DISUSUN OLEH :
Posisi Kasus
Kasus Kecelakaan Anak Ahmad Dhani, Abdul Qodir Jaelani atau Dul. Dul
mengalami kecelakaan berutun dengan Gran Max dan Avanza, terjadi di KM 8 Tol Jagorawi,
di jalur 3 dan 4 arah Jakarta. Diketahui 5 orang tewas dan Dul berada di salah satu mobil
yang terlibat kecelakaan mengalami patah tulang, dari segala yang terjadi ahmad dani
bersedia bertanggung jawab / siap menganti rugi kepada pihak korban.
Analisa Kasus
Dari kasus pelanggaran lalu lintas itu, maka dapat disimpulkan bahwa pelanggaran-
pelanggaran lalu lintas tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pada
akhirnya diancam dengan sanksi pidana yaitu sanksi pidana penjara. Dalam
perkembangannya, pelaku tindak pidana lalu lintas jalan ini berkewajiban memberikan
santunan kepada korbannya. Memang santunan bagi korban tindak pidana lalu lintas jalan
pada saat ini seperti sudah menjadi kewajiban, apalagi jika si pelaku adalah orang yang
mempunyai kedudukan ekonomi kuat atau dengan kata lain mempunyai uang yang lebih.
Hukum pidana merupakan cabang pokok dari ilmu hukum. Hukum pidana ini dalam
bentuk dan nama apapun hampir terdapat dalam seluruh keluarga hukum yang pernah dan
sedang terjadi dalam masyarakat. Dalam penggolongan yang kita kenal saat ini di Indonesia,
hukum pidana termasuk “memihak” kepada pelaku tindak pidana, hal ini dapat dilihat dari
hak-haknya sejak awal proses penyidikan di tingkat kepolisian hingga putusan pengadilan.
Hal tersebut dipandang sebagai sesuatu yang tidak adil bagi korban tindak pidana. Meskipun
pelaku tindak pidana itu dihukum seberat-beratnya, hukuman itu sama sekali tidak ada
hubungannya terhadap penderitaan bagi korban ataupun keluarganya. Penderitaan seseorang
tidak serta merta digantikan begitu saja dengan dihukumnya pelaku kejahatan. Penegakan
hukum model seperti ini ditentang, dikarenakan keadilan harusnya diberikan kepada orang
yang dirugikan. Perlu diketahui bahwa sebenarnya Restorative Justice bukan merupakan asas
melainkan filsafat yaitu filsafat dalam proses peradilan dan juga filsafat keadilan.
Restorative justice dikatakan sebagai filsafat peradilan karena merupakan dasar dalam
penyusunan lembaga peradilan. Sehingga dapat diartikan bahwa Restorative Justice adalah
suatu rangkaian proses peradilan yang pada dasarnya bertujuan untuk me-restore
(memulihkan kembali) kerugian yang diderita oleh korban kejahatan. Justice dalam ilmu
hukum pidana harus bertujuan untuk memulihkan kembali keadaan seperti sebelum terjadi
kejahatan. Ketika ada orang yang melakukan pelanggaran hukum maka keadaan akan
menjadi berubah. Maka disitulah peran hukum untuk melindungi hak-hak setiap korban
kejahatan. Penerapan prinsip Restorative Justice itu tergantung pada sistem hukum apa yang
dianut oleh suatu negara. Jika dalam sistem hukum itu tidak menghendaki, maka tidak bisa
dipaksakan penerapan Restorative Justice tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa prinsip Restorative Justice merupakan pilihan
dalam mendesain sistem hukum suatu negara. Beberapa undang-undang yang dilandasi
prinsip Restorative Justice seperti di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak. Walaupun suatu negara tidak menganutnya, akan tetapi tidak
menutup kemungkinan untuk diterapkan prinsip Restorative Justice tersebut guna
memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Dengan memperhatikan hal
tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian berkenaan dengan Implementasi
Konsep Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas.
