Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Permasalahan

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara hukum (Rechstaat). Negara Republik Indonesia

menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan,

keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekwensinya adalah

bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara

Indonesia. Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk

menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena

itu hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan

karena itu pula hukum berupa norma. Hal ini senada dengan Pasal 1 ayat (3)

Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara

hukum.”1

Negara hukum merupakan suatu konsep yang sebenarnya tidak terbatas

pada perkembangan negara modern. Sebab dalam setiap masyarakat, baik pada

masyarakat yang masih sederhana tingkat perkembangannya sampai pada

masyarakat yang perkembangannya sudah sangat tinggi, selalu terdapat hukum

dan hukum tersebut ditunjukkan untuk masyarakat itu sendiri yaitu yaitu

menciptakan ketertiban dan kesejahtraan masyarakat.2

1
H. Atip Latifulhayat, 2017, Penegakkan Hukum, Universitas Pedjdjaran, Jurnal
Ilmu Hukum, V. 4, No 2 h. 87

2
Sri Pujiniingsih, 2019, Konsep Hukum Indonesia di Masa Sekarang, Jurnal
Hukum Universitas Pekalongan, V. 1 h. 137

1
2

Konsekuensinya adalah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-

hak asasi manusia, dimana tindakan negara dalam arti tindakan aparatur

pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan terpenuhinya

peradilan yang bebas. Untuk itu perlu didukung oleh penegak hukum yang

berwibawa, jujur dan konsekuen. Karenanya dipandang perlu untuk menelaah

secara mendalam masalah-masalah dan fakta-fakta serta cara-cara untuk

mengatasi masalah yang berkaitan dengan penegakkan hukum, penegak hukum

dan kesadaran hukum. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

merupakan suatu produk hukum dari hasil perjuangan dan perwujudan cita-cita

bangsa Indonesia yang diharapkan dalam pelaksanaannya dapat menjamin adanya

kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana

Pasal 7 KUHAP menyebutkan bahwa tugas dan wewenang dari penyidik

adalah menerima laporan atau pengaduan, menangkap, menahan, menggeledah,

menyita, menyidik dan mengadakan tindakan lain yang berdasarkan undang-

undang.3

Pada prinsipnya setiap orang tidak diperkenankan memaksakan

kehendaknya kepada orang lain. Lebih-lebih jika hal itu menyangkut kebebasan

dan kemerdekaan pribadi. Kebebasan dan kemerdekaan termasuk harta benda

yang dimiliki seseorang dilindungi oleh hukum. Oleh karena itu, tindakan yang

sewenang-wenang, apalagi diikuti dengan pemaksaan dan kekerasan yang dapat

3
Dewa Putu Tagel, 2016, Artikel, Penggledahan dalam Keadaan Mendesak , v.
002, h. 3
3

mengurangi kebebasan dan kemerdekaan serta harta benda seseorang adalah suatu

perbuatan yang bertentangan dengan hukum.

Meskipun undang-undang melindungi kebebasan dan kemerdekaan serta

harta milik seseorang, adakalanya kebebasan dan kemerdekaan itu harus dibatasi,

bahkan kadang-kadang hilang akibat ulah orang itu sendiri, sebagai akibat

imbangan atas perbuatannya yang merugikan orang lain. Pembatasan terhadap

kemerdekaan dan kebebasan seseorang hanya dapat dibenarkan menurut aturan

hukum yang berlaku. Jika pembatasan itu dilakukan tanpa berdasarkan aturan

hukum, berarti telah melakukan pelanggaran terhadap hak-hak asasi orang lain.4

Di dalam Penjelasan KUHAP diatur berlakunya beberapa asas yang

bertujuan memberikan perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat

manusia yang terkenal dengan Hak Asasi Manusia (HAM) salah satu diantaranya

dirumuskan bahwa Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, dan Penyitaan

hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang

oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan

undang-undang.5

Berdasarkan asas tersebut dapat dipahami secara jelas bahwa tindakan

aparat penegak hukum terutama yang berkedudukan dan berfungsi selaku

penyidik dalam melakukan tindakan upaya paksa yang berkaitan dengan

4
Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya
Bakti,Bandung, h. 25.

5
H.M.A. Kuffal, 2005, Tata Cara Penggeledahan dan Penyitaan, UMM Press,
Malang,h. 14.
4

penggeledahan pada dasarnya wajib dilakukan berdasarkan perintah tertulis dan

mematuhi tata cara yang diatur dalam KUHAP.

Dalam pelaksanaan dan penerapan ketentuan-ketentuan hukum acara

pidana yang diatur dalam KUHAP tidak serta merta berjalan mulus sebagaimana

yang didambakan oleh pembuat undang-undang. Karena dalam praktik hukum

tidak jarang terjadi warga masyarakat masih mengalami dan merasakan adanya

tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang tidak

sepenuhnya mematuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHAP

Penggeledahan merupakan bagian pengusutan atau penyidikan. Penggeledahan

merupakan suatu tindakan penguasa untuk membatasi kebebasan orang, yaitu

melanggar ketentraman rumah kediaman. Ada peribahasa mengatakan “rumah

saya ialah istana saya” (my home is my castle).

