Anda di halaman 1dari 88

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang

Demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bukan Negara

kekuasaan (Mashstaat), sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 1 ayat (3), sebagaimana konsep Negara

Hukum (Rechstaat), sehingga seluruh sendi kehidupan dalam bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara harus berdasarkan norma-norma hukum yang berlaku.

Artinya hukum dijadikan sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan berbagai

masalah yang berkenaan dengan perorangan maupun kelompok, baik masyarakat

maupun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua tindakan di dalam

bernegara diatur oleh hukum serta adanya supremasi hukum. Indonesia sebagai

negara hukum yang menjunjung tinggi Hak – Hak Asasi Manusia dan menjamin

semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum dan

pemerintahantanpa adanya pengecualian. Hal itu merupakan kewajiban

pemerintah di dalam negara hukum untuk mengatur perlindungan hak – hak asasi

warga negara tersebut untuk kepentingan bangsa dan Negara Indonesia.

Pada prinsipnya, hukum adalah salah satu usaha pemerintah dalam memberikan

pelayanan kepada warga negara agar terciptanya sebuah ketertiban, keamanan,

kesejahteraan dan memberikan perlindungan hak asasi warga negara, terlihat

dalam Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia yang dinyatakan dalam pasal 3 ayat (2), yaitu “Setiap orang berhak

1
2

atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang sama di depan

hukum”.

Menurut (Sudikno Mertokusumo, 2005: 160), Hukum berfungsi sebagai

perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, maka

hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal,

damai, tetapi dapat pula karena adanya pelanggaran hukum. Dalam hal terjadinya

pelanggaran hukum maka hukum harus ditegakan karena melalui penegakan

hukum inilah hukum menjadi kenyataan. Setiap warga negara wajib mematuhi

dan tidak boleh melanggar hukum yang telah dibuat dan bersifat mengikat setiap

warganegara, namun demikian masih sering ditemukan bentuk-bentuk

penyimpangan dan pelanggaran yang terjadi. Menghadapi hal ini, tentunya negara

harus menyikapi dengan tindakan tegas dalam wujud penegakan hukum itu

sendiri. Atas dasar tersebut, Indonesia sebagai negara hukum memiliki beberapa

macam hukum untuk mengatur setiap tindakan warga negaranya, diantaranya

adalah Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Kedua hukum ini memiliki

hubungan yang sangat erat karena pada hakikatnya Hukum Acara Pidana

termasuk di dalam pengertian Hukum Pidana itu sendiri. Hanya saja Hukum

Acara Pidana atau juga dikenal sebagai Hukum Pidana Formal lebih setuju pada

ketentuan yang mengatur bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan

hak nya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Sedangkan konsep Hukum

Pidana (materil) lebih setuju pada peraturan hukum yang menunjukkan perbuatan

mana yang seharusnya dikenakan pidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan

kepada pelaku tindak pidana tersebut.


3

Tujuan Hukum Acara Pidana adalah “untuk mencari dan mendapatkan

atau setidaknya-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang

selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan

hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah

pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan

selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan

apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang

didakwa itu dapat dipersalahkan. Salah satu proses yang mengawali tindakan

hukum tersebut adalah penyidikan dan dengan dilaksanakannya proses penyidikan

maka sebuah perbuatan atau tindakan itu dapat dikatakan sebagai sebuah tindak

pidana atau tindak kejahatan.

Tindak Pidana adalah perbuatan melanggar hukum yang dapat dimintai

pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan pelakunya,

dimana perbuatannya tersebut melanggar atau melawan hukum ketentuan

Undang-Undang dan peraturan-peraturan lainnya. Sehingga atas perbuatan yang

telah dilakukannya dapat diancam dengan tindak pidana berupa kurungan ataupun

denda sehingga akan membuat efek jera bagi pelakunya, baik individu yang

melakukan dan orang lain yang mengetahuinya. Agar mampu memberikan

gambaran yang luas akan pengertian pidana, berikut ini akan dipaparkan beberapa

pengertian pidana menurut beberapa ahli hukum pidana sebagai berikut:

Menurut (Moeljatno, 1983: 54), mengemukakan bahwa perbuatan pidana

atau delik adalah merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

perbuatan mana yang dilarang itu disertai dengan ancaman yang berupa pidana
4

tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut. Sedangkan menurut (Ruslan

Saleh, 1990 : 120), mengemukakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan

yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum,

dapat pula dikatakan sebagai perbuatan yang anti sosial.

Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga telah

menentukan Polri sebagai penyidik tunggal dalam perkara pidana. Dengan

demikian pejabat penegak hukum yang banyak berperan dalam penyelidikan dan

penyidikan adalah Pejabat Kepolisian Republik Indonesia. Disamping itu kitab

Undang–Undang Hukum Acara Pidana telah menentukan pula Pegawai Negeri

Sipil tertentu seperti misalnya Pegawai Imigrasi, Bea Cukai dan Polisi Khusus

(Polsus) Kehutanan berwenang melakukan pemeriksaan pendahuluan dalam

bidang kewenangan masing – masing.

Polri bertugas untuk menjaga keamanan dan kenyamanan masyarakat.

Polri merupakan Lembaga Negara yang berkaitan dengan penegakan hukum. Di

dalam Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 pasal (5) disebutkan bahwa

Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan

dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,

serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat dalam

rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

“Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik

berwenang melakukan penangkapan”. Hal ini sangatlah tidak wajar mengingat

dalam proses atau tingkatan penyelidikan belum ditemukan tersangkanya, dan

apabila aparat penegak hukum melakukan hal ini berarti tindakan tersebut
5

merupakan suatu tindakan “penculikan” yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum itu sendiri. Atas beberapa kasus pidana yang terjadi dilingkungan Polres

Lombok tengah, seperti contohnya kasus curanmor yang pelakunya ditangkap

oleh masyarakat kemudian diamankan oleh penyidik di Mako Polres Lombok

Tengah. Terkait dengan penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat dan

kemudian ditindaklanjuti proses pengamanan tersangka oleh pihak penyidik

menimbulkan kesan bagi masyarakat bahwa terduga pelaku sudah dianggap

dilakukan penangkapan.

Secara umum diketahui bahwa karakter masyarakat dan karakteristik

lingkungan bagi komunitas masyarakat tertentu juga memiliki peran penting

dalam suatu proses penyelesaian terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh

oknum tertentu, seperti halnya masyarakat kabupaten Lombok tengah masih

banyak yang hidup dibawah garis kemiskinan, terbatasnya lapangan pekerjaan

yang berakibat dirasakan langsung oleh masyarakat, terutama masyarakat di

pedesaan. Karakter atau watak penduduk masyarakat kabupaten Lombok Tengah

adalah cepat marah dan temperamental, terutama masyarakat Lombok Tengah

bagian selatan yang kondisi tanahnya tandus, hal tersebut sangat berdampak pada

timbulnya tindak pidana yang menyangkut harga diri keluarga dengan menyimpan

rasa dendam untuk melampiaskan rasa sakit hatinya terhadap seseorang yang

pernah menyakitinya.

Kurangnya pemahaman hukum di masyarakat Lombok Tengah yang

letaknya terpencil jauh dari jangkauan sehingga sangat mungkin menjadi faktor

terjadinya suatu tindak pidana. Kemungkinan masyarakat akan melakukan main


6

hakim sendiri terhadap kasus-kasus yang timbul ditengah-tengah masyarakat.

Dengan masih kaburnya legislasi mengenai penangkapan inilah

dikhawatirkan akan menimbulkan ruang kesewenang-wenangan yang dilakukan

oleh aparat penegak hukum dalam menangani suatu proses tindak pidana. Karena

di beberapa kasus sering terjadi orang yang tidak bersalah langsung ditindak

secara kasar oleh aparat penegak hukum, padahal belum ada alat bukti yang cukup

seseorang itu bersalah atau tidak.

Sesuai dengan Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia, menjadikan Polri sebagai alat Negara

penegak hukum, penjaga keamanan dan serta sebagai pengayom, pelindung dan

pelayan masyarakat, ketertiban masyarakat. Hal tersebut tentu menjadi tantangan

tugas bagi Polri, karena satu sisi dibutuhkan keahlian manajerial pada aspek

manajemen yang berkaitan erat dengan masalah-masalah pelaksanaan koordinasi

dan disisi lain dituntut penguasaan tentang penyidikan yang ruang geraknya

senantiasa dibatasi oleh ketentuan hukum yang berlaku. Tindakan penyidikan

yang dilakukan oleh Kepolisian ini sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan

Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana itu sendiri, hal ini dikarenakan proses

penyidikan merupakan langkah awal dalam proses penegakan hukum yang

dilakukan oleh aktor-aktor penegakan hukum di Indonesia.

Segala proses yang dilakukan oleh Polri sangat erat hubungannya dengan

Hak Asasi tersangka dan diperlukan aturan hukum yang jelas mengatur

kewenangan penyidik. Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka penulis

ingin mengkaji lebih dalam tentang “proses penanganan kasus tindak pidana oleh
7

penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di Satuan Reserse Polres Lombok

Tengah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimana proses penanganan kasus tindak pidana oleh penyidik Kepolisian

Negara Republik Indonesia di Satuan Reserse Polres Lombok Tengah?

2. Hambatan – hambatan apa saja yang dihadapi oleh pejabat penyidik Polri

dalam melakukan penyidikan dan penangkapan tindak pidana di Polres

Lombok Tengah?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini:

1. Tujuan Umum

a. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya di bidang

penelitian ilmu pengetahuan hukum.

b. Sebagai syarat utama untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.

c. Untuk mengkaji lebih dalam tentang proses penyidik Polri sebagai aparat

penegak hukum dalam melakukan penyidikan dan penangkapan kasus

tindak pidana di Polres Lombok Tengah.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui lebih dalam tentang proses penanganan kasus tindak

pidana oleh penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia kasus tindak

pidana di Sat Reskrim Polres Lombok Tengah.


8

b. Untuk mengetahui hambatan – hambatan yang dihadapi oleh Pejabat

Penyidik Polri dalam melakukan penyidikan dan penangkapan tindak

pidana di Sat Reskrim Polres Lombok Tengah.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu

hukum khususnya mengenai proses penanganan kasus tindak pidana yang

dilakukan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

b. Memberikan masukan ilmu pengetahuan yang mendalam mengenai

hambatan yang dihadapi Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap

masalah – masalah di kalangan Perguruan Tinggi.

2. Secara Praktis

a. Memberikan pengetahuan kepada pihak Kepolisian Negara Republik

Indonesia mengenai proses penanganan kasus pidana yang terjadi.

b. Dapat dijadikan acuan bagi kalangan praktisi maupun masyarakat dalam

menghadapi masalah - masalah tugas-tugas Polri ketika berhadapan

dengan kasus pidana.

c. Memberikan sumbangsih pemikiran khususnya kepada mahasiswa

mengenai kewenangan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

dalam melakukan proses penyelesaian kasus pidana serta hambatan yang

dihadapi.
BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. Penelitian Relevan

Kegunaan penelitian relevan dalam penelitian ini diantaranya untuk

mencari persamaan dan perbedaan antara penelitian orang lain dengan penelitian

penulis. Selain itu juga digunakan untuk membandingkan penelitian yang sudah

ada dengan penelitian yang akan diteliti. Berikut ini penelitian relevan yang

berkaitan dengan penelitian penulis.

Pertama menurut (Mursalim, 2017) dalam Jurnal yang berjudul

“Kewenangan Penyidik Polri dalam Penanganan Tindak Pidana menurut Undang-

Undang Hukum Acara Pidana”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan

menjelaskan kewenangan penyidik Polri dalam penanganan tindak pidana

menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan faktor-

faktor yang menghambat kinerja Polri dalam menangani tindak pidana sesuai

dengan kode kriminal. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (legal

research), yaitu memandang hukum sebagai norma belaka. Menggunakan

pendekatan yuridis normatif berdasarkan pendekatan Undang-Undang dan

peraturan, menggunakan analisis kualitatif, yang merupakan analisis isi objek

penelitian. Hasil dari penelitian yang diperoleh adalah diantaranya penyidik Polri

melakukan penangkapan, penahanan, pemeriksaan tersangka untuk memperoleh

gambaran tentang kasus tindak pidana. Sedangkan Faktor penghambat kinerja

Polri sebagai penegak hukum dalam penyidikan tindak pidana, yaitu diantaranya

a. Kurangnya personil Polri (SDM) dalam penempatan bidang tugasnya masing-

20
11

masing. b. Sarana dan prasarana yang digunakan oleh penegak hukum petugas

(penyidik) kurang memadai c. Lemahnya kesadaran dan budaya hukum yang

dimiliki oleh aparat kepolisian dan masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan

menurut penulis faktor-faktor yang menghambat kinerja Polri dalam menangani

tindak pidana adalah kebijakan pimpinan dalam penempatan fungsi anggota Polri

dan karakteristik wilayah dan masyarakat menjadi faktor utama penghambat

penyidik polri dalam penanganan kasus tindak pidana.

