Anda di halaman 1dari 11

Nama : SOFIAN TEOJUI BUULOLO

NIM : 10302200065
Program : DOKTOR ILMU HUKUM

LEMBAR JAWABAN

1. Pertentangan asas legalitas formil dan materiiil dapat dikaji dari dua hal, pertama, secara
teoritis, kedua, secara Ius Constituendum. Secara teoritis, berdasarkan makna asas legalitas
bahwa dasar menentukan suatu perbuatan pidana harus berdasarkan pada suatu peraturan
perundang- undangan yang sudah ada sebelumnya, dan dilarangnya pemidanaan terhadap hukum
yang tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP yang merupakan asas
legalitas formil, yang menghendaki suatu perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai
perbuatan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan
tersebut dilakukan. Hal ini bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) merupakan asas legalitas
materiel, yang menghendaki bahwa meskipun suatu perbuatan tidak diatur dalam peraturan
perundangan-undangan, tetapi berdasarkan hukum yang hidup bahwa perbuatan tersebut adalah
perbuatan yang terlarang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat itu, maka perbuatan
tersebut patut dipidana. Secara Ius Constituendum atau hukum yang dicita-citakan yang akan
datang, masih terdapat pertentangan. Meskipun asas legalitas formil disimpangi atau ada
pengecualian dengan memasukan asas legalitas materiel (Pasal 2 ayat (1)) sebagai penyeimbang
asas legalitas formil, namun dengan pemidanaan terhadap hukum pidana

adat yang menjadi wewenang mutlak dari negara, dengan memperhatikan sifat dari hukum
pidana adat itu, maka secara implisit akan membawa pandangan dan pemikiran orang Indonesia
yang tidak terlalu formalistik menuju pada pemikiran yang formalistik dan serba kaku. Selain itu,
pemidanaan terhadap hukum yang hidup atau hukum yang tidak tertulis dalam masyarakat
seyogyanya diberikan kewenangan terlebih dahulu terhadap lembaga adat, tokoh adat, dan
masyarakat adat dan pemidanaan yang dilakukan oleh lembaga negara hanya bersifat ultimum
remedium atau sebagai sarana terakhir. Dengan demikian penyimpangan terhadap asas legalitas
tidak terlalu jauh, sumber hukum utama tetap berpegang pada asas legalitas formil dan asas
legalitas materiel tetap mendapat ruang dalam RUU KUHP. Dengan dianutnya asas legalitas
materiel diteruskan dengan dianutnya ajaran sifat melawan hukum materiel dalam fungsi yang
negatif, dan sifat melawan hukum materiel dalam fungsi positif. Namun, pengertian/batasan
tindak pidana adat tidak mendapat ruang dalam Buku Kesatu RUU KUHP

2. Pertama, kepastian yang berarti bahwa kepastian merupakan tuntutan hukum, ialah supaya
hukum menjadi positif dalam artian berlaku dengan pasti. Hukum harus ditaati, dengan
demikian hukum sungguh- sungguh positif (Notohamidjojo:2012:33). Hal ini berarti kepastian
hukum ditujukan untuk melindungi kepentingan setiap individu agar mereka mengetahui
perbuatan apa saja yang dibolehkan dan sebaliknya perbuatan mana yang dilarang sehingga
mereka dilindungi dari tindakan kesewenang-wenangan pemerintah.

Kedua, kemanfaatan yang diartikan sebagai tujuan hukum yang harus ditujukan pada sesuatu
yang berfaedah atau memiliki manfaat. Hukum pada hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan
kesenangan atau kebahagiaan bagi orang banyak (Sudikno:2008:80). Bahwa negara dan hukum
diciptakan untuk manfaat sejati yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.

Ketiga, keadilan yaitu suatu kondisi dimana kasus yang sama diperlakukan secara sama. Adapun
keadilan sangat berhubungan dengan hati nurani. Keadilan bukan tentang suatu definisi yang
formal karena ia berhubungan erat dengan kehidupan manusia sehari- hari. Hati nurani ini
memiliki posisi yang sangat tinggi karena berhubungan dengan rasa dan batin yang paling
dalam. Terhadap keadilan, Radbruch menyatakan: ”Summum ius summa inuiria” yang berarti
keadilan tertinggi adalah hati nurani. Radbruch punya penekanan dan mengoreksi
pandangannya sendiri, bahwa cita hukum tidak lain daripada keadilan.