Tindakan penggeledahan ini bisa saja diambil atas dasar dugaan. Oleh

karena itu, seseorang bisa saja sewaktu-waktu digeledah untuk kepentingan

penyelidikan dan penegakan hukum. Bahkan penggeledahan ini bisa saja berujung

pada penahanan. Meskipun tindakan penggeledahan biasanya dilakukan pada

orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa, tetapi jika seseorang

suatu saat digeledah belum berarti seseorang tersebut telah menjadi tersangka,

terdakwa ataupun terpidana. Tindakan penggeledahan ini bisa dilakukan terhadap

siapapun.6

Narkotika bukan lagi istilah asing bagi masyarakat mengingat begitu

banyaknya berita, baik dari media cetak maupun elektronik yang memberitakan

6
ISSN 1412-7059, 2012, Jurnal kajian putusan pengadilan, Permasalahan
Penegakkan Hukum Kasus Narkotika.
5

tentang penggunaan narkotika dan bagaimana korban dari berbagai kalangan dan

usia berjatuhan akibat penggunaannya. Narkotika diartikan sebagai suatu zat yang

dapat menimbulkan perubahan perasaan, suasana pengamatan/penglihatan karena

zat tersebut mempengaruhi susunan syaraf pusat, Penyalahgunaan narkotika

merupakan tindak pidana yang mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan

tindak pidana pada umunya. Ciri-ciri khusus tindak pidana narkotika sebagai

berikut:

1. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam Undang-Undang;

2. Melawan hukum;

3. Dilakukan dengan kesalahan; dan

4. Patut dipidana.7

Terkit dengan penggledahan terhadap tindak pidana narkotika agar pelaku

tidak menghilangkan barang bukti, maka Polisi diberikan kewenangan untuk

melakukan penggledahan tujuannya adalah “Memeriksa”, yaitu mencari sesuatu

(seperti barang gelap, barang curian, surat -surat bukti) untuk di sita. Maka secara

umum dapat di artikan bahwa penggeledahan adalah pemeriksaan oleh penyidik

untuk mencari barang bukti untuk di sita. Dengan redaksi yang agak berbeda,

dalam Kamus Hukum disebutkan bahwa penggeledahan badan yaitu tindakan

penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan atau pakaian tersangka untuk

mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawa serta, untuk

disita. Sedangkan penggeledahan rumah yaitu tindakan penyidik untuk memasuki

7
Bayu 2013 Artikel Kesehatan Dan Penyalahgunaan Narkoba Di Kalangan-
Remaja, Jurnal hukum, V. 29 November,h. 89
6

rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk dilakukan tindakan

pemeriksaan atau penyitaan dan untuk penangkapan dalam hal dan menurut cara-

cara yang diatur dalam undang-undang. Maka penggeledahan yang dimaksudkan

dalam pembahasan ini adalah tindakan penyidik untuk malakukan pemeriksaan

rumah maupun pemeriksaan pakaian dan penyitaan barang yang berkaitan dengan

barang bukti untuk disita. 8

Proses penggledahan sesuai Pasal 33 ayat (1) KUHAP hanya penyidik

yang dapat melakukan penggeledahan rumah dengan surat izin Ketua Pengadilan

Negeri setempat, Dalam hal rumah yang akan digeledah terletak di wilayah

hukum Pengadilan Negeri yang lain, maka Ketua Pengadilan Negeri dari daerah

tersebut hanya mengetahuinya, Pengadilan dapat ,memberikan izin penggledahan

apabila perkara yang bersangkutan belum dilaporkan kepada Pengadilan Negeri di

tempat kejadian perkara yang menurut ketentuan yang berlaku adalah Pengadilan

Negeri yang berwenang mengadili perkara tersebut dan dalam keadaan yang

sangat perlu dan mendesak penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa

terlebih dahulu memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat (Pasal 34

KUHAP), dengan kewajiban segera melaporkan hal tersebut kepada Ketua

Pengadilan Negeri setempat untuk memperoleh persetujuan.

Tindakan penggeledahan ini bisa saj a diambil atas dasar dugaan.

Oleh karena itu, seseorang bisa saja sewaktu-waktu digeledah untuk

kepentingan penyelidikan dan penegakan hukum. Bahkan penggeledahan

ini bisa saja berujung pada penahanan. Tindakan penggeledahan ini bisa

8
Direktorat Reserse, 1987, Himpunan Juklak dan Juknis, Jakarta, Mei, h.147.
7

saja diambil atas dasar dugaan. Oleh karena itu, seseorang bisa saja

sewaktu-waktu digeledah untuk kepentingan penyelidikan dan penegakan

hukum. Bahkan penggeledahan ini bisa saja berujung pada penahanan.