Kedua menurut (Masrizal Afrialdo, dkk. 2016) dalam Jurnal

“Pelaksanaan Penyelidikan dan Penyidikan Perkara Pidana oleh Kepolisian

terhadap Laporan Masyarakat di Sektor Lima Puluh”. Dalam penelitian tersebut

dijelaskan tentang pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan berpedoman pada

ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Tugas dan wewenang

Kepolisian telah diatur didalamnya, salah satu kewenangan kepolisian untuk

melaksanakan kewajibannya adalah menerima laporan atau pengaduan dari

siapapun tentang kejahatan tersebut. Namun nyatanya, banyak orang melaporkan

tentang kejahatan yang tidak di proses dan di abaikan oleh pihak kepolisian

khususnya pihak Kepolisian Lima puluh meskipun jelas bahwa laporan itu adalah

kejahatan, itu membuat masyarakat ragu dan mengkritik kinerja Polsek Lima

Puluh terkesan malas dalam menjalankan tugasnya. Tujuan dari penelitian ini

adalah pertama, untuk menyelidiki pelaksanaan penyidikan dan penyelidikan

masalah kriminal oleh laporan polisi dari Kepolisian Sektor Lima Puluh.Kedua,

untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pelaksanaan ujian dan penyelidikan


12

masalah pidana oleh laporan polisi dari Kepolisian Sektor Lima Puluh.Tiga, untuk

mengetahui upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam melakukan

penyidikan dan investigasi kasus kriminal oleh laporan polisi dari Kepolisian

Sektor Lima Puluh. Jenis penelitian ini tergolong penelitian yuridis sosial, karena

penelitian ini penulis langsung melakukan penelitian terhadap suatu penelitian

agar dapat memberikan gambaran yang lengkap dan jelas dari masalah yang

diperiksa. Penelitian ini dilakukan di Kepolisian Sektor Lima Puluh, sedangkan

populasi sampel adalah seluruh pihak yang berkenaan dengan masalah yang

diteliti dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan, data primer, data

sekunder dan data teknik pengumpulan data tersier dalam penelitian ini dengan

wawancara dan penilaian kepustakaan. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan

bahwa, pertama, pelaksanaan ujian dan investigasi masalah kriminal oleh laporan

polisi dari Kepolisian Sektor Lima Puluh belum dilaksanakan secara optimal dan

banyak bertentangan dengan prosedur terminasi yang ditetapkan dalam

penyidikan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kedua,

kendala dalam pelaksanaan pemeriksaan dan penyidikan masalah pidana dengan

laporan polisi dari Sektor Lima Puluh antara lain; tidak adanya TKP ahli di

Kepolisian Sektor Lima Puluh, petugas kepolisian yang tidak mencukupi dari segi

kuantitas, dan kurangnya dukungan anggaran untuk penanganan kasus pidana.

Ketiga, upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam pelaksanaan

pemeriksaan dan penyidikan perkara pidana berdasarkan laporan polisi; dari polisi

sektor publik Lima puluh yaitu, menyediakan TKP ahli di Sektor Kepolisian Lima

Puluh, menambah anggota penyidik atau merekrut pembantu penyidik dalam


13

penanganan pidana tindak pidana dan menyusun rencana kebutuhan penanganan

tindak pidana.

Ketiga menurut (Luki Arif Wibowo, 2017) dalam skripsi yang berjudul

“Peran Penyidik Polri dalam Penyidikan Tindak Pidana (Studi Kasus Poltrestables

Semarang)”. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bagaimana optimalisasi peran

penyidik Polri dalam melakukan penyidikan suatu tindak pidana dan kendala-

kendala penyidik dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyidik.

Metode penelitian yang digunakan penulis antara lain adalah penelitian

kepustakaan dengan mengumpulkan data berupa dokumen-dokumen yang

dibutuhkan dan penelitian lapangan melalui teknik wawancara langsung untuk

memperoleh data yang dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode

deduktif kemudian disajikan secara deskriptif. Penelitian menunjukan bahwa

optimalisasi peran penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana.

Ketiga penelitian relevan yang telah ditulis di atas, terdapat kesamaan

penelitian yang akan dilaksanakan, yaitu kaitannya dengan kewenangan penyidik

Polri dalam melakukan penyidikan kasus tindak pidana dan berpedoman pada

ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Namun dari ketiga

persamaan penelitian relevan tersebut terdapat perbedaan dalam penelitian ini

adalah menyangkut masalah prosesnya dan hambatan-hambatan yang dihadapi,

khususnya di lingkungan Polres Lombok Tengah.

B. Konsep

1. Proses penanganan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan


14

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak

pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

2. Tindak Pidana adalah perbuatan melanggar hukum yang dapat dimintai

pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan

pelakunya, dimana perbuatannya tersebut melanggar atau melawan hukum

ketentuan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lainnya. Sehingga atas

perbuatan yang telah dilakukannya dapat diancam dengan tindak pidana

berupa kurungan ataupun denda sehingga akan membuat efek jera bagi

pelakunya, baik individu yang melakukan dan orang lain yang

mengetahuinya.

3. Penyidik Menurut Pasal 1 butir (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia

atau pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh

Undang-Undang untuk melakukan penyidikan oleh karena kewajibannnya

tersebut, penyidik mempunyai wewenang berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

4. Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan

dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat masyarakat

dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.


15

C. Landasan Teori

Landasan teori digunakan sebagai landasan berfikir yang bersumber dari

suatu teori yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah dalam suatu penelitian

dan mengidentifikasi teori-teori hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum

serta norma-norma hukum. Teori yang digunakan untuk menganalisis

permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Teori Kebijakan

Teori Kebijakan menurut Anderson sebagaimana dikutip Tahir adalah suatu

tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan seseorang pelaku atau

sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah (2014:12) selanjutnya

Anderson dalam Tahir melakukan pengklasifikasi kebijakan, policy menjadi

dua: substantif dan prosedural. Kebijakan Substantif yaitu apa yang harus

dikerjakan oleh pemerintah, sedangkan kebijakan prosedural yaitu siapa dan

bagaimana kebijakan itu diselenggarakan. Ini berarti kebijakan publik adalah

kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-

pejabat pemerintah.

Kebijakan menurut Nurcholis (2007:263) memberikan definisi kebijakan

sebagai keputusan suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan

tertentu, berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman

perilaku dalam hal:

a. Pengambil keputusan lebih lanjut, yang harus dilakukan baik kelompok

sasaran ataupun (unit) organisasi pelaksanaan kebijakan.


16

b. Penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan

baik dalam hubungan dengan (unit) organisasi pelaksana maupun dengan

kelompok sasaran yang dimaksud.

Kebijakan pemerintah untuk memberikan assessment kepada korban

penyalahgunaan narkotika, merupakan suatu jawaban dari sekian banyak

masalah yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia. Diberlakukannya

kebijakan pemberian assessment bagi korban penyalahgunaan narkotika,

memerlukan pertimbangan yang jelas dan ide pemikiran yang luas agar

penerapannya dapat berjalan dengan baik. Assessment yang dikeluarkan oleh

pemerintah merupakan suatu strategi untuk mengurangi kebutuhan pengguna,

maupun Korban penyalahgunaan narkotika, juga kebijakan pemerintah

mengubah pola hukuman penal menjadi rehabilitasi, baik sosial maupun

medis. Kebijakan assessment yang diambil atau dikeluarkan oleh pemerintah,

merupakan suatu jawaban atas maraknya penggunaan narkotika, termasuk

korban penyalahgunaan narkotika. Pembuat kebijakan perlu melihat serta

menyusun aturan main yang baik, agar kebijakan yang dibuat dapat berjalan

dengan baik dan tepat sasaran, karena itu diperlukan pemikiran dan

pertimbangan agar penerapannya dapat berjalan baik.

2. Teori Penegakan Hukum

a. Teori Penegakan hukum menurut Lawrence Friedman sebagaimana

dikutip oleh Mardjono Reksodiputro adalah: Unsur-unsur sistem hukum

itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal

substance) dan budaya hukum (legal culture), Struktur Hukum meliputi


17

badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga terkait,

seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi Yudisial, Komisi

Pemberantasan Korupsi dan lain-lain. Substansi Hukum adalah mengenai

norma, peraturan maupun undang - undang. Budaya hukum adalah

meliputi pandangan, kebiasaan, maupun perilaku dari masyarakat

mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistem hukum yang

berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari

pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar

atau dilaksanakan. (Mardjono Reksodiputro, 1994: 81).

b. Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah- kaidah

mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,

untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian

pergaulan hidup (Soerjono Soekanto, 1983:35).


18

D. Kerangka Penelitian

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


Nomor 8 Tahun 1981

Peraturan Kepala UU Nomor 2 Tahun Peraturan Kepala


Kepolisian Negara 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia Kepolisian Negara Republik
Nomor 8 Tahun 2009 Republik Indonesia Indonesia Nomor
6 Tahun 2019

Mengetahui kewenangan Penyidik Pores Lombok Tengah


sebagai aparat penegah hukum dalam melakukan dan penangkapan
kasus tindak pidana dan bebrapa kebijakan yang diambil oleh
penyidik Polri dalam penanganan kasus tindak pidana
Hambatan yang dihadapi penyidik Polres Lombok Tengah
dalam melakukan dan penangkapan kasus tindak pidana

Hasil penelitian

Keterangan bagan atau kerangka berpikir:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 198 tentang

pengertian penyidik, penyidikan, penyidik, penyelidik dan penyelidikan.

b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia.
19

c. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009

tentang implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam

penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

d. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019

tentang penyidikan tindak pidana.

e. Mengetahui kewenangan Penyidik Polres Lombok Tengah sebagai aparat

penegak hukum dalam melakukan dan penangkapan kasus tindak pidana dan

mengetahui hambatan yang dihadapi penyidik Polres Lombok Tengah dalam

melakukan dan penangkapan kasus tindak pidana berikut proses penyidikan

kasus tindak pidana oleh penyidik Polres Lombok Tengah.

g. Hasil atau rekomendasi adalah suatu nilai yang berguna untuk kiranya

digunakan untuk jadi pemahaman tentang kewenangan penyidik dan upaya

penangkapan oleh penyidik polri dalam penanganan kasus pidana di Polres

Lombok Tengah.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Menurut (Zainuddin Ali, 2014 : 1) penelitian merupakan terjemahan

dari bahasa Inggris, research, yang berasal dari kata re (kembali) dan to search

(mencari). Pendeknya research diartikan sebagai upaya mencari kembali. Oleh

karena itu penelitian pada dasarnya merupakan “suatu upaya pencarian”, yaitu

suatu upaya pencarian pengetahuan yang tepat atau benar. Penelitian sangat

bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang pada gilirannya

akan sangat berguna bagi kesejahteraan masyarakat dan kemajuan bangsa.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, data yang

diperlukan adalah penelitian yang bertujuan mengkaji ketentuan – ketentuan

hukum positif, dalam hal ini berkaitan dengan pokok permasalahan yang diangkat.

Hukum Empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk

melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di

lingkungan masyarakat.

Penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang

menggunakan fakta-fakta empiris yang diambil dari perilaku manusia, baik

perilaku verbal yang didapat dari wawancara maupun perilaku nyata yang

dilakukan melalui pengamatan langsung. Penelitian empiris juga digunakan untuk

mengamati hasil dari perilaku manusia yang berupa peninggalan fisik maupun

arsip.

20
21

Adapun metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

1) Pendekatan Konseptual berupa penelaahan terhadap norma – norma hukum

dan literatur sesuai pokok permasalahan.

Pendekatan konseptual (conceptual approach) merupakan jenis

pendekatan dalam penelitian hukum yang memberikan sudut pandang analisa

penyelesaian permasalahan dalam penelitian hukum dilihat dari aspek konsep-

konsep hukum yang melatarbelakanginya, atau bahkan dapat dilihat dari nilai-

nilai yang terkandung dalam penormaan sebuah peraturan kaitannya dengan

konsep-konsep yang digunakan.Sebagian besar jenis pendekatan ini dipakai untuk

memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan penormaan dalam suatu

perundang-undangan apakah telah sesuai dengan ruh yang terkandung dalam

konsep-konsep hukum yang mendasarinya. Pendekatan ini beranjak dari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu

hukum. Pendekatan ini menjadi penting sebab pemahaman terhadap

pandangan/doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan

untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang

dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan

pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan

dengan permasalahan.

Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan konseptual (Conceptual

Approach), pendekatan konsep dimaksudkan untuk menganalisis bahan hukum

sehingga dapat diketahui makna yang terkandung pada istilah-istilah hukum. Hal
22

itu dilakukan sebagai usaha untuk memperoleh makna baru yang terkandung

dalam istilah-istilah yang diteliti, atau menguji istilah hukum tersebut dalam teori

dan praktek. Maka jenis penelitian ini disebut dengan penelitian hukum normatif,

penelitian hukum normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan

dengan meneliti bahan pustaka atau data-data primer dan sekunder.

2) Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis adalah pendekatan mengenai hubungan hukum

dengan moral dan logika internal hukum, fokus utama pendekatan sosiologis

adalah menurut Prof. Gerald Turki antara lain focus pada pengaruh hukum

terhadap perilaku sosial, pada kepercayaan yang dianut oleh warga masyarakat

dalam kehidupan sosialnya, pada peran pranata hukum, tentang bagaimana hukum

dibuat, tentang kondisi-kondisi sosial yang menimbulkan hukum (Ali Achmad

dan Heryani Wiwie, 2012:26) karena penelitian ini juga sangat memerlukan

pendekatan sosiologis untuk menjelaskan bagaimana hubungan Undang-Undang

dengan pengaruh Undang-Undang yang ditetapkan. Pendekatan sosiologis yang

berupa meneliti langsung terhadap penerapan/pelaksanaan ketentuan peraturan

yang berlaku yang berkaitan dengan kewenangan Penyidik.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan mengambil lokasi penelitian di

Polres Lombok Tengah yang terletak di Jalan Basuki Rahmat No. 5 Praya

Kabupaten Lombok Tengah.Adapun alasan peneliti memilih lokasi Polres Praya

Lombok Tengah adalah berkaitan dengan peneliti yang pernah melaksanakan PKL
23

(Praktek Kerja Lapangan) dan telah mendapatkan pengalaman dan pengetahuan

tentang metode penyelidikan dalam menangani kasus tindak pidana.

C. Jenis dan Sumber Data

Menurut (Zainuddin Ali, 2014 : 1) penelitian merupakan terjemahan

dari bahasa Inggris, research, yang berasal dari kata re (kembali) dan to search

(mencari). Pendeknya research diartikan sebagai upaya mencari kembali.Oleh

karena itu penelitian pada dasarnya merupakan “suatu upaya pencarian”, yaitu

suatu upaya pencarian pengetahuan yang tepat atau benar. Penelitian sangat

bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang pada gilirannya

akan sangat berguna bagi kesejahteraan masyarakat dan kemajuan bangsa.

Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif empiris, data

yang diperlukan adalah penelitian yang bertujuan mengkaji ketentuan – ketentuan

hukum positif, dalam hal ini berkaitan dengan pokok permasalahan yang diangkat.

Empiris maksudnya adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk

melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di

lingkungan masyarakat, sehingga penelitian hukum empiris adalah suatu metode

penelitian hukum yang menggunakan fakta-fakta empiris yang diambil dari

perilaku manusia, baik perilaku verbal yang didapat dari wawancara maupun

perilaku nyata yang dilakukan melalui pengamatan langsung. Penelitian empiris

juga digunakan untuk mengamati hasil dari perilaku manusia yang berupa

peninggalan fisik maupun arsip.

Sedangkan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari
24

1. Sumber data Primer, yaitu :

bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum

seperti peraturan perundang-undangan, dan putusan hakim. Bahan hukum

primer yang penulis gunakan dalam penulisan ini yaitu data yang diperoleh

langsung dari sumber pertama, yaitu dengan melakukan wawancara

langsung dengan pejabat penyelidik dan penyidik pembantu Polres

Lombok Tengah.

2. Sumber data Sekunder, yaitu :

merupakan data yang diterima dan diperoleh dari literatur, peraturan

perundang – undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang

diangkat, terdiri dari:

a) Bahan hukum primer, berupa buku – buku, jurnal – jurnal dan peraturan

perundang – undangan seperti:

1) Undang – undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3) Juklak dan Juknis Penyidikan.

b) Bahan hukum sekunder yang terdiri dari majalah serta bulletin –

bulletin yang berkaitan dengan pokok penelitian.

c) Bahan hukum tersier, yang terdiri dari bahan penunjang dalam

penelitian ini yang didapat dari kamus hukum.


25

D. Teknik Penentuan Informan

Menurut pendapat Spadraley dalam faisal (1990: 45), informan harus

memiliki beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan yaitu:

1. Subyek masih terikat secara penuh serta aktif pada lingkungan dan

kegiatan yang menjadi sasaran atau penelitian.

2. Subyek yang telah lama dan insentif menyatu dengan sesuatu kegiatan

atau medan aktivitas yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian dan

ini biasanya ditandai oleh kemampuan memberikan informasi di luar

kepala tentang sesuatu yang dinyatakan.

3. Subyek mempunyai cukup banyak waktu dan kesempatan untuk dimintai

informasi.

4. Subjek yang dalam memberikan informasi cenderung diolah atau

dikemas terlebih dahulu dan mereka relative masih lugu dalam

memberikan informasi.

Berdasarkan pada rumusan subyek diatas maka penentuan informan yang

dilakukan dalam penelitian ini menggunakan teknik snowball, yaitu : dengan

mengidentifikasi, memilih dan mengambil sampel dalam suatu jaringan atau

rantai hubungan yang menerus dan dianggap mengetahui tentang pokok

permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:
26

1. Observasi adalah : Aktivitas terhadap suatu proses atau objek dengan

maksud merasakan dan kemudian memahami pengetahuan dari sebuah

fenomena berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang sudah diketahui

sebelumnya,untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan

untuk melanjutkan satu penelitian. Observasi yang digunakan adalah

observasi non partisipan adalah peneliti hanya sebagai pengamat objek

yang akan diteliti sifatnya peneliti adalah sebagai peneliti independen

2. Wawancara adalah: percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu

dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang

mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interview) yang

memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Lexy J. Moleong, 2010: 186).

Ciri utama wawancara adalah kontak langsung dengan tatap muka

antara pencari informasi dan sumber informasi. Dalam wawancara

sudah disiapkan berbagai macam pertanyaan tetapi muncul berbagai

pertanyaan lain saat meneliti. Melalui wawancara inilah peneliti

menggali data, informasi, dan kerangka keterangan dari subyek

penelitian. Teknik wawancara yang dilakukan adalah wawancara bebas

terpimpin, artinya pertanyaan yang dilontarkan tidak terpaku pada

pedoman wawancara dan dapat diperdalam maupun dikembangkan

sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan. Wawancara dengan Pejabat

Penyidik Kepolisian Polres Lombok Tengah dalam hal ini Kepala

Satuan Reserse dan Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Lombok Tengah.

Adapun wawancara ini dilakukan secara tidak berfokus terhadap


27

pertanyaan (bebas), tokoh masyarakat dan masyarakat umum yang

pernah mengalami atau terlibat dalam kasus tindak pidana.

3. Study Kepustakaan (Library Research)

Metode kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan

dengan metode pengumpulan data pustaka, yang bersumber dari buku-

buku, naskah ataupun teks dengan cara membaca ataupun mencatat

serta mengolahnya menjadi bahan penelitian (Haryanto, dkk. 2000 : 3).

4. Dokumentasi

Dokumentasi berasal dari asal kata dokumen, yang artinya barang-

barang tertulis, dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang

bersumber pada benda-benda tertulis seperti buku-buku, gambar-

gambar, jejak digital dan lain sebagainya. Pengumpulan data dengan

teknik dokumentasi adalah suatu cara mendapatkan sejumlah data dari

beberapa dokumen-dokumen seperti buku, majalah, peraturan

perundang-undangan dan sebagainya yang berkaitan dengan pokok

permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini (Sugiyono, 2012 :

240).

F. Teknik Analisa Data

Menurut Al Mansur dan Goni (2016:285) teknik analisis data adalah

proses mengatur data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori, dan

suatu uraian dasar. Teknik analisis data merupakan upaya peneliti menganalisis

data, mengolah data, mengatur data, mengurutkan data secara jelas dan transparan

sehingga nantinya diharapkan hasil yang didapatkan dalam penelitian adalah hasil
28

yang menerangkan kenyataan yang ada dalam pelaksanaan di lapangan secara

obyektif.

Bahan hukum dianalisis dengan menggunakan analisis bersifat

deskriptif kualitatif yang dapat diartikan sebagai “menggambarkan gejala-gejala

di lingkungan masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti. Peneliti melakukan

penelitian dengan tujuan untuk menarik asas-asas hukum yang dapat dilakukan

terhadap hukum positif tertulis maupun hukum positif tidak tertulis. Langkah –

langkah yang ditempuh berdasarkan langkah berpikir secara runtut untuk

memperoleh jawaban – jawaban atas masalah yang dijadikan titik pangkal dalam

penulisan skripsi ini.

G. Pengecekan Keabsahan Data

Agar apa yang dilakukan peneliti dapat dipercaya dan dipertanggung

jawabkan secara ilmiah maka peneliti melakukan proses pengecekan keabsahan

data, maka berikut ini adalah cara-cara mempermudah proses pengecekan

keabsahan data sebagai berikut:

1. Credibility (Kepercayaan)

(Sugiono, 2014 : 368) mengemukakan bahwa uji kredibilitas data atau

kepercayaan terhadap hasil penelitian antara lain dilakukan perpanjangan

pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi

dengan teman.

Pada penelitian ini peneliti memperpanjang pengamatan dengan ikut

serta dalam kegiatan-kegiatan subyek penelitian, perpanjangan tersebut


29

dilakukan peneliti untuk mengetahui secara mendalam tentang situasi

sebenarnya di lapangan dengan cara membaca dan memeriksa dengan cermat

data yang ditemukan secara berulang-ulang. Keabsahan data yang dilakukan

peneliti menggali kebenaran data informasi tertentu melalui berbagai metode

dan sumber perolehan data, baik melalui wawancara, observasi, peneliti juga

bisa menggunakan dokumen tertulis, arsip, dokumen sejarah, catatan resmi

dan gambar atau foto.

2. Transferability (Validasi External)

Transferability ini merupakan validasi external dalam penelitian ini. Nilai

Transferability ini berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan hingga mana

penelitian dapat diterapkan atau digunakan dalam situasi lain. Oleh karena

itu, supaya orang lain dapat memahami hasil penelitian sehingga ada

kemungkinan untuk menerapkan hasil penelitian, maka penelitian dalam

menyampaikan uraian nya harus jelas, rinci dan sistematis. Bila Pembaca

laporan penelitian gambaran yang sedemikian jelasnya “semacam apa” suatu

hasil penelitian diberlakukan (Transferability), maka laporan tersebut

memenuhi standar Transferability (sanafiah faisal dalam sugiyono, 2014

:377).

3. Dependability (Ketergantungan)

Kriteria ini digunakan untuk menjaga kehati-hatian akan kemungkinan

terjadinya kesalahan dalam pengumpulan atau menginterpretasikan data

sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, kesalahan sering

dilakukan oleh manusia itu sendiri terutama penelitian karena keterbatasan


30

pengalaman, waktu, dan pengetahuan. Cara untuk menetapkan bahwa proses

penelitian dapat dipertanggungjawabkan melalui bimbingan yang dilakukan

kepada dosen pembimbing.

4. Confirmability (Objektivitas)

Pengujian confirmability dalam penelitian ini disebut dengan uji

objektivitas. Dalam penelitian ini, jangan sampai prose penelitian tidak ada,

tapi hasilnya ada (Sugiyono, 2014 : 337-338) sehingga untuk memenuhi

syarat objektivitas peneliti akan mewawancarai yang telah ditentukan sampai

data tersebut terkumpul jela


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Polres Lombok Tengah yang beralamat di Jalan

Gajah Mada No.107 Praya Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah dan

membawahi 13 Polsek di 12 Kecamatan yang ada di Kabupaten Lombok Tengah.

Berdasarkan Undang-Undangan Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia BAB III Pasal 13 Tugas pokok Kepolisian Negara

Republik Indonesia adalah:

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

2. Menegakkan hokum.

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

4. Pasal 14 Undang-Undangan Nomor 2 Tahun 2002 Dalam melaksanakan

tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara

Republik Indonesia bertugas.

5. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap

kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.

6. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,

ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.

7. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,

kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap

hukum dan peraturan perundang-undangan.

31
32

8. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.

9. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

10. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap

kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk

pengamanan swakarsa.

11. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana

sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan

lainnya.

12. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas

kepolisian.

13. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan

lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk

memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak

asasi manusia.

14. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum

ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang.

15. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan

kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; sertal. melaksanakan

tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Suatu lembaga tentunya memiliki visi dan misi, begitu pula halnya Polres

Lombok Tengah memiliki visi dan misi :

Visi Polres Lombok Tengah :


33

Terwujudnya pelayanan Kamtibmas yang unggul, terjalinnya kemitraan

Polri dengan masyarakat sebagai sosok Pelindung, Pengayom, Pelayan dan

Sahabat masyarakat yang terpercaya dalam memelihara KAMTIBMAS,

penegakan hukum yang efektif serta sinergi polisional yang proaktif dalam

rangka memantapkan Kamdagri khususnya di wilayah hukum Polres Lombok

Tengah."

Misi Polres Lombok Tengah:

1. Mewujudkan pelayanan kamtibmas prima kepada masyarakat melalui

kegiatan pelayanan administrasi Kepolisian, preemtif, preventif,

represif (penegakan hukum) dengan memanfaatkan kemampuan ilmu

pengetahuan dan teknologi guna mewujudkan keamanan di wilayah

hukum Polres Lombok Tengah yang kondusif.

2. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada

masyarakat secara mudah, cepat, tepat, responsif, transparan, akuntabel

dan tidak diskriminatif dalam rangka terpeliharanya keamanan dan

ketertiban di wilayah hukum Polres Lombok Tengah;

3. Mewujudkan kemitraan dan kerjasama dengan masyarakat dan

meningkatkan sinergi Polisional interdepartemen/lembaga dan unsur

lainnya dalam rangka menciptakan situasi yang kondusif dan

memelihara Kamtibmas.

4. Meningkatkan peran Bhabinkamtibmas dalam

mengimplementasikan strategi Polmas yang berada di desa /kelurahan.


32

5. Mewujudkan penegakan hukum dengan meningkatkan pengungkapan

dan penyelesaian kasus tindak pidana yang transparan, akuntabel,

objektif, tidak diskriminatif, menjunjung tinggi HAM, anti KKN, anti

kekerasan dan terpenuhinya hak tersangka dan saksi pelapor.

6. Melaksanakan deteksi dini dan peringatan dini terhadap semua

aspek kehidupan yang dapat mengganggu kamtibmas melalui kegiatan

penyelidikan, pengamanan dan penggalangan.

7. Menjaga keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lantas arus

orang dan barang.

8. Meningkatkan upaya konsolidasi internal sebagai upaya menyamakan

visi dan misi Polres Lombok Tengah kedepan.

9. Meningkatkan kerja sama dengan instansi lain dalam rangka

memelihara Kamdagri.

10. Meningkatkan kegiatan operasional untuk mencegah dan menekan

segala bentuk gangguan keamanan dan ketertiban terutama yang

berpotensi meresahkan masyarakat.


34

STRUKTUR ORGANISASI SAT RESKRIM POLRES LOMBOK TENGAH

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


PERKAP NO 23 THN 2010
DAERAH NUSA TENGGARA BARAT
TTG STRUKTUR ORGANISASI POLRI
RESOR LOMBOK TENGAH
KAPOLRES

AKBP HERI INDRA CAHYONO, S.H.,S.I.K.,MH

OR WAKA KAPOLRES

GA KOMPOL KETUT
KASAT TAMIANA
RESKRIM

RIDHO RIZKI PRATAMA, S.Tr.K.

NIS KBO RESKRIM KAURMINTU KAUR IDENTIFIKASI

ASI ICHWAN SATRIAWAN, S.H SUKIRMAN, SH DIDIK SUGIARTO, SH

SAT KANIT I KANIT II KANIT III KANIT IV KANIT V

RES
NLUH PUTU TITIN RAHAYU S.,S.Tr.K I PUTU SUHARDIKA PIPIN SETIANINGGRUM

KRI
M
POLRES
35

B. Paparan Data Penelitian

1. Data hasil observasi

Berdasarkan observasi awal, selama kurang lebih 4 bulan penelitian

praktek kerja lapangan di Polres Lombok Tengah, Sat Reskrim Polres Lombok

Tengah dalam penanganan kasus tindak pidana Satuan Reserse Polres Lombok

Tengah berpedoman pada Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6

Tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana dan Peraturan Kepolisian Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang penangan kasus tindak pidana

berdasarkan keadilan Restoratif.

2. Data hasil wawancara

a. Proses penanganan kasus tindak pidana oleh penyidik Kepolisian Negara

Republik Indonesia di Satuan Reserse Polres Lombok Tengah

Menurut keterangan AIPDA SUKIRMAN, selaku PS,Kaur Min Sat

Reskrim di POLRES Lombok Tengah pada tanggal 1 agustus 2021 yang

menjelaskan proses penanganan kasus tindak pidana di Satuan Reserse Polres

Lombok Tengah yaitu :

1. Adanya laporan Pengaduan

a) Menerima laporan/pengaduan baik secara tertulis, lisan maupun

menggunakan media elektronik tentang adanya tindak pidana dan

selanjutnya membuat LP / Laporan Polisi yang di laporkan di SPKT

Polres Lombok Tengah.


36

b) Setelah laporan Polisi dibuat, anggota SPKT mendistribusikan laporan

Polisi Tersebut kepada Penyidik/Penyidik Pembantu yang bertugas di Sat

Reskrim, selanjutnya Penyidik Pembantu melakukan pemeriksaan

terhadap pelapor dalam bentuk berita acara wawancara saksi dan pelapor

Selanjutnya penyidik membuat sprin lidik dan laporan hasil lidik (Tahap

Lidik);

c) Hasil Lidik oleh tim penyelidik, selanjutnya dilakukan gelar perkara

untuk menentukan peristiwa tersebut diduga tindak pidana atau bukan;

d) Apabila hasil gelar perkara tersebut memperoleh hasil laporan Pengaduan

tersebut tidak memenuhi unsur tindak pidana atau tidak cukup bukti

maka Laporan pengaduan tidak bisa ditingkatkan menjadi sidik (Proses

Lidik dihentikan) selanjutnya proses lidik di hentikan dan penyidik

membuat SP2HP A2 (Perkembangan hasil penyidikan belum dapat

ditindaklanjuti ke Penyidikan);

e) Namun Apabila hasil gelar perkara tersebut memperoleh hasil laporan

Pengaduan tersebut memenuhi unsur tindak pidana maka Laporan

pengaduan bisa ditingkatkan menjadi sidik selanjutnya penyidik

membuat sprint Sidik;

f) Dilanjutkan dengan Penyelidikan dilakukan berdasarkan pengaduan dan

berdasarkan surat perintah penyelidikan yang di keluarkan oleh Kapolres

Lombok Tengah;
37

g) Sebelum melakukan penyelidikan, penyelidik membuat rencana

penyelidikan terkait kasus yang ditangani dan dilanjutkan dengan

membuat:

1. surat perintah penyelidikan,

2. jumlah dan identitas Penyidik/penyelidik yang akan melaksanakan

penyelidikan,

3. objek, sasaran dan target hasil penyelidikan,

4. kegiatan dan metode yang akan dilakukan dalam penyelidikan,

5. peralatan dan perlengkapan yang diperlukan dalam pelaksanaan

kegiatan penyelidikan,

6. waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyelidikan,

7. kebutuhan anggaran penyelidikan.

h) Selanjutnya penyidik membuat SPDP dikirimkan kepada penuntut

umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh)

hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan;

i) Pemanggilan dilakukan secara tertulis dengan menerbitkan surat

panggilan atas dasar Laporan Polisi dan Surat Perintah Penyidikan;

j) Setelah melakukan pemeriksaan saksi dan diperoleh hasil terduga

tersangka Penyidik melakukan Penangkapan tersangka atau oleh

penyelidik pembantu atas perintah Penyidik dan selanjutnya melakukan

Penahanan oleh Penyidik terhadap tersangka dengan dilengkapi surat

perintah penahanan;
38

k) Penyitaan dilakukan oleh Penyidik/Penyidik Pembantu terhadap

benda/barang yang berkaitan dengan perkara yang ditangani untuk

kepentingan penyidikan atas dasar surat perintah penyitaan dan surat izin

penyitaan dari ketua pengadilan Negeri Praya;

l) Penetapan tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang

didukung barang bukti dan melalui mekanisme gelar perkara;

m) Selanjutnya pemberkasan dan melakukan tahap 1 kejaksa penuntut

umum apabila ditanyakan P19 (Pengembalian berkas perkara untuk

dilengkapi) maka penyidik kembali melengkapi berkas perkara sesuai

petunjuk jaksa penuntut umum;

n) Setelah penyidik selesai melengkapi berkas berdasarkan dan dinyatakan

P21 oleh jaksa penuntut umum penyidik melaksanakan proses tahap 2

yaitu membuat resume sebagai kesimpulan hasil penyidikan tindak

pidana kemudian penyidik melakukan Penyerahan berkas perkara ke

Penuntut Umum Pengadilan Negeri Praya Selanjutnya penyidik

melaksanakan Penyerahan tersangka dan barang bukti dilakukan setelah

berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum dan proses

penyidikan selesai.

2. Adanya Laporan / pemberitahuan

a) Laporan Polisi yang di laporkan di SPKT Polres Lombok Tengah;

b) Setelah laporan Polisi dibuat, anggota SPKT mendistribusikan laporan

Polisi Tersebut kepada Penyidik/Penyidik Pembantu yang bertugas di

Sat Reskrim, selanjutnya Penyidik Pembantu melakukan pemeriksaan


39

terhadap pelapor dalam bentuk berita acara wawancara saksi dan

pelapor (Sidik);

c) Selanjutnya dilakukan gelar perkara untuk menentukan penerapan

unsur pasal tindak pidana pada Laporan Polisi yang dilaporkan

selanjutnya penyidik membuat seprin Sidik;

d) Dilanjutkan dengan Penyelidikan dilakukan berdasarkan pengaduan

dan berdasarkan surat perintah penyelidikan yang di keluarkan oleh

Kapolres Lombok Tengah;

e) Sebelum melakukan penyelidikan, penyelidik membuat rencana

penyelidikan terkait kasus yang ditangani dan dilanjutkan dengan

membuat:

1. surat perintah penyelidikan,

2. jumlah dan identitas Penyidik/penyelidik yang akan melaksanakan

penyelidikan,

3. objek, sasaran dan target hasil penyelidikan,

4. kegiatan dan metode yang akan dilakukan dalam penyelidikan,

5. peralatan dan perlengkapan yang diperlukan dalam pelaksanaan

kegiatan penyelidikan,

6. waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyelidikan,

7. kebutuhan anggaran penyelidikan.

f) Selanjutnya penyidik membuat SPDP dikirimkan kepada penuntut

umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7

(tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan;


40

g) Pemanggilan dilakukan secara tertulis dengan menerbitkan surat

panggilan atas dasar Laporan Polisi dan Surat Perintah Penyidikan;

h) Setelah melakukan pemeriksaan saksi dan diperoleh hasil terduga

tersangka Penyidik melakukan Penangkapan tersangka atau oleh

penyelidik pembantu atas perintah Penyidik dan selanjutnya

melakukan Penahanan oleh Penyidik terhadap tersangka dengan

dilengkapi surat perintah penahanan;

i) Penyitaan dilakukan oleh Penyidik/Penyidik Pembantu terhadap

benda/barang yang berkaitan dengan perkara yang ditangani untuk

kepentingan penyidikan atas dasar surat perintah penyitaan dan surat

izin penyitaan dari ketua pengadilan Negeri Praya;

j) Penetapan tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang

didukung barang bukti dan melalui mekanisme gelar perkara;

k) Selanjutnya pemberkasan dan melakukan tahap 1 kejaksa penuntut

umum apabila ditanyakan P19 (Pengembalian berkas perkara untuk

dilengkapi) maka penyidik kembali melengkapi berkas perkara sesuai

petunjuk jaksa penuntut umum;

l) Setelah penyidik selesai melengkapi berkas berdasarkan dan

dinyatakan P21 oleh jaksa penuntut umum penyidik melaksanakan

proses tahap 2 yaitu membuat resume sebagai kesimpulan hasil

penyidikan tindak pidana kemudian penyidik melakukan Penyerahan

berkas perkara ke Penuntut Umum Pengadilan Negeri Praya

Selanjutnya penyidik melaksanakan Penyerahan tersangka dan barang


41

bukti dilakukan setelah berkas perkara dinyatakan lengkap oleh

Penuntut Umum dan proses penyidikan selesai.

