))
6. *perbandingan, hukum publik  (ciri-ciri)  hukum privaat
 Mengatur kepentingan umum mengatur kepentingan pribadi/perorangan
 Kedudukan subyek tidak sederajat (negara kedudukan subyek/para pihak sederajat/sama
lebih tinggi dari pada WN karena negara
memiliki Hak Subyektif/mengatur
 Ditegakkan oleh negara ditegakkan oleh pribadi
 Ius speciale (m’gtur kpntgn umum yg khusus) Ius Commune (m’gtur kpntgn umum)
7. Hukum pidana bukan hukum publik (van kan, paul scholten, logeman, lemaire dan utrecht)
 hukum pada pokoknya tidak mengadakan norma baru, melainkan norma dan sanksi hukum pidana telah ada
sebelumnya , tetapi sanksinya sudah tidak seimbang lagi, sehingga dibutuhkan sanksi pidana yang lebih tegas
dan lebih berat.
 Tindak pidana tertentu harus ada delik aduan.
2 alasan tsb di atas menunjukkan bahwa hukum pidana tidak bersifat hukum publik.
8. Hukum Pidana Subyektif (ius puniendi) => hak dari penguasa/negara untuk melaksanakan ketentuan’s dalam hukum
pidana obyektif dari mengadakan penyidikan, menjatuhkan pidana sampai dengan pelaksanaan putusan pidana.
Hukum pidana Obyektif (ius poenali) => seluruh garis hukum tentang tingkah laku yang diancam dengan pidana,
jenis dan macam pidana serta bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan dan dilaksanakan pada waktu tertentu dan
dalam batas daerah hukum tertentu.
9. Hukum Pidana Materiil => hukum yang berisikan norma dan sanksi hukum pidana serta ketentuan’s umum yang
membatasi, memperluas atau menjelaskan normat dan pidana tersebut.
Hukum Pidana Formal => garis hukum yang menjadi dasar bagi penegak hukum dan keadilan dalam menjalankan
kewajibanya untuk menyidik, menuntut, menjatuhkan dan melaksnanakan ketentuan’s hukum pidana materiil.
10. ARIESTOTELES bahwa manusia merupakan ZOON POLITICON yaitu manusia sebagai makhluk sosial yang
dalam hidupnya mencari sesama manusia untuk hidup bersama dan mempunyai kebutuhan’s dan kepentingan’s,
sehingga atas dasar itu timbul hubungan pergaulan antar sesama manusia yang tidak lepas dari kepentingan’s dan
kebutuhan’s tersebut. Dalam hubungan peragulan tersebut kepentingan’s dan kebutuhan’s mereka tidak selalu
seirama/sejalan, bahkan sering bertabrakan dan pada dasarnya manusia tidak suka dirugikan. Maka dari itu perlu
adanya ketentuan’s yang mengatur bagaimana seharusnya tingkah laku seseorang anggota masyarakat dalam
berhubungan/bergaul sesamanya, dan sedikit/banyak bersifat memaksa tergantung kesadaran dan keinginan bersama
dalam suatu masyarakat ketentuan ini disebut dengan norma/kaidah.
11. Macam-macam Norma :*
 Norma keagamaan => norma’s yang ada pada suatu ajaran agama dan diakui oleh pemeluk agama yang
bersangkutan sebagai firman Tuhan. Orang’s terdorong untuk mentaati dan melaksanakan karena keyakinan akan
pahala dan sebaliknya akan dosa di akhirat.
 Norma kesusilaan => ketentuan’s mengenai bertingkah laku (baik/jahat) dalam hubungan antar sesama manusia
dalam banyak hal yang didasarkan kepada “kata hati nurani” dan maksud dari kesusilaan ialah dalam arti luas
bukan hanya soal kebirahian/sex saja.
 Norma kesopanan => aturan’s dalam suatu masyarakat tertentu tentang sopan santun dalam hubungan anggota’s
masyarakat itu sesamanya.
 Norma hukum => ketentuan’s yang kompleks mengenai kehidupan dan penghidupan manusia dalam pergaulan
sehari-hari, yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu.
Nb : Norma hukum ada karena norma’s yang lain sanksinya kurang tegas dan belum langsung dirasakan oleh pelaku.
12. Cara merumuskan Norma
 Menentukan unsur’s dari suatu tindakan terlarang/yang diharuskan => sering dijumpai dalam perumusan undang-
undang. Cth : pasal 224 ttg saksi yg tdk mmnuhi panggilan, pasal 281 ttg kejahatan kesusilaan.
 Menyebut nama/Kualifikasi dari tindakannya saja. Cth : pasal 351 yang hanya menyebutkan “penganiayaan” saja.
 Unsur’s dan nama/Kualifikasi sama’s disebutkan. Cth : pasal 378 ttg penipuan, pasal 372 ttg penggelapan.
13. Sanksi => pada umumnya adalah alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku
14. Tugas Sanksi : =>
 Sebagai Preventif => merupakan alat pemaksa/pendorong/jaminan/pencegahan agar tidak terjadi serta agar norma
hukum ditaati oleh setiap orang.
 Sebagai Refressif => apabila tidak dapat dicegah dan merupakan akibat hukum bagi seseorang yang melanggar
norma hukum.
15. Cara merumuskan Sanksi :
 Dalam KUHP, umumnya tiap’s pasal juga pada ayat’s berisikan norma langsung diikuti dengan suatu sanksi.