Meskipun tindakan penggeledahan biasanya dilakukan pada orang yang

telah ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa, tetapi jika seseorang

suatu saat digeledah belum berarti seseorang tersebut telah menjadi

tersangka, terdakwa ataupun terpidana. Tindakan penggeledahan ini bisa

dilakukan terhadap siapapun. 9

Salah satu asas terpenting dalam Hukum Acara Pidana ialah asas

praduga tak bersalah, yang berarti bahwa setiap orang yang disangka,

ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan didepan Pengadilan

wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan yang

menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Sebagai seorang yang belum dinyatakan bersalah, maka ia mendapat hak-

hak yang pada taraf pertama adalah hak untuk segera mendapatkan

pemeriksaan dalam tingkat penyidikan.

Menurut Djoko Prakoso, sebagai berikut:

“Penyidikan” ini dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan


bukti-bukti yang pada taraf pertama harus dapat memberikan
keyakinan, walaupun sifatnya masih sementara, kepada penuntut
umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang tindak
pidana apa yang telah dilakukan serta siapa tersangka. 10

9
Kepolisian Negara Republik Indonesia,2000, Pedoman Pelaksanaan Tugas
Polridi Lapangan, CV. Tamita Utama, Jakarta, h. 15
10
Djoko Prakoso, 1987, POLRI Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum ,
Jakarta: Bina Aksara, h.6.
8

Dalam melaksanakan tugas penyidikan perkara untuk menemukan

barang bukti maupun tersangka, penyidik berwenang melakukan

tindakan-tindakan dengan menggunakan alat pemaksa yaitu berupa

tindakan penggeledahan. Terkait dengan tersangka wanita, sedapat

mungkin yang melakukan penggledahan adalam Polisi wanita dengan

mendapatkan persetujuan Pengadilan Negeri Setempat, Untuk

kepentingan penyidikan, penyidik/penyidik pembantu dan penyelidik atas

perintah penyidik/penyidik pembantu berwenang melakukan

penggeledahan, dalam melakukan penggledahan harus mendapatkan izin

dari Ketua Pengadilan setempat. Sedangkan kalau tersangka wanita

penggledahan dilakukan oleh Polisi Wanita. Untuk mengadakan

penggeledahan rumah diperlukan surat izin Ketua Pengadilan Negeri.

Izin Ketua Pengadilan Negeri tersebut dimaksudkan untuk menjamin hak

asasi seseorang atas rumah kediamannya”.

Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut, apabila mengalami

hambatan terhadap izin dari Ketua Pengadilan Negeri, maka penyidik

dapat menggunakan ketentuan pasal 34 ayat 1 KUHAP, yaitu melakukan

penggeledahan tanpa izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Dari ketentuan

tersebut diatas bahwa penggledahan dalam KUHAP adanya kekosongan

norma hukum, karena setiap penggledahan harus mendapatkan iizin dari

ketua Pengadilan setempat, guna memberikan kepastian hukum terhadap

penggledahan guna menemukan barang bukti, polisi penyidik bisa


9

menggunakan diskresinya, agar barang bukti tidak hilang atau di

lenyapkan.

Penggledahan tindak pidana narkotika tersangka wanita dalam UU

N0 35 tahun 2009 tentang Narkotika tidak ada aturan yang mengaturnya,

penggledahan hanya diatur dalam KUHAP sehingga adanya norma

kosong dalam UU No. 35 tahun 2009, sehingga dalam proses

penggledahan mendapatkan kepastian hukum, perlindungan hukum

terhadap tersangka wanita dalam tindak pidana narkotika dalam proses

penggledahan haruslah dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu

wanita atau dapat dilakukan wanita lain, sesuai dengan Surat keputusan

Kapolri Nomor Polisi Skep/1205/XI/2000 yaitu hal-hal yang khusus

mengenai penggledahan badan dan pennggledahan pakaian. Tersangka

wanita dapat menolak untuk di geledah pada bagian rongga badan apabila

penyidik pembantunya bukan wanita.

Dan terhadap hambatan-hambatan yang dialami, penyidik harus

melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi hambatan tersebut. Sebab

bagaimanapun juga barang bukti harus ditemukan untuk dapat

membuktikan mengenai salah tidaknya seorang yang diduga melakukan

suatu tindak pidana. Oleh sebab itu dalam penulisan skripsi ini, penulis

mengambil judul PENGGLEDAHAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

TERHADAP TERSANGKA WANITA


10

1.2. Rumusan Masalah

Bertitik tolak pada uraian latar belakang masalah diatas, ada

beberapa permasalahan yang akan dituangkan dalam rumusan masalah

kemudian akan dilakukan pembahasan pada bab pembahasan.

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan

selanjutnya. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Proses penggledahan tindak terhadap tersangka wanita

yang melakukan tindak pidana narkotika ?