3. Ketika dalam memasuki ruang persidangan, maka para pihak akan melihat majelis hakim atau
hakim tunggal yang telah duduk dihadapannya. Bertanya siapa kah mereka berpakaian toga
dengan simare berwarna hijau tersebut. Hakim menurut bahasa ialah orang yang bijaksana atau
orang yang memutuskan perkara dan menetapakannya kemudian pengertian selanjutnya hakim
adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
Dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa hakim adalah penegak hukum
dan keadilan yang wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dimasyarakat. Dengan demikian, hakim sebagai pejabat Negara yang diangkat oleh kepala
Negara sebagai penegak hukum dan keadilan yang diharapkan dapat menyelesaikan
permasalahan yang telah diembannya menurut Undang-Undang yang berlaku.

Hakim sebagai pelaksana hukum mempunyai kedudukan yang sangat penting sekaligus
mempunyai beban yang sangat berat. Dipandang penting karena melalui hakim akan tercipta
produk-produk hukum. Diharapkan dari produk hukum ini dapat mencegah dan meninimalisasi
segala bentuk kezalimana sehingga terjaminnya ketenteraman masyarakat. Oleh sebab itu
hakim merupakan profesi yang mulia, seorang hakim dituntut untuk menjalankan Kode Etika
Profesi Hakim Indonesia sebagai bukti profesionalisme.

4. Hukum Islam Progresif dapat dilakukan melalui pengarusutamaan ijtihad, baik berupa
penafsiran (interpretasi) maupun penemuan (konstruksi) hukum dan atau melalui metode
istinbath hukum atau dengan ittiba’ (mengikuti) pendapat ulama. Penggunaan metode ini
dilakukan dalam rangka untuk memberikan solusi atas permasalahan masyarakat yang tidak
mampu dijawab oleh Kompilasi hukum Islam maupun hukum nasional yang berlaku melalui
jawaban keadilan. Di Pengadilan Agama Kasongan, perkara-perkara yang bersifat contra legem
bersifat kasuistik dan tidak semua perkara dapat diperlakukan secara sama. Namun pada
pokoknya, Hakim harus meneliti perkara-perkara tersebut secara rinci untuk kemudian dapat
diputuskan akankah mengikuti aturan perundang-undangan atau melakukan penafsiran atau
pembentukan hukum baru. Hal tersebut dilakukan semata-mata untuk memenuhi nurani
keadilan dan memberikan kemanfaatan kepada masyarakat.

5. tindak pidana merupakan kejahatan pembunuhan yang telah merencanakan pembunuhan


yang akan dilakukan kepada seseorang yang didahului oleh rencana pembunuhan terlebih
dahulu dalam tindak pidana tersebut harus terdapat unsur-unsur yang dipenuhi terlebih
dahulu, yakni seperti adanya pemutusan terhadap suatu kehendak dengan sebuah jarak waktu
dan adanya pelaksanaan tertentu yang telah direncanakan di awal.Dalam kasus Obstruction of
Justice ini diwujudkan dalam bentuk perbuatan yang menghilangkan barang yang sudah
digunakan dalam melakukan perencanaan pembunuhan, tindak pidana yang telah terjadi dan
menghancurkan, merusak barang bukti hingga tidak bisa dipakai. Hal mengenai kasus
perintangan penyelidikan ini telah diatur dalam pasal 221 KUHP dan Pasal 223 KUHP. Peraturan
perintangan penyelidikan ini menjadi sebuah alternatif dengan menyelaraskan sebuah hukum
dalam kehormatan para korban serta mencegah adanya kriminalisasi terhadap penghambat
suatu hukum.Meskipun banyak peraturan yang menjadi pedoman dan pilihan bagi penegakan
keadilan, namun terkait dengan tindak pidana pembunuhan berencana, khususnya pelaku
Obstruction of Justice belum berjalan secara optimal.. Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena
banyaknya unsur Obstruction of Justice yang masih belum ditelaah lebih jauh oleh aparat
penegak hukum terlebih pastinya para terdakwa mengakui bahwa melakukan tindak pidana
pembunuhan berencana tanpa maksud, hanya mengikuti perintah atasan sehingga agak sulit
untuk langsung menjatuhkan terdakwa sebagai Obstruction of Justice. Meskipun regulasi
batasan dalam kode etik Polri tidak jelas tetapi tetaplah perlu adanya ketegasan dari sanksi
pidana untuk menjerat Para Polri yang melakukan Obstruction of Justice dalam pasal
pembunuhan berencana.

6. ertama, dari segi penerapannya sebagai berikut: Dalam teori hierarki norma (stufenttheorie)
kita belajar bahwa setiap norma hukum yang berlaku itu ada penyebabnya atau ada yang
mevalidasi berlakunya suatu norma tertentu. Sebab berlakunya suatu norma tertentu tersebut
dijawab adanya norma yang lebih tinggi; demikian seterusnya sampai kepada suatu sebab yang
paling tinggi. Sebab paling tinggi inilah yang disebut Hans Kelsen sebagai grundnorm. Dengan
asumsi demikian saya meyakini bahwa teori hierarki norma yang dibangun oleh Hans Kelsen
dibangun dengan mengadopsi hukum sebab-akibat. Tentu itu hanya asumsi, yang dapat
menjawab dengan pasti hanyalah Hans Kelsen itu sendiri.

Kedua, dari pernyataan Hans Kelsen sendiri menyatakan bahwa grundnorm itu sebagai
transcendental logical presupposition (Kelsen, 1967, h. 201). transcendental atau transendensi
dalam bahasa Indonesia itu berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya metafisika atau suatu
hal yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera. Sedangkan logical presupposition adalah
anggapan yang logis. Dengan kata lain, izinkan saya mengartikan transcendental logical
presupposition sebagai suatu hal yang abstrak-tidak dapat diindera-namun dapat diterima oleh
nalar. Adakah contohnya sesuatu yang tidak dapat diindera namun keberadaannya dapat
diterima oleh akal/nalar? Ada, contohnya keberadaan Tuhan. Ketika kita mendapati pertanyaan
apakah Tuhan itu benar-benar ada? Panca indera kita (mata) tidak akan mampu melihat Tuhan
namun keberadaan Tuhan dapat dibuktikan dengan akal.

Salah satu argumen yang digunakan untuk membuktikan keberadaan Tuhan dengan akal
adalah: Bahwa alam ini dari tidak ada menjadi ada. Berarti alam ini dari tidak ada menjadi ada
pasti ada yang mengadakan. Nah yang mengadakan itulah disebut sebagai Tuhan. Karena
Tuhan disebut sebagai penyebab segala sesuatu yang ada di alam ini maka dia dinamakan
“sebab tertinggi”; “sebab dari segala sebab”; musabibul asbab; atau causa prima. Jika anda
belajar Ilmu Kalam maka anda akan mendapati tulisan-tulisan yang menyebutkan bahwa Tuhan
itu bukan Allah namun Tuhan adalah Sebab Tertinggi. Kenapa demikian? karena tujuan dari
ilmu kalam adalah mencari kebenaran keberadaan Tuhan lewat argumentasi rasional bukan
lewat wahyu yang dibawa para nabi.

Kembali kepada grundnorm, ketika Hans Kelsen mengatakan grundnorm sebagai suatu hal yang
sifatnya itu transcendental tapi dapat diterima oleh nalar sebagai logical sense (Kelsen, 1967, h.
226). Saya jadi teringkat hukum kausalitas di atas, sehingga berkesimpulan bahwa Hans Kelsen
seolah ingin mengatakan bahwa keberadaan grundnorm memang abstrak?yang tidak mampu
ditangkap oleh panca indera?namun akal sehat kita pasti meyakini bahwa segala sesuatu itu
butuh sebab. Nah sebab paling utama atau sebab superior dalam pandangan Hans Kelsen
disebut grundnorm.

Hans Kelsen ingin membangun suatu logika yang mengatakan bahwa norma yang lebih rendah
itu pasti bersumber (bersebab) kepada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih rendah ada
sebagai akibat dari suatu sebab norma yang lebih tinggi. Dalam bahasa Hans Kelsen
keberlakuan norma lebih rendah tersebut mendapatkan daya laku atau validitasnya dari norma
yang lebih tinggi. Logika tersebut berpuncak kepada validitas terakhir/tertinggi yaitu
grundnorm, sebagai norma tertinggi atau sebab tertinggi dalam dunia hierarki norma hukum.

7. Beberapa persoalan dapat menjadi kendala untuk mewujudkan putusan berkualitas dalam
proses penegakan. hukum oleh badan peradilan, karena "menegakkan hukum berarti
menegakkan Undang-Undang; namun menegakkan hukum tidak sama makna dengan
menegakkan keadilan".

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Bagaimanapun hukumnya itulah yang harus
berlaku, dan harus dilaksanakan serta tidak boleh menyimpang. Demikian menurut adagium
fiat justicia et pereat mundus (meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan), atau lex dura
sedtamen scripta (hukum adalah keras, dan memang itulah bunyinya atau keadaannya, semua
itu demi kepastian di dalam penegakannya).Dengan cara demikian, maka ada kepastian hukum
dan kepastian hukum akan menciptakan tertib masyarakat, karena menurut Prof. Sudikno
Mertokusumo tujuan hukum adalah menciptakan kepastian hukum demi ketertiban masyarakat
(Sudikno, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, 1993: 1¬2).