SUBTANSIAL JUSTICE
SIKAP JPU DAN HAKIM KASUS SIMULASI SIM
Posisi Kasus
Analisa Kasus
Para penegak hukum serasa tidak mampu bersikap adil. Tajam ke bawah tumpul di
atas. Ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada Joko Susilo jelas tidak sesuai dengan
kerugian yang harus ditanggung oleh negara, apalagi memenuhi rasa keadilan pada
masyarakat. Tidak hanya dari sisi materil,namun juga dari sisi moral dan kepercayaan rakyat
terhadap aparat penegak hukum yang bersih dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai
orang awam yang tidak mengenal hukum, masyarakat sangat berharap aparat penegak hukum
dapat bersikap profesional dalam menegakkan hukum di Indonesia.
Vonis yang dijatuhkan hakim masih jauh dibawah tuntutan jaksa penuntut umum
ataupun dari tuntutan KPK.Vonis hukum yang diberikan ini juga menjadi cermin yang
menggambarkan bahwa seolah-olah ada permainan dalam penegakan hukum. Akan ada
asumsi yang berkembang dimasyarakat bahwa hukum dapat dibeli. Namun, dikemas secara
apik sehingga tidak tampak secara gamblang bahwa hukum itu sebuah permainan, yang dapat
diperjual belikan. Masyarakat semakin memahami bahwa Indonesia adalah negara yang dari
sisi pelayananpublik maupun terhadap proses penegakan hukum masih jauh dari harapan
masyarakat. Ketika di negara tetangga telah berani menghukum mati bagi para koruptor, di
Indonesia justru terkesan melindungi para koruptor. Memberikan hukuman seringan-
ringannya bahkan vonis bebas kepada para pengeruk uang rakyat tersebut.
Lembaga negara harus mampu berlaku adil atas proses penegakan hukum. Salah
satunya adalah dengan memberikan vonis tepat bagi Joko Susilo yang telah mengeruk uang
rakyat. Kiranya aparatur penegak hukum perlu memahami benar amanat Pancasila dan
Undang Undang Dasar 1945 secara bijak. Di dalam butir-butir Pancasila dijelaskan bahwa
Indonesia merupakan negara berdaulat yang mampu memberikan rasa aman dan keadilan
bagi seluruh rakyat, tanpa memandang unsur SARA. Pancasila butir kedua (Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab) dan kelima (Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).Tidak
dapat dipungkiri bahwa hukum sebagai media kontrol sosial (Social Control) perilaku
masyarakat. Masyarakat saling mengawasi setiap perilaku yang dilakukan oleh sekitarnya.
Masyarakat selalu mengawasi apakah hukum ditegakkan sesuai dengan kenyataannya, tidak
ada yang ditutup-tutupi. Apalagi dipermainkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Saat ini hukum tidak lagi menjadi alat untuk mencapai sebuah keadilan, namun lebih
kepada alat untuk mencapai kepentingan pribadi. Hukum telah dicederai oleh orang-orang
yang mencari rezeki dengan jalan yang memeras hak konstitusi orang lain. Hal ini bahkan
telah menjadi fenomena sosial biasa saat ini. Para penegak hukum yang awalnya diharapkan
mampu menegakkan benang basah di negeri ini, namun ikut terseret dalam jurang kejahatan.
Seolah membangun pola saling memberi rasa aman dan nyaman atas kekuasaannya dengan
transaksional belaka. Keadilan pun dapat bergeser akibat hilangnya rasa keadilan itu sendiri.
PROCEDURAL JUSTICE
PUTUSAN MA TINGKAT PK UTK SUJONO TIMAN
Posisi Kasus
Permohonan PK Sudjiono Timan yang diperiksa oleh Majelis yang diketuai oleh
Hakim Agung Suhadi (karier), beranggotakan Sophian Marthabaya (ad hoc), Andi Samsan
Nganro (karier), Sri Murwahyuni (karier), dan Abdul Latief (ad hoc), mengabulkan
permohonan yang diajukan oleh istri Sudjiono Timan. Putusan PK ini otomatis membatalkan
putusan kasasi yang menghukum Sudjiono Timan, sehingga Sudjiono Timan lepas dari
hukuman 15 tahun penjara. Adapun alasan Majelis mengabulkan permohonan PK Sudjiono
Timan, bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 telah membatalkan Penjelasan
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam putusan tersebut, MK tidak mengakui perbuatan hukum dalam arti materiil
sebagaimana dianut dalam Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 dan hanya berlaku delik
formil, yaitu perbuatan yang memenuhi kualifikasi UU. MK menganggap perbuatan hukum
dalam arti materiil bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945. Kasus Sudjiono Timan
terjadi pada rentang waktu tahun 1993-1998, dan permohonan PK yang diajukan Sudjiono
Timan pada bulan Januari 2012 dalam proses hukum yang masih berjalan. Di dalam proses
hukum itu ada aturan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyatakan, jika ada perubahan dalam
perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan
ketentuan yang paling menguntungkannya.
Menyinggung Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2012 yang
mewajibkan terpidana hadir dalam permohonan PK, Suhadi mengatakan bahwa pengajuan
permohonan PK pada bulan Januari 2012, sedangkan SEMA tersebut berlaku per April 2012.
Suhadi juga mengatakan, berdasarkan KUHAP, yang dapat mengajukan PK adalah terdakwa
atau ahli waris, kemudian oleh majelis, istri dianggap sebagai ahli waris. Sri Murwahyuni
merupakan satu-satunya hakim agung yang menolak putusan tersebut. Sri menyampaikan
dissenting opinion, dengan beberapa pertimbangan. Pertama, pemohon PK bukan terpidana.
Kedua, pemohon PK adalah ahli waris, padahal Sudjiono Timan diketahui masih hidup.
Menurut Pasal 263 KUHAP, PK diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Kalau masih
hidup tidak dapat istrinya yang mengajukan PK. Menurut Sri, sangat ironis jika terpidana
yang tidak mau menjalankan kewajibannya (buron) tetapi ingin mendapatkan haknya.
Anasisa Kasus
Peninjauan Kembali (PK) merupakan salah satu dari upaya hukum luar biasa dalam
hukum pidana Indonesia. Ahli waris merupakan salah satu pihak yang berhak mengajukan
PK dalam perkara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang
rumusannya: “Terhadap putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.” Merujuk pada
ketentuan itu, maka PK merupakan upaya hukum yang disediakan untuk melawan putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang berisi
pemidanaan. Ketentuan itu mempunyai keterbatasan karena tidak diberikan batasan
pengertian mengenai makna “ahli waris” yang menimbulkan permasalahan di dalam
penerapannya terkait dengan penafsiran maknanya. Permasalahan itu timbul ketika majelis
hakim Mahkamah Agung di dalam Putusan Nomor 97 PK/Pid/Sus/2012 menerima PK yang
diajukan isteri terpidana (ST) dengan dikategorikan sebagai ahli waris. Permasalahannya
adalah “Apakah isteri seorang terpidana yang masih hidup dapat dikategorikan sebagai ahli
waris?” Tulisan ini akan menganalisis penafsiran hukum hakim agung untuk menerima PK
yang diajukan oleh istri ST dikaitkan dengan ajaran dan doktrin yang masih berlaku saat ini.
Jika dikaitkan dengan Procedural Justice, Procedural Justice adalah gagasan keadilan
dalam proses yang menyelesaikan perselisihan dan mengalokasikan sumber daya. Salah satu
aspek keadilan prosedural terkait dengan pembahasan tentang penyelenggaraan peradilan dan
proses hukum. Rasa Procedural Justice ini terkait dengan proses hukum (AS), keadilan
fundamental (Kanada), keadilan prosedural (Australia), dan keadilan alami (yurisdiksi
Common law lainnya), tetapi gagasan tentang keadilan prosedural juga dapat diterapkan pada
konteks nonlegal di dimana beberapa proses digunakan untuk menyelesaikan konflik atau
membagi manfaat atau beban. Aspek lain dari Procedural Justice juga dapat ditemukan dalam
masalah psikologi sosial dan sosiologi dan psikologi organisasi.
Dan jika kita kembali Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang
dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. KUHAP
menegaskan bahwa permintaan PK hanya dapat dilakukan satu kali. Oleh karena itu,
pemeriksaan PK harus dilakukan secara profesional dan serius, majelis hakim harus berhati-
hati dalam menjatuhkan putusan. Untuk itu, dalam melakukan seleksi (fit and proper test)
terhadap calon hakim agung, DPR-RI harus memilih calon yang berkualitas baik, meliputi
integritas, kompetensi, kapasitas, serta visi dan misi calon. Kemandirian kehakiman dalam
mengadili perkara jangan dijadikan alasan untuk dapat menjatuhkan putusan
sewenangwenang dan menabrak aturan hukum. Aturan hukum baik hukum formiil (acara)
maupun hukum materiil (substansi) merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman, agar
dalam melaksanakan kekuasaannya tidak melanggar hukum dan bertindak sewenang-wenang.
Saat ini Mahkamah Agung (MA) sebagai pengawas internal dan Komisi Yudisial
(KY) sebagai pengawas eksternal membentuk tim untuk memeriksa kelima hakim agung
yang memutuskan PK tersebut. Proses pemeriksaan tersebut belum selesai, sehingga belum
ada rekomendasi yang dikeluarkan mengenai hal ini. Sementara itu, hakim agung lain di MA
menyoroti putusan tersebut. Topane Gayus Lumbuun, misalnya, mendesak Ketua MA Hatta
Ali untuk mengeksaminasi putusan atas Sudjiono Timan. Gayus Lumbuun menduga putusan
PK Sudjiono Timan melanggar hukum acara sehingga dapat batal demi hukum atau dianggap
tidak pernah ada (never existed).
Sudjiono Timan dapat mengajukan PK kembali dengan prosedur dan mekanisme yang
diatur di dalam KUHAP, yaitu hadir di dalam persidangan sesuai dengan ketentuan Pasal 263
KUHAP. Gayus juga menilai PK itu melanggar Pasal 268 KUHAP. PK disebutkan sebagai
upaya hukum yang dapat diajukan terpidana atau ahli warisnya. Istri Sudjiono Timan tidak
dapat bertindak sebagai ahli waris. Istilah ahli waris digunakan apabila yang bersangkutan
sudah meninggal. Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi Krisna Harahap juga
mengkritik putusan PK tersebut. Pasal 263 ayat (1) serta Pasal 265 ayat (2) dan (3) secara
imperatif (mutlak) menyatakan, terdakwa/terpidana, jaksa, dan hakim harus bersama-sama
menandatangani berita acara pemeriksaan. Jadi, kehadiran terpidana adalah sebuah
keharusan. Mantan Ketua MA Bagir Manan pun melihat prosedur PK tidak benar karena
diajukan oleh istri terpidana. Istri bukan termasuk ahli waris karena terpidana belum
meninggal. Keluarga dapat mengajukan PK jika terpidana dalam keadaan yang tidak
memungkinkan untuk PK, misalnya sakit. Selain itu, kata Bagir, status buron juga
dipertimbangkan. Arti buron adalah yang bersangkutan melawan putusan hakim. Tindakan
pemohon PK telah melecehkan hakim. Sementara itu, Komisioner KY, Taufiqurrohman
Syahuri, meminta MA untuk membuka pintu bagi pengajuan PK kedua dari jaksa penuntut
umum dalam kasus Sudjiono Timan.