Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS KASUS

RESTORASI JUSTICE, SUBTANSIAL JUSTICE,


DAN PROCEDURAL JUSTICE

DISUSUN OLEH :

NAMA : AMUS ANTHON AUNALAL


KELAS :A

MATA KULIAH : TEORI HUKUM

Dosen : Prof. Dr. S.E.M NIRAHUA, SH.M.Hum

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
 RESTORASI JUSTICE
SIKAP AHMAD DANI PADA LAKA LANTAS

Posisi Kasus

Kasus Kecelakaan Anak Ahmad Dhani, Abdul Qodir Jaelani atau Dul. Dul
mengalami kecelakaan berutun dengan Gran Max dan Avanza, terjadi di KM 8 Tol Jagorawi,
di jalur 3 dan 4 arah Jakarta. Diketahui 5 orang tewas dan Dul berada di salah satu mobil
yang terlibat kecelakaan mengalami patah tulang, dari segala yang terjadi ahmad dani
bersedia bertanggung jawab / siap menganti rugi kepada pihak korban.

Analisa Kasus

Dari kasus pelanggaran lalu lintas itu, maka dapat disimpulkan bahwa pelanggaran-
pelanggaran lalu lintas tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pada
akhirnya diancam dengan sanksi pidana yaitu sanksi pidana penjara. Dalam
perkembangannya, pelaku tindak pidana lalu lintas jalan ini berkewajiban memberikan
santunan kepada korbannya. Memang santunan bagi korban tindak pidana lalu lintas jalan
pada saat ini seperti sudah menjadi kewajiban, apalagi jika si pelaku adalah orang yang
mempunyai kedudukan ekonomi kuat atau dengan kata lain mempunyai uang yang lebih.

Hukum pidana merupakan cabang pokok dari ilmu hukum. Hukum pidana ini dalam
bentuk dan nama apapun hampir terdapat dalam seluruh keluarga hukum yang pernah dan
sedang terjadi dalam masyarakat. Dalam penggolongan yang kita kenal saat ini di Indonesia,
hukum pidana termasuk “memihak” kepada pelaku tindak pidana, hal ini dapat dilihat dari
hak-haknya sejak awal proses penyidikan di tingkat kepolisian hingga putusan pengadilan.
Hal tersebut dipandang sebagai sesuatu yang tidak adil bagi korban tindak pidana. Meskipun
pelaku tindak pidana itu dihukum seberat-beratnya, hukuman itu sama sekali tidak ada
hubungannya terhadap penderitaan bagi korban ataupun keluarganya. Penderitaan seseorang
tidak serta merta digantikan begitu saja dengan dihukumnya pelaku kejahatan. Penegakan
hukum model seperti ini ditentang, dikarenakan keadilan harusnya diberikan kepada orang
yang dirugikan. Perlu diketahui bahwa sebenarnya Restorative Justice bukan merupakan asas
melainkan filsafat yaitu filsafat dalam proses peradilan dan juga filsafat keadilan.

Restorative justice dikatakan sebagai filsafat peradilan karena merupakan dasar dalam
penyusunan lembaga peradilan. Sehingga dapat diartikan bahwa Restorative Justice adalah
suatu rangkaian proses peradilan yang pada dasarnya bertujuan untuk me-restore
(memulihkan kembali) kerugian yang diderita oleh korban kejahatan. Justice dalam ilmu
hukum pidana harus bertujuan untuk memulihkan kembali keadaan seperti sebelum terjadi
kejahatan. Ketika ada orang yang melakukan pelanggaran hukum maka keadaan akan
menjadi berubah. Maka disitulah peran hukum untuk melindungi hak-hak setiap korban
kejahatan. Penerapan prinsip Restorative Justice itu tergantung pada sistem hukum apa yang
dianut oleh suatu negara. Jika dalam sistem hukum itu tidak menghendaki, maka tidak bisa
dipaksakan penerapan Restorative Justice tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa prinsip Restorative Justice merupakan pilihan
dalam mendesain sistem hukum suatu negara. Beberapa undang-undang yang dilandasi
prinsip Restorative Justice seperti di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak. Walaupun suatu negara tidak menganutnya, akan tetapi tidak
menutup kemungkinan untuk diterapkan prinsip Restorative Justice tersebut guna
memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Dengan memperhatikan hal
tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian berkenaan dengan Implementasi
Konsep Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas.

 SUBTANSIAL JUSTICE
SIKAP JPU DAN HAKIM KASUS SIMULASI SIM

Posisi Kasus

Kasus korupsi pengadaan simulator SIM  di Korlantas Polri yang melibatkan


terdakwa Irjen Polisi Djoko Susilo merugikan negara sebesar 121,830 miliar.  Dia dianggap
melanggar dalam dakwaan Primair ke satu Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP. Jenderal
bintang dua ini juga dianggap terbukti secara meyakinkan dalam dakwaan Primair ke dua dan
ke tiga yakni melanggar Pasal 3 dan atau 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan TPPU dan Pasal 3 ayat 1 dan atau Pasal 6 ayat 1 UU Nomor 15 Tahun 2002
tentang TPPU. Selasa, 3 September 2013 majelis hakim hanya  memvonis  Irjen Polisi Djoko
Susilo dengan hukuman 10 tahun penjara, denda Rp 500.000.000,00 serta subsidair  6 bulan
kurungan penjara. Awalnya, Djoko Susilo dituntut Jaksa Penuntut Umum selama 18 tahun
penjara, denda Rp1 miliar subsider satu tahun kurungan penjara, dan  Djoko juga diminta
untuk membayar uang pengganti Rp32 miliar.

Analisa Kasus

Para penegak hukum serasa tidak mampu bersikap adil. Tajam ke bawah tumpul di
atas. Ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada Joko Susilo jelas tidak sesuai dengan
kerugian yang harus ditanggung oleh negara, apalagi memenuhi rasa keadilan pada
masyarakat. Tidak hanya dari sisi materil,namun juga dari sisi moral dan kepercayaan rakyat
terhadap aparat penegak hukum yang bersih dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai
orang awam yang tidak mengenal hukum, masyarakat sangat berharap aparat penegak hukum
dapat bersikap profesional dalam menegakkan hukum di Indonesia. 

Vonis yang dijatuhkan hakim masih jauh dibawah tuntutan jaksa penuntut umum
ataupun dari tuntutan KPK.Vonis hukum yang diberikan ini juga menjadi cermin yang
menggambarkan bahwa seolah-olah ada permainan dalam penegakan hukum. Akan ada
asumsi yang berkembang dimasyarakat bahwa hukum dapat dibeli. Namun, dikemas secara
apik sehingga tidak tampak secara gamblang bahwa hukum itu sebuah permainan, yang dapat
diperjual belikan. Masyarakat semakin memahami bahwa Indonesia adalah negara yang  dari
sisi pelayananpublik maupun terhadap proses penegakan hukum masih jauh dari harapan
masyarakat. Ketika di negara tetangga telah berani menghukum mati bagi para koruptor, di
Indonesia justru terkesan melindungi para koruptor. Memberikan hukuman seringan-
ringannya bahkan vonis bebas kepada para pengeruk uang rakyat tersebut.

Paradigma yang memberikan peluang besar terhadap berperannya faktor prosedur,


formalitas, dan tata cara dalam proses hukum, telah menyebabkan perburuan terhadap
keadilan menjadi sangat rumit. Akibatnya, kebenaran yang lahir dalam proses peradilan
relatif tidak ditentukan oleh substansi perkara (fakta hukum),  tetapi justru lebih ditentukan
pada apakah proses sebuah hukum telah memenuhi prosedur dan tata cara peradilan, sehingga
seseorang yang secara fakta hukum terindikasi kuat bersalah, bisa menjadi tidak bersalah dan
dinyatakan bebas ketika proses hukumya agak sedikit menyimpang dari tata cara
hukumanya. Gambarannya, sang penegak hukum melakukan tindak ketidakadilan seperti
meringankan hukuman para koruptor dengan kekuasaan ataupun wewenang yang mereka
miliki dan dengan kesempatan yang ada dalam situasi ‘suap-menyuap’.

Menurut Soerjono Soejono bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan


kedamaian, ketertiban dan ketentraman. Masyarakat sangat mengharapkan negara mampu
memberikan kepastian hukum (Teori Positivisme) atas permasalahan-permasalahan yang
terjadi. Sehingga apabila hukum tidak mampu memberikan rasa aman dan kenyamanan yang
dijabarkan dalam bentuk Perintah, kewajiban, kedaulatan dan sanksi tegas (John
Austin),maka secara perlahan dan pasti akan terjadi kesemrawutan dan ketidakadilan dalam
penyelenggaraan suatu negara yang berdaulat. Untuk itu,  masyarakat  sangat mengharapkan
pemerintah mampu memberikan stabilitas negara dalam bentuk kepastian hukum.

Lembaga negara harus mampu berlaku adil atas proses penegakan hukum. Salah
satunya adalah dengan memberikan vonis tepat bagi Joko Susilo yang telah mengeruk uang
rakyat. Kiranya aparatur penegak hukum perlu memahami benar amanat Pancasila dan
Undang Undang Dasar 1945 secara bijak. Di dalam butir-butir Pancasila dijelaskan bahwa
Indonesia merupakan negara berdaulat yang mampu memberikan rasa aman dan keadilan
bagi seluruh rakyat, tanpa memandang unsur SARA. Pancasila butir kedua (Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab) dan kelima (Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).Tidak
dapat dipungkiri bahwa hukum sebagai media kontrol sosial (Social Control) perilaku
masyarakat. Masyarakat saling mengawasi setiap perilaku yang dilakukan oleh sekitarnya.
Masyarakat selalu mengawasi apakah hukum ditegakkan sesuai dengan kenyataannya, tidak
ada yang ditutup-tutupi. Apalagi dipermainkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Keinginan KPK mengajukan banding merupakan langkah tepat dalam upaya


penegakan hukum di Indonesia. Hal ini wajib di apresiasi tinggi. Bagaimana pun juga MK
merupakan lembaga tertinggi yang memiliki hak menyelesaikan berbagai persoalan hukum di
Indonesia. KPK harus mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa di negerinya
hukum tidak lah tumpul. KPK harus mampu membuktikan bahwa tidak ada ampun bagi para
koruptor, tanpa pandang bulu. Harus ada efek jera bagi oknum-oknum yang ingin mengeruk
uang rakyat. Dengan demikian, stabilitas negara menjadi terjamin. Namun juga perlu
diingatkan, KPK harus tetap pada rel penegakan hukum bukan atas pertimbangan yang lain
apalagi politik.
Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan
yang sama tanpa pandang bulu. Hukum yang diberikan harus sebanding dengan apa yang
dilakukan sebagai konsekuensi dasar atas tindakan tersebut. Ketidakadilan mutlak harus
ditegakkan, apapun alasannya.  Meskipun keadilan yang sesungguhnya adalah milik sang
pencipta semata, tetapi kita sebagai insan manusia wajib dan harus mampu untuk
menegakkan keadilan meskipun tidak sama dengan kadar adil yang dimiliki Tuhan. Kita
harus meyakini bahwa kita di dunia ini diwariskan dan dititipkan Tuhan sifat adil, namun
bagaimana kita melaksanakannya untuk bersikap adil. Apalagi sebuah lembaga hukum yang
jelas-jelas diberi tanggung jawab untuk mengadili.

Saat ini hukum tidak lagi menjadi alat untuk mencapai sebuah keadilan, namun lebih
kepada alat untuk mencapai kepentingan pribadi. Hukum telah dicederai oleh orang-orang
yang mencari rezeki dengan jalan yang memeras hak konstitusi orang lain. Hal ini bahkan
telah menjadi fenomena sosial biasa saat ini. Para penegak hukum yang awalnya diharapkan
mampu menegakkan benang basah di negeri ini, namun ikut terseret dalam jurang kejahatan.
Seolah membangun pola saling memberi rasa aman dan nyaman atas kekuasaannya dengan
transaksional belaka. Keadilan pun dapat bergeser akibat hilangnya rasa keadilan itu sendiri.

Dalam masalah penegakan hukum, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-


sengketa hukum ternyata masih debatable. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa
lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu sarat dengan prosedur, formalistis, kaku dan
lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak
lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural
dalam melakukan konkretisasi hukum. 

Sedangkan seyogyanya hakim mampu menjadi living interpretator yang cermat


menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan sama sekali tidak terbelenggu oleh
kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena
hakim bukan lagi sekedar la bouche de la loi (corong undang-undang). Artinya, hakim
dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan
normatif undang-undang, sehingga keadilan substantif dapat diwujudkan melalui putusan
hakim pengadilan. Hakim juga dituntut untuk tidak terbelenggu hanya memberikan keadilan
formal semata-mata; melainkan, sebagai livinginterpretator hakim diharapkan mampu
mewujudkan cita-cita hukum dan harapan serta keinginan para justisiabelen. Maka dari itulah
muncul istilah Keadilan substansif dan Keadilan prosedural.

Keadilan substantif (substansial justice) sendiri dimaknai sebagai keadilan yang


diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, tanpa melihat kesalahan-kesalahan
prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif Penggugat/Pemohon. Ini berarti
bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan
substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa
saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil (hakim dapat
menoleransi pelanggaran prosedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan). Dengan
kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan bunyi undang-
undang. Melainkan, dengan keadilan substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-
undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal prosedural
undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum.

 PROCEDURAL JUSTICE
PUTUSAN MA TINGKAT PK UTK SUJONO TIMAN

Posisi Kasus

Permohonan PK Sudjiono Timan yang diperiksa oleh Majelis yang diketuai oleh
Hakim Agung Suhadi (karier), beranggotakan Sophian Marthabaya (ad hoc), Andi Samsan
Nganro (karier), Sri Murwahyuni (karier), dan Abdul Latief (ad hoc), mengabulkan
permohonan yang diajukan oleh istri Sudjiono Timan. Putusan PK ini otomatis membatalkan
putusan kasasi yang menghukum Sudjiono Timan, sehingga Sudjiono Timan lepas dari
hukuman 15 tahun penjara. Adapun alasan Majelis mengabulkan permohonan PK Sudjiono
Timan, bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 telah membatalkan Penjelasan
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam putusan tersebut, MK tidak mengakui perbuatan hukum dalam arti materiil
sebagaimana dianut dalam Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 dan hanya berlaku delik
formil, yaitu perbuatan yang memenuhi kualifikasi UU. MK menganggap perbuatan hukum
dalam arti materiil bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945. Kasus Sudjiono Timan
terjadi pada rentang waktu tahun 1993-1998, dan permohonan PK yang diajukan Sudjiono
Timan pada bulan Januari 2012 dalam proses hukum yang masih berjalan. Di dalam proses
hukum itu ada aturan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyatakan, jika ada perubahan dalam
perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan
ketentuan yang paling menguntungkannya.

Menyinggung Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2012 yang
mewajibkan terpidana hadir dalam permohonan PK, Suhadi mengatakan bahwa pengajuan
permohonan PK pada bulan Januari 2012, sedangkan SEMA tersebut berlaku per April 2012.
Suhadi juga mengatakan, berdasarkan KUHAP, yang dapat mengajukan PK adalah terdakwa
atau ahli waris, kemudian oleh majelis, istri dianggap sebagai ahli waris. Sri Murwahyuni
merupakan satu-satunya hakim agung yang menolak putusan tersebut. Sri menyampaikan
dissenting opinion, dengan beberapa pertimbangan. Pertama, pemohon PK bukan terpidana.
Kedua, pemohon PK adalah ahli waris, padahal Sudjiono Timan diketahui masih hidup.
Menurut Pasal 263 KUHAP, PK diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Kalau masih
hidup tidak dapat istrinya yang mengajukan PK. Menurut Sri, sangat ironis jika terpidana
yang tidak mau menjalankan kewajibannya (buron) tetapi ingin mendapatkan haknya.
Anasisa Kasus

Peninjauan Kembali (PK) merupakan salah satu dari upaya hukum luar biasa dalam
hukum pidana Indonesia. Ahli waris merupakan salah satu pihak yang berhak mengajukan
PK dalam perkara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang
rumusannya: “Terhadap putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.” Merujuk pada
ketentuan itu, maka PK merupakan upaya hukum yang disediakan untuk melawan putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang berisi
pemidanaan. Ketentuan itu mempunyai keterbatasan karena tidak diberikan batasan
pengertian mengenai makna “ahli waris” yang menimbulkan permasalahan di dalam
penerapannya terkait dengan penafsiran maknanya. Permasalahan itu timbul ketika majelis
hakim Mahkamah Agung di dalam Putusan Nomor 97 PK/Pid/Sus/2012 menerima PK yang
diajukan isteri terpidana (ST) dengan dikategorikan sebagai ahli waris. Permasalahannya
adalah “Apakah isteri seorang terpidana yang masih hidup dapat dikategorikan sebagai ahli
waris?” Tulisan ini akan menganalisis penafsiran hukum hakim agung untuk menerima PK
yang diajukan oleh istri ST dikaitkan dengan ajaran dan doktrin yang masih berlaku saat ini.

Jika dikaitkan dengan Procedural Justice, Procedural Justice adalah gagasan keadilan
dalam proses yang menyelesaikan perselisihan dan mengalokasikan sumber daya. Salah satu
aspek keadilan prosedural terkait dengan pembahasan tentang penyelenggaraan peradilan dan
proses hukum. Rasa Procedural Justice ini terkait dengan proses hukum (AS), keadilan
fundamental (Kanada), keadilan prosedural (Australia), dan keadilan alami (yurisdiksi
Common law lainnya), tetapi gagasan tentang keadilan prosedural juga dapat diterapkan pada
konteks nonlegal di dimana beberapa proses digunakan untuk menyelesaikan konflik atau
membagi manfaat atau beban. Aspek lain dari Procedural Justice juga dapat ditemukan dalam
masalah psikologi sosial dan sosiologi dan psikologi organisasi.

Procedural Justice menyangkut keadilan dan transparansi proses dimana keputusan


dibuat, dan dapat dikontraskan dengan keadilan distributif (keadilan dalam distribusi hak atau
sumber daya), dan keadilan retributif (keadilan dalam hukuman yang salah). Mendengar
semua pihak sebelum keputusan diambil merupakan salah satu langkah yang dianggap tepat
untuk diambil agar suatu proses dapat dikategorikan sebagai proses yang adil. Beberapa teori
Procedural Justice berpendapat bahwa prosedur yang adil mengarah pada hasil yang adil,
bahkan jika persyaratan keadilan distributif atau restoratif tidak dipenuhi. Disarankan bahwa
ini adalah hasil dari interaksi interpersonal yang lebih berkualitas yang sering ditemukan
dalam proses Procedural Justice, yang terbukti lebih kuat dalam mempengaruhi persepsi
keadilan selama resolusi konflik.

Dan jika kita kembali Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang
dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. KUHAP
menegaskan bahwa permintaan PK hanya dapat dilakukan satu kali. Oleh karena itu,
pemeriksaan PK harus dilakukan secara profesional dan serius, majelis hakim harus berhati-
hati dalam menjatuhkan putusan. Untuk itu, dalam melakukan seleksi (fit and proper test)
terhadap calon hakim agung, DPR-RI harus memilih calon yang berkualitas baik, meliputi
integritas, kompetensi, kapasitas, serta visi dan misi calon. Kemandirian kehakiman dalam
mengadili perkara jangan dijadikan alasan untuk dapat menjatuhkan putusan
sewenangwenang dan menabrak aturan hukum. Aturan hukum baik hukum formiil (acara)
maupun hukum materiil (substansi) merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman, agar
dalam melaksanakan kekuasaannya tidak melanggar hukum dan bertindak sewenang-wenang.

Saat ini Mahkamah Agung (MA) sebagai pengawas internal dan Komisi Yudisial
(KY) sebagai pengawas eksternal membentuk tim untuk memeriksa kelima hakim agung
yang memutuskan PK tersebut. Proses pemeriksaan tersebut belum selesai, sehingga belum
ada rekomendasi yang dikeluarkan mengenai hal ini. Sementara itu, hakim agung lain di MA
menyoroti putusan tersebut. Topane Gayus Lumbuun, misalnya, mendesak Ketua MA Hatta
Ali untuk mengeksaminasi putusan atas Sudjiono Timan. Gayus Lumbuun menduga putusan
PK Sudjiono Timan melanggar hukum acara sehingga dapat batal demi hukum atau dianggap
tidak pernah ada (never existed).

Sudjiono Timan dapat mengajukan PK kembali dengan prosedur dan mekanisme yang
diatur di dalam KUHAP, yaitu hadir di dalam persidangan sesuai dengan ketentuan Pasal 263
KUHAP. Gayus juga menilai PK itu melanggar Pasal 268 KUHAP. PK disebutkan sebagai
upaya hukum yang dapat diajukan terpidana atau ahli warisnya. Istri Sudjiono Timan tidak
dapat bertindak sebagai ahli waris. Istilah ahli waris digunakan apabila yang bersangkutan
sudah meninggal. Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi Krisna Harahap juga
mengkritik putusan PK tersebut. Pasal 263 ayat (1) serta Pasal 265 ayat (2) dan (3) secara
imperatif (mutlak) menyatakan, terdakwa/terpidana, jaksa, dan hakim harus bersama-sama
menandatangani berita acara pemeriksaan. Jadi, kehadiran terpidana adalah sebuah
keharusan. Mantan Ketua MA Bagir Manan pun melihat prosedur PK tidak benar karena
diajukan oleh istri terpidana. Istri bukan termasuk ahli waris karena terpidana belum
meninggal. Keluarga dapat mengajukan PK jika terpidana dalam keadaan yang tidak
memungkinkan untuk PK, misalnya sakit. Selain itu, kata Bagir, status buron juga
dipertimbangkan. Arti buron adalah yang bersangkutan melawan putusan hakim. Tindakan
pemohon PK telah melecehkan hakim. Sementara itu, Komisioner KY, Taufiqurrohman
Syahuri, meminta MA untuk membuka pintu bagi pengajuan PK kedua dari jaksa penuntut
umum dalam kasus Sudjiono Timan.

Meski secara formal PK di atas PK tidak diperbolehkan, ketentuan tersebut dapat


dikesampingkan terlebih dahulu demi tercapainya tujuan hukum yang lebih besar, yaitu
keadilan. Taufiq mengungkapkan, KUHAP memang tidak memperbolehkan PK dua kali,
namun demi keadilan, kepastian hukum dapat dikesampingkan lebih dahulu. Berbeda dengan
Taufiqurrohman Syahuri, Anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Frans Hendra Winatra
berpendapat, menurut ketentuan dalam KUHAP, negara Kejaksaan tidak diberi kesempatan
untuk mengajukan PK. Konsep kesetaraan antara individu dan negara di dalam negara hukum
harus dipegang teguh dalam perdebatan tentang apakah jaksa boleh mengajukan PK atas
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kalau jaksa memaksakan untuk mengajukan
PK maka asas keseimbangan sebagaimana yang dianut dalam KUHAP telah dilanggar,
sehingga hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtonzekerheid). Kalau
aturan main yang diatur KUHAP dilanggar, maka akan menimbulkan kekacauan hukum
(legal disarray).

Anda mungkin juga menyukai