 Beberapa Hukum Pidana lainnya, pada pasal’s awal ditentukan hanya norma’snya saja, pada pasal’s akhir baru
sanksi dicantumkan. Cth : uu Ite, normanya pasal 27 ayat 3– sanksinya pasal 45.
16. Objek ilmu pengetahuan hukum pidana (IPHP) adalah asas’s dan peraturan’s hukum pidana.
Tugas IPHP adalah mempelajari dan menjelaskan (interpretasi) hukum pidana yang berlaku pada waktu dan tempat
tertentu dan norma’s dalam hubungan dengan pemidanaan.
17. Tujuan hukum pidana menurut Gustav Radbruch dalam bukunya vorschule der rechtfilosofie yaitu untuk mengetahui
obyektifitas hukum positif yang berlaku. Sedangkan menurut Hans Kelsen yaitu untuk mendapatkan tujuan hukum
positif secara murni, dengan cara jangan mencampurkan hukum dengan ideologi politik tertentu agar bisa
menciptakan hukum yang lebih baik yang dapat menjaga keseimbangan dalam masyarakat.
18. Cara melihat Hukum Positif yg Obyektif :
 Melihat substansi hukum pidana yang mengatur tentang perbuatan’s yang dilarang/diharuskan, selain bersifat
rechsdelicten/delik’s yang ada dalam hukum (delik hukum yang semula dianggap suatu ketidak adilan jika
dilanggar, biasanya berasal dari norma agama dan kesusilaan) juga wetsdelicten/delik’s yang ada dalam per-uu
(delik’s yang dilihat oleh pembuat UU dari perkembangan masyarakat).
 Melihat penegakkan hukum pidana itu sendiri,
 Lawrence Friedman, melihat 3 aspek penegakkan hukum pidana :
1. Legal Substans => hukum formil dan materiil harus baik dan menjadi perhatian dalam penegakkan
hukum
2. Legal structur => Pelaku’s penegakkan hukum
3. Legal Culture => budaya hukum dimasyarakat itu sendiri
 Biarpun hukumnya tegas tetapi penegak hukumnya memble maka tidak tercapai penegakkan hukumnya
artinya biarpun legal substansi/hukumnya tegas dan penting tetapi yang lebih penting legal
structurnya/yg menegakkan ketentuan’s itu (baik buruknya hukum itu tergantung yg menegakkannya).
 Prof. Eddy Os. Hiarie, melihat 2 aspek penegakkan hukum pidana :
1. Aspek struktur => yaitu alat perlengkapan, ruang pengadilan, orang yang menegakkannya dan
peralatan’s terkait.
2. Aspek Infrastruktur => yaitu peraturan’snya, apa saja yang telah disiapkan terkait penegakkan hukum
misalnya SOP, hukum acaranya, dll
19. Tujuan Pidana menurut Mashab :
 Mashab Klassik => tujuan hukum pidana adalah untuk menjamin/melindungi kepentingan hukum individu.
 Mashab Modern => tujuan hukum pidana adalah untuk memberantas kejahatan agar terlindungi kepentingan
hukum masyarakat.
- Tujuan pidana Indonesia lebih tepat menggunakan mashab modern agar semua kepentingan baik
kepentingan negara, masyarakat dan individu, warga negara/penduduk indonesia diayomi dalam kesimbangan
yang serasi berdasarkan pancasila dan ini sejalan dengan tujuan pidana mashab modern.
20. Dasar Pemidanaan :
 Tolak Pangkal Ke-Tuhanan (Thomas van Aquino)
Tidak boleh Pemidanaan atas rasa dendam dan pembalasan, melainkan karena pelaku telah berdosa. Negara
sebagai pembuat UU dimana Hakim atas kekuasaan dari Tuhan, dalam kebutuhan negara untuk mencapai
tujuannya yaitu kesejahteraan umum, negara selain berhak menentukan hukum juga berhak memkasa untuk
mentaati hukum dengan ancaman pidana.
 Tolak Pangkal Falsafah (J.J. Rousseau)
Ada persetujuan fiktif antara rakyat dengan negara, dimana kekuasaan negara diberikan oleh rakyat dan setiap
warga negara menyerahkan sebagian dari hak asasinya untuk menerima imbalan perlindungan kepentingan
hukum dari negara, untuk itulah negara memperoleh hak untuk memidana.
 Tolak Pangkal Perlindungan/Yuridis (Bentham, Van Hamel, dan Simmons)
Dasar pemidanaan karena penerapan pidana merupakan alat untuk menjamin ketertiban hukum.
21. Alasan Pemidanaan menurut Teori:
 Teori Pembalasan (teori absolut) => membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak
pidana ibarat pepatah darah bersabung darah, nyawa bersabung nyawa.
Macam teori pembalasan :
1. Teori Pembalasan Tuntutan Mutlak (Immanuel Kant)
Pemidanaan adalah merupakan tuntutan mutlak dari kesusilaan terhadap seorang penjahat yang telah
merugikan orang lain. “Walaupun besok dunia kiamat, penjahat terakhir harus menjalankan pidananya.
2. Teori Pembalasan Bersambut (dialektis = Hegel)
Hukum adalah perwujudan dari kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah tantangan kepada hukum dan
keadilan. Untuk mempertahankan hukum kejahatan secara mutlak harus dilenyapkan dengan memberikan
ketidakadilan kepada penjahat.
3. Teori Pembalasan demi Keindahan/Kepuasan (aesthetisch = Herbart)
Merupakan tuntutan mutlak dari perasaan ketidakpuasan masyarakat, sebagai akibat dari kejahatan untuk
memidana penjahat.
4. Teori Pembalasan sesuai ajaran Tuhan (agama = Stahl, Gewin dan Thomas Aquino)
Kejahatan adalah pelanggaran terhadap prikeadilan tuhan dan harus ditiadakan. Oleh karena itu mutlak harus
diberikan penderitaan kepada penjahat, demi terpeliharanya prikeadilan Tuhan, dengan cara melalui
kekuasaan yang diberikan oleh Tuhan kepada penguasa negara.
5. Teori Pembalasan sebagai Kehendak Manusia (J.J. Rousseau, Hugo de Groot, Grotius Beccaria)
Merupakan tuntutan alam bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan dia akan menerima sesuatu yang jahat.
 Teori Tujuan Relatif => membenarkan pemidanaan berdasarkan kepada tujuan pemidanaan yaitu untuk
perlindungan masyarakat/pencegahan terjadinya kejahatan.
Teori ini dibagi sebai berikut :
1. Pencegahan terjadinya suatu kejahatan dengan mengadakan ancaman pidana yang cukup berat untuk
menakut-nakuti calon’s penjahat. Paul Anselm van Feuerbach (teori Vom Psychologischen Zwang) bahwa
hanya dengan mengadakan ancaman pidana saja tidak akan memadai, melainkan diperlukan penjatuhan
pidana kepada penjahat.
2. Perbaikan/pendidikan bagi penjahat berupa pidana agar ia kelak dapat kembali ke lingkungan masyarakat
dalam keadaan mental yang lebih baik dan berguna.
3. Menyingkirkan Penjahat dari lingkungan masyarakat dengan cara kepada penjahat yang kebal akan ancaman
pidana berupa usaha menakuti, supaya dijatuhkan perampasan kemerdekaan yang cukup lama, bahkan jika
perlu dengan pidana mati. (Ferri dan Garofalo)
4. Menjamin Ketertiban Hukum dengan cara mengadakan norma’s yang menjamin ketertiban hukum. Kepada
pelanggar norma akan dipidana oleh negara.
 Teori Gabungan (Binding) => mendasarkan pemidanaan kepada perpaduan teori pembalasan dengan teori tujuan,
dimana penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan, baik bagi hakim, penjahat dan masyarakat
serta harus ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan kejahatan yang dilakukan. (restoratif justice).
22. Urut-Urutan Penafsiran :
 Penafsiran secara otentik, yaitu mencari pada pasal’s undang’s; (kuhp dalam bab IX buku I)
 Penafsiran menurut penjelasan undang’s (memorie van toelichting);
 Penafsiran sesuai dengan jurisprudensi;
 Penafsiran menurut doktrin, ada sembilan yaitu sebagai berikut:
 Penafsiran menurut tata bahasa (grammaticale interpretatie) adalah penafsiran menurut tata bahasa yang
memberikan arti kepada suatu istilah atau perkataan sesuai dengan tata bahasa.
 Penafsiran secara sistematis adalah apabila suatu istilah atau perkataan dicantumkan dua kali dalam satu
pasal atau pada suatu undang-undang, maka pengertiannya harus sama pula.
 Penafsiran mempertengtangkan adalah menemukan kebalikan dari pengertian suatu istilah yang sedang
dihadapi.
 Penafsiran memperluas (extensieve interpretatie) adalah memperluas pengertian dari suatu istilah berbeda
dengan pengertiannya yang digunakan sehari-hari. Perluasan kata dari ketentuan suatu peraturan yang belum
jelas menjadi luas namun tidak terlalu jauh.
- Cth : listrik dapat dikatakan benda mati karena berada dalam kabel.
 Penafsiran mempersempit adalah mempersempit pengertian dari suatu istilah.
 Penafsiran historis adalah dengan mempelajari sejarah pembuatan undang-undang yang bersangkutan akan
ditemukan pengertian dari suatu istilah yang sedang dihadapi (sejarah = peristiwa masa lalu yang memiliki
korelasi dengan keadaan sekarang).
 Penafsiran teleogis adalah mencari tujuan atau maksud dari suatu peraturan perundang-undangan dibentuk
untuk mempercepat proses penyelesaian suatu perkara khusus.
 Penafsiran logis adalah mencari pengertian dari suatu istilah atau ketentuan berdasarkan hal-hal yang masuk
akal. Cara ini tidak banyak dipergunakan.
 Analogi adalah memperluas cakupan atau pengertian dari ketentuan undang-undang tentang sesuatu hal
dengan mencari pengertian di luar undang-undang yang kemudian disamakan dengan ketentuan undang-
undang sehingga yang tidak ada dalam undang-undang menjadi ada. Analogi untuk menguraikan unsur
masih boleh untuk memperjelas ini tindak pidana atau bukan, tetapi untuk memidana suatu perkara jangan
atau tidak dibolehkan.
Cth : arus listrik dapat dikatakan sebagai benda mati,kemaluan perempuan disamakan dengan barang.
23. Dilarang analogi pada pasal 1 kuhp (asas legalitas)
 Menghindari kesewenang-wenangan dalam memidana suatu perkara dan menghindari menciptakan hukum
tersendiri agar tidak digunakan untuk melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan’s/tindakan’s yang belum tentu
itu merupakan perbuatan/tindak pidana
 Agar adanya kepastian hukum
24. Alasan diperbolehkan Penafsiran
 Hukum tertulis tidak dapat dengan segera/tertatih-tatih mengikuti perkembangan manusia/zaman , bersifat kaku
dan ketinggalan (Het Recht Hink Achter De Feiten Aan) untuk itu dibutuhkan penafsiran.
