Anda di halaman 1dari 12

hUKUM

hAM KELOMPOK :
Hamdallah Alfarizqy Asyraf PRisyanto
1312100196
Antonius Petrus Kaya Lewowerang
1312100205
“TANGGUNG JAWAB NEGARA
TERHADAP KORBAN SALAH
TANGKAP YANG DILAKUKAN
OLEH ANGGOTA KEPOLISIAN
DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI
MANUSIA”
1. Pendahuluan
Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat (1) huruf
D dan pasal 28 huruf G UUD 1945. Berbicara tentang Hak Asasi
Manusia (selanjutnya disingkat HAM), berarti berbicara tentang hak
manusia yang paling dasar dan fundamental. Setiap manusia di muka
bumi berhak atas hak ini dan dimanapun tempat mereka tinggal
seharusnya HAM harus dijunjung tinggi. Walaupun konteks praktis
dari HAM ini tidak bisa seragam dan sama di setiap negara, tetapi
setiap negara setidaknya mempunyai pikiran ideal yang sama
mengenai HAM ini. HAM yang dijunjung tinggi oleh setiap negara
termasuk Indonesia, harus memiliki landasan yang kuat baik dalam
ideologi maupun konstitusi. Hal ini karena permasalahan tentang hak
asasi manusia sangat rentan terjadi, seperti kasus salah tangkap yang
disertai dengan penyiksaan dan paksaan yang jelas melanggar HAM
mengenai hak manusia untuk mendapat perlakuan yang sama di
depan hukum dan bebas dari ancaman maupun penyiksaan.
Pada tahun 1974 terjadi kasus salah tangkap yang menimpa Sengkon dan Karta, dua
petani yang berasal dari Desa Bojongsari, Bekasi, Jawa Barat. Mereka dituduh
melakukan perampokan dan pembunuhan terhadap suami-istri SulaimanSiti Haya,
atas tuduhan tersebut Sengkon divonis 12 tahun penjara sedangkan Karta 7 tahun
penjara oleh Pengadilan Negeri Jawa Barat yang kemudian putusan tersebut dikuatkan
oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Melihat fenomena-fenomena kasus salah tangkap
oleh jajaran kepolisian terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana
membuktikan aparat penegak hukum tidak profesional dan cenderung memaksakan
diri untuk memenuhi target pengungkapan dan penuntasan terhadap suatu kasus.
Polisi bertindak tidak sesuai prosedur dan memaksakan diri untuk segera
menuntaskan kasus tersebut sehingga berdampak pada salah tangkap Sejak
diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), perhatian terhadap kedudukan pelaku kejahatan
sebagai individu yang mempunyai HAM semakin memperoleh perhatian utama. Hal ini
muncul karena di masa lalu, khususnya sebelum berlakunya KUHAP, muncul berbagai
kritikan terhadap proses pemeriksaan pelaku kejahatan yang dianggap banyak
melanggar HAM. Ironisnya, dengan banyaknya materi KUHAP yang mengatur tentang
perlindungan pelaku kejahatan mengakibatkan porsi perlindungan yang diberikan
kepada korban kejahatan terkesan menjadi tidak memadai. Padahal, sejatinya
perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan dan pelaku kejahatan adalah
seimbang dan tidak dapat dibeda-bedakan sebagaimana asas setiap orang sama
kedudukannya di depan hukum (equality before the law).
Dalam Pasal 95 dan 97 KUHAP menyatakan bahwa tersangka,
terdakwa atau terpidana dapat menuntut ganti rugi ataupun
rehabilitasi terhadap salah tangkap maupun salah dalam penerapan
hukum tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang, hal tersebut
menyatakan bahwa tersangka, terdakwa atau terpidanalah yang
mempunyai inisiatif mengajukan gugatan kepada Negara, sudah
seharusnya Negara yang berinisiatif membayar ganti rugi atau
rehabilitasi tanpa harus menunggu korban mengajukan gugatan. Hal
ini di dukung oleh kultur budaya di Indonesia, khususnya masyarakat
ekonomi ke bawah sangat takut untuk berurusan dengan hukum,
sebagian dari mereka enggan untuk menuntut balik dan meminta
ganti rugi. Bagi mereka terbebas dari penjara saja sudah sangat
bersyukur dan cenderung trauma untuk kembali berurusan dengan
hukum dan para aparaturnya, karena dikhawatirkan prosesnya akan
menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang mengakibatkan
pada timbulnya penderitaan dan rasa malu yang berkepanjangan
2.METODE
PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang
dipergunakan dalam usaha menganalisis bahan hukum
dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
3. pembahasan
A. Akibat Hukum Bagi Pelaku Salah Tangkap.
Dalam menegakkan hukum ini ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu
kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Oleh karena itu, Satjipto Rahardjo
dalam bukunya “Masalah Penegakan Hukum”, menyatakan bahwa penegakan
hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan,
kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses
perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakekat dari penegakan hukum.
Tetapi perlu di ingat bahwa penegakan hukum harus dilaksanakan sebagai suatu
sistem. Hal ini sebagai wujud dari Negara Hukum yang sangat melindungi HAM
setiap warga negaranya. Dalam bab ini penulis akan membahas lebih mendalam
mengenai kejadian salah tangkap di Indonesia yang dilakukan oleh kepolisian,
sehingga akan diketahui pengertian yang lebih mendalam bagaimanakah
sesungguhnya apa yang dimaksud dengan salah tangkap.
B. Tanggung Jawab Negara Bagi Korban Salah
Tangkap.
Dalam sistem pemerintahan presidensiil, Presiden bertanggungjawab atas
penyelenggaraan keamanan, ketentraman dan ketertiban umum. Dikaitkan
dengan makna kepolisian sebagai alat negara sebagaimana disebutkan dalam
pasal 30 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta
menegakkan hukum. Disisi lain fungsi kepolisian yang mengemban salah satu
fungsi pemerintahan mengandung makna bahwa pemerintahan yang
diselenggarakan oleh Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan
(eksekutif) mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada kepolisian terutama
tugas dan wewenang dibidang keamanan dan ketertiban. Sebagaimana
dikatakan oleh Bagir Manan, bahwa Presiden adalah pimpinan tertinggi
penyelenggaraan administrasi negara.
kedudukan kepolisian dalam sistem ketatanegaraan, berada di bawah Presiden,
hal tersebut juga sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 yang
menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah
Presiden, secara teori ketatanegaraan Presiden mengendalikan langsung
lembaga Kepolisian. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari jabatan Presiden
sebagai Kepala pemerintahan (eksekutif). Di sisi lain kedudukan kepolisian di
bawah Presiden memiliki implikasi, bahwa tanggungjawab penyelenggaraan
kepolisian menjadi tanggung jawab Presiden, karena fungsi kepolisian adalah
salah satu fungsi pemerintahan (eksekutif) yang di pimpin oleh Presiden.
4. kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diajukan dalam penelitian ini,
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. ada beberapa jenis salah tangkap, diantaranya Pertama, Salah tangkap karena benar-
benar sesat, kesalahan ini terjadi karena memang tidak ada niatan jahat dari pelaku untuk
melakukan salah tangkap, maka jika terjadi salah tangkap negara bertanggung jawab
memberikan kompensasi bagi korban salah tangkap. Kedua, Salah tangkap karena adanya
kesalahan prosedur, kesalahan ini terjadi karena memang adanya kesalahan dalam
prosedur pengeluaran surat perintah penangkapan, maka jika terjadi salah tangkap
negara bertanggung jawab memberikan kompensasi bagi korban salah tangkap. Ketiga,
Salah tangkap karena adanya kesengajaan dari anggota kepolisian, kesalahan ini terjadi
karena adanya kesengajaan dari anggota kepolisian untuk menangkap orang yang bukan
pelaku sebenarnya dengan tujuan tertentu, maka jika terjadi salah tangkap negara tidak
bertanggung jawab, tanggung jawab berada pada anggota kepolisian yang melakukan
salah tangkap. Keempat, Salah tangkap karena adanya perintah atasan, kesalahan karena
perintah atasan sendiri dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Perintah atasan yang benar, dalam hal terjadi salah tangkap maka kesalahan dan
tanggung jawab berada pada anggota kepolisian yang melakukan salah tangkap. 140
b. Perintah atasan yang salah, dalam hal terjadi salah tangkap harus di lihat dulu apakah
anggota kepolisian yang melakukan salah tangkap tersebut mengetahui apakah perintah
tersebut salah atau benar, apabila mengetahui jika perintah tersebut salah tapi masih
menangkap maka dikenakan pasal penyertaan (pasal 333 KUHP jo pasal 55 KUHP).
2. Tanggungjawab Negara bagi korban salah tangkap diwujudkan dengan pemberian
ganti rugi (kompensasi) dan rehabilitasi, selain itu dalam perkembangannya melalui
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, negara
juga di amanatkan memberi bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikologis
(reparation) terhadap korban.. Selain pemberian bantuan dan kompensasi, bentuk
tanggungjawab negara yang lainnya adalah dengan Praperadilan, dimana korban
maupun keluarga korban dapat mengajukan permohonan untuk menghentikan
penyidikan maupun penuntutan yang dianggap tidak sah dan tidak sesuai prosedural.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai