Anda di halaman 1dari 10

Nama : Alifha Salsabilla

Npm : 412118015
Kelas : 2A (D4-TLM)

Salmonella typhi
A. PENDAHULUAN
Salmonella typhi (S. typhi) merupakan kuman pathogen penyebab demam tifoid,
yaitu suatu penyakit infeksi sistemik dengan gambaran demam yang berlangsung lama,
adanya bakteremia disertai inflamasi yang dapat merusak usus dan organ-organ hati.

S. typhi merupakan kuman batang Gram negatif, yang tidak memiliki spora,
bergerak dengan flagel peritrik, bersifat intraseluler fakultatif dan anerob fakultatif.
Ukurannya berkisar antara 0,7- 1,5 X 2-5 pm,memiliki antigen somatik (O), antigen
flagel (H) dengan 2 fase dan antigen kapsul (Vi).
Kuman ini tahan terhadap selenit dan natrium deoksikolat yang dapat membunuh
bakteri enterik lain, menghasilkan endotoksin, protein invasin dan MRHA (Mannosa
Resistant Haemaglutinin). S. typhi mampu bertahan hidup selama beberapa bulan sampai
setahun jika melekat dalam, tinja, mentega, susu, keju dan air beku. S. typhi adalah
parasit intraseluler fakultatif, yang dapat hidup dalam makrofag dan menyebabkan gejala-
gejala gastrointestinal hanya pada akhir perjalanan penyakit, biasanya sesudah demam
yang lama, bakteremia dan akhirnya lokalisasi infeksi dalam jaringan limfoid sub mukosa
usus kecil.

B. PATOGENESIS
Salmonella typhi merupakan bakteri yang dapat hidup di dalam tubuh manusia.
Manusia yang terinfeksi bakteri Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui
sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang bervariasi. Patogenesis
demam tifoid melibatkan 4 proses mulai dari penempelan bakteri ke lumen usus, bakteri
bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, bertahan hidup di aliran darah dan
menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke lumen
intestinal. Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam
tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam banyak bakteri
yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus, melekat pada sel mukosa
kemudian menginvasi dan menembus dinding usus tepatnya di ileum dan jejunum. Sel M,
sel epitel yang melapisi Peyer’s patch merupakan tempat bertahan hidup dan multiplikasi
Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus menimbulkan tukak pada
mukosa usus. Tukak dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Kemudian
mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi
sistemik sampai ke jaringan Reticulo Endothelial System (RES) di organ hati dan limpa.
Setelah periode inkubasi, Salmonella Typhi keluar dari habitatnya melalui duktus
torasikus masuk ke sirkulasi sistemik mencapai hati, limpa, sumsum tulang, kandung
empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Ekskresi bakteri di empedu dapat
menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui feses. Endotoksin merangsang
makrofag di hati, limpa, kelenjar limfoid intestinal dan mesenterika untuk melepaskan
produknya yang secara lokal menyebabkan nekrosis intestinal ataupun sel hati dan secara
sistemik menyebabkan gejala klinis pada demam tifoid. Penularan Salmonella typhi
sebagian besar jalur fekal oral, yaitu melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh
bakteri yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama
dengan feses. Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada pada keadaan bakterimia kepada bayinya.
C. EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid adalah infeksi enterik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
enterica serovar Typhi (S. Typhi). Manusia adalah satu-satunya reservoir untuk
Salmonella Typhi dengan penularan penyakit yang terjadi melalui rute fecal-oral,
biasanya melalui konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi oleh kotoran manusia.
Diperkirakan 17 juta kasus penyakit demam tifoid terjadi secara global pada tahun 2015
terutama di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika sub-Sahara, dengan beban dan
insiden terbesar yang terjadi di Asia Selatan. Tanpa diobati, demam mungkin fatal
dengan 178.000 kematian diperkirakan di seluruh dunia pada tahun 2015.
Insiden demam tifoid bervariasi berdasarkan usia. Di negara-negara endemik,
insiden tertinggi terjadi pada anak-anak yang lebih muda, sedangkan kejadian serupa di
semua kelompok usia di pengaturan beban rendah. Sebuah studi dari tahun 2004
menggunakan data dari penelitian yang diterbitkan untuk mengekstrapolasikan tingkat
kejadian berdasarkan kelompok usia dan melaporkan insiden tertinggi pada anak-anak di
bawah usia 5 tahun dalam pengaturan insiden tinggi. Perkiraan model dari 2015 Global
Burden of Disease study (GBD 2015) menunjukkan tifus tingkat insiden demam menurun
seiring pertambahan usia. Selanjutnya, hasil dari studi DOMI yang dilakukan di lima
negara endemik menunjukkan heterogenitas substansial pada insiden demam tifoid di
seluruh kelompok usia. Heterogenitas di seluruh kelompok usia diamati di semua situs
studi DOMI dan situs dari Program Pengamatan Demam Tifoid di Afrika.