Demi kepastian hukum itulah maka ada yang berpendapat menegakkan hukum sama artinya
dengan menegakkan Undang-Undang. Pendapat ini dipengaruhi oleh pandangan bahwa hukum
tidak lain dari rangkaian norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan. Kondisi ini
tidak salah karena sistem hukum positif kita menganut atau dipengaruhi oleh sistem hukum
Belanda yang sudah terbiasa dengan sistem tertulis, dan atas dasar konkordansi sistem hukum
yang dibangun oleh negara indonesia memang menganut sistem hukum tertulis.Kondisi inipun
tidak salah karena paham hukum tertulis sangat dipengaruhi oleh positivisme hukum yang
memandang hakekat hukum tidak lain dari pada norma-norma positif dalam sistem perundang-
undangan (Anthon F.Susanto, dalam Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum, 2008: 11).
Pandangan tentang hukum yang demikian itu, menurut Prof. Satjipto Rahardjo lalu menjadi
bersifat optik perskriptif, yaitu memandang hukum hanya sebagai sistem kaidah yang
penganalisisnya terlepas dari landasa kemasyarakatannya. dengan kata lain, ilmu hukum hanya
dipandang sebagai sebuah eksemplar normologi saja untuk menghasilkan pola "problem
solving" yang hanya menciptakan kemahiran sebagai tukang, yakni ahli-ahli hukum yang mahir
menafsirkan dan menerapkan hukum positif (Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan IImu-ilmu Sosial
Bagi Pengembangan IImu Hukum.

