PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hukum pidana para ahli menyebutkan secara umum sasaran yang
hendak dituju oleh hukum pidana adalah melindungi kepentingan masyarakat dan
perseorangan dari tindakan-tindakan yang tidak menyenangkan akibat adanya
suatu pelanggaran oleh seseorang.1 Dalam suatu perbuatan pidana hanya
menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman
pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana,
tergantung kepada apakah dalam perbuatan itu orang tersebut memiliki
kesalahan.2
Seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih
dahulu ia melakukan perbuatan pidana, adalah dirasa tidak adil jika tiba-tiba
seseorang harus bertanggung jawab atas suatu tindakan, sedang ia sendiri tidak
melakukan tindakan tersebut.3 Sudarto mengatakan bahwa dipidananya seseorang
tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal
tersebut belum memenuhi syarat dalam penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan
masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana yaitu orang tersebut telah
bersalah atau memiliki kesalahan. Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru
dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.4
Kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana
seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada.
1
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, cet ke-8 (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 13
2
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cet ke- 8, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), 165
3
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, c e t k e - 3 (Jakarta:
Aksara Baru, 1983), 20-23
4
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Bahan Penyedia Bahan-Bahan Kuliah Fakultas
Hukum Undip, 1988), 85
1
2
Makanya tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa
kesalahan”. Asas kesalahan ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum
pidana, demikian fundamentalnya asas tersebut, sehingga meresap dan menggema
dalam hampir semua ajaran penting dalam hukum pidana.5
Asas praduga tak bersalah memiliki arti bahwa seseorang yang dituduh
melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan
bukti-bukti yang meyakinkan dan tidak ada unsur keraguan sedikitpun
menyatakan dengan tegas kesalahannya itu. Ini sejalan dengan kaidah ushul fiqh
yaitu pada dasarnya setiap orang terbebas dari berbagai tuntutan hukum. Dalam
hal ini, tampak asas praduga tak bersalah lebih dekat dengan aturan dalam Islam
bahwa seseorang tidak dibenarkan meneliti kesalahan orang lain kecuali memang
ia ditugaskan untuk melakukannya, seperti polisi, jaksa, atau hakim yang bertugas
menegakkan keadilan.6
Hukuman hanya dapat diberlakukan bagi orang yang telah terbukti bersalah
dan keputusan tersebut ditetapkan oleh hakim melalui proses pembuktian terlebih
dahulu. Sebelum proses pembuktian memberikan kejelasan status orang yang
dituduh melakukan pelanggaran, maka tetap berlaku prinsip praduga tak bersalah.
Hal ini juga tetap berlaku pada pelaku yang telah terbukti tertangkap tangan
melakukan suatu tindak pidana.7
Pada hakikatnya manusia adalah mahluk sosial yang bergantung satu sama
lain, dalam ajaran agama islam manusia adalah mahluk yang sempurna dengan
akal dan rasa yang seharusnya bisa membuat mereka menjadi mahluk yang cinta
akan damai hal ini bisa dilihat dalam nilai yang sosial dan nilai agama. Dalam
nilai sosial perbuatan main hakim sendiri merupakan suatu perbuatan yang tidak
hanya terjadi sekali saja tetapi hal ini sudah sering terjadi di dunia salah satunya
negara indonesia. Perbuatan main hakim sendiri merupakan perbuatan yang
sewenang-wenang terhadap orang yang melakukan tindak pidana atau orang yang
melakukan kejahatan.
5
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 157
6
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016), 18
7
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2003), 11-14
3
tindakan melanggar hukum yang menyimpang dari nilai moral, selain itu main
hakim sendiri juga melanggar sila ke-2 Pancasila yaitu "Kemanusiaan yang adil
dan beradab". Aksi main hakim sendiri tidak diatur secara khusus di dalam
peraturan hukum pidana di Indonesia.
Di Indonesia, pancasila adalah suatu ideologi dan dasar negara indonesia
yang menjadi landasan dari segala keputusan bangsa dan mencerminkan
kepribadadian bangsa indonesia. Dengan kata lain, pancasila adalah dasar dalam
mengatur pemerintahan bangsa indonesia yang mengutamakan komponen di
seluruh wilayah indonesia. Secara etimologi kata “pancasila” berasal dari bahasa
sansekerta yaitu kata “panca” yang artinya lima dan “sila” yang artinya dasar
sehingga secara harfiah pancasila adalah lima dasar. Dasar negara indonesia
dilambangkan dengan garuda dimana terdapat gambar bintang, rantai, pohon
beringin, kepala banteng, padi dan kapas yang mencerminkan arti dari 5 sila
pancasila. Kemudian lambang negara indonesia ini disebut dengan Garuda
pancasila. Berikut ini adalah bunyi pancasila:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Salah satu cara untuk memperjuangkan “hak” bagi setiap warga negara
sebagai penyandang hak dan kewajiban adalah berjuang melalui jalur hukum.
Begitu juga dengan “keadilan” yang secara theoritis merupakan cita-cita hukum,
tentunya agar masyarakat menghormati hukum tidak dapat hukum itu harus
berwibawa agar dapat dipatuhi oleh semua subyek hukum. Namun dalam
kenyataannya masyarakat cenderung tidak patuh pada hukum karena wibawa
hukum “tidak ada”.
Budaya main hakim sendiri agaknya telah menjadi megatrend dalam
masyarakat kita dan ini belum termasuk bagi mereka yang menghakimi harta
5
kekayaan negara (para koruptor) yang merupakan sisi gelap lainnya yang menjadi
budaya pula di negara kita.
Sebagaimana yang kita ketahui di indonesia fenomena tindakan main hakim
sendiri terhadap pelaku kejahatan itu sangat tidak manusiawi bahkan sampai ada
yang meninggal dunia di karenakan banyak tindakan main hakim sendiri yang
tidak beradab padahal ini adalah negara hukum dan kita adalah negara yang
beradab tetapi masih banyak yang melakukan tindakan main hakim sendiri secara
tidak beradab seperti dipukul padahal seharusnya kita sebagai negara hukum harus
menangkap dan diserahkan kepada polisi setelah itu pihak kepolisian akan
menyerahkan pelaku tindakan kejahatan tersebut ke pengadilan setelah itu baru di
proses hukuman apa yang akan dia terima.
Dalam Al-Qur’an disebutkan larangan berlaku dzalim kepada sesama
manusia yaitu QS. asy-Syūrā ayat 39-43:
ۤ
ْ َسيَِّئةٌ ِّم ْثلُ َها ۚفَ َمنْ َعفَا َوا
صلَ َح َ َو َج ٰزُؤا٣٩ ََص ُر ْون
َ سيَِّئ ٍة َ ََوالَّ ِذيْنَ اِ َذٓا ا
ِ صابَ ُه ُم ا ْلبَ ْغ ُي ُه ْم يَ ْنت
ٰۤ َ ْ ُ ٰ هّٰللا
َ ْول ِٕىكَ َما َعلَ ْي ِه ْم ِّمن
سبِ ْي ۗ ٍل َ َولَ َم ِن ا ْنت٤٠ َفَا َ ْج ُر ٗه َعلَى ِ ۗاِنَّ ٗه اَل يُ ِح ُّب الظّلِ ِميْن
ُ َص َر بَ ْع َد ظل ِم ٖه فا
ٰۤ ۗ ْ
ٌ ول ِٕى َك لَ ُه ْم َع َذ
اب ِّ ض بِ َغ ْي ِر ال َح
ُق ا ِ اس َويَ ْب ُغ ْونَ ِفى ااْل َ ْر َ َّسبِ ْي ُل َعلَى الَّ ِذيْنَ يَ ْظلِ ُم ْونَ الن َّ اِنَّ َما ال٤١
صبَ َر َو َغفَ َر اِنَّ ٰذلِكَ لَ ِمنْ ع َْز ِم ااْل ُ ُم ْو ِر َ ْ َولَ َمن٤٢ ࣖ اَلِ ْي ٌم
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh
siapapun.”
Dan pasal 33 Undang-Undang tersebut yang berbunyi, ayat 1 “Setiap orang
bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam dan tidak
manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Ayat 2 “Setiap
orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa atau penghilangan nyawa”
Pelaku main hakim sendiri (Eigenrichting) dapat dikenakan hukuman yang
terdapat dalam KUHP Pasal 170 ayat (1) yang menyebutkan, “Barang siapa
dengan terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap
orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan.”10 Kemudian pada ayat (2) Yang bersalah diancam butir ke-1 “dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan
barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka.” Butir ke-2
“dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan
mengakibatkan luka berat.” Butir ke-3 “dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.”
Menurut hukum Islam apabila beberapa orang bersama-sama melakukan
tindak pidana maka perbuatannya disebut turut serta dalam tindak pidana atau
dikenal dengan istilah “al-isytirak”. Islam membagi dua dalam turut serta yaitu
turut serta secara langsung, orang yang turut serta disebut peserta langsung (al-
syarik al-mubasyir). Kedua turut serta secara tidak langsung (al-syarik al-
mutasabbib).11
Turut serta secara langsung terjadi apabila orang yang melakukan tindak
pidana dengan nyata lebih beberapa orang. Melakukan tindak pidana tersebut bisa
karena kebetulan atau terjadi dengan tiba-tiba (tawafuq), atau tindak pidana terjadi
karena telah direncanakan bersama-sama (tamalu’).12 Upaya penanggulangan
tindak pidana main hakim sendiri (Eigenrichting) harus diupayakan dengan
10
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014), 70
11
Ahmad Mawardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), 68
12
Asadulloh al-Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2009) , 91
8
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis mengambil
rumusan masalah yang akan dibahas yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana Fenomena Tindakan Main Hakim Sendiri Di Masyarakat Yang
Mengakibatkan Kematian?
2. Bagaimana Menurut Hukum Pidana Islam Tentang Tindakan Main Hakim
Sendiri?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah titik akhir yang akan dicapai dalam
sebuah penelitian dan juga menentukan arah penelitian agar tetap dalam koridor
yang benar hingga tercapainya sesuatu yang dituju. 13 Dengan berbagai tujuan
diantara lain adalah sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Fenomena Tindakan Main Hakim Sendiri Di
Masyarakat Yang Mengakibatkan Kematian
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Menurut Hukum Pidana Islam Tentang
Tindakan Main Hakim Sendiri
D. Kegunaan Penelitian
13
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Salemba Humanika.
2010), 89
9
Adapun kegunaan dari penelitian ini yang penulis kaji, berkaitan dengan
judul diatas, maka penelitian ini mempunyai dua jenis kegunaan, yaitu:
a. Kegunaan teoritis
1. Secara teoritis, dari penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam
rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah
perbendaharaan kepustakaan terutama bidang Hukum Pidana Islam.
2. Dapat menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola pikir kritis
bagi penulis sendiri pada khususnya, serta untuk pemenuhan
persyaratan dalam menyelesaikan studi di Jurusan Hukum Pidana Islam,
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Raden Fatah
Palembang.
b. Kegunaan praktis
1. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk
mewujudkan kesadaran masyarakat yang berdasarkan hukum,
khususnya yang berkaitan dengan masalah tindak pidana bagi
masyarakat yang main hakim sendiri.
2. Dapat dijadikan sebagai bahan dan pedoman bagi masyarakat, terutama
bagi para hakim, tokoh agama dan para ulama dalam menegakkan
hukum islam, pada khususnya berkenaan dengan permasalahan tindak
pidana bagi masyrakat yang main hakim sendiri
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian yang
sudah pernah dilakukan seputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat jelas
bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau
duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada. Berikut beberapa skripsi
yang membahas tentang tindak pidana masyarakat yang main hakim sendiri.
Dalam skripsi yang ditulis oleh Aris Munandar yang berjudul “Penegakkan
Hukum Pidana Terhadap Pelaku Main Hakim Sendiri’ dalam penelitian ini
penulis fokus membahas tentang siapa yang dapat di pertanggung jawabkan
pidana dalam tindakan main hakim sendiri jika pelaku utama atau provokator
10
tidak ditemukan14
Selanjutnya skripsi yang ditulis oleh Masykur Al-Farhiy yang berjudul
“Perbuatan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting) Pada Masyarakat Kecamatan
Parigi Desa Manimbahoi Dusun Pattiro Kabupaten Gowa (Perspektif Hukum
Islam)”. Dalam penelitian ini penulis fokus membahas tentang bagaimana upaya
penegak hukum dalam mengantisipasi atau mencegah terjadinya main hakim
sendiri15
Skripsi di atas memiliki kesamaan dengan penelitian skripsi ini yaitu sama-
sama membahas tentang masyarakat yang main hakim sendiri. Sedangkan
perbedaan dari kedua penelitian di atas yang pertama tentang siapa yang dapat di
pertanggung jawabkan pidana dalam tindakan main hakim sendiri jika pelaku
utama atau provokator tidak diketahui di tulis oleh Aris Munandar sedangkan
penelitian ini tentang bagaimana padangan hukum pidana Islam tentang tindakan
main hakim sendiri hingga mengakibatkan kematian. Kedua skripsi yang ditulis
oleh Masykur Al-Farhiy yang berjudul perbuatan main hakim sendiri
(Eingerechting) pada masyarakat Parigi Desa Manimbahoi Dusun Pattiro
Kabupaten Gowa (perpektif hukum pidana islam) dalam penelitian ini penulis
fokus membahas tentang bagaimana upaya penegak hukum dalam mengantisipasi
atau mencegah terjadinya main hakim sendiri sedangkan penelitian ini berfokus
pada bagaimana sanksi hukum bagi pelaku main hakim sendiri hingga
mengakibatkan kematian
F. Metode Penelitian
Penulis melakukan suatu penelitian, tidak akan terlepas dari penggunaan
metode, karena metode merupakan cara atau jalan bagaimana seseorang harus
bertindak. Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Oleh karena itu penting
bagi peneliti melakukan metode yang paling tepat dalam menyelesaikan
penelitiannya.
14
Aris Munandar, “Penegakkan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Main Hakim Sendiri”
15
Maskyur Al-Fahriy, “Perbuatan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting) Pada
Masyarakat Kecamatan Parigi Desa Manimbahoi Dusun Patrio Kabupaten Gowa (Perspektif
Hukum Islam)”
11
15
16
1. Merupakan sifat melawan hukum yang dilarang oleh aturan pidana sehingga
tindakan ini dapat merugikan orang lain.
21
Ismu Gunadi dan Jonaedi Effendi, Cepat Dan Mudah Memahami Hukum Pidana,
Cetakan Ke-1, (Jakarta: Kencana, 2014), 36
22
http://saifudiendjsh,blogspot.com/2014/02/pengertian-tindak-pidana.html?m-1 Diakses
pada 23 januari2022 pukul 22.40 WIB
23
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2012), 34
24
Scharavendijk, Van H.J, Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana di Indonesia,
(Jakarta: J.B Wolters,1996), 87
17
2. Bahwa tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut).
3. Suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan oleh undang-undang yang
apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau
mengabaikan akan diancam dengan pidana.
Grafika, 2004), 67
26
Al-Fauzan, Ringkasan Fikh Lengkap, Jilid 1&2 (Bekasi:PT. Darul Falah), 66
18
b. Jinayah
Hukum pidana islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayah atau
jarimah. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata jana. Secara
etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan
perbuatan dosa atau perbuatan salah.27 Jinayah juga merupakan nama bagi
perbuatan yang diharamkan oleh syara’, para fuqaha sering memakai kata jinayah
untuk jarimah. Dimana semua pengertian jinayah adalah hasil perbuatan
seseorang, dan biasanya dibatasi kepada perbuatan yang dilarang saja. Dikalangan
fuqaha-fuqaha yang dimaksud dengan kata-kata jinayah adalah perbuatan yang
dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa atau harta benda ataupun
lain-lainnya. Secara etimologi jinayah adalah nama bagi sesuatu yang dilakukan
oleh seseorang menyangkut suatu kejahatan atau apapun yang ia perbuatan.28
Sedangkan secara terminologi, jinayah adalah suatu nama bagi perbuatan yang
diharamkan oleh hukum Islam, baik berkenaan dengan jiwa, harta, maupun yang
lain. Selain itu juga, banyak fuqaha memakai kata-kata jinayah hanya untuk
perbuatan yang mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh,
melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya. Adapula golongan
fuqaha yang membatasi pemakaian kata-kata jarimah kepada jarimah hudud dan
qisas saja.29 Dari definisi diatas penulis dapat memahami dengan mengambil
kesimpulan bahwasanya Jarimah/Jinayah adalah semua perbuatan atas peristiwa
yang dilarang oleh syara’, bertentangan dengan hukum pidana baik berkenaan
dengan jiwa, anggota badan, harta dan lainnya akan mendapat hukuman sesuai
dengan perbuatan yang dilakukan.
