Anda di halaman 1dari 84

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hukum pidana para ahli menyebutkan secara umum sasaran yang
hendak dituju oleh hukum pidana adalah melindungi kepentingan masyarakat dan
perseorangan dari tindakan-tindakan yang tidak menyenangkan akibat adanya
suatu pelanggaran oleh seseorang.1 Dalam suatu perbuatan pidana hanya
menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman
pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana,
tergantung kepada apakah dalam perbuatan itu orang tersebut memiliki
kesalahan.2
Seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih
dahulu ia melakukan perbuatan pidana, adalah dirasa tidak adil jika tiba-tiba
seseorang harus bertanggung jawab atas suatu tindakan, sedang ia sendiri tidak
melakukan tindakan tersebut.3 Sudarto mengatakan bahwa dipidananya seseorang
tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal
tersebut belum memenuhi syarat dalam penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan
masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana yaitu orang tersebut telah
bersalah atau memiliki kesalahan. Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru
dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.4
Kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana
seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada.

1
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, cet ke-8 (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 13
2
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cet ke- 8, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), 165
3
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, c e t k e - 3 (Jakarta:
Aksara Baru, 1983), 20-23
4
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Bahan Penyedia Bahan-Bahan Kuliah Fakultas
Hukum Undip, 1988), 85

1
2

Makanya tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa
kesalahan”. Asas kesalahan ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum
pidana, demikian fundamentalnya asas tersebut, sehingga meresap dan menggema
dalam hampir semua ajaran penting dalam hukum pidana.5
Asas praduga tak bersalah memiliki arti bahwa seseorang yang dituduh
melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan
bukti-bukti yang meyakinkan dan tidak ada unsur keraguan sedikitpun
menyatakan dengan tegas kesalahannya itu. Ini sejalan dengan kaidah ushul fiqh
yaitu pada dasarnya setiap orang terbebas dari berbagai tuntutan hukum. Dalam
hal ini, tampak asas praduga tak bersalah lebih dekat dengan aturan dalam Islam
bahwa seseorang tidak dibenarkan meneliti kesalahan orang lain kecuali memang
ia ditugaskan untuk melakukannya, seperti polisi, jaksa, atau hakim yang bertugas
menegakkan keadilan.6
Hukuman hanya dapat diberlakukan bagi orang yang telah terbukti bersalah
dan keputusan tersebut ditetapkan oleh hakim melalui proses pembuktian terlebih
dahulu. Sebelum proses pembuktian memberikan kejelasan status orang yang
dituduh melakukan pelanggaran, maka tetap berlaku prinsip praduga tak bersalah.
Hal ini juga tetap berlaku pada pelaku yang telah terbukti tertangkap tangan
melakukan suatu tindak pidana.7
Pada hakikatnya manusia adalah mahluk sosial yang bergantung satu sama
lain, dalam ajaran agama islam manusia adalah mahluk yang sempurna dengan
akal dan rasa yang seharusnya bisa membuat mereka menjadi mahluk yang cinta
akan damai hal ini bisa dilihat dalam nilai yang sosial dan nilai agama. Dalam
nilai sosial perbuatan main hakim sendiri merupakan suatu perbuatan yang tidak
hanya terjadi sekali saja tetapi hal ini sudah sering terjadi di dunia salah satunya
negara indonesia. Perbuatan main hakim sendiri merupakan perbuatan yang
sewenang-wenang terhadap orang yang melakukan tindak pidana atau orang yang
melakukan kejahatan.

5
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 157
6
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016), 18
7
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2003), 11-14
3

Realita hukum pidana di masyarakat tidak semudah yang dipaparkan karena


banyak permasalahan yang bermunculan terutama di antaranya permasalahan
tindak pidana yang berkembang di dalam masyarakat. Ketertiban hukum dalam
kehidupan masyarakat Indonesia tentu sangat berlawanan dengan keinginan
masyarakat Indonesia.. Salah satu kejahatan dalam kehidupan masyarakat
Indonesia adalah tindakan main hakim sendiri. Tindakan main hakim sendiri
adalah perbuatan sewenang-wenang terhadap seseorang (pelaku delik) tanpa
melalui prosedur hukum, misalnya penganiayaan pencuri yang tertangkap tangan
oleh massa.
Sesuai penjelasan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum yang
berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Secara umum
konsekuensi dari sebuah Negara hukum dalam segala bentuk keputusan, tindakan
alat-alat perlengkapan Negara, segala sikap dan tingkah laku serta perbuatan yang
dilakukan oleh warga Negara harus memiliki landasan hukum. Dengan pernyataan
di atas menunjukkan bahwa hukum di Indonesia dijadikan pelindung bagi
warganya. Segala sesuatu yang telah diatur dalam Peraturan Perundang-undangan,
masyarakat tidak dapat berbuat sewenang-wenangnya dalam melakukan
kejahatan. Menghakimi sendiri memiliki hubungan erat dengan sifat melanggar
hukum dari setiap tindak pidana. Biasanya, dengan suatu tindak pidana seseorang
menderita kerugian. Adakalanya si korban berusaha sendiri untuk menghilangkan
kerugian yang ia derita dengan tidak menunggu tindakan alat-alat negara seperti
polisi atau jaksa, seolah-olah ia menghakimi sendiri (Eigenrichting).
Peraturan perundang–undangan khususnya Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana belum mengatur secara khusus mengenai tindakan main hakim sendiri,
akan tetapi bukan berarti KUHP tidak dapat diterapkan sama sekali jika terjadi
perbuatan tindakan main hakim sendiri. Pasal yang mengatur mengenai tindakan
main hakim sendiri yaitu, Pasal 170 tentang Kekerasan.
Menurut KBBI Aksi main hakim sendiri adalah menghakimi orang lain
tanpa memedulikan hukum yang ada, biasanya dilakukan dengan pemukulan,
penyiksaan , pembakaran, dan sebagainya. Main hakim sendiri ini merupakan
4

tindakan melanggar hukum yang menyimpang dari nilai moral, selain itu main
hakim sendiri juga melanggar sila ke-2 Pancasila yaitu "Kemanusiaan yang adil
dan beradab". Aksi main hakim sendiri tidak diatur secara khusus di dalam
peraturan hukum pidana di Indonesia.
Di Indonesia, pancasila adalah suatu ideologi dan dasar negara indonesia
yang menjadi landasan dari segala keputusan bangsa dan mencerminkan
kepribadadian bangsa indonesia. Dengan kata lain, pancasila adalah dasar dalam
mengatur pemerintahan bangsa indonesia yang mengutamakan komponen di
seluruh wilayah indonesia. Secara etimologi kata “pancasila” berasal dari bahasa
sansekerta yaitu kata “panca” yang artinya lima dan “sila” yang artinya dasar
sehingga secara harfiah pancasila adalah lima dasar. Dasar negara indonesia
dilambangkan dengan garuda dimana terdapat gambar bintang, rantai, pohon
beringin, kepala banteng, padi dan kapas yang mencerminkan arti dari 5 sila
pancasila. Kemudian lambang negara indonesia ini disebut dengan Garuda
pancasila. Berikut ini adalah bunyi pancasila:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Salah satu cara untuk memperjuangkan “hak” bagi setiap warga negara
sebagai penyandang hak dan kewajiban adalah berjuang melalui jalur hukum.
Begitu juga dengan “keadilan” yang secara theoritis merupakan cita-cita hukum,
tentunya agar masyarakat menghormati hukum tidak dapat hukum itu harus
berwibawa agar dapat dipatuhi oleh semua subyek hukum. Namun dalam
kenyataannya masyarakat cenderung tidak patuh pada hukum karena wibawa
hukum “tidak ada”.
Budaya main hakim sendiri agaknya telah menjadi megatrend dalam
masyarakat kita dan ini belum termasuk bagi mereka yang menghakimi harta
5

kekayaan negara (para koruptor) yang merupakan sisi gelap lainnya yang menjadi
budaya pula di negara kita.
Sebagaimana yang kita ketahui di indonesia fenomena tindakan main hakim
sendiri terhadap pelaku kejahatan itu sangat tidak manusiawi bahkan sampai ada
yang meninggal dunia di karenakan banyak tindakan main hakim sendiri yang
tidak beradab padahal ini adalah negara hukum dan kita adalah negara yang
beradab tetapi masih banyak yang melakukan tindakan main hakim sendiri secara
tidak beradab seperti dipukul padahal seharusnya kita sebagai negara hukum harus
menangkap dan diserahkan kepada polisi setelah itu pihak kepolisian akan
menyerahkan pelaku tindakan kejahatan tersebut ke pengadilan setelah itu baru di
proses hukuman apa yang akan dia terima.
Dalam Al-Qur’an disebutkan larangan berlaku dzalim kepada sesama
manusia yaitu QS. asy-Syūrā ayat 39-43:
ۤ
ْ َ‫سيَِّئةٌ ِّم ْثلُ َها ۚفَ َمنْ َعفَا َوا‬
‫صلَ َح‬ َ ‫ َو َج ٰزُؤا‬٣٩ َ‫َص ُر ْون‬
َ ‫سيَِّئ ٍة‬ َ َ‫َوالَّ ِذيْنَ اِ َذٓا ا‬
ِ ‫صابَ ُه ُم ا ْلبَ ْغ ُي ُه ْم يَ ْنت‬
ٰۤ َ ْ ُ ٰ ‫هّٰللا‬
َ ْ‫ول ِٕىكَ َما َعلَ ْي ِه ْم ِّمن‬
‫سبِ ْي ۗ ٍل‬ َ ‫ َولَ َم ِن ا ْنت‬٤٠ َ‫فَا َ ْج ُر ٗه َعلَى ِ ۗاِنَّ ٗه اَل يُ ِح ُّب الظّلِ ِميْن‬
ُ ‫َص َر بَ ْع َد ظل ِم ٖه فا‬
ٰۤ ۗ ْ
ٌ ‫ول ِٕى َك لَ ُه ْم َع َذ‬
‫اب‬ ِّ ‫ض بِ َغ ْي ِر ال َح‬
ُ‫ق ا‬ ِ ‫اس َويَ ْب ُغ ْونَ ِفى ااْل َ ْر‬ َ َّ‫سبِ ْي ُل َعلَى الَّ ِذيْنَ يَ ْظلِ ُم ْونَ الن‬ َّ ‫ اِنَّ َما ال‬٤١
‫صبَ َر َو َغفَ َر اِنَّ ٰذلِكَ لَ ِمنْ ع َْز ِم ااْل ُ ُم ْو ِر‬ َ ْ‫ َولَ َمن‬٤٢ ‫ࣖ اَلِ ْي ٌم‬

“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim,


mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang
setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang
berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-
orang zalim. Tetapi orang-orang yang membela diri setelah dizalimi, tidak ada
alasan untuk menyalahkan mereka. Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada
orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di bumi
tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapat siksa yang pedih. Tetapi
barangsiapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk
perbuatan yang mulia.”

Pada kenyataannya pemberlakuan hukum tak selamanya berjalan


sebagaimana yang diharapkan. Tidak jarang sekelompok orang atau masyarakat
melakukan tindakan main hakim sendiri (Eigenrichting) yang belum tentu
dilakukan oleh terduga tindak pidana. Hal ini dapat terjadi karena faktor
emosional masyarakat terhadap tindak pidana yang terjadi yang meresahkan
6

masyarakat. Banyaknya tindakan kejahatan yang mengancam harta benda bahkan


jiwa seseorang sehingga menjadikan masyarakat dapat berperilaku mengabaikan
hukum. Tindak pidana main hakim sendiri adalah tindakan untuk melaksanakan
hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa
persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, pelaksanaan sanksi oleh
perorangan/ kelompok sehingga akan menimbulkan kerugian. Hanya saja sanksi
yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok sulit diukur berat ringannya,
karena massa terkadang dapat bertindak kalap dan tidak terkendali.8
Sebagaimana diketahui tindakan main hakim sendiri (Eigenrichting) sangat
sering terjadi di lingkungan masyarakat. Masyarakat dengan mudah terpancing
emosi apabila terjadi suatu tindak pidana. Salah satu kasus yang terjadi pada tahun
ini yaitu pada tahun 2022 yang menimpa Indra Widodo dan Taufik yang
merupakan warga Daerah Plaju Kota Palembang yang telah melakukan tindak
pidana pencurian tas dipinggir jalan terhadap seorang wanita. Mereka menjadi
korban dalam tindakan main hakim sendiri di Kecamatan Sako Kota Palembang
yang akhirnya salah satu dari mereka meninggal dunia dengan cara dibakar hidup-
hidup yaitu Indra Widodo. Sedangkan Taufik tidak mengalami banyak luka bakar
dan kemudian dibawa ke Kantor Lurah Kecamatan Sako dan setelahnya baru
dibawa ke Polsek (Polisi Sektor) untuk dimintai keterangan lebih lanjut.9
Dari kasus tersebut dapat dilihat bahwa tindakan masyarakat yang
melakukan tindakan main hakim sendiri (Eigenrichting) sampai menghilangkan
nyawa orang lain sudah di luar batas tindakan yang sewajarnya. Tindakan tersebut
telah melanggar pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya” Kemudian juga Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia Pasal 4 yang berbunyi, “hak hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak hak
8
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2010), 3
Jambret di Palembang Tewas Dibakar Massa, Istri yang Hamil Tua Menangis: Padahal di
9

Rumah Tak Kasar - Tribunsolo.com (tribunnews.com)


7

manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh
siapapun.”
Dan pasal 33 Undang-Undang tersebut yang berbunyi, ayat 1 “Setiap orang
bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam dan tidak
manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Ayat 2 “Setiap
orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa atau penghilangan nyawa”
Pelaku main hakim sendiri (Eigenrichting) dapat dikenakan hukuman yang
terdapat dalam KUHP Pasal 170 ayat (1) yang menyebutkan, “Barang siapa
dengan terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap
orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan.”10 Kemudian pada ayat (2) Yang bersalah diancam butir ke-1 “dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan
barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka.” Butir ke-2
“dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan
mengakibatkan luka berat.” Butir ke-3 “dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.”
Menurut hukum Islam apabila beberapa orang bersama-sama melakukan
tindak pidana maka perbuatannya disebut turut serta dalam tindak pidana atau
dikenal dengan istilah “al-isytirak”. Islam membagi dua dalam turut serta yaitu
turut serta secara langsung, orang yang turut serta disebut peserta langsung (al-
syarik al-mubasyir). Kedua turut serta secara tidak langsung (al-syarik al-
mutasabbib).11
Turut serta secara langsung terjadi apabila orang yang melakukan tindak
pidana dengan nyata lebih beberapa orang. Melakukan tindak pidana tersebut bisa
karena kebetulan atau terjadi dengan tiba-tiba (tawafuq), atau tindak pidana terjadi
karena telah direncanakan bersama-sama (tamalu’).12 Upaya penanggulangan
tindak pidana main hakim sendiri (Eigenrichting) harus diupayakan dengan

10
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014), 70
11
Ahmad Mawardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), 68
12
Asadulloh al-Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2009) , 91
8

sungguh-sungguh. Karena tindakan main hakim sendiri (Eigenrichting) dianggap


sebagai kecerobohan masyarakat dalam menghadapi suatu tindak pidana yang
terjadi. Apalagi sekedar memberikan efek jera kepada pelaku, sedangkan sudah
ada aparat penegak hukum yang bertugas menindaklanjuti hal tersebut dan
bertugas menegakkan keadilan.
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, mendorong penulis tertarik
untuk melakukab penelitian dengan judul, “TINDAKAN MAIN HAKIM
SENDIRI YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN MENURUT HUKUM
POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM”

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis mengambil
rumusan masalah yang akan dibahas yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana Fenomena Tindakan Main Hakim Sendiri Di Masyarakat Yang
Mengakibatkan Kematian?
2. Bagaimana Menurut Hukum Pidana Islam Tentang Tindakan Main Hakim
Sendiri?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah titik akhir yang akan dicapai dalam
sebuah penelitian dan juga menentukan arah penelitian agar tetap dalam koridor
yang benar hingga tercapainya sesuatu yang dituju. 13 Dengan berbagai tujuan
diantara lain adalah sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Fenomena Tindakan Main Hakim Sendiri Di
Masyarakat Yang Mengakibatkan Kematian
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Menurut Hukum Pidana Islam Tentang
Tindakan Main Hakim Sendiri

D. Kegunaan Penelitian
13
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Salemba Humanika.
2010), 89
9

Adapun kegunaan dari penelitian ini yang penulis kaji, berkaitan dengan
judul diatas, maka penelitian ini mempunyai dua jenis kegunaan, yaitu:
a. Kegunaan teoritis
1. Secara teoritis, dari penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam
rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah
perbendaharaan kepustakaan terutama bidang Hukum Pidana Islam.
2. Dapat menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola pikir kritis
bagi penulis sendiri pada khususnya, serta untuk pemenuhan
persyaratan dalam menyelesaikan studi di Jurusan Hukum Pidana Islam,
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Raden Fatah
Palembang.
b. Kegunaan praktis
1. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk
mewujudkan kesadaran masyarakat yang berdasarkan hukum,
khususnya yang berkaitan dengan masalah tindak pidana bagi
masyarakat yang main hakim sendiri.
2. Dapat dijadikan sebagai bahan dan pedoman bagi masyarakat, terutama
bagi para hakim, tokoh agama dan para ulama dalam menegakkan
hukum islam, pada khususnya berkenaan dengan permasalahan tindak
pidana bagi masyrakat yang main hakim sendiri

E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian yang
sudah pernah dilakukan seputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat jelas
bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau
duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada. Berikut beberapa skripsi
yang membahas tentang tindak pidana masyarakat yang main hakim sendiri.
Dalam skripsi yang ditulis oleh Aris Munandar yang berjudul “Penegakkan
Hukum Pidana Terhadap Pelaku Main Hakim Sendiri’ dalam penelitian ini
penulis fokus membahas tentang siapa yang dapat di pertanggung jawabkan
pidana dalam tindakan main hakim sendiri jika pelaku utama atau provokator
10

tidak ditemukan14
Selanjutnya skripsi yang ditulis oleh Masykur Al-Farhiy yang berjudul
“Perbuatan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting) Pada Masyarakat Kecamatan
Parigi Desa Manimbahoi Dusun Pattiro Kabupaten Gowa (Perspektif Hukum
Islam)”. Dalam penelitian ini penulis fokus membahas tentang bagaimana upaya
penegak hukum dalam mengantisipasi atau mencegah terjadinya main hakim
sendiri15
Skripsi di atas memiliki kesamaan dengan penelitian skripsi ini yaitu sama-
sama membahas tentang masyarakat yang main hakim sendiri. Sedangkan
perbedaan dari kedua penelitian di atas yang pertama tentang siapa yang dapat di
pertanggung jawabkan pidana dalam tindakan main hakim sendiri jika pelaku
utama atau provokator tidak diketahui di tulis oleh Aris Munandar sedangkan
penelitian ini tentang bagaimana padangan hukum pidana Islam tentang tindakan
main hakim sendiri hingga mengakibatkan kematian. Kedua skripsi yang ditulis
oleh Masykur Al-Farhiy yang berjudul perbuatan main hakim sendiri
(Eingerechting) pada masyarakat Parigi Desa Manimbahoi Dusun Pattiro
Kabupaten Gowa (perpektif hukum pidana islam) dalam penelitian ini penulis
fokus membahas tentang bagaimana upaya penegak hukum dalam mengantisipasi
atau mencegah terjadinya main hakim sendiri sedangkan penelitian ini berfokus
pada bagaimana sanksi hukum bagi pelaku main hakim sendiri hingga
mengakibatkan kematian
F. Metode Penelitian
Penulis melakukan suatu penelitian, tidak akan terlepas dari penggunaan
metode, karena metode merupakan cara atau jalan bagaimana seseorang harus
bertindak. Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Oleh karena itu penting
bagi peneliti melakukan metode yang paling tepat dalam menyelesaikan
penelitiannya.