8. Dari uraian tersebut dapat dirumuskan beberapa simpulan dari Teori Hukum dalam
perspektik hukum progresif dari Prof Satjipto Rahardjo, sebagai berikut : Pertama, Pemahaman
hukum positivis berangkat dari pandangan bahwa hukum tidak berasal dari Tuhan atau alam,
melainkan dari manusia sendiri berdasarkan. kemampuannya untuk merumuskan ketentuan
hukum. Positivis memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral.
Hukum. bercirikan rasionalistik, teknosentrik, dan universal. Dalam kaca mata positivis tiada
hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivis legalisme menganggap bahwa hukum
identik dengan undang-undang. Hukum dipahami dalam perspektif yang rasional dan logik
keadilan hukum bersifat formal dan prosedural. Dalam positivis, dimensi spiritual dengan segala
perpektifnya seperti agama, etika dan moralistas diletakkan sebagai bagian yang terpisah dari
satu kesatuan pembangunan peradaban modern. Hukum modern dalam perkembangannya
telah kehilangan unsur yang esensial, yakni nilai-nilai spiritual. Kedua, Pospositivisme secara
umum dapat dikatakan sebagai reaksi atau gugatan terhadap positivisme. Pospositivis
mempunyai ciri dekonstruktif, relatifis, dan pluralis. Pada pemahaman hukum pospositivisme,
spiritualisme dapat dipahami dalam berbagai makna sebagai spirit (ruhaniyah) yang berkaitan
dengan substansi ajaran agama dan hal- hal yang berhubungan dengan etika dan moral.
Ketiga, Terdapat kecenderungan kuat untuk memahami hukum tidak hanya dipandang dari segi
normatif yang positivis, tapi lebih dari itu hukum harus dilihat dalam wajah yang utuh
menyuruh. Kajian seperti itu mulai terasa dan mendapat tempat alam post positivis. Upaya
untuk mengkaji dan memahami hukum harus lebih menekankan hal yang sifatnya substantif
dan transendental dengan mendasarkan pada fakta sosial yang tidak lepas dari nilai-nilai
agama, etik dan moral, tetapi tanpa mengenyampingkan keritisan sebuah teori yang ditawarkan
sebagai iktihad manusia.
Keempat, Filsafat emergence, yang menawarkan cara-cara untuk melengkapi karya- karya para
ilmuwan yang ada sebelumnya, dengan menunjukan cara baru bagaimana sains, filsafat dan
teologi dapat saling berhubungan secara harmonis. Mendialogkan antara iman dan sains,
hukum wahyu dan hukum dunia menjadi penting, sekalipun barangkali masih belum diperoleh
titik temu. Dialog nilai merupakan sumbangan pemikiran yang amat menjanjikan di masa
mendatang itulah ilmuwan perlu merekonstruksi konsep-konsep yang ditawarkan dalam
tataran keilmuan, termasuk didalammnya ilmu hukum.
Kelima, Upaya untuk mendiskusikan kembali secara intens dan mendalam persoalan hukum,
agama, etik dan moral menjadi teramat penting. Kegiatan seperti itu dapat membuktikan
bahwa sesungguhnya tidak lagi diperlukan ketegangan antara kepercayaan kepada Tuhan
dengan ilmu hukum. Melalui upaya seperti itu dapat memperlihatkan bahwa kepercayaan
kepada Tuhan sesungguhnya akan mendukung hasil-hasil pengembangan ilmu hukum itu
sendiri, dan kepercayaan kepada Tuhan merupakan jawaban atas pertanyaan mendasar yang
diajukan ilmuwan, tetapi tidak dapat dijawab olehnya.Percaya disini adalah dimaksudkan
selaras dengan konsep sunatullah baik yang ada di hamparan alam semesta maupun yang ada
pada diri manusia yang juga berlaku bagi dirinya sunatullah-Nya.
Keenam, Patut direnungkan dan perlunya pergeseran paradigmatik, teoritik, praktis, bahwa
pola pikir positivisme abad 19 masih membelenggu para penstudi hukum dan para penegak
hukum di Indonesia, tetapi ke depan apabila pola pikir ini tetap dipertahankan secara terus
menerus tanpa perbaikan citra penegakan hukum itu sendiri dan para penstudi hukum serta
para pelaku penegak hukumnya, maka akan terjadi dekontruksi positivis menuju
postpositivisme dengan wajah baru, yaitu Pospositivis Spiritualisme sebuah konsep teori hukum
yang seharusnya berpatokan dan atau menselaraskan pada nilai-nilai moral, etika dan agama,
sehingga teori hukum dan penegakan hukum akan bergeser pada konsep teori hukum dan
penegakan hukum yang bersifat progresif dan merupakan sebuah solusi tawaran alternatif abad
21 dalam mencari akar jejak penegakan. hukum dan teori hukum di Indonesia. Itulah yang
penulis maksudkan rancang bangun teori yang membumi (Grounded Theory) yang dalam
konteks Indonesia adalah konsep hukum yang berdasarkan pada Paradigma Ideologi Pancasila
atau penulis sebut sebagai Paradigma Pancasila "Berhawaf".
Ketujuh, Politik Hukum di Indonesia sesungguhnya berbanding lurus dengan perkembangan
ilmu hukum itu sendiri yang hingga saat ini pada dasarnya tercipta setelah melalui perdebatan-
perdebatan intelektual yang panjang dan melelahkan untuk menemukan "kebenaran hukum"
itu, Namun perlu dipahami bahwa meskipun suatu paradigma dalam suatu ilmu hukum
dianggap telah usang dan tidak mampu untuk menjawab dan memberi solusi atas problem
penegakkan hukum dan teori hukum yang muncul belakangan, yang kemudian memunculkan
paradigma baru ilmu hukum, namun paradigma lama tidak sendirinya tergusur, paradigma lama
dalam hal ini positivisme tersebut masih tetap bertahan secara teguh dalam komunitas
ilmuwan dan para penegak hukum tanpa mau menoleh kepada paradigma yang muncul
belakangan paradigma hukum progresif, oleh karena itu harus dipetakan "benang merahnya"
penulis sebut "benang merah" itu adalah paradigma hukum alam berbasiskan spiritualisme,
itulah wajah baru pospositivis spiritualisme, "benang merah" tersebut kemudian penulis
eksplorasi dalam konteks ke Indonesian dengan Paradigma Thawaf dengan mengunakan
konsep simbolisasi Pancasila dalam Lambang Negara Republik Indonesia, sebagai rancangan
Sultan Hamid II, 1950 dengan pendekatan semiologi sehingga aksiologi hukum terhadap
penjabarannya ke dalam konstruksi struktur peraturan perundang- undangan dengan cara
melakukan dekonstruksi terhadap struktur piramida Struktur Pancasila sebagaimana
dipaparkan oleh Prof Notogaroro, Prof Ruslan Saleh, Prof Hamid Attamimi yang sedikit banyak
terpengaruh dengan paradigma positivisme abad ke 19 dari Hans Kelsen dan Nawiasky dengan
Stufen Theory-nya.Itulah esensi tersirat dan tersurat dari paparan konsepsional ini dalam
memahami Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma "Thawaf" (Sebuah
Komtemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum Yang Membumi /Grounded Theory Meng-
Indonesia).