Berdasarkan paparan yang disampaikan oleh AIPDA SUKIRMAN,

selaku PS,Kaur Min Sat Reskrim di POLRES Lombok Tengah terkait proses

penanganan kasus tindak pidana berdasarkan Adanya laporan / pemberitahuan

Sesuai dengan Pasal 1 angka 24 KUHAP dan Adanya pengaduan sesuai Pasal 1

angka 25 KUHAP mengartikan pengaduan terdapat mekanisme atau tahapan

dimana dalam setiap laporan pengaduan melalui proses lidik dan bisa naik

menjadi sidik apabila laporan pengaduan tersebut memenuhi unsur tindak pidana

berdasarkan hasil gelar perkara yang dilakukan oleh penyidik dan apabila

pengaduan tersebut tidak memenuhi unsur tindak pidana maka pengaduan tersebut

tidak dapat dilanjutkan ke proses sidik (dihentikan). sedangkan proses penanganan

berdasarkan LP Laporan Polisi melalui tahapan sidik dan proses gelar perkara

menentukan penerapan pasal terhadap terduga pelaku tindak pidana

Perbedaannya :

a. Terletak pada jika pengaduan alur penangannya akan dimulai dari

penyelidikan awal hingga perkara tersebut memiliki dua alat bukti yang

cukup sehingga penyidik akan menaikan status penyelidikan ke tahap

penyidikan

b. Namun jika laporan polisi akan langsung ke tahap penyidikan terhadap

perkara dan sudah memiliki dua alat bukti yang cukup .


42

Hambatan – hambatan yang dihadapi oleh pejabat penyidik Polri dalam

melakukan penyidikan dan penangkapan tindak pidana di Polres Lombok Tengah

Untuk mendapatkan data Hambatan – hambatan yang dihadapi oleh pejabat

penyidik Polri di satuan Reserse Polres Lombok Tengah dalam melakukan

penyidikan dan penangkapan tindak pidana maka penulis melakukan wawancara

dengan penyidik Pembantu di satuan Reserse Polres Lombok Tengah, adapun

hasil wawancara dijelaskan sebagai berikut:

Hasil wawancara penulis dengan Penyidik pembantu Sat Reskrim Polres

Lombok Tengah pada tanggal 5 agustus 2021 yang menyatakan:

Menurut keterangan BRIPKA I GEDE WIRAWAN, selaku penyidik

Pembantu di POLRES Lombok Tengah menjelaskan hambatan-hambatan dalam

melakukan penangkapan yaitu:

1. Hambatan dalam melakukan penyidikan

a. Karena terbatasnya personil Polri di Polres Lombok Tengah dan

intensitas kegiatan masyarakat yang membutuhkan kehadiran pihak

Kepolisian sehingga Penyidik pembantu anggota Sat Reskrim juga

dilibatkan dalam kegiatan pengamanan hearing, demonstrasi, kegiatan

masyarakat maupun pengamanan kunjungan pejabat Negara sehingga

sangat berpengaruh pada proses penyidikan yang dilakukan oleh

penyidik pembantu Sat Reskrim Polres Lombok Tengah


43

b. Dalam proses penyidikan , penyidik dalam hal menetapkan seseorang

sebagai tersangka minimal harus memiliki dua alat bukti yang cukup

sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 KUHAP yang terdiri dari :

1. Keterangan Saksi

2. Keterangan Ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan Tersangka

Dalam hal ini sering penyidik mengalami hambatan sebagai berikut

Bahwa keterangan saksi sangat dibutuhkan dalam persidangan dan

penyidik dalam aplikasi dilapangan sangat sulit mencari saksi mahkota (

orang yang mengetahui ) seperti:

1. Saksi yang mengetahui peristiwa pidana tidak berada di tempat

sehingga ketika penyidik susah untuk meminta keterangan dan

memerlukan waktu yang cukup lama

2. Saksi yang mengetahui kejadian peristiwa pidana takut

memberikan keterangan karena ancaman dari pihak pihak lain

sehingga dalam proses penyidikan menjadi terhambat

3. Saksi yang mengetahui peristiwa sudah meninggal dunia

Alat bukti surat :

1. Surat surat yang dijadikan bukti sudah dimusnahkan oleh terduga

pelaku
44

2. Surat yang saat tindak pidana yang dijadikan alat bukti sudah

kadaluarsa

Alat bukti petunjuk :

Alat bukti petunjuk seperti TKP yang sudah di rusak oleh orang yang

tidak dikenal sehingga TKP sudah tidak dalam status quo sehingga

penyidik sangat kesulitan mencari bukti bukti dalam TKP

Alat bukti keterangan tersangka :

Bahwa dalam acara pidana keterangan tersangka/terdakwa sangat sulit

mencari pengakuan tersangka karena tersangka memiliki hak untuk

membela diri sehingga penyidik dalam hal ini mengalami hambatan

ketika alat bukti lainnya tidak dapat dipenuhi.

Berdasarkan paparan dari BRIPKA I GEDE WIRAWAN, selaku

penyidik Pembantu di POLRES Lombok Tengah hambatan yang dialami dalam

penanganan kasus tindak pidana Bahwa penyidik disamping melaksanakan tugas

penyidikan juga melaksanakan tugas tugas lain yang diperintahkan oleh pimpinan

sehingga timeline penyidikan perkara menjadi terhambat ( memerlukan waktu

kembali dari jadwal yang sudah ditentukan ) dan faktor lain diantaranya

keberadaan saksi yang berada di luar wilayah Kabupaten Lombok Tengah

sehingga dalam melengkapi berkas perkara menjadi terhambat disamping itu pula

dalam memperoleh bukti awal di TKP penyidik kesulitan untuk mencari alat bukti

dikarenakan sudah tidak dalam status quo akibat dimasuki dan dirusak oleh orang

yang tidak berkompeten dalam olah TKP.


45

Menurut keterangan Bripka I Komang Tri , selaku penyidik Pembantu

POLRES Lombok Tengah pada tanggal 2 November 2021 menjelaskan

hambatan-hambatan dalam melakukan penangkapan yaitu :

1. Hambatan Penangkapan

a. Mengenai Surat Perintah Penangkapan , Dalam KUHAP mengenai waktu

penangkapan diatur selama 1 x 24 jam, sedangkan apabila penyelidik

melakukan penangkapan yang jaraknya jauh maka waktu penangkapan

tersebut kurang efisien untuk dapat segera melakukan penangkapan,

maka sesuai dengan juklak mengenai proses penyidik tindak pidana yaitu

dengan menerbitkan 2 (dua) Surat Perintah Penangkapan dan Surat

Perintah Membawa.

b. Pelaku tindak pidana

Pada saat melakukan penangkapan pelaku tindak pidana seringkali

menghambat proses penangkapan dimana pelaku bersembunyi dan

terkadang melarikan diri yang mengakibatkan petugas mengejar pelaku

tetapi hal yang sering mengecewakan petugas adalah masyarakat

khususnya di daerah pedesaan masih sangat rendah pengetahuan tentang

hukum seseorang yang melakukan kejahatan atau tindak pidana

ditangkap oleh penyidik masih melakukan perlawanan yang dapat

membahayakan aparat penegak hukum.

c. Sarana dan prasarana

Mengenai transportasi sarana dan prasarana tidak mendukung

terpenuhi waktu yang dimiliki untuk diadakan penangkapan dalam waktu


46

1 x 24 jam terhadap penangkapan jarak jauh, Hal tersebut juga diungkap

oleh Bapak AIPDA Sukiman, SH. Selaku penyidik Polres LOTENG,

yang menyatakan bahwa sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang

sangat penting di dalam penegakan hukum, tanpa adanya sarana dan

fasilitas tersebut tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan

peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual, adapun kendala

yang sering dialami adalah berupa sarana yang rusak, salah diperbaiki,

dibetulkan dan untuk transportasi yang macet dilancarkan bahkan sarana

transportasi sering menggunakan kendaraan pribadi.

d. Mengenai biaya operasional untuk mengadakan penangkapan

Biaya untuk melakukan penangkapan (biaya operasional) sebesar

Rp.2.500.000,- (Dua Juta Lima Ratus Rupiah) yang biaya tersebut

merupakan biaya yang dijadikan satu dengan biaya melakukan

penangkapan dan apabila seorang penyelidik akan mengadakan

penangkapan dalam jarak yang jauh biaya tersebut belum cukup dan

efektif untuk dapat melakukan penangkapan dan menyelesaikan satu

perkara yang akan dilimpahkan ke pengadilan.

e. Budaya masyarakat Lombok Tengah

Dalam pandangan adat bahwa individu adalah bagian dari

masyarakat yang mempunyai fungsi masing-masing demi untuk

melangsungkan dan kelangsungan dari pada masyarakat, bagi masyarakat

adat penertiban itu ada di dalam semesta, di dalam kosmos. Misalnya

kebiasaan masyarakat yang apabila penyelidik akan melakukan


47

penangkapan. Kebanyakan masyarakat tidak mendukung proses

penangkapan tersebut, justru masyarakat meneriakkan petugas dengan

sebutan maling sehingga masyarakat terprovokasi untuk melawan

petugas yang akan melakukan penangkapan terhadap tersangka pelaku

tindak pidana.

f. Profesionalisme aparat penegak hukum

Belum semua aparat penegak hukum mempunyai keahlian untuk

mengadakan penangkapan mengenai hambatan penegak hukum ini

bahwa propesionalisme penegak hukum yang kurang diakibatkan oleh

sebagian besar masyarakat menerima penegak hukum sebagai bagian dari

struktur sisial masyarakat. Walaupun belum ada pengetahuan dan

kesadaran yang sungguh-sungguh dari masyarakat.

Berdasarkan paparan dari Bripka I Komang Tri, selaku penyidik POLRES

Lombok Tengah dapat dikatakan bahwa hambatan-hambatan dalam melakukan

penangkapan adalah apabila penangkapan yang dilakukan terhadap tersangka

yang lokasinya jauh yang tidak mungkin dapat ditempuh dalam waktu 1 x 24 jam

maka diterbitkan 2 (dua) surat perintah yaitu surat perintah penangkapan dan surat

perintah membawa, meskipun kendala waktu dapat diatasi dengan surat perintah

penangkapan, surat perintah membawa dan karakteristik masyarakat khususnya di

daerah pedesaan masih sangat rendah pengetahuan tentang hukum seseorang yang

melakukan kejahatan atau tindak pidana ditangkap oleh penyidik masih

melakukan perlawanan yang dapat membahayakan aparat penegak hukum

disamping itu kurangnya sarana prasarana pendukung dalam melakukan


48

penangkapan masih kurang sehingga penyidik dalam melakukan penangkapan

masih menggunakan kendaraan pribadi.

3. Data dokumentasi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan metode dokumen yaitu

mengkaji Proses penanganan Kasus Tindak Pidana dan hambatan yang dialami

penyidik Sat Reskrim Polres Lombok Tengah dalam penanganan kasus tindak

pidana diperoleh data bahwa Satuan Reserse Polres Lombok Tengah berpedoman

pada:

1. Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang

penyidikan tindak pidana dan Peraturan Kepolisian Republik Indonesia.

2. Nomor 8 Tahun 2021 tentang penangan kasus tindak pidana berdasarkan

keadilan Restoratif.

B. Pembahasan

1. Proses penanganan Kasus Tindak Pidana

Sesuai dengan berbagai teori hukum yang mendefinisikan bahwa hukum

pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan

apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan

hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.

Hukum selalu sarat dengan nilai-nilai tertentu, apabila berbicara tentang

nilai-nilai maka telah masuk pula kegiatan menilai dan memilih. Keadaan tersebut

memberikan arah-arah tertentu terhadap jalannya hukum di suatu negara.

Selain itu hukum acara pidana adalah merupakan suatu rangkaian yang

peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang


49

berkuasa (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan/Hakim) harus bertindak guna

mencapai tujuan Negara dengan menegakkan hukum pidana. Maka dapat

diketahuinya telah terjadi suatu tindak pidana dapat berupa:

a. Adanya laporan / pemberitahuan

Sesuai dengan Pasal 1 angka 24 KUHAP, yang dimaksud dengan

laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak,

atau kewajibannya berdasarkan undang–undang kepada pejabat yang

berwenang tentang telah trerjadinya peristiwa pidana.

b. Adanya pengaduan

Pasal 1 angka 25 KUHAP mengartikan pengaduan adalah

pemberitahuan resmi disertai permintaan oleh pihak berwenang untuk

menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana

aduan yang merugikan. Tindak pidana aduan baru dapat dilakukan

penyidikan/penuntutan apabila telah adanya pengaduan disertai dengan

permintaan dari orang yang terkena/ korban atau yang dipermalukan

karena terjadinya suatu tindak pidana.