 Ketika hukum tertulis dibentuk mengenai sesuatu hal yang diatur karena tidak menjadi perhatian pembentuk UU,
mucul kemudian perkembangan makna yang baru setelah UU dibentuk, maka diperlukan penafsiran.
 Keterangan yang menjelaskan arti beberapa istilah (seperti Kuhp bab IX buku I) tidak mungkin
merumuskan/menjelaskan seluruh istilah/kata’s yang penting dalam pasal.
 Seringkali norma hukum dirumuskan sangat singkat dan bersifat sangat umum sehingga kurang jelas maksud dan
tujuannya
 Karena ada ketentuan Lex Sripta => hukum pidana harus tertulis tetapi tidak boleh berbelit’s dan harus
sedemikian efektif dan efisien serta mudah dipahami dan implementatif.

25. Keadilan dan kepastian hukum itu bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, 1 sisi menghendaki
keadilan – 1 sisi menghendaki kepastian hukum. Jika diutamakan keadilan maka akan terjadi proses
pemilihan/disparitas penjatuhan pidana yang beragam. Boleh ada keadilan dan kepastian hukum tetapi harus ada
manfaatnya.
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU
Pasal 1 KUHP
(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam per-UU yang telah ada sebelum
perbuatan itu dilakukan => Asas Legalitas (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali)
(2) Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam per-UU, dipakai aturan yang paling ringan bagi
terdakwa.
26. Asas-Asas yang terkandung dalam pasal 1 ayat 1 :
 Hukum pidana berdasarkan peraturan’s tertulis (UU dalam arti luas)
 Ketentuan pidana tidak berlaku surut (asas non rektroaktif)
 Dilarang menggunakan analogi
- Cth : Kasus Amrozi saat bom bali, uu terorisme blom ada, kemudia di undangkan uu terorisme, dia tidak
bisa dikenakan uu terorisme karena tidak berlaku surut, jadi hanya kena kuhp pasal pembunuhan
berencana.

27. Pasal 1 ayat 2 ini merupakan pengecualian terhadap asas tidak berlaku surut (Non Retroaktif)
 (Adagium) tidak ada suatu peraturan yang tanpa pengecualian “there is no rule without exception”
28. Pasal 1 ayat 2 harus memenuhi syarat:
 Harus ada perubahan Per-UU mengenai suatu tindakan
 Perubahan terjadi setelah tindakan dilakukan
 Peraturan yang baru lebih menguntungkan atau meringkan pelaku tindakan tersebut

BERLAKUNYA HUKUM PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN TEMPAT DAN ORANG


29. Asas territorialitas
 Tolak pangkal pemikiran penerapan asas territorialitas => di wilayah Indonesia, (UU) Hukum Pidana Indonesia
mengikat siapa saja (penduduk/bukan).
 Dasarnya ialah bahwa setiap negara yang berdaulat wajib memelihara sendiri ketertiban hukum dalam
wilayahnya.
Pasal 2 “ ketentuan pidana dalam undang’s indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak
pidana di wilayah Indonesia”
 Uraian dari pasal 2
 (UU) ketentuan pidana indonesia berlaku diwilayah indonesia
 Orang/pelaku berdada di indonesia
 Tindak pidana terjadi diwilayah indonesia
Persamaan dari tiga data diatas ialah semuanya di wilayah Indonesia
 Pasal 2 UU ITE, berlaku lintas territorialitas baik oleh wni/wna, badan hukum indo/badan hukum asing yang
memiliki akibat hukum di Indonesia.
 Luas di luar negeri/di luar indonesia ? luas di luar Indonesia karena ada negara’s lain, tetapi juga ada wilayah’s
darat, laut, dan udara yang bukan wilayah negara lain seperti kawasan antartika dan laut bebas.
 Semula batas laut indonesia 3 mil diukur dari ujung pantai saat pasang surut ke arah lautan lepas, berkembang
dalam pasal 1 UU No 4 Prp tahun 1960 tanggal 18 februari 1960 menjadi sejauh 12 mil dan dasar laut dan tanah
di bawahnya diluar perairan indonesia sedalam 200 meter.
30. Perluasan Asas Territorialitas
Pasal 3 (baru) UU no 4 th 1976 “ketentuan pidana dalam per-uu Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar
Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”
 Pasal 3 lama menggunakan istilah perahu, pasal 3 baru menggunakan kendaraan air
 Perluasan yuridiksi kriminil pasal 3 baru yaitu pesawat udara Indonesia
 Perluasan Asas Territorialitas yaitu di luar wilayah Indonesia
 Hal ini berhubungan dengan pasal 95, 95a, 95b, 95c penjelasan tentang pesawat udara indonesia
31. Asas Personalitas
 Pokok asas personalitas adalah (persoon) Orang/WNI tanpa mempersoalkan dimana orang itu berada.
 Asas personalitas terbatas/tidak murni pada pasal 5 dan 6 kuhp karena semua kejahatan yang disebutkan pada
pasal 5 ayat 1 ke 1 kecuali pasal 450 dan 451 subjeknya bukan hanya WNI saja melainkan setiap orang di
wilayah Indonesia
 Perluasan Asas Personalitas Pada pasal 7 bagi pegawai negeri RI (termasuk militer + pasasl 4 kuhpm) di luar
negeri, dan pasal 8 bagi nahkoda dan penumpang perahu Indonesia.