14
Aris Munandar, “Penegakkan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Main Hakim Sendiri”
15
Maskyur Al-Fahriy, “Perbuatan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting) Pada
Masyarakat Kecamatan Parigi Desa Manimbahoi Dusun Patrio Kabupaten Gowa (Perspektif
Hukum Islam)”
11

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian


Adapun penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian
studi kepustakaan (Library Research), yaitu dengan cara mengambil dan
mengumpulkan dari buku-buku pustaka yang berhubungan dengan masalah
yang dibahas. Penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif,
yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah
atau norma-norma dalam hukum positif.16
2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data, sebagaimana dikemukakan oleh syofian siregar bahwa jenis
data dapat di bedakan menjadi tiga, yaitu: data kualitatif, data kuantitatif dan
data gabungan. Data kualitatif adalah data berbentuk kalimat, data
kuantitatif adalah data berbentuk angka, dan data gabungan adalah data yan
berbentuk kalimat dan angka17. Adapun data dalam penelitian ini
menggunakan data kualitatif untuk mendapatkan data yang berkaitan dan
menguraikan data-data di lapangan yang berubungan dengan tindak pidana
masyarakat yang main hakim sendiri.
Sumber Data, menurut Zainudin Ali sumber data dalam penelitian
hukum dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber
pertama yang diperoleh dengan cara melakukan wawancara dan
dokumentasi
2. Data Sekunder, data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka, dokumen
resmi, buku-buku dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
tindak pidana main hakim sendiri. Adapun sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini menggunakan pendekatan sumber bahan hukum,
sumber bahan hukum dibagi menjadi tiga, yakni18:
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum mengikat yang terdiri atas
peraturan perundang-undangan secara hierarki dan putusan pengadilan.
16
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris,
(Depok: Prenadamedia Group, 2018), 172
17
Syofian Siregar, Metode Penelitian Kuantitatif, (Jakarta:Kencana, 2013), 7-8
18
Jonaedi Efendi Dan Johny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif Empiris,
(Depok: prenadamediagroup, 2018), 235
12

Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi:


1. Al-Qur’an dan Hadits
2. Kitab Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
2) Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primier, adapun bahan hukum
sekunder dalam penelitian ini terdiri dari kitab tafsir, fiqh jinayah,
buku teks, jurnal hukum hukum, pendapat para pakar, yurisprudensi
dan peraturan pemerintah.
3) Bahan Hukum Tersier, yakni bahan-bahan yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, misalnya, ensiklopedia dan sebagainya.
1. Tehnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum ini menggunakan cara
Studi Kepustakaan (Library Research) studi ini digunakan untuk
mendapatkan data sekunder. Adapun pengumpulannya dilakukan dengan
membaca literatur – literatur berupa buku, jurnal, artikel yang berkaitan
dengan permasalahan. Dengan teknik ini peneliti memaparkan bahan hukum
yang berhubungan dengan masalah yang dibahas, kemudian di analisis
untuk menginterprestasikan hukum yang berlaku.
2. Teknik Analisis Data
Metode analisa data adalah upaya cara untuk mengolah data menjadi
informasi sehingga karakteristik data tersebut agar bisa dipahami dan
bermanfaat untuk solusi, terutama masalah yang barkaitan dengan
penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini teknik Deskriptif
Kuantitatif yang menggambarkan, dan menjelaskan seluruh permasalahan
yang ada, dan kemudian disimpulkan secara induktif yaitu menarik
kesimpulan dari yang bersifat khusus ke umum. Dengan demikian
diharapkan dapat memudahkan dalam permasalahan – permasalahan yang
diteliti secara kongkrit yang akan dibahas dalam penelitian ini.
G. Sistematika Penulisan
13

Untuk memudahkan pembahasan dalam proposal ini, penulis membagi


pembahasan dengan berbagai bagian agar dapat diuraikan secara tepat dan
mendapat kesimpulan yang benar dan utuh. Adapun bagian-bagian tersebut
antara lain sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan, Dalam hal ini penulis menguraikan tentang Latar
Belakang Masalah yang terangkum di dalamnya tentang apa yang
menjadi alasan memilih judul dan rumusan masalah. Selanjutnya
untuk lebih memperjelas maka dikemukakan pula tujuan dan
kegunaan penulisan yang mengacu pada rumusan masalah.
Kemudian agar tidak terjadi pengulangan dan penjiplakan maka
dibentangkan pula berbagai hasil penelitian terdahulu yang
dituangkan dalam tinjuan pustaka. Demikian pula metode penelitian
diungkapkan dengan maksud dapat diketahui apa yang menjadi
sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data, dan
pengembangannya kemudian tampak dalam sistematika penulisan.
BAB II: Tinjauan Umum, dalam bab ini penulis akan memaparkan tentang
Tinjauan Umum, dalam hal ini tinjauan umum tentang penganiayaan
yang meliputi: pengertian hukum positif dan hukum islam, unsur-
unsur tindak pidana, tujuan pemidanaan, perbandingan antara hukum
positif dan hukum islam, dan lain sebagainya.
BAB III: Pembahasan, Dalam bab ini penulis akan memaparkan bagian
Pembahasan,tentang bagaimana menurut hukum pidana islam
tentang tindakan main hakim sendiri dan bagaimana fenomena
tindakan main hakim sendiri
BAB IV: Penutup, dalam bab ini adalah bagian terakhir yang akan
menyimpulkan dari keseluruhan pembahasan, mulai dari pembahasan
awal sampai pembahasan akhir, dan untuk memberikan saran-saran
yang bersifat membangun untuk perbaikan dan kesempurnaan
proposal.
14
BAB II
TEORI UMUM

A. Pengertian Tindak Pidana


1. Tindak Pidana Menurut Hukum Positif
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian
dasar dalam ilmu hukum sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam
memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana
mempunyai pengertian yang asbtrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam
lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang
bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memishkan dengan istilah
yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu tindak
sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang
menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasal sendiri, maupun dalam
penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuatan.19
Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana, dimana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Menurutnya
syarat-syarat pokok dari sesuatu delik itu adalah:
1. Dipenuhinya semua unsur sari delik seperti dalam rumusan delik.
2. Dapat dipertanggung jawabkannya si pelaku atas perbuatannya.
3. Tindakan dari pelaku haruslah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
dengan sengaja.
4. Pelaku tersebut dapat dihukum.20

Menurut Tongat, penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakikatnya


tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaanya disesuaikan dengan konteksnya
dan dipahami maknanya, karena itu dalam tulisannya berbagai istilah tersebut
19
Nur Aisyah Bachri, 2014. Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan
Yang Dilakukan Oleh Anak. Skripsi. Makassar:Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 10
20
Lamintang dan Franciscus Theojunior L., Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia,
185

15
16

digunakan istilah kejahatan untuk menunjukkan maksud yang sama. Mengenai


definisi tindak pidana dapat dilihat pendapat pakar-pakar antara lain menurut
VOS, delik adalah veit yang dinyatakan dapat dihukum oleh undang-undang.
Sedangkan menurut Van Gamel, delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman
terhadap hak-hak orang lain.21
Tindak pidana mempunyai dua sifat yaitu sifat formil dan materil, sifat
formil dalam tindak pidana dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-
undang adalah melakukan perbuatan (dengan selesainya tindak pidana itu, tindak
pidana terlaksana), kemudian dalam sfiat materil, dalam jenis tindak pidana yang
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang adalah timbulnya
suatu akibat (dengan timbulnya akibat, maka tindak pidana terlaksana).22 Menurut
Amir Ilyas, tindak pidana adalah setiap perubahan yang mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:

1. Perbuatan tersebut dilarang oleh Undang-undang (mencocoki rumusan delik)


2. Memiliki sifat melawan hukum, dan
3. Tidak ada alasan pembenar23

Menurut H. J Van Schavendijk adalah perbuatan yang boleh dihukum,


yaitu kelakuan yang begitu bertentangan dengan keinsafan hukum asal dilakukan
dengan seorang yang karena itu dapat dipersalahkan. 24 Oleh karena itu, setelah
melihat definisi tersebut, maka dapat diambil kesimpulan pengertian tindak
pidana secara ringkas sebagai berikut:

1. Merupakan sifat melawan hukum yang dilarang oleh aturan pidana sehingga
tindakan ini dapat merugikan orang lain.

21
Ismu Gunadi dan Jonaedi Effendi, Cepat Dan Mudah Memahami Hukum Pidana,
Cetakan Ke-1, (Jakarta: Kencana, 2014), 36
22
http://saifudiendjsh,blogspot.com/2014/02/pengertian-tindak-pidana.html?m-1 Diakses
pada 23 januari2022 pukul 22.40 WIB
23
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2012), 34
24
Scharavendijk, Van H.J, Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana di Indonesia,
(Jakarta: J.B Wolters,1996), 87
17

2. Bahwa tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut).
3. Suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan oleh undang-undang yang
apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau
mengabaikan akan diancam dengan pidana.

2. Tindak Pidana Menurut Hukum Islam


Tindak pidana juga disebut dengan delik, atau perbuatan yang boleh
dihukum, atau peristiwa pidana yang keseluruhannya adalah suatu perbuatan yang
melanggar atau bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan
kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan. Maka sederhananya
tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar norma hukum. Dalam
hukum islam, istilah tindak pidana dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Jarimah
Jarimah secara bahasa adalah perbuatan dosa, kesalahan, dan kejahatan.
Al-Mawardi mendefinisikan jarimah adalah:
‫الجرائم محظورات شرعية زجر هللا تعالى عنها بحد او تعزير‬
“jarimah ialah larangan-larangan syara yang diancam dengan hukuman had
atau takzir”25
Para ahli fiqh mendifinisikan al-jinayah adalah bentuk jamak dari jinayah,
secara bahasa berarti kejahatan terhadap badan, harta, dan kehormatan. 26
Sedangkan istilah jarimah secara bahasa adalah istilah sebagaimana yang
diharamkan oleh islam. Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa
mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan. Maka dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa sesuatu bisa
dikatakan jarimah apabila dilarang oleh syari’at. Maka ini tidak berbeda dengan
pengertian tindak pidana, peristiwa pidana ataupun delik pada hukum pidana
positif.
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar
25

Grafika, 2004), 67
26
Al-Fauzan, Ringkasan Fikh Lengkap, Jilid 1&2 (Bekasi:PT. Darul Falah), 66
18

b. Jinayah
Hukum pidana islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayah atau
jarimah. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata jana. Secara
etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan
perbuatan dosa atau perbuatan salah.27 Jinayah juga merupakan nama bagi
perbuatan yang diharamkan oleh syara’, para fuqaha sering memakai kata jinayah
untuk jarimah. Dimana semua pengertian jinayah adalah hasil perbuatan
seseorang, dan biasanya dibatasi kepada perbuatan yang dilarang saja. Dikalangan
fuqaha-fuqaha yang dimaksud dengan kata-kata jinayah adalah perbuatan yang
dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa atau harta benda ataupun
lain-lainnya. Secara etimologi jinayah adalah nama bagi sesuatu yang dilakukan
oleh seseorang menyangkut suatu kejahatan atau apapun yang ia perbuatan.28
Sedangkan secara terminologi, jinayah adalah suatu nama bagi perbuatan yang
diharamkan oleh hukum Islam, baik berkenaan dengan jiwa, harta, maupun yang
lain. Selain itu juga, banyak fuqaha memakai kata-kata jinayah hanya untuk
perbuatan yang mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh,
melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya. Adapula golongan
fuqaha yang membatasi pemakaian kata-kata jarimah kepada jarimah hudud dan
qisas saja.29 Dari definisi diatas penulis dapat memahami dengan mengambil
kesimpulan bahwasanya Jarimah/Jinayah adalah semua perbuatan atas peristiwa
yang dilarang oleh syara’, bertentangan dengan hukum pidana baik berkenaan
dengan jiwa, anggota badan, harta dan lainnya akan mendapat hukuman sesuai
dengan perbuatan yang dilakukan.
Selain itu juga, penulis menyimpulkan bahwa Jarimah/Jinayah mengacu
kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengetian tersebut terbatas pada
perbuatan yang dilarang. Pada umumnya penggunaan istilah tersebut hanya untuk
perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan,
pembunuhan dan sebagainya.
27
Marsaid, Al-Faqih Al-Jinayah,(Palembang: Rafah Press,2020), 53
28
Abdul Qadir Audah, At-Tasyir Al-Islami, Muqaranah Bil Qoununil Qad’iy,
Penerjemah Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid III (Bogor: Karisma Ilmu,
2007), 175.
29
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990), 2
19

B. Unsur-unsur Tindak Pidana


1. Unsur-unsur Tindak Pidana Menurut Hukum Positif
Di dalam tindak pidana terdapat unsur-unsur tindak pidana, yaitu:
a. Unsur Objektif
Unsur yang terdapat di luar si pelaku, unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan dimana tindakan-tindakan si
pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari:
1) Sifat melanggar hukum
2) Kualitas dari si pelaku, Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri
didalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai
pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan
menurut Pasal 398 KUHP.
3) Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan suatu kenyataan sebab akibat
b. Unsur Subjektif
Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang
dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu
yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari:
1) Kesengajaan dan tidak kesengajaan (dolus atau culpa)
2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam pasal 53 ayat (1)
KUHP.
3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan,
pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya
4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam pasal 340
KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu
5) Perasaan takut seperti terdapat di dalam pasal 308 KUHP30

Secara sederhana Simons menuliskan beberapa unsur-unsur tindak pidana


sebagai berikut:

30
Teguh prasetyo, Hukum pidana, (jakarta: PT Raja grafindo persada 2012), 49
20

a. Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan)
b. Diancam dengan pidana (Statbaar Gesteld)
c. Melawan hukum (Onrechtmatig)
d. Dilakukan dengan kesalahan (Met Schuld In Verbaand Staand)
e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (Toerekeningsvatoaar
person)
Sementara menurut Moeljatno, Unsur-unsur perbuatan pidana perbuatan
(manusia) yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formal)
dan bersifat melawan hukum (syarat materil). Dengan demikian, maka secara
ringkas dapat disusun unsur-unsur dari tindak pidana yaitu:
a. Subjek
b. Kesalahan
c. Bersifat melawan hukum
d. Suatu tindakan aktif atau pasif atau diharuskan oleh Undang-
undang/perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana.
e. Waktu, tempat dan keadaan (unsur objektif lainnya).31

Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari kelakuan dan


akibat, hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan
tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang objektif,
dan unsur melawan hukum yang subjektif (seperti yang sudah saya jelaskan
sebelumnya). Adapun penjelasan sebagai berikut:
1. Kelakuan dan akibat
Setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriyyah
oleh perbuatan, mengandung perbuatan dan akibat yang ditimbulkan
karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir.
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
Menurut Van Hamel hal ikhwal ini dibagi menjadi dua golongan,
ialah mengenai diri orang yang melakukan, contohnya hal menjadi

31
S. R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya,
(Jakarta:Alumni Aheam-Petehaem, 1996), 207
21

pejabat negara seperti dalam Pasal 418 KUHP. Kalau hal menjadi pejabat
negara tidak ada, tidak mungkin ada perbuatan pidana tersebut.
Kemudian yaitu yang mengenai diluar diri si pelaku, contohnya dalam
Pasal 332 KUHP (melarikan wanita) disebut bahwa perbuatan itu harus
disetujui oleh wanita yang dilarikan sedangkan pihak orang tuanya tidaak
menyetujuinya. Terdapat pula hal ikhwal tambahan misalnya dalam
Pasal 164, dan 165 KUHP: Kewajiban untuk melapor kepada yang
berwajib jika mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan.
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
Contohnya penganiayaan menurut Pasal 351 Ayat 1 KUHP
diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan, tetapi jika
perbuatan menimbulkan luka-luka berat, ancaman pidana diberatkan
menjadi 5 tahun dan jika mengakibatkan mati, menjadi 7 tahun.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Menurut Hukum Islam


Didalam hukum Islam, suatu perbuatan tidak dapat dihukum, kecuali jika
terpenuhi semua unsur-unsurnya, baik unsur umum maupun unsur khusus. Unsur-
unsur umum tersebut ialah:
1. Rukun Syar’I (Yang berdasarkan syara’) atau disebut juga unsur formal, yaitu
adanya nas syara’ yang jelas melarang perbuatan itu dilakukan dan jika
dilakukan akan dikenai hukuman. Nash syara’ ini menempati posisi yang
sangat penting sebagai azaz legalitas dalam hukum pidana Islam, sehingga
dikenal suatu prinsip La hukma li af’al al-uqala, qal warud an-nass (tidak ada
hukum bagi perbuatan orang yang berakal sebelum datangnya nas).
2. Rukun maddi atau disebut juga unsur material, yaitu adanya perbuatan pidana
yang dilakukan.
3. Rukun adabi yang disebut juga unsur moril, yaitu pelaku perbuatan itu dapat
diminta pertanggung jawaban hukum, seperti anak kecil, orang gila, atau
orang terpaksa, tidak dapat dihukum.32
Begitu juga dengan pendapat Asep Saepuddin Jahar et al., unsur- unsur

3214
Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah, (Palembang: Rafah Press, 2020), 57
22

pebuatan pidana (mereka menyebutnya ruang lingkup hukum pidana) terfokus


kepada tiga hal, yaitu:
Pertama, subjek perbuatan: pelaku atau menyangkut pertanggungjawaban
pidana, yaitu keadaan yang membuat seseorang dapat dipidana serta alasan-
alasan dan keadaan apa saja yang membuat seseorang yang terbukti melakukan
tindak pidana dapat dipidana.
Kedua, objek perbuatan: perbuatan apa saja yang dilarang dan lazim
disebut dalam bahasa indonesia sebagai tindak pidana, perbuatan pidana,
perisiwa pidana dan perbuatan pidana. Istilah-istilah ini merupakan terjemahan
dari istilah jarimah dalam bahasa Arab. Strafbarfiet dalam bahasa Belanda,
delict dalam bahasa latin dan Criminal act, dalam bahasa Inggris.
Ketiga, sanksi hukuman: hukuman atau sanksi apa yang dapat dijatuhkan
kepada seseorang yang melakukan tindak pidana dan kepadanya dapat dianggap
bertanggung jawab. Istilah ini merupakan terjemahan dari istilah ‘Uqubah dalam
bahasa Arab.33

C. Macam-macam Tindak Pidana


1. Macam-macam Tindak Pidana Menurut Hukum Positif
a. Tindak Pidana Materil (Materil Delict) adalah apabila tindak pidana yang
dimaksud dalam suatu ketentuan hukum pidana yang dimaksudkan dalam
suatu ketentuan hukum pidana disitu dirumuskan sebagai perbuatan yang
menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan wujud dari perbuatan
tersebut. Contoh: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP) yang dirumuskan sebagai
perbuatan yang mengakibatkan matinya orang lain, tanpa dipersoalkan wujud
perbuatannya.
b. Tindak Pidana Formil (Formeel Delict) adalah apabila tindak pidana yang
dimaksud dirumuskan sebagai wujud perbuatannya, tanpa mempersoalkan
akibat dari yang disebabkan perbuatan itu. Contoh: Pencurian (Pasal 362
KUHP) yang dirumuskan sebagai perbuatan yang berwujud mengambil
barang tanpa disebabkan akibat tertentu dari pengambilan barang itu. Contoh

33
Mardani, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Kencana, 2019), 8
23

kedua yaitu, Pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP) yang dirumuskan sebagai
perbuatan yang berwujud membuat surat palsu tanpa disebabkan akibat
tertentu dari penulisan surat palsu itu.
c. Commisie Delict adalah tindak pidana yang berupa melakukan suatu
perbuatan positif, umpamanya membunuh, mencuri dan lain lain. Jadi hampir
meliputi semua tindak pidana.
d. Ommisie Delict adalah melalaikan kewajiban untuk melakukan sesuatu,
umpamanya tidak melakukan pemberitahuan dalam 10 hari hal kelahiran atau
kematian kepada pegawai jabatan catatan sipil (Pasal 529 KUHP).
e. Gequalificeerd Delict istilah ini digunakan untuk suatu tindak pidana tertentu
yang bersifat istimewa, umpamanya pencurian yang Gequalificeerd (Pasal
336 KUHP), apabila pencurian dilakukan dengan diikuti perbuatan yang lain,
misalnya dengan merusak pintu.
f. Voortdurend Delict adalah tindak pidana yang tidak ada hentinya, misalnya:
 Pasal 169 KUHP yang melarang turut serta dalam suatu perkumpulan yang
tertuju melakukan kejahatan, atau dalam suatu perkumpulan yang oleh
undang-undang atau oleh pemerintah berdasarkan undang-undang yang
dilarang. Jadi tindak pidana itu mulai dilakukan yang bersangkutan, dan
akan terus-menerus berlangsung selama ia belum keluar dari perkumpulan
itu.
 Pasal 529 KUHP yang menentukan: “Barang siapa yang tidak memenuhi
kewajiban berdasarkan undang-undang untuk melakukan pemberitahuan
kepada pegawai catatan sipil guna dimasukkan dalam daftar kelahiran atau
daftar kematian akan dihukum dengan denda sebesar-besarnya seratus
rupiah”.34

