1. Pengertian hukum di indonesia terdapat perbedaan diantara para sarjana dan sampai dgn saat ini belum ada kesatuan
pendapat, karena dimensi hukum sangat luas dan batasannyapun tergantung dari sudut pandang masing’s kepada
hukum.
Hukum adalah sekumpulan peraturan yg mengatur berbagai tata kehidupan/tingkah laku manusia dgn manusia,
manusia dgn lingkungan, manusia dgn alam, baik tertulis maupun tdk tertulis yang dibuat oleh lembaga yang
berwenang dan disertai sanksi yang tegas bagi pelanggarnya.
2. Pembagian hukum dri berbagai segi :
a. Hukum tdk tertulis (hk adat dsbt jga hk kebiasaan yaitu k’ntuan yg lazim dptuhi msy wlaupun tdk trtulis) di
samping yg tertulis (sbgian besar sdh brupa per-uu didlamny mngandung k’ntuan hk yg dbuat o/ lembaga yg
berwenang)
b. Hukum Filsafat (ius constituendum/dicita’skan) di samping hukum positif (ius constitutum/masa kini)
c. Hukum publik di samping hukum perdata
d. Hukum subjektif di samping hukum objektif KUHP
e. Hukum material di samping hukum formil HP. Materil KUHPM
HP. Obyektif UU Tipidsus
hukum pidana HP. Formil KUHAP
Hukum Publik hukum tata negara HP. Subyektif UU 31/97
3. * (Pohon Hukum) hukum adm/htn/hk tata Pemerintahan
Hukum Privaat
4. Kaitan hukum adat dengan asas legalitas => menurut UU selama tidak bertentangan dengan jiwa pancasila masih
terus berlaku dan diakui sebagai hukum adat. UUD NRI tahun 1945 pasal 18b bahwa ”negara mengakui dan
menghormati kesatuan’s masyarakat hukum adat beserta hak’s tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat serta prinsip NKRI”.
Korelasi Hukum adat dengan hukum pidana => UU Darurat No 1 Tahun 1951 pasal 5 ayat 3 huruf b “bahwa
hukum adat meskipun tidak diatur dalam hukum positif namun hukum adat dapat diberlakukan tetapi dengan
batas pemidanaannya dibatasi, kurungan tidak lebih dari 3 bulan/denda pengganti tidak lebih dari 500 ribu
sepanjang saksi adat tidak terlaksana.
UU No 14 tahun 1970 => UU No 35 tahun 1999 => UU No 4 tahun 2004 => UU No 48 tahun 2009 pasal 5 ayat
1 tentang kekuasaan kehakiman, hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai’s
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
5. *Prinsip/Dasar Pengertian Hukum Pidana
1. Bagian dr hukum positif yg berlaku di suatu negara dgn memperhatikan waktu, tempat, dan bagian penduduk,
yg memuat dasar’s dan ketentuan’s mengenai tindakan larangan (delik komisi) atau tindakan keharusan (delik
omisi) (kriminal x)
2. Kpd pelanggarnya diancam dgn pidana, menentukan pula bilamana dan dalam hal apa pelaku pelanggaran
tersebut dipertanggungjawabkan (kriminal responsibility)
3. Serta ketentuan’s mengenai hak dan cara penyidikan, penuntutan, penjatuhan pidana, dan pelaksanaan pidana
demi tegaknya hukum yang menitik beratkan pd keadilan (kriminal prosedur)
Cth : Delik Omisi (tndkan keharusan), pasal 224 keharusan jdi saksi, pasal 531 mmberi prtolongan kpd org yg
dlm keadaan bahaya.
Delik Komisi (tndkan dilarang), pasal 338 dilarang membunuh, pasal 362 dilarang mencuri.
hukum pidana lebih berat sanksi pidananya dri pd hukum yg lainnya karena hukum pidana berkaitan dgn hak
subyektif negara (hak untuk menegakkan hukum obyektif (kuhap))
6. *perbandingan, hukum publik (ciri-ciri) hukum privaat
Mengatur kepentingan umum mengatur kepentingan pribadi/perorangan
Kedudukan subyek tidak sederajat (negara kedudukan subyek/para pihak sederajat/sama
lebih tinggi dari pada WN karena negara
memiliki Hak Subyektif/mengatur
Ditegakkan oleh negara ditegakkan oleh pribadi
Ius speciale (m’gtur kpntgn umum yg khusus) Ius Commune (m’gtur kpntgn umum)
7. Hukum pidana bukan hukum publik (van kan, paul scholten, logeman, lemaire dan utrecht)
hukum pada pokoknya tidak mengadakan norma baru, melainkan norma dan sanksi hukum pidana telah ada
sebelumnya , tetapi sanksinya sudah tidak seimbang lagi, sehingga dibutuhkan sanksi pidana yang lebih tegas
dan lebih berat.
Tindak pidana tertentu harus ada delik aduan.
2 alasan tsb di atas menunjukkan bahwa hukum pidana tidak bersifat hukum publik.
8. Hukum Pidana Subyektif (ius puniendi) => hak dari penguasa/negara untuk melaksanakan ketentuan’s dalam hukum
pidana obyektif dari mengadakan penyidikan, menjatuhkan pidana sampai dengan pelaksanaan putusan pidana.
Hukum pidana Obyektif (ius poenali) => seluruh garis hukum tentang tingkah laku yang diancam dengan pidana,
jenis dan macam pidana serta bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan dan dilaksanakan pada waktu tertentu dan
dalam batas daerah hukum tertentu.
9. Hukum Pidana Materiil => hukum yang berisikan norma dan sanksi hukum pidana serta ketentuan’s umum yang
membatasi, memperluas atau menjelaskan normat dan pidana tersebut.
Hukum Pidana Formal => garis hukum yang menjadi dasar bagi penegak hukum dan keadilan dalam menjalankan
kewajibanya untuk menyidik, menuntut, menjatuhkan dan melaksnanakan ketentuan’s hukum pidana materiil.
10. ARIESTOTELES bahwa manusia merupakan ZOON POLITICON yaitu manusia sebagai makhluk sosial yang
dalam hidupnya mencari sesama manusia untuk hidup bersama dan mempunyai kebutuhan’s dan kepentingan’s,
sehingga atas dasar itu timbul hubungan pergaulan antar sesama manusia yang tidak lepas dari kepentingan’s dan
kebutuhan’s tersebut. Dalam hubungan peragulan tersebut kepentingan’s dan kebutuhan’s mereka tidak selalu
seirama/sejalan, bahkan sering bertabrakan dan pada dasarnya manusia tidak suka dirugikan. Maka dari itu perlu
adanya ketentuan’s yang mengatur bagaimana seharusnya tingkah laku seseorang anggota masyarakat dalam
berhubungan/bergaul sesamanya, dan sedikit/banyak bersifat memaksa tergantung kesadaran dan keinginan bersama
dalam suatu masyarakat ketentuan ini disebut dengan norma/kaidah.
11. Macam-macam Norma :*
Norma keagamaan => norma’s yang ada pada suatu ajaran agama dan diakui oleh pemeluk agama yang
bersangkutan sebagai firman Tuhan. Orang’s terdorong untuk mentaati dan melaksanakan karena keyakinan akan
pahala dan sebaliknya akan dosa di akhirat.
Norma kesusilaan => ketentuan’s mengenai bertingkah laku (baik/jahat) dalam hubungan antar sesama manusia
dalam banyak hal yang didasarkan kepada “kata hati nurani” dan maksud dari kesusilaan ialah dalam arti luas
bukan hanya soal kebirahian/sex saja.
Norma kesopanan => aturan’s dalam suatu masyarakat tertentu tentang sopan santun dalam hubungan anggota’s
masyarakat itu sesamanya.
Norma hukum => ketentuan’s yang kompleks mengenai kehidupan dan penghidupan manusia dalam pergaulan
sehari-hari, yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu.
Nb : Norma hukum ada karena norma’s yang lain sanksinya kurang tegas dan belum langsung dirasakan oleh pelaku.
12. Cara merumuskan Norma
Menentukan unsur’s dari suatu tindakan terlarang/yang diharuskan => sering dijumpai dalam perumusan undang-
undang. Cth : pasal 224 ttg saksi yg tdk mmnuhi panggilan, pasal 281 ttg kejahatan kesusilaan.
Menyebut nama/Kualifikasi dari tindakannya saja. Cth : pasal 351 yang hanya menyebutkan “penganiayaan” saja.
Unsur’s dan nama/Kualifikasi sama’s disebutkan. Cth : pasal 378 ttg penipuan, pasal 372 ttg penggelapan.
13. Sanksi => pada umumnya adalah alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku
14. Tugas Sanksi : =>
Sebagai Preventif => merupakan alat pemaksa/pendorong/jaminan/pencegahan agar tidak terjadi serta agar norma
hukum ditaati oleh setiap orang.
Sebagai Refressif => apabila tidak dapat dicegah dan merupakan akibat hukum bagi seseorang yang melanggar
norma hukum.
15. Cara merumuskan Sanksi :
Dalam KUHP, umumnya tiap’s pasal juga pada ayat’s berisikan norma langsung diikuti dengan suatu sanksi.
Beberapa Hukum Pidana lainnya, pada pasal’s awal ditentukan hanya norma’snya saja, pada pasal’s akhir baru
sanksi dicantumkan. Cth : uu Ite, normanya pasal 27 ayat 3– sanksinya pasal 45.
16. Objek ilmu pengetahuan hukum pidana (IPHP) adalah asas’s dan peraturan’s hukum pidana.
Tugas IPHP adalah mempelajari dan menjelaskan (interpretasi) hukum pidana yang berlaku pada waktu dan tempat
tertentu dan norma’s dalam hubungan dengan pemidanaan.
17. Tujuan hukum pidana menurut Gustav Radbruch dalam bukunya vorschule der rechtfilosofie yaitu untuk mengetahui
obyektifitas hukum positif yang berlaku. Sedangkan menurut Hans Kelsen yaitu untuk mendapatkan tujuan hukum
positif secara murni, dengan cara jangan mencampurkan hukum dengan ideologi politik tertentu agar bisa
menciptakan hukum yang lebih baik yang dapat menjaga keseimbangan dalam masyarakat.
18. Cara melihat Hukum Positif yg Obyektif :
Melihat substansi hukum pidana yang mengatur tentang perbuatan’s yang dilarang/diharuskan, selain bersifat
rechsdelicten/delik’s yang ada dalam hukum (delik hukum yang semula dianggap suatu ketidak adilan jika
dilanggar, biasanya berasal dari norma agama dan kesusilaan) juga wetsdelicten/delik’s yang ada dalam per-uu
(delik’s yang dilihat oleh pembuat UU dari perkembangan masyarakat).
Melihat penegakkan hukum pidana itu sendiri,
Lawrence Friedman, melihat 3 aspek penegakkan hukum pidana :
1. Legal Substans => hukum formil dan materiil harus baik dan menjadi perhatian dalam penegakkan
hukum
2. Legal structur => Pelaku’s penegakkan hukum
3. Legal Culture => budaya hukum dimasyarakat itu sendiri
Biarpun hukumnya tegas tetapi penegak hukumnya memble maka tidak tercapai penegakkan hukumnya
artinya biarpun legal substansi/hukumnya tegas dan penting tetapi yang lebih penting legal
structurnya/yg menegakkan ketentuan’s itu (baik buruknya hukum itu tergantung yg menegakkannya).
Prof. Eddy Os. Hiarie, melihat 2 aspek penegakkan hukum pidana :
1. Aspek struktur => yaitu alat perlengkapan, ruang pengadilan, orang yang menegakkannya dan
peralatan’s terkait.
2. Aspek Infrastruktur => yaitu peraturan’snya, apa saja yang telah disiapkan terkait penegakkan hukum
misalnya SOP, hukum acaranya, dll
19. Tujuan Pidana menurut Mashab :
Mashab Klassik => tujuan hukum pidana adalah untuk menjamin/melindungi kepentingan hukum individu.
Mashab Modern => tujuan hukum pidana adalah untuk memberantas kejahatan agar terlindungi kepentingan
hukum masyarakat.
- Tujuan pidana Indonesia lebih tepat menggunakan mashab modern agar semua kepentingan baik
kepentingan negara, masyarakat dan individu, warga negara/penduduk indonesia diayomi dalam kesimbangan
yang serasi berdasarkan pancasila dan ini sejalan dengan tujuan pidana mashab modern.
20. Dasar Pemidanaan :
Tolak Pangkal Ke-Tuhanan (Thomas van Aquino)
Tidak boleh Pemidanaan atas rasa dendam dan pembalasan, melainkan karena pelaku telah berdosa. Negara
sebagai pembuat UU dimana Hakim atas kekuasaan dari Tuhan, dalam kebutuhan negara untuk mencapai
tujuannya yaitu kesejahteraan umum, negara selain berhak menentukan hukum juga berhak memkasa untuk
mentaati hukum dengan ancaman pidana.
Tolak Pangkal Falsafah (J.J. Rousseau)
Ada persetujuan fiktif antara rakyat dengan negara, dimana kekuasaan negara diberikan oleh rakyat dan setiap
warga negara menyerahkan sebagian dari hak asasinya untuk menerima imbalan perlindungan kepentingan
hukum dari negara, untuk itulah negara memperoleh hak untuk memidana.
Tolak Pangkal Perlindungan/Yuridis (Bentham, Van Hamel, dan Simmons)
Dasar pemidanaan karena penerapan pidana merupakan alat untuk menjamin ketertiban hukum.