Di dalam melaksanakan fungsi (penyidikan) Sat Reskrim Polres

Lombok Tengah dalam pelaksanaan tugasnya memperhatikan azas–azas

yang terdapat dalam hukum acara pidana yang menyangkut hak–hak

tersangka antara lain:

a. Asas praduga tak bersalah, setiap orang yang disangka, ditangkap,

ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan


50

dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang

menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Persamaan dimuka hukum, perlakuan yang sama atas diri setiap orang

dimuka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan.

c. Hak untuk memperoleh pemberian bantuan/penasehat hukum, setiap

orang yang tersangkut tindak pidana wajib diberi kesempatan

memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk

melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya, sejak saat dilakukan

penangkapan dan atau penahanan.

d. Pemeriksaan yang harus dilakukan dengan cepat sederhana dan biaya

ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara

konsekuen dalam seluruh tingkat pengadilan.

e. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya

dilakukan berdasarkan surat perintah tertulis oleh pejabat yang diberi

wewenang oleh Undang–Undang dan hanya dalam hal dan dengan cara

yang diatur dengan undang–undang.

f. Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili

tanpa alasan yang berdasarkan undang–undang dan atau karna

kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib

diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para

pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya

menyebabkan azas tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau

dikenakan hukuman administrasi.


51

2. Sat reskrim Polres Lombok Tengah dalam penanganan Kasus Tindak Pidana

berpedoman pada:

1. Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang

penyidikan tindak pidana dan Peraturan Kepolisian Republik Indonesia.

2. Nomor 8 Tahun 2021 tentang penangan kasus tindak pidana berdasarkan

keadilan Restoratif.

Dalam proses penanganan kasus tindak pidana di Satuan Reserse Polres

Lombok Tengah ada mekanisme dan tahapan yang dilakukan oleh penyidik

pembantu Sat Reskrim Polres Lombok tengah diantara melakukan lidik,sidik

berdasarkan Laporan Polisi dan Pengaduan, Membuat Seprin sidik, Membuat

SPDP ( Surat Pemberitahuan Penyidikan ) yang diserahkan kepada Jaksa Penuntut

Umum, membuat sprin Kap, membuat surat Perintah Penahanan,Pemberkasan,

Tahap satu ( penyerahan berkas perkara ) ke jaksa Penuntut umum dan Tahap dua

penyerahan tersangka dan barang bukti kepada jaksa penuntut umum.

Dalam dalam proses penangan kasus tindak pidana Kewenangan

Melakukan Penangkapan sesuai pasal 1 angka 20 KUHAP pengertian tentang

penangkapan yaitu suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu

kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan

penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang

diatur dalam undang–undang ini. Dari pengertian tersebut diatas, yang berwenang

melakukan penangkapan hanyalah penyidik, sedangkan apabila Jaksa Penuntut

Umum atau Hakim dapat meminta kepada penyidik (wajib dipenuhi) untuk

dilakukan penangkapan
52

Alasan sehingga kewenangan penangkapan itu hanya ada pada penyidik

antara lain:

a) Untuk perlindungan dan penjamin hak asasi manusia, perlu dilakukannya

penangkapan oleh bererapa instansi khusunya penegak hukum, untuk

menangkap seorang yang telah dilakukan pada suatu perbuatan yang sama

b) Dalam rangka pengawasan terhadap tugas dan wewenang dari masing–

masing instansi penegak hukum, sehingga pertanggungjawaban penangkapan

hanya ada pada penyidik dan akan lebih memudahkan pengawasan dalam hal

penyalahgunaan wewenang

c) Untuk lebih menjamin adanya kepastian, kebenaran dan rasa keadilan bagi

pencari keadilan

d) Adapun cara–cara pelaksanaan sebagai berikut:

1. Penyidik/penyidik pembantu yang melakukan penangkapan memberikan 1

(satu) lembar surat perintah penangkapan kepada tersangka.

2. Penyelidik yang akan melakukan penangkapan atas perintah penyidik

pembantu, terlebih dahulu menunjukkan surat perintah tugas, kemudian

memberikan 1 (satu) lembar surat perintah penangkapan kepada tersangka.

3. Satu lembar surat perintah penangkapan diberikan kepada keluarganya

orang yang ditangkap segera setelah dilakukannya penangkapan.

4. Setiap kali dilakukan penangkapan harus dibuat berita acara penangkapan

yang harus ditandatangani oleh penyidik/penyidik pembantu/penyelidik

yang melakukan penangkapan sebanyak 7 (tujuh) lembar.


53

5. Sesudah atau sebelum dilakukan penangkapan, sebaiknya memberitahukan

kepada Kepala Desa/Lingkungan dimana tersangka yang ditangkap itu

bertempat tinggal/berdiam.

6. Penangkapan yang dilakukan diluar wilayah hukum suatu kesatuan agar

memberitahu/menghubungi atau dilaksanakan bersama–sama dengan

penyidik/penyidik pembantu yang ditunjuk oleh kepala kesatuan daerah

hukum dimana penangkapan akan dilakukan.

7. Dalam melakukan penangkapan terhadap orang yang berada didalam

rumah atau tempat tertutup lain.

8. Diusahakan/ditunggu agar tersangka keluar dari dalam rumah dan

penangkapan diluar rumah, Dalam hal tersangka tidak mau keluar rumah,

maka apabila waktu, keadaan dan pertimbangan teknis memungkinkan

terlebih dahulu mengusahakan diperolehnya izin dari ketua pengadilan

negeri sekurang–kurangnya dengan lisan (dapat melalui telepon).

9. Dalam hal usaha/untuk mendapatkan izin tidak memungkinkan, sedangkan

tersangka tidak akan mau keluar dari dalam rumah dan dikhawatirkan

bahwa tersangka akan melarikan diri, maka alasan pertimbangan yang

layak berdasarkan keadaan memaksa, penyelidik, penyidik pembantu

dapat melakukan tindakan lain yaitu memasuki rumah/tempat tertutup

dengan cara-cara sebagai berikut:

a) Dalam memasuki rumah/tempat tertutup supaya lebih berhati–hati dan

kesiapan tinggi memperhatikan taktik dan tehnik pengepungan dan

penggerbekan rumah.
54

b) Setelah memasuki rumah/tempat tertutup tersebut supaya diusahakan

langkah- langkah sebagai berikut:

1) Diusahakan supaya tersangka keluar menemui penyidik atau

penyidik pembantu (petugas) yang memasuki rumah tempat

tertutup tersebut.

2) Dijelaskan kepada tersangka apa sebab akan dilakukan

penangkapan atas dirinya. Untuk itu supaya diperingatkan kepada

tersangka supaya mengikuti perintah petugas agar menyerahkan

diri guna dibawa kekantor polisi.

3) Dalam hal tersangka tetap tidak mau keluar/tetap bersembunyi,

maka petugas/kepa team supaya memberikan peringatan dengan

kata–kata yang dapat didengar oleh tersangka sebagai berikut “Atas

nama undang–undang, saya perintahkan kepada saudara supaya

menyerahkan diri”.

4) Bila perintah pertama tersebut tidak dipatuhi/diindahkan, maka

supaya diulang dengan perintah kedua, apabila juga tetap tidak

mengindahkan supaya diulang dengan perintah yang ketiga.

5) Apabila perintah ketiga juga tidak diindahkan maka petugas dengan

paksa melakukan penangkapan atas tersangka karena telah

melawan perintah petugas yang melaksanakan tugas jabatan yang

sah (Pasal 216 KUHP).

10. Dalam hal usaha untuk memasuki rumah, tersangka/ penghuni tidak mau

membukakan pintu dan ada tanda–tanda akan adanya perlawanan maka:


55

a) Kepala team yang akan melakukan penangkapan mengatur posisi

petugas-petugas untuk mengadakan pengamanan dan pengawasan

agar tersangka tidak meloloskan diri, antara lain dengan

menutup/menjaga semua jalan keluar.

b) Kepala team memberikan peringatan dengan kata–kata yang dapat

didengar oleh tersangka, memerintahkan agar tersangka menyerahkan

diri.

c) Apabila tersangka tidak memenuhi perintah, maka:

1) Kepala team memerintahkan sekali lagi kepada tersangka agar

keluar dan menyerahkan diri.

2) Dalam hal perintah tersebut tidak diindahkan juga kepala team

memberikan peringatan terakhir.

3) Apabila peringatan tetap tidak diindahkan petugas berusaha untuk

memasuki rumah dengan kekerasan dengan melakukan

penangkapan.

11. Petugas agar lebih berhati–hati dan dengan kesiagaan yang tinggi,

melakukan tindakan memasuki rumah dengan memperhatikan teknik dan

pengepungan penggerebekan rumah:

1) Dengan isyarat dari kepala team memerintahkan petugas (minimal

2 orang) yang telah ditunjuk mendobrak pintu. Setelah pintu

terbuka, pendobrak segera mengambil posisi ditempat yang

terlindung di sisi pintu bagian luar sambil menunggu reaksi.


56

2) Jika orang yang akan ditangkap menampakkan diri dan keluar

dengan sikap menyerah segera dilakukan penangkapan dan

langsung dilakukan penggeledahan pakaian dan badannya

kemudian diborgol.

3) Apabila tetap tidak ada reaksi (tanda-tanda) untuk menyerah,

lemparkan suatu benda kedalam untuk memancing reaksi.

4) Apabila tidak ada reaksi, atas isyarat dari kepala team kedua

petugas mendobrak memasuki rumah dengan dengan cara dan

posisi sedemikian rupa serta sikap menembak agar dapat

menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi sehingga

penangkapan berhasil.

5) Petugas dalam hal terpaksa melakukan penembakan sesuai dengan

kepentingan hukum yang dibela karena ada perlawanan bersenjata,

maka penembakan diarahkan pada bagian tubuh yang tidak

mematikan.

12. Penangkapan di tempat ramai dan terbuka dilakukan dengan cara sebagai

berikut:

(1) Berusaha membuntuti orang yang akan ditangkap dan setelah

sampai ditempat yang sepi baru dilakukan penangkapan.

(2) Apabila cara tersebut tidak mungkin dilakukan, maka penangkapan

harus dilakukan secara cepat dengan menyergapnya tanpa

membahayakan dan menimbulkan kepanikan khalayak ramai.


57

(3) Setelah ditangkap segera diborgol sesuai dengan petunjuk

membawa tahanan.

13. Dalam hal penangkapan terpaksa dilakukan ditempat gelap (malam hari),

maka dilakukan dengan cara sebagai berikut:

(1) Terlebih dahulu melemparkan suatu benda untuk memancing reaksi

dari orang yang akan ditangkap.

(2) Jika petugas menggunakan lampu senter jangan dipegang tepat di

depan badan atau sejauh mungkin dari badan.

14. Apabila orang yang akan ditangkap dalam keadaan sakit keras, maka atas

hasil pengamatan petugas bila perlu dengan nasehat dokter, petugas

mengambil langkah–langkah sebagai berikut:

1) Melaporkan tentang keadaan orang yang akan ditangkap kepada

penyidik/penyidik pembantu yang mengeluarkan surat perintah

penangkapan.

2) Petugas menyampaikan perintah penyidik/penyidik pembantu yang

mengeluarkan surat perintah penangkapan kepada orang yang akan

ditangkap/keluarganya, yang dapat berupa:

(a) Tetap tinggal di rumah, atau

(b) Apabila sedang dirawat dirumah sakit, tetap tinggal

dirumah sakit, dengan pengawasan petugas Polri dan

jaminan tidak melarikan diri dari keluarganya


58

15. Apabila orang yang akan ditangkap memungkiri idrentitas seperti yang

tercantum dalam surat perintah penangkapan, maka tindakan petugas

adalah sebagai berikut:

1) Minta kepada orang yang bersangkutan agar menunjukkan tanda

pengenal yang dimilikinya. Apabila identitas yang tercantum

didalam surat tanda pengenal tidak sama dengan yang ada pada

surat perintah penangkapan, maka perlu dilakukan penelitian

kembali.

2) Untuk mendapatkan kepastian tentang orang yang bersangkutan,

perlu diusahakan mendapat keterangan dari penduduk sekitarnya

terutama kepala Desa/Ketua lingkungan setempat.

3) Apabila orang yang akan ditangkap ternyata memberikan

keterangan yang tidak benar akan identitasnya agar segera

dilakukan penangkapan.

16. Dalam hal penangkapan harus dilakukan terhadap orang yang

berdiam/bertempat tinggal di daerah terpencil yang tidak dapat dicapai

dalam waktu satu hari, maka tindakan yang dapat ditempuh adalah sebagai

berikut:

1) Diterbitkan 2 (dua) macam surat perintah, yaitu surat perintah

penangkapan dan surat perintah membawa.

2) Penyidik/penyidik pembantu memerintahkan penyelidik untuk

untuk membawa dan menghadapkan kepadanya orang yang akan


59

ditangkap, hal mana dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 5

ayat (1) huruf d angka 4 KUHAP.

3) Untuk kepentingan ini maka kepada penyelidik diberikan surat

perintah tugas, dan membawa surat perintah penangkapan.

4) Orang yang akan ditangkap, diambil/dijemput oleh penyelidik

ditempat tinggal/tempat kediaman atau di tempat ia berada adalah

dengan surat perintah membawa.

5) Sesampainya orang yang akan ditangkap di tempat kedudukan

penyidik/penyidik pembantu, maka dikenakan surat perintah

penangkapan untuk kemudian dilakukan pemeriksaan terhadapnya

guna menentukan status orang yang ditangkap itu lebih lanjut.

6) Tindakan lain adalah, penyidik/penyidik pembantu dating sendiri

ketempat orang yang akan ditangkap untuk melakukan

penangkapan dan sekaligus memeriksa tersangka tersebut ditempat.

17. Dalam melakukan penangkapan, diusahakan agar tersangka tidak

meloloskan diri, melakukan perbuatan yang tidak diinginkan seperti bunuh

diri atau perbuatan yang membahayakan keselamatan petugas sendiri.

18. Apabila tersangka yang ditangkap berkebangsaan asing, maka sesuai jalur

pelaporan, hal tersebut diberitahukan kepada Departemen Luar Negeri R.I.

guna diteruskan kepada perwakilan Negara tersangka dimaksud.

19. Dalam hal penangkapan terhadap tersangka/ terdakwa dilakukan untuk

memenuhi permintaan dari kejaksaan atau hakim, maka tersangka/


60

terdakwa berikut berita acara penangkapan diserahkan kepada yang

meminta bantuan dengan berita acara penyerahan tersangka.

Penangkapan tanpa surat perintah:

1) Setiap orang yang menemukan tindak pidana dalam keadaan tertangkap

tangan, berhak menangkap tersangka, untuk kemudian segera melaporkan/

menyerahkan yang ditangkap itu beserta barang bukti yang ada kesatuan

Polri terdekat.

2) Apabila anggota Polri menemukan suatu tindak pidana dalam keadaan

tertangkap tangan, maka tindakan yang perlu diambil antara lain adalah

sebagai berikut:

a) Menangkap pelaku dan menyita barang bukti

b) Melarang orang-orang yang dianggap perlu, tidak meninggalkan

tempat sebelum pemeriksaan ditempat kejadian selesai.

a. Melaporkan/menyerahkan tersangka beserta atau tanpa barang bukti

kepada Kesatuan Polri yang terdekat disertai berita acara tentang

tindakan yang telah dilakukan

Menurut penulis dalam proses penanganan kasus tindak pidana

dalam hal penangkapan yang dilakukan oleh penyidik POLRES

Lombok Tengah sudah sesuai dengan KUHAP dan sudah sesuai

dengan SOP Polri, yang mana dalam pelaksanaan penangkapannya

juga mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku dalam

budaya adat masyarakat setempat, terbukti sampai dengan penelitian

ini dilakukan tidak ada pihak-pihak terkait yang keberatan dengan


61

melakukan Pra Peradilan dalam peroses penangkapan yang dilakukan

oleh penyidik POLRES Lombok Tengah.

Dalam proses penanganan kasus tindak pidana kewenangan penyidik polri

untuk melakukan penahanan:

Pasal 21 ayat (1) KUHAP menetapkan bahwa penahanan atau penahanan

lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka/terdakwa yang diduga keras

telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal ini

merupakan syarat objektif.

Syarat subjektif, yaitu adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau

terdakwa, yang berupa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan

barang bukti dan akan mengulangi perbuatan tindak pidana.

Dalam Pasal 21 ayat (1) tersebut telah menggunakan istilah “Bukti

yang cukup” tidak lagi “Bukti permulaan yang cukup” sebagai dalam syarat

dilakukannya penangkapan. Hal ini karena sedang ada kegiatan proses

pemeriksaan sehingga bukti permulaan yang diperoleh sudah dapat

dianalisa/diteliti guna dapat dipertanggung jawabkan sebagai alat bukti dan

atau barang bukti hingga ke proses pemeriksaan di siding pengadilan.

Bukti yang cukup sebagaimana yang dimaksud terdiri dari:

a) Laporan Polisi

b) Berita acara pemeriksaan TKP

c) Laporan hasil penyelidikan

d) Keterangan saksi/saksi ahli

e) Barang bukti
62

f) Keterangan tersangka

Disini terlihat bahwa antara bukti permulaan (yang diperoleh dalam

rangkaian penyelidikan dan sebagai dasar untuk melakukan penangkapan)

dengan bukti yang cukup bahwa bukti yang cukup hanya ditambah dengan

keterangan tersangka, sehingga dengan bukti:

a) 1 lembar untuk pejabat rutan (dengan surat pengantar dan ekspidisi

bersamaan dengan penyerahan tersangka),

b) 1 lembar untuk Penuntut Umum (dengan surat pengantar dan ekspidisi

atau sebagai lampiran surat pemberitahuan tentang dimulainya

penyidikan),

c) 1 lembar untuk Ketua Pengadilan Negeri setempat (dengan surat

pengantar dan ekspidisi),

d) 4 lembar untuk berkas perkara,

e) 1 lembar untuk arsip.

1. Diadakan pemeriksaan terhadap kesehatan tersangka (bila ada, oleh dokter

polisi).

2. Dilakukan penggeledahan badan dan pakaian tersangka dan semua barang

yang tidak diperkenankan bahwa masuk kedalam ruangan tahanan (antara

lain benda tajam, selendang, tali, ikat pinggang, obat-obat berbahaya,

barang perhiasan dan uang).

3. Sebelum ada Rutan, barang milik tersangka disimpan oleh dan menjadi

tanggung jawab penyidik/penyidik pembantu yang memeriksa perkara


63

yang bersangkutan, dengan mencatatnya di dalam buku register barang

titipan tahanan, dan kepada tersangka diberikan tanda bukti penitipan.

4. Penggeledahan badan dan pakaian tersangka wanita yang akan ditahan,

sedapat mungkin dilakukan oleh Polwan atau dibantu karyawan sipil

wanita polri atau anggota bhayangkari dihadapan penyidik/penyidik

pembantu.

5. Tersangka difoto dan diambil sidik jarinya untuk kepentingan filing dan

recording.

6. Setelah ada rutan, dengan surat pengantar yang dilampiri surat perintah

penahanan tersangka, tersangka berikut barang titipan diarahkan kepada

pejabat rutan/cabang rutan yang berwenang, dengan ekspidisi.

7. Pejabat yang berwenang menerima, diminta menadatangani penyerahan

dimaksud pada ekspidisi, dengan menyebutkan nama terang, pangkat,

tanggal dan pemberian dan dibubuhi cap jabatan/dinas.

8. Tindakan tersebut Pada (8) dan (9) dituangkan/dibuat berita acara

penyerahan tersangka, yang harus ditandatangani petugas Polri yang

menyerahkan dan oleh pejabat rutan yang menerima dengan 2 orang saksi

dari pihak rutan.

9. Dalam hal ada rutan/cabang rutan, maka tersangka ditempatkan di dalam

ruang tahanan kantor kepolisian setempat:

a) Penahanan Rumah

1) Dilakukan tindakan tersebut pada (a.1) dan (2) dengan catatan

bahwa surat perintah penahanan rumah diterbitkan hanya dalam


64

rangkap 9 (Sembilan) untuk pejabat rutan/cabang rutan tidak

dibuat.

2) Penahan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal/kediaman

tersangka dengan mengadakan pengawasan atau menempatkan

penjagaan untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat

menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan penyidikan, dengan

cara-cara sebagai berikut : Mengadakan penjagaan tetap atau pada

waktu-waktu tertentu dan atau dilakukan Patroli (checking)

rutin/berubah-ubah, dan atau diperiksa dengan telpon (apabila

dirumah tersangka ada telpon), dan atau meminta bantuan/

mengikut sertakan warga lingkungan RT/RW/RK dalam rangka

siskamling, dengan pengarahan dan koordinasi kesatuan Polri

terdekat.

b) Penahanan Kota

1) Dilakukan tindakan sebagai tersebut (b. 1).

2) Penahan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal/kediaman

tersangka/terdakwa dengan kewajiban bagi tersangka/ terdakwa

melapor diri pada waktu-waktu yang ditentukan.

Dalam hal tersangka yang ditahan sakit, dan menurut pengamatan

penyidik/penyidik pembantu yang bersangkutan serta menurut pendapat

dokter, tersangka tersebut perlu dirawat dirumah sakit, maka penahan

dapat dilaksanakan dirumah sakit dengan pengawasan kesatuan


65

penyidik/penyidi pembantu tersebut atau meminta bantuan dari kesatuan

polri terdekat dengan rumah sakit tersebut.

Pasal 24 sampai dengan 28 KUHAP mengatur tentang jangka

waktu penahan oleh penyidik/penyidik pembantu, penuntut umum dan

hakim dengan ketentuan:

a) Pasal 24 KUHAP

Penyidik berwenang menahan = 20 hari

Dapat diperpanjang oleh penuntut umum = 40 hari +

Jumlah = 60 hari

Dalam jangka 60 hari tersebut berkas sudah diserahkan oleh

penyidik/penyidik pembantu kepada penuntut umum apabila tidak maka

tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

b) Pasal 25 KUHAP

Penuntut umum berwenang menahan = 20 hari

Dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan = 30 hari +

Jumlah = 50 hari

Dalam jangka waktu 50 hari tersebut berkas perkara sudah harus

dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan negeri yang

berwenang, jika tidak maka tersangka harus dikeluarkan tahan demi

hukum

c) Pasal 26 KUHP

Hakim pengadilan negeri berwenang menahan = 30 hari


66

Dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri = 60 hari +

Jumlah = 90 hari

Dalam waktu 90 hari tersebut walaupun perkara belum diputus,

maka terdakwa sudah harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

d) Pasal 27 KUHAP

Hakim pengadilan tinggi berwenang menahan

Untuk pemeriksa selama = 30 hari

Dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi = 60 hari +

Jumlah = 90 hari

Dalam waktu 90 hari walaupun perkara belum putus, maka

terdakwa sudah harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

e) Hakim Agung guna pemeriksaan kasasi berwenang

Menahan = 50 hari

Dapat diperpanjang oleh ketua M.A. = 60 hari +

Jumlah = 110 hari

Dalam waktu 110 hari walaupun perkara belum diputuskan maka

terdakwa sudah harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

f) Dengan demikian maka jangka waktu, penangkapan dan penahanan

lanjutan sejak mulai proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan

peradilan hingga pemeriksaan kasasi (angka a s/d c) jumlah keseluruhan

adalah 400 hari.

Hal tersebut bisa terjadi apabila pejabat pada semua tingkatan

(penyidik, penuntut umum, hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan


67

tinggi dan hakim mahkamah agung) menggunakan kewenangannya

dengan alasan pemeriksaan belum selesai, sedangkan apabila pada

masing–masing tingkatan pemeriksaan tiap-tiap pejabat yang

berwenang beranggapan bahwa pemeriksaan dianggap telah selesai

maka tidak menutup kemungkinan tersangka/terdakwa dikeluarkan dari

penahanan sebelum berakhirnya jangka waktu penahan dan atau

penahanan lanjutan (Pasal 24 (3), Pasal 25(3), Pasal 26(3), Pasal 27(3)

dan Pasal 28(3) KUHP).

Pasal 29 KUHP mengatur tentang perpanjangan penahanan istimewa

bagi tersangka/ terdakwa, yang merupakan pengecualian bagi

penahanan dan penahanan lanjutan sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 24 s/d 28 KUHAP, perpanjangan penahanan istimewa terhadap

tersangka/terdakwa dengan alasan yang patut dan tidak dapat dihindari

karena:

a. Tersangka/terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang

berat, dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter.

b. Perkara yang sedang diperiksa, tersangka/terdakwanya diancam

dengan pidana penjara 9 tahun atau lebih.

Perpanjangan penahanan istimewa berdasarkan alasan tersebut

di atas dapat dimintakan dengan mengajukan permintaan disertai

laporan pemeriksaan pada tiap-tiap tingkatan:


68

a) Tingkatan penyidik diberikan oleh ketua Pengadilan Negeri setempat

selama = 30 hari dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri

selama 30 hari.

b) Tingkat penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri setempat

selama = 30 hari dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri

setempat selama = 30 hari.

c) Tingkat pemeriksaan di Pengadilan Negeri diberikan oleh Ketua

Pengadilan Negeri setempat selama = 30 hari dapat diperpanjang

oleh ketua pengadilan tinggi selama = 30 hari.

d) Tingkat pemeriksaan banding diberikan oleh Hakim Mahkamah

Agung selama = 30 hari dapat diperpanjang oleh Hakim Mahkamah

Agung selama 3o hari.

e) Tingkat pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah agung

selama = 30 hari.

Dari masing–masing tingkatan pemeriksaan/penyidikan,

penuntutan, pemeriksaan peradilan hingga ke tingkat pemeriksaan

kasasi oleh mahkamah agung (angka b angka 1 s/d 5 di atas) jumlah

keseluruhan adalah 300 hari penggunaan kewenangan tersebut diatas,

dilakukan secara bertahap dan dengan penuh rasa tanggungjawab.

Perpanjangan istimewa tersebut sesuai dengan kewenangan pada

masing-masing tingkat, tidak menutup kemungkinan tersangka atau

terdakwa dikeluarkan dari tahanan karena beranggapan bahwa

pemeriksaan belum selesai tetapi jangka waktu perpanjangan


69

penahanan istimewa pada masing–masing tingkat kewenangan telah

habis maka tersangka atau terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan

demi hukum (Pasal 29 ayat (b) KUHP).

Dari uraian tersebut angka 7 huruf f dan angka 8 huruf c, maka

jumlah keseluruhan penahanan tersangka atau terdakwa sebagaimana

diatur dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 KUHAP mengenai

penahanan lanjutan serta Pasal 29 KUHAP mengenai perpanjangan

penahanan istimewa, adalah 700 hari.

Hal ini merupakan salah satu perbedaan prinsip antara KUHAP dan

HIR/RIB, dimana dalam KUHAP batas waktu penahanan pada masing–

masing tingkat kewenangan sangat ketat dibatasi, sedangkan dalam HIR

/ RIB batas waktu penahanan tidak ada, karena setiap saat diperpanjang

oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 30 hari tanpa ada batas berapa

kali perpanjangan tersebut dapat dilakukan.

Pasal 31 ayat (1) menentukan bahwa alas permintaan tersangka

atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan

wewenangnya masing–masing dapat mengadakan penangguhan

penahanan dengan atau tanpa barang jaminan uang atau jaminan orang.

Dengan demikian unsur dari penangguhan penahanan adalah:

1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa.

2) Wewenang penangguhan penahan oleh penyidik, penuntut umum

atau hakim sesuai kewenangan masing–masing.

3) Tanpa atau dengan jaminan atau orang.


70

4) Berdasarkan syarat–syarat

a) Wajib lapor

b) Tidak keluar rumah

c) Tidak keluar kota

Penangguhan penahanan dengan jaminan uang sesuai dengan Pasal

35 (1) PP No. 27/1983 besarnya ditentukan oleh masing – masing

pejabat yang memberi penangguhan penahanan sesuai kewenangan

masing–masing. Uang jaminan disimpan/diserahkan ke Panitera

Pengadilan Negeri dengan syarat:

a. Apabila tersangka/terdakwa tidak melarikan diri maka setelah

perkaranya selesai maka uang jaminan tersebut dikembalikan

kepadanya (tersangka/terdakwa)

b. Apabila tersangka/ terdakwa melarikan diri dan telah lewat 3 (tiga)

bulan tidak ditentukan/ tertangkap, maka uang jaminan itu menjadi

milik Negara yang disertakan ke kas Negara.

c. Apabila sebelum lewat 3 (tiga) bulan maka tersangka atau terdakwa

kembali/ ditentukan, maka uang jaminan tersebut tidak dapat

diminta kembali/ ditentukan, maka uang jaminan tersebut tidak

dapat diminta kembali/ ditentukan.

d. Penyertaan uang jaminan ke kas Negara apabila, tersangka/

terdakwa melarikan diri diperlukan penetapan hukum.

Penangguhan penahanan dengan jaminan orang sebaiknya yang

menjamin adalah keluarga dekat dari tersangka/ terdakwa seperti orang


71

tua, anak isteri/suami demi menghindar Pasal 221 KUHP (tuntutan

penjara selama 9 (sembilan) bulan). Pasal 36 PP No.27/1983

mengisyaratkan bahwa :

a. Apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah lewat 3

(tiga) bulan tidak dapat ditangkap kembali penjamin wajib

membayar sejumlah uang dan jumlahnya ditentukan oleh pejabat

yang berwenang sesuai kewenangan masing-masing.

b. Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang

ditentukan, maka dapat menyita benda-benda miliknya untuk

dilelang dan hasilnya diserahkan ke kas Negara.

Masa waktu penangguhan penahanan tidak termasuk ke dalam

masa status tahanan, karenanya tidak dipotong dalam hukuman yang

dijalankan kemudian. Pasal 31 ayat (2) menjelaskan bahwa

penangguhan penahanan dicabut/dibatalkan apabila tersangka atau

terdakwa melanggar syarat-syarat yang tetap ditentukan.

Menurut penulis dalam proses penanganan kasus tindak pidana ,

penahanan yang dilakukan oleh penyidik POLRES Lombok Tengah

sudah sesuai dengan KUHAP dan sudah sesuai dengan SOP Polri dan

Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang

penyidikan tindak pidana dan Peraturan Kepolisian Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2021 yang mana dalam pelaksanaan penahanannya

juga sudah sesuai dengan syarat dan/atau tata cara penahanan, tujuan

penahanan dan lamanya waktu penahanan dengan mengedepankan


72

prinsip keadilan sosial (banyak orang), terbukti sampai dengan

penelitian ini dilakukan tidak ada pihak-pihak terkait yang keberatan

dengan melakukan Pra Peradilan dalam peroses penahanan yang

dilakukan oleh penyidik POLRES Lombok Tengah

2. Hambatan – hambatan yang dihadapi oleh Pejabat Penyidik Polri dalam

melakukan penyidikan dan penangkapan tindak pidana di Sat Reskrim

Polres Lombok Tengah

Berdasarkan hasil observasi dan mengaitkannya dengan kerangka

berfikir untuk mencari dan memecahkan masalah tentang Hambatan –

hambatan yang dihadapi oleh Pejabat Penyidik Polri dalam melakukan

penyidikan dan penangkapan tindak pidana di Sat Reskrim Polres Lombok

Tengah

1. Undang-undang, yaitu peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat

oleh penguasa pusat dan daerah yang sah. Mengenai berlakunya Undang-

undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar

undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif Artinya supaya

undang-undang tersebut mencapai tujuannya.

2. Penegakan hukum, yaitu dibatasi pada kalangan yang berkecimpung dalam

bidang penegakan hukum yang tidak mencakup law enforcement, akan

tetapi juga peace maintenance, maka dalam hal ini penegak hukum

menempati titik yang sentral.

3. Sarana dan fasilitas, tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu maka tidak

mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar, sarana dan


73

fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang

berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang

memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.

4. Masyarakat, penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan

untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat, oleh karena itu dipandang

dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan

hukum tersebut

5. Kemampuan /sumber daya manusia penyidik masih belum maksimal

sehingga penyidik masih ragu ( bingung) penerapan unsur unsur pasal

yang akan dipersangkakan kepada tersangka

6. Budaya masyarakat Lombok Tengah Dalam pandangan adat bahwa

individu adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai fungsi masing-

masing demi untuk melangsungkan dan kelangsungan dari pada

masyarakat, bagi masyarakat adat penertiban itu ada di dalam semesta, di

dalam kosmos. Misalnya kebiasaan masyarakat yang apabila penyidik

akan melakukan penangkapan. Kebanyakan masyarakat tidak mendukung

proses penangkapan tersebut, justru masyarakat meneriakkan petugas

dengan sebutan maling sehingga masyarakat terprovokasi untuk melawan

petugas yang akan melakukan penangkapan terhadap tersangka pelaku

tindak pidana

7. Belum bersinerginya antara penyidik dengan JPU sehingga petunjuk yang

diberikan oleh JPU tidak bisa dipenuhi oleh penyidik yang berakibat

penyelesaian perkara menjadi terhambat


74

Pada prinsipnya setiap perumusan ketentuan tindak pidana dan sanksi

pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP harus tetap berada dalam

sistem hukum pidana materil yang berlaku saat ini, terutama keseluruhan sistem

aturan umum yang tercantum dalam buku 1 KUHP. Tujuannya adalah agar

tercipta harmonisasi dan kesatuan sistem pemidanaan substantif


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Dalam proses penanganan kasus tindak pidana kewenangan pejabat

penyidik Polri dalam melakukan penangkapan dan penahanan adalah:

Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dan didasarkan karena adanya

kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa, yang berupa: akan

melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan akan

mengulang lagi perbuatan pidana. Syarat-syarat penangkapan dalam

proses penyidikan sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua

(AIPDA) polisi penyidik AKP dan penyidik pembantu BRIPDA/ PPNS

membawa surat perintah penahanan dimana pejabat yang berwenang

menandatangani surat perintah penahanan adalah kepala kesatuan atau

pejabat yang ditunjuknya selaku penyidik/penyidik pembantu.

2. Hambatan-hambatan dalam melakukan penangkapan yaitu apabila

penangkapan yang dilakukan terhadap tersangka yang lokasinya jauh

yang tidak mungkin dapat ditempuh dalam waktu 1 x 24 jam maka

diterbitkan 2 (dua) surat perintah yaitu surat perintah penangkapan dan

surat perintah membawa, meskipun kendala waktu dapat diatasi dengan

75
surat perintah penangkapan dan surat perintah membawa, sedangkan

mengenai hambatan

76
76

3. penahanannya adalah ruang tahanan yang tidak memenuhi kapasitas (ever

load/ over capacity), apabila tersangka dalam keadaan sakit tidak dapat

langsung dilakukan pemeriksaan oleh dokter, kecuali oleh dokter polisi.

Sarana dan prasarana di ruang tahanan khususnya mengenai penyediaan

air sangat minim.

B. Saran

1. Guna melancarkan proses penyidikan dalam hal pelaksanaan penangkapan

dan penahanan terhadap tersangka/terdakwa maka diharapkan selain

dengan mengeluarkan 2 (dua) surat perintah terhadap tersangka yang akan

diadakan penangkapan juga diharapkan kepada masyarakat dapat ikut

berprestasi mendukung tindakan penegak hukum, memberikan informasi

dalam tugas penegakan hukum tersebut.

2. Untuk mengatasi kendala-kendala yang berkaitan dengan suara dan

prasarana, biaya dan profesionalisme aparat penegakan hukum itu sendiri,

diharapkan kepada pemerintah untuk dapat memperhatikannya demi

kelancaran tugas sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan dan

Perundang-Undangan yang berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

3. Setiap penyidik melakukan analisa yang mendalam terkait perkara yang

dialami sehinga sebagaimana diamanatkan dalam pasal 184 KUHAP

dalam menetapkan seseorang tersangka harus memiliki dua alat bukti yang

cukup.
77

4. Melakukan pelatihan dan BimTek kepada penyidik sehingga sumber daya

manusia penyidik dapat mumpuni dan profesional. Menyarankan kepada

pimpinan terkait sarana pendukung penyidikan semaksimal mungkin

sehingga penyidik tidak kesulitan dalam menangani perkara.

5. Selalu berkoordinasi dengan JPU / para Ahli hukum sehingga terbentuk

sinergitas ( koordinasi ) sehingga proses penyidikan berjalan lancar.


DATA NARASUMBER

1. Nama : Aipda Sukirman, S.H

Alamat : Desa Sukrare, Kec Jongat, Kab Lombok Tengah

Jabatan : P.S KAUR MINTU

2. Nama : Bripka komang Tri Widiana, S.H

Alamat : Pagutan Mataram

Jabatan : Anggota PIDUM

3. Nama : I Gede Wirawan

Alamat : Asrama Polres Lombok Tenggah

Jabatan : Anggota PIDUM


DATA

Wawancara Bripka komang Tri Widiana, S.H DOKU

MENT

ASI

Anda mungkin juga menyukai