2. Macam-macam Tindak Pidana Menurut Hukum Islam


Tindak pidana ditinjau dalam hukum pidana islam atau biasa disebut
dengan jarimah, jarimah ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

34
M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Didalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, (Bandung: Remadja Karya CV, 1984), 10-13
24

a. Jarimah Qishas
Qishas merupakan suatu ketentuan Allah berkenaan dengan pembunuhan
sengaja dimana pelakunya dikenakan hukuman mati. Akan tetapi keluarga si
korban dapat menurunkan hukumaan mati menjadi hukuman denda (diyat).
Gagasan ini sangat khas dan sangat berbeda dengan sistem hukum positif
selama ini. Paling tidak, ada tiga kategori yang berkaitan langsung dengan
persoalan ini yaitu; kejahatan membunuh, kejahatan memukul dan
mencederakan dan kejahatan menggugurkan kandungan.
b. Jarimah Hudud
Menurut Ibrahim Muhammad al-jamal, hudud, jamak dari had, artinya
batas antara dua hal. Menurut bahasa bisa juga berarti mencegah. Adapun
menurut syariat hudud adalah hukuman yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an
sebagai hak Allah.35 Hukuman yang termasuk hak Allah ialah setiap hukuman
yang yang dikehendaki untuk kepentingan umum (masyarakat), seperti untuk
memelihara ketentraman, dan keamanan masyarakat, dan manfaat penjatuhan
hukuman tersebut akan dirasakan oleh semua masyarakat.36
c. Jarimah Ta’zir
Ta’zir ialah hukuman atas tindakan pelanggaran dan kriminalitas yang
tidak diatur secara pasti dalam hukum had. Hukuman ini berbeda-beda, sesuai
dengan perbedaan kasus dan pelakunya. Dari satu segi, ta’zir ini sejalan dengan
hukum had, yakni ialah tindakan yang dilakukan untuk memperbaikki perilaku
manusia, dan untuk mencegah orang lain agar tidak melakukan tindakan yang
sama seperti itu.37

D. Tujuan Pemidanaan
1. Tujuan Pemidanaan Menurut Hukum Positif
Secara umum dapat dikatakan bahwa sasaran yang hendak dituju oleh hukum

35
Abdullah Bin Abdurrahman Ali Bassam, Umdah Al-Ahkam: Syarah Hadits Pilihan
Bukhari Muslim, Terjemahan Kathur Suhardi, Cet. Ke-7 (Jakarta: Darul Falah, 2008), 874
36
Wabah Zuhaili, Al-Fiqhu As Syafi’i Al-Muyassar, (Beirut: Darul Fikr, 2008), 369
37
Marsaid, Masail Fiqhiyah Al-Jinayah, (Palembang: Noerfikri), 9-10
25

pidana adalah melindungi kepentingan masyarakat dan perseorangan dari


tindakan-tindakan yang tidak menyenangkan akibat adanya suatu pelanggaran
oleh seseorang. Hukum pidana tidak hanya menitikberatkan kepada perlindungan
masyarakat, tetapi juga individu perseorangan, sehingga tercipta keseimbangan
dan keserasian. Menekankan pada kepentingan masyarakat akan mengabaikan
kepentingan individu, sedangkan menitikberatkan pada perlindungan individu
merupakan cerminan dari pemikiran Barat yang individualistis, yang tidak sesuai
dengan alam indonesia.38 Menurut Andi Hamzah, sepanjang perjalanan sejarah,
tujuan dari pidana yaitu ada empat bagian:

1. Pembalasan (Revenge), seseorang yang telah menyebabkan kerusakan dan


malapetaka pada orang lain, menurut alasan ini wajib menderita seperti yang
ditimpakan pada orang lain.

2. Penghapus dosa (Ekspiantion), konsep ini berawal dari pemikiran yang


bersifat religius yang bersumber dari Allah.

3. Menjerakan.

4. Memperbaiki si pelaku tindakan kejahatan (Rehabilition of the criminal)

Pidana ini ditetapkan sebagai usaha untuk mengubah sikap dan perilaku agar
tidak mengulangi kejahatan yang pernah dilakukan.39 Dan terdapat juga beberapa
teori pemidanaan atau dasar-dasar pembenaran dan tujuan pidana, sebagai
berikut:

1. Teori Absolut atau teori pembalasan (Retrebutive/Vergeldings Theorieen),


teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seorang telah
melakukan suatu tindak pidana dan pelaku tersebut mutlak harus diadakan
pembalasan berupa pidana. Pidana dijatuhkan semata-mata karena orang
telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est).
Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan
kepada orang yang melakukan kejahatan.40
38
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), 13
39
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Pradya Paramita, 1997), 193
40
Muladi Dan Barda Nawawi Arief Dalam Rahman Syamsuddin Dan Ismail Aris,
Merajut Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2014), 244
26

2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Utilitarian/Doeltheorieen), pemidanaan


bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan, pembalasan itu
sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sara untuk
melindungi kepentingan masyarakat. Pidana bukanlah sekedar untuk
melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah
melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu
yang bermanfaat sehingga teori ini disebut juga eori tujuan (Utilitarian
Theory). Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak
pada tujuannya. Pidana dijatuhkan buka karena orang melakukan kejahatan,
melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan.41

3. Teori Gabungan (Verenegins Thorieen), Teori Gabungan mendasar


pemidanaan kepada perpaduan teori pembalasan dan tujuan sehingga
tidak saja hanya mempertimbangkan masa lalu (seperti yang terdapat
dalam teori pembalasan), tetapi juga harus bersamaan mempertimbangkan
masa yang akan datang (seperti yang dimaksud dalam teori tujuan). Dengan
demikian penjatuhan suatu tindak pidana harus memberikan rasa kepuasan
baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu sendiri.42

2. Tujuan Pemidanaan Menurut Hukum Islam

Syariat islam secara umum bertujuan untuk mengamankan lima hal


mendasar dalam kehidupan umat manusia. Lima itu adalah aspek agama, aspek
akal, aspek jiwa, aspek harta benda dan keturunan. Lima hal ini merupakan
perkara yang sangat fundamental dalam pandangan Islam bagi umat manusia.
Kelima tujuan hukum islam tersebut, bila dihubungkan dengan hukum pidana,
maka dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Memelihara Agama

Karena agama mempunyai kedudukan yang sangat penting (Urgent),

41
Rahman Syamsudin Dan Ismail Aris, Merajut Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Mitra
Wacana Media, 2014), 246-247
42
Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 141
27

maka sangat wajar bila Islam menempatkan eksistensi agama bagi manusia
sebagai kebutuhan hidup yang sangat fundamental. Dalam rangka menjaga
eksistensi agama yang sangat penting bagi kehidupan manusia, maka Islam
menetapkan hukum pidana Riddah.

2. Memlihara Jiwa

Menyadari pentingnya jiwa atau hak hidup bagi manusia, maka hukum
Islam mengatur tentang larangan membunuh dengan penerapan hukum
qishas.

3. Memelihara Akal Dan Pikiran

Menyadari urgensi kedudukan akal dalam kedidupan manusia, maka


Islam mengharamkan minuman keras (Khamr), karena tindakan
mengonsumsi minuman keras dan narkoba dapat berakibat rusaknya akal
dan pikiran manusia.

4. Memelihara Keturunan

Menyadari urgensi kesucian keturunan manusia, maka ajaran Islam


mengharamkan perbuatan zina dengan ancaman pidana yang sangat keras.

5. Memelihara Harta

Menyadari urgensi tentang perlunya jaminan atas terpeliharanya harta


maupun hak milik bagi kemaslahatan manusia, maka Islam melarang
perbuatan mencuri dan merampok (begal).43

Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa hukum islam termasuk juga


hukum pidana, tidak hanya melindungi kepentingan individu, tetapi juga
kepentingan masyarakat dan negara, bahkan lebih dalam lagi adalah kepentingan
yang berhubungan dengan keyakinan agama, baik menyangkut jiwa, akal, atau
potensi berpikir, keturunan, maupun harta kekayaan.

E. Perbandingan Antara Hukum Pidana Positif dan Hukum Islam


Hukum Islam merupakan aturan-aturan yang merupakan hasil pemahaman
43
Mardani, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Kencana, 2019), 5-6
28

dan deduksi dari ketentuan-ketentuan yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW. Oleh karena itu, sumber utama hukum Islam adalah Al-
Qur’an dan Hadits. Bila diperlukan untuk menggali hukum yang belum ada atau
untuk memahami hukum maka perlu ijtihad dengan berbagai metode yang telah
dirumuskan oleh ahli ushul fiqh. Hukum Islam tidak identik dengan hukum dalam
pengertian aturan yang dibuat oleh suatu badan yang diberi wewenang dan
pemberlakuan sangsi bagi pelanggarnya.
Berbeda dengan hukum positif, sumber hukum positif murni dari
masyarakat. Hal ini dikarenakan pengambilan atau penemuan hukum positif
menggunakan metode induktif. Yaitu dengan mengamati perbuatan- perbuatan
dan sikap anggota masyarakat. Dari berbagai hasil pengamatan inilah kemudian
dibuat peraturan-peraturan umum yang mengikat seluruh masyarakat.
Syariat Islam sama pendirinya dengan hukum positif dalam menetapkan
jarimah atau tindak pidana dan hukumannya, yaitu dari segi tujuannya. Baik
hukum Pidana Islam maupun Hukum Positif keduanya sama-sama bertujuan
memelihara kepentingan dan ketenteraman masyarakat serta menjamin
kelangsungan hidupnya.44
Hukum Islam dibuat dengan tujuan sebagaimana tujuan hidup manusia
yaitu mengabdi kepada Allah SWT. Hukum Islam untuk masyarakat muslim
berfungsi mengatur berbagai hubungan manusia diatas bumi ini. Manusia yang
hidup didalam masyarakat memiliki berbagai bentuk hubungan, mulai dari
hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan dirinya sendiri, hubungan dengan
manusia lain dan hubungan benda dalam masyarakat serta hubungan dengan alam
sekitar. Selain itu, hukum Islam bertujuan menciptakan kehidupan beragama,
bermoral, berkeadilan, tertib, sejahtera didunia dan akhirat. Sementara itu, tujuan
hukum positif adalah menciptakan kedamaian dan ketertiban dalam
bermasyarakat. Dari segi sumber hukum, keduanya sangat berbeda dari segi
pembuat hukum dan metode pengambilan hukum. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa hukum islam dengan sumber utama Al-qur’an berasal dari

44
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih
Jinayah), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 15
29

Allah SWT. Sumber yang kedua adalah hadist yang berasal dari Nabi Muhammad
SAW dan selanjutnya ra’yu atau hasil pemikiran manusia. Hasil pemikiran
manusia (ijtihad) inilah yang kemudian memberikan peluang bagi hukum Islam
untuk dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman dan dapat memecahkan
berbagai persoalan dalam masyarkat. Hukum Islam tidak selamanya bersifat
memaksa. Sebagaimana bersifat korektif dan persuasif dan memberi kesempatan
kepada pelanggarnya untuk menyesali diri sendiri (taubat). Sementara hukum
positif lebih kepada peraturan-peraturan yang memaksa dan memberikan sanksi
bagi para pelanggarnya. Dari perbedaan dalam segi sumber atau penciptaannya itu
tergambarlah dengan jelas bagaimana sifat kedua hukum tersebut dengan
memperhatikan sifat penciptanya. Hukum positif merupakan produk manusia
tentu saja serba tidak lengkap dan terbatas kemampuannya. Itulah sebabnya
undang-undang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Sebaliknya, hukum islam adalah ciptaan Allah yang bersifat serba mampu,
sempurna, agung, dan serba tahu akan peristiwa yang sudah dan akan terjadi. Oleh
karenanya tentu saja ciptaanya juga sempurna, kostan dan tidak diubah-ubah atau
diganti-ganti, terutama dalam jarimah yang berbahaya, yaitu hudud dan qishas.45

F. Pengertian Main Hakim Sendiri


1. Tindak Pidana Main Hakim Sendiri (Eingenrichting) Perspektif Hukum
Positif
Terlebih dahulu penulis akan mengemukakan definisi tindak pidana
menurut beberapa ahli sebagai berikut:
1. Vos mengatakan tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia yang oleh
peraturan undang-undang diberi pidana, jadi kelakuan manusia yang pada
umumnya dilarang dan diancam dengan pidana.46
2. R. Tresna mengatakan tindak pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian
perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau aturan

45
Ahmad Wardi Muslich,Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqh
Jinayah), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 16
46
E. Utrecht, Hukum Pidana I: Suatu Pengantar Hukum Pidana untuk Tingkat Pelajaran
Sarjana Muda Hukum, Suatu Pelajaran Umum, (Bandung: PT Penerbit Universitas, 1965), 253
30

undang-undang lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan hukum.47


3. Moeljatno mengatakan tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.48
4. Simons mengatakan tindak pidana adalah suatu perbuatan:49

a. Oleh hukum diancam dengan pidana.

b. Bertentangan dengan hukum.

c. Dilakukan oleh seseorang yang bersalah.

d. Orang itu boleh dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya.


5. Roeslan Saleh mengatakan perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan
hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.50
6. Marshall mengatakan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur
hukum yang berlaku.51
7. Sedangkan pengertian Hakim menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
orang yang mengadili perkara, dan main hakim sendiri adalah perbuatan
sewenang- wenang terhadap orang yang dianggap bersalah.
Main hakim sendiri atau yang biasa diistilahkan masyarakat luas dan
media massa dengan peradilan massa, penghakiman massa, anarkisme massa atau
juga brutalisme massa, merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu
“eigenrechting” yang berarti main hakim sendiri, mengambil hak tanpa
mengindahkan hukum, tanpa sepengetahuan pemerintah dan tanpa penggunaan
alat kekuasaan pemerintah. Perbuatan main hakim sendiri hampir selalu berjalan
sejajar dengan pelanggaran hak-hak orang lain, dan oleh karena itu tidak
diperbolehkan perbuatan ini menunjukan bahwa adanya indikasi rendahnya
47
R. Tresna, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Tiara, 1959), 27
48
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008, Cetakan
Kedelapan), 59
49
E. Utrecht, Hukum Pidana I: Suatu Pengantar Hukum Pidana untuk Tingkat Pelajaran
Sarjana Muda Hukum, Suatu Pelajaran Umum, 255
50
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Dasar dalam
Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1981), 13
51
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 89
31

kesadaran terhadap hukum. Perbuatan main hakim sendiri atau “Eigenrichting”


merupakan salah satu tindak pidana yang dapat dilakukan baik secara individu
maupun kelompok secara bersama-sama terhadap seseorang yang dianggap telah
melakukan kejahatan tanpa melewati hukum. Tindakan main hakim sendiri
merupakan respon masyarakat yang malah menciptakan suasana tidak tertib.
Masyarakat yang seharusnya menaati hukum yang berlaku yang telah ditetapkan
oleh penguasa bertindak sebaliknya, mereka melakukan suatu respon terhadap
adanya kejahatan dengan menghakimi sendiri pelaku tindak pidana. Tindakan
main hakim sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak
menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan
pihak lain yang berkepentingan, pada hakikatnya tindakan menghakimi sendiri ini
merupakan pelaksanaan sanksi oleh perorangan.52 Perbuatan main hakim sendiri
atau “Eigenrichting” merupakan salah satu tindak pidana yang dapat dilakukan
baik secara individu maupun kelompok (bersama-sama) terhadap seseorang yang
dianggap telah melakukan kejahatan tanpa melewati hukum. Dalam perbuatan
main hakim sendiri ini cenderung kepada tindakan penganiayaan, dimana korban
mengalami penderitaan atau luka-luka akibat dari perbuatan main hakim sendiri
tersebut.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat
juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan
hukum dilarang dan diancam pidana. Unsur-unsur perbuatan pidana, pertama
perbuatan itu berwujud suatu kelakuan, baik aktif maupun pasif yang berakibat
pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum. Kedua,
kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik
dalam pengertiannya yang formil maupun yang materil.53
Menurut Simons, menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subjektif
dari tindak pidana yaitu 1) unsur objektif yaitu adanya perbuatan, 2) unsur
52
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka, 2013), 29
53
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 100
32

subjektif yaitu orang yang mampu bertanggung jawab, adanya kesalahan.


Perbuatan tersebut harus memiliki kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan
dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu
dilakukan.54
Dalam hal ini unsur-unsur dalam tindak pidana tersebut disesuaikan dan
jika ternyata sudah cocok maka dapat ditentukan bahwa “peristiwa” itu
merupakan suatu tindak pidana yang telah terjadi yang (dapat)
dipertanggungjawabkan pidananya, kepada subjeknya. Jika salah satu unsur
tersebut tidak ada atau lebih tegas tidak terbukti, maka harus disimpulkan bahwa
tindak pidana belum atau tidak terjadi.55
Menurut Sudikno Mertokusumo tindak pidana main hakim sendiri adalah
tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat
sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan,
pelaksanaan sanksi oleh perorangan/ kelompok sehingga akan menimbulkan
kerugian. Hanya saja sanksi yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok sulit
diukur berat ringannya, karena massa terkadang dapat bertindak kalap dan tidak
terkendali.56
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa main hakim sendiri adalah
perbuatan yang dilakukan seseorang atau kelompok secara sewenang-wenang
terhadap orang yang dianggap bersalah sebagai perbuatan untuk mengatasi
masalah yang dihadapi. Di samping itu, tindakan main hakim sendiri dapat
diartikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok yang mempermainkan
hukum dengan cara melakukan kekerasan kepada orang lain yang bertentangan
dengan tatanan hukum yang berlaku.
Jika melihat pada unsur-unsur perbuatan main hakim sendiri
(eigenrichting) yang dilakukan secara sengaja, mengakibatkan luka atau cidera
pada badan orang lain, bahkan sampai menyebabkan kematian atau hilangnya

54
Ismu Gunadi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014), 40
55
Leden Marpaung, Asas, Teori, dan Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika,
2008), 7
56
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2010),
3
33

nyawa seseorang. Maka perbuatan tindak pidana main hakim sendiri terdapat
dalam KUHP sebagai berikut:
- Pasal 170 ayat (1) dan ayat (2) butir ke-2 dan butir ke-3 KUHP.
Pada ayat (1) “Barangsiapa terang-terangan dan dengan tenaga bersama
menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan”.
Pada ayat (2) butir 2 “dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika
kekerasan mengakibatkan luka berat” dan butir 3 “dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas tahun), jika kekerasan mengakibatkan maut”.
- Pasal 338 KUHP yaitu kejahatan terhadap nyawa.
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun)”.
Kemudian dalam KUHP Bab XX Tentang Penganiayaan. Klasifikasi
tindakan penganiayaan dalam KUHP sebagai berikut:57
- Penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP).
Pada ayat (1) menjelaskan tentang penganiayaan biasa yang tidak dapat
menimbulkan luka berat atau kematian.
Pada ayat (2) menjelaskan tentang penganiayaan yang mengakibatkan luka
berat.
Pada ayat (3) menjelaskan tentang penganiayaan yang mengakibatkan
kematian.
Pada ayat (4) menjelaskan tentang penganiayaan dengan sengaja merusak
kesehatan orang lain.
Pada ayat (5) percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

- Penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP).

Pada ayat (1) dijelaskan penganiayaan ringan yaitu penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau pencaharian. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan
kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.