Selain itu juga, penulis menyimpulkan bahwa Jarimah/Jinayah mengacu
kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengetian tersebut terbatas pada
perbuatan yang dilarang. Pada umumnya penggunaan istilah tersebut hanya untuk
perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan,
pembunuhan dan sebagainya.
27
Marsaid, Al-Faqih Al-Jinayah,(Palembang: Rafah Press,2020), 53
28
Abdul Qadir Audah, At-Tasyir Al-Islami, Muqaranah Bil Qoununil Qad’iy,
Penerjemah Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid III (Bogor: Karisma Ilmu,
2007), 175.
29
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990), 2
19
30
Teguh prasetyo, Hukum pidana, (jakarta: PT Raja grafindo persada 2012), 49
20
a. Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan)
b. Diancam dengan pidana (Statbaar Gesteld)
c. Melawan hukum (Onrechtmatig)
d. Dilakukan dengan kesalahan (Met Schuld In Verbaand Staand)
e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (Toerekeningsvatoaar
person)
Sementara menurut Moeljatno, Unsur-unsur perbuatan pidana perbuatan
(manusia) yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formal)
dan bersifat melawan hukum (syarat materil). Dengan demikian, maka secara
ringkas dapat disusun unsur-unsur dari tindak pidana yaitu:
a. Subjek
b. Kesalahan
c. Bersifat melawan hukum
d. Suatu tindakan aktif atau pasif atau diharuskan oleh Undang-
undang/perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana.
e. Waktu, tempat dan keadaan (unsur objektif lainnya).31
31
S. R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya,
(Jakarta:Alumni Aheam-Petehaem, 1996), 207
21
pejabat negara seperti dalam Pasal 418 KUHP. Kalau hal menjadi pejabat
negara tidak ada, tidak mungkin ada perbuatan pidana tersebut.
Kemudian yaitu yang mengenai diluar diri si pelaku, contohnya dalam
Pasal 332 KUHP (melarikan wanita) disebut bahwa perbuatan itu harus
disetujui oleh wanita yang dilarikan sedangkan pihak orang tuanya tidaak
menyetujuinya. Terdapat pula hal ikhwal tambahan misalnya dalam
Pasal 164, dan 165 KUHP: Kewajiban untuk melapor kepada yang
berwajib jika mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan.
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
Contohnya penganiayaan menurut Pasal 351 Ayat 1 KUHP
diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan, tetapi jika
perbuatan menimbulkan luka-luka berat, ancaman pidana diberatkan
menjadi 5 tahun dan jika mengakibatkan mati, menjadi 7 tahun.
3214
Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah, (Palembang: Rafah Press, 2020), 57
22
33
Mardani, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Kencana, 2019), 8
23
kedua yaitu, Pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP) yang dirumuskan sebagai
perbuatan yang berwujud membuat surat palsu tanpa disebabkan akibat
tertentu dari penulisan surat palsu itu.
c. Commisie Delict adalah tindak pidana yang berupa melakukan suatu
perbuatan positif, umpamanya membunuh, mencuri dan lain lain. Jadi hampir
meliputi semua tindak pidana.
d. Ommisie Delict adalah melalaikan kewajiban untuk melakukan sesuatu,
umpamanya tidak melakukan pemberitahuan dalam 10 hari hal kelahiran atau
kematian kepada pegawai jabatan catatan sipil (Pasal 529 KUHP).
e. Gequalificeerd Delict istilah ini digunakan untuk suatu tindak pidana tertentu
yang bersifat istimewa, umpamanya pencurian yang Gequalificeerd (Pasal
336 KUHP), apabila pencurian dilakukan dengan diikuti perbuatan yang lain,
misalnya dengan merusak pintu.
f. Voortdurend Delict adalah tindak pidana yang tidak ada hentinya, misalnya:
Pasal 169 KUHP yang melarang turut serta dalam suatu perkumpulan yang
tertuju melakukan kejahatan, atau dalam suatu perkumpulan yang oleh
undang-undang atau oleh pemerintah berdasarkan undang-undang yang
dilarang. Jadi tindak pidana itu mulai dilakukan yang bersangkutan, dan
akan terus-menerus berlangsung selama ia belum keluar dari perkumpulan
itu.
Pasal 529 KUHP yang menentukan: “Barang siapa yang tidak memenuhi
kewajiban berdasarkan undang-undang untuk melakukan pemberitahuan
kepada pegawai catatan sipil guna dimasukkan dalam daftar kelahiran atau
daftar kematian akan dihukum dengan denda sebesar-besarnya seratus
rupiah”.34
34
M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Didalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, (Bandung: Remadja Karya CV, 1984), 10-13
24
a. Jarimah Qishas
Qishas merupakan suatu ketentuan Allah berkenaan dengan pembunuhan
sengaja dimana pelakunya dikenakan hukuman mati. Akan tetapi keluarga si
korban dapat menurunkan hukumaan mati menjadi hukuman denda (diyat).
Gagasan ini sangat khas dan sangat berbeda dengan sistem hukum positif
selama ini. Paling tidak, ada tiga kategori yang berkaitan langsung dengan
persoalan ini yaitu; kejahatan membunuh, kejahatan memukul dan
mencederakan dan kejahatan menggugurkan kandungan.
b. Jarimah Hudud
Menurut Ibrahim Muhammad al-jamal, hudud, jamak dari had, artinya
batas antara dua hal. Menurut bahasa bisa juga berarti mencegah. Adapun
menurut syariat hudud adalah hukuman yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an
sebagai hak Allah.35 Hukuman yang termasuk hak Allah ialah setiap hukuman
yang yang dikehendaki untuk kepentingan umum (masyarakat), seperti untuk
memelihara ketentraman, dan keamanan masyarakat, dan manfaat penjatuhan
hukuman tersebut akan dirasakan oleh semua masyarakat.36
c. Jarimah Ta’zir
Ta’zir ialah hukuman atas tindakan pelanggaran dan kriminalitas yang
tidak diatur secara pasti dalam hukum had. Hukuman ini berbeda-beda, sesuai
dengan perbedaan kasus dan pelakunya. Dari satu segi, ta’zir ini sejalan dengan
hukum had, yakni ialah tindakan yang dilakukan untuk memperbaikki perilaku
manusia, dan untuk mencegah orang lain agar tidak melakukan tindakan yang
sama seperti itu.37
D. Tujuan Pemidanaan
1. Tujuan Pemidanaan Menurut Hukum Positif
Secara umum dapat dikatakan bahwa sasaran yang hendak dituju oleh hukum
35
Abdullah Bin Abdurrahman Ali Bassam, Umdah Al-Ahkam: Syarah Hadits Pilihan
Bukhari Muslim, Terjemahan Kathur Suhardi, Cet. Ke-7 (Jakarta: Darul Falah, 2008), 874
36
Wabah Zuhaili, Al-Fiqhu As Syafi’i Al-Muyassar, (Beirut: Darul Fikr, 2008), 369
37
Marsaid, Masail Fiqhiyah Al-Jinayah, (Palembang: Noerfikri), 9-10
25
3. Menjerakan.
Pidana ini ditetapkan sebagai usaha untuk mengubah sikap dan perilaku agar
tidak mengulangi kejahatan yang pernah dilakukan.39 Dan terdapat juga beberapa
teori pemidanaan atau dasar-dasar pembenaran dan tujuan pidana, sebagai
berikut:
1. Memelihara Agama
41
Rahman Syamsudin Dan Ismail Aris, Merajut Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Mitra
Wacana Media, 2014), 246-247
42
Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 141
27
maka sangat wajar bila Islam menempatkan eksistensi agama bagi manusia
sebagai kebutuhan hidup yang sangat fundamental. Dalam rangka menjaga
eksistensi agama yang sangat penting bagi kehidupan manusia, maka Islam
menetapkan hukum pidana Riddah.
2. Memlihara Jiwa
Menyadari pentingnya jiwa atau hak hidup bagi manusia, maka hukum
Islam mengatur tentang larangan membunuh dengan penerapan hukum
qishas.
4. Memelihara Keturunan
5. Memelihara Harta
dan deduksi dari ketentuan-ketentuan yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW. Oleh karena itu, sumber utama hukum Islam adalah Al-
Qur’an dan Hadits. Bila diperlukan untuk menggali hukum yang belum ada atau
untuk memahami hukum maka perlu ijtihad dengan berbagai metode yang telah
dirumuskan oleh ahli ushul fiqh. Hukum Islam tidak identik dengan hukum dalam
pengertian aturan yang dibuat oleh suatu badan yang diberi wewenang dan
pemberlakuan sangsi bagi pelanggarnya.
Berbeda dengan hukum positif, sumber hukum positif murni dari
masyarakat. Hal ini dikarenakan pengambilan atau penemuan hukum positif
menggunakan metode induktif. Yaitu dengan mengamati perbuatan- perbuatan
dan sikap anggota masyarakat. Dari berbagai hasil pengamatan inilah kemudian
dibuat peraturan-peraturan umum yang mengikat seluruh masyarakat.
Syariat Islam sama pendirinya dengan hukum positif dalam menetapkan
jarimah atau tindak pidana dan hukumannya, yaitu dari segi tujuannya. Baik
hukum Pidana Islam maupun Hukum Positif keduanya sama-sama bertujuan
memelihara kepentingan dan ketenteraman masyarakat serta menjamin
kelangsungan hidupnya.44
Hukum Islam dibuat dengan tujuan sebagaimana tujuan hidup manusia
yaitu mengabdi kepada Allah SWT. Hukum Islam untuk masyarakat muslim
berfungsi mengatur berbagai hubungan manusia diatas bumi ini. Manusia yang
hidup didalam masyarakat memiliki berbagai bentuk hubungan, mulai dari
hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan dirinya sendiri, hubungan dengan
manusia lain dan hubungan benda dalam masyarakat serta hubungan dengan alam
sekitar. Selain itu, hukum Islam bertujuan menciptakan kehidupan beragama,
bermoral, berkeadilan, tertib, sejahtera didunia dan akhirat. Sementara itu, tujuan
hukum positif adalah menciptakan kedamaian dan ketertiban dalam
bermasyarakat. Dari segi sumber hukum, keduanya sangat berbeda dari segi
pembuat hukum dan metode pengambilan hukum. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa hukum islam dengan sumber utama Al-qur’an berasal dari
44
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih
Jinayah), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 15
29
Allah SWT. Sumber yang kedua adalah hadist yang berasal dari Nabi Muhammad
SAW dan selanjutnya ra’yu atau hasil pemikiran manusia. Hasil pemikiran
manusia (ijtihad) inilah yang kemudian memberikan peluang bagi hukum Islam
untuk dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman dan dapat memecahkan
berbagai persoalan dalam masyarkat. Hukum Islam tidak selamanya bersifat
memaksa. Sebagaimana bersifat korektif dan persuasif dan memberi kesempatan
kepada pelanggarnya untuk menyesali diri sendiri (taubat). Sementara hukum
positif lebih kepada peraturan-peraturan yang memaksa dan memberikan sanksi
bagi para pelanggarnya. Dari perbedaan dalam segi sumber atau penciptaannya itu
tergambarlah dengan jelas bagaimana sifat kedua hukum tersebut dengan
memperhatikan sifat penciptanya. Hukum positif merupakan produk manusia
tentu saja serba tidak lengkap dan terbatas kemampuannya. Itulah sebabnya
undang-undang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Sebaliknya, hukum islam adalah ciptaan Allah yang bersifat serba mampu,
sempurna, agung, dan serba tahu akan peristiwa yang sudah dan akan terjadi. Oleh
karenanya tentu saja ciptaanya juga sempurna, kostan dan tidak diubah-ubah atau
diganti-ganti, terutama dalam jarimah yang berbahaya, yaitu hudud dan qishas.45
45
Ahmad Wardi Muslich,Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqh
Jinayah), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 16
46
E. Utrecht, Hukum Pidana I: Suatu Pengantar Hukum Pidana untuk Tingkat Pelajaran
Sarjana Muda Hukum, Suatu Pelajaran Umum, (Bandung: PT Penerbit Universitas, 1965), 253
30
54
Ismu Gunadi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014), 40
55
Leden Marpaung, Asas, Teori, dan Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika,
2008), 7
56
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2010),
3
33
nyawa seseorang. Maka perbuatan tindak pidana main hakim sendiri terdapat
dalam KUHP sebagai berikut:
- Pasal 170 ayat (1) dan ayat (2) butir ke-2 dan butir ke-3 KUHP.
Pada ayat (1) “Barangsiapa terang-terangan dan dengan tenaga bersama
menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan”.
Pada ayat (2) butir 2 “dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika
kekerasan mengakibatkan luka berat” dan butir 3 “dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas tahun), jika kekerasan mengakibatkan maut”.
- Pasal 338 KUHP yaitu kejahatan terhadap nyawa.
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun)”.
Kemudian dalam KUHP Bab XX Tentang Penganiayaan. Klasifikasi
tindakan penganiayaan dalam KUHP sebagai berikut:57
- Penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP).
Pada ayat (1) menjelaskan tentang penganiayaan biasa yang tidak dapat
menimbulkan luka berat atau kematian.
Pada ayat (2) menjelaskan tentang penganiayaan yang mengakibatkan luka
berat.
Pada ayat (3) menjelaskan tentang penganiayaan yang mengakibatkan
kematian.
Pada ayat (4) menjelaskan tentang penganiayaan dengan sengaja merusak
kesehatan orang lain.
Pada ayat (5) percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pada ayat (1) dijelaskan penganiayaan ringan yaitu penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau pencaharian. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan
kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
57
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014), 137-139
34
58
Ismu Gunadi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2009), 97-103
36
59
Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta’rῑfāt, (Beirut: Dār al-Kutub al-Arabi, 1999), 79
60
Abdul Qadir Audah, al-Tasyrῑ’ al-Jina’ῑ al-Islāmῑ, (Beirut: Muassasah al-Risalah,
1994), 67
61
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmῑ wa adillātuhū, (Beirut: Dār al-Fikri, 1997), 5611
62
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dār al-Fikri, 1980), 422
37
1. Unsur formil (al-rukn al-syar’ῑ) ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang
dapat dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana jika ada undang- undang yang
secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana.
2. Unsur materiil (al-rukn al-mādῑ) ialah unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan suatu
tindak pidana.
3. Unsur moril (al-rukn al-adabῑ) ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang
dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak di bawah umur, atau sedang
berada di bawah ancaman.
Tindak pidana memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut:
1. Sasaran dari tindak pidana adalah jiwa atau integritas tubuh manusia, baik
sengaja maupun tidak sengaja.
2. Jenisnya telah ditentukan, yaitu pembunuhan dalam segala bentuknya dan
penganiayaan dalam segala tipenya, baik sengaja maupun tidak sengaja.
3. Tidak diperkenankan adanya keraguan dalam menjatuhkan sanksi.
adalah korban yang dibunuh merupakan manusia yang hidup. Kematian adalah
hasil dari perbuatan pelaku dan pelaku menghendaki terjadinya kematian.
2. Tindak pidana pembunuhan yang tidak sengaja manakala memenuhi syarat
tindak pidana pembunuhan yang tidak sengaja adalah korban manusia, adanya
perbuatan, dan kematian adalah akibat perbuatannya.
3. Tindak pidana pembunuhan karena kesalahan manakala pembunuhan tersebut
tidak ada unsur kesengajaan perbuatan dan semata-mata karena faktor kelalaian
dari pelaku. Unsur-unsur dari tindak pidana pembunuhan karena kesalahan
adalah adanya korban manusia, adanya perbuatan yang mengakibatkan matinya
korban, perbuatan tersebut terjadi karena kekeliruan, dan ada hubungan sebab
akibat antara kekeliruan dengan kematian.
4. Tindak pidana atas selain jiwa atau penganiayaan yang disengaja manakala
tindak pidana ini dilakukan dan ditunjukkan dengan sengaja dan dimaksudkan
untuk mengakibatkan luka pada tubuh korban.
5. Tindak pidana atas selain jiwa atau penganiayaan yang tidak disengaja
manakala tindak pidana ini dilakukan dan ditunjukkan dengan sengaja namun
tidak dimaksudkan untuk mengakibatkan luka pada tubuh korban.