32. Asas Perlindungan (asas nasional aktif)
 tolak pangkal asas perlindungan bahwa setiap negara yang berdaulat wajib melindugi kepentingan
hukumnya/kepentingan nasionalnya (kepentingan bersama lebih diutamakan daripada kepentingan perorangan).
 Pokok asas perlindungan adalah setiap orang (tidak terbatas pada warganegara saja).
 Pasal 4 KUHP => mengatur suatu kejahatan ketentuan pidana apabila dilakukan di luar Indonesia dan
tindakannya makar.
 Pasal 4 ayat 1 = Bab I Buku Ke 2 ttg makar kejahatan terhadap keamanan. (asas Perlindungan)
ayat 2 = kejahatan mata uang, segel dan merk yang dikeluarkan pemerintah Indonesia (Universalitas)
ayat 3 = pemalsuan surat’s/sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia q(Universalitas)
ayat 4 = pembajakan laut (Universalitas)
33. Asas Universalitas berlaku apabila - tidak melanggar asas nebis in idem,
- tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana di negara lain
34. Yurisdiksi = wilayah peradilan, Justisiable = berlakunya hukum pidana berdasarkan subyek
35. Pengecualian berlakunya hukum pidana
 Dalam Pasal 9 KUHP, berlakunya pasal 2-5,7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian yang diakui dalam hukum
internasional
 Hak Exterritorialitas (kekebalan hukum) berkaitan dengan orang
- Kepala negara asing - Konsul’s asing
- Duta asing - Angkatan perang asing
 Hak Exterritorialitas (kekebalan hukum) berkaitan dengan tempat
- Daerah kedutaan asing - benda’s bergerak yg digunakan oknum yang memiliki hak
exterritorialitas
- Kapal perang asing
 Pengecualian berlakunya hukum pidana berdasarkan hukum nasional => tidak dapat dituntutnya anggota
DPR/MPR ttg hal yang dibicarakan saat sidang dalam kedudukannya sebagai wakil rakyat.
36. Ekstradisi => suatu tindakan meng-ekstradisikan seorang tersangka untuk membantu negara asing dalam tugas
kepolisian dibidang internasional
37. Tempat dan Waktu Tindak Pidana/Delik sangat penting, pasal 121 jo 143 KUHAP menekankan harus menyebut
tempat dan waktu dalam surat dakwaan, jika tidak maka ancamannya batal demi hukum.
38. Tempat tindak pidana
 Pentingnya mengetahui tempat tindak pidana untuk menjawab pertanyaan :
- apakah tindak pidana terjadi di Indonesia/di luar Indonesia (pasal 2-8)
- pengadilan mana yang berkompeten untuk mengadili perkara tsb
- suhubungan perumusan KUHP : di muka umum (pasal 156,492), perkarangan tertutup (pasal 167), di
tempat yang dilalui orang (pasal 495), di atas perahu/kapal indonesia dan lain sebagainya.
 Umumnya tempat tindak pidana adalah tempat dimana tindak pidana dilakukan dan telah sempurna (voltooid)
semua unsur’s tindak pidana. Tetapi suatu tindakan dan akibatnya tidak selalu bersamaan waktunya, sehingga
menjadi persoalan mengenai tempat terjadinya tindak pidana.
39. 4 ajaran mengenani tempat kejadian perkara
 Ajaran tindakan Badaniyah => tempat kejadian ialah tempat di mana petindak ketika melakukan tindak pidana
dan unsur’s tindak pidana ketika itu telah sempurna. (1) jika dlihat dari tempat terjadinya tindak pidana
dilakukan maka di jakarta, (2) jika dilihat dari unsur’s tindak pidana sempurna maka di bogor.
 Ajaran tempat bekerjanya alat => tempat kejadian dimana alat yang digunakan bekerja dan telah membuat
sempurna suatu tindak pidana. (1) alat sudah bekerja di jakarta, (2) kalau delik materiil di bogor.
 Ajaran akibat dari tindakan => tempat kejadian adalah tempat terjadinya suatu akibat yang merupakan
penyempurnaan dari tindak pidana yang telah terjadi. (2) akibat/matinya dibogor
 Ajaran berbagai tempat tindak pidana => tempat kejadian gabungan dari ketiga-tiganya/dua diantara ajaran
diatas. (Bisa 1 bisa 2)
Contoh : (1) Pemukulan/penusukan terjadi dijakarta (lewat tol) arah ke bogor (2) sampai di bogor korban penusukan
mati.
40. Waktu tindak pidana => dimana dan kapan unsur’s tindak pidana telah sempurna saat itulah waktu tindak pidana, hal
ini karena waktu dan tempat tindak pidana selalu bersesuaian.

41. Pentingnya mengetahui waktu tindak pidana :


 Peranan waktu dalam pasal 1 kuhp
 Umur pelaku ketika melakukan tindak pidana
 saat melakukan tindak pidana dalam keadaan gila/tidak
 kadaluwarsa dalam penuntutan
 batas waktu mengadu/menarik pengaduan suatu delik aduan
 pengulangan tindak pidana tertentu
 tertangkap tangan/tidak
AJARAN SEBAB AKIBAT
42. Penentuan sebab-akibat dalam hukum pidana sulit dipecahkan, dalam KUHP tidak ada petunjuk cara menentukan
sebab-akibat yang dapat menciptakan tindak pidana.
43. Tujuan mepelajari Ajaran Sebab Akibat:
 Menentukan ada/tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana
 Menentukan siapa yang harus dipertanggungjawabkan atas suatu akibat tindak pidana
44. Sebab Akibat dalam Delik Formil dan Materiil
 Delik Formil => delik dianggap sempurna jika seseorang telah melakukan tindakan yang dilarang/diharuskan dan
mencocoki unsur’s dari pasal UU hukum pidana.
 Delik Materiil => delik dianggap sempurna jika akibatnya sudah nyata/terjadi
45. Teori Syarat (Von Buri) mengatakan bahwa semua peristiwa/faktor yang ada dan tidak dapat dihilangkan merupakan
syarat timbulnya suatu akibat dianggap sebagai sebab dari akibat itu. Teori ini disebut teori syarat karena tanpa
syarat itu, akibat tersebut tidak akan timbul dan nilainya sama sehingga dikenal dengan teori aequivalentie theorie.
46. Teori Khusus (Traeger) intinya dalam mencari sebab dari suatu akibat dibatasi satu/beberapa peristiwa/faktor saja
yang dinggap berpadanan, paling dekat/seimbang dengan timbulnya suatu akibat.
Perkembangan Teori Khusus :
 Teori pengaruh besar (Birkmeyer) yang menentukan sebab dari suatu akibat adalah peristiwa yang paling besar
pengaruhnya kepada timbulnya akibat.
 Teori yang paling menentukan (Binding) peristiwa yang dianggap sebagai sebab ialah peristiwa positif (menjurus
timbulnya akibat) yang lebih menentukan dari peristiwa negatif (menahan supaya akibat tidak timbul).
 Teori kepastian (Kohler) yang harus dianggap sebagai sebab ialah peristiwa yang pasti menimbulkan suatu akibat.
47. Teori Umum => perhitungan yang layak dianggap sebagai sebab timbulnya akibat.
 Teori Keseimbangan (Von Kries) peristiwa yang dianggap sebagai sebab dari akibat yang timbul adalah kelakuan
menurut perhitungan yang layak seimbang dengan akibat itu.
 Teori Keseimbangan Objektif (Rumelin) perhitungan yang layak bukan hanya apa yang diketahui oleh pelaku,
tetapi juga apa yang kemudian diketahui oleh hakim, walaupun tidak diketahui oleh pelaku sebelumnya.
 Teori Keseimbangan Gabungan (Simons) perhitungan yang layak adalah menurut pengalaman manusia.
48. Kaitan ajaran sebab akibat denan Delik Omisi :
 Tidak mungkin orang yang tidak berbuat dianggap sebagai penyebab dari suatu akibat
 Sebab dari akibat, apabila pada saat akibat terjadi pelaku sedang melakukan perbuatan positif lainnya (ibu belanja
utk masak dan belnja kebuthan sehari, meniggalkan bayi dirumah dan bayi itu mati)
 Sebab ialah yang mendahului akibat yang timbul. (tukang wesel KA tidak memindahkan rel padahal ia telah
menerima jabatan sebagai penjaga wessel)
 Mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat, teteapi ia tidak berbuat. (ibu wajib merawat bayi)
SETELAH UTS
49. Hukum adalah segala aturan baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur mengenai kehidupan dan hubungan
manusia dengan sesamanya beserta semua kepentingannya.
50. Undang’s (arti sempit) adalah peraturan’s yang dibuat oleh pemerintah bersama DPR termasuk juga didalamnya
Perpu.
51. Per-UU adalah semua peraturan yang mengikat masyarakat baik yang dibuat oleh pemerintah bersama DPR atau
instanasi’s dibawahnya. Cth : pergub, permen.
52. Besifat Melawan UU berarti bertentangan dengan UU/tidak sesuai dengan larangan/keharusan yang ditentukan
dalam UU/menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh UU.
53. Besifat Melawan Hukum (BMH) berarti bertentangan dengan hukum/tidak sesuai dengan larangan/keharusan
hukum/menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum.
 BMH merupakan salah satu unsur dari tindak pidana dan juga merupakan unsur dari pertanggungjawaban
pidana.
 BMH dari suatu tindakan tidak selalu dicantumkan sebagai salah satu unsur dari delik, karena dengan sendirinya
seluruh tindakan sudah BMH.
 Inti dari arrrest Hoge Rate (HR) tanggal 31 Desember 1919 tentang pasal 1365 BW ialah tentang pengertian dari
“tindakan yang tidak sesuai dengan hukum”(onrechtmatige daad) yaitu merusak hak subjektif seseorang
menurut UU; melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban (hukum) pelaku menurut UU; melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan; dan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan
dalam masyarakat.
54. BMH Formal bahwa setiap tindak pidana sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum dan tidak perlu
dibuktikan lagi.
Cth: A memukul B dan B terluka, maka A telah melanggar delik penganiayaan pasal 351 ayat 1 tanpa perlu
diselidiki lagi apakah pemukulan itu BMH atau tidak, karena pemukulan dengan sendirinya BMH dan telah
memenuhi perumusan delik dalam UU.
Alasan BMH Formal :
 Dari adagium, semua orang dianggap mengetahui undang’s, maka tidak perlu lagi dicari tindak itu
BMH/tidak.
 Apabila menganut ajaran BMH materiil, maka setiap orang akan membela diri dengan mengatakan bahwa ia
tidak mengetahui perbuatan itu dilarang/diancam dengan pidana oleh UU.
 Suhubungan point 2, berarti hakim dibebani tugas lainnya sebagai pembuat/pencipta UU
 Akibat point 2, setiap hakim akan menciptakan UU atau mengadakan tafsiran sendiri yang tidak lepas dari
pengaruh subyektivitasnya. Berarti akan terdapat macam’s penafsiran yang berbeda-beda yang
mengakibatkan ketidakpastian hukum.
55. BMH Materiil (Zevenbergen dan Van Hamel) setiap delik/tindak pidana dianggap ada unsur BMH dan harus
dibuktikan melanggar kepatutan/tidak. (Alasan BMH materiil) Artinya delik itu selain melanggar UU juga
melanggar kepatutan dalam masyarakat (apakah masyarakat menghendaki perbuatan itu/tidak, walaupun melanggar
UU)
Cth: apakah seorang ayah memukul anakny dlm rangka mendidik/mengajar anak, guru yang menyetrap muridnya,
orang primitif yang hampir telanjang dimuka umum, hrus dianggap dgn sendirinya BMH, sementara menurut faham
masyarakat tidak terlarang dan tidak tercela.
Alasan BMH Materiil :
 Hakim merupakan sumber hukum, putusan hakim (yuriprudensi) diikuti oleh hakim’s lain dalam persoalan
yang sama maka putusan itu berlaku sebagai ketentuan yang mengikat dan berfungsi sebagai hukum (UU).
 BMH materiil fungsi negatif => sekalipun tindakan/perbuatan tersebut BMH tetapi tindakan tersebut tidak
bertentangan dengan kepatutan/rasa keadilan dalam masyarakat (tolak ukurnya).
 BMH materiil fungsi Positif => meskipun tindakan/perbuatan tersebut bukan BMH atau tidak diatur dalam Per-
UU/hukum tetapi jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan kepatutan /rasa keadilan dalam
masyarakat maka perbuatan itu dapat dipidana.
56. Kesalahan => hubungan kejiwaan antara seseorang dengan tindakan yang dilakukan apabila hubungan kejiwaan
karena sengaja maka kesengajaan, apabila kealpaan maka kealpaan.
pokok persoalan yang sangat penting tetapi sangat rumit dalam mempelajari hukum pidana ialah mencari pengertian
kesalahan seorang baik secara sengaja dan secara ke alpaan. Penting karena untuk menentukan dapat/tidaknya pelaku
dipidana dan berat-ringannya pidana yang akan dijatuhkan.
57. Pendapat Ahli
 Simons => banyak pembahasan tentang isi dari pengertian kesalahan namun tetap berbeda dan tidak pasti.
Beberapa hal yang menyangkut kesalahan pada pelaku yaitu kemampuan bertanggungjawab, hubungan
kejiwaan, dolus/culpa.
 Noyon => kesalahan dibahas mengenai hal yang berhubungan dengan penerpan hukum postif bukan tentang
hakekat sebenarnya dari kesalahan. Ciri’s kesalahan hukum positif: pelaku mengetahui hakekat perbuatanya,
pelaku mengetahui/menduga perbuatannya bertentangan dengan hukum, perbuatan dilakukan bukan karena
keadaan jiwa tidak normal, perbuatan dilakukan bukan pengaruh keadaan darurat/paksa.
 Pompe => dilihat dari kehendak, kesalahan merupakan bagian dari kehendak pelaku. Artinya, kesalahan
merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum yang dapat dihindari. Unsur’s kesalahan : kelakuan
BMH, Dolus/culpa, kemampuan bertanggungjawab pelaku.
 Roeslan Saleh => BMH adalah unsur mutlak dari suatu perbuatan. Hubungannya dengan kesalahan yaitu
kesalahan harus masuk unsur pertanggungjawaban bukan perbuatan pidana. Tolak pangkal memasukkan
kesalahan sebagai unsur pertanggungjawaban pidana adalah orang hanya akan dipidana, jika ia mempunyai
pertanggungjawaban pidana (tidak dipidana jika tiada kesalahan).
58. Kesengajaan (dolus) adalah bagian dari kesalahan (schuld) yang memiliki hubungan kejiwaan yan lebih erat terhadap
suatu tindakan (terlarang/diharuskan) dibanding culpa dan ancaman pidananya jauh lebih berat. Karena ... sedangkan
pada culpa pelaku kurang kewaspadaan dan tidak dapat memperkirakan akibat yang akan timbul.
 Kesengajaan menurut memori penjelasan (MVT) adalah (...pelaku) menghendaki dan menginsyafi tindakan yang
dilakukan beserta akibatnya.
59. Jenis kesengajaan menurut sifatnya :
 Dolus malus, yaitu seseorang melakukan suatu tindak pidana , tidak hanya menghendaki tindakannya saja tetapi
juga menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang oleh undang’s dan diancam pidana.
 Dolus yang tidak mempunyai sifat tertentu, yaitu seseorang melakukan tindak pidana hanya menghendaki
tindakannya saja. Artinya ada hubungan yang erat antara kejiwaan (bathin) dengan tindakannya.
60. Gradasi Kesengajaan (Dolus) :
 Kesengajaan dengan maksud (oogmerk), artinya terjadinya suatu tindakan/akibat tertentu adalah betul’s sebagai
perwujudan dari maksud/kehendak/tujuan dan pengetahuan dari pelaku.
Cth: menghilangkan jiwa seseorang pada pasal 338 KUHP, matinya seseoranag merupakan perwujudan dari
maksud/kehendak dan tujuan dari pelaku.
 Kesengajaan dengan kesadaran pasti, yang menjadi sandaran adalah, seberapa jauh pengetahuan/kesadaran
pelaku tentang tindakan dan akibat yang merupakan salah satu unsur dari delik yang terjadi.
Cth: si A dengan sengaja menembak si B yang kebetulan sedang berdiri dibelakang kaca, kemudian ditembaklah,
kaca pecah dan si B mati, matinya si B adalah kesengajaan dengan maksud, dan pecahnya kaca adalah
kesengajaan dengan kesadaran pasti, karena si A sadar untuk membunuh si B kaca harus pecah dulu, kalau gak
pecah si B tidak mati.
 Kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan (kesengajaan bersyarat = dolus eventualis), yang menjadi sandaran
ialah sejauh mana pengetahuan/kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat terlarang yang mungkin akan
terjadi.
Cth: si A menembak si B dimana kebetulan si B sedang berdiri dengan C, ternyata pada saat A menembak B
yang kena si C dan C mati, maka matinya si C ini merupakan kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan,
karena si A sadar bahwa jika tidak kena si B ada kemungkinan kena si C.
Cth: si A hendak balas dendam kepada B dengan mengirimkan makanan/kue beracun ke rumah B dengan tujuan
membunuh B, si A tahu bahwa si B tinggal berdua dengan istrinya, ternyata yang makan kue beracun tadi
istrinya si B dan karena keracunan istri B mati, bahwa matinya istri si B adalah Kesengajaan dengan kesadaran
kemungkinan, karena A sadar adanya kemungkinan istri si B yang akan memakan kue beracun itu.
61. Kealpaan (Culpa), inti, sifat’s dan ciri’s :
 Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan ingatan/otaknya secara salah,
seharusnya menggunakan ingatan sebaik-baiknya tetapi tidak digunakan. Dalam kata lain melakukan suatu
tindakan (aktif/pasif) dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan.
 Pelaku dapat memperkirakan apa yang akan terjadi/sadar dengan apa yang dilakukan menimbulkan sesuatu,
tetapi merasa dapat mencegah/menghindari keadaan itu, dan tindakan itu tidak diurungkan/tetap dilakukan
sehingga menimbulkan suatu akibat.
 Cth: si A mengemudi mobil, ada anak’s didepan, dia merasa bahwa bisa menghindari anak’s itu, dan dia tidak
memperlambat laju mobilnya sehingga menabrak salah satu anak’s tersebut.
62. MvT dalam hal kealpaan, pada pelaku terdapat :
 Kekurangan pemikiran/penggunaan akal yang diperlukan
 Kekurangan pengetahuan/ilmu yang diperlukan
 Kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan
63. Gradasi kealpaaan menurut kecerdasan/kekuatan ingatan pelaku :
 Kealpaan yang berat/kulpa lata = dihubungkan dengan delik - kejahatan pada umumnya
 Kealpaan yang ringan/kulpa levis = dihubungkan dengan delik – pelanggaran disamping kealpaan berat.

64. Gradasi kealpaan menurut sudut kesadaran :


 Kelapaan yang disadari = pelaku dapat memperkirakan/membayangkan akan timbulnya suatu akibat.
 Kealpaan yang tidak disadari = bilamana pelaku tidak dapat memperkirakan akan timbulnya suatu akibat.
65. Het Strafbare Feit dalam bahasa indonesia :
- Perbuatan yang boleh/dapat dihukum - Perbuatan pidana
- Peristiwa pidana - Tindak pidana
- Delik
66. Unsur’s tindak pidana : S,K,B,T, dan W,T,K
- Subjek - tindakan dilarang/keharusan
- Kesalahan - waktu, tempat dan keadaan
- Bersifat melawan hukum
67. Tindak pidana adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu, tempat dan keadaan tertentu yang
dilarang/diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang’s, bersifat melawan hukum serta dengan kesalahan
dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.
68. Tindak pidana berdasarkan rumusannya :
 Tindak pidana formil => tindak pidana yang hanya merumuskan unsur’snya saja tidak mempersoalkan akibat
dari tindak pidana itu. Cth: pasal 362 TP pencurian sdh terjadi, tdk dipersoalkan lgi korban pncriannya rugi atau
tidak.
 Tindak pidana materiil => tindak pidana yang selain merumuskan unsur’snya harus menimbulkan suatu akibat
dari tindak tersebut sehingga tindak pidana itu sempurna/voltooid. Cth: pasal 338 pembunuhan, matinya si
korban.
69. Tindak pidana berdasarkan Cara melakukan :
 Delik Komisi => tindakan aktif yang dilarang bagi pelanggar diancam dengan pidana.
 Delik Omisi => tindakan pasif/yang diharuskan jika tidak melakukannya diancam dengan pidana.
70. Tindak pidana berdasarkan penuntutannya :
 Delik Aduan => tindak pidana itu baru dapat dituntut jika ada pengaduan dari orang yang mempunyai hak untuk
mengadu dalam UU.
 Delik yang dapat dituntut karena jabatan => delik ini tanpa adanya pengaduan dapat dituntut.
71.

Anda mungkin juga menyukai