57
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014), 137-139
34

Unsur-unsur yang terkandung dalam penganiayaan ini adalah bukan


berupa penganiayaan berencana, bukan penganiayaan yang dilakukan kepada
ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya, terhadap pegawai negeri yang
sedang menjalankan tugasnya, dengan memasukkan bahan berbahaya bagi
nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum, tidak menimbulkan
penyakit, halangan untuk melakukan pekerjaan.
- Penganiayaan berencana (Pasal 353 KUHP).
Pada ayat (1) penganiayaan berencana yang tidak mengakibatkan luka berat
atau kematian.
Pada ayat (2) penganiayaan berencana yang mengakibatkan luka-luka berat.
Pada ayat (3) penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian.
Pada penganiayaan berencana sudah direncanakan terlebih dahulu sebelum
perbuatan tersebut dilakukan.
- Penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP).
Unsur-unsur dalam penganiayaan berat adalah kesalahan yang disengaja,
perbuatan melukai berat, objeknya adalah tubuh orang lain, akibat yang
ditimbulkan berupa luka berat atau kematian.
- Penganiayaan berat berencana (Pasal 355 KUHP).
Pada ayat (1) penganiayaan berat direncanakan terlebih dahulu.
Pada ayat (2) perbuatan itu mengakibatkan kematian.
- Penganiayaan memberatkan hukuman (Pasal 356 KUHP).
Pidana Pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah sepertiga yaitu bagi yang
melakukan kejahatan itu terhadap ibu/bapaknya, istrinya atau anaknya, jika
kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pegawai negeri ketika atau karena
menjalankan tugasnya yang sah, jika kejahatan itu dilakukan dengan
memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan
atau diminum.
- Penganiayaan dengan hukuman tambahan (Pasal 357 KUHP).
Pada waktu menjatuhkan hukuman terdapat kejahatan yang diterangkan dalam
Pasal 353 dan 355 KUHP dapat dijatuhkan pencabutan hak berdasar pasal 35
yaitu hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu, hak
35

memasuki Angkatan Bersenjata, hak memilih dan dipilih dalam pemilihan


berdasarkan aturan-aturan umum, hak menjadi penasihat hukum atau pengurus
penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau
pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri.
- Pasal turut serta dalam penyerangan atau perkelahian (Pasal 358 KUHP).
Unsur-unsur yang terdapat dalam penyerangan atau perkelahian yaitu unsur
objektif berupa perbuatan penyerangan atau perkelahian, dimana melibatkan
beberapa orang, dan akibat luka berat dalam ayat (1) atau mengakibatkan
kematian dalam ayat (2) sedangkan unsur subjektif adalah perbuatan dilakukan
dengan sengaja.58
Kemudian tindak pidana main hakim sendiri yang mengakibatkan
kematian telah melanggar hak hidup seseorang yang mana terdapat dalam pasal 4
Undang- Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi dan pasal 33 ayat (1)
Undang- Undang tersebut yang berbunyi: “Setiap orang bebas dari penyiksaan,
penghukuman, atau perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi, merendahkan
derajat dan martabat kemanusiaannya”

2. Tindak Pidana Main Hakim Sendiri (Eingenrichting) Dalam Perspektif


Hukum Pidana Islam
Dalam hukum pidana Islam istilah tindak pidana biasa disebut dengan kata
jarimah, yang berarti tindak pidana. Kata lain yang digunakan untuk tindak
pidana istilah jarimah ialah jinayah. Hanya di kalangan fuqaha istilah jarimah
pada umumnya digunakan untuk semua pelanggaran terhadap perbuatan-
perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik mengenai jiwa ataupun lainnya.
Sedangkan jinayah pada umumnya digunakan untuk menyebutkan perbuatan
pelanggaran mengenai jiwa atau anggota badan, seperti membunuh dan melukai
anggota badan tertentu.17
Dalam bukunya Imaning Yusuf, al-Jurjani mendefinisikan jinayah sebagai
berikut:

58
Ismu Gunadi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2009), 97-103
36

‫س َأوْ َغي ِْرهَا‬


ِ ‫ َعلَى النَّ ْف‬c‫ض َر ًرا‬
َ ُ‫َض َّمن‬ cٍ ُ‫ُكل فِ ْع ٍل َمحْ ظ‬
َ ‫ور يَت‬
“Semua perbuatan yang dilarang yang mengandung mudharat terhadap nyawa
atau selain nyawa.”59
Abdul Qadir Audah, jinayah adalah sebagai berikut:
‫سواء وقع الفعل على نفس او ما ل او غير دالك‬, ‫فالجناية ا سم لفعل محرم شرعا‬
“Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang di larang oleh syara’ baik
perbuatan itu terjadi pada nyawa,harta, maupun lain-lain”60
Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili, jinayah adalah kejahatan secara
mutlak berupa pelanggaran yang ditujukan atas nyawa atau tubuh manusia, yaitu
pembunuhan, pelukaan, dan pemukulan.61 Kemudian Sayyid Sabiq, jinayah
adalah setiap tindakan yang diharamkan, tindakan yang diharamkan ini adalah
setiap tindakan yang diancam dan dilarang oleh syar’i atau Allah dan Rasulullah
karena di dalamnya terdapat aspek kemudharatan yang mengancam agama,
nyawa, akal, kehormatan, dan harta.62
Maka dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah tindakan
atau perbuatan seseorang yang mengancam keselamatan fisik manusia serta
berpotensi menimbulkan kerugian pada harga diri atau harga kekayaan maka
perbuatan tersebut diharamkan untuk dilakukan, bahkan pelakunya harus dikenai
sanksi hukum di dunia dan di akhirat sebagai hukuman Tuhan.
Dalam hukum Islam setiap tindak pidana memiliki unsur-unsur tertentu
apabila seseorang telah memenuhi syarat yang dimaksud dalam perbuatan (tindak)
pidana, maka seseorang tersebut telah dianggap melakukan tindak pidana dan
wajib mendapatkan perlakuan hukum sesuai dengan jenis tindak pidana yang
dilakukannya.
Dilihat dari unsur-unsur tindak pidana terbagi atas tiga yaitu unsur formil
(al- rukn al-syar’ῑ), unsur materiil (al-rukn al-mādῑ), dan unsur moril (al-rukn al-
adabῑ).

59
Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta’rῑfāt, (Beirut: Dār al-Kutub al-Arabi, 1999), 79
60
Abdul Qadir Audah, al-Tasyrῑ’ al-Jina’ῑ al-Islāmῑ, (Beirut: Muassasah al-Risalah,
1994), 67
61
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmῑ wa adillātuhū, (Beirut: Dār al-Fikri, 1997), 5611
62
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dār al-Fikri, 1980), 422
37

1. Unsur formil (al-rukn al-syar’ῑ) ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang
dapat dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana jika ada undang- undang yang
secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana.
2. Unsur materiil (al-rukn al-mādῑ) ialah unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan suatu
tindak pidana.
3. Unsur moril (al-rukn al-adabῑ) ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang
dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak di bawah umur, atau sedang
berada di bawah ancaman.
Tindak pidana memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut:

1. Sasaran dari tindak pidana adalah jiwa atau integritas tubuh manusia, baik
sengaja maupun tidak sengaja.
2. Jenisnya telah ditentukan, yaitu pembunuhan dalam segala bentuknya dan
penganiayaan dalam segala tipenya, baik sengaja maupun tidak sengaja.
3. Tidak diperkenankan adanya keraguan dalam menjatuhkan sanksi.

4. Hukumannya berupa memberikan penderitaan yang seimbang dari bahaya


jiwa atau tubuh terhadap orang yang melakukan oleh korban atau keluarganya.

5. Hukuman telah ditetapkan, yaitu qishash dan diyat.63

Secara garis besar tindak pidana terbagi menjadi dua kategori:

1. Tindak pidana terhadap jiwa, yaitu pelanggaran terhadap seseorang dengan


menghilangkan nyawa, baik sengaja maupun tidak sengaja.
2. Tindak pidana terhadap organ tubuh, yaitu pelanggaran terhadap seseorang
dengan merusak salah satu organ tubuhnya, atau melukai salah satu badannya,
baik sengaja maupun tidak sengaja.
Tindak pidana dalam perspektif fiqh jinayah dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Tindak pidana pembunuhan yang disengaja manakala memenuhi syarat tindak
pidana pembunuhan yang disengaja. Syarat dari pembunuhan yang disengaja
63
Asadulloh al-Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2009), 45-46
38

adalah korban yang dibunuh merupakan manusia yang hidup. Kematian adalah
hasil dari perbuatan pelaku dan pelaku menghendaki terjadinya kematian.
2. Tindak pidana pembunuhan yang tidak sengaja manakala memenuhi syarat
tindak pidana pembunuhan yang tidak sengaja adalah korban manusia, adanya
perbuatan, dan kematian adalah akibat perbuatannya.
3. Tindak pidana pembunuhan karena kesalahan manakala pembunuhan tersebut
tidak ada unsur kesengajaan perbuatan dan semata-mata karena faktor kelalaian
dari pelaku. Unsur-unsur dari tindak pidana pembunuhan karena kesalahan
adalah adanya korban manusia, adanya perbuatan yang mengakibatkan matinya
korban, perbuatan tersebut terjadi karena kekeliruan, dan ada hubungan sebab
akibat antara kekeliruan dengan kematian.
4. Tindak pidana atas selain jiwa atau penganiayaan yang disengaja manakala
tindak pidana ini dilakukan dan ditunjukkan dengan sengaja dan dimaksudkan
untuk mengakibatkan luka pada tubuh korban.
5. Tindak pidana atas selain jiwa atau penganiayaan yang tidak disengaja
manakala tindak pidana ini dilakukan dan ditunjukkan dengan sengaja namun
tidak dimaksudkan untuk mengakibatkan luka pada tubuh korban.
Tindak pidana main hakim sendiri (eigenrichting) yang menyebabkan
kematian dalam hukum Islam sama halnya dengan pembunuhan semi sengaja dan
penganiayaan. Masalah sengaja dan tidak sengaja berkaitan erat dengan niat
pelaku. Ciri khusus dalam pembunuhan semi sengaja adalah adanya unsur
kesengajaan dan ketidaksengajaan. Unsur sengaja dapat ditemui pada kesengajaan
tindakan pelakunya untuk melakukan suatu tindakan tertentu yang ditujukan pada
orang lain atau korbannya, tetapi tidak berniat membunuh. Sedangkan unsur
ketidaksengajaan dapat dilihat dari tidak adanya niat atau kehendak pelaku untuk
membunuh orang lain atau korbannya, tetapi orang itu meninggal dunia. Dan
hukuman yang pantas bagi pelaku dalam hukum Islam adalah berupa qishash dan
diyat.

G. Bentuk-Bentuk Perbuatan Main Hakim Sendiri


Berikut ini beberapa bentuk tindakan main hakim sendiri yang penulis
39

dapatkan dari buku karangan Sudikno Mertokusumo, diantaranya: Bentuk


perbuatan main hakim sendiri terbagi atas setiap pelanggaran kaidah hukum yang
pada dasarnya harus dikenai sanksi seperti setiap pembunuhan, setiap pencurian
harus ditindak lanjuti dan setiap pelakunya harus dihukum. Akan tetapi ada
perbuatan-perbuatan tertentu yang pada hakikatnya merupakan pelanggaran
kaidah hukum, tidak dikenakan sanksi seperti seseorang yang memasang aliran
listrik dengan tegangan tinggi pada pagar rumahnya untuk mencegah masuknya
pencuri, pelanggaran kaidah hukum seperti ini apabila pelakunya dihukum justru
akan menimbulkan keresahan di dalam masyarakat, karena dirasakan kurang
layak dan akan mengganggu keseimbangan di dalam masyarakat.64
Pelanggaran-pelanggaran ini merupakan perbuatan-perbuatan yang
dilakukan dalam keadaan tertentu. Perbuatan ini dapat dikelompokkan menjadi
dua kelompok. Pertama ialah perbuatan yang pada hakikatnya merupakan
pelanggaran kaidah hukum, tetapi tidak dikenakan sanksi karena dibenarkan atau
mempunyai dasar pembenaran. Di sini, perbuatan yang pada hakikatnya
melanggar kaidah hukum dihalalkan. Termasuk perbuatan ini ialah keadaan
darurat, pembelaan terpaksa, ketentuan undang-undang, dan perintah jabatan.
Kedua ialah perbuatan yang pada hakikatnya merupakan pelanggaran
kaidah hukum, tetapi tidak dikenakan sanksi karena si pelaku pelanggaran
dibebaskan dari kesalahan. Perbuatan ini terjadi karena apa yang dinamakan force
majeure, overmacht atau keadaan memaksa yaitu keadaan atau kekuatan di luar
kemampuan manusia (Pasal 48 KUHP). Misalnya, kasir bank yang menyerahkan
uang kas karena ia ditodong untuk menyerahkannya. Dalam ilmu hukum pidana,
kedua alasan yang menyebabkan pelanggaran kaidah hukum tidak dikenakan
sanksi yaitu: alasan pembenar dan alasan pemaaf.
Kasus main hakim sendiri (eigenrechting) merupakan salah satu bentuk
reaksi masyarakat karena adanya pelanggaran norma yang berlaku di dalam
masyarakat. Ditinjau dari sudut sosiologis, dapat dibedakan menjadi dua aspek,
yaitu aspek positif dan aspek negatif. 65 Aspek positif ialah jika memenuhi syarat
sebagai berikut :
64
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002), 29
65
Abdul Syahni, Sosiologi Kriminalitas,(Bandung:Remaja Karya, 1987), 100
40

1. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan melalui pendekatan kemasyarakatan


sesuai dengan latar belakang terjadinya suatu tindakan kejahatan.
2. Reaksi masyarakat di dasarkan atas kerja sama dengan aparat keamanan atau
penegak hukum secara resmi.

Sedangkan aspek negatif jika:


1. Reaksi masyarakat adalah serta merta, yaitu dilakukan dengan dasar luapan
emosional.
2. Reaksi masyarakat di dasarkan atas ketentuan lokal yang berlaku di dalam
masyarakat yang bersangkutan atau dengan kata lain tidak resmi.
3. Tujuan penghukuman cenderung lebih bersifat pembalasan, penderaan,
paksaan, dan pelampiasan dendam.
4. Relatif lebih sedikit mempertimbangkan dang memperhitungkan latar
belakang mengapa dilakukan suatu tindakan kejahatan.
Bentuk lain dari tindakan main sendiri ini ada tiga pendapat, yaitu:
menurut Van Boneval Faure, tindakan main hakim sendiri sama sekali tidak
dibenarkan, di karenakan hukum acara telah menyediakan upaya-upaya untuk
memperoleh perlindungan hukum bagi para pihak melalui pengadilan, maka
tindakan main hakim sendiri itu dilarang, hingga saat ini pendapat ini dapat
dikatakan telah ditinggalkan.66
Menurut Cleveringa, tindakan main hakim sendiri pada dasarnya
dibolehkan atau dibenarkan, dengan arti yang melakukan tindakan tersebut dapat
dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum. Di karenakan pada
hakikatnya, tindakan main hakim sendiri tidak dibenarkan, dan apabila tetap
dilakukan akan ada akibat hukumnya, yaitu dianggap telah melakukan perbuatan
melawan hukum.
Selanjutnya menurut Rutten, tindakan main hakim sendiri pada dasarnya
tidak dibenarkan, akan tetapi apabila peraturan yang ada tidak cukup memberi
perlindungan, maka tindakan main hakim sendiri itu secara tidak tertulis dapat
dibenarkan.
Jika dilihat dari ketiga pendapat diatas, tindakan main hakim sendiri
66
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,(Yogyakarta:Liberty, 2006), 3
41

termasuk tindakan yang dilarang dan dapat di jalankan apabila dalam keadaan
terpaksa atau merupakan upaya terakhir (ultimum remidium), dikarenakan massa
tidak cukup adanya perlindungan hukum terhadap hak-haknya.67

H. Faktor Penyebab Tindak Pidana Main Hakim Sendiri


Jika terjadi kejahatan di masyarakat, kemudian kejahatan tersebut
meningkat, maka masyarakat akan merasakan berbagai gangguan yang
disebabkan oleh kejahatan tersebut, baik gangguan berupa perbuatan-perbuatan
yang melanggar norma-norma kemasyarakatan secara langsung, maupun
gangguan terhadap ketentraman, keamanan dan kesejahteraan masyarakat secara
tidak langsung, sehingga pada akhirnya menimbulkan reaksi dari masyarakat yang
bertujuan untuk menyelamatkan diri dan menghindarkan diri dari kejahatan.
Latar belakang timbulnya kejahatan merupakan sebab-sebab yang
mendorong seseorang melakukan kejahatan. Latar belakang timbulnya kejahatan
meliputi dua hal, yaitu:68
1. Latar belakang negatif, yaitu kejahatan yang dilakukan dengan sadar/niat
artinya bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut benar-benar dilakukan
dengan sadar serta si pelaku benar-benar mengetahui akibatnya yaitu
merugikan masyarakat, melanggar hukum sehingga perbuatannya dapat
dinyatakan sebagai perbuatan jahat yang memenuhi unsur-unsur yang ditentang
oleh masyarakat dan negara.
2. Latar belakang positif, yaitu kejahatan yang dilakukan secara tidak sadar/tanpa
niat, artinya bahwa si pelaku tidak mengetahui dengan pasti bahwa
perbuatannya itu melanggar hukum, dapat dijatuhi hukuman dan tidak tahu
akibat apa yang ditimbulkannya.
Menurut Soerjono Soekanto ada beberapa faktor yang sangat menentukan
dalam penegakan hukum yang berguna bagi masalah penegakan hukum dalam
masyarakat yaitu:

67
Agus Sudaryanto, Fenomena Penghakiman Massa dalam Perspektif Hukum dan
Ekonomi, (Yogyakarta:Universitas Gadjah Mada, 2000), 109
68
Lukman Hakim, Budaya Main Hakim Sendiri (Eingenrichting) Terhadap Pelaku
Kejahatan Yang Tertangkap, (Banyuwangi:Institut Agama Islam Ibrahim, 2007), 88
42

1. Faktor Hukumnya Sendiri;


2. Faktor Penegak Hukum;
3. Faktor Sarana atau Fasilitas;
4. Faktor Masyarakat;
5. Faktor Kebudayaan.
Kelima faktor tersebut sangat berkaitan dengan erat karena merupakan
esensi dari penegakan dan merupakan tolak ukur dari pada efektivitas penegak
hukum. Menurut Soerjono Soekanto faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum yaitu:69
1. Faktor Hukumnya Sendiri, dalam hal ini yaitu pada undang-undang
Undang-undang merupakan peraturan tertulis yang sifatnya berlaku umum
yang dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah yang mencakup:
peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau suatu golongan
tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara
sedangkan peraturan daerah hanya berlaku di daerah itu saja. Gangguan
terhadap penegak hukum yang berasal dari undang-undang disebabkan oleh:
pertama, tidak diikutinya asas-asas yang berlaku dalam undangundang, dalam
hal ini terjadi tindakan main hakim sendiri dikarenakan para masyarakat tidak
memerhatikan undang-undang yang berlaku. Kedua, Belum adanya peraturan
pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undangundang, dalam
hal ini terjadi tindakan main hakim sendiri dikarenakan tidak ada pertanggung
jawaban hukum mengenai tindakan main hakim sendiri kecuali apabila korban
tersebut sudah mengalami kejahatan berat seperti meninggalnya pelaku dalam
penghakiman massa, adapun kejahatan ringan seperti penganiayaan yang
mengakibatkan luka-luka maka akan diminta pertanggung jawaban sesuai
dengan pasal kejahatan tersebut.
2. Faktor Penegak Hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
Secara sosiologi, setiap penegak hukum mempunyai kedudukan dan peranan.
Kedudukan merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan, baik
69
Soerjono soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Depok:
Rajawali Pers, 2018), 8
43

kedudukan tinggi, sedang-sedang saja maupun rendah. peranan adalah hakhak


dan kewajiban suatu pihak untuk berhubungan baik dengan pihak lain. Dalam
hal ini apabila penegak hukumnya memiliki peranan yang baik kepada
masyarakat niscaya tidak akan terjadi tindakan main hakim sendiri akan tetapi
apabila penegak hukumnya kurang berperan dalam masyarakat maka akan
terjadi suatu kesenjangan, kesenjangan yang dimaksud yaitu adanya tindakan
main hakim sendiri.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas yang mendukung penegakan hukum
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan
hukum akan berlansung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara
lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan yang terampil, organisasi
yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya.
4. Faktor Masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan
Pendapat masyarakat sangat mempengaruhi kepatuhan hukum. Dalam hal ini
apabila terjadi tindakan main hakim sendiri dalam lingkungan masyarakat
dapat dikatakan bahwa masyarakat tidak percaya kepada para penegak hukum
sehingga masyarakat merasa main hakim sendiri itu jalan satu-satunya untuk
menegak hukum.
5. Faktor Kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup
Kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari
hukum yang berlaku, nilai-nilai merupakan konsepsi-konsepsi abstrak
mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Jika dilihat
melalui teori anomie, Terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan seseorang
melakukan tindakan main hakim sendiri yaitu, mereka tidak mempercayai lagi
dengan adanya hukum, dengan kata lain mereka telah mengalami kekecewaan
terhadap peraturan perundang-undangan yang ada, dimana nilai-nilai dan
norma-norma yang seharusnya dipatuhi dan juga dilaksanakan menjadi
semakin tidak jelas dan kehilangan relevansi. Maka jika didalam suatu
masyarakat tersebut telah mengalami kekecewaan terhadap hukum maka yang
44

terjadi adalah masyarakat tersebut melakukan suatu pengadilan jalanan yaitu


dengan melakukan tindakan main hakim sendiri.70

Tindakan main hakim sendiri dengan demikian dapat dikatagorikan


sebagai anomie atau dalam kasus main hakim sendiri ini terjadi ketidaksesuaian
dalam penerapan fungsi hukum dengan tujuan yang diinginkan oleh masyarakat,
pelaksanaan fungsi hukum oleh lembaga hukum dipandang oleh masyarakat
belum memenuhi apa yang diinginkan oleh masyarakat, sehingga masyarakat
menjalankan hukumnya sendiri.
Durkheim mempergunakan istilah anomie untuk mendeskripsikan keadaan
“deregulation” didalam masyarakat yang diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-
aturan yang terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang
diharapkan dari orang lain dan keadaan ini memudahkan terjadinya penyimpangan
perilaku (deviasi). Dapat diberikan kesimpulan dalam pernyataan yang
dikemukakan oleh Durkheim menjelaskan bahwa ketidaktaatan masyarakat dalam
mematuhi segala peraturan hukum yang dibuat oleh pemerintah, dan itulah yang
menjadikan masyarakat tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan dalam
menciptakan suatu hukum yang baik dan benar, bila suatu masyarakat yang
mengerti akan hukum maka mereka melakukan suatu perilaku atau perbuatan
yang sejalan dengan hukum, dan menaati segala peraturan yang dibuat oleh
pemerintah.71
Dalam skripsi Nurcahyaningsih juga ada menyebutkan faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya main hakim sendiri diantaranya:72
1. Kurangnya Pemahaman Dan Kesadaran Masyarakat Tentang Hukum
Di dalam masyarakat tentunya ada norma-norma hukum yang berkembang,
sehingga dengan adanya norma-norma tersebut maka dapat menimbulkan

70
Chandro Panjaitan, Skripsi (Penyebab terjadinya Tindakan Main Hakim Sendiri atau
Eigenrichting yang Menyebabkan Kematian (Contoh Kasus Pembakaran Pelaku Pencurian Motor
dengan Kekerasan di Pondok Aren Tanggerang), Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, 8
71
Chandro Panjaitan, Skripsi (Penyebab terjadinya Tindakan Main Hakim Sendiri atau
Eigenrichting yang Menyebabkan Kematian (Contoh Kasus Pembakaran Pelaku Pencurian Motor
dengan Kekerasan di Pondok Aren Tanggerang), Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, 9
72
Nurcahyaningsih,”Tinjauan Kriminologi terhadap Tindakan Main Hakim Sendiri
(Studi Kasus di Kelurahan Kawatuna Kota Palu)”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 2 ,
Volume 3, Tahun 2015, 3
45

perilaku-perilaku di dalam masyarakat yang berbeda sehingga dengan


perbedaan perilaku tersebut akan menimbulkan suatu kesenjangan sosial,
hingga pada waktu tertentu timbullah konflik. Keadaan tersebut terjadi
dikarenakan hukum yang telah ada tidak dijadikan pedoman dalam masyarakat
sehingga tidak adanya ketaatan dalam suatu hukum.
2. Lemahnya Penegakan Hukum
Kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum mulai berkurang,
dikarenakan proses panjang dalam sistem peradilan yang kurang mendidik
dimana biasanya pelaku kejahatan yang merugikan masyarakat dilepaskan oleh
penegak hukum dengan alasan kurang alat bukti dan apabila terbukti hukum
yang dijatuhkan tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Dengan kurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum maka itu dapat memicu
terjadinya suatu kejahatan.
3. Faktor Psikologis
Alasan psikologis dapat timbul karena tekanan ekonomi yang serba sulit yang
melahirkan rasa frustasi dan juga hidup yang dirasakan dalam keadaan
tertekan. Dalam hal ini masyarakat mudah melakukan tindak kejahatan, salah
satunya yaitu tindakan main hakim sendiri.
4. Kurangnya Kepercayaan Masyarakat Kepada Penegak Hukum
Suatu kondisi dimana tatanan sistem hukum yang dijalankan oleh pemerintah
kurang dipercaya oleh masyarakat. Kondisi ini memiliki ciri dimana hukum
tidak lagi dipandang sebagai human institution yang dapat memberikan rasa
perlindungan hak-haknya sebagai warga negara.

Ada juga dalam skripsi yang ditulis oleh Riva Cahya Limba, menyebutkan
bahwa faktor yang menjadi penyebab masyarakat melakukan tindakan main
hakim sendiri diantaranya:73
1. Agar pelaku tidak melakukan perbuatan lagi (residivis) atau pelaku kejahatan
yang pernah melakukan perbuatan serupa menjadi jera.

73
Riva Cahya Limba, Peranan Penyidik terhadap Perbuatan Main Hakim Sendiri
(Eigenrichting) (Studi Pada Polresta Bandar Lampung), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas
Lampung ( Bandar Lampung: 2018), 25-26
46

2. Masyarakat tidak lagi mempercayai upaya hukum yang dilakukan oleh pihak
kepolisian.
3. Hanya ikut-ikutan, ketika melihat massa yang secara anarkis dan membabi
buta menghajar pelaku tindak pidana mereka tertarik untuk ikut-ikutan.
4. Perbuatan pidana itu sendiri sudah sangat meresahkan masyarakat.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Fenomena Tindakan Main Hakim Sendiri Di Masyarakat Yang


Mengakibatkan Kematian
Dalam konstitusi telah dijelaskan bahwa setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi manusia. Selain itu juga ditegaskan pula dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak
yang secara kodrat telah melekat dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus
dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peringatan martabat kemanusiaan,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan keadilan. Dengan demikian, setiap manusia
berhak mendapat perlindungan dari suatu kekerasan.
Pada masa sekarang ini, kekerasan yang sering terjadi salah satu di antaranya
adalah perbuatan main hakim sendiri. Dalam hukum, tindakan tersebut sebenarnya
termasuk dalam kategori tindakan extra judicial (pembunuhan di luar hukum
tanpa melalui proses hukum). Apabila dihubungkan dengan konteks kejahatan,
sejatinya hal tersebut adalah kritik terhadap tatanan hukum di negeri ini, yang
masih banyak menampung penjahat dalam berbagai versi kejahatan tetapi sering
sekali gagal dalam menjerakan pelaku kejahatan tersebut. Aparat penegak hukum
dan putusan-putusan pengadilan terkadang gagal memberikan keadilan jujur dan
harus diakui, penegakan hukum di negara ini memang semakin lama semakin
rusak. Hukum rimba dipertontonkan di mana-mana apa pun motivasinya, tindakan
main hakim sendiri mencerminkan tindakan yang mengobrak-abrik hukum
seolah-olah negara ini sudah tidak mempunyai tatanan hukum yang beradab.

1. Main Hakim Sendiri Bertentangan Dengan Norma Hukum

47
48

Di Indonesia, pancasila adalah suatu ideologi dan dasar negara indonesia


yang menjadi landasan dari segala keputusan bangsa dan mencerminkan
kepribadadian bangsa indonesia. Dengan kata lain, pancasila adalah dasar dalam
mengatur pemerintahan bangsa indonesia yang mengutamakan komponen di
seluruh wilayah indonesia. Secara etimologi kata “pancasila” berasal dari bahasa
sansekerta yaitu kata “panca” yang artinya lima dan “sila” yang artinya dasar
sehingga secara harfiah pancasila adalah lima dasar. Dasar negara indonesia
dilambangkan dengan garuda dimana terdapat gambar bintang, rantai, pohon
beringin, kepala banteng, padi dan kapas yang mencerminkan arti dari 5 sila
pancasila. Kemudian lambang negara indonesia ini disebut dengan Garuda
pancasila. Berikut ini adalah bunyi pancasila:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Salah satu cara untuk memperjuangkan “hak” bagi setiap warga negara
sebagai penyandang hak dan kewajiban adalah berjuang melalui jalur hukum.
Begitu juga dengan “keadilan” yang secara theoritis merupakan cita-cita hukum,
tentunya agar masyarakat menghormati hukum tidak dapat hukum itu harus
berwibawa agar dapat dipatuhi oleh semua subyek hukum. Namun dalam
kenyataannya masyarakat cenderung tidak patuh pada hukum karena wibawa
hukum “tidak ada”.
Sesuai penjelasan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum yang
berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Secara umum
konsekuensi dari sebuah Negara hukum dalam segala bentuk keputusan, tindakan
alat-alat perlengkapan Negara, segala sikap dan tingkah laku serta perbuatan yang
dilakukan oleh warga Negara harus memiliki landasan hukum. Dengan pernyataan
49

di atas menunjukkan bahwa hukum di Indonesia dijadikan pelindung bagi


warganya. Segala sesuatu yang telah diatur dalam Peraturan Perundang-undangan,
masyarakat tidak dapat berbuat sewenang-wenangnya dalam melakukan
kejahatan. Menghakimi sendiri memiliki hubungan erat dengan sifat melanggar
hukum dari setiap tindak pidana. Biasanya, dengan suatu tindak pidana seseorang
menderita kerugian. Adakalanya si korban berusaha sendiri untuk menghilangkan
kerugian yang ia derita dengan tidak menunggu tindakan alat-alat negara seperti
polisi atau jaksa, seolah-olah ia menghakimi sendiri (Eigenrichting).
Main hakim sendiri ini merupakan tindakan melanggar hukum yang
menyimpang dari nilai moral, selain itu main hakim sendiri juga melanggar sila
ke-2 Pancasila yaitu "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Aksi main hakim
sendiri tidak diatur secara khusus di dalam peraturan hukum pidana di Indonesia.
Aksi main hakim sendiri masih kerap terjadi di kalangan masyarakat, tindakan
main hakim sendiri ini memiliki beberapa faktor penyebab, seperti tidak
percayanya masyarakat pada hukum yang berjalan di Indonesia, kurangnya
kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang hukum, serta rasa geram dan tidak
sabar atas perbuatan sang pelaku. Padahal sudah ada pasal yang membahas
tentang pidana pelaku aksi main hakim sendiri, yaitu Pasal 351 KUHP, Pasal 170
KUHP, Pasal 406 KUHP, Pasal 338 KUHP, dan Pasal 354 KUHP.

2. Faktor – Faktor Main Hakim Sendiri


Tindakan main hakim sendiri (Eigenrichting) merupakan reaksi yang timbul
dari masyarakat, baik sebagai individu maupun dalam bentuk massa, sebagai
akibat dari kondisi dimana hak-hak dan ketentraman mereka terusik karena
adanya tindak pidana yang merugikan baik secara materil maupun imateril, yang
dalam prakteknya diwujudkan dalam bentuk kekerasan sebagai tindakan balas
dendam.
Kondisi ini tidak akan muncul dengan sendirinya, karena pada dasarnya
masyarakat tidak menginginkan untuk melakukan kekerasan, tetapi karena adanya
hal-hal yang memaksa mereka untuk melakukan tindakan main hakim sendiri,
maka terjadi berbagai bentuk tindakan main hakim sendiri. Tindakan main hakim
50

sendiri (Eigenrichting), merupakan gejala sosial yang saat ini menunjukkan


fenomena yang semakin meningkat di masyarakat. Banyak faktor yang menjadi
penyebab terjadinya Eigenrichting, baik dari faktor internal maupun eksternal.
Faktor internal diantaranya daya emosional, mental individu, pendidikan yang
rendah dan kurangnya kesadaran hukum. Faktor eksternal, diantaranya
melemahnya wibawa hukum, kebiasaan kekerasan, intensitas kejahatan yang
semakin meningkat, adanya provokasi, keadaan anomi (perilaku tanpa arah atau
apatis) di dalam masyarakat, ketersinggungan dalam kehidupan yang sensitive.
Upaya penanggulangan Eigenrichting antara lain dilakukan dengan tindakan pre-
emptif, preventif, tindakan abolionistik, yaitu dengan cara memantau
perkembangan emosi warga, menghilangkan kondisi anomi dalam masyarakat,
meningkatkan kualitas pendidikan, menghilangkan kebiasaan kekerasan,
mencegah terjadinya kejahatan di masyarakat. Upaya terakhir apabila terjadi
tindakan main hakim sendiri, maka akan diambil tindakan represif
Berdasarkan fenomena atau kejadian main hakim sendiri penulis mengambil
kesimpulan yang dapat diambil untuk menjawab faktor-faktor penyebab seseorang
melakukan tindakan main hakim sendiri yang terjadi langsung dilapangan, sebagai
berikut:
faktor internal dan eksternal
1. Masyarakat dalam melakukan tindakan main hakim sendiri disebabkan
karena adanya faktor dorongan yang diberikan oleh masyarakat lainnya,
menjadikan satu masyarakat kepada masyarakat lainnya menjadi ikut-ikutan
dalam melakukan aksi tindakan main hakim sendiri tersebut.
2. Adanya faktor emosional yang terdapat didalam diri seseorang, dikarenakan
adanya suatu anggapan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pelaku tindak
pidana tersebut tercela dan telah melanggar hukum.
3. Masyarakat tersebut memiliki sikap kurang percaya terhadap hukum yang
berlaku, dikarenakan adanya proses penegakkan hukum yang tidak baik.
Contohnya dengan melakukan sogokan terhadap pihak penegak hukum
(Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) oleh pelaku ataupun sebaliknya, agar
51

terciptanya suatu penegakkan hukum yang tidak sesuai dengan perundang-


undangan.
4. Salah satu masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri itu bisa karena
mereka mamiliki rasa pembalasan dendam terhadap pelaku tindak pidana
tersebut, karena masyarakat yang melakukan tindakan main hakim sendiri ini
pernah mengalami suatu tindak pidana dan menjadi korban dalam tindak
kejahatan, ataupun keluarganya pernah menjadi korban dalam tindak pidana
tersebut, baik itu pencurian, perampokan, pembunuhan dan lain sebagainya,
maka dilakukannya suatu pembalasan dendam terhadap pelaku tindak pidana
kejahatan, kemudian melakukan tindakan main hakim sendiri untuk
memenuhi hasrat yang timbul pada diri masyarakat yang menjadi korban
kejahatan tersebut.
5. Dikarenakan adanya situasi yang memungkinkan mereka melakukan tindakan
main hakim sendiri, yaitu yang pertama kurangnya kesigapan Kepolisian
untuk langsung datang ketempat kejadian perkara, yang kedua karena massa
yang begitu banyak jadi mereka berpikir jika melakukan tindakan main hakim
sediri maka tidak ada yang dapat mengetahui siapa-siapa saja yang
melakukannya karena banyaknya massa tersebut.74

Faktor sosial
1. Kurangnya Pemahaman dan Kesadaran Masyarakat Tentang Hukum
Hukum merupakan salah satu bentuk budaya untuk kendali dan regulasi
perilaku manusia, baik individual maupun kolektif dalam penerapannya.
Hukum adalah alat utama dari kontrol sosial pada masyarakat. Peranan
hukum di dalam masyarakat sebagaimana tujuan hukum itu sendiri adalah
menjamin kepastian hukum dan keadilan, dalam kehidupan masyarakat
senantiasa terdapat perbedaan antara pola-pola perilakunya atau tata kelakuan
yang berlaku dalam masyarakat dengan pola-pola perilaku yang dikhendaki
oleh norma-norma (kaidah) hukum. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
suatu masalah berupa kesenjangan sosial sehingga pada waktu tertentu

74
Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Main Hakim Sendiri Pada Masyarakat
(123dok.com)
52

cenderung terjadi konflik dan ketegangan sosial yang tentunya dapat


mengganggu jalannya perubahan masyarakat sebagaimana arah yang
dikhendaki. Keadaan demikian terjadi oleh karena adanya hukum yang
diciptakan diharapkan dapat dijadikan pedoman (standar) dalam bertindak
bagi masyarakat tidak ada kesadaran hukum sehingga cenderung tidak ada
ketaatan hukum.
Membangun kesadaran hukum tidaklah mudah, tidak semua orang
memiliki kesadaran hukum. Hukum sebagai fenomena sosial merupakan
institusi dan pengendalian masyarakat. Di dalam masyarakat dijumpai
berbagai institusi yang masing-masing diperlukan dalam masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan memperlancar jalannya pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan tersebut, oleh karena fungsinya demikian masyarakat
perlu akan kehadiran institusi sebagai pemahaman kesadaran hukum.
Beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat tidak sadar akan pentingnya
hukum adalah adanya ketidak pastian hukum, peraturan-peraturan yang
bersifat statis dan tidak efisiennya cara-cara masyarakat untuk
mempertahankan peraturan yang berlaku. Hal inilah merupakan salah satu
faktor masyarakat melakukan perbuatan main hakim sendiri karena
masyarakat berpikir bahwa mereka dalam posisi yang benar dan tidak akan
ada aturan yang menjeratnya. Selain itu, kesadaran hukum masyarakat yang
sudah mulai menurun karena hukum dianggap tidak lagi dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat yaitu keadilan.
2. Keresahan Masyarakat Terhadap Kasus Pencurian yang Tidak Pernah
Terungkap
Tindakan main hakim sendiri dilakukan warga karena merasa resah
dengan aksi pencuri yang selalu saja tidak pernah tertangkap oleh aparat.
Keresahan warga ini karena di wilayahnya telah banyak warga yang
kehilangan baik motor maupun hewan ternak. Sebelum masyarakat
memutuskan untuk melakukan tindakan main hakim sendiri terhitung telah 8
unit motor warga yang hilang dan banyak hewan ternak yang hilang.
Tindakan warga Daerah Sako melakukan perbuatan main hakim sendiri
53

sangatlah beralasan karena warga sekitar sudah muak dengan pencurian yang
sering terjadi di daerahnya sehingga ketika warga dihadapkan dengan orang
yang mencurigakan maka masyarakat tidak akan segan lagi mengambil
langkah dan memutuskan hukumnya sendiri.

3. Faktor Lemahnya Penegakan Hukum


Banyaknya tindakan main hakim sendiri di Kota Palembang sebagian
besar disebabkan karena dalam penanganannya kasus seperti ini banyak yang
tidak terselesaikan, dalam artian banyak kasus yang dibiarkan dan tidak
ditindak lanjuti oleh aparat penegak hukum dan sering kali tidak memenuhi
rasa keadilan masyarakat sehingga timbul pemicu yang menyebabkan suatu
ledakan kemarahan masyarakat. Maka masyarakat merasa main hakim sendiri
merupakan tindakan tegas dalam memberikan sanksi kepada pelaku
kejahatan. Masyarakat merasa semakin mudah melampiaskan kemarahannya
kepada pelaku kejahatan dengan melakukan pengeroyokan beramai-ramai
dengan tindakan fisik, mulai dari pemukulan ringan hingga menyebabkan
meninggalnya si korban atau pelaku tindakan pidana. Tindakan main hakim
sendiri ini secara teknis disebut dengan istilah eigenrichting. Tindakan main
hakim sendiri yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini sering diberitakan
baik dalam media cetak maupun televisi. Kasus-kasus seperti ini banyak yang
di proses secara hukum sesuai ketentuan yang berlaku tetapi tidak sedikit juga
dilepas begitu saja, tetapi pada umumnya di kota palembang masih sering
dijumpai tidak pidana main hakim sendiri. Kondisi masyarakat di kota
Palembang sebagian besar sangatlah emosional dalam menghadapi pelaku
kasus kriminal secara langsung terutama golongan masyarakat yang
ekonominya menengah kebawah, hal itu dikarenakan rendahnya pengetahuan
hukum, masih adanya perilaku masyarakat lebih suka melakukan
penghukuman sendiri pada pelaku kejahatan karena bagi masyarakat
penghukuman seperti itu lebih efektif. Kepercayaan masyarakat bahwa
Negara dapat menegakkan keadilan hukum di tengah masyarakat sangat
rendah disamping rasa perikemanusiaan sebagian anggota masyarakat mulai
54

turun. Hal ini akibat proses panjang dari sistem peradilan yang kurang
mendidik dimana sering kali terjadi tersangka pelaku kejahatan dan
merugikan masyarakat dilepas oleh penegak hukum dengan alasan kurang
kuatnya bukti yang ada dan kalaupun kemudian diproses sampai ke
pengadilan, hukumnya yang dijatuhkan tidak sesuai dengan harapan
masyarakat. Budaya main hakim sendiri pada perkembangannya akan
melahirkan cara-cara lain seperti teror baik dengan sasaran psikologis
maupun fisik, atau yang lebih halus seperti intimidasi, pembunuh karakter
dan lain sebagainya. Maka dalam membangun masyarakat yang sadar dan
patuh pada hukum pemerintah harus secepatnya membangun moral force
(kekuatan moral) yang dimulai dari para penegak hukum dengan
mensosialisasikan hakikat perlunya hukum dipatuhi oleh masyarakat
dibarengi dengan menindak secara tegas setiap anggota atau kelompok
masyarakat yang melakukan cara main hakim sendiri dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan hukum yang mereka hadapi. Selain itu pencegahannya
dapat diupayakan baik dari segi masyarakat sendiri, perintah, maupun
perangkat peraturan hukum pidana yang berlaku.

4. Faktor Psikologis
Alasan psikologis bisa jadi ditimbulkan karena tekanan ekonomi yang
serba sulit yang melahirkan rasa frustasi. Hidup dalam keadaan tertekan
ditambah lagi adanya kesenjangan sosial antara kaya dan miskin yang lebar
menimbulkan kesenjangan sosial.
5. Faktor Masyarakat Kurang Percaya Terhadap Lembaga Penegak Hukum
Saat ini sedang di dalam kondisi dimana tatanan sistem hukum yang
dijalankan oleh lembaga penegak hukum masih rendahnya kepercayaan
masyrakat terhadap lembaga penegak hukum. Kondisi ini memiliki ciri-ciri
dimana hukum tidak lagi dipandang sebagai human institution ( lembaga
manusia) yang dapat memberikan rasa perlindungan hak-haknya sebagai
warga negara. Oleh karena itu, harus segera dilakukan langkah-langkah untuk
melakukan pengembalian kepercayaan tersebut.75
75
Nur Cahya Ningsih, “TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PERBUATAN MAIN
55

3. Upaya Penegak Hukum Untuk Menghentikan Perbuatan Main Hakim


Sendiri
Dalam perbuatan main hakim sendiri ada faktor yang menyebabkan mengapa
seseorang melakukan tindakan main sendiri, di samping itu di dalam perbuatan
main hakim sendiri ada juga suatu upaya mengatisipasi atau mencegah terjadinya
tindakan main hakim sendiri. Masyarakat pada umumnya mengharapkan adanya
suatu pergerakan dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah khususnya di dalam
instansi lembaga hukum (polisi, jaksa, hakim) untuk lebih berperan aktif dalam
melakukan suatu tindakan untuk menanggulangi tindakan main sendiri. Perbuatan
main hakim sendiri ini yang terlibat adalah sekelompok orang yaitu masyarakat
yang melakukan suatu perbuatan tersebut, bila yang melakukan adalah
sekelompok orang berarti banyak masyarakat yang ikut serta di dalam perbuatan
main hakim sendiri ini, lebih dari itu masyarakat melakukan tindakan anarkis,
melakukan tindakan tersebut dengan kekerasan, dan pengeroyokan. Sudah sangat
jelas bahwa tindakan main hakim sendiri itu dilarang oleh undang-undang, akan
tetapi masyarakat lebih memilih melakukan penghakiman dengan caranya sendiri
dari pada menyerahkannya kepada pihak yang berwenang, masyarakat masih
rendah kepercayaan terhadap hukum yang berlaku, bila masyarakat itu mengerti
akan hukum dan mempercayai hukum maka masyarakat akan menyerahkannya
pada pihak yang berwenang.

Peraturan perundang-undang khususnya KUHP belum mengatur secara


khusus mengenai main hakim sendiri, lantas bukan berarti KUHP tidak dapat
diterapkan sama sekali jika terjadi perbuatan main hakim sendiri. Di dalam KUHP
yang berkaitan dengan tindakan main hakim sendiri diatur dalam Pasal 351
tentang Penganiayaan :76

1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

HAKIM SENDIRI (STUDI KASUS DI KELURAHAN KAWATUNA KOTA PALU)”


76
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, Edisi II (Jakarta
: Cahaya Prima Sentosa, 2015), h. 65.
56

2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan


pidana penjara paling lama lima tahun.
3. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
4. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak pidana.
Hal ini dapat diancamkan atas tindakan main hakim sendiri yang dilakukan di
depan umum, yaitu Pasal 170 tentang Kekerasan :77
1. Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama
menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun enam bulan.
2. Yang bersalah diancam;
a. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja
menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan
mengakibatkan luka-luka
b. Dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun, jika kekerasan
mengakibatkan luka berat
c. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan
mengakibatkan maut.
Ketika seseorang melakukan tindakan main hakim sendiri maka pasal-pasal
tersebut dapat dikenakan kepada siapa saja yang melakukan tindakan tersebut,
baik itu melakukannya karena faktor emosional, ikut-ikutan, kurang mempercayai
hukum, dan situasi. Tindakan seperti main hakim sendiri tidak dibenarkan dalam
hukum, sehingga dapat dikenakan terhadap orang yang melakukannya. Adapun
bila orang yang melakukan tindakan main sendiri itu sampai mengakibatkan
hilangnya nyawa seseorang maka dapat dikenakan dalam Pasal 338 KUHP
tentang Kejahatan terhadap Nyawa, “Barang siapa dengan sengaja merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
Berdasarkan hasil wawancara penilus dengan hakim Pengadilan Negeri
Sungguminasa agar mendapatkan suatu pandangan penegakan hukum dalam
mengantisipasi/mencegah terjadinya tindakan main hakim sendiri, yaitu sebagai
77
Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentang Sanksi Hukum Bagi Pelaku
Kekerasan Terhadap Orang Atau Barang Di Muka Umum, Pasal 170.
57

berikut :
1. Dalam hal penegakan hukum untuk mengantisipasi/mencegah terjadinya
tindakan main hakim sendiri yaitu, hakim lebih terbatas pada kewenangan
tersebut hakim hanya berwenang pada proses pengadilan hingga penjatuhan
putusan. Adapun yang berkaitan dengan hal tersebut hakim lebih kepada
halhal seperti sosialisasi ke masyat.
2. Dalam hal penegakan hukum untuk mengantisipasi/mencegah terjadinya
tindakan main hakim sendiri yaitu, pengadilan itu fungsinya menerima
perkara, yang lebih bersentuhan dengan masyarakat adalah dari pihak
penyidik ataupun kepolisian yang ditugaskan kepada bhabinkamtibmas.
Langkah pengadilan lebih kepada penyuluhan hukum, memeriksa dan
mengadili perkara dalam proses pengadilan, terkait dengan tugas pokok
hakim tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat.
3. Dalam hal penegakan hukum untuk mengantisipasi/mencegah terjadinya
tindakan main hakim sendiri yaitu, khsusnya hakim lebih kepada proses
pengadilan itu sendiri mulai dari menerima, memeriksa, dan memutuskan
perkara.

Kewenangan Polisi, Jaksa, Hakim di samping untuk menegakkan hukum


sesuai dengan peraturan perundang-undangan namun juga memberikan sebuah
pengarahan atau pembelajaran mengenai hukum kepada masyarakat. Berdasarkan
teori sistem peradilan pidana di Indonesia bahwa dalam upaya penegakan dalam
mengantisipasi/mencegah terjadinya main hakim sendiri lembaga hukum harus
menjadikan suatu masyarakat yang taat akan hukum, dan dilakukannya upaya-
upaya penegakan dalam mengantisipasi/mencegah terjadinya main hakim sendiri,
seperti memberi penyuluhan tentang hukum kepada masyarakat, memberi sebuah
apresiasi kepada setiap warga masyarakat yang memperdamaikan suatu
permasalahan di daerahnya tersebut.

Adapun cara mengantisipasi/mencegah terjadinya main hakim sendiri dengan


melakukan tindakan preventif, tindakan preventif merupakan upaya pencegahan
yang dilakukan sebelum terjadinya peristiwa pidana dalam hal penanggulangan
58

kejahatan. Tindakan preventif yang dilakukan yaitu :

1. Preventif (Pencegahan)
a. Membangun kewibawaan dan kepastian hukum yang memenuhi rasa
keadilan masyarakat
Perilaku menyimpang dalam masyarakat seperti perbuatan main
hakim sendiri tentunya harus segera diobati. Untuk menemukan obat
pertama kali perlu dikenali akar permasalahan munculnya tindakan main
hakim sendiri tersebut. Mengingat bahwa akar masalahnya adalah
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum, maka fungsi
hukum perlu dilaksanakan secara konsekuen dan professional oleh aparat
penegak hukum. Membangun dan menguatkan system hukum yang
berfungsi sesuai treknya, tidak ada diskriminasi terhadap siapa pun yang
berurusan dengan hukum. Rakyat berharap hukum bukan sekedar produk
politik untuk melindungi kepentingan tertentu, melainkan yang
berkeadilan, melindungi semua orang dan golongan tanpa diskriminasi.
Upaya ini pada akhirnya akan menumbuhkan kewibawaan dan kepastian
hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat.

b. Himbauan dan penyuluhan hukum Dalam membangun kesadaran dan


kepatuhan hukum, kepolisian melalui Bapemkamtibmas (Badan Pembina
Ketertiban dan Keamanan Masyarakat) menggalakkan
sosialisasi/penyuluhan hukum. Hal tersebut diharapkan agar masyarakat
memahami bahwa tindakan main hakim sendiri adalah tindakan yang
bertentangan dengan hukum dan dapat dipidanakan.

Dan apabila telah terjadi perbuatan main hakim sendiri maka melakukan
tindakan represif (penindakan), tindakan represif merupakan tindakan
pengendalian sosial yang dilakukan setelah terjadinya perbuatan main hakim
sendiri, tindakan represif dilakukan, yaitu:

2. Represif (Penindakan)
Proses hukum terhadap perbuatan main hakim sendiri yang dilakukan oleh
59

masyarakat tetap bisa diproses secara hukum, sama halnya dengan perbuatan
perbuatan hukum lainnya. Pelaku tindakan main hakim sendiri ini tetap bisa
ditangkap namun pada prakteknya jarang terjadi dikarenakan yang menjadi
korban penghakiman massa ataupun keluarganya tidak melaporkan atau
mempermasalahkan penganiayaan atau pengeroyokan yang dialaminya.

Tindakan main hakim sendiri selalu menjadi perbincangan hangat


dimasyarakat Indonesia, Tindakan tersebut bahkan berujung pada tindakan
penganiayaan hingga pembunuhan terhadap korban yang dilakukan oleh
beberapa oknum masyarakat. Adanya tindakan main hakim sendiri sebagai
sebuah peristiwa menyedihkan mengingat adanya ketentuan aturan hukum pada
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI)
yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Dengan demikian, seharusnya
hukumlah yang menjadi penyelesaian resmi yang sah dari berbagai konflik yang
timbul dalam masyarakat. Selain itu, tindakan main hakim sendiri juga
bertentangan dengan pasal Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin dalam UUD
NRI. Pasal 28 G ayat (2) UUD NRI menyatakan bahwa setiap orang berhak
bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat
manusia.

Main hakim sendiri dapat memberikan dampak psikologis bagi korban.


Korban dari tindakan ini dalam jangka panjang dapat mengalami depresi dan Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD). Untuk memulihkan kondisi korban tersebut
diperlukan proses rehabilitasi yang tidak sebentar. Hal itu bahkan juga tidak
mampu menyembuhkan total rasa trauma dalam diri korban. Melihat pada
berbagai dampak dari main hakim sendiri, tergambar bahwa tindakan ini
sebenarnya sangat merugikan bagi korban namun di sisi lain dianggap kelaziman
dalam masyarakat.78
Sosiolog terkemuka, Emile Durkheim dalam bukunya yang berjudul The
Sociology of Law menyatakan bahwa tindakan individu dipengaruhi oleh fakta
sosial (social fact) dalam masyarakat. Fakta sosial ini menggambarkan bagaimana
78
Imam Sukardu, Pilar Islam Bagi Pluralisme Modern, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2003), 26.
60

nilai, budaya dan norma dalam masyarakat mampu menggerakan tindakan


individu. Dengan demikian, memang dalam menganalisis suatu tindakan individu,
Emile Durkheim melihatnya dalam aspek yang makro yakni masyarakat sebagai
penggerak individu atau yang mempengaruhi individu. Dari analisis data tersebut,
maka fenomena tindakan main hakim sendiri dapat dianalisis berdasarkan hukum
Pidana dan hukum Islam.79
Tindakan main hakim sendiri selalu berjalan dengan pelanggaran hak-hak
orang lain, dan oleh karena itu tidak diperbolehkan perbuatan ini menunjukan
bahwa adanya indikasi rendahnya kesadaran masyarakat terhadap hukum.
Tindakan main hakim sendiri digolongkan kepada perbuatan yang melanggar hak
asasi manusia. Sekalipun korban main hakim sendiri merupakan pelaku tindak
pidana, pelaku masih memiliki hak asasi yang harus dihormati dan diberikan
kepada setiap individu.
Terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan seseorang melakukan tindakan
main hakim sendiri yaitu dapat dilihat melalui teori anomie, seseorang yang
melakukan tindakan main hakim sendiri, mereka tidak mempercayai lagi dengan
adanya hukum, dengan kata lain mereka telah mengalami kekecewaan terhadap
peraturan perundang-undangan yang ada, dimana nilai-nilai dan norma-norma
yang seharusnya dipatuhi dan juga dilaksanakan menjadi semakin tidak jelas dan
kehilangan relevansi. Maka jika didalam suatu masyarakat tersebut telah
mengalami kekecewaan terhadap hukum maka yang terjadi adalah masyarakat
tersebut melakukan suatu pengadilan jalanan yaitu dengan melakukan tindakan
main hakim sendiri. Tindakan main hakim sendiri dengan demikian dapat
dikatagorikan sebagai anomie atau dalam kasus main hakim sendiri ini terjadi
ketidaksesuaian dalam penerapan fungsi hukum dengan tujuan yang diinginkan
oleh masyarakat, pelaksanaan fungsi hukum oleh lembaga hukum dipandang oleh
masyarakat belum memenuhi apa yang diinginkan oleh masyarakat, sehingga
masyarakat menjalankan hukumnya sendiri.
Dalam penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah dan lembaga
hukum gagal dalam menjalankan tugasnya dengan benar, jika suatu tugas atau

79
A. Javier Trevino, The Sociology Of Law, (New York: Rt. Martins Press, 2004), 234.
61

aturan itu sudah dikatakan berhasil maka masyarakatlah yang menilainya dan
berkemauan mengikuti segala aturan hukum yang ada, contoh dari kegagalan
penegak hukum dalam menjalankan tugasnya yaitu dengan adanya aksi tindakan
main hakim sendiri, itu sudah mencerminkan kegagalan penegak hukum dalam
menumpas tindak kejahatan dan contoh kedua kegagalan penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya yaitu masyarakat sering kali menemukan adanya keganjilan
dalam proses penegakkan hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian,
masyarakat berpresepsi bahwa seseorang yang telah melakukan tindak pidana
dapat begitu saja keluar dari tindakan kasus tersebut dengan kata lain pihak
kepolisian dapat saja melepaskan seseorang yang melakukan tindak pidana karena
orang tersebut telah membayar kepada pihak Kepolisian agar kasusnya dapat
terselesaikan dan kemudian bebas, hal itulah yang membuat masyarakat tidak lagi
dapat sepenuhnya mempercayai adanya proses penegakkan hukum yang adil,
baik, dan benar.
Durkheim mempergunakan istilah anomie untuk mendeskripsikan keadaan
“deregulation” didalam masyarakat yang diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-
aturan yang terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang
diharapkan dari orang lain dan keadaan ini memudahkan terjadinya penyimpangan
perilaku (deviasi). Dapat diberikan kesimpulan dalam pernyataan yang
dikemukakan oleh Durkheim menjelaskan bahwa ketidaktaatan masyarakat dalam
mematuhi segala peraturan hukum yang dibuat oleh pemerintah, dan itulah yang
menjadikan masyarakat tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan dalam
menciptakan suatu hukum yang baik dan benar, bila suatu masyarakat yang
mengerti akan hukum maka mereka melakukan suatu perilaku atau perbuatan
yang sejalan dengan hukum, dan menaati segala peraturan yang dibuat oleh
pemerintah.80
Sebaiknya hukum dalam hal ini bekerja untuk mengubah perilaku
masyarakat, yang mana pada awalnya perilaku tersebut dinilai sebagai perilaku
yang tidak menyimpang, namun selanjutnya disebut sebagai perilaku
menyimpang atau suatu pelanggaran. Untuk melakukan hal tersebut, butuh waktu
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum (Perkembangan Metode Dan Pilihan Masyarakat),
80

(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), 66-67.


62

yang tidak sebentar, dimana perlu adanya pengertian dan sosialisasi terhadap
masyarakat.

B. Pandangan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak Pidana Main Hakim


Sendiri
Akhir akhir ini fenomena tindakan main hakim sendiri di masyarakat mulai
meresahkan. Kenapa hal itu bisa terjadi pada masyarakat kita dan apakah tindakan
itu diperbolehkan? Dari survei yang dilakukan oleh lembaga terpercaya, empat
faktor terbesar yang menyebabkan masyarakat ingin main hakim sendiri yaitu
rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum akan bertindak adil,
proses hukum mudah diintervensi, banyak politisi yang terjerat kasus korupsi dan
pembiaran penegakan hukum.
Tindakan main hakim sendiri merupakan suatu tindakan yang dilarang
menurut peraturan perundang undangan di Indonesia terlebih lagi menurut Syari'at
Islam. Kenapa? Karena hal itu, keadilan tidak akan didapatkan. Seseorang yang
mencuri ayam harus mat dihajar massa, seorang jambret dibakar hidup hidup
hingga mati dan lain sebagainya. Tentu hal itu bukanlah keadilan yang didapat,
bahkan pelaku tindakan main hakim sendiri sudah melakukan perbuatan keji yang
sungguh dilarang dalam ajaran Islam. Seperti yang di jelaskan dalam surah An-
Nahl ayat 90:
‫ان َواِ ْيت َۤاِئ ِذى ْالقُرْ ٰبى َويَ ْن ٰهى ع َِن ْالفَحْ َش ۤا ِء َو ْال ُم ْن َك ِر َو ْالبَ ْغ ِي يَ ِعظُ ُك ْم‬ ‫هّٰللا‬
ِ ‫اِ َّن َ يَْأ ُم ُر بِ ْال َع ْد ِل َوااْل ِ حْ َس‬
َ‫لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُوْ ن‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji,
kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.”

Keadilan adalah sebuah istilah yang menyeluruh, dan termasuk juga segala
sifat hati yang bersih dan jujur. Tetapi agama menuntut yang lebih hangat dan
lebih manusiawi, melakukan pekerjaan yang baik, meskipun ini tidak diharuskan
secara ketat oleh keadilan, seperti kejahatan yang dibalas dengan kebaikan, atau
suka membantu mereka yang dalam bahasa duniawi “tak mempunyai suatu
63

tuntutan” kepada kita; dan sudah tentu pula memenuhi segala tuntutan yang
tuntutannya dibenarkan oleh kehidupan sosial. Begitu juga yang sebaliknya
hendaknya dihindari: segala yang diakui sebagai perbuatan munkar, dan segala
yang benar-benar tidak adil, kekejaman, dan segala kekufuran dan kefasikan
terhadap Hukum Allah, atau terhadap kesadaran batin kita sendiri dalam
bentuknya yang paling peka. Seperti yang di jelaskan dalam surah Al-Maidah ayat
8:
c۟ ُ‫م َشنَـَٔانُ قَوْ ٍم َعلَ ٰ ٓى َأاَّل تَ ْع ِدل‬cْ ‫وا قَ ٰ َّو ِمينَ هَّلِل ِ ُشهَدَٓا َء بِ ْٱلقِ ْس ِط ۖ َواَل يَجْ ِر َمنَّ ُك‬
ۚ ‫وا‬ ۟ ُ‫وا ُكون‬ ۟ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامن‬
َ
۟ ُ‫وا هُ َو َأ ْق َربُ لِلتَّ ْق َو ٰى ۖ َوٱتَّق‬
َ‫وا ٱهَّلل َ ۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ خَ بِي ۢ ٌر بِ َما تَ ْع َملُون‬ ۟ ُ‫ٱ ْع ِدل‬
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”

Islam sangat menghormati hak asasi manusia, hal tersebut terlihat dari adanya
hukum dalam lingkup Islam yang mengatur mengenai hukuman bagi orang yang
melakukan pelanggaran terhadap hak orang lain. Hukum-hukum itu ada yang
telah ditetapkan dan tidak dapat ditawar oleh umat Islam, maksudnya adalah umat
Islam tinggal menjalankan hukum yang tertulis dalam Al-Qur’an maupun Hadist
tanpa adanya penawaran. Ada juga hukuman yang dapat diganti oleh umat Islam,
ada kesepakatan dari kedua belah pihak yang bermasalah serta ada juga hukuman
yang dapat ditentukan oleh hakim didasarkan pada kondisi dari orang yang
melakukan kesalahan selama tidak melakukan kesalahan sebagaimana yang diatur
dalam Al-Qur’an.81
Dalam hukum pidana Islam istilah tindak pidana biasa disebut dengan kata
jarimah, yang berarti tindak pidana. Kata lain yang sering digunakan untuk pidana
istilah jarimah ialah jinayah. Hanya di kalangan fuqaha istilah jarimah pada
umumnya digunakan untuk semua pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang
oleh syara’ baik mengenai jiwa ataupun lainya. Sedangkan jinayah pada umumnya

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar
81

Grafika, 2004), h. 17.


64

digunakan untuk menyebutkan perbuatan pelanggaran mengenai jiwa atau


anggota badan, seperti membunuh dan melukai anggota badan tertentu.82
Jinayah berasal dari kata “jana yajni jinayah”, yang berarti memetik, dosa
atau kesalahan. Jinayah menurut bahasa adalah seseorang yang memanfaatkan
sesuatu dengan cara yang salah. Menurut istilah jinayah adalah perbuatan yang
diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan
agama, jiwa, akal, atau harta benda. Adapun Al-Ahkam Al-Jinayah adalah hukum
pidana biasa disebut juga hukum publik. Al-Ahkam Al-Jinayah dalam Islam untuk
melindungi kepentingan dan keselamatan umat manusia dari ancaman tindak
kejahatan atau pelanggaran, sehingga tercipta situasi kehidupan yang aman dan
tertib. Sedangkan pengertian jarimah menurut Al-Sulthoniah adalah segala
larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal
yang diwajibkan) yang diancam dengan hukum had atau ta’zir.83
Hukum pidana Islam di Indonesia bukanlah merupakan hukum positif,
keberadaannya hanyalah sebagai suatu disiplin ilmu, dan juga merupakan
terjemahan dari kata fiqih jinayah. Fiqih jinayah adalah segala ketentuan hukum
mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang
mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman
atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-Qur’an dan Hadits. Tindakan
kriminal dimaksud, adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu
ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. 84
Setiap tindak pidana dalam hukum Islam memiliki unsur-unsur tertentu
apabila seseorang telah memenuhi syarat yang dimaksud dalam perbuatan (tindak)
pidana, maka seseorang tersebut telah dianggap melakukan tindak pidana dan
wajib mendapatkan perlakuan hukum sesuai dengan jenis tindak pidana yang
dilakukannya.85
Ulama fiqih mengemukakan unsur yang harus ada dalam suatu tindak pidana
82
Yusuf, Imaning, Fiqih Jinayah Hukum Pidana Islam, (Palembang : Rafah Press, 2009),
26.
83
Ahmad Jazuli, Hukum Pidana Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), 5.
84
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), 1.
85
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 527
65

sehingga perbuatan itu dapat dikategorikan dalam perbuatan tindak pidana.


Adapun unsur-unsur itu adalah :
1. Ada nash yang melarang perbuatan tersebut dan ancaman formil (ar-Rukn al-
syar’i). Dalam unsur ini ulama membuat kaedah “Tidak ada sesuatu tindak
pidana dan tidak ada pula suatu hukuman tanpa ada nash”. Senada dengan
kaedah tersebut juga dikatakan “sebelum ada nash, tidak ada hukum bagi
orang-orang yang berakal”. Oleh Haliman menyebutkan unsur ini dengan
“sifatnya melawan hukum”.
2. Adanya tingkah laku yang membentuk perbuatan jarimah, baik berupa
perbuatan yang nyata melanggar larangan syara’, jarimah positif aktif
melakukan sesuatu perbuatan seperti mencuri maupun dalam bentuk sikap
tidak berbuat sesuatu yang diperimtahkan syara’ jarimah negative pasif
melakukan perbuatan seperti tidak melaksanakan shalat dan tidak menunaikan
zakat. Dalam hukum pidana positif unsur ini disebut unsur materil (al-rukn al-
madiy). Menurut Halimah bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah
perbuatan yang oleh hukum dinyatakan perbuatan yang dapat dihukum.
3. Pelaku jarimah (tindak pidana) adalah seseorang yang telah mukallaf atau
orang yang telah dapat dipertanggung jawabkannya secara hukum, dalam
hukum pidana Islam disebut al-rukn adabi. Dalam hukum pidana positif
disebut unsur moril oleh Haliman menyebutkannya orang yang melakukan
perbuatan tersebut dapat dipersalahkan atau disesalkan atas perbuatannya.86

Di samping unsur umum seperti yang dikemukakan tersebut terdapat juga


unsur-unsur khusus yang terdapat dan berlaku pada setiap tindak pidana. Unsur
khusus artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada jenis jarimah tertentu dan
berbeda antara unsur khusus pada jenis jaimah yang satu dengan jenis jarimah
yang lainnya. Menurut para fuqahā tindak pidana selain jiwa (penganiayaan)
adalah setiap perbuatan yang mengenai badan seseorang, namun tidak
mengakibatkan kematian. Para fuqaha membagi tindak pidana tersebut menjadi

86
Dr. Hamzah Hasan, M.H.I., Hukum Pidana Islam 1, (Makassar : Alauddin Unversity
Press, 2014), 11.
66

lima bagian :87


1. Memisahkan anggota badan atau yang sejenisnya. Yaitu memotong anggota
badan dan sesuatu yang mempunyai manfaat serupa, seperti memotong
tangan, kaki, jari-jari, kuku, hidung, penis.
2. Menghilangkan manfaat anggota badan, tetapi anggota badannya tetap ada.
Yaitu menghilangkan pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa, manfaat
bicara, termasuk di dalamnya merubah gigi menjadi hitam, merah, dan juga
menghilangkan akal.
3. Melukai kepala dan muka (al-shiijjaj), menurut imam Abu Hanifah adalah
pelukaan bagian muka dan kepala, tetapi khusus di bagian tulang saja, seperti
dahi.
4. Melukai selain kepala dan muka (al-shiijjaj), yaitu selain kepala dan muka,
dan ini terbagi menjadi dua :
a. Al-ja’ifah, yaitu luka yang sampai ke dalam rongga dada, perut,
punggung, dua lambung, dan dubur.
b. Ghair al-ja’ifah, yaitu luka yang tidak sampai kerongga tersebut.
5. Yang tidak termasuk empat jenis di atas, yaitu penganiayaan yang tidak
meninggalkan bekas atau meninggalkan bekas yang tidak dianggap jarh dan
shajjaj.

Sebuah prinsip yang berlaku berdasarkan Al-Qur’an untuk menghukum


pelaku tindak kejahatan penganiayaan. Suatu kejadian, di mana terjadi tindak
pembunuhan, di mana pihak korban dan pihak pelaku dalam status yang sama,
maka pembunuhan terhadap pelaku merupakan hukuman akibat tindak
pembunuhan yang dilakukan terhadap korban, demikian pula penganiayaan ringan
pada korban juga berakibat hukuman pelukaan yang setimpal atas pelakunya.
Hukum pidana Islam, yang memberikan pelukaan yang sama terhadap pelaku
tindak pidana sebagaimana ia melakukan (terhadap korban). Qishas hanya tertuju
pada kejahatan yang menyangkut nyawa atau anggota badan seseorang. Jika
seseorang melakukan penganiayaan terhadap orang lain secara sewenang-wenang,

87
Abd. Al-Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, teremahan. Alie Yafie (dkk.)
(Jakarta: PT. Khalista Ilmu, 2008), 19.
67

maka wali korban diberi hak untuk menuntut pula pelaku pidana tersebut.
Dalam hukum Islam ada kebijakan, yang mengesahkan penggantian hukuman,
berdasarkan adanya pemaafan dari pihak korban dengan sejumlah ganti kerugian
yang bersifat material untuk tindak kejahatan penganiayaan. 88 Di dalam hukum
Islam secara eksplisit telah dijelaskan oleh Allah Swt dalam firman-Nya Al-
Qur’an Surah Al-Ma’idah ayat 45 sebagai berikut :
ِّ‫ف َواُأْل ُذنَ بِاُأْل ُذ ِن َوالس َِّّن بِال ِّسن‬ ِ ‫ف بِاَأْل ْن‬ cَ ‫س َو ْال َع ْينَ بِ ْال َعي ِْن َواَأْل ْن‬ َ ‫ َعلَ ْي ِه ْم فِيهَا َأ َّن النَّ ْف‬c‫َو َكتَ ْبنَا‬
ِ ‫س بِالنَّ ْف‬
‫ق بِ ِه فَهُ َو َكفَّا َرةٌ لَهُ ۚ َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما َأ ْن َز َل هَّللا ُ فَُأو ٰلَِئكَ هُ ُم‬ َ ‫صاصٌ ۚ فَ َم ْن ت‬
َ ‫َص َّد‬ َ ِ‫ح ق‬cَ ‫َو ْال ُجرُو‬
َ‫الظَّالِ ُمون‬
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya, maka melepaskan
hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
zalim.”89

(Dan telah Kami tetapkan terhadap mereka d dalamnya) maksudnya di dalam


Taurat (bahwa jiwa) dibunuh (karena jiwa) yang dibunuhnya (mata) dicongkel
(karena mata, hidung) dipancung (karena hidung, telinga) dipotong (karena
telinga, gigi) dicabut (karena gigi) menurut satu qiraat dengan marfu'nya keempat
anggota tubuh tersebut (dan luka-luka pun) manshub atau marfu' (berlaku kisas)
artinya dilaksanakan padanya hukum balas jika mungkin; seperti tangan, kaki,
kemaluan dan sebagainya. Hukuman ini walaupun diwajibkan atas mereka tetapi
ditaqrirkan atau diakui tetap berlaku dalam syariat kita. (Siapa
menyedekahkannya) maksudnya menguasai dirinya dengan melepas hak kisas itu
(maka itu menjadi penebus dosanya) atas kesalahannya (dan siapa yang tidak
memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah) seperti kisas dan lain-lain
(merekalah orang-orang yang aniaya).90
Di dalam Taurât, Kami mewajibkan hukum qishas kepada orang-orang
Yahudi agar Kami memelihara kelangsungan hidup manusia. Kami tetapkan

88
Ali As-Sahbuny, Kamus Al-Qur’an : Quranic Explorer, (Shahih, 8 Februari 2016), 592
89
Surat Al-Ma'idah Ayat 45 | Tafsirq.com
90
https://tafsirq.com/5-Al-Ma'idah/ayat-45#tafsir-jalalayn
68

bahwa nyawa dibalas dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung
dan gigi dengan gigi. Luka-luka pun sedapat mungkin dikenakan kisas pula.
Barangsiapa memaafkan dan menyedekahkan hak kisasnya terhadap pelaku
kejahatan, maka sedekah itu merupakan kafarat yang dapat menghapus sebagian
dosanya. Barangsiapa yang tidak menerapkan hukum kisas dan lain-lainnya yang
telah ditetapkan Allah, akan termasuk orang-orang yang zalim.
Secara redaksi, dalam hukum pidana Islam tidak menyebut nama istilah
tindak pidana main hakim sendiri akan tetapi dengan istilah tindak pidana atas
selain jiwa yang dapat dilihat dari unsur-unsur dan akibat perbuatan tersebut.
Dalam main hakim sendiri, terkandung perbuatan penganiayaan yang dilakukan
bersama-sama atau disebut turut serta melakukan jarimah yang berpeluang
menyebabkan luka hingga meninggalnya korban maupun perbuatan pembunuhan
dalam Islam menyebut jarimah atas selain jiwa.
Islam telah menjelaskan berbagai norma atau atauran yang harus ditaati oleh
setiap mukalaf, hal ini telah telah termaktup dalam sumber hukum Islam,
termasuk juga mengenai perkara jarimah atau tindak pidana dalam Islam. Islam
sangat menghormati hak asasi manusia, hal itu terlihat dari adanya hukum dalam
lingkup Islam yang mengatur mengenai hukuman bagi orang yang melakukan
pelanggaran terhadap hak orang lain.
Hukum-hukum itu ada yang telah ditetapkan dan tidak dapat ditawar oleh
manusia, dalam arti tinggal menjalankan aturan yang telah tertulis dalam Al-
Quran maupun Hadis tanpa adanya penawaran. Ada juga hukuman yang dapat
diganti selama ada kesepakatan dari pihak-pihak yang bersangkutan, serta ada
pula hukuman yang dapat ditentukan oleh hakim didasarkan pada kondisi dari
oran yang telah melakukan kesalahan, selama tidak melakukan kesalahan
sebagaimana diatur dalam Al-Quran.91
Unsur jinayah terdapat tiga bagian diantaranya sebagai berikut:
1. Unsur materil merupakan perilaku kejahatan, orang tersebut dapat menerima
khitbah atau dapat memahami taklif. Unsur ini dikenal dengan (al-ruknu al-
adabi).
91
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 17-20.
69

2. Unsur formil, adalah nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang


disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan pidana. unsur ini dikenal
dengan (alruknual-syar’i)
3. Unsur moril merupakan adanya perbuatan yang membentuk jinayah, baik
melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang
diharuskan. Unsur ini dikenal dengan (al-ruknu al-madi).
Ketika melaksanakan hukuman, tidak serta merta pelaku tindak pidana dapat
dihukum ditempat ia tertangkap. Hukum pidana Islam juga mempunyai ketentuan
yang menegaskan perlu adanya penghormatan terhadap hak keadilan bagi pelaku
tindak pidana. Ketentuan tersebut tidak lain adalah adanya proses peradilan yang
diselenggarakan di suatu pengadilan atau qadli yang dilakukan dengan keputusan
seorang hakim. Penjelasan ini sekaligus mengindikasikan bahwa proses
penghakiman terhadap pelaku tindak pidana tidak dapat dilakukan sewenang-
wenang. Ada proses yang harus dilaksanakan untuk dapat menentukan hukuman
yang setimpal dengan tindak pidana yang dilakukan seseorang. Dengan adanya
proses yang sesuai dengan ketentuan syarak diharapkan diperoleh hukuman yang
benar-benar adil dan sesuai dengan ketentuan Islam, baik pelaku tindak pidana
(akibat perbuatannya) maupun korban tindak pidana.92
Apabila suatu proses hukum tidak dilakukan denga ketentuan hukum syariat
maka hal itu jelas merupakan tindakan yang melawan hukum dan dapat disebut
sebagai tindak pidana (jarimah). Dalam hukum Islam sebuah tindakan atau
perbuatandapat disebut tindak pidana (jarimah) apabila memenuhi unsur
perbuatan yang dapat dianggap tindak pidana. Unsur-unsur ini ada yang umum
ada juga yang khusus. Unsur umum berlaku untuk semua jarimah sedangkankan
unsur khusus hanya berlaku pada masing-masing jarimah dan berbeda antara
jarimah satu dengan jarimah lainnya. Para ulama membagi jarimah berdasarkan
aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh al-Quran
dan Hadis, atas dasar ini hukum pidana Islam memiliki spesifikasi terhadap
jarimah beserta sanksinya, terdapat tiga macam, yaitu:

92
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka,
2004), 11.
70

1. Jarimah Hudud
Hudud adalah jamak dari had, artinya menurut bahasa ialah menahan
(menghukum). Menurut istilah hudud berarti sanksi bagi orang yang
melanggar hukum syara’ dengan cara didera atau dipukul (dijilid) atau
dilempari dengan batu hingga mati (rajam). Sanksi tersebut dapat pula potong
tangan lalu sebelah atau kedua-duanya atau kaki dan tangan keduanya.
Tergantung pada kesalahana yang dilakukan. Hukuman had ini merupakan
hukuman maksimal bagi suatu pelanggar tertentu bagi setiap hukum.93
Jarimah hudud ini beberapa kasus disebutkan dalam Q.S. Al-maidah Ayat 33 :

َ ُ‫سادًا َأنْ يُقَتَّلُوا َأ ْو ي‬


‫صلَّبُوا‬ َ َ‫ض ف‬ِ ‫س َع ْونَ فِي اَأْل ْر‬
ْ َ‫سولَهُ َوي‬ ُ ‫ِإنَّ َما َجزَا ُء الَّ ِذينَ يُ َحا ِربُونَ هَّللا َ َو َر‬
ٰ
ِ ‫ف َأ ْو يُ ْنفَ ْوا ِمنَ اَأْل ْر‬
ٌ ‫ض ۚ َذلِكَ لَ ُه ْم ِخ ْز‬
ۖ ‫ي فِي ال ُّد ْنيَا‬ ٍ ‫َأ ْو تُقَطَّ َع َأ ْي ِدي ِه ْم َوَأ ْر ُجلُ ُه ْم ِمنْ ِخاَل‬
‫اب َع ِظي ٌم‬ٌ ‫َولَ ُه ْم فِي اآْل ِخ َر ِة َع َذ‬

“sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah


dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di
akhirat mereka beroleh disiksa yang besar.” (Q.S. Al-Maidah (33)

2. Jarimah Qishas
Jarimah qishas adalah pembalasan yang setimpal atas pelanggaran yang
bersifat merusak badan atau menghilangkan jiwa,seperti dalam firman Allah
dalam Surah Al-Baqarah Ayat 178 :
‫اص فِي ا ْلقَ ْتلَى ۖ ا ْل ُح ُّر بِا ْل ُح ِّر َوا ْل َع ْب ُد بِا ْل َع ْب ِد َواُأْل ْنثَ ٰى‬ ُ ‫ص‬ َ ِ‫يَا َأيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكتِ َب َعلَ ْي ُك ُم ا ْلق‬
ٌ‫ان ۗ ٰ َذلِكَ ت َْخفِيف‬ ٍ ‫س‬ َ ‫وف َوَأدَا ٌء ِإلَ ْي ِه بِِإ ْح‬ ِ ‫ع بِا ْل َم ْع ُر‬ ٌ ‫َي ٌء فَاتِّبَا‬ ْ ‫بِاُأْل ْنثَ ٰى ۚ فَ َمنْ ُعفِ َي لَهُ ِمنْ َأ ِخي ِه ش‬
‫اب َألِي ٌم‬ ٰ
ٌ ‫ِمنْ َربِّ ُك ْم َو َر ْح َمةٌ ۗ فَ َم ِن ا ْعتَد َٰى بَ ْع َد َذلِ َك فَلَهُ َع َذ‬

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan


dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang

Ahmad Jazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta:
93

Kencana, 2010), 22.


71

mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)


mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa
yang sangat pedih.” (Q.S. Al-Baqarah Ayat 178).

Bahwa diyat adalah denda yang wajib harus dikeluarkan baik berupa
barang maupun uang oleh seseorang yang terkena hukum diyat sebab
membunuh atau melukai seseorang karena pengampunan, keringanan
hukuman, dan lain-lain.

Pembunuhan yang terjadi bisa dikarenakan pembunuhan dengan tidak


sengaja atau karena kesalahan. Hal ini dijelaskan dalam Firman-Nya.

ٌ‫َو َما َكانَ لِ ُمْؤ ِم ٍن َأنْ يَ ْقتُ َل ُمْؤ ِمنًا ِإاَّل َخطًَأ ۚ َو َمنْ قَتَ َل ُمْؤ ِمنًا َخطًَأ فَت َْح ِري ُر َرقَبَ ٍة ُمْؤ ِمنَ ٍة َو ِديَة‬
‫ص َّدقُوا ۚ فَِإنْ َكانَ ِمنْ قَ ْو ٍم َع ُد ٍّو لَ ُك ْم َوه َُو ُمْؤ ِمنٌ فَت َْح ِري ُر َرقَبَ ٍة‬ َّ َ‫سلَّ َمةٌ ِإلَ ٰى َأ ْهلِ ِه ِإاَّل َأنْ ي‬
َ ‫ُم‬
‫سلَّ َمةٌ ِإلَ ٰى َأ ْهلِ ِه َوت َْح ِري ُر َرقَبَ ٍة‬
َ ‫ق فَ ِديَةٌ ُم‬
ٌ ‫ُمْؤ ِمنَ ٍة ۖ وَِإنْ َكانَ ِمنْ َق ْو ٍم بَ ْينَ ُك ْم َوبَ ْينَ ُه ْم ِميثَا‬
‫ش ْه َر ْي ِن ُمتَتَابِ َع ْي ِن ت َْوبَةً ِمنَ هَّللا ِ ۗ َو َكانَ هَّللا ُ َعلِي ًما َح ِكي ًما‬ ِ َ‫ُمْؤ ِمنَ ٍة ۖ فَ َمنْ لَ ْم يَ ِج ْد ف‬
َ ‫صيَا ُم‬

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh
seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian
(damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. An-Nisa’ Ayat 92).
Bahwa pembunuhan terbagi atas lima bagian, yaitu: pembunuhan
sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tersalah, pelukaan sengaja,
pelukaan semi sengaja.

3. Jarimah Ta’zir
Hukum takzir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak ditetapkan
72

hukumannya di dalam al-Quran dan Hadis yang bentuknya sebagai hukuman


ringan. Menurut hukum Islam, hukum takzir diperuntukkan bagi seseorang
yang melakukan kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk
dihukum had atau tidak memenuhi syarat diat sebagi hukuman ringan untuk
menebus dosa akibat dari perbuatannya.94
Pencurian adalah mengambil barang atau harta milik orang lain oleh
seorang mukallaf yang baligh dan berakal, dari tempat penyimpanan secara
diam-diam serta telah memenuhi nishab dari barang dari barang tersebut dan
tidak ada unsur syubhat di dalamnya. 95 Pencurian dalam syariat Islam ada dua
macam yaitu:
1. Pencurian yang hukumannya had antara lain terbagi menjadi dua bagian
yaitu sebagai berikut:
a. Pencurian ringan, menurut Abdul Qadir Audah pencurian ringan
adalah mengambil harta orang lain dengan cara diam-diam atau
dengan cara sembunyi-sembunyi.
b. Pencurian berat merupakan tindakan mengambil barang orang lain
dengan kekerasan.
2. Pencurian yang hukumannya ta’zir meliputi dua jenis pencurian yang
dikenai hukuman had, tetapi syarat-syarat tidak terpenuhi. Contohnya
seperti mengambil harta milik anak oleh ayahnya, dan mengambil harta
orang lain dengan sepengetahuan tanpa kerelaan dan tanpa kekerasan.96
Apabila tindak pidana pencurian telah dapat dibuktikan maka pencuri
dapat dikenakan dua macam hukuman, yaitu:
1. Pengganti kerugian,menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya
penggati kerugian dapat dikenakan terhadap pencuri apabila ia tidak
dikenai hukuman potong tangan, akan tetapi bila hukuman potong
tangan dilakukan maka pencuri tidak dikenai ganti rugi.

94
Abdullah Mustafa, Dkk. Intisari Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1983), 84.
95
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 67.
96
Abdul Qadir Audah, At-Tasyrik Al-Jinayah Al-Islamy, Juz II, (Bairut: Dar Alkitab Al
Arabi, Tth), 514.
73

2. Hukuman potong tangan merupakan hukuman pokok utuk tindak


pidana pencurian. Hukuman potong tangan merupakan hak Allah yang
tidak bisa digugurkan, kecuali apabila oleh korban (pemilik barang).
Hukuman potong tangan dikenakan tehadap pencurian yang pertama,
dengan cara memotong tangan pencuri dari pergelangan tangannya.
Apabila mencuri kedua kalinya ia dikenai hukuman potong kaki
kirinya. Apabila ia mencuri untuk ketiga kalinya maka dikenai potong
tangan kirinya. Apabila ia masih juga mencuri maka dipotong kaki
kanannya. Namun bila masih mencuri maka ia dikenai hukuman takzir
dan dipenjara seumur hidup (sampai mati) atau sampai ia bertaubat.
Terkait dengan kasus pencurian yang terjadi di daerah Kecamatan Sako
Kota Palembang, maka kasus pencurian tersebut dapat dikategorikan sebagai
pencurian dengan hukuman hudud dan ada pula yang masuk kategori
pencurian dengan hukuman takzir. Maka dengan demikian tidak lantas
membolehkan adanya penghakiman terhadap pelaku pencurian sebelum
adanya proses peradilan.
Tujuan dasar proses hukum syariat Allah tidak lain adalah agar tercipta
suatu putusan yang adil, baik bagi pelaku tindak pidana manapun, bagi
korban atau keluarga tindak pidana. Oleh sebab itu Allah menegaskan
keharusan seseorang pengadil memberikan putusan yang adil sebagaimana
diperintah kepada Daud As.
ِ ُ‫ق َواَل تَتَّبِ ِع ا ْل َه َو ٰى فَي‬
َ‫ضلَّك‬ ِّ ‫س بِا ْل َح‬ِ ‫اح ُك ْم بَيْنَ النَّا‬ ِ ‫يَا دَا ُوو ُد ِإنَّا َج َع ْلنَاكَ َخلِيفَةً فِي اَأْل ْر‬
ْ َ‫ض ف‬
‫ب‬
ِ ‫سا‬ َ ‫سوا يَ ْو َم ا ْل ِح‬ ُ َ‫ش ِدي ٌد بِ َما ن‬
َ ‫اب‬ ٌ ‫سبِي ِل هَّللا ِ لَ ُه ْم َع َذ‬
َ ْ‫ضلُّونَ عَن‬ ِ َ‫يل هَّللا ِ ۚ ِإنَّ الَّ ِذينَ ي‬
ِ ِ ‫سب‬
َ ْ‫عَن‬

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di


muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan
Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.” (Q.S. Sad ayat 26).
Pengertian ayat diatas dapat diketahui bahwa pada dasarnya, dalam ruang
lingkup hukum Pidana Islam proses pelaku tindak pidana harus dilaksanakan dan
didasarkan pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah.
74

Terkait dengan tindakan main hakim sendiri dalam hukum pidana Islam dapat
dilihat dari perbuatan yang terkandung di dalamnya. Perbuatan yang dimaksud
adalah perbuatan penganiayaan kepada pelaku tindak pidana pencurian. Dalam
lingkup hukum Islam, telah ada ketentuan larangan untuk saling membunuh dan
saling melukai.
Main hakim sendiri merupakan perbuatan kerja sama dalam melakukan
jarimah. Kerja sama melakukan jarimah maksudnya pelaku bersama-sama
melakukan jarimah. Dalam bentuk ini tiap pelaku masing-masing memberikan
peran dalam melakukan jarimah. Para ulama Islam mengklasifikasikan kerja sama
melakukan jarimah yaitu sekutu berbuat jarimah secara maksudnya pelaku
bersama-sama dengan orang lain aktif melakukan jarimah. Melakukan jarimah ini
ada dua bagian:
1. Secara kebetulan, tidak ada kesepakatan sebelumnya
2. Secara berencana, maksudnya telah melakukan perencanaan terlebih dahulu
sebelum melakukan jarimah.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa,main hakim sendiri
terhadap pelaku tindak pidana pencurian telah memenuhi syarat tindak pidana.
Terpenuhinya unsur-unsur sebagai tindak pidana main sendiri yang dilakukan
oleh warga Kecamatan Sako Kota Palembang, secara otomatis akan menjadikan
adanya pertanggungjawaban. Menurut Abdul Qadir Audah pertanggungjawaban
dari suatu tindakan perseorangan maupun kelompok orang akan hilang manakala
dilakukan dengan dasar sebagai berikut:97
1. Pembelaan yang sah;
2. Pendidikan dan pengajaran;
3. Pengoatan;
4. Permainan olahraga;
5. Hapusnya jaminan keselamatan;
6. Penggunaan wewenang dan kewajiban bagi pihak yang berwajib.
Implikasi terpenuhinya syarat perbuatan pada main hakim sendiri sebagai
tindak pidana serta terpenuhinya syarat hapusnya pertanggungjawaban adanya
97
Abdul Qadir Audah, At-Tasyrik Al-Jinayah Al-Islamy, Juz I, (Bairut: Dar Alkitab Al-
Arabi, Tth), 472.
75

proses pidana terhapat pelaku main hakim sendiri. Apabila diperhatikan uaraian di
atas terkait tindak pidana main hakim sendiri terhadap pelaku pencurian yang ada
di daerah Kecamatan Sako Kota Palembang, maka sanksi utama yang dapat
diberikan kepada pelaku main hakim sendiri adalah hukuman Qishas dan Diyat.
Pemberian hukuman disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang dilakukan oleh
warga dalam main hakim sendiri terhadap pelaku tindak pidana pencurian. Oleh
karena niat dan akibat yang ditimbulkan dari main hakim sendiri yang
menyangkut badan dan nyawa, maka tindakan tersebut masuk ke dalam kriteria
jarimah Qishas dan diyat.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Tindak pidana main hakim sendiri (eigenrichting) merupakan perbuatan
mengambil hak tanpa memedulikan hukum, dengan kehendaknya sendiri
melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan luka atau cedera pada orang
lain bahkan sampai menyebabkan kematian. Dalam kasus ini tindak pidana
main hakim sendiri (eigenrichting) yang mengakibatkan kematian merupakan
sebuah tindak pidana kejahatan terhadap jiwa, sehingga haruslah ada sanksi
bagi pelakunya. Sanksi bagi pelaku tindak pidana main hakim sendiri
(eigenrichting) menurut hukum pidana positif adalah Pasal 170 ayat (2) butir
ke-3 KUHP yaitu kekerasan terhadap orang atau barang yang mengakibatkan
kematian diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Kemudian
menurut Pasal 351 ayat (3) KUHP yaitu mengenai perbuatan penganiayaan
yang mengakibatkan kematian diancam dengan pidana penjara paling lama 7
tahun.
2. Hukum pidana Islam, tindak pidana main hakim sendiri (eigenrichting)
termasuk ke dalam jarimah qishash dan diyat. Perbuatan tersebut termasuk ke
dalam tindak pidana terhadap jiwa dan tindak pidana atas selain jiwa atau
penganiayaan. Penerapan hukum pada masyarakat yang main hakim sendiri
dalam perspektif hukum islam tercantum di dalam Al-Qur’an Surah Al-
Mai’dah Ayat 45 dan Al-Qur’an Surah An-Nisa Ayat 92.

B. Saran
1. Main hakim sendiri tidak boleh dilakukan oleh masyrakat, dan bila terjadi
tindakan main hakim sendiri sebaiknya di serahkan kepada pihak berwajib.
Sebagaimana yang kita ketahui dan pahami bersama bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum yang mana segala tindakan yang kita lakukan harus
sesuai dengan apa yang sudah diatur oleh negara. Dan kepada aparatur

76
77

penegak hukum agar mensosialisasikan terkait larangan main hakim sendiri


dan juga membuat aturan yang jelas terkait tindakan main hakim sendiri.
2. Bagi tokoh agama dan tokoh masyarakat agar dapat membantu memberikan
pemahaman agama kepada masyarakat tentang larangan main hakim sendiri,
karena tindakan tersebut tergolong kepada perbuatan dosa. Apalagi perbuatan
main hakim sendiri itu dapat menghilangkan nyawa orang lain dan itu tidak di
benarkan dalam agama Islam. Tokoh agama dan masyarakat juga dapat
membantu aparatur penegak hukum untuk meningkatkan rasa percaya
masyarakat terhadap hukum yang sudah dibuat dan berlaku di Indonesia.
78

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an

Buku
Abdul Syahni, Sosiologi Kriminalitas, Bandung:Remaja Karya, 1987.

Abdul Qadir Audah, al-Tasyrῑ’ al-Jina’ῑ al-Islāmῑ, Beirut: Muassasah al-Risalah,


1994.

Abdullah Bin Abdurrahman Ali Bassam, Umdah Al-Ahkam: Syarah Hadits


Pilihan Bukhari Muslim, Terjemahan Kathur Suhardi, Cet. Ke-7 Jakarta:
Darul Falah, 2008.

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah,
Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Abdullah Mustafa, Dkk. Intisari Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
1983.

Abdul Qadir Audah, At-Tasyrik Al-Jinayah Al-Islamy, Juz II, Bairut: Dar Alkitab
Al Arabi, Tth.

Agus Sudaryanto, Fenomena Penghakiman Massa dalam Perspektif Hukum dan


Ekonomi, Yogyakarta:Universitas Gadjah Mada, 2000.

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang,


1990.

Ahmad Jazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam),


Jakarta: Kencana, 2010.

A. Javier Trevino, The Sociology Of Law, New York: Rt. Martins Press, 2004.

Ahmad Wardi Muslich,Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqh


Jinayah), .Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta’rῑfāt, Beirut: Dār al-Kutub al-Arabi, 1999.

Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dār al-Fikri, 1980.

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Pradya Paramita, 1997.

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.


79

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014.

Asadulloh Al-Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2009.

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Fikahati Aneska, 2012.

Al-Fauzan, Ringkasan Fikh Lengkap, Jilid 1&2 Jakarta: PT. Darul Falah, 20013.

Abdul Qadir Audah, At-Tasyir Al-Islami, Muqaranah Bil Qoununil Qad’iy,


Penerjemah Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid III
Bogor: Karisma Ilmu, 2007.

Ali Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta:Sinar
Grafika, 2004.

Elien, Utrecht, Hukum Pidana I: Suatu Pengantar Hukum Pidana untuk Tingkat
Pelajaran Sarjana Muda Hukum, Suatu Pelajaran Umum, Bandung: PT
Penerbit Universitas, 1965.

Efendi Jonaedi Dan Ibrahim Johny, Metode Penelitian Hukum: Normatif Dan
Empiris, Depok: Prenadamedia Group, 2018.

Franciscus Theojunior Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia,


Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Hamzah Andi, KUHP dan KUHAP, Jakarta: PT Rineka Cipta , 2014.

Herdiansyah Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Salemba Humanika,


, 2010.

Imam Sukardu, Pilar Islam Bagi Pluralisme Modern, Solo: PT. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, 2003.

Ismu Gunadi dan Jonaedi Effendi, Cepat Dan Mudah Memahami Hukum Pidana,
Cetakan Ke-1, Jakarta: Kencana, 2014.

Ismu Gunadi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Jakarta: Prenada
Media Group, 2009.

Leden Marpaung, Asas, Teori, dan Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika,
2008.

Lukman Hakim, Budaya Main Hakim Sendiri (Eingenrichting) Terhadap Pelaku


80

Kejahatan Yang Tertangkap, Banyuwangi:Institut Agama Islam Ibrahim,


2007.

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung


Pustaka, 2004.

Mardani, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Kencana, 2019.

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah, Palembang: Rafah Press, 2020.

Marsaid, Masail Fiqhiyah Al-Jinayah, Palembang: Noerfikri, 2020

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2017.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan Jakarta: Rineka Cipta,


2008.

Muslich Ahmad Mawardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, 2004.

Muladi Dan Barda Nawawi Arief Dalam Rahman Syamsuddin Dan Ismail Aris,
Merajut Hukum Di Indonesia, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2014.

M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Didalam Kitab Undang-


Undang Hukum Pidana, Bandung: Remadja Karya CV, 1984.

M.Irfan Nurul, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2016.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cet ke-8, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

Mertokusumo Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty,


2010.

Rahman Syamsudin Dan Ismail Aris, Merajut Hukum Di Indonesia, Jakarta:


Mitra Wacana Media, 2014.

Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,


.Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.

R. Tresna, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Tiara, 1959.

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Dasar


dalam Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1981.
81

Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum (Perkembangan Metode Dan Pilihan


Masyarakat), Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.

Scharavendijk, Van H.J, Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana di Indonesia,


Jakarta: J.B Wolters, 1996.

Siregar Syofian, Metode Penelitian Kuantitatif, Jakarta: Kencana, 2013.

Santoso Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani, 2003.

Soerjono soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,


Depok: Rajawali Pers, 2018.

Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Bahan Penyedia Bahan-Bahan Kuliah


Fakultas Hukum Undip, 1988.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty,


2010.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Cahaya


Atma Pustaka, 2013.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,


2002.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:Liberty,


2006.

S. R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya,


Jakarta:Alumni Aheam-Petehaem, 1996.

Teguh Prasetyo, Hukum pidana, jakarta: PT Raja grafindo persada 2012.

Wabah Zuhaili, Al-Fiqhu As Syafi’i Al-Muyassar, Beirut: Darul Fikr, 2008.

Wahbah Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmῑ wa adillātuhū, Beirut: Dār al-Fikri, 1997.

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Skripsi

Munandar Aris, “ Penegakkan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Main Hakim


Sendiri”

Al-Fahriy Maskyur, “Perbuatan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting) Pada


Masyarakat Kecamatan Parigi Desa Manimbahoi Dusun Patrio
82

Kabupaten Gowa (Perspektif Hukum Islam)”

Chandro Panjaitan, Skripsi (Penyebab terjadinya Tindakan Main Hakim Sendiri


atau Eigenrichting yang Menyebabkan Kematian (Contoh Kasus
Pembakaran Pelaku Pencurian Motor dengan Kekerasan di Pondok Aren
Tanggerang), Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara.

Nur Aisyah Bachri. Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan


Yang Dilakukan Oleh Anak. Skripsi. Makassar:Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, 2014.

Nurcahyaningsih,”Tinjauan Kriminologi terhadap Tindakan Main Hakim Sendiri


(Studi Kasus di Kelurahan Kawatuna Kota Palu)”, Jurnal Ilmu Hukum
Legal Opinion, Edisi 2 , Volume 3, Tahun 2015,

Riva Cahya Limba, Peranan Penyidik terhadap Perbuatan Main Hakim Sendiri
(Eigenrichting) (Studi Pada Polresta Bandar Lampung), Skripsi, Fakultas
Hukum Universitas Lampung ( Bandar Lampung: 2018).

Internet
Jambret di Palembang Tewas Dibakar Massa, Istri yang Hamil Tua Menangis:
Padahal di Rumah Tak Kasar - Tribunsolo.com (tribunnews.com)

http://saifudiendjsh,blogspot.com/2014/02/pengertian-tindak-pidana.html?m-1
Diakses pada 23 januari 2022 pukul 22.40 W
83

83
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Identitas Diri
Nama : Mus Hendra
Tempat/Tanggal Lahir : Makarti Jaya, 13 Mei 1999
NIM : 1720103068
Alamat : Jalur 3 Telang Rt. 031, Rw.000 Desa Sumber Jaya
Kecamatan Sumber Marga Telang Kabupaten
Banyuasin
No HP : 0852-7279-7678
2. Nama Orang Tua
a. Ayah : H. Hasbi
b. Ibu : H. Fitri Yanti
c. Status Dalam Keluarga : Anak Kandung
3. Pekerjaan Orang Tua
a. Ayah : Wiraswasta
b. Ibu : IRT (Ibu Rumah Tangga)
4. Riwayat Pendidikan
1. SD Negeri 19 Muara Telang
2. SMP Negeri 02 Sumber Marga Telang
3. SMA Negeri 01 Makarti Jaya

Palembang, 30 November 2022

Mus Hendra

84

Anda mungkin juga menyukai