2. Apa saja hambatan-hambatan yang dialami oleh penyidik dalam

melakukan penggeledahan terhadap tersangka wanita yang

melakukakan tindak pidana narkotika ?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari dan membatasi agar jangan sampai suatu

pembahasan itu keluar dari pokok permasalahan, adapun ruang

lingkupnya meliputi penggledahan terhadap tersangka wanita menurut

UU No., 35 tahun 2009 dan hambatan-hambatan yang dialami oleh

penyidik dalam melakukan penggeledahan tersangkanya wanita.

2. Landasan Teoritis dan Hipotesis

2.1. Landasan Teoritis

2.1.1. Teori Kepastian hukum

Kepastian sudah menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih

diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian


11

akan kehilangan kati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat

digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri

hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara

historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum

semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan

kekuasaan.

Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam

hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari

keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian

dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat.

Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah

jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik.

Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum

dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan

berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat

menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu

peraturan yang harus ditaati.

Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8

(delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak

terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau

dengan kata lain harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas

tersebut adalah sebagai berikut :

1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak


berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;
12

2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik


3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;
4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa
dilakukan;
7. Tidak boleh sering diubah-ubah;
8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-
hari. 11

Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai

identitas, yaitu sebagai berikut :

1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari


sudut yuridis.
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut
filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua
orang di depan pengadilan
3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid
atau utility. 12

2.1.2. Teori Perlindungan hukum

Pengertian perlindungan hukum, seperti dilihat dalam Kamus

Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :

Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer yang dimaksudkan dengan

perlindungan hukum adalah: “Suatu upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memperoleh perlindungan berdasarkan peraturan-

peraturan atau undang-undang”. 13

Sedangkan menurut Kamus Hukum Perlindungan Hukum adalah:

11
Ibid, h. 156
12
Dwika,2011,“Keadilan dari Dimensi Sistem Hukum ”, http: / /hukum.
kompasiana. com. diakses pada 24 Juli 2014.
13
Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, 1991, Balai Pustaka, Jakarta, h. 897.
13

“Suatu upaya kepastian hukum untuk mendapatkan perlindungan

berdasarkan peraturan-peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan negara

dan sebagainya atau dapat yang berlaku bagi semua orang di suatu

masyarakat atau negara”.

Konsep perlindungan hukum atas suatu kepentingan tertentu,

merupakan manifestasi dari prasyarat untuk masuk ke dalam phase

Negara kesejahteraan. Fenomena Negara kesejahteraan ( welfare state)

merupakan fenomena penting di akhir abad ke-19 dengan gagasan bahwa

Negara didorong untuk semakin meningkatkan perannya dalam

mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat, termasuk

masalah-masalah perekonomian yang dalam tradisi liberalisme

sebelumnya cenderung dianggap sebagai urusan masyarakat sendiri. 14

Perlindungan tidak hanya berdasar hukum tertulis tetapi termasuk

juga hukum tidak tertulis dengan harapan ada jaminan terhadap benda

yang dimiliki dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Hadjon

menyebutkan, ada 2 macam perlindungan hukum bagi rakyat yaitu : 15

1. Perlindungan Hukum Preventif : Kepada rakyat diberi kesempatan

untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu

keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitive. Bertujuan

mencegah terjadinya sengketa.

2. Perlindungan Hukum Represif : bertujuan menyelesaikan sengketa

14
Jimly Asshiddiqie, 2000. Pergeseran-pergeseran Kekuasaan Legislatif &
Eksekutif, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 97.

7
14

Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi pemerintah

yang didasarkan kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan

hukum preventif, pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam

mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Dengan pengertian

demikian, penanganan perlindungan hukum bagi rakyat oleh peradilan

umum di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum represif.

Perlindungan hukum terkait dengan penggledahan pelaku tindak

pidana narkotika yang dilakukan wanita kalau dikaitkan dengan teori

perlindungan hukum belum maksimal karena masih menemukan

hambatan yang dilakukan penyidik yaitu melakukan penggledahan

tersangka wanita yang melakukan tindak pidana narkotika adalah tidak di

ikut sertakannya polisi wanita dalam penggrebekan target oprasi

narkotika sehingga apabila di temukan tersangka wanita mengalami

hambatan dalam penggledahan karena terbentur norma kesusilaan apabila

tidak di lakukan oleh polisi wanita. Terkait dengan hal tersebut

digunakan teori perlindungan hukum dan penegakan hukum.

2.1.3. Teori tentang Penegakan Hukum

Menurut Badudu dan Zain dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia

efektivitas berarti keefektifan, keefektifan artinya sifat atau keadaan

15
Hardjon M. Philippus, 1988. Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia,
Bina Ilmu Surabaya,h. 89
15

efektif. Efektif artinya mulai berlaku (tentang undang-undang), jadi

efektivitas adalah sifat atau keadaan mulai berlakunya undang-undang. 16

Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan,

bahwa efektivitas berarti keefektifan. Keefektifan artinya hal mulai

berlakunya (tentang undang-undang, peraturan), jadi efektivitas adalah

hal mulai berlakunya undang-undang atau peraturan. 17

Soerjono Soekanto mengemukakan, bahwa inti dan arti penegakan

hukum, secara konsepsional terletak pada kegiatan menyerasikan

hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang

mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian

penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. 18

Berbicara efektivitas hukum Soerjono Soekanto berpendapat,

bahwa “salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai

sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia.