Tindak pidana main hakim sendiri (eigenrichting) yang menyebabkan
kematian dalam hukum Islam sama halnya dengan pembunuhan semi sengaja dan
penganiayaan. Masalah sengaja dan tidak sengaja berkaitan erat dengan niat
pelaku. Ciri khusus dalam pembunuhan semi sengaja adalah adanya unsur
kesengajaan dan ketidaksengajaan. Unsur sengaja dapat ditemui pada kesengajaan
tindakan pelakunya untuk melakukan suatu tindakan tertentu yang ditujukan pada
orang lain atau korbannya, tetapi tidak berniat membunuh. Sedangkan unsur
ketidaksengajaan dapat dilihat dari tidak adanya niat atau kehendak pelaku untuk
membunuh orang lain atau korbannya, tetapi orang itu meninggal dunia. Dan
hukuman yang pantas bagi pelaku dalam hukum Islam adalah berupa qishash dan
diyat.
termasuk tindakan yang dilarang dan dapat di jalankan apabila dalam keadaan
terpaksa atau merupakan upaya terakhir (ultimum remidium), dikarenakan massa
tidak cukup adanya perlindungan hukum terhadap hak-haknya.67
67
Agus Sudaryanto, Fenomena Penghakiman Massa dalam Perspektif Hukum dan
Ekonomi, (Yogyakarta:Universitas Gadjah Mada, 2000), 109
68
Lukman Hakim, Budaya Main Hakim Sendiri (Eingenrichting) Terhadap Pelaku
Kejahatan Yang Tertangkap, (Banyuwangi:Institut Agama Islam Ibrahim, 2007), 88
42
70
Chandro Panjaitan, Skripsi (Penyebab terjadinya Tindakan Main Hakim Sendiri atau
Eigenrichting yang Menyebabkan Kematian (Contoh Kasus Pembakaran Pelaku Pencurian Motor
dengan Kekerasan di Pondok Aren Tanggerang), Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, 8
71
Chandro Panjaitan, Skripsi (Penyebab terjadinya Tindakan Main Hakim Sendiri atau
Eigenrichting yang Menyebabkan Kematian (Contoh Kasus Pembakaran Pelaku Pencurian Motor
dengan Kekerasan di Pondok Aren Tanggerang), Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, 9
72
Nurcahyaningsih,”Tinjauan Kriminologi terhadap Tindakan Main Hakim Sendiri
(Studi Kasus di Kelurahan Kawatuna Kota Palu)”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 2 ,
Volume 3, Tahun 2015, 3
45
Ada juga dalam skripsi yang ditulis oleh Riva Cahya Limba, menyebutkan
bahwa faktor yang menjadi penyebab masyarakat melakukan tindakan main
hakim sendiri diantaranya:73
1. Agar pelaku tidak melakukan perbuatan lagi (residivis) atau pelaku kejahatan
yang pernah melakukan perbuatan serupa menjadi jera.
73
Riva Cahya Limba, Peranan Penyidik terhadap Perbuatan Main Hakim Sendiri
(Eigenrichting) (Studi Pada Polresta Bandar Lampung), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas
Lampung ( Bandar Lampung: 2018), 25-26
46
2. Masyarakat tidak lagi mempercayai upaya hukum yang dilakukan oleh pihak
kepolisian.
3. Hanya ikut-ikutan, ketika melihat massa yang secara anarkis dan membabi
buta menghajar pelaku tindak pidana mereka tertarik untuk ikut-ikutan.
4. Perbuatan pidana itu sendiri sudah sangat meresahkan masyarakat.
BAB III
PEMBAHASAN
47
48
Salah satu cara untuk memperjuangkan “hak” bagi setiap warga negara
sebagai penyandang hak dan kewajiban adalah berjuang melalui jalur hukum.
Begitu juga dengan “keadilan” yang secara theoritis merupakan cita-cita hukum,
tentunya agar masyarakat menghormati hukum tidak dapat hukum itu harus
berwibawa agar dapat dipatuhi oleh semua subyek hukum. Namun dalam
kenyataannya masyarakat cenderung tidak patuh pada hukum karena wibawa
hukum “tidak ada”.
Sesuai penjelasan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum yang
berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Secara umum
konsekuensi dari sebuah Negara hukum dalam segala bentuk keputusan, tindakan
alat-alat perlengkapan Negara, segala sikap dan tingkah laku serta perbuatan yang
dilakukan oleh warga Negara harus memiliki landasan hukum. Dengan pernyataan
49
Faktor sosial
1. Kurangnya Pemahaman dan Kesadaran Masyarakat Tentang Hukum
Hukum merupakan salah satu bentuk budaya untuk kendali dan regulasi
perilaku manusia, baik individual maupun kolektif dalam penerapannya.
Hukum adalah alat utama dari kontrol sosial pada masyarakat. Peranan
hukum di dalam masyarakat sebagaimana tujuan hukum itu sendiri adalah
menjamin kepastian hukum dan keadilan, dalam kehidupan masyarakat
senantiasa terdapat perbedaan antara pola-pola perilakunya atau tata kelakuan
yang berlaku dalam masyarakat dengan pola-pola perilaku yang dikhendaki
oleh norma-norma (kaidah) hukum. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
suatu masalah berupa kesenjangan sosial sehingga pada waktu tertentu
74
Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Main Hakim Sendiri Pada Masyarakat
(123dok.com)
52
sangatlah beralasan karena warga sekitar sudah muak dengan pencurian yang
sering terjadi di daerahnya sehingga ketika warga dihadapkan dengan orang
yang mencurigakan maka masyarakat tidak akan segan lagi mengambil
langkah dan memutuskan hukumnya sendiri.
turun. Hal ini akibat proses panjang dari sistem peradilan yang kurang
mendidik dimana sering kali terjadi tersangka pelaku kejahatan dan
merugikan masyarakat dilepas oleh penegak hukum dengan alasan kurang
kuatnya bukti yang ada dan kalaupun kemudian diproses sampai ke
pengadilan, hukumnya yang dijatuhkan tidak sesuai dengan harapan
masyarakat. Budaya main hakim sendiri pada perkembangannya akan
melahirkan cara-cara lain seperti teror baik dengan sasaran psikologis
maupun fisik, atau yang lebih halus seperti intimidasi, pembunuh karakter
dan lain sebagainya. Maka dalam membangun masyarakat yang sadar dan
patuh pada hukum pemerintah harus secepatnya membangun moral force
(kekuatan moral) yang dimulai dari para penegak hukum dengan
mensosialisasikan hakikat perlunya hukum dipatuhi oleh masyarakat
dibarengi dengan menindak secara tegas setiap anggota atau kelompok
masyarakat yang melakukan cara main hakim sendiri dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan hukum yang mereka hadapi. Selain itu pencegahannya
dapat diupayakan baik dari segi masyarakat sendiri, perintah, maupun
perangkat peraturan hukum pidana yang berlaku.
4. Faktor Psikologis
Alasan psikologis bisa jadi ditimbulkan karena tekanan ekonomi yang
serba sulit yang melahirkan rasa frustasi. Hidup dalam keadaan tertekan
ditambah lagi adanya kesenjangan sosial antara kaya dan miskin yang lebar
menimbulkan kesenjangan sosial.
5. Faktor Masyarakat Kurang Percaya Terhadap Lembaga Penegak Hukum
Saat ini sedang di dalam kondisi dimana tatanan sistem hukum yang
dijalankan oleh lembaga penegak hukum masih rendahnya kepercayaan
masyrakat terhadap lembaga penegak hukum. Kondisi ini memiliki ciri-ciri
dimana hukum tidak lagi dipandang sebagai human institution ( lembaga
manusia) yang dapat memberikan rasa perlindungan hak-haknya sebagai
warga negara. Oleh karena itu, harus segera dilakukan langkah-langkah untuk
melakukan pengembalian kepercayaan tersebut.75
75
Nur Cahya Ningsih, “TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PERBUATAN MAIN
55
1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
berikut :
1. Dalam hal penegakan hukum untuk mengantisipasi/mencegah terjadinya
tindakan main hakim sendiri yaitu, hakim lebih terbatas pada kewenangan
tersebut hakim hanya berwenang pada proses pengadilan hingga penjatuhan
putusan. Adapun yang berkaitan dengan hal tersebut hakim lebih kepada
halhal seperti sosialisasi ke masyat.
2. Dalam hal penegakan hukum untuk mengantisipasi/mencegah terjadinya
tindakan main hakim sendiri yaitu, pengadilan itu fungsinya menerima
perkara, yang lebih bersentuhan dengan masyarakat adalah dari pihak
penyidik ataupun kepolisian yang ditugaskan kepada bhabinkamtibmas.
Langkah pengadilan lebih kepada penyuluhan hukum, memeriksa dan
mengadili perkara dalam proses pengadilan, terkait dengan tugas pokok
hakim tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat.
3. Dalam hal penegakan hukum untuk mengantisipasi/mencegah terjadinya
tindakan main hakim sendiri yaitu, khsusnya hakim lebih kepada proses
pengadilan itu sendiri mulai dari menerima, memeriksa, dan memutuskan
perkara.
1. Preventif (Pencegahan)
a. Membangun kewibawaan dan kepastian hukum yang memenuhi rasa
keadilan masyarakat
Perilaku menyimpang dalam masyarakat seperti perbuatan main
hakim sendiri tentunya harus segera diobati. Untuk menemukan obat
pertama kali perlu dikenali akar permasalahan munculnya tindakan main
hakim sendiri tersebut. Mengingat bahwa akar masalahnya adalah
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum, maka fungsi
hukum perlu dilaksanakan secara konsekuen dan professional oleh aparat
penegak hukum. Membangun dan menguatkan system hukum yang
berfungsi sesuai treknya, tidak ada diskriminasi terhadap siapa pun yang
berurusan dengan hukum. Rakyat berharap hukum bukan sekedar produk
politik untuk melindungi kepentingan tertentu, melainkan yang
berkeadilan, melindungi semua orang dan golongan tanpa diskriminasi.
Upaya ini pada akhirnya akan menumbuhkan kewibawaan dan kepastian
hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Dan apabila telah terjadi perbuatan main hakim sendiri maka melakukan
tindakan represif (penindakan), tindakan represif merupakan tindakan
pengendalian sosial yang dilakukan setelah terjadinya perbuatan main hakim
sendiri, tindakan represif dilakukan, yaitu:
2. Represif (Penindakan)
Proses hukum terhadap perbuatan main hakim sendiri yang dilakukan oleh
59
masyarakat tetap bisa diproses secara hukum, sama halnya dengan perbuatan
perbuatan hukum lainnya. Pelaku tindakan main hakim sendiri ini tetap bisa
ditangkap namun pada prakteknya jarang terjadi dikarenakan yang menjadi
korban penghakiman massa ataupun keluarganya tidak melaporkan atau
mempermasalahkan penganiayaan atau pengeroyokan yang dialaminya.
79
A. Javier Trevino, The Sociology Of Law, (New York: Rt. Martins Press, 2004), 234.
61
aturan itu sudah dikatakan berhasil maka masyarakatlah yang menilainya dan
berkemauan mengikuti segala aturan hukum yang ada, contoh dari kegagalan
penegak hukum dalam menjalankan tugasnya yaitu dengan adanya aksi tindakan
main hakim sendiri, itu sudah mencerminkan kegagalan penegak hukum dalam
menumpas tindak kejahatan dan contoh kedua kegagalan penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya yaitu masyarakat sering kali menemukan adanya keganjilan
dalam proses penegakkan hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian,
masyarakat berpresepsi bahwa seseorang yang telah melakukan tindak pidana
dapat begitu saja keluar dari tindakan kasus tersebut dengan kata lain pihak
kepolisian dapat saja melepaskan seseorang yang melakukan tindak pidana karena
orang tersebut telah membayar kepada pihak Kepolisian agar kasusnya dapat
terselesaikan dan kemudian bebas, hal itulah yang membuat masyarakat tidak lagi
dapat sepenuhnya mempercayai adanya proses penegakkan hukum yang adil,
baik, dan benar.
Durkheim mempergunakan istilah anomie untuk mendeskripsikan keadaan
“deregulation” didalam masyarakat yang diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-
aturan yang terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang
diharapkan dari orang lain dan keadaan ini memudahkan terjadinya penyimpangan
perilaku (deviasi). Dapat diberikan kesimpulan dalam pernyataan yang
dikemukakan oleh Durkheim menjelaskan bahwa ketidaktaatan masyarakat dalam
mematuhi segala peraturan hukum yang dibuat oleh pemerintah, dan itulah yang
menjadikan masyarakat tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan dalam
menciptakan suatu hukum yang baik dan benar, bila suatu masyarakat yang
mengerti akan hukum maka mereka melakukan suatu perilaku atau perbuatan
yang sejalan dengan hukum, dan menaati segala peraturan yang dibuat oleh
pemerintah.80
Sebaiknya hukum dalam hal ini bekerja untuk mengubah perilaku
masyarakat, yang mana pada awalnya perilaku tersebut dinilai sebagai perilaku
yang tidak menyimpang, namun selanjutnya disebut sebagai perilaku
menyimpang atau suatu pelanggaran. Untuk melakukan hal tersebut, butuh waktu
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum (Perkembangan Metode Dan Pilihan Masyarakat),
80
yang tidak sebentar, dimana perlu adanya pengertian dan sosialisasi terhadap
masyarakat.
Keadilan adalah sebuah istilah yang menyeluruh, dan termasuk juga segala
sifat hati yang bersih dan jujur. Tetapi agama menuntut yang lebih hangat dan
lebih manusiawi, melakukan pekerjaan yang baik, meskipun ini tidak diharuskan
secara ketat oleh keadilan, seperti kejahatan yang dibalas dengan kebaikan, atau
suka membantu mereka yang dalam bahasa duniawi “tak mempunyai suatu
63
tuntutan” kepada kita; dan sudah tentu pula memenuhi segala tuntutan yang
tuntutannya dibenarkan oleh kehidupan sosial. Begitu juga yang sebaliknya
hendaknya dihindari: segala yang diakui sebagai perbuatan munkar, dan segala
yang benar-benar tidak adil, kekejaman, dan segala kekufuran dan kefasikan
terhadap Hukum Allah, atau terhadap kesadaran batin kita sendiri dalam
bentuknya yang paling peka. Seperti yang di jelaskan dalam surah Al-Maidah ayat
8:
c۟ ُم َشنَـَٔانُ قَوْ ٍم َعلَ ٰ ٓى َأاَّل تَ ْع ِدلcْ وا قَ ٰ َّو ِمينَ هَّلِل ِ ُشهَدَٓا َء بِ ْٱلقِ ْس ِط ۖ َواَل يَجْ ِر َمنَّ ُك
ۚ وا ۟ ُوا ُكون ۟ ُٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامن
َ
۟ ُوا هُ َو َأ ْق َربُ لِلتَّ ْق َو ٰى ۖ َوٱتَّق
َوا ٱهَّلل َ ۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ خَ بِي ۢ ٌر بِ َما تَ ْع َملُون ۟ ُٱ ْع ِدل
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”
Islam sangat menghormati hak asasi manusia, hal tersebut terlihat dari adanya
hukum dalam lingkup Islam yang mengatur mengenai hukuman bagi orang yang
melakukan pelanggaran terhadap hak orang lain. Hukum-hukum itu ada yang
telah ditetapkan dan tidak dapat ditawar oleh umat Islam, maksudnya adalah umat
Islam tinggal menjalankan hukum yang tertulis dalam Al-Qur’an maupun Hadist
tanpa adanya penawaran. Ada juga hukuman yang dapat diganti oleh umat Islam,
ada kesepakatan dari kedua belah pihak yang bermasalah serta ada juga hukuman
yang dapat ditentukan oleh hakim didasarkan pada kondisi dari orang yang
melakukan kesalahan selama tidak melakukan kesalahan sebagaimana yang diatur
dalam Al-Qur’an.81
Dalam hukum pidana Islam istilah tindak pidana biasa disebut dengan kata
jarimah, yang berarti tindak pidana. Kata lain yang sering digunakan untuk pidana
istilah jarimah ialah jinayah. Hanya di kalangan fuqaha istilah jarimah pada
umumnya digunakan untuk semua pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang
oleh syara’ baik mengenai jiwa ataupun lainya. Sedangkan jinayah pada umumnya
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar
81
86
Dr. Hamzah Hasan, M.H.I., Hukum Pidana Islam 1, (Makassar : Alauddin Unversity
Press, 2014), 11.
66
87
Abd. Al-Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, teremahan. Alie Yafie (dkk.)
(Jakarta: PT. Khalista Ilmu, 2008), 19.
67
maka wali korban diberi hak untuk menuntut pula pelaku pidana tersebut.
Dalam hukum Islam ada kebijakan, yang mengesahkan penggantian hukuman,
berdasarkan adanya pemaafan dari pihak korban dengan sejumlah ganti kerugian
yang bersifat material untuk tindak kejahatan penganiayaan. 88 Di dalam hukum
Islam secara eksplisit telah dijelaskan oleh Allah Swt dalam firman-Nya Al-
Qur’an Surah Al-Ma’idah ayat 45 sebagai berikut :
ِّف َواُأْل ُذنَ بِاُأْل ُذ ِن َوالس َِّّن بِال ِّسن ِ ف بِاَأْل ْن cَ س َو ْال َع ْينَ بِ ْال َعي ِْن َواَأْل ْن َ َعلَ ْي ِه ْم فِيهَا َأ َّن النَّ ْفcَو َكتَ ْبنَا
ِ س بِالنَّ ْف
ق بِ ِه فَهُ َو َكفَّا َرةٌ لَهُ ۚ َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما َأ ْن َز َل هَّللا ُ فَُأو ٰلَِئكَ هُ ُم َ صاصٌ ۚ فَ َم ْن ت
َ َص َّد َ ِح قcَ َو ْال ُجرُو
َالظَّالِ ُمون
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya, maka melepaskan
hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
zalim.”89
88
Ali As-Sahbuny, Kamus Al-Qur’an : Quranic Explorer, (Shahih, 8 Februari 2016), 592
89
Surat Al-Ma'idah Ayat 45 | Tafsirq.com
90
https://tafsirq.com/5-Al-Ma'idah/ayat-45#tafsir-jalalayn
68
bahwa nyawa dibalas dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung
dan gigi dengan gigi. Luka-luka pun sedapat mungkin dikenakan kisas pula.
Barangsiapa memaafkan dan menyedekahkan hak kisasnya terhadap pelaku
kejahatan, maka sedekah itu merupakan kafarat yang dapat menghapus sebagian
dosanya. Barangsiapa yang tidak menerapkan hukum kisas dan lain-lainnya yang
telah ditetapkan Allah, akan termasuk orang-orang yang zalim.
Secara redaksi, dalam hukum pidana Islam tidak menyebut nama istilah
tindak pidana main hakim sendiri akan tetapi dengan istilah tindak pidana atas
selain jiwa yang dapat dilihat dari unsur-unsur dan akibat perbuatan tersebut.
Dalam main hakim sendiri, terkandung perbuatan penganiayaan yang dilakukan
bersama-sama atau disebut turut serta melakukan jarimah yang berpeluang
menyebabkan luka hingga meninggalnya korban maupun perbuatan pembunuhan
dalam Islam menyebut jarimah atas selain jiwa.
Islam telah menjelaskan berbagai norma atau atauran yang harus ditaati oleh
setiap mukalaf, hal ini telah telah termaktup dalam sumber hukum Islam,
termasuk juga mengenai perkara jarimah atau tindak pidana dalam Islam. Islam
sangat menghormati hak asasi manusia, hal itu terlihat dari adanya hukum dalam
lingkup Islam yang mengatur mengenai hukuman bagi orang yang melakukan
pelanggaran terhadap hak orang lain.
Hukum-hukum itu ada yang telah ditetapkan dan tidak dapat ditawar oleh
manusia, dalam arti tinggal menjalankan aturan yang telah tertulis dalam Al-
Quran maupun Hadis tanpa adanya penawaran. Ada juga hukuman yang dapat
diganti selama ada kesepakatan dari pihak-pihak yang bersangkutan, serta ada
pula hukuman yang dapat ditentukan oleh hakim didasarkan pada kondisi dari
oran yang telah melakukan kesalahan, selama tidak melakukan kesalahan
sebagaimana diatur dalam Al-Quran.91
Unsur jinayah terdapat tiga bagian diantaranya sebagai berikut:
1. Unsur materil merupakan perilaku kejahatan, orang tersebut dapat menerima
khitbah atau dapat memahami taklif. Unsur ini dikenal dengan (al-ruknu al-
adabi).
91
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 17-20.
69
92
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka,
2004), 11.
70
1. Jarimah Hudud
Hudud adalah jamak dari had, artinya menurut bahasa ialah menahan
(menghukum). Menurut istilah hudud berarti sanksi bagi orang yang
melanggar hukum syara’ dengan cara didera atau dipukul (dijilid) atau
dilempari dengan batu hingga mati (rajam). Sanksi tersebut dapat pula potong
tangan lalu sebelah atau kedua-duanya atau kaki dan tangan keduanya.
Tergantung pada kesalahana yang dilakukan. Hukuman had ini merupakan
hukuman maksimal bagi suatu pelanggar tertentu bagi setiap hukum.93
Jarimah hudud ini beberapa kasus disebutkan dalam Q.S. Al-maidah Ayat 33 :
2. Jarimah Qishas
Jarimah qishas adalah pembalasan yang setimpal atas pelanggaran yang
bersifat merusak badan atau menghilangkan jiwa,seperti dalam firman Allah
dalam Surah Al-Baqarah Ayat 178 :
اص فِي ا ْلقَ ْتلَى ۖ ا ْل ُح ُّر بِا ْل ُح ِّر َوا ْل َع ْب ُد بِا ْل َع ْب ِد َواُأْل ْنثَ ٰى ُ ص َ ِيَا َأيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكتِ َب َعلَ ْي ُك ُم ا ْلق
ٌان ۗ ٰ َذلِكَ ت َْخفِيف ٍ س َ وف َوَأدَا ٌء ِإلَ ْي ِه بِِإ ْح ِ ع بِا ْل َم ْع ُر ٌ َي ٌء فَاتِّبَا ْ بِاُأْل ْنثَ ٰى ۚ فَ َمنْ ُعفِ َي لَهُ ِمنْ َأ ِخي ِه ش
اب َألِي ٌم ٰ
ٌ ِمنْ َربِّ ُك ْم َو َر ْح َمةٌ ۗ فَ َم ِن ا ْعتَد َٰى بَ ْع َد َذلِ َك فَلَهُ َع َذ
Ahmad Jazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta:
93
Bahwa diyat adalah denda yang wajib harus dikeluarkan baik berupa
barang maupun uang oleh seseorang yang terkena hukum diyat sebab
membunuh atau melukai seseorang karena pengampunan, keringanan
hukuman, dan lain-lain.
ٌَو َما َكانَ لِ ُمْؤ ِم ٍن َأنْ يَ ْقتُ َل ُمْؤ ِمنًا ِإاَّل َخطًَأ ۚ َو َمنْ قَتَ َل ُمْؤ ِمنًا َخطًَأ فَت َْح ِري ُر َرقَبَ ٍة ُمْؤ ِمنَ ٍة َو ِديَة
ص َّدقُوا ۚ فَِإنْ َكانَ ِمنْ قَ ْو ٍم َع ُد ٍّو لَ ُك ْم َوه َُو ُمْؤ ِمنٌ فَت َْح ِري ُر َرقَبَ ٍة َّ َسلَّ َمةٌ ِإلَ ٰى َأ ْهلِ ِه ِإاَّل َأنْ ي
َ ُم
سلَّ َمةٌ ِإلَ ٰى َأ ْهلِ ِه َوت َْح ِري ُر َرقَبَ ٍة
َ ق فَ ِديَةٌ ُم
ٌ ُمْؤ ِمنَ ٍة ۖ وَِإنْ َكانَ ِمنْ َق ْو ٍم بَ ْينَ ُك ْم َوبَ ْينَ ُه ْم ِميثَا
ش ْه َر ْي ِن ُمتَتَابِ َع ْي ِن ت َْوبَةً ِمنَ هَّللا ِ ۗ َو َكانَ هَّللا ُ َعلِي ًما َح ِكي ًما ِ َُمْؤ ِمنَ ٍة ۖ فَ َمنْ لَ ْم يَ ِج ْد ف
َ صيَا ُم
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh
seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian
(damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. An-Nisa’ Ayat 92).
Bahwa pembunuhan terbagi atas lima bagian, yaitu: pembunuhan
sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tersalah, pelukaan sengaja,
pelukaan semi sengaja.
3. Jarimah Ta’zir
Hukum takzir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak ditetapkan
72
94
Abdullah Mustafa, Dkk. Intisari Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1983), 84.
95
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 67.
96
Abdul Qadir Audah, At-Tasyrik Al-Jinayah Al-Islamy, Juz II, (Bairut: Dar Alkitab Al
Arabi, Tth), 514.
73
Terkait dengan tindakan main hakim sendiri dalam hukum pidana Islam dapat
dilihat dari perbuatan yang terkandung di dalamnya. Perbuatan yang dimaksud
adalah perbuatan penganiayaan kepada pelaku tindak pidana pencurian. Dalam
lingkup hukum Islam, telah ada ketentuan larangan untuk saling membunuh dan
saling melukai.
Main hakim sendiri merupakan perbuatan kerja sama dalam melakukan
jarimah. Kerja sama melakukan jarimah maksudnya pelaku bersama-sama
melakukan jarimah. Dalam bentuk ini tiap pelaku masing-masing memberikan
peran dalam melakukan jarimah. Para ulama Islam mengklasifikasikan kerja sama
melakukan jarimah yaitu sekutu berbuat jarimah secara maksudnya pelaku
bersama-sama dengan orang lain aktif melakukan jarimah. Melakukan jarimah ini
ada dua bagian:
1. Secara kebetulan, tidak ada kesepakatan sebelumnya
2. Secara berencana, maksudnya telah melakukan perencanaan terlebih dahulu
sebelum melakukan jarimah.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa,main hakim sendiri
terhadap pelaku tindak pidana pencurian telah memenuhi syarat tindak pidana.
Terpenuhinya unsur-unsur sebagai tindak pidana main sendiri yang dilakukan
oleh warga Kecamatan Sako Kota Palembang, secara otomatis akan menjadikan
adanya pertanggungjawaban. Menurut Abdul Qadir Audah pertanggungjawaban
dari suatu tindakan perseorangan maupun kelompok orang akan hilang manakala
dilakukan dengan dasar sebagai berikut:97
1. Pembelaan yang sah;
2. Pendidikan dan pengajaran;
3. Pengoatan;
4. Permainan olahraga;
5. Hapusnya jaminan keselamatan;
6. Penggunaan wewenang dan kewajiban bagi pihak yang berwajib.
Implikasi terpenuhinya syarat perbuatan pada main hakim sendiri sebagai
tindak pidana serta terpenuhinya syarat hapusnya pertanggungjawaban adanya
97
Abdul Qadir Audah, At-Tasyrik Al-Jinayah Al-Islamy, Juz I, (Bairut: Dar Alkitab Al-
Arabi, Tth), 472.
75
proses pidana terhapat pelaku main hakim sendiri. Apabila diperhatikan uaraian di
atas terkait tindak pidana main hakim sendiri terhadap pelaku pencurian yang ada
di daerah Kecamatan Sako Kota Palembang, maka sanksi utama yang dapat
diberikan kepada pelaku main hakim sendiri adalah hukuman Qishas dan Diyat.
Pemberian hukuman disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang dilakukan oleh
warga dalam main hakim sendiri terhadap pelaku tindak pidana pencurian. Oleh
karena niat dan akibat yang ditimbulkan dari main hakim sendiri yang
menyangkut badan dan nyawa, maka tindakan tersebut masuk ke dalam kriteria
jarimah Qishas dan diyat.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tindak pidana main hakim sendiri (eigenrichting) merupakan perbuatan
mengambil hak tanpa memedulikan hukum, dengan kehendaknya sendiri
melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan luka atau cedera pada orang
lain bahkan sampai menyebabkan kematian. Dalam kasus ini tindak pidana
main hakim sendiri (eigenrichting) yang mengakibatkan kematian merupakan
sebuah tindak pidana kejahatan terhadap jiwa, sehingga haruslah ada sanksi
bagi pelakunya. Sanksi bagi pelaku tindak pidana main hakim sendiri
(eigenrichting) menurut hukum pidana positif adalah Pasal 170 ayat (2) butir
ke-3 KUHP yaitu kekerasan terhadap orang atau barang yang mengakibatkan
kematian diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Kemudian
menurut Pasal 351 ayat (3) KUHP yaitu mengenai perbuatan penganiayaan
yang mengakibatkan kematian diancam dengan pidana penjara paling lama 7
tahun.
2. Hukum pidana Islam, tindak pidana main hakim sendiri (eigenrichting)
termasuk ke dalam jarimah qishash dan diyat. Perbuatan tersebut termasuk ke
dalam tindak pidana terhadap jiwa dan tindak pidana atas selain jiwa atau
penganiayaan. Penerapan hukum pada masyarakat yang main hakim sendiri
dalam perspektif hukum islam tercantum di dalam Al-Qur’an Surah Al-
Mai’dah Ayat 45 dan Al-Qur’an Surah An-Nisa Ayat 92.
B. Saran
1. Main hakim sendiri tidak boleh dilakukan oleh masyrakat, dan bila terjadi
tindakan main hakim sendiri sebaiknya di serahkan kepada pihak berwajib.
Sebagaimana yang kita ketahui dan pahami bersama bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum yang mana segala tindakan yang kita lakukan harus
sesuai dengan apa yang sudah diatur oleh negara. Dan kepada aparatur
76
77
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Buku
Abdul Syahni, Sosiologi Kriminalitas, Bandung:Remaja Karya, 1987.
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah,
Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Abdullah Mustafa, Dkk. Intisari Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
1983.
Abdul Qadir Audah, At-Tasyrik Al-Jinayah Al-Islamy, Juz II, Bairut: Dar Alkitab
Al Arabi, Tth.
A. Javier Trevino, The Sociology Of Law, New York: Rt. Martins Press, 2004.
Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta’rῑfāt, Beirut: Dār al-Kutub al-Arabi, 1999.
Asadulloh Al-Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2009.
Al-Fauzan, Ringkasan Fikh Lengkap, Jilid 1&2 Jakarta: PT. Darul Falah, 20013.
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta:Sinar
Grafika, 2004.
Elien, Utrecht, Hukum Pidana I: Suatu Pengantar Hukum Pidana untuk Tingkat
Pelajaran Sarjana Muda Hukum, Suatu Pelajaran Umum, Bandung: PT
Penerbit Universitas, 1965.
Efendi Jonaedi Dan Ibrahim Johny, Metode Penelitian Hukum: Normatif Dan
Empiris, Depok: Prenadamedia Group, 2018.
Imam Sukardu, Pilar Islam Bagi Pluralisme Modern, Solo: PT. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, 2003.
Ismu Gunadi dan Jonaedi Effendi, Cepat Dan Mudah Memahami Hukum Pidana,
Cetakan Ke-1, Jakarta: Kencana, 2014.
Ismu Gunadi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Jakarta: Prenada
Media Group, 2009.
Leden Marpaung, Asas, Teori, dan Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
Muslich Ahmad Mawardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, 2004.
Muladi Dan Barda Nawawi Arief Dalam Rahman Syamsuddin Dan Ismail Aris,
Merajut Hukum Di Indonesia, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2014.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cet ke-8, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Santoso Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani, 2003.
Skripsi
Riva Cahya Limba, Peranan Penyidik terhadap Perbuatan Main Hakim Sendiri
(Eigenrichting) (Studi Pada Polresta Bandar Lampung), Skripsi, Fakultas
Hukum Universitas Lampung ( Bandar Lampung: 2018).
Internet
Jambret di Palembang Tewas Dibakar Massa, Istri yang Hamil Tua Menangis:
Padahal di Rumah Tak Kasar - Tribunsolo.com (tribunnews.com)
http://saifudiendjsh,blogspot.com/2014/02/pengertian-tindak-pidana.html?m-1
Diakses pada 23 januari 2022 pukul 22.40 W
83
83
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Identitas Diri
Nama : Mus Hendra
Tempat/Tanggal Lahir : Makarti Jaya, 13 Mei 1999
NIM : 1720103068
Alamat : Jalur 3 Telang Rt. 031, Rw.000 Desa Sumber Jaya
Kecamatan Sumber Marga Telang Kabupaten
Banyuasin
No HP : 0852-7279-7678
2. Nama Orang Tua
a. Ayah : H. Hasbi
b. Ibu : H. Fitri Yanti
c. Status Dalam Keluarga : Anak Kandung
3. Pekerjaan Orang Tua
a. Ayah : Wiraswasta
b. Ibu : IRT (Ibu Rumah Tangga)
4. Riwayat Pendidikan
1. SD Negeri 19 Muara Telang
2. SMP Negeri 02 Sumber Marga Telang
3. SMA Negeri 01 Makarti Jaya
Mus Hendra
84