(Peta kematian yang disebabkan tifoid)


D. RESPON IMUN
Sistem imun adalah suatu sistem pertahanan tubuh yang kompleks dalam
memberikan perlindungan terhadap zat-zat asing yang menginvasi tubuh. Salmonella
typhi merupakan zat asing yang di respon oleh tubuh. Respons imun terhadap Salmonella
typhi meliputi sistem imun spesifik dan sistem imun nonspesifik. Sistem imun non
spesifik (natural) merupakan pertahanan terdepan dan memberikan respon langsung.
Respon imun nonspesifik dimulai dari barier fisik seperti kulit, selaput lendir, silia
pernapasan, pertahanan biokimia lalu dilanjutkan dengan pengenalan komponen bakteri
seperti LPS dan DNA, diikuti dengan pengambilan dan penghancuran bakteri oleh sel
fagosit yang memfasilitasi proteksi host terhadap infeksi. Peran ini dilakukan oleh
makrofag, sel NK dan neutrofil. Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk
mengenal benda yang dianggap asing. Sistem imun spesifik terdiri dari sistem imun
humoral dan sistem imun seluler. Sistem imun spesifik humoral terutama diperankan oleh
sel B atau Limfosit B, sedangkan sistem imun spesifik seluler diperankan oleh sel T.
Seleksi merupakan proses pematangan limfosit. Seleksi pematangan primer terjadi dalam
organ limfoid primer. Interaksi dengan molekul MHC dilakukan untuk menyeleksi sel.
Limfosit dengan seleksi positif akan masuk ke jaringan limfoid perifer (sekunder) untuk
selanjutnya berproliferasi dan menjadi matang.
Sel plasma dapat membentuk antibodi karena sel B dirangsang oleh benda asing
sehingga sel B berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang. Fungsi utama antibodi
adalah sebagai pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus dan bakteri serta
menetralisasi toksinnya.
Sel T terdiri dari beberapa sel dengan fungsi yang berlainan, yaitu Th1, Th2, T
delayed type hypersensitivity, Cytotoxic T lymphocyte (CTL) atau Tcytotoxic dan Ts
(supresor) atau Th3. Th1 dan Tdth berperan dalam reaksi hipersensitivitas lambat. Th2
merangsang sel B untuk meningkatkan produksi antibodi. CTL berfungsi membunuh sel
yang terinfeksi. Ts berfungsi menekan aktivitas sel efektor T yang lain dan sel B. Fungsi
utama sistem imun spesifik seluler adalah pertahanan terhadap bakteri yang hidup
intraseluler, virus, jamur, parasit dan keganasan. Sel CD4+ yang mengaktifkan sel Th1
yang selanjutnya mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba dan sel CD8+
yang membunuh sel terinfeksi.
Sel T diperlukan untuk ekspresi penuh imunitas terhadap bakteri intraseluler.
Aktivasi dan diferensiasi sel B dibantu oleh sel T dengan Cluster designation 4 (CD4).
Proteksi utama respons imun spesifik terhadap bakteri intraseluler berupa imunitas
seluler, yang terdiri atas dua tipe reaksi, yaitu aktivasi makrofag oleh sel CD4+Th1 dan
lisis sel terinfeksi oleh CD8+/CTL. Makrofag yang diaktifkan dapat pula menimbulkan
kerusakan jaringan berupa granuloma yang terjadi pada DTH terhadap protein mikroba.
CD4+ memberikan respons terhadap peptide antigen-MHC-II yang mengaktifkan
makrofag untuk menghancurkan mikroba dalam fagosom sementara CD8+ memberikan
respons terhadap peptide-MHC-I yang berasal dari antigen sitosol dan membunuh sel
terinfeksi.
Pembelahan limfosit akan terjadi jika terdapat respon dari antigen serta faktor
pertumbuhan yang disekresikan oleh limfosit yang teraktivasi dan sel-sel imun lain.
Limfosit akan berdiferensiasi menjadi sel efektor dan sel memori. Sel efektor, misalnya
sel Th, CTL dan sel B yang mesekresi antibodi. Beberapa dari sel T dan sel B juga
membentuk sel memori.

E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Kultur Bakteri
Kultur adalah metode mengembangbiakan bakteri dalam suatu media.
Pada umumnya Salmonella tumbuh dalam media pepton ataupun kaldu ayam
tanpa tambahan natrium klorida atau suplemen yang lain. Media kultur yang
sering digunakan adalah agar Mac Conkey (Sheikh,A.,2011). Media lain seperti
agar EMB (eosine methylene blue), Mac Conkey atau medium deoksikholat dapat
mendeteksi adanya lactose non-fermenter sepeti bakteri Salmonella typhi dengan
cepat. Namun bakteri yang tidak memfermentasikan laktosa tidak hanya
dihasilkan oleh Salmonella, tetapi juga Shigella, Proteus, Serratia, Pseudomonas,
dan beberapa bakteri gram negatif lainnya. Untuk mendeteksiS. typhi dengan
cepat dapat pula mempergunakan medium bismuth sulfit.
Untuk lebih spesifik, isolasi dapat dilakukan pada medium selektif, seperti
agar Salmonella-shigella (agar SS) ataupun agar enteric Hectoen yang baik untuk
pertumbuhan Salmonella dan Shigella. Media pembiakan yang direkomendasikan
untuk S. typhi adalah media empedu (gall) dari sapi, yang mana media gall ini
dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang
dapat tumbuh pada media tersebut. Pada media SSA (Salmonella Shigella Agar)
S. typhi akan membentuk koloni hitam (black jet) karena bakteri ini menghasilkan
H2S (Sucipta,A.,2015).

2. Tes Widal
Pemeriksaan serologi ini bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi
(didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi / paratyphi
(reagen).Pemeriksaan ini sebagai dikategorikan pemeriksaan penunjang dalam hal
menegakkan diagnosis.Pemeriksaan dengan uji widal dilakukan dengan
mendeteksi adanya antibodi aglutinin dalam serum pasien yang terinfeksi bakteri
Salmonella pada antigen yang berada pada flagela (H) dan badan bakteri (O).
Hasil positif dengan pemeriksaan ini lebih spesifik dengan ditunjukkannya titer
aglutinin sebesar sebesar ≥1/200 (Meta,S.,2013). Karena mempergunakan reaksi
aglutinasi, maka akan tidak bermakna apabila dilakukan secara single test. Akan
lebih bermakna bila dilakukan pemeriksaan widal sebanyak dua kali yaitu pada
fase akut dan 7-10 hari setelah fase tersebut. Sebab, aglutinin O dan H secara
signifikan meningkat kurang lebih 8 hari setelah onset demam hari pertama. Jika
peningkatan titer terjadi sebanyak empat kali, maka hasilnya positif secara
signifikan (Meta,S.,2013).

3. Uji Tubex
Tes tubex adalah salah satu dari uji serologis yang menguji aglutinasi
kompetitif semikuantitatif untuk mendeteksi adanya antibodi IgM terhadap
antigen lipopolisakarida (LPS) O-9 S.typhi dan tanpamendeteksi IgG. Tes tubex
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji widal
(Keddy,K,et al.2011). Sensitivitasnya dapat ditingkatkan dengan mempergunakan
partikel berwarna, sedangkan spesifisitasnya ditingkatkan dengan penggunaan
antigen O-9. Antigen ini spesifik dan khas pada Salmonella serogrup D yakni
Salmonella typhi (Pratama, I. dan Lestari, A.,2015).
Tes ini dikategorikan pemeriksaan yang ideal dan dapat dipergunakan
untuk pemeriksaan rutin karena prosesnya cepat, akurat, mudah dan sederhana
(Septiawan,I.,dkk.,2013). Respon terhadap antigen O-9 terjadi secara cepat
dikarenakan antigen O-9 bersifat imunodominan yang dapat merangsang respon
imun, sehingga deteksi antigen O-9 dapat dilakukan mulai dari hari ke-4 hingga
ke-5 (infeksi primer) dan hari ke- 2 hingga ke-3 (infeksi sekunder) ( Pratama, I.
dan Lestari, A.,2015).
Tes tubex menggunakan pemisahan partikel-partikel untuk mendeteksi
antibodi IgM dari seluruh serum pada antigen serotypetyphi O-9
lipopolisakarida.Namun, antibodi pasien menghambat pengikatan antara partikel
indikator yang dilapisi dengan antibodi monoklonal anti-O9 dan lipopolisakarida
yang dilapisi partikel magnetik (Kawano, R.et al., 2007). Spesimen yang
digunakan adalah sampel serum atau plasma heparin (Marleni,M.,dkk.,2014).

4. Uji Typidot
Uji Typhidot atau Metode dot enzyme immunoassay ialah sebuah
pemeriksaan serologi yang mendeteksi adanya antibody spesifik IgM maupun IgG
terhadap Salmonella typhi.Tes ini mempergunakan membrane nitroselulosa yang
berisi 50kDa spesifik protein dan antigen control.Tahap awal infeksi bakteri
Salmonella ditunjukkan dengan ditemukannya antibody IgM, sedangkan infeksi
lebih lanjut ditandai dengan peningkatan IgG.(Sudoyo, 2009).
Kultur bakteri memang gold standar untuk identifikasi bakteri Salmonella
, namun kepekaan atau sensitivitas thypidot lebih besar kurang lebih 93%
daripada kultur. Oleh karena itu, uji thypidot dapat digunakan sebagai diagnosis
cepat di daerah endemis demam tifoid (WHO, 2003; Marleni, 2012).
Dibandingkan dengan pemeriksaan widal, uji thypidot memiliki tingkat
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik. Hal ini karena dalam uji thypidot
tidak perlu adanya reaksi silang dengan salmonellosis nontifoid (Meta,S.,2013).
Bahkan kemungkinan thyphidot IgM untuk terjadinya reaksi silang sangat kecil
karena berdasarkan mekanisme kerjanya typhidot mendeteksi IgM tidak pada O,
H dan Vi melainkan pada Outer Membran Protein (OMP) (Meta,S.,2013).

5. IgM Disptik
Tes dipstick Salmonella adalah tes untuk mendeteksi antibodi IgM
spesifik terhadap antigen lipopolisakarida (LPS) dari Salmonella typhi dan
Salmonella paratyphi. Tes ini didasarkan atas ikatan antara IgM spesifik
Salmonella typhi dengan LPS tanpa membutuhkan peralatan dan keterampilan
khusus serta dapat diterapkan di daerah perifer (WHO,2003). Dipstick terdiri dari
dua pita yang tersusun secara horizontal: pita tes antigen (bawah) mengandung
antigen reaktif yang spesifik dan pita internal control (atas) mengandung anti-
human IgM antibodi. Uji didasarkan atas ikatan antibodi IgM spesifik S. typhi
terhadap antigen S. typhi. Ikatan antibodi IgM secara spesifik dideteksi dengan
konjugat IgM antihuman (WHO,2003).

6. Uji ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay)


Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang
dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi
Demam Tifoid/ Paratifoid.Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat
segera di ketahui. Diagnosis Demam Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan 1 bila lgM
positif menandakan infeksi akut; 2 jika lgG positif menandakan pernah kontak
pernah terinfeksi atau reinfeksi di daerah endemik (UK Standards of
Microbiology,2015).

7. Tes Biokimia
 Tes Urease TP 36 : Hasil tes ini bahwa Urease Spesies salmonella tidak
menghasilkan urease.
 Oxidase TP 26 : Tes oksidase yang hasilnya Spesies Salmonella bersifat
oksidase negative.
 Tes Indole TP19 dengan Uji Indole, spesies salmonella bersifat indol
negative.

8. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)


Polymerase Chain Reaction adalah metode untuk amplifikasi
(perbanyakan) primer oligonukleotida diarahkan secara enzimatik urutan DNA
spesifik. Teknik ini mampu memperbanyak sebuah urutan 105-106-kali lipat dari
jumlah nanogram DNA template dalam latar belakang besar pada sequence yang
tidak relevan (misalnya dari total DNA genomik). Sebuah prasyarat untuk
memperbanyak urutan menggunakan PCR adalah memiliki pengetahuan terkait
metode PCR, urutan segmen spesifik yang mengapit DNA yang akan
diamplifikasi, sehingga oligonucleotides tertentu dapat diperoleh
(Sucipta,A.,2015).
Pemeriksaan PCR mempergunakan primer H1-d yang dapat dipakai untuk
mengamplifikasi gen spesifik S. typhi. Pemeriksaan ini tergolong cepat dan dapat
mendeteksi satu bakteri dalam beberapa jam (Sucipta,A.,2015). Pemeriksaan PCR
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi daripada kultur bakteri, uji
widal, dan tes tubex. Kendala dalam penggunaan metode PCR yaitu rentan
dengan risiko kontaminasi yang mengakibatkan hasil positif palsu, terdapat
bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin
dan heparin dalam spesimen darah, bilirubin dan garam empedu dalam spesimen
feses), biaya yang cukup tinggi, dan teknis yang relatif rumit (Marleni, M., Iriani,
Y., Tjuandra, W.,dan Theodorus.,2014).

9. Darah tepi
Pada penderita demam tifoid didapatkan anemia normokromi normositik
yang terjadi akibat perdarahan usus atau supresi sumsum tulang. Terdapat
gambaran leukopeni, tetapi bisa juga normal atau meningkat. Diduga akibat
infeksi S. typhi terjadi perpindahan leukosit dari sirkulasi ke dinding pembuluh
darah sehingga leukosit dalam sirkulasi berkurang sehingga penderita mengalami
leukopenia (20-25%). Kadang-kadang didapatkan trombositopeni dan pada hitung
jenis didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif. Leukopeni
polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari
demam, menunjukkan arah diagnosis demam tifoid menjadi jelas.

Anda mungkin juga menyukai