21. Alasan Pemidanaan menurut Teori:
Teori Pembalasan (teori absolut) => membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak
pidana ibarat pepatah darah bersabung darah, nyawa bersabung nyawa.
Macam teori pembalasan :
1. Teori Pembalasan Tuntutan Mutlak (Immanuel Kant)
Pemidanaan adalah merupakan tuntutan mutlak dari kesusilaan terhadap seorang penjahat yang telah
merugikan orang lain. “Walaupun besok dunia kiamat, penjahat terakhir harus menjalankan pidananya.
2. Teori Pembalasan Bersambut (dialektis = Hegel)
Hukum adalah perwujudan dari kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah tantangan kepada hukum dan
keadilan. Untuk mempertahankan hukum kejahatan secara mutlak harus dilenyapkan dengan memberikan
ketidakadilan kepada penjahat.
3. Teori Pembalasan demi Keindahan/Kepuasan (aesthetisch = Herbart)
Merupakan tuntutan mutlak dari perasaan ketidakpuasan masyarakat, sebagai akibat dari kejahatan untuk
memidana penjahat.
4. Teori Pembalasan sesuai ajaran Tuhan (agama = Stahl, Gewin dan Thomas Aquino)
Kejahatan adalah pelanggaran terhadap prikeadilan tuhan dan harus ditiadakan. Oleh karena itu mutlak harus
diberikan penderitaan kepada penjahat, demi terpeliharanya prikeadilan Tuhan, dengan cara melalui
kekuasaan yang diberikan oleh Tuhan kepada penguasa negara.
5. Teori Pembalasan sebagai Kehendak Manusia (J.J. Rousseau, Hugo de Groot, Grotius Beccaria)
Merupakan tuntutan alam bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan dia akan menerima sesuatu yang jahat.
Teori Tujuan Relatif => membenarkan pemidanaan berdasarkan kepada tujuan pemidanaan yaitu untuk
perlindungan masyarakat/pencegahan terjadinya kejahatan.
Teori ini dibagi sebai berikut :
1. Pencegahan terjadinya suatu kejahatan dengan mengadakan ancaman pidana yang cukup berat untuk
menakut-nakuti calon’s penjahat. Paul Anselm van Feuerbach (teori Vom Psychologischen Zwang) bahwa
hanya dengan mengadakan ancaman pidana saja tidak akan memadai, melainkan diperlukan penjatuhan
pidana kepada penjahat.
2. Perbaikan/pendidikan bagi penjahat berupa pidana agar ia kelak dapat kembali ke lingkungan masyarakat
dalam keadaan mental yang lebih baik dan berguna.
3. Menyingkirkan Penjahat dari lingkungan masyarakat dengan cara kepada penjahat yang kebal akan ancaman
pidana berupa usaha menakuti, supaya dijatuhkan perampasan kemerdekaan yang cukup lama, bahkan jika
perlu dengan pidana mati. (Ferri dan Garofalo)
4. Menjamin Ketertiban Hukum dengan cara mengadakan norma’s yang menjamin ketertiban hukum. Kepada
pelanggar norma akan dipidana oleh negara.
Teori Gabungan (Binding) => mendasarkan pemidanaan kepada perpaduan teori pembalasan dengan teori tujuan,
dimana penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan, baik bagi hakim, penjahat dan masyarakat
serta harus ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan kejahatan yang dilakukan. (restoratif justice).
22. Urut-Urutan Penafsiran :
Penafsiran secara otentik, yaitu mencari pada pasal’s undang’s; (kuhp dalam bab IX buku I)
Penafsiran menurut penjelasan undang’s (memorie van toelichting);
Penafsiran sesuai dengan jurisprudensi;
Penafsiran menurut doktrin, ada sembilan yaitu sebagai berikut:
Penafsiran menurut tata bahasa (grammaticale interpretatie) adalah penafsiran menurut tata bahasa yang
memberikan arti kepada suatu istilah atau perkataan sesuai dengan tata bahasa.
Penafsiran secara sistematis adalah apabila suatu istilah atau perkataan dicantumkan dua kali dalam satu
pasal atau pada suatu undang-undang, maka pengertiannya harus sama pula.
Penafsiran mempertengtangkan adalah menemukan kebalikan dari pengertian suatu istilah yang sedang
dihadapi.
Penafsiran memperluas (extensieve interpretatie) adalah memperluas pengertian dari suatu istilah berbeda
dengan pengertiannya yang digunakan sehari-hari. Perluasan kata dari ketentuan suatu peraturan yang belum
jelas menjadi luas namun tidak terlalu jauh.
