Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“Proses Penyusunan Undang-Undang”

Disusun oleh:
Aris Maulana

Program Studi Kependudukan dan Catatan Sipil


Institut Pemerintahan Dalam Negeri
Kata Pengantar

Segala puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT sebab karena
limpahan rahmat serta anugerah dari-Nya saya mampu untuk menyelesaikan
makalah kami dengan judul “Proses Penyusunan Undang-Undang” ini.

Shalawat serta salam tidak lupa selalu saya haturkan untuk junjungan nabi
agung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan
Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling
benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya
karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.

Selanjutnya dengan rendah hati saya meminta kritik dan saran dari
pembaca untuk makalah ini supaya selanjutnya dapat saya revisi kembali. Karena
saya sangat menyadari, bahwa makalah yang telah saya buat ini masih memiliki
banyak kekurangan.

Saya ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak


yang telah mendukung serta membantu saya selama proses penyelesaian makalah
ini hingga rampungnya makalah ini.

Demikianlah yang dapat saya haturkan, saya berharap supaya makalah


yang telah saya buat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.

Minahasa, 09 Maret 2020

Penyusun

i
Daftar Isi
Kata Pengantar.......................................................................................................i
Daftar Isi.................................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A.Latar Belakang...................................................................................................1
B.Rumusan Masalah.............................................................................................2
C.Tujuan..................................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................3
A.Rancangan Undang-Undang (RUU)..............................................................3
1. Pengertian....................................................................................................3
2. Proses Penyusunan Rancangan Undang-Undang.......................................3
3.Tahap pembentukan Undang-Undang......................................................8
B.Peraturan Perundang-Undangan (PERPU)..............................................12
1. Pengertian..............................................................................................12
PENUTUP.............................................................................................................13
1. Kesimpulan.......................................................................................................13
Daftar Pustaka......................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-undang merupakan landasan hukum yang yang menjadi dasar
pelaksanaan dari keseluruhan kebijakan yang dibuat oleh pemerintahaan. “legal
policy” yang dituangkan dalam undang-undang, menjadi sebuah sarana rekayasa
sosial, yang membuat kebijaksanaan yang hendak dicapai pemerintah, untuk
mengarahkan masyarakat menerima nilai-nilai baru.
Didalam negara yang berdasarkan atas hukum moderen (verzorgingsstaat),
tujuan utama dari pembentukan undang-undang bukan lagi menciptakan
kodipikasi bagi normanorma dan nilai-nilai kehidupan yang sudah mengendap
dalam masyarakat, akan tetapi tujuan utama pembentukan undang-undang itu
adalah menciptakan modipikasi atau perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Menindaklanjuti amanah dari ketentuan pasal 18 ayat (3) UU NO. 11 Tahun
2011 dalam ihwal urgensi pembentukan Peraturan Presiden (Perpres) yang
mengatur ketentuan ketenutan lebih lanjut tata cara mempersiapkan RUU,
Presiden RI menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 Tentang
Cara Mempersiapkan Rancangan UU, Rancangan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Racangan
Peraturtan Presiden. (Penulisan selanjutnya disingkat dengan Peraturan Presiden
Nomor 68 Tahun 2005-Penulis)
Undang-Undang  tentang  Pembentukan  Peraturan  Perundang-undangan 
didasarkan  pada  pemikiran  bahwa  Negara  Indonesia  adalah negara  hukum. 
Sebagai  negara  hukum,  segala  aspek  kehidupan  dalam bidang 
kemasyarakatan,  kebangsaan,  dan  kenegaraan  termasuk pemerintahan harus
berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional.
Perkembangan peratuaran perundangan sangat flexible mengikuti
perkembangan zaman sesuai dengan Pasal 22A  Undang-Undang Dasar Negara
Republik  Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa  “Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang  diatur  lebih  lanjut 
dengan  undang-undang.” Namun,  ruang lingkup materi muatan Undang-
Undang  ini diperluas  tidak saja Undang-Undang  tetapi  mencakup  pula 
Peraturan  Perundang-undangan  lainnya, selain Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
Dalam makalah ini kita akan mengupas bagaimana Proses RUU dari
pemerintah dan dari DPR-RI,Serta Asas asas Pembentukan Peraturan yang baik
digunakan dalam proses RUU,  yang akan dibahas di dalam makalah ini.
Dan bagaimana cara pengaturan pembentukan peraturan perundang–undangan di
indonesia.