9. Gustav Radbruch, menuturkan bahwa ada tiga tujuan hukum, yaitu kemanfaatan, kepastian,
dan keadilan. Dalam melaksanakan ketiga tujuan hukum ini harus menggunakan azas prioritas.
Keadilan bisa saja lebih diutamakan dan mengorbankan kemanfaatan bagi masyarakat luas.
10. Proposal

a. Judul :
Analisis terhadap penerapan hukum terhadap pelaku tindak pidana penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik

b. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi seperti internet
sangat menunjang setiap orang mencapai tujuan hidupnya dalam waktu singkat, baik legal
maupun illegal dengan menghalalkan segala cara karena ingin memperoleh keuntungan.
Dampak buruk dari perkembangan dunia maya ini tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan
masyarakat modern saat ini dan masa depan. Berkembangnya teknologi informasi
menimbulkan kekhawatiran pada perkembangan tindak pidana di bidang teknologi informasi
yang berhubungan dengan cybercrime atau kejahatan mayantara.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sudah semakin cepat sehingga mempengaruhi
setiap aspek kehidupan manusia, tanpa disadari produk teknologi sudah menjadi kebutuhan
sehari-hari, penggunaan televisi, telepon, fax, cellular (handphone) dan internet sudah bukan
hal
yang aneh dan baru khususnya di kota-kota besar. 1 Informasi yang dapat diakses secara cepat
dan efektif melalui telepon rumah, telepon genggam, televisi, komputer, jaringan internet dan
berbagai media elektronik, telah menggeser cara manusia bekerja, belajar, mengelola
perusahaan, menjalankan pemerintahan, berbelanja. ataupun melakukan kegiatan
perdagangan. Kenyataan demikian sering disebut sebagai era globalisasi ataupun revolusi
informasi, untuk menggambarkan betapa mudahnya berbagai jenis informasi dapat di akses,
dicari, dikumpulkan serta dapat dikirimkan tanpa lagi mengenal batas-batas geografis suatu
negara.
Teknologi informasi memegang peran yang penting baik di masa kini, maupun di masa yang
akan datang. Menurut Didik J. Rachbini, “teknologi informasi dan media elektronika dinilai
sebagai simbol pelopor, yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam aspek
sosial, budaya, ekonomi dan keuangan”. “Era globalisasi yang dilalui menjadi tanda
perkembangan teknologi itu sendiri. Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era
perkembangan teknologi informasi.” Sehingga dampak dari globalisasi dan perkembangan
teknologi saat ini dapat dilihat sendiri yaitu maraknya anak dibawah umur yang sudah
memainkan alat-alat elektronik yang canggih. Dimana melalui alat-alat elektronik tersebut
dapat memasuki dunia yang seolah nyata melalui jaringan internet yang lebih sering dikenal
dengan dunia maya.
Perkembangan teknologi informasi yang sedemikian rupa, membuat dunia telah memasuki era
baru komunikasi. Dengan demikian, teknologi informasi ini telah mengubah perilaku
masyarakat global. Di samping itu perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan
dunia. menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial secara signifikan
berlangsung demikian cepat. “Teknologi informasi saat ini telah menjadi pedang bermata dua,
karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan
peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif bagi terjadinya perbuatan-perbuatan
melawan hukum”. Dengan terjadinya perbuatan melawan hukum tersebut, maka ruang lingkup
hukum harus diperluas untuk dapat menjangkau perbuatan-perbuatan tersebut.
Akibat perkembangan teknologi informasi lahirlah suatu era baru yang dikenal dengan hukum
telematika. Hukum telematika dapat juga disebut dengan hukum siber. Hal ini didasari pada
argumentasi bahwa hukum siber (cyber crime) merupakan kegiatan yang memanfaatkan
komputer sebagai media yang didukung oleh sistem telekomunikasi baik itu dial up system,
menggunakan jalur telepon, maupun wireless system yang menggunakan antena khusus
nirkabel.

Seiring dengan perkembangan tersebut, ternyata teknologi informasi yang berkembang dalam
jaringan internet juga menyebabkan terjadinya kejahatan pada dunia internet itu sendiri.
Permasalahan hukum yang sering kali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian
informasi, komunikasi dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian
dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.
Teknologi dan Hukum merupakan dua unsur yang saling mempengaruhi dan keduanya juga
mempengaruhi masyarakat. Di satu sisi teknologi dapat dilihat sebagai sarana untuk mencapai
tujuan tertentu, akan tetapi, di sisi lain teknologi juga dapat dilihat. sebagai aktivitas
manusiawi. Pada dasarnya, setiap teknologi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan
tertentu dan melalui teknologi itu diberikan suatu manfaat dan layanan bagi manusia termasuk
meningkatkan keefisienan dan keefektivitasan kerja.

Salah satu kemajuan di bidang teknologi adalah ditemukan handphone atau telepon
genggam, selain berfungsi untuk melakukan dan menerima panggilan telepon, handphone
(telepon genggam) umumnya juga mempunyai fungsi pengiriman dan penerimaan pesan
singkat SMS (short message service). Selain kelebihan-kelebihan tersebut, ponsel sekarang
sudah ditanamkan program-program komputer. sehingga orang bisa mengubah fungsi ponsel
tersebut menjadi mini komputer. Di dunia bisnis, fitur ini sangat membantu bagi para pebisnis
untuk melakukan semua pekerjaan di satu tempat dan membuat pekerjaan tersebut
diselesaikan dalam waktu yang singkat.
Teknologi merupakan sesuatu yang bersifat netral, dalam hal ini diartikan bahwa teknologi itu
bebas, teknologi tidak dapat dilekati sifat baik dan jahat akan tetapi pada perkembangannya
kehadiran teknologi menggoda pihak-pihak yang berniat jahat atau untuk
menyalahgunakannya, dengan demikian, teknologi biasa dikatakan juga merupakan faktor
kriminogen yaitu faktor yang menyebabkan timbulnya keinginan orang untuk berbuat jahat
atau memudahkan orang terjadinya kejahatan, antara lain kejahatan yang dilakukan lewat SMS
(Short Message Service).
Kejahatan terus berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia, dengan
kualitas dan kuantitas serta variasi modus operandinya. Secara empiris, definisi kejahatan dapat
dilihat dari dua perspektif, pertama adalah kejahatan dalam perspektif yuridis yaitu kejahatan
yang dirumuskan sebagai perbuatan yang oleh negara diberi pidana. Kedua kejahatan dalam
arti perspektif sosiologis, yaitu kejahatan merupakan semua ucapan, perbuatan dan tingkah
laku yang secara ekonomis, politis dan sosial pisikologis yang sangat merugikan masyarakat,
melanggar norma-norma susila dan menyerang keselamatan warga masyarakat baik yang telah
tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercakup dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.

Permasalahan hukum yang sering dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian
informasi, komunikasi dan/atau data secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan
hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Sebagai
akibat dari perkembangan yang demikian, maka lambat laun, teknologi informasi dengan
sendirinya juga telah mengubah perilaku masyarakat dari peradaban manusia secara global.
Perkembangan teknologi tidak hanya berupa memberikan dampak positif saja, namun juga
memberikan dampak negatif, tindak pidana penghinaan atau ujaran kebencian (hate speech)
dan/atau penghinaan, serta penyebaran informasi di media sosial yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan antar individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Tindak pidana tersebut
selain menimbulkan dampak yang tidak baik juga dapat merugikan korban dalam hal
pencemaran nama baik, dengan modus operandi menghina korban dengan menggunakan kata-
kata maupun gambar dan kata yang menghina dengan ujaran kebencian. Sehingga dalam kasus
ini diperlukan adanya ketegasan pada tindak pidana tersebut, agar tidak terjadi
kesalahpahaman yang akhirnya merugikan masyarakat. Kasus-kasus penyebaran informasi yang
berujung pada pelaporan pidana dengan menggunakan pasal-pasal yang ada di dalam Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (selanjtunya disebut UU ITE). Kasus yang terkait
dengan UU ITE diantaranya kasus Brama Japon Janua, satpam di Sidoarjo, Jawa Timur, yang
ditahan di Rutan Medaeng karena dianggap menghina salah satu calon presiden. Ada juga kasus
seorang tukang tusuk sate yang ditahan di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia karena
dituduh menghina Presiden Joko Widodo di media sosial Facebook. Ada juga sejumlah kasus
yang sempat ramai diperbincangkan, di antaranya kasus Prita Mulyasari, pemilik akun twitter
@benhan Benny Handoko, kasus Ketua Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Ronny Maryanto di Semarang, kasus mahasiswa Pascasarjana
UGM bernama Flo yang dianggap menghina warga Yogyakarta, kasus Wisni Yetty yang divonis 5
bulan penjara dan denda Rp 100 juta karena dituduh melakukan penghinaan saat chatting di
Facebook, dan sejumlah kasus lainnya.
UU ITE khususnya Pasal 27 ayat (3) memiliki unsur penting yakni berusaha untuk memberikan
perlindungan atas hak-hak individu maupun institusi, dimana penggunaan setiap informasi
melalui media yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang
yang bersangkutan. Pencemaran nama baik dalam informasi elektronik merupakan hal yang
membuat kerugian disisi orang yang dirugikan akibat serangan kehormatan di informasi
elektronik.

c. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana mendistribusikan informasi elektronik dan
dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan pencemaran nama baik ?
2. Bagaimana proses penegakan hukum dan sanksi terhadap pelaku tindak pidana
mendistribusikan informasi elektronik dan dokumen elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan pencemaran nama baik ?.
3. Bagaimana hambatan dalam penegakan hukum tindak pidana mendistribusikan
informasi elektronik dan dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan
pencemaran nama baik dan upaya mengatasinya ?

d. Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hukum tindak pidana mendistribusikan
informasi elektronik dan dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan
pencemaran nama baik.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis penegakan hukum dan sanksi terhadap pelaku
tindak pidana mendistribusikan informasi elektronik dan dokumen elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan pencemaran nama baik
3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan dalam penegakan hukum tindak pidana
mendistribusikan informasi elektronik dan dokumen elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan pencemaran nama baik dan upaya mengatasinya

e. Kegunaan penelitian
1. Secara teoritis diharapkan menjadi bahan untuk pengembangan wawasan dan
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan dan
koleksi ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran yang menyoroti dan membahas
mengenai tindak pidana mendistribusikan informasi elektronik dan dokumen elekronik yang
memuat penghinaan dan pencemaran nama baik.
2. Secara praktis :
a. Sebagai pedoman atau masukan bagi aparat penegak hukum maupun praktisi hukum
dalam menentukan kebijakan menangani dan menyelesaikan tindak pidana mendistribusikan
informasi elektronik dan dokumen elekronik yang memuat penghinaan dan pencemaran nama
baik.
b. Memberikan sumbangan pemikiran dan informasi ilmiah bagi Akademisi dan
masyarakat khususnya mengenai tindak pidana mendistribusikan informasi elektronik dan
dokumen elekronik yang memuat penghinaan dan pencemaran nama baik

f. Kerangka Konseptual
a. Penegakan hukum adalah suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan-
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Menurut Barda
Nawawi, penegakan hukum adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan secara
rasional, memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan
terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa
sarana pidana. maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang
lainnya.

b. Pelaku atau dader adalah pelaku delik yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana
dirumuskan oleh undang-undang baik unsur subjetif maupun unsur objektif. Menurut
P.A.F.Lamintang menyatakan memastikan siapa yang harus dipandang sebagai seorang dader
atau pelaku itu tampaknya tidak terlalu sulit, akan tetapi dalam kenyataannya pemastian
seperti itu adalah tidak mudah. Delik-delik formal atau formale sebagai delik-delik yang
dirumuskan secara formal yakni delik-delik yang dianggap telah selesai dilakukan oleh
pelakunya yaitu segera setelah pelakunya itu melakukan sesuatu tindakan yang dilarang oleh
undang-undang ataupun segera setelah pelaku tersebut tidak melakukan sesuatu yang
diwajibkan oleh undang-undang, untuk memastikan siapa yang harus dipandang sebagai
seorang dader itu, memang tidak sulit. Orang tinggal menemukan siapa sebenarnya yang telah
melakuka pelanggaran terhadap larangan atau keharusan yang telah disebutkan dalam undang-
undang.
c. Informasi elektronik menurut Pasal 1 angka 1 UU ITE adalah satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy
atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
d. Dokumen elekronik menurut Pasal 1 angka 4 UU ITE adalah setiap Informasi Elektronik
yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar
melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau
perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
e. Penghinaan adalah pencemaran nama baik seseorang baik secara lisan atau tertulis atau
perbuatan lain. Jadi yang dimaksud penghinaan adalah menganggap rendah derajat orang lain,
meremehkannya atau mengingatkan cela-cela dan kekurangan-kekurangan seseorang.
f. Pencemaran nama baik yang disebarkan secara tertulis dikenal sebagai libel, sedangkan
yang diucapkan disebut slander. Penghinaan/pencemaran nama baik bisa dilakukan dengan
cara lisan atau tulisan (tercetak).

g. Kerangka Teori

1. Teori Negara Hukum


2. Teori Penegakan Hukum
3. Teori Pertanggungjawaban Pidana

h. Kerangka Pemikirian

i. Metode Penelitian
Deskriptif Analisis

j. Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai