Dosen Pengampu :
Nama Kelompok :
Fakultas Hukum
Universitas Tanjungpura Pontianak
Tahun ajaran 2018/2019
A. Pengertian Antinomi dalam KBBI
Antinomi/an·ti·no·mi/ n 1 kenyataan yang kontroversial; 2 Huk pertentangan antara
dua ayat dalam undang-undang.
Kasus pelantikan Wali Kota Tomohon benar-benar mengusik cita dan rasa penegakan
hukum di negeri ini. Ia dilantik bukan di Tomohon, dalam sebuah sidang pleno luar biasa
DPRD Kota Tomohon, mengucapkan sumpah dan janji untuk menjalankan peraturan
selurus-lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa setelah
mendapatkan izin ketua majelis hakim tipikor.
Hal yang tentunya anakronistis, bahkan cenderung ironis dan tragis, karena pada saat
yang sama ia sedang menyandang status terdakwa kasus korupsi. Bahkan, di tangannya,
Pemerintah Kota Tomohon nyaris bangkrut (Kompas, 11/1/2011). Hal yang sebenarnya
bisa jadi bukti bahwa ia menjadi terdakwa karena tidak menjalankan peraturan dengan
baik dan merugikan masyarakat, nusa, dan bangsa sebagaimana ketika ia dilantik lima
tahun lalu. Akan tetapi, begitulah sifat antinomi dalam sebuah peraturan, termasuk yang
mengatur soal pelantikan kepala daerah.
Antinomi yang lahir dari sebuah pertentangan klasik cara berpikir Immanuel Kant
yang dituliskan dalam Critique of Pure Reason, tentang pertentangan fundamental antara
akal dan alam. Pertentangan itu kemudian memberikan pengaruh yang besar kepada cara
berpikir hukum yang mencari kesetimbangan di antara berbagai hal yang berlawanan,
tetapi harus tetap dijaga. Dari situlah konsep antinomi dalam hukum lahir, sebagai sebuah
”konsep pertentangan” yang menjadi pijakan dalam melakukan proses analitis terhadap
norma-norma dan nilai-nilai di dalam suatu aturan hukum.
Dalam kasus wali kota Tomohon, itu yakni ketika ada kebutuhan untuk kepastian
keberlanjutan hukum dan pemerintahan, serta pada saat yang sama ada kebutuhan untuk
tuntutan etika dalam pemerintahan. Padahal keduanya berada pada posisi saling
menegasi. Sulit untuk ditolak bahwa ia harus dilantik karena dialah pemenang kontestasi
politik yang ditetapkan dalam UU Pemerintahan Daerah. Mustahil juga untuk menolak
sehingga membiarkan wakil wali kota terpilih yang tidak ikut menjadi tertuduh harus
gagal dilantik akibat ”cacat” hukum pasangannya. Akan tetapi, sulit untuk
membayangkan seorang terdakwa kasus korupsi tiba-tiba harus menjadi kepala daerah,
yang salah satu syaratnya adalah bersih dari segala tindakan berbau korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Sulit untuk membayangkan, ia melantik para pejabat eselon III di lingkungan
Kota Tomohon, mengambil sumpah mereka, sedangkan pada saat yang sama ia sendiri
dihadapkan pada perkara pelanggaran terhadap sumpah yang telah ia ucapkan. Kondisi ini
tercipta, lagi-lagi karena kualitas pembentukan peraturan perundang-undangan yang juga
mengalami antinomi.
Akibatnya, menurut Friedmann, hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah,
melainkan merupakan resultan dari beraneka ragam proses internalisasi, intrusi, dan
negosiasi berbagai kepentingan di antara faksi-faksi dan aktor-aktor dalam masyarakat.
Logika ini terasa di UU Pemerintahan Daerah yang memberikan jarak sangat lebar antara
penjagaan kualitas individu kepala daerah dan proses administrasi pelantikan kepala
daerah itu sendiri. Misalnya, harus ada rezim izin terhadap pemeriksaan kepala daerah.
Hal yang kita ketahui bersama menjadi sumber dari malapetaka birokratisasi penegakan
hukum antikorupsi terhadap mereka yang melanggar. Pemberhentian yang menunggu
putusan juga berpotensi memperpanjang durasi kepemimpinan kepala daerah yang
tersangkut kasus korupsi melalui sebuah kata sakti putusan, in kracht.
Hal-hal yang lahir bukan hanya karena pertentangan antara asas kepastian hukum atas
hak individu pemenang pilkada dan etika masyarakat akan kepemimpinan, melainkan
juga lahir dari proses pembentukan hukum yang penuh kepentingan. Kekosongan aturan
yang bisa jadi karena by design ataupun by accident telah berakibat pada kejadian
pelantikan Wali Kota Tomohon.
Dalam konsep yang seperti ini, maka penegakan hukum seharusnya mau menghindari
”keterjebakan” pada posisi antinomi yang berpotensi saling mengunci dan tanpa
kesudahan. Ruang kosong akibat tidak diatur dalam UU malah tidak dijadikan alasan
untuk mengatakan UU ”memperbolehkan”.
Malah seharusnya, dicarikan terobosan hukum demi penegakan hukum yang lebih
bermakna dan tentunya jauh lebih luas dibanding sekadar diterjemahkan sebagai UU.
Sayangnya, terobosan hukum yang seringnya diberi label diskresi malah tidak dilakukan.
Harusnya, pemerintah mengantisipasi dengan mengisi kekosongan hukum dengan
tindakan diskresif. Misalnya, begitu Jefferson Rumajar dilantik menjadi Wali Kota
Tomohon, pada saat yang sama ia juga harus diberhentikan sementara sehingga terbuka
peluang bagi wakil kepala daerah untuk memegang jabatan kepala daerah sementara.
Membuka ”ruang jeda” bagi Wali Kota Tomohon untuk memimpin dari penjara adalah
pelantun makna disosiasi akibat antinomi, termasuk ketika ia melantik pejabat di
lingkungan pemerintahan daerah Kota Tomohon.
Untuk mencegah repetisi posisi kasus seperti ini, perbaikan aturan hukum tentu
menjadi perlu. Dalam hal tertentu, pengisian aturan hukum untuk mengatur kepala daerah
yang terpenjara sangat penting dilakukan meski di tengah terbukanya pertentangan akibat
sifat dasar dari antinomi dalam hukum itu sendiri. Hal yang harus dilakukan karena
memang mencapai urgensi yang sangat tinggi, karena di ujungnya kita berhadapan
dengan kualitas pemerintahan daerah yang menjadi sangat penting bagi tumbuhnya
demokrasi yang sehat. Ketika kita gagal membangun dan menutup ruang kosong yang
tercipta akibat antinomi dalam peraturan perundang-undangan, maka hal itu malah bisa
merusak pelaksanaan demokrasi, termasuk cara pandang terhadap demokrasi itu sendiri.
Video Pilihan Gagalnya hukum untuk memberikan rasa nyaman dan antikoruptif untuk
dirasakan oleh semua kalangan masyarakat adalah lonceng penanda rapuhnya bangunan
hukum dan demokrasi itu sendiri. Bangunan yang merepih dan kemudian akan terburai
hancur tanpa bekas.