Anda di halaman 1dari 7

Nama : Alifha Salsabilla

Npm : 412118015
Kelas : 2A (D4-TLM)

HIV (Human Immunodeficiency Virus)


A. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat menyebabkan AIDS.
HIV termasuk keluarga virus retro yaitu virus yang memasukan materi genetiknya ke dalam sel
tuan rumah ketika melakukan cara infeksi dengan cara yang berbeda (retro), yaitu dari RNA
menjadi DNA, yang kemudian menyatu dalam DNA sel tuan rumah, membentuk pro virus dan
kemudian melakukan replikasi.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan dampak atau efek dari
perkembang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Virus HIV membutuhkan waktu
untuk menyebabkan sindrom AIDS yang mematikan dan sangat berbahaya. Penyakit AIDS
disebabkan oleh melemah atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh yang tadinya dimiliki
karena sel CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusak oleh Virus HIV.

B. Patogenesis
Partikel-partikel virus HIV yang akan memulai proses infeksi biasanya terdapat di dalam
darah, sperma atau cairan tubuh lainnya dan dapat menyebar melalui sejumlah cara. Cara yang
paling umum adalah transmisi seksual melalui mukosa genital. Keberhasilan transmisi virus itu
sendiri sangat bergantung pada viral load individu yang terinfeksi. Viral load ialah perkiraan
jumlah copy RNA per mililiter serum atau plasma penderita. Apabila virus ditularkan pada inang
yang belum terinfeksi, maka akan terjadi viremia transien dengan kadar yang tinggi, virus
menyebar luas dalam tubuh inang. Sementara sel yang akan terinfeksi untuk pertama kalinya
tergantung pada bagian mana yang terlebih dahulu dikenai oleh virus, bisa CD4+sel T dan
manosit di dalam darah atau CD4+ sel T dan makrofag pada jaringan mukosa.
Ketika HIV mencapai permukaan mukosa, maka ia akan menempel pada limfosit-T
CD4+ atau makrofag (atau sel dendrit pada kulit). Setelah virus ditransmisikan secara seksual
melewati mukosa genital, ditemukan bahwa target selular pertama virus adalah sel dendrit
jaringan (dikenal juga sebagai sel Langerhans) yang terdapat pada epitel servikovaginal, dan
selanjutnya akan bergerak dan bereplikasi di kelenjar getah bening setempat. Sel dendritik ini
kemudian berfusi dengan limfosit CD4+ yang akan bermigrasi kedalam nodus limfatikus melalui
jaringan limfatik sekitarnya. Dalam jangka waktu beberapa hari sejak virus ini mencapai nodus
limfatikus regional, maka virus akan menyebar secara hematogen dan tinggal pada berbagai
kompartemen jaringan. Nodulus limfatikus maupun ekuivalennya (seperti plak Peyeri pada usus)
pada akhirnya akan mengandung virus. Selain itu, HIV dapat langsung mencapai aliran darah dan
tersaring melalui nodulus limfatikus regional. Virus ini bereproduksi dalam nodus limfatikus dan
kemudian virus baru akan dilepaskan. Sebagian virus baru ini dapat berikatan dengan limfosit
CD4+ yang berdekatan dan menginfeksinya, sedangkan sebagian lainnya dapat berikatan dengan
sel dendrit folikuler dalam nodus limfatikus.
Fase penyakit HIV berhubungan dengan penyebaran virus dari tempat awal infeksi ke
jaringan limfoid di seluruh tubuh. Dalam jangka waktu satu minggu hingga tiga bulan setelah
infeksi, terjadi respons imun selular spesifik HIV. Respons ini dihubungkan dengan penurunan
kadar viremia plasma yang signifikan dan juga berkaitan dengan awitan gejala infeksi HIV akut.
Selama tahap awal, replikasi virus sebagian dihambat oleh respons imun spesifik HIV ini, namun
tidak pernah terhenti sepenuhnya dan tetap terdeteksi dalam berbagai kompartemen jaringan,
terutama jaringan limfoid. Sitokin yang diproduksi sebagai respons terhadap HIV dan mikroba
lain dapat meningkatkan produksi HIV dan berkembang menjadi AIDS.
Sementara itu sel dendrit juga melepaskan suatu protein manosa yang berikatan dengan
lektin yang sangat penting dalam pengikatan envelope HIV. Sel dendrit juga berperan dalam
penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Pada jaringan limfoid sel dendrit akan melepaskan HIV ke
CD4+ sel T melalui kontak langsung sel ke sel. Dalam beberapa hari setelah terinfeksi HIV, virus
melakukan banyak sekali replikasi sehingga dapat dideteksi pada nodul limfatik. Replikasi
tersebut akan mengakibatkan viremia sehingga dapat ditemui sejumlah besar partikel virus HIV
dalam darah penderita. Keadaan ini dapat disertai dengan sindrom HIV akut dengan berbagai
macam gejala klinis baik asimtomatis maupun simtomatis. Viremia akan menyebabkan
penyebaran virus ke seluruh tubuh dan menyebabkan infeksi sel T helper, makrofag, dan sel
dendrit di jaringan limfoid perifer.
Infeksi ini akan menyebabkan penurunan jumlah sel CD4+ yang disebabkan oleh efek
sitopatik virus dan kematian sel. Jumlah sel T yang hilang selama perjalanan dari mulai infeksi
hingga AIDS jauh lebih besar disbanding jumlah sel yang terinfeksi, hal ini diduga akibat sel T
yang diinfeksi kronik diaktifkan dan rangsang kronik menimbulkan apoptosis. Sel dendritik yang
terinfeksi juga akan mati.
Penderita yang telah terinfeksi virus HIV memiliki suatu periode asimtomatik yang
dikenal sebagai periode laten. Selama periode laten tersebut virus yang dihasilkan sedikit dan
umumnya sel T darah perifer tidak mengandung virus, tetapi kerusakan CD4+ sel T di dalam
jaringan limfoid terus berlangsung selama periode laten dan jumlah CD4+ sel T tersebut terus
menurun di dalam sirkulasi darah. Pada awal perjalanan penyakit, tubuh dapat cepat
menghasilkan CD4+ sel T baru untuk menggantikan CD4+ sel T yang rusak. Tetapi pada tahap
ini, lebih dari 10% CD4+ sel T di organ limfoid telah terinfeksi. Seiring dengan lamanya
perjalanan penyakit, siklus infeksi virus terus berlanjut yang menyebabkan kematian sel T dan
penurunan jumlah CD4+ sel T di jaringan limfoid dan sirkulasi.
Selama fase lanjutan (kronik) infeksi HIV ini penderita akan rentan terhadap infeksi lain
dan respons imun terhadap infeksi ini akan merangsang produksi virus HIV dan kerusakan
jaringan limfoid semakin menyebar. Progresivitas penyakit ini akan berakhir pada tahap yang
mematikan yang dikenal sebagai AIDS. Pada keadaan ini kerusakan sudah mengenai seluruh
jaringan limfoid dan jumlah CD4+ sel T dalam darah turun di bawah 200 sel/mm3 (normal 1.500
sel/mm3). Penderita AIDS dapat mengalami berbagai macam infeksi oportunistik, keganasan,
cachexia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (HIV nefropati), dan degenerasi susunan saraf
pusat (AIDS ensefalopati). Oleh karena CD4+ sel T sangat penting dalam respons imun selular
dan humoral pada berbagai macam mikroba, maka kehilangan sel limfosit ini merupakan alasan
utama mengapa penderita AIDS sangat rentan terhadap berbagai macam jenis infeksi.

C. Epidemiologi
Epidemi HIV/AIDS merupakan krisis global dan tantangan yang berat bagi pembangunan
dan kemajuan sosial (ILO, 2005). Pada tahun 2008, diseluruh dunia, diperkirakan 33 juta orang
hidup dengan HIV. Setiap harinya terdapat 7.400 infeksi baru HIV 96% dari jumlah tersebut
berada di negara dengan pendapatan menengah ke bawah. Daerah subsahara di Afrika merupakan
daerah dengan prevalens HIV terbesar, mencakup 67% dari jumlah keseluruhan orang yang hidup
dengan HIV. Daerah Asia Tenggara, termasuk di dalamnya Asia Selatan, merupakan daerah
nomor dua terbanyak kasus HIV dengan jumlah penderita 3,6 juta orang, 37% dari jumlah
tersebut merupakan wanita. Indonesia merupakan satu dari lima negara dengan jumlah penderita
HIV yang besar selain Thailand, Myanmar, Nepal, dan India (HTA, 2010).
Tingkah laku, kehidupan sosial dan budaya yang berbeda menentukan karakteristik
penyakit HIV di setiap daerah. Transmisi HIV dapat melalui 3 jalur : hubungan seksual,
heterosexual, homoseksual yang tidak aman; melalui produk darah; dan transmisi vertikal ibu ke
anak (vertical mother to child transmission). 65% infeksi dihasilkan oleh pasangan heteroseksual
yang tidak menggunakan kondom. Data - data WHO mengenai HIV/AIDS menunjukkan 2011
menunjukkan sekitar 34 juta manusia pada tahun 2011 di seluruh dunia hidup dengan HIV/AIDS
dengan angka kematian mencapai 1,7 juta manusia. Data WHO 2011 menunjukkan 3,3 juta anak
dibawah usia 15 tahun di seluruh dunia hidup dengan HIV/AIDS, sedangkan pada wilayah Asia
Tenggara kasus HIV/AIDS pada anak usia dibawah 15 tahun mencapat 140.000 kasus.1 Kasus
HIV/AIDS di Indonesia mencapai angka 380.000 pasien dengan kasus wanita diatas umur 15
tahun mencapai 110.000 kasus.2 Data mengenai kasus HIV/AIDS pada ibu hamil ataupun anak
dibawah usia 15 tahun belum dilaporkan. Tingginya angka kejadian HIV/AIDS pada wanita usia
diatas 15 tahun ditakutkan tingginya angka HIV/AIDS pada ibu hamil.

D. Respon Imun
Human Immunodeficiency Virus terutama menginfeksi limfosit CD4 atau T helper (Th),
sehingga dari waktu ke waktu jumlahnya akan menurun, demikian juga fungsinya akan semakin
menurun. Th mempunyai peranan sentral dalam mengatur sistem imunitas tubuh. Bila teraktivasi
oleh antigen, Th akan merangsang baik respon imun seluler maupun respon imun humoral,
sehingga seluruh sistem imun akan terpengaruh. Namun yang terutama sekali mengalami
kerusakan adalah system imun seluler. Jadi akibat HIV akan terjadi gangguan jumlah maupun
fungsi Th yang menyebabkan hampir keseluruhan respon imunitas tubuh tidak berlangsung
normal.
a. Imunitas Seluler
Untuk mengatasi organisme intra seluler seperti parasit, jamur dan bakteri
intraseluler yang paling diperlukan adalah respon imunitas seluler yang disebut Cell
Mediated Immunity (CMI). Fungsi ini dilakukan oleh sel makrofag dan CTLs (cytotoxic
T Lymphocyte atau TC), yang teraktivasi oleh sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4.
Demikian juga sel NK (Natural Killer), yang berfungsi membunuh sel yang terinfeksi
virus atau sel ganas secara direk non spesifik, disamping secara spesifik membunuh sel
yang di bungkus oleh antibody melalui mekanisme antibody dependent cell mediated
cytotoxicity (ADCC). Mekanisme ini tidak berjalan seperti biasa akibat HIV. Sel Th :
Jumlah dan fungsinya akan menurun. Pada umumnya penyakit indikator AIDS tidak
terjadi sebelum jumlah CD4 mencapai 200/uL bahkan sebagian besar setelah CD4
mencapai 100/uL. Makrofag : Fungsi fagositosis dan kemotaksisnya menurun, termasuk
juga kemampuannya menghancurkan organisme intra seluler, misalnya kandida albikans
dan toksoplasma gondii. Sel Tc : Kemampuan sel T sitotoksik untuk menghancurkan sel
yang terinfeksi virus menurun, terutama pada infeksi stadium lanjut, sehingga terjadi
reaktivasi virus yang tadinya laten, seperti herpes zoster dan retinitis sitomegalo.
Demikian juga sering terjadidifferensiasi sel ke arah keganasan atau malignansi. Sel NK :
Kemampuan sel NK untuk menghancurkan secara langsung antigen asing dan sel yang
terinfeksi virus juga menurun. Belum diketahui dengan jelas apa penyebabnya,
diperkirakan kemungkinan karena kurangnya IL-2 atau efek langsung HIV.
b. Imunitas Humoral
Imunitas humoral adalah imunitas dengan pembentukan antibodi oleh sel plasma
yang berasal dari limfosit B, sebagai akibat sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4
yang teraktivasi. Sitokin IL-2, BCGF (B cell growth factors) dan BCDF (B cell
differentiation factors) akan merangsang limfosit B tumbuh dan berdifferensiasi menjadi
sel Plasma. Dengan adanya antibody diharapkan akan meningkatkan daya fagositosis dan
daya bunuh sel makrofag dan neutrofil melalui proses opsonisasi . HIV menyebabkan
terjadi stimulasi limfosit B secara poliklonal dan non-spesifik, sehingga terjadi
hipergammaglobulinaemia terutama IgA dan IgG. Disamping memproduksi lebih banyak
immunoglobulin, limfosit B pada odha (orang dengan infeksi HIV/AIDS) tidak memberi
respon yang tepat Terjadi perubahan dari pembentukan antibodi IgM ke antibodi IgA dan
IgG. Infeksi bakteri dan parasit intrasel menjadi masalah berat karena respons yang tidak
tepat, misalnya reaktivasi Toxoplasma gondii atau CMV tidak direspons dengan
pembentukan immunoglobulin M (IgM).

E. Pemeriksaan Laboratorium
Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV dibagi dalam dua kelompok
yaitu :
a. Uji Imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan digunakan
sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme – linked
immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji Western blot
atau indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk memperkuat hasil reaktif
dari test skrining.
Uji yang menentukan perkiraan abnormalitas sistem imun meliputi jumlah dan
persentase CD4+ dan CD8+ T-limfosit absolute. Uji ini sekarang tidak digunakan untuk
diagnose HIV tetapi digunakan untuk evaluasi.

Deteksi Antibodi HIV :


Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi HIV. ELISA
dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel darah yang sama, dan hasilnya
dikonfirmasikan dengan Western Blot atau IFA (Indirect Immunofluorescence Assays).
Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan tes konfirmasi lanjutan, walaupun pada
pasien yang terinfeksi pada masa jendela (window period), tetapi harus ditindak lanjuti
dengan dilakukan uji virologi pada tanggal berikutnya. Hasil negatif palsu dapat terjadi
pada orang-orang yang terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan antibodi melawan
HIV-1 (yaitu, dalam 6 (enam) minggu pertama dari infeksi, termasuk semua tanda-tanda
klinik dan gejala dari sindrom retroviral yang akut. Positif palsu dapat terjadi pada
individu yang telah diimunisasi atau kelainan autoimune, wanita hamil, dan transfer
maternal imunoglobulin G (IgG) antibodi anak baru lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1.
Oleh karena itu hasil positif ELISA pada seorang anak usia kurang dari 18 bulan harus di
konfirmasi melalui uji virologi (tes virus), sebelum anak dianggap mengidap HIV-1.

Rapid test :
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibody terhadap
HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot (dipstik),
imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi
dengan Western blot atau IFA.

Western blot :
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid tes
sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan antibodi
yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western blot dilakukan
hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid tes). Hasil
negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau rapid tes dinyatakan
sebagai hasil positif palsu dan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western
blot positif menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih
dari 18 bulan.

Indirect Immunofluorescence Assays (IFA) :


Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan
sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan penambahan
fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jika berada pada sampel. Jika slide
menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif), yang menunjukkan
keberadaan antibodi HIV-1.
b. Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes amplifikasi
asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk menemukan asam
nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk komponen virus (seperti uji
untuk protein kapsid virus (antigen p24)).

Kultur HIV :
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam
plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji
cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse transcriptase virus atau
untuk antigen spesifik virus.
Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan untuk diagnosis pada
anak usia kurang dari 18 bulan. Karena asam nuklet virus mungkin berada dalam jumlah
yang sangat banyak dalam sampel. Pengujian RNA dan DNA virus dengan amplifikasi
PCR, menggunakan metode enzimatik untuk mengamplifikasi RNA HIV-1. Level RNA
HIV merupakan petanda prediktif penting dari progresi penyakit dan menjadi alat bantu
yang bernilai untuk memantau efektivitas terapi antivirus.

Uji antigen p24 :


Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24 atau dalam
keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada umumnya uji
antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA atau DNA HIV karena
kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat dengan peningkatan teknik yang
digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibody anti-p24 (Read, 2007).

Anda mungkin juga menyukai