- Cth : listrik dapat dikatakan benda mati karena berada dalam kabel.
Penafsiran mempersempit adalah mempersempit pengertian dari suatu istilah.
Penafsiran historis adalah dengan mempelajari sejarah pembuatan undang-undang yang bersangkutan akan
ditemukan pengertian dari suatu istilah yang sedang dihadapi (sejarah = peristiwa masa lalu yang memiliki
korelasi dengan keadaan sekarang).
Penafsiran teleogis adalah mencari tujuan atau maksud dari suatu peraturan perundang-undangan dibentuk
untuk mempercepat proses penyelesaian suatu perkara khusus.
Penafsiran logis adalah mencari pengertian dari suatu istilah atau ketentuan berdasarkan hal-hal yang masuk
akal. Cara ini tidak banyak dipergunakan.
Analogi adalah memperluas cakupan atau pengertian dari ketentuan undang-undang tentang sesuatu hal
dengan mencari pengertian di luar undang-undang yang kemudian disamakan dengan ketentuan undang-
undang sehingga yang tidak ada dalam undang-undang menjadi ada. Analogi untuk menguraikan unsur
masih boleh untuk memperjelas ini tindak pidana atau bukan, tetapi untuk memidana suatu perkara jangan
atau tidak dibolehkan.
Cth : arus listrik dapat dikatakan sebagai benda mati,kemaluan perempuan disamakan dengan barang.
23. Dilarang analogi pada pasal 1 kuhp (asas legalitas)
Menghindari kesewenang-wenangan dalam memidana suatu perkara dan menghindari menciptakan hukum
tersendiri agar tidak digunakan untuk melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan’s/tindakan’s yang belum tentu
itu merupakan perbuatan/tindak pidana
Agar adanya kepastian hukum
24. Alasan diperbolehkan Penafsiran
Hukum tertulis tidak dapat dengan segera/tertatih-tatih mengikuti perkembangan manusia/zaman , bersifat kaku
dan ketinggalan (Het Recht Hink Achter De Feiten Aan) untuk itu dibutuhkan penafsiran.
Ketika hukum tertulis dibentuk mengenai sesuatu hal yang diatur karena tidak menjadi perhatian pembentuk UU,
mucul kemudian perkembangan makna yang baru setelah UU dibentuk, maka diperlukan penafsiran.
Keterangan yang menjelaskan arti beberapa istilah (seperti Kuhp bab IX buku I) tidak mungkin
merumuskan/menjelaskan seluruh istilah/kata’s yang penting dalam pasal.
Seringkali norma hukum dirumuskan sangat singkat dan bersifat sangat umum sehingga kurang jelas maksud dan
tujuannya
Karena ada ketentuan Lex Sripta => hukum pidana harus tertulis tetapi tidak boleh berbelit’s dan harus
sedemikian efektif dan efisien serta mudah dipahami dan implementatif.
25. Keadilan dan kepastian hukum itu bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, 1 sisi menghendaki
keadilan – 1 sisi menghendaki kepastian hukum. Jika diutamakan keadilan maka akan terjadi proses
pemilihan/disparitas penjatuhan pidana yang beragam. Boleh ada keadilan dan kepastian hukum tetapi harus ada
manfaatnya.
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU
Pasal 1 KUHP
(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam per-UU yang telah ada sebelum
perbuatan itu dilakukan => Asas Legalitas (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali)
(2) Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam per-UU, dipakai aturan yang paling ringan bagi
terdakwa.
26. Asas-Asas yang terkandung dalam pasal 1 ayat 1 :
Hukum pidana berdasarkan peraturan’s tertulis (UU dalam arti luas)
Ketentuan pidana tidak berlaku surut (asas non rektroaktif)
Dilarang menggunakan analogi
- Cth : Kasus Amrozi saat bom bali, uu terorisme blom ada, kemudia di undangkan uu terorisme, dia tidak
bisa dikenakan uu terorisme karena tidak berlaku surut, jadi hanya kena kuhp pasal pembunuhan
berencana.
27. Pasal 1 ayat 2 ini merupakan pengecualian terhadap asas tidak berlaku surut (Non Retroaktif)
(Adagium) tidak ada suatu peraturan yang tanpa pengecualian “there is no rule without exception”
28. Pasal 1 ayat 2 harus memenuhi syarat:
Harus ada perubahan Per-UU mengenai suatu tindakan
Perubahan terjadi setelah tindakan dilakukan
Peraturan yang baru lebih menguntungkan atau meringkan pelaku tindakan tersebut