Masalah penegakan hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan

atau kepatuhan pada hukum, tapi mencakup efek total dari hukum

terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif atau

negatif. 19

16
J.S. Badudu dan Sutan Muhammad Zain, 2001, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, h. 371.
17
Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, h. 284.
18
Soerjono Soekanto I, loc. cit.
19
Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian
Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 88.
16

Berdasarkan pendapat Friedman tersebut bahwa pengaruh hukum

terhadap sikap tindak atau perilaku, dapat diklasifikasikan sebagai

ketaatan (compliance), ketidaktaatan atau penyimpangan (deviance) dan

pengelakan (evasion). Konsep-konsep ketaatan, ketidaktaatan atau

penyimpangan dan pengelakan berkaitan dengan hukum yang berisikan

larangan atau suruhan. 21

Masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang

mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang

netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-

faktor tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan

hukum menurut Soerjono Soekanto, yaitu :

a) Faktor hukumnya sendiri, seperti pada undang-undang.


b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum.
d) Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan.
e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan
rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan
hidup. 22

Kelima faktor di atas saling berkaitan erat satu dengan yang

lainnya, karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan merupakan

tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum.

Faktor hukumnya sendiri, seperti pada undang-undang merupakan

faktor pertama yang menjadi tolok ukur dari efektivitas penegakan

21
Ibid, h. 90
22
Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Penerbit : PT. Raja
Grafindo Perkasa, Jakarta h. 8.
17

hukum. Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis

yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang

sah. Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-

undang, dapat disebabkan 23 :

a) tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang,

seperti undang-undang tidak berlaku surut (artinya undang-

undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut

di dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-

undang dinyatakan berlaku;

b) belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat

dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang (adanya berbagai

undang-undang yang belum juga mempunyai peraturan

pelaksanaan, padahal di dalam undang-undnag tersebut

diperintahkan demikian);

c) ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang

mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta

penerapannya. Kemungkinan hal itu disebabkan karena

penggunaan kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan secara luas

sekali, atau karena soal terjemahan dari bahasa asing (Belanda)

yang kurang tepat.

Faktor kedua yakni, penegak hukum yang meliputi mereka yang

bertugas di bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian,

kepengacaraan, dan pemasyarakatan. Penegak hukum mempunyai


23
Ibid, h.18.
18

kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (status) merupakan

suatu wadah yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban,

dimana kedua unsur tersebut merupakan peranan (role). Suatu hak

merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan

kewajiban adalah beban atau tugas. Ada berbagai halangan yang mungkin

dijumpai pada penerapan peran yang seharusnya dari penegak hukum

yang berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan, yaitu 24 :

a) keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam


peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi;
b) tingkat aspiraasi yang relatif belum tinggi;
c) kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa
depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi;
d) belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu
kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material;
e) kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan
pasangan konservatisme.

Faktor ketiga, yakni sarana dan fasilitas yang sangat penting

peranannya dalam penegakan hukum. Sarana dan fasilitas tersebut, antara

lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil,

organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup.

Tanpa adanya sarana dan fasilitas tidak mungkin penegak hukum

menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.

Jalan pikkiran yang sebaiknya dianut, khususnya untuk sarana atau

fasilitas tersebut, yaitu :

a) yang tidak ada –diadakan yang baru betul;

b) yang rusak atau salah –diperbaiki atau dibetulkan;

c) yang kurang –ditambah;


24
Ibid, h.35.
19

d) yang macet – dilancarkan;

e) yang mundur atau merosot –dimajukan atau ditingkatkan.

Masyarakat merupakan faktor keempat yang mempengaruhi

penegakan hukum. Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan

bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Salah satu

arti hukum yang diberikan oleh masyarakat Indonesia yakni : hukum

diartikan sebagai petugas (polisi, jaksa, hakim). Anggapan dari

masyarakat bahwa hukum adalah identik dengan penegak hukum

mengakibatkan harapan-harapan yang tertuju pada peranan aktual

penegak hukum menjadi terlampau banyak, sehingga dapat

mengakibatkan terjadinya kebingungan pada diri penegak hukum, oleh

karena terjadinya berbagai konflik dalam dirinya.

Keadaan demikian juga dapat memberikan pengaruh yang baik,

yakni penegak hukum merasa perilakunya senantiasa mendapat perhatian

dari masyarakat. Masalah lain yang timbul dari anggapan tersebut adalah

mengenai penerapan perundang-undangan. Jika penegak hukum

menyadari bahwa dirinya dianggap hukum oleh masyarakat, maka tidak

mustahil bahwa perundang-undangan ditafsirkan terlalu luas atau terlalu

sempit. Disamping itu, mungkin juga timbul kebiasaan untuk kurang

menelaah perundang-undangan yang kadangkala tertinggal dengan

perkembangan di dalam masyarakat.

Disamping itu, ada golongan masyarakat yang mengartikan hukum

sebagai tata hukum atau hukum positif tertulis. Akibat dari anggapan
20

bahwa hukum adalah hukum positif tertulis belaka adalah adanya

kecenderungan kuat satu-satunya tugas hukum adalah kepastian hukum.

Dengan demikian, akan muncul anggapan yang kuat bahwa satu-satunya

tujuan hukum adalah ketertiban. Lebih menekankan pada kepentingan

ketertiban berarti lebih menekankan pada kepentingan umum, sehingga

timbul gagasan kuat bahwa semua bidang kehidupan akan dapat diatur

dengan hukum tertulis. Kecenderungan ini pada akhirnya akan

menemukan kepuasan pada lahirnya perundang-undangan yang belum

tentu berlaku secara sosiologis. 25

Faktor kelima kebudayaan. Setiap kelompok sosial yang ingin

menyebut dirinya sebagai masyarakat, haruslah menghasilkan

kebudayaan yang merupakan hasil karya, rasa, dan cipta. Kebudayaan

tersebut merupakan hasil dari masyarakat manusia, sangat berguna bagi

warga masyarakat tersebut, karena kebudayaan melindungi diri manusia

terhadap alam, mengatur hubungan antara manusia, dan sebagai wadah

dari segenap persaan manusia. Dari sekian banyak kegunaan kebudayaan

bagi manusia khususnya, akan diperhatikan aspek yang mengatur

hubungan antarmanusia, karena aspek tersebut bertujuan untuk

menghasilkan tata tertib di dalam pergaulan hidup manusia dengan aneka

warna kepentingan yang tidak jarang berlawanan satu dengan lainnya.

Hasil dari usaha-usaha manusia untuk mengatur pergaulan

hidupnya, merupakan hasil rasa masyarakat yang mewujudkan kaidah-

kaidah dan nilai-nilai masyarakat. Hasil rasa tersebut merupakan daya


25
Ibid, h. 55.
21

upaya manusia untuk melindungi dirinya terhadap kekuatan lain di dalam

masyarakat. Kekuatan dalam masyarakat tidak selamanya baik dan untuk

menghadapi kekuatan yang buruk.

2.2. Hipotesis

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka penulis

dapat membuat jawaban sementara berupa hipotesis yang nantinya akan

diuji kebenarannya dalam bab pembahasan. Adapun jawaban sementara

yang penulis buat yaitu :

1. Proses Penggledahan tindak pidana narkotika tersangka wanita

guna memberikan kepastian hukum agar tidak terjadinya

pelanggaran oleh penyidik/penyidik pembantu dikeluarkannya

Surat keputusan Kapolri Nomor Polisi Skep/1205/XI/2000.

Penggledahan tersangka wanita dilakukan oleh penyidik/penyidik

pembantu wanita atau dapat dibantu oleh orang lain terutama

penggledahan di rongga badan.

2. Hambatan-hambatan yang di alami penyidik dalam melakukan

penggledahan tersangka wanita yang melakukan tindak pidana

narkotika adalah tidak di ikut sertakannya polisi wanita dalam

penggrebekan target oprasi narkotika sehingga apabila di temukan

tersangka wanita mengalami hambatan dalam penggledahan

karena terbentur norma kesusilaan apabila tidak di lakukan oleh

polisi wanita. Terkait dengan hal tersebut digunakan teori

perlindungan hukum dan penegakan hukum.


22

3. Tujuan Penelitian

3.1. Tujuan Umum

Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran

ilmiah secara tertulis.

1. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya

pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.

2. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan hukum.

3. Untuk mengembangkan diri pribadi mahasiswa ke dalam

kehidupan masyarakat.

4. Untuk pembulatan studi mahasiswa di bidang ilmu hukum.

3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui Pengaturan proses penggledahan terhadap

tindak pidana narkotika tersangka wanita menurut UU No., 35

tahun 2009 tentang Narkotika

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dialami oleh penyidik

dalam melakukan penggeledahan tersangkanya wanita

4. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian ilmiah, harus memiliki banyak manfaat. Penelitian ini

diharapkan dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya, baik secara teoritis

(akademis) maupun manfaat praktis yang memiliki kaitan erat dengan

permasalahan kehidupan sehari-hari yang praktis dan kontekstual. Manfaat

penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :


23

4.1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kalangan

akademis atau peneliti untuk mengembangkan penelitian masalah pengaturan

penggledahan terhadap tindak pidana narkotika tersangkanya wanita di wilayah

hukum Polda Bali.

4.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai pedoman oleh aparat penegak

hukum terkait dengan penggledahan tindak pidana narkotika tersangka wanita

5. Metode Penelitian

Menurut Kartini Kartono, metode penelitian adalah cara – cara

berpikir dan berbuat, yang dipersiapkan dengan baik untuk mengadakan

penelitian dan guna mencapai tujuan. 26 . Dari uraian tersebut diatas dapat

dipahami, bahwa penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang

terencana dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan

data baru guna mendapatkan kebenaran ataupun ketidakbenaran dari

suatu gejala yang ada.

5.1. Jenis Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang diajukan, maka jenis penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris. “Yuridis empiris

26
Kartini Kartono, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu
Hukum. Dalam Hilman Adikusuma, Penerbit Mandar Maju, Bandung, h. 58
24

merupakan penelitian lapangan atau sering disebut penelitian hukum empiris

dengan mengkaji pelaksanaan dan implementasi ketentuan perundang-undangan

di lapangan”.27 Dengan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan,

gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala,

atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala, atau

menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam

masyarakat yang dalam hal ini melihat dan mengamati bagaimana penerapan

Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini dalam

prakteknya. Sebagaimana diketahui, ilmu hukum mengenal dua jenis penelitian

yakni Penelitian Hukum Normatif yaitu adanya norma kosong dalam Undang-

undang Nomor 35 tahun 2009 terkait dengan penggledahan tindak pidana

Narkotika tersangka wanita

5.2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, yang bertujuan untuk mengumpulkan

data, mengurai dan menganalisa permasalahan dan pendekatan perundang-

undangan dimana pendekatan fakta memusatkan perhatian pada suatu kenyataan.

Sedangkan pendekatan peraturan perundang-undangann yaitu pendekatan dengan

menggunakan legislasi dan regulasi.28 Dalam penelitian ini pendekatan

perundang-undangan dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan

yang terkait dengan permasalahan yang diangkat, dimana dalam penelitian ini

27
Abdul Kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 54.
28
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media,
Jakarta, h. 97.
25

digunakan untuk mengetahui dan memahami penggledahan tindak pidana

Narkotika tersangka wanita

5.3. Data dan Sumber Data

Dalam penelitian hukum empiris terdapat dua jenis data yaitu data primer

dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber langsung dari

penelitian lapangan, yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber

pertama di lapangan baik dari responden ataupun informan. Sedangkan data

sekunder aalah suatu data yang bersumber dari suatu penelitian kepustakaan yaitu

data yang tidak secara langsung diperoleh dari sumber pertamanya, melainkan

diperoleh dari data-data yang telah terdokumenkan dalam bentuk bahan-data.

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari:

1. Data primer (field research) atau data dasar yaitu data yang diperoleh

langsung dari penelitian lapangan melalui wawancara atau interview

dengan pihak-pihak yang terkait dengan mengacu pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku seperti KUHAP


2. Data sekunder (library research ) (secondary data) yaitu data yang

diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan / library research, yaitu

bersumber pada literatur-literatur, majalah, media elektronika dan

insiklopedia29

5.4. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu Teknik

Wawancara (Interview). Penelitian lapangan yang dilakukan dengan cara

wawancara, adapun wawancara merupakan suatu cara untuk memperoleh


29
Soerjono Soekanto dkk, 2009, Penelitian Hukum Normatif, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h.13.
26

informasi dengan bertanya langsung pada yang diwawancarai/respoden dan

informan, untuk memperoleh data yang otentik tentang penggledahan tindak

pidana Narkotika tersangka wanita.

5.5. Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data-data yang diperoleh terkumpul, baik data lapangan

maupun data kepustakaan selanjutnya data tersebut diolah dan dianalisis.

Untuk menguraikan dan menjelaskan pengertian tentang masalah hukum

yang data-datanya telah terkumpulkan dilakukan analisis kulitatif.

Analisis kualitatif diterapkan dalam penelitian yang sifatnya

eksplanatoris, sifat data yang dikumpulkan berjumlah besar, mudah

dikualifikasi kedalam kategori-kategori, data yang terkumpul terdiri

aneka gejala yang dapat diukur dengan angka-angka, hubungan antara

variabel sangat jelas, pengambilan sampel dilakukan sangat cermat dan

teliti, serta pengumpulan data mengunakan kuisioneri. Data yang telah

dianalisis kemudian dipaparkan secara deskriptif analisis yaitu

penggambaran atau penguraian secara umum dari masalah yang dibahas.

Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, deskriptif analisis yaitu dipaparkan

dalam bentuk uraian-uraian yang menggambarkan secara lengkap tentang

aspek tertentu yang bersangkutpaut dengan masalah dan kemudian

dianalisa kebenarannya tersebut. 30

30
Ronny Hanitijo Soemitro, 1991, Metodolologi Penelitian Hukum , Cetakan II,
Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 93.
27

PENGGLEDAHAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

TERHADAP TERSANGKA WANITA

OLEH :

I GUSTI BAGUS TRI SUCIPTA YOGA


NIM : 2015.001.2374

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NGURAH RAI
DENPASAR
2018
28

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

1. Permasalahan..................................................................................................1

1.1. Latar Belakang Masalah.......................................................................1

1.2. Rumusan Masalah.................................................................................9

1.3. Ruang Lingkup Masalah.......................................................................10

2. Landasan Teori dan Hipotesis.......................................................................10

2.1. Landasan...............................................................................................10

2.2. Hipotesis...............................................................................................20

3. Tujuan Penulisan............................................................................................21

3.1. Tujuan Umum.......................................................................................21

3.2. Tujuan Khusus......................................................................................21

4. Manfaat Penelitian.........................................................................................22

4.1. Manfaat Teoritis....................................................................................22

4.2. Manfaat Praktis.....................................................................................22

5. Metode Penelitian .........................................................................................22

5.1. Jenis Penelitian......................................................................................23

5.2. Sifat Penelitian .....................................................................................23

5.3. Data dan Sumber Data.........................................................................23

5.4. Teknik Pengumpulan Data...................................................................24

5.5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data...................................................24


29

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA

NARKOTIKA, PENGGLEDAHAN DAN TERSANGKA

WANITA PENGGLEDAHAN.......................................................

2.1. Tindak Pidana..............................................................................

2.1.1. Pengertian Tindak Pidana..................................................

2.1.2. Unsur-unsur tindak pidana...............................................

2.2. Pengertian Tersangka Wanita.....................................................

2.3. Narkotika......................................................................................

2.3.1. Tindak Pidana Narkotika................................................

2.3.2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Narkotika........................

2.3.3. Pengertian Narkotika.......................................................

2.3.4. Jenis-Jenis Narkotika......................................................

2.4. Penggledahan................................................................................

2.4.1. Pengertian Penggledahan................................................

2.4.2. Jenis-Jenis Penggledahan...............................................

BAB III PENGGLEDAHAN TERHADAP TERSANGKA WANITA

TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-

UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009...........................................

3.1. Dasar penggledahan terhadap tersangka wanita ................69

3.2. Hak dan kewajiban penyidik dalam Penggledahan

tersangka wanita.......................................................................

3.3. Proses Penggledahan tindak pidana narkotika tersangka

wanita......................................................................................
30

3.4. Hambatan-hambatan dalam melakukan penanggulangan

penyidik dalam melakukan penggledahan tersangka wanita

3.5. Upaya Penanggulangan Hambatan-hambatan dalam

melakukan Penggledahan tersangka wanita tindak pidana

Narkotika................................................................................

BAB IV KASUS DAN ANALISA

4.1. Kasus..........................................................................................

4.2. Analisa ......................................................................................

BAB V PENUTUP.........................................................................................

5.1. Kesimpulan.................................................................................

5.2. Saran............................................................................................

DAFTAR BACAAN
31

DAFTAR BACAAN

1. BUKU :

Atip Latifulhayat, 2017, Penegakkan Hukum, Universitas


Pedjdjaran, Jurnal Ilmu Hukum ( Journal of Law ) V 4, No 2

Badudu dan Sutan Muhammad Zain, 2001, Kamus Umum Bahasa


Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta

Bayu 2013 Artikel Kesehatan dan Penyalahgunaan narkoba di kalangan-


remaja, Jurnal hukum, V. 29 November 2013

Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa


Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta

Dewa Putu Tagel, Artikel, Penggledahan dalam Keadaan


Mendesak, v. 002, tahun 2016

Direktorat Reserse, 1987, Himpunan Juklak dan Juknis, Jakarta

Djoko Prakoso, 1987, POLRI Sebagai Penyidik dalam Penegakan


Hukum, Jakarta: Bina Aksara

2. ARTIKEL INTERNET:

Dwika,2011,“Keadilan dari Dimensi Sistem Hukum”,


http://hukum.kompasiana.com .

3. JURNAL:

Hardjon M. Philippus, 1988. Perlindungan Hukum bagi Rakyat


Indonesia, Bina Ilmu Surabaya.

Jimly Asshiddiqie, 2000. Pergeseran-pergeseran Kekuasaan


Legislatif & Eksekutif, Universitas Indonesia, Jakarta

Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, 1991, Balai Pustaka,


Jakarta

Kartini Kartono, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau


Skripsi Ilmu Hukum. Dalam Hilman Adikusuma, Penerbit Mandar
Maju, Bandung
32

4. PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN :

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan


Tugas Polridi Lapangan, CV. Tamita Utama, Jakarta, 2000

Kuffal, 2005, Tata Cara Penggeledahan dan Penyitaan, UMM Press,


Malang,halaman

Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra


Aditya Bakti,Bandung

Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam


Kajian Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Soejono Soekanto dan Srimamuji,1985, Penelitian Hukum


Normatif ( Suatu Tinjauan Singkat) PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta

Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Penerbit


: PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta

Sri Pujiniingsih,Konsep Hukum Indonesia di Masa Sekarang,


Jurnal Hukum Universitas Pekalongan, V 1 h. 137, ISSN 1412-
6605

Anda mungkin juga menyukai