1
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Proses dan Tahap pembentukan Rancangan Undang-Undang?
C. Tujuan
Mengetahui Proses dan Tahap pembentukan Rancangan Undang-Undang.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Rancangan Undang-Undang (RUU)
1. Pengertian
Proses pembuatan undang-undang adalah rentetan kejadian yang
bermula dari perencanaan, pengusulan, pembahasan, dan pengesahan.
Semua proses tersebut dilakukan oleh para aktor, yang dalam sistem
demokrasi modern disebut eksekutif (Presiden beserta jajaran
kementriannya) dan legislatif (DPR).
Perencanaan penyusunan UU dalam Prolegnas merupakan skala
prioritas program pembentukan undang-undang dalam rangka
mewujudkan sistem hukum nasional yang integralistik, baik dalam
konteks pembentukan UU maupun peraturan di bawah UU. Penyusunan
daftar RUU yang masuk dalam Prolegnas didasarkan atas:
a.         Perintah UUD NKRI Tahun 1945;
b.         Perintah Ketetapan MPR;
c.         Perintah UU lainya;
d.        Sistem perencanaan pembangunan nasional;
e.         Rencana pembangunan jangka panjang nasional;
f.          Rencana pembangunan jangka menegah;
g.         Rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR;
h.         Aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Penyusunan Prolegnas memuat judul RUU, materi yang diatur, dan
keterkaitanya dengan peraturan perundang-undangan lainya. Materi yang
diatur dan keterkaitanya dengan peraturan perundang-undang lainya
merupakan keterangan mengenai konsep RUU yang meliputi:
a.         Latar belakang dan tujuan penyusunan;
b.         Sasaran yang ingin diwujudkan;
c.         Jangkawan dan arah peraturan.
2. Proses Penyusunan Rancangan Undang-Undang
Penyusunan RUU dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga
pemerintah non departemen, disebut sebagai pemrakarsa, yang
mengajukan usul penyusunan RUU. Penyusunan RUU dilakukan oleh
pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Namun, dalam keadaan tertentu,

3
pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih
dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden. Pengajuan
permohonan ijin prakarsa ini disertai dengan penjelasan mengenai
konsepsi pengaturan UU yang meliputi (i) urgensi dan tujuan penyusunan,
(ii) sasaran yang ingin diwujudkan, (iii)  pokok pikiran, lingkup, atau
objek yang akan diatur, dan (iv) jangkauan serta arah pengaturan.
Sementara itu, Perpres No. 68/2005 menetapkan keadaan tertentu
yang memungkinkan pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas
yaitu (a) menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
menjadi Undang-Undang; (b) meratifikasi konvensi atau perjanjian
internasional; (c) melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi; (d)
mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; atau (e)
keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas
suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR dan
menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan
perundang-undangan.
Dalam hal RUU yang akan disusun masuk dalam Prolegnas maka
penyusunannya tidak memerlukan persetujuan izin prakarsa dari Presiden.
Pemrakarsa dalam menyusun RUU dapat terlebih dahulu menyusun
naskah akademik mengenai materi yang akan diatur. Penyusunan naskah
akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan departemen
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-
undangan. Saat ini departemen yang mempunyai tugas dan tanggung
jawab di bidang peraturan perundang-undangan adalah Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham). Selanjutnya, pelaksanaan
penyusunan naskah akademik dapat diserahkan kepada perguruan tinggi
atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian.
a.    Penyusunan RUU Berdasarkan Prolegnas
Ketentuan tentang penyusunan RUU yang dilakukan pemrakarsa
berdasarkan prolegnas diatur dalam pasal 2 Peraturan Presiden Nomor
68 Tahun 2005. Ditetapkan bahwa Penyusunan RUU yang
berdasarkan Prolegnas tidak memerlukan izin pemrakarsa dari
presiden. Namun, secara berkala, pemrakarsa melaporkan persiapan
dari penyusunan RUU tersebut kepada presiden
Proses ini diawali dengan pembentukan panitia antar departemen
oleh pemrakarsa. Keanggotaan panitia ini terdiri atas unsur
departemen dan lembaga pemerintah non departemen yang terkait
dengan substansi RUU. Panitia ini akan dipimpin oleh seorang ketua
yang ditunjuk oleh pemrakarsa. Sementara itu, sekretaris panitia antar
departemen dijabat oleh kepala biro hukum atau kepala satuan kerja

4
yang menyelenggarakan fungsi di bidang perundang-undangan pada
lembaga pemrakarsa.
Dalam setiap panitia antar departemen diikutsertakan wakil dari
Dephukham untuk melakukan pengharmonisasian RUU dan teknis
perancangan perundang-undangan. Panitia antar departemen
menitikberatkan pembahasan pada permasalahan yang bersifat
prinsipil mengenai objek yang akan diatur, jangkauan dan arah
pengaturan. Sedangkan kegiatan perancangan yang meliputi
penyiapan, pengolahan dan perumusan RUU dilaksanakan oleh biro
hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang
peraturan perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa.
Hasil perancangan selanjutnya disampaikan kepada panitia antar
departemen untuk diteliti kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip yang
telah disepakati. Dalam pembahasan RUU di tingkat panitia antar
departemen, pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari
lingkungan perguruan tinggi atau organisasi di bidang sosial politik,
profesi dan kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam
penyusunan RUU.
Selama penyusunan, ketua panitia antar departemen melaporkan
perkembangan penyusunan dan/atau permasalahan kepada pemrakarsa
untuk memperoleh keputusan atau arahan.  Ketua panitia antar
departemen menyampaikan rumusan akhir RUU kepada pemrakarsa
disertai dengan penjelasan. Selanjutnya dalam rangka penyempurnaan
pemrakarsa dapat menyebarluaskan RUU kepada masyarakat.
Pemrakarsa menyampaikan RUU kepada menteri yang mempunyai
tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan
yang saat ini dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Menhukham) dan menteri atau pimpinan lembaga terkait untuk
memperoleh pertimbangan dan paraf persetujuan.  Pertimbangan dan
paraf persetujuan dari Menhukham diutamakan pada harmonisasi
konsepsi dan teknik perancangan perundang-undangan. Pertimbangan
dan paraf persetujuan diberikan paling lama 14 (empat belas) hari
kerja sejak RUU diterima.
Apabila pemrakarsa melihat ada perbedaan dalam pertimbangan
yang telah diterima maka pemrakarsa bersama dengan Menhukham
menyelesaikan perbedaan tersebut dengan menteri/pimpinan lembaga
terkait. Apabila upaya penyelesaian tersebut tidak berhasil maka
Menhukham melaporkan hal tersebut secara tertulis kepada presiden
untuk memperoleh keputusan. Selanjutnya, perumusan ulang RUU
dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan Menhukham.

5
Dalam hal RUU tidak memiliki permasalahan lagi baik dari segi
substansi maupun segi teknik perancangan perundang-undangan maka
pemrakarsa mengajukan RUU tersebut kepada presiden untuk
disampaikan kepada DPR. Namun, apabila presiden berpendapat RUU
masih mengandung permasalahan maka presiden menugaskan kepada
Menhukham dan pemrakarsa untuk mengkoordinasikan kembali
penyempurnaan RUU tersebut dan dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak diterima penugasan maka pemrakarsa harus
menyampaikan kembali RUU kepada presiden.[6]
b.    Penyusunan RUU diluar Prolegnas
Pada dasarnya Proses penyusunan RUU diluar Prolegnas sama
dengan penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas. Hanya saja, dalam
menyusun RUU diluar prolegnas ada tahapan awal yang wajib
dijalankan sebelum masuk dalam tahapan penyusunan undang-undang
sebagaimana diuraikan sebelumnya. Tahapan awal ini dimaksudkan
untuk melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan
konsepsi RUU yang telah disiapkan oleh pemrakarsa. Proses ini
dilakukan melalui metode konsultasi antara pemrakarsa dengan
Menhukham.
Selanjutnya, untuk kelancaran pengharmonisasian, pembulatan dan
pemantapan konsepsi RUU Menhukham mengkoordinasikan
pembahasan konsepsi tersebut dengan pejabat yang berwenang
mengambil keputusan, ahli hukum dan/atau perancang peraturan
perundang-undangan dari lembaga pemrakarsa dan lembaga terkait
lainnya. Proses ini juga dapat melibatkan perguruan tinggi dan/atau
organisasi.
Apabila koordinasi tersebut tidak berhasil maka Menhukham dan
pemrakarsa melaporkan kepada presiden disertai dengan penjelasan
mengenai perbedaan pendapat atau pandangan yang muncul.
Pelaporan kepada presiden ini ditujukan untuk mendapatkan
keputusan atau arahan yang sekaligus merupakan izin prakarsa
penyusunan RUU.
Namun, apabila koordinasi yang bertujuan melakukan
pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU
tersebut berhasil maka pemrakarsa menyampaikan konsepsi RUU
tersebut kepada presiden untuk mendapat persetujuan. Selanjutnya,
apabila presiden menyetujui maka pemrakarsa membentuk panitia
antar departemen.
Tacara pembentukan panitia antar departemen dan penyusunan
RUU dilakukan sesuai dengan tahapan penyusunan RUU berdasarkan
Prolegnas yang telah diuraikan sebelumnya.[7]

6
c.    Penyampaian RUU Kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Rancangan Undang-Undang  yang telah disetujui oleh Presiden
disampaikan kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Menteri
Sekretaris Negara  menyiapkan surat Presiden kepada Pimpinan DPR
guna  menyampaikan RUU disertai dengan Keterangan Pemerintah
mengenai Rancangan Undang-Undang dimaksud. Surat Presiden
sebagaimana dimaksud Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 yang
terdapat pada Pasal 26 ayat (2) paling sedikit memuat :
1)        Menteri  yang ditugasi untuk mewakili Presiden dalam
pembahasan Rancangan Undang-Undang di Dewan Perwakilan
Rakyat;
2)        Sifat penyelesaiaan Rancangan Undang-Undang yang
dikehendaki; dan
3)        Cara penanganan atau pembahasannya.
Keterangan Pemerintah disiapkan oleh Pemrakarsa, yang paling
sedikit memuat :
1)        Urgensi dan tujuan penyusunan;
2)        Sasaran yang ingin diwujudkan;
3)        Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
4)        Jangkauan serta arah pengaturan;
Surat Presiden ditembuskan kepada Wakil Presiden, para  menteri
koordinator, menteri  yang ditugasi untuk mewakili
Presiden/Pemrakarsa, dan Menteri. Dalam rangka pembahasan
Rancangan Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat,
Pemrakarsa memperbanyak Rancangan Undang-Undang tersebut
dalam jumlah yang diperlukan.
Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang di Dewan
Perwakilan Rakyat, Menteri  yang ditugasi  sebagaimana dimaksud
dalam  Pasal 26 ayat (2) huruf a wajib melaporkan perkembangan dan
permasalahan yang dihadapi kepada Presiden untuk memperoleh
keputusan dan arahan.  Apabila dalam pembahasan terdapat masalah
yang  bersifat prinsipil dan arah pembahasannya akan  mengubah  isi
serta arah Rancangan Undang-Undang,  Menteri  yang ditugasi 
mewakili Presiden wajib terlebih dahulu melaporkannya kepada
Presiden disertai dengan saran pemecahannya untuk memperoleh
keputusan.
d.  RUU Yang Disusun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

7
RUU yang berasal dari usul inisiatif DPR dapat dilakukan melalui
beberapa pintu, yaitu :
1)        Badan Legislasi;
2)        Komisi;
3)        Gabungan komisi;
4)        Tujuh belas orang anggota.
Usul RUU yang diajukan oleh Baleg, Komisi, Gabungan Komisi
ataupun anggota diserahkan kepada pimpinan DPR beserta dengan
keterangan pengusul atau naskah akademis. Dalam rapat paripurna
selanjutnya, pimpinan sidang akan mengumumkan kepada anggota
tentang adanya RUU yang masuk, kemudian RUU tersebut dibagikan
kepada seluruh anggota. Rapat paripurna akan memutuskan apakah
RUU tersebut secara prinsip dapat diterima sebagai RUU dari DPR.
Sebelum keputusan diiterima atau tidaknya RUU, diberikan
kesempatan kepada fraksi-fraksi untuk memberikan pendapat.
Apabila usul RUU disetujui dengan perubahan, maka DPR akan
menugaskan kepada Komisi, Baleg ataupun Panitia Khusus (Pansus)
untuk menyempurnakan RUU tersebut. Apabila RUU disetujui tanpa
perubahan atau RUU telah selesai disempurnakan oleh Komisi, Baleg
ataupun Pansus maka RUU tersebut disampaikan kepada Presiden dan
pimpinan DPD (dalam hal RUU yang diajukan berhubungan dengan
kewenangan DPD). Presiden harus menunjuk seorang Menteri yang
akan mewakilinya dalam pembahasan, paling lambat 60 hari setelah
diterimanya surat dari DPR. Demikian pula halnya, DPD harus
menunjuk alat kelengkapan yang akan mewakili dalam proses
pembahasan.
3. Tahap pembentukan Undang-Undang
a Tahap Perencanaan
Dari perspektif perencanaan, pembentukan undang-undang dimulai
dari penyusunan Program Legislasi Nasional. Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) merupakan salah satu instrument penting dalam
kerangka pembangunan hukum, khususnya dalam konteks
pembentukan materi hukum.
1) Proses Penyusunan Prolegnas
Dalam proses penyusunan Prolegnas, penentuan arah
kebijakan dan penyusunan daftar judul dilakukan pemerintah
mapun di DPR RI secara terpisah. Masing-masing, baik
pemerintah maupun DPR, menggalang masukan dari berbagai
pihak. Pemerintah meminta dan menerima masukan dari setiap
kementerian dan non-kementerian yang ada di lingkungan

8
pemerintahan. Sedangkan DPR menggalang masukan dari anggota
DPR, fraksi, komisi, DPD dan masyarakat.
2) Keputusan Prolegnas
Daftar judul RUU yang ada dalam Prolegnas yang
merupakan hasil dari pembahasan bersama antara Pemerintah dan
DPR kemudian ditetapkan di Rapat Paripurna DPR untuk
kemudian dimuat dalam keputusan  DPR RI.
3) Pengajuan RUU diluar Prolegnas
Dalam keadaan tertentu, pemrakarsa RUU (baik itu
Pemerintah atau DPR) dapat mengajukan RUU dari luar daftar
Prolegnas.  Rancangan undang-undang (yang diajukan di luar
Prolegnas) terlebih dahulu disepakati oleh Badan Legislasi dan
selanjutnya Badan Legislasi melakukan koordinasi dengan
menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan
perundang-undangan untuk mendapatkan persetujuan bersama,
dan hasilnya dilaporkan dalam rapat paripurna untuk ditetapkan.
b Tahap Penyusunan
Didalam tahap penyusunan UU, proses penyusunanya dilakukan
mulai dari perencanaan rancangan UU berdasarkan daftar prioritas
Prolegnas. Selanjutnya penyiapan RUU yang diajukan oleh Presiden
atau DPR. Dalam pengajuan RUU, baik yang berasal dari DPR,
Presiden atau DPD harus disertai Naskah Akademik. UU PPP
menjadikan Naskah Akademik sebagai persyaratan dalam pengajuan
sebuah RUU, kecuali terhadap RUU, mengenai:
1)        APBN;
2)        Penetapan Perpu; atau
3)        Pencabutan UU atau pecabutan Perpu; yang cukup disertai
dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan meteri
muatan yang diatur.
Kemudian hal penting yang terkait dengan Naskah Akademik
adalah sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 44 UU PPP bahwa
penyusunan Naskah Akademik yang tercantum dalam Lampiran 1 UU
PPP, sehingga didapatkan formula Naskah Akademik yang sama, baik
dari sisi sistematika, teknis penyusunanya maupun kedalam substansi
yang akan diatur.
Untuk memastikan bahwa penyusunan RUU berjalan baik seusuai
prosedur dan teknik penyusunan perundang-undangan, maka diatur
ketentuan bahwa setiap RUU yang diajukan kepada DPR oleh anggota
DPR, komisi, gabungan komisi, atau DPD harus dilakukan

9
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU oleh
Badan Legislasi DPR RI. Demikian halnya terhadap RUU yang
diajukan oleh Presiden yang penyiapanya dilakukan oleh menteri atau
pimpinan lembaga pemerintahan nonkementerian sesuai dengan lingkup
tugas tanggung jawabnya, dilakukan pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi RUU oleh Menteri Hukum dan HAM.
Ketentuan mengenai pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi RUU didalam Pasal 46 dan 47 UU PPP diatur lebih jelas,
tersetruktur, dan masing-masing terintegrasi didalam peraturan DPR
maupun Perpres tentang tata cara mempersiapkan RUU.
c Tahap Pembahasan
Ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU PPP menjelaskan bahwa
pembahasan RUU dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri
yang ditugasi. Hal ini sesuai bunyi Pasal 20 ayat (2) UUD NKRI Tahun
1945, yakni “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Adapun pelibatan atau
keikutsertaan DPD dalam pembahsan RUU hanya dilakukan apabila
RUU yang dibahas berkaitan dengan:
1)        Otonomi daerah;
2)        Hubungan pusat dan daerah;
3)        Pembentukan, pemekaran, penggabungan daerah;
4)        Pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainya; dan
5)        Perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU dilakukan hanya pada
pembicara tingkat I (Satu), kemudian dalam pembahsan tersebut DPD
diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan RUU
tersebut.
d Tahap Pengesahan
Sesuai ketentuan Pasal 72 PPP bahwa RUU yang telah disetujui
bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR
kepada Peresiden untuk disahkan menjadi UU. Penyampaian RUU
tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Penentuan tenggang waktu
7 (tujuh) hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang
berkaitan dengan teknis penulisan RUU kelembaran resmi Presdiden
sampai dengan penandatangan pengesahan UU oleh Presiden dan
penandatanganan sekaligus pengundangan ke Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI) oleh Mentri Hukum dan HAM.

10
e Tahap Pengundangan
Pengundangan peraturan perundang-undangan didalam UU PPP
tetap dilakuakan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara
Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia,
Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
Penempatan peraturan perundang-undangan didalam Lembaran Negara
Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia hanya
berupa batang tubuh peraturan perundang-undangan an sich. Sementara
penjelasan peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia dimuat dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia. Demikian pula penjelasan peraturan
perundang-undangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik
Indonesia dimuat dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
Untuk melaksanakan pengundangan peraturan perundangan-undangan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara
Republik Indonesia.
f Tahap Penyebarluasan
Penyebaraluasan Prolegnas, RUU, dan UU merupakan kegiatan
untuk memberikan informasi dan/atau memproleh masukan masyarakat
serta para pemangku kepentingan mengenai Prolegnas dan RUU yang
sedang disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat
dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap Prolegnas dan
RUU tersebut atau memahami UU yang telah diundangkan. Kegiatan
penyebarluasan tersebut dilakukan melalui media elektroknik dan/atau
media cetak.
Ketentuan pasal 89 UU PPP lebih progresif dalam penyebarluasan,
bukan hanya kewenagan pemerintah semata, melainkan penyebarluasan
dilakukan secara bersama oleh DPR dan pemerintah. Didalam UU ini
diatur bahwa penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh DPR
dan pemerintah yang dikordinasikan oleh Badan Legislasi DPR.
Penyebarluasan RUU yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh
komisi/panitia/badan/Badan Legislasi DPR. Sementara penyebarluasan
RUU yang berasal dari presiden dilaksankan oleh instansi pemrakarsa.
Demikian halnya terkait ketentuan Pasal 90 UU PPP diatur bahwa
penyebarluasan UU yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI) dilakukan secarara bersama-sama oleh DPR
dan pemerintah. Dalam hal UU yang berkaitan disahkan berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolahan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainya serta yang berkaitan dengan

11
perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka penyebarluasan UU
tersebut dapat dilakukan juga oleh DPD.
B. Peraturan Perundang-Undangan (PERPU)
1. Pengertian
Bagir Manan dan Kuntana Magnar (1987) memberikan pengertian
peraturan perundang-undangan ialah setiap putusan tertulis yang dibuat,
ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga dan/atau pejabat negara yang
mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang
berlaku.
Pengaturan pembentukan peraturan perundang–undangan dalam Undang-
Undang bisa dipertinci sebagai berikut :
a. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan
Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan.
b. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan.
c. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan
bersama Presiden.
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Dari penjabaran diatas dapat kita simpulkan bahawasanya
pembentukan peraturan perundang undangan adalah Peraturan Perundang-
undangan tertulis yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan yang memuat
norma hukum yang dimuat oleh pejabat yang berwenang. Jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; 
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah  Pengganti
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

12
13
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dalam Proses Penyiapan Rancangan Undang-Undang ( RUU ),
terdapat banyak prosedur dan cara dalam membuatnya, Ada Proses
penyiapan RUU dari pemerintah, yang mana berdasarkan prolegnas yaitu
tidak memerlukan izin pemrakarsa dari presiden. Namun, secara berkala,
pemrakarsa melaporkan persiapan dari penyusunan RUU tersebut kepada
presiden. Dan juga di luar dari prolegnas yaitu sama dengan Prolegnas
tetapi ada tahapan awal yang wajib dijalankan sebelum masuk dalam
tahapan penyusunan undang-undang sebagaimana diuraikan sebelumnya.
Tahapan awal ini dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian,
pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU yang telah disiapkan oleh
pemrakarsa. Proses ini dilakukan melalui metode konsultasi antara
pemrakarsa dengan Menhukham.
Ada juga Proses Penyiapan RUU dari DPR-RI yang mana harus
telah disetujui dulu oleh presiden lalu disampaikan kepada DPR-RI Untuk
pembahasan, Proses ini diawali dengan penyampaian surat presiden yang
disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada pimpinan DPR guna
menyampaikan RUU disertai dengan keterangan pemerintah mengenai
RUU yang dimaksud. Dalam Pembentukan Proses Penyiapan RUU Juga
memerlukan asas-asas yang baik sebagaimana yang telah diatur di dalam
Pasal 5 dan 6 UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.

14
Daftar Pustaka

Aziz Syamsyudin. Proses dan Teknik Penyusunan Undang - Undang, Jakarta


Timur; Sinar Grafik (2014)
Erni Setyowati dan M. Nur Sholikin, Bagaimana Undang-Undang
Dibuat,  sebuah artikel, diunduh dari http://pengacaraku.com/site/legal-
articles/75-bagaimana-undang-undang-dibuat-.html di Akses pada pukul
19.55 Tanggal 26 Maret 2017
Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-undangan 2. Yogyakarta: Kanisius
Penjelasan Pasal 5 yang dikutip dari  http://artonang.blogspot.co.id/2015/01/asas-
asas-pembentukan-peraturan.html di Akses pada Pukul 20.00 Tanggal 26
Maret 2017
Republik Indonesia.2011. Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan.Lembaran Negara RI
Tahun 2011, No.82. Tambahan Lembaran Negara RI
No.5234. Sekretariat Negara. Jakarta.
Yani, Ahmad, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang
Responsif, Jakarta: Konstitusi Press (2013).
Yuliandri. Asas Asas Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan Yang
Baik. Jakarta: RajaGrafindo Persada (2010)

15

Anda mungkin juga menyukai