Oleh:
Disampaikan
Dalam Pelatihan Pembuktian Terkait Saksi Dalam Proses Persidangan
Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Dan Bank Rakyat Indonesia
Angkatan II
Oleh
Yahman2[2]
I. Pendahuluan
Pemeriksaan memegang peran penting dalam kegiatan penyidikan/interogasi untuk
mencari kebenaran meteriil, sebagai suatiu kewajiban penyidik yang ditentukan dalam undang-
undang. Pemeriksaan adalah merupakan salah satu tenik mencari dan menedapatkan keterangan
terhadap saksi maupun tersangka dalam rangka penyidikan tindak pidana dengan cara
mengajukan pertanyaan baik lisan maupun tertulis kepada tersangka, atau saksi, guna
mendapatkan keterangan, petunjuk-petunjuk dan alat bukti lainnya dan kebenran keterlibatan
tersangka dalam rangka pembuatan berita acara pemeriksaan.3[3] Upaya penyidikan ini mengacu
pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana) Lembaran Negara Tahun 1981 No. 3209 yang diundangkan pada tanggal 31
dalam sistem peradilan pidana, dengan perubahan fundamental ini mengakibatkan pula
kecakapan dan kemahiran dari seluruh aparatur penegak hukum dan dilakukan secara berlanjut.
Penyidik sebagai gari terdepan dalam pelaksanaan penegakkan hukum senantiasa diperlukan
dalam memperhitungkan akan terjadinya persoalan-persoalan yang tidak dapat dihindari, ketika
berlakunya hukum acara sebelum KUHAP ini berlaku. KUHAP merupakan hukum nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bersifat unifikasi dan kodifikasi yang
bertujuan untuk kepentingan nasional, ini adalah merupakan realisasi Eropa kontinental seperti
Jerman, Perancis dan Belanda atau negara-negara lain seperti Jepang, yang membedaknnya
hanya keadaan dalam menetapkan bentuk juridisnya dengan teknik perundang-undangan, dan
tidak mengenai isinya, khususnya yang berkaitan dengan asas-asas Hukum Acara Pidana.
Kita ketahui bahwa sebelum KUHAP ini lahir dalam proses penyelidikan maupun
penyidikan masih menggunakan HIR, perlakuan terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku
tindak pidana dalam mencari bukti dilakukan dengan cara-cara kekerasan, bahkan penyiksaan
seseorang mengalami kriminalisasi.4[4] Hal ini dilakukan karena semata-mata untuk mengejar
dipertanggungjawabkan atas kebenarannya. Tindakan ini dapat mengakibatkan cacat pisik dan
mental terhadap pelaku tindak pidana, terjadi penyalahgunaan wewenang bahkan terjadi
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39
4[4]Suatu Istilah dari perseteruan antara Cicak dan Buaya dalam kasus Bibit
Candra dan Susno Duadji yang menjadi perhatian Publik, Politisi, maupun para Pakar
Hukum serta tidak henti-hentinya menjadi komentar atau pendapat, dalam media
cetak maupun media elektronik.
Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Tahun
Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut haj asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh oleh undang-undang ini, dan tidak
mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan
melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran ini tidak terjadi manakali
aparat penegak hukum memiliki pengetahuan tentang hukum, terampil dalam melakukan tugas
secara profesional dan proporsional sesuai kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.
Aparat penegak hukum harus memahami norma-norma yang berlaku pada masing-
masing bidang hukum, karena masing-masing bidang hukum mempunyai makna penormaan
yang berbeda. Apabila aparat penegak hukum khususnya Kepolisian tidak memahami domain
masing-masing bidang hukum, maka akan diperalat dan dimanfaatkan oleh pencari keadilan
dengan jalan pintas untuk segera mendapatkan prestasi dengan melaporkan ke pihak Kepolisian.
Sesuai tugas dan wewenangnya dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan
Sebagai pelayan masyarakat Polri tidak boleh menolak laporan atau pengaduan yang
keperdataan maupun permasalahan lainnya. Masyarakat tidak mengerti dan memahami hukum,
sehingga setiap permasalahan yang terjadi dilaporkan. Apakah masalah yang dihadapi masuk
dalam lingkup hukum perdata atau hukum pidana, ia tetap melaporkan ke Kepolisian dengan
Hal ini aparat penegak hukum diharapkan dapat memahamai persoalan-persolan yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat, dalam kehidupan masyarakat tentu terdapat norma-norma
yang berlaku berupa norma larangan (dwingend recht) seringkali dilanggar, pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor lingkungan,
dan kemajuan kejahatan saat ini dipengaruhi pula oleh perkembangan masyarakatnya. Dalam
hubungan ini, I.S. Susanto menulis, wajah kejahatan dipengaruhi oleh bentuk dan karakter
masyarakatnya, artinya masyarakat industri akan memiliki wajah kejahatan yang berbeda dengan
masyarakat agraris6[6]. Dengan kemajuan teknologi dewasa ini pola kehidupan masyarakat akan
terpengaruh dan berkembang secara pesat, sehingga dampak yang muncul sangat mempengarui
terhadap kondisi dan tatanan kehidupan masyarakat, secara perlahan tanpa disadari atau tidak,
dalam melakukan kejahatan semakin modern dengan meninggalkan pola-pola tradisional, pola-
pola tradisional saat ini sudah tidak digunakan karena sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan situasi masyarakat dewasa ini, bahkan dalam kegiatan berinteraksi maupun
Polri sesuai tugas dan kewenangannya sebagai pelayan masyarakat dan aparat penegak
hukum, senantiasa bertindak secara profesional dan proporsional, dan mampu memahami
terhadap peraturan perundang-undangan yang ada serta dalam melakukan proses penyelidikan
maupun penyidikan terhadap suatu kasus yang diterimanya. Dalam melakukan tugas
penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus yang ditangani ternyata tidak ditemukan unsur-
unsur pidananya, maka pihak Kepolisian khususnya penyidik dapat untuk menghentikan perkara,
dengan mengeluarkan surat ketetapan berupa Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), hal
tersebut di atur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa: Dalam hal penyidik
menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata
bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik
II. Pembahasan
1. Pemeriksaan
a. Arti Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan
keidentikan tersangka, saksi ahli dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak
pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di
dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan di dalam berita acara pemeriksaan. 7
[7] Berita acara pemeriksaan (BAP) adalah catatan atau tulisan yang bersifat otentik, dibuat
dalam bentuk tertentu oleh penyidik atau penyidik pembantu atas kekuatan sumpah jabatan,
diberi tanggal dan ditanda tangani oleh penyidik atau penyidik pembantu dan tersangka serta
saksi/ahli yang diperiksa, memuat uraian tindak pidana yang mencangkup/memenuhi unsur-
unsur tindak pidana yang dipersangkakan dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada
waktu tindak pidana dilakukan, identitas penyidik/penyidik pembantu dan yang diperiksa,
Berita acara pemeriksaan (BAP) yang tertuang dalam berkas perkara (BP) sangat
berperan penting dalam sistem peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-uandang
Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), yaitu yang dikenal dengan Criminal Justis Sistem, Polri sebagai
Penyidik, Jaksa Penuntut Umum sebagai Pebutut dan Hakim sebagai pemutus dalam
pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh Penyidik, dapat dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum
untuk mendakwa seseorang dalam proses peradilan yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Apabila hasil pemeriksaan yang dituangkan dalam berkas (BP) yang dibuat oleh Penyidik, maka
dakwaan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pun akan mengalami kekliruan, termasuk
vonis Hakim yang dijatuhkan terhadap seseorang palaku tindak pidana akan mengalami
kesesatan.9[9]
b. Syarat-Syarat Pemeriksaan
memiliki kewenangang untuk melakukan pemeriksaan dalam membuat berita acara pemeriksaan
(BAP), memilki pengetahuan yang cukup tentang hukum pidana, hukum acara pidana dan
perarturan perundang-undangan lainnya. Mempunyai pengetahuan yang cukup dan mahir dalam
melaksanakan fungsi tehnis kepolisian di bidang reserse, mahir dalam taktik dan tehnik dalam
melakukan pemeriksaan.
Di samping itu pula memilki kepriabdian yang baik, percaya diri, sabar, tidak gampang
terpengaruh, tekun, ulet dan memiliki kemapuan menilai dengan tepat dan bertindak secara
cermat serta obyketif tanpa pilih kasih. Seorang penyidik/penyidik selaku pemeriksa hendaknya
melihat seseorang yang diperiksa, apakah seorang tersangka maupun seorang saksi dan ahli
harus memiliki kemampuan untuk mempersiapkan rencana pemeriksaan dengan baik efektif dan
efesien. Dalam melakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka, saksi dan ahli ditetapkan
berjalan sesuai dengan harapan yaitu pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan.
Dalam pembuatan beriata acara pemeriksaan, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi
yaitu, syarat formal dan materiil10[10], pertama, syarat formal dibuat dalam bentuk tertentu dan
tertulis kata-kata Pro Justitia artinya bahwa format berita acara yang dibuat oleh
penyidik/penyidik pembantu atas dasar untuk keadilan, bukan untuk kepentingan lain. Kemudian
setiap lembar dari produk itu ditanda tangani oleh penyidik/penyidik pembantu dan orang yang
diperiksa, baik sebagai saksi, tersangka dan ahli. Kedua, syarat materiil yaitu keseluruhan isi atau
meteri menyangkut urang dari peristiwa tindak pidana yang terjadi dan dapat memenuhi unsur-
unsur pasal yang dilanggar atau yang disangkakan kepada pelaku tindak pidana.
d. Evaluasi
Evaluasi pembuatan berita acara pemeriksaan, senantiasa dilakukan dengan cara: tahap
inventarisasi, tahap seleksi dan pengkajian. Hal ini dilakukan agar keterangan para saksi, ahli
dapat dijadikan dasar dan memenuhi unsur-unsur pasal yang disangkakan kepada seseorang yang
diduga sebagai pelaku tindak pidana. Selanjutnya dilakukan seleksi, siapa saja yang layak untuk
dijadikan saksi untuk dimasukan dalam berkas perkara (BP), dan dilakukan pengkajian untuk
menguji kebenaran dengan bukti-bukti serta petunjuk-petunjuk yang ada, sehingga dapat ditarik
suatu kesimpulan tentang kebenaran dan dapat dipercaya tentang peristiwa pidana yang terjadi
2. Pembuktian
Pembuktian adalah suatu proses untuk mencari kebenaran dalam menyelesaikan suatu
dengan hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi dan hukum tata usaha negara.
Pembuktian memegang peranan sangat penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan,
apabila seseorang didakwa telah melakukan pelanggaran hukum dan hasil pembuktian tidak
cukup maka seorang terdakwa wajib dibebaskan, namun apabila dapat dibuktikan maka seorang
terdakwa dinyatakan bersalah dan diberikan sanksi berupa hukuman badan atau denda.
dengan bukti-bukti yang diajukan untuk mencari dan membuktikan kebenaran atau membuktikan
Dari dua pengertian tersebut, maka proses pembuktian merupakan inti dari penentuan
salah atau tidak seorang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana, dalam menjalani
proses penyidikan atau pemeriksaan sidang persidangan. Penentuan salah atau tidak seseorang
tidak boleh hanya ditentukan oleh pendapat pribadi Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim, atau
pada pengakuan tersangka/terdakwa, akan tetapi harus melalui proses pembuktian dengan alat-
titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian merupakan ketentuan-
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
didakwakan. Dalam proses persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena
Hari Sangsaka dan Lely Rosita memberikan pengertian pembuktian adalah merupakan
sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macm alat bukti yang sah menurut
hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti serta
Dari uraian tersebut di atas arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana
sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan penjelasannya termuat dalam tambahan Lembaran Negara
b. Alat Bukti
Dalam Pasal 184 KUHAP menyatakan, bahwa macam- macam alat-alat bukti sebagai
berikut :
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
12[12]Hari Sangsaka dan Lely Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara
Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 10.
d. Petunjuak;
e. Keterangan terdakwa.
Ayat (2) hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pengertian hal-hal secara umum adalah suatu hal yang secara umum diketahui tentang
suatu hal atau keadaan yang biasa lazim terjadi dalam penilaian masyarakat, hal demikian yang
sudah diketahui umum tidak perlu dibuktikan, yang diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP.
Macam-macam alat bukti dahulu di atur dalam pasal 295 HIR, yang terdiri dari sebagai berikut:
a. Keterangan saksi;
b. Surat-surat;
c. Pengakuan;
d. Tanda-tanda (petunjuk).
Dalam pasal 184 KUHAP, mengandung makna ketentuan yang membatasi hakim,
penuntut umum, terdakwa, maupun penasehat hukum dalam pemeriksaan sidang pengadilan.
Tidak boleh sembarangan dalam menilai pembuktian dan terikat pada ketentuan maupun tata
undang. Alat-alat bukti yang dipergunakan dalam persidangan maupun dalam mempertahankan
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Pasal 184 KUHAP dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Keterangan saksi adalah merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana.
Syarat-syarat agar keterangan saksi dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan memiliki
- Pasal 160 (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah
Berdasarkan pasal 1 angka 27, keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti ialah keterangan
c. Testimonium de auditu (mendengar orang lain tidak bernilai sebagai alat bukti). Pendapat atau
rekaan dari hasil pemikiran saksi bukan merupakan alat bukti dan tidak bernilai sebagai alat
bukti. Kadangkala dalam praktek pemeriksaan pertanyaan penyidik kepada seorang saksi sudah
dimulai dengan bagaimana pendapat saudara dan seterusnya, pertanyaan seperti itu jelas keliru
d. Keterangan saksi dalam penyidikan sebagai bahan dasar keterangan saksi di pengadilan.
Keterangan saksi dalam berita acara pemeriksaan pada saat penyidikan harus diulang dan
dipertahankan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai keterangan saksi di sidang pengadilan. Tidak
ada salahnya jika Jaksa Penuntut Umum membacakan kembali keterangan-keterangan saksi yang
penting dan mendukung surat dakwaan dalam berita acara pemeriksaan dalam berkas perkara.
e. Keterangan seorang saksi tidak cukup, tanpa didukung alat bukti yang lain, dan tidak dapat
digunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan tersangka/terdakwa. Agar dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang sah, maka keterangan satu orang saksi harus ditambah dengan
alat bukti yang lain yaitu keterangan ahli, surat, pentunjuk atau keterangan terdakwa, dengan
ketentuan antara alat bukti tersebut harus saling bersesuaian dan saling menguatkan. Keterangan
satu orang saksi tanpa didukung oleh alat bukti yang lain, maka alat bukti tunggal tersebut tidak
dapat dijadikan dasar untuk menentukan kesalahan tersangka/terdakwa. (unus testis nullus
testis). Timbul suatu pertanyaan bagaimana kalau saksi hanya dua orang saja, yang
keterangannya saling bersesuaian dan menguatkan tanpa didukung oleh alat bukti keterangan
ahli, surat petunjuk dan terdakwa menyangkal. Apakah dapat digunakan sebagai alat bukti yang
sah untuk menentukan kesalahan tersangka/ terdakwa. Dalam praktek, keterangan dua orang
saksi yang saling bersesuaian dan menguatkan, dapat diterima oleh hakim sebagai alat bukti
(1) Keterangan antara saksi satu dengan yang lainnya saling bersesuaian dan menguatkan bukan
(2) Alasan saksi memberi keterangan, pada saat saksi memberi keterangan sesuatu peristiwa atau
keadaan tertentu yang tidak pasti, seorang saksi dalam memberi keterangan tidak boleh ragu-
ragu, keterangan saksi harus sungguh-sungguh yang dialami sendiri, dilihat sendiri atau didengar
sendiri.
(3) Latar belakang kehidupan saksi, untuk mengetahui latar belakang kehidupan saksi, perlu untuk
mengetahui apakah ada pengaruh dengan faktor-faktor kepribadian misalnya suka bohong,
di sidang keterangannya dibacakan dan keterangan saksi tersebut mempunyai nilai sebagai alat
Suatu kesaksian agar mempunyai kekuatan sebagai alat bukti, maka harus memenuhi
ktif :
c) mampu bertanggung jawab, yakni sudah berumur 15 tahun atau sudah pernah kawin dan tidak
sakit ingatan.
2. Syarat formal:
3. Syarat subyektif/material:
a) saksi menerangkan apa yang ia lihat, ia ketahui, ia dengar dan ia alami sendiri;
b) dasar-dasar atau alasan mengapa saksi tersebut melihat, mendengar dan mengalami sesuatu yang
diterangkan tersebut.
13[13]Ibid. hal. 48
Keterangan ahli adalah keterangan yan diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus, tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
Dalam pasal 120 KUHAP bahwa, dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta
pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Ahli mengangkat sumpah atau
pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali apabila disebabkan karena harkat serta martabat,
pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan menyimpan rahasia dapat menolak untuk
Pasal 133 KUHAP, dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang koban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Mayat dikirm kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh
penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak
dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
pemeriksaan ahli terhadap otentikasi tanda tangan dan tulisan yang akan digunakan sebagai alat
bukti tentang suatu peristiwa pidana, telah disepakati oleh Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonsia dan Kepala Kepolisian Rpublik Indonesia sebagai
berikut:
a) Untuk tindak pidana umum dan tindak pidana khusus keterangan ahli otentikasi diberikan oleh
b) Untuk tindak pidana militer, keterangan ahli otentikasi diberikan oleh Laboratorium Kriminal
POM ABRI;
c) Untuk perakara yang bersifat koneksitas dapat diberikan oleh salah satu Laboratorium
Kriminal berdasarkan kesepakatan antara unsur penegak hukum yang duduk dalam team untuk
perakara koneksitas.
Pasal 179 KUHAP, setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Dalam
memberikan keterangan dengan mengucapkan sumpah atau janji dan memberikan keterangan
Dari pengaturan tentang keterangan ahli tersebut dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut
- Penyidik meminta keterangan ahli dan untuk itu ahli membuat "Laporan hasil pemeriksaan"
misalnya; Visum et Repertum, laporan Audit. Dibuat dengan mengingat sumpah waktu menerima
jabatan atau pekerjaan. Laporan ahli tertentu sudah mempunyai sifat dan nilai sebagai alat bukti
- Laporan hasil pemeriksaan dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan Ahli.
Apabila dianggap perlu dan dikehendaki baik oleh hakim ketua sidang karena jabatan, maupun
atas permintaan Jakasa Penuntut Umum, terdakwa atau penasihat hukum, dapat meminta
pemeriksaan keterangan ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Bentuk keterangan ahli
menurut tata cara ini berbentuk "keterangan lisan" dan "secara langsung" diberikan oleh yang
bersangkutan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Bentuk keterangan lisan secara langsung
dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang pengadilan oleh panitera, dan untuk itu ahli yang
memberi keterangan lebih dulu mengucapkan sumpah atau janji sebelum ia memberikan
keterangan. Jadi dalam tata cara dan bentuk keterangan ahli di sidang pengadilan tidak dapat
diberikan hanya berdasar sumpah atau janji pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Tapi
harus mengucapkan sumpah atau janji di sidang pengadilan sebelum ia memberikan keterangan.
Dengan dipenuhinya tata cara dan bentuk keterangan yang demikian dalam pemeriksaan di
sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut undang-
undang. Sekaligus keterangan ahli yang seperti ini mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
a) Keterangan ahli dalam bentuk "Laporan" dapat dikategorikan alat bukti surat (Pasal 187 c
KUHAP).
b) Keterangan ahli secara lisan dan langsung baik dalam berita acara penyidik maupun
a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang
atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas
b) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan
c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;
d) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang
lain.
Yang dimaksud dengan surat dalam pasal 187 huruf a KUHAP adalah: surat yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang untuk jabatan, misalnya berita acara yang dibuat oleh
seorang penyidik; surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat
dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat
atau yang dialaminya sendiri, sesuai dengan ketentuan undang-undang, misalnya paspor, surat
ijin mendirikan bangunan, surat kartu penduduk, surat ijin mengemudi, surat yang dibuat oleh
seorang notaris dan sebagainya, yang kesemuanya bernilai sebagai alat bukti surat.
- Surat biasa;
14[14]Ibid. hal. 60
- Surat otentik;
Jika macam-macam surat tersebut dihubungkan dengan ketentuan pasal 187 KUHAP,
maka Pasal 187 huruf a, b dan c KUHAP termasuk surat otentik dan pasal 187 huruf d termasuk
surat biasa.
Nilai kekuatan pembuktian dalam hukum acara perdata surat autentik atau surat dalam
bentuk resmi sebagaimana tersebut pasal 187 huruf a dan b KUHAP, dinilai sebagai alat bukti
yang sempurna, dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat bagi hakim.
Sedangkan dalam hukum acara pidana tidak mengatur secara khusus tentang nilai kekuatan
pembuktian surat. Ditinjau dari segi teori dan di hubungkan beberapa prinsip pembuktian yang
1) Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut dalam pasal 187 huruf a,b, dan c
merupakan alat bukti yang sempurna. Sebab bentuk surat-surat di dalamnya dibuat secara
resmi menurut formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, dan dibuat oleh pejabat yang
berwenang yang memiliki nilai bukti yang sempurna. Oleh karena itu, alat bukti surat resmi
mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna, dari segi formal ini dititikberatkan dari
sudut teoritis dikesampingkan oleh beberapa asas dan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP,
yaitu adanya batas minimum pembuktian yang ditentukan oleh pasal 183 KUHAP.
2) Ditinjau dari segi materiil, semua bentuk surat yang disebut dalam pasal 187 KUHAP
bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Nilai kekuatan pembuktian sama halnya
dengan nilai kekuatan pembuktian saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama mempunyai
Dasar alasan ketidakterikatan atas alat bukti surat tersebut, didasarkan pada beberapa
a) asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau
b) asas keyakinan hakim, asas ini berhubungan erat dengan sistem pembuktian yang dianut dalam
KUHAP.
c) asas batas minimum pembuktian, ditinjau dari segi formal alat bukti surat (autentik) sebagai
alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, akan tetapi kesempurnaan tidak berdiri sendiri,
Dalam pasal 188 KUHAP, pengertiannya alat bukti petunjuk adalah sebagai berikut:
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara
yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari; keterangan saksi;
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan
minimum pembuktian yang dutentukan dalam pasal 183 KUHAP, alat bukti petunjuk tidak dapat
berdiri sendiri melainkan berhubungan dengan alat bukti lainnya. Alat bukti petunjuk dapat
digambarkan sebagai alat bukti yang lahir dari kandungan alat bukti yang lain,16[16] karena :
(1) selamanya tergantung dan bersumber dari alat bukti yang lain;
(2) alat bukti petunjuk baru diperlukan dalam pembuktian, apabila alat bukti yang lain belum
dianggap hakim cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Atau dengan kata lain, alat bukti
petunjuk baru dianggap mendesak mempergunakannya apabila upaya pembuktian dengan alat
(3) oleh karena itu, hakim harus lebih dahulu berdaya upaya mencukupi pembuktian dengan alat
(4) dengan demikian upaya mempergunakan alat bukti petunjuk baru diperlukan pada tingkat
keadaan daya upaya pembuktian sudah tidak mungkin diperoleh lagi dari alat bukti yang lain.
Nilai kekuatan pembuktian petunjuk sifat dan kekuatan pembuktian sama dengan
pembuktian keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti surat sifat kekuatan pembuktian
yang bebas. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian oleh petunjuk, hakim bebas
Keterangan terdakwa lebih luas dari pengakuan terdakwa. Pengakukan terdakwa tidak
diperlukan sekalipun terdakwa mengaku, jaksa penuntut umum tetap berkewajiban untuk
sama sekali tidak menghapuskan pembuktian. Pasal 189 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa:
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu
menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang lain.
Pengakuan terdakwa atau keterangan terdakwa bukan merupakan alat bukti yang
sempurna, juga tidak memiliki pembuktian yang menentukan untuk menjatuhkan kesalahan
terdakwa, melainkan perlu alat pembuktian yang lain. Dari ketentuan pasal 189 ayat (1) dan ayat
(a) Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang pengadilan (The Confession Outside
Court), asas ini menerangkan bahwa keterangan yang diberikan di luar sidang pengadilan tidak
mempunyai nilai kekuatan alat bukti, melainkan dapat membantu dan menemukan alat bukti
dalam persidangan.
(b) Keterangan terdakwa yang diberikan dalam sidang pengadilan, baru merupakan alat bukti.
Keterangan terdakwa tersebut berisi pernyataan terdakwa tentang apa yang ia diperbuat, apa
3. Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian ada beberapa ajaran yang berhubungan dengan teori pembuktian,
a. Conviction in Time
dalam menentukan kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian pada keyakinan
hakim. Hakim dalam menjatuhkan kesalahan terdakwa tidak terikat dengan alat bukti. Dari mana
hakim menyimpulkan keyakinan yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan terdakwa,
dalam sistem ini tidak menjadi masalah. Keyakinan boleh diambil dari alat bukti yang dihasilkan
dalam persidangan atau tidak mempergunakan alat bukti yang ada dipersidangan. Hakim
langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sekalipun kesalahan
terdakwa telah cukupbukti, jika hakim tidak yakin maka terdakwa dapat dibebaskan, sebaliknya
walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti dengan melihat alat-alat bukti yang sah, terdakwa
bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas dasar keyakinan hakim. Sistem ini unsur subyektif
sangat dominan. Sistem pembuktian conviction in time ini dipergunakan dalam sistem peradilan
b. Conviction in Raisone
hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa, akan tetapi hakim dibatasi. Hakim dalam
yang rasional (reasonable). Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis
dan dapat diterima oleh akal, tidak semata-mata berdasar keyakinan tanpa batas. Sistem
yang berdasar pada alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang, keyakinan hakim
tidak ikut berperan. Dalam menentukan kesalahan seseorang terdakwa didasarkan atas alat-alat
bukti yang sah yang ditentukan dalam undang-undang, sudah cukup bagi hakim untuk
menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Sistem ini, hakim
seolah-olah sebagai robot dalam menjalankan undang-undang, hati nurani hakim tidak ikut
dalam menentukan kesalahan terdakwa. Sistem pembuktian positif ini yang dicari adalah
kebenaran formal, dan sistem pembuktian ini dipergunakan dalam hukumacara perdata.
Sistem pembuktian negatif (negatif wettelijk) ini merupakan sistem pembuktian positif
dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (convictioan in time). Dalam sistem
pembuktian secara negatif ini hakim dalam mentukan kesalahan terdakwa didasarkan pada alat-
alat bukti yang sah yang ditentukan dalam undang-undang dan adanya keyakinan hakim.
Terdapat dua komponen dalam sistem pembuktian negatif ini untuk menentukan kesalahan
terdakwa17[17], yaitu :
1) pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang;
2) dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah
menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur obyektif dan
subyektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa dan tidak ada yang dominan di
17[17]Ibid.hal. 279.
4. Sistem Pembuktian yang Dianut KUHAP
Setelah dijelaskan sistem pembuktian yang ada, sistem pembuktian mana yang di anut
oleh KUHAP?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita baca pasal 183 KUHAP, yang
berbunyi hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekuramg-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
seseorang bersalah menurut KUHAP, yaitu Sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah;
hakim memperoleh keyakinan terjadinya tindak pidana dan terdakwalah yang melakukan. Dari
uraian di atas jelaslah bahwa KUHAP mengatur sistem pembuktian negatif wettelijk.
Indonesia baik masa HIR maupun setelah KUHAP berlaku, penerapan sistem pembuktian secara
negatif sebagaimana diamanatkan dalam pasal 183 KUHAP, pada umumnya telah mendekati
Penutup
Bahwa berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu adalah
merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP, dibuat dalam bentuk format tertentu yang memenuhi syarat formal maupun syarat
materiil. Berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu sangat penting
karena di buat atas dasar untuk kedilan, yang selanjuya dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut
Umum untuk melakukan dakwakan kepada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana
Berita acara yang telah dibuat, kemudian disusun menjadi satu bendel/berkas (yang
dinamakan berkas perkara atau BP), dapat menentukan salah tidaknya seseorang dalam proses
peradilan pidana, dengan bukti-bukti yang ada kaitannya dengan peristiwa pidana yang terjadi,
dapat dijadikan dasar Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan seseorang yang
diduga sebagai pelaku tindak pidana di depan hakim pengadilan yang memutuskannya.
Berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu yang disusun
menjadi satu bendel/berkas jika salah dan keliru, maka berkas perkara yang dijadikan dasar oleh
Jaksa Penuntut Umum untuk mendakwa seseorang yang diduga melakukan tindak pidana,
kemudian diputus oleh hakim pengadilan akan terjadi kesesatan, pada akhirnya akan terjadi
DAFTAR BACAAN
BUKU
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, l996.
-----------, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005
-----------, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya,
Bandung, 2001.
A. Garner, Bryan, Blacks Law Dictionary, Seven Edition, St Paul, Minn, 1999.
Bruggink,J.J.H., Rechtsreflecties, alih bahasa Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, l996.
Englebecht, R.Susilo Sculd diartikan kesalahan, M.Budianto dan K.Wantjik Saleh Sculd diartikan
kekhilafan. Lihat juga P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1997.
Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press,
2005.
Hantum, Van, dalam J.E.Sahetapy,.(editor penerjemah), Hukum Pidana, Kumpulan Bahan Penataran
Hukum Pidana Prof. Dr.D.Schaffmeister, Prof.Dr. Nico Keijzer dan Mr. E.PH. Sitorus, Liberty,
Yogjakarta, 1995.
JM Van, Bemmelen, Ons Strafrecht, HD-TW & Zoon NV, Haarlem, 1968,
Lamintang, PAF, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, l997.
Minarno, Nur Basuki, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan
Keuangan Negara, Laksbang Mediatama, Cet ke 1, Surabaya, 2008.
Moris L. Cohen, et.all, Legal Research in a Nut Shell, West Publishing Co., St. Paul, Minn, l992.
Moch. Anwar, H.A.K, Brigjen Polisi Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP BUKU II) Jilid I, Penerbit
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.
Packer, H.L., The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California, 1968.
Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Terbitan kelima, Ghalia, Jakarta, l985.
Remmelink, Jan, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
R. Dye, Thomas, dalam Barda Nawawi Arief, Penetapan Pidana Penjara Dalam Perundang-undangan
Dalam Rangka Usaha Penanggulangan Kejahatan,UNPAD,1986.
Sahetapy, J.E. (editor penerjemah), Hukum Pidana, Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana Prof. Dr.
D. Schaffmeister, Prof. Dr. Nico Keijzer dan Mr. E. PH. Sutorius, Liberty, Yogjakarta, l995.
Smith, Russel G, Crime in the Professions, Ashgate Publishing Limited, England, 2004.
Susanto, I.S, Kejahatan Koorporasi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995.
Surakhmad, Wiranto, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, Bandung, 1972.
Schaffmeister, D, D.N. Keijzer dan E.PH.Sutorius, Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,Cetakan ke
II, Bandung, 2007.
Sangsaka, Hari, dan Lely Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung,
2003.
Yahya Harahap, M, Pembahasan Permasalahan dan Penerapam KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.
Undang-undang
Undang-undang Nomor I Tahun 1946 Jo Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang berlakunya
Peraturan Hukum Pidana.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang- undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasan Kehakiman.
Himpunan Bujuklak, Bujuklap dan Bujukmin Proses Penyidikan Tindak Pidana, Mabes Polri, Jakarta,
September 2000.