NPM : 412118015
Kelas : 2A (D4-TLM)
Thalasemia merupakan kelainan genetik yang disebabkan adanya mutasi gen penyandi
rantai globin, yaitu gen HBA yang menyandi α globin atau gen HBB yang menyandi β globin
(Galanello, 2010). Thalasemia disebabkan oleh penurunan kecepatan sintesis atau kemampuan
produksi satu atau lebih rantai globin α dan β. Hal ini terjadi karena delesi total atau parsial,
substitusi, atau insersi nukleotida gen globin. Beta thalasemia adalah kelainan darah herediter yang
ditandai dengan berkurangnya kadar haemoglobin akibat sintesis rantai globin yang tidak
seimbang. Kondisi tersebut menyebabkan anemia dan harus di lakukan penanganan melalui
transfuse darah secara teratur agar keadaan kembali normal. Penderita thalassemia yang
melakukan transfusi darah secara rutin dapat meningkatkan zat besi dalam tubuh
(Weatherall,1997).
Peningkatan jumlah penyandang β-thalasemia di Indonesia terus terjadi setiap tahun,
sehingga diperlukan strategi untuk menekan populasi penyandang. Strategi global World Health
Organization (WHO) dalam mengurangi jumlah populasi penyandang kelainan genetik meliputi
skrining massal, skrining individu yang mempunyai riwayat thalasemia pada keluarga, skrining
premarital, diagnosis prenatal, dan terminasi kehamilan. Skrining pembawa sifat kelainan genetik
ini sangat efektif, sebagaimana di Israel yang mampu menekan prevalensi lahirnya bayi
thalassemia dari 13 bayi per 10.000 kelahiran per tahun menjadi 5 bayi per 10.000.
Pembawa sifat β-thalasemia tidak dapat dilihat secara fisik, karena fenotipnya normal.
Salah satu cara yang sering digunakan untuk mengetahui pembawa sifat beta-thalasemia adalah
dengan analisis hematologi. Pembawa sifat beta-thalasemia dapat dilihat dengan gejala mikrositik
dan penurunan jumlah Hb pada eritrosit (Cao dan Galanello,2010). Namun metode ini masih
dimungkinkan terjadi kesalahan jika terdapat berbagai macam kelainan hematologis pada populasi
tersebut sebagaimana yang pernah terjadi di Sardinia. Diagnosis molekuler akhirnya
dikembangkan untuk menyempurnakan deteksi pembawa sifat thalasemia.
Polymerase chain reaction-single strand conformation polymorphism (PCR-SSCP) telah
dikembangkan untuk mendeteksi mutasi pada banyak kasus, baik pada manusia maupun hewan.
Deteksi menggunakan PCR-SSCP dapat melihat perubahan satu sekuens basa nukleotida melalui
migrasi pita DNA pada elektroforesis dengan gel poliakrilamid. PCR-SSCP selain dapat sensitif
mendeteksi adanya mutasi pada DNA, juga tidak menggunakan unsur radioaktif dan mudah untuk
diaplikasikan. Metode PCR-SSCP sebagai metode untuk mendeteksi mutasi pada pasien beta-
thalasemia mayor. Analisis PCR-SSCP terhadap individu beta-thalasemia menunjukan adanya
mutasi pada gen beta globin (Priyambodo, 2014).
Hasil amplifikasi region gen beta globin DNA sampel diamplifikasi sesuai dengan
region target. Penelitian ini mengacu pada pembagian region berdasarkan Gupta and
Argawal (2003) dengan hanya 3 region saja yang digunakan yaitu region I, II dan IV.
Pemilihan 3 region ini didasarkan atas keberadaan daerah ekson pada ketiga region
tersebut. Mutasi yang terjadi pada ekson dapat menyebabkan kesalahan translasi pada
sintesis asam amino sehingga dapat memberikan efek secara langsung pada rantai beta
globin yang disintesis, pada penelitian ini difokuskan pada region II yang didalamnya
terdapat ekson 2. Proses amplifikasi atau perbanyakan DNA dilakukan dengan metode
PCR.
Pada gambar 2 menunjukkan hasil amplifikasi dari region IV gen beta globin.
Region IV merupakan hasil amplifikasi dari primer forward 8 dan primer reverse 9 dengan
target yaitu 214 bp. Region ini mencakup sebagian daerah intron 2, seluruh daerah ekson
III dan sebagian daerah 3’ UTR.
Single Strand Conformation Polymorphism atau SSCP merupakan teknik untuk
mendeteksi mutasi gen. SSCP digunakan untuk melihat pola migrasi untai tunggal DNA
pada gel poliakrilamid. Setiap amplikon DNA pada region IV dipisahkan dalam gel
poliakirlamid selanjutnya diwarnai dengan ethidium bromide.
Pada region IV gen beta globin yang telah dilakukan analisis SSCP, seluruh sampel
dan sampel K+ menunjukkan dua pita dengan pola yang sama dengan kontrol negative
(sampel N). Hal ini menunjukkan berdasarkan analisis SSCP tidak ditemukan indikasi
mutase pada sekuen region tersebut.
Gambar 3 Hasil SSCP region IV gen beta globin pada sampel pola pita pada gel poliakrilamid
Kesimpulan :
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa metode PCR-
SSCP dapat mengetahui jenis dan letak mutasi pada ekson 2 gen β globin dari pasien β
thalassemia. Hasil analisis sampel menunjukkan indikasi mutase pada sampel 1,2,3,6 dan
tidak terdapat mutasi pada sampel 5.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa metode PCR-
SSCP tidak mendapatkan mutasi pada region IV dan pada ke lima sampel tidak terjadi
mutase gen pada daerah ekson 3 tapi dimungkinkan terjadi mutasi diregion lainya.
Daftar Pustaka
Febrianto Yahya, dkk. (2017). Deteksi Molekuler Ekson 2 Gen Beta Globin pada Pasien Beta
Talasemia Mayor di RSUD DR. Soeroto Ngawi menggunakan Metode Polymerase Chain
Reaction- Single Strand Conformation Polimorfism. Jurnal Farmasi Indonesia, 1- 12.
Huda Choirul, dkk. (2019). Deteksi Molekuler Ekson 3 Gen Beta Globin pada Pasien Beta
Talasemia Mayor di RSUD DR. Soeroto Ngawi menggunakan Metode Polymerase Chain
Reaction- Single Strand Conformation Polimorfism. Jurnal Farmasi Indonesia, 24- 33.
Priyambodo dan Handayani Niken Satuti Nur. (2014). DETEKSI MUTASI EKSON 2 GEN β-
GLOBIN DAN DAERAH PENGAPITNYA PADA PEMBAWA SIFAT β-
THALASSEMIA DENGAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION-SINGLE
STRAND CONFORMATION POLYMORPHISM (PCR-SSCP). Prosiding Seminar
Nasional dan Rapat Tahunan Bidang MIPA, 276-282.