Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini


termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6
Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit
yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat
menimbulkan wabah.1-3

Penyakit menular ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat


dengan jumlah kasus sebanyak 22 juta per tahun di dunia dan menyebabkan
216.000– 600.000 kematian. Pada tahun 2008, kasus demam tifoid di Indonesia
dilaporkan sebesar 81,7 per 100.000 penduduk. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi demam tifoid di Indonesia mencapai
1,7%.4

Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan. Di daerah Jawa Barat 157 kasus per 100.000 penduduk,
sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan
insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum
memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan lingkungan.1-3

Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun
1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.1

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam tifoid merupakan suatu penyakit sistemik yang secara klasik


disebabkan salmonella typhi, namun dapat juga disebabkan oleh S. paratyphi A,S.
Para-typhii B.1-5

2.2 Etiologi1,2,5,6

Etiologi typhoid adalah Salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan


C. Ada dua sumber penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan demam tifoid
dan pasien dengan carrier. Carrier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid
dan masih terus mengekresi Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama
lebih dari 1 tahun.
Bakteri Salmonella Typhi berbentuk batang, gram negatif, tidak berspora,
motil, berflagel, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37 0C, bersifat
fakultatif anaerob dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Isolat
kuman Salmonella Typhi memiliki sifat-sifat gerak positif, reaksi fermentasi
terhadap manitol dan sorbitol positif, sedangkan hasil negatif pada reaksi indol,
fenilalanin deaminase, urease dan DNase.
Bakteri Salmonella Typhi memiliki beberapa komponen antigen antara lain
antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik
grup. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam
flagella dan bersifat spesifik spesies. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida
dan berada di kapsul yang melindungi seluruh permukaan sel. Antigen ini
menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi
antigen O dari proses fagositosis. Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif
bakteri dan efektivitas vaksin Salmonella Typhi menghasilkan endotoksin yang
merupakan bagaian terluar dari dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah
dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid A.Antibodi O, H dan Vi akan membentuk
antibodi aglutinin di dalam tubuh, sedangkan, Outer Membran Protein (OMP)
pada Salmonella Typhi merupakan bagian terluar yang terletak di luar membran

2
sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan
sekitarnya. OMP sebagain besar terdiri dari protein purin, berperan pada
patogenesis demam tifoid dan antigen yang penting dalam mekanisme respon
imun host. OMP berfungsi sebagai barier mengendalikan masuknya zat dan cairan
ke membran sitoplasma selain itu berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag
dan bakteriosin.

Gambar 1. Struktur antigen Salmonella typhi6

2.3 Epidemologi

Demam tifoid dan paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini jarang


ditemukan secara epidemik, lebih bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu
daerah, dan jarang terjadi lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Di
Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun dan insidens tertinggi
pada daerah endemik terjadi pada anak-anak. Terdapat dua sumber penularan
S.thypi, yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier. Di
daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar S.typhi, sedangkan

3
makanan yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan tersering di
daerah non endemik.1-6

Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-


undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Surveilans Departemen Kesehatan
RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan
pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk.
Dari survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan
1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari
19.596 menjadi 26.606 kasus. Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan
terkait dengan sanitasi lingkungan; di rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000
penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk.
Kemudian Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid pada tahun 1996 sebesar 1,08%
dari seluruh kematian di Indonesia. Tetapi dari hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT DEPKES RI) tahun 1995 demam tifoid
tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.1,6

Gambar
2 Rentang insidens demam tifoid dan usia pasien di beberapa negara Asia 8

4
2.4 Patogenesis

Masuknya kuman Salmonella typhi (S.thypi) dan Salmonella paratyphi (S.


Paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torakikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Di organ- organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit
dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.1,3,7,8

5
Gambar 3. Pathogenesis masuknya kuman Salmonella typhi9

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang


biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermittent” ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi
ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi dan selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi.

Di dalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi


hiperplasia jaringan (S.typi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas
tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di

6
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.1

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat


timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya. 1

Gambar 4. Patofisiologi Demam Tifoid3

7
Terjadinya febris diduga disebabkan oleh endotoksin (suatu
lipopolisakarida penyebab leukopeni) yang bersama-sama Salmonella typhi
merangsang leukosit di jaringan. Inflamasi merangsang pengeluaran zat pirogen.3

Pada fase bakteremia (minggu ke I) Salmonella ada di hati, limpa, ginjal,


sumsum tulang, kantung empedu dan bermanifestasi di usus (plaque payeri)
dimana akan terjadi :3

 Minggu I => membuat luka hiperemis pada plaque payeri


 Minggu II => terjadi necrosis pada plaque payeri.
 Minggu III => terbentuk tukak/ulcus yang ukurannya bervariasi dimana
dapat terjadi perdarahan dan perforasi.
 Minggu IV => dapat sembuh dengan sendirinya.

Gambar 5. Respons antibodi terhadap infeksi Salmonella typhi.8

8
2.5 Manifestasi Klinis

Masa inkubasi : 10 -14 hari (mungkin kurang dari 7 hari atau lebih dari 21
hari)1,3
 Keluhan utama yang mencolok:1,3
1) Panas yang makin tinggi terutama pada malam hari dan pagi hari,
bila panas sering disertai delirium, demam dapat bersifat remitten
dapat pula kontinu. Suhu meningkat dan bertahap seperti tangga,
mencapai puncaknya pada hari ke 5, dapat mencapai 39o - 40oC.
2) Lemah badan, nyeri kepala di frontal.
3) Mual - anoreksia.
4) Gangguan defekasi :
 Obstipasi pada minggu I
 Diare pada minggu II (peas soup diare). Karena peradangan
kataral dari usus, sering disertai dengan perdarahan dari
selaput lendir usus, terutama ileum
5) Insomnia
6) Muntah dan nyeri perut
7) Apatis/bingung dapat diakibatkan toksik menjadi delirium yang
akan menjadi meningismus (akhir minggu ke I)
8) Myalgi/atralgi, batuk

 Nadi terjadi bradikardi relatif (normalnya frekuensi nadi akan meningkat


sebanyak 18x/menit pada setiap peningkatan suhu tubuh sebanyak 1o C,
pada demam tifoid denyut nadi akan lebih lambat dari perhitungan yang
seharusnya), hal ini disebabkan oleh karena efek endotoksin pada miokard.
 Lidah, typhoid tongue, dengan warna lidah putih kotor kecoklatan dengan
ujung dan tepi hiperemis dan terdapat tremor.

9
 Thoraks, paru-paru dapat terjadi bronchitis/pneumonia, pada umumnya
bersifat tidak produktif, terjadi pada minggu ke II atau minggu ke III, yang
disebabkan oleh pneumococcus atau yang lainnya.
 Abdomen, agak cembung dan meteorismus.
1) Splenomegali pada 70% dari kasus, dengan perabaan keras, mulai
teraba pada akhir minggu ke I sampai minggu ke III, akan tetapi
dapat juga lunak dan nyeri tekan positif.
2) Hepatomegali pada 25% dari kasus, terjadi pada minggu ke II
sampai dengan masa konvalesens.
3) Kantung empedu, merupakan sumber kuman yang dapat tetap utuh,
dapat terjadi kolesistitis akut terutama pada wanita tua dan gemuk.
Carrier sering terjadi pada penderita dengan kolesistitis kronik dan
batu empedu. Pada meteorismus, kita harus hati-hati untuk tanda
perforasi/adanya perdarahan pada usus.
4) Perubahan terjadi pada bagian distal dari ileum, Plaque payeri
menunjukkan :
 Hiperplasti pada minggu ke I.
 Nekrosis pada minggu ke II.
 Ulserasi pada minggu ke III.
 Penyembuhan pada minggu ke IV.
 Kulit, Rose spot, adalah suatu rash yang khas untuk tifoid, terjadi pada
akhir minggu ke I sampai minggu ke III terutama pada dinding dada dan
perut. Hal ini terjadi karena infiltrasi oleh sel monosit pada ujung-ujung
kapiler yang disebabkan oleh infiltrasi kuman Salmonella typhi pada kulit,
yang menyebabkan terjadinya proses radang, sehingga terjadi perembesan
dari sel eritrosit, karena permeabilitas kapiler meningkat.
 Ginjal, karena 25%-30% dari penderita demam tifoid mengeksresikan
Salmonella typhi dalam air kemih pada stadium akut dari penyakit, maka
dianggap bahwa ginjal sering terjangkit. Tetapi kelainan ginjal yang
menetap jarang terjadi.

10
 Sistem syaraf pusat, dapat timbul ensefalopati dengan ring haemorrhagic,
trombus kapiler, demielinasi perivaskuler, transverse myelitis dan Guillain
Barre syndrome. Meningitis purulenta telah dilaporkan. Penurunan
pendengaran juga sering ditemukan.

2.6 Kriteria Diagnosis

Demam naik secara bertangga lalu menentap selama beberapa hari,


demam terutama pada sore/malam hari, sulit buang air besar atau diare, sakit
kepala, kesadaran berkabut, bradikardia relatif, lidah kotor, nyeri abdomen,
hepatomegali, atau splenomegali.1,8,10

Diagnosa ditegakkan dari :3

 Riwayat dan gejala klinik sesuai untuk tifoid (5 gejala kardinal dianggap
sebagai positif, 3 gejala kardinal curiga).
 5 cardinal sign (Manson-Bahr (1985))
1) Demam
2) Ratio frekuensi nadi = suhu yang rendah (bradikardi relatif).
3) Toksemia yang karakteristik.
4) Splenomegali
5) Rose spot

 Sign lainnya :
1) Distensi abdomen.
2) Perdarahan intestinal
3) Biakkan Salmonella typhi (+)
4) Tes widal meningkat atau peninggian ≥4x pada 2 kali
pemeriksaan.
5) Gall kultur (+), Media SS agar.

11
 Demam Tifoid berdasarkan Kriteria Zulkarnaen 1

1. Demam > 7 hari, tidak mendadak, suhu naik secara bertangga,


pernah mengalami delirium dan apatis, disertai keluhan defekasi
dan obstipasi.
2. Terdapat 2 atau lebih gejala :
 Leukopeni
 Malaria (-)
 Keluhan BAK (-)
3. Terdapat 2 atau lebih gejala :
 Kesadaran menurun
 Rangsangan meningeal (-)
 Perdarahan usus (+)
 splenomegali
4. Kloramfenikol, suhu turun secara lisis dalam 3-5 hari, dan turun
perlahan laham maksimal 30 gr selama pengobatan.

 Demam Tifoid berdasarkan kriteria Kariman Muharman :3

1. Demam > 5 hari, naik bertangga


2. Fisik diagnostik ada 2 dari :
 Apatis
 Obstipasi
 Epistaksis
 Kembung

12
 Mencret
 Splenomegali
 Relatif bradikardi
 Perdarahan perianal
 Rangsangan meningeal (-)
3. Laboratorium :
 Leukopeni, relatif limfositosis
 Malaria (-)
 Urine (N)

2.7 Pemeriksaan Penunjang1,2,8,10,11


2.7.1 Pemeriksaan darah rutin.1,2
Leukopeni (47% dari kasus) 2000 - 3000 sampai dengan 5000/mm3. Bila
ada leukositosis (4% dari kasus) hati-hati ada penyulit, perforasi atau infeksi
sekunder. Limfositosis relatif (pasien tetap leukopeni tetapi persentasi limfosit
lebih banyak dari normal). Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi
aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat
meningkat.

2.7.2 Pemeriksaan serologi1,2


Test aglutinasi mikroskopik cepat, nilai positif bila terjadi penggumpalan,
pemeriksaan ini berguna untuk identifiksai pendahuluan pada biakan kuman.
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. Typhii. Pada
uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. Typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Antigen digunakan pada uji Widal adalah
suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud
uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu : a) aglutinin O (dari tubuh kuman), b) aglutinin H
(flagela kuman), dan c) aglutinin Vi (simpai kuman).

13
Dari tiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai pncak pada minggu ke empat dan
tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin
O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin
O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih
lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan
kesembuhan penyakit.

 Interpretasi hasil pemeriksaan:


 Positif bila titer O meningkat lebih dari 1/160 atau peningkatan >
4x pada pengambilan serum yang berangkaian.

 Nilai O 1/80 menunjukkan sugestif tifoid. Sedangkan untuk titer H


nilai positif adalah > 1/800 semua hasil tersebut dengan syarat
tidak menerima vaksinasi tifoid dalam 6 bulan terakhir.
 Peninggian titer H > 1/160 menunjukkan bahwa penderita pernah
divaksinasi atau terinfeksi Salmonella typhi.
 Titer Vi (antigen kapsul) meninggi pada pembawa kuman atau
carrier.

2.7.3 Pemeriksaan bakteriologi1,2


Biakan Gall untuk diagnosa pasti. Biakan dapat diambil dari :
 Sumsum tulang (90% ketelitian) pada minggu ke I dan minggu ke II.
 Darah pada minggu ke I dan minggu ke II (70% - 90%) minggu ke II
sampai minggu ke III (30% - 40%).
 Biakan pada agar SS bahan diambil dari :
o Tinja pada minggu ke II sampai minggu ke III.
o Urine pada minggu ke III sampai minggu ke IV.

14
o Jangan menggunakan Gall kultur, Rose spot boleh di Gall kultur.

Bila Gall positif diagnosa pasti dari tifoid abdominalis, tetapi bila negatif
belum tentu bebas tifoid abdominalis tergantung dari teknik pengambilan bahan,
waktu perjalanan penyakit, post vaksinasi.

2.8 Komplikasi 1,2,3

Intestinal
Komplikasi

Ekstra-Intestinal

2.8.1 Komplikasi Intestinal


1) Perdarahan usus, biasanya timbul pada hari ke 14-21 dari
perjalanan penyakit. Dapat berupa perdarahan yang minimal
sampai perdarahan tersembunyi yang masif. Yang ditandai
dengan :
 Penurunan suhu mendadak.
 Tanda-tanda shock.
o Tensi turun mendadak sampai dibawah normal.
o Nadi cepat dan kecil.
o Sianosis.
o Takipnue.
o Kulit dingin dan lembab.
o Perdarahan per ani yang tidak selalu tampak.

2) Perforasi usus, biasanya muncul pada akhir minggu ke III,


umumnya terjadi di daerah sekitar 60 cm dari bagian akhir
ileum. Dengan gejala yang kita dapatkan adalah:
 Keadaan umum buruk.

15
 Reaksi tubuh dan mental menjadi lambat.
 Tiba-tiba menjadi gelisah dan mengeluh nyeri perut.
 Muntah-muntah, suhu tiba-tiba turun.
 Pernafasan cepat dan hanya menggunakan otot-otot
interkostal.
 Dinding perut tegang, defans muskular, terutama di perut
sebelah kanan (pada lokasi ileum).
 Pekak hati menghilang, perkusi menjadi timpani.
 Bising usus menurun sampai hilang.
 Foto Rontgen BNO : tampak udara bebas dalam rongga
perut terutama dibawah diafragma. Preperitoneal fat hilang
karena terdapat edem dan pengumpulan eksudat.

2.8.2 Komplikasi Ekstra Intestinal


1) Miokarditis, keluhan klinis terjadi pada minggu ke II sampai
minggu ke III, berupa :
 Takikardia
 Nadi kecil dan lemah.
 Bunyi jantung redup, gallop rhythm.
 Tekanan darah turun atau peningkatan tekanan vena
tanpa ada gejala dekompresi lain.

2) Thypoid toxic, secara klinis terjadi perubahan mental yang


terdiri dari disorientasi, kebingungan, delirium > 5 hari, yang
dapat diikuti dengan/tanpa munculnya gejala neurologis :
afasia, ataxia, perubahan refleks, konvulsi dan lain-lainnya.
Thypoid toxic dapat dibagi menjadi :
a. Meningocerebral
Demam > 6 hari dan menjadi delirium, setengah sadar atau
tidak sadar. Selalu ada kaku kuduk.Tanda kernig dapat positif

16
atau negatif, Refleks tendon menjadi meninggi. Cairan
serebrospinal normal. Prognosa: dapat sembuh sempurna.

b. Encephalitis diffuse
 Demam tinggi diikuti penurunan kesadaran.
 Refleks tendon dapat positif atau menurun, refleks
dinding perut negatif.
 Rangsang meningen negatif.
 Setelah berlangsung lebih dari 1 minggu akan sembuh
sempurna.
 Encephalitis akut
 Tiba-tiba hiperpireksia.
 Tidak sadar dan kejang umum 24 jam setelah onset.
 Bisa timbul kejang ulang.
 Prognosa : buruk

c. Meningitis akut
 Cairan serebrospinal : jernih dengan pleositosis ringan.
 EEG : gambaran ensefalopati.
 Bisa terjadi karena dikaitkan dengan sistem imunologis
atau kekebalan seseorang.
 Dapat dikaitkan pula dengan kepribadian seseorang,
orang yang gampang histeris, akan lebih gampang jatuh
ke dalam toxic typhoid.
 Pasien dalam keadaan delirium/bicara ngaco/ berteriak-
teriak dan mengalami agitasi.
 Terdapat gerakan-gerakan seperti menarik-narik seprei.

3) Hepatitis tifosa
4) Pankreatitis tifosa

17
5) Carrier typhosa, setelah 6 bulan diperiksa 3x berturut-turut
selang 1 bulan masih tetap positif (pada pemeriksaan feses
yang dibiakkan).

2.9 Terapi1,2,6,8,12,13
2.9.1 Non medikamentosa
a. Perawatan :
 Bed rest total sampai dengan bebas demam 1 minggu tetapi
sebaiknya sampai akhir minggu ke III oleh karena bahaya
perdarahan dan perforasi.
 Tujuannya untuk : Mempercepat penyembuhan, mencegah
perforasi usus, karena banyak gerak akan menyebabkan gerakan
peristaltik meningkat, dengan peningkatan peristaltik maka akan
terjadi peningkatan dari aktifitas pembuluh darah, hal ini akan
meningkatkan kadar toksin yang masuk ke dalam darah, dapat
menyebabkan peningatan dari suhu tubuh, mobilisasi berangsur-
angsur dilakukan setelah pasien 3 hari bebas demam.
b. Dietetik :
 Harus cukup kalori, protein, cairan dan elektrolit, mudah dicerna
dan halus.
 Kebutuhan 2500 kkal, 100 gr protein, 2 - 3 liter cairan.
 Diet Tifoid I : Bubur susu/cair tidak diberikan pada pasien yang
demam tanpa komplikasi.
 Diet Tifoid II : Bubur saring.
 Diet Tifoid III : Bubur biasa.
 Diet Tifoid IV : Nasi tim.

18
 Prinsip pengelolaan dietetik pada tifoid padat dini, rendah
serat/rendah selulosa.
 Diet Tifoid biasanya dimulai dari TD II, setelah 3 hari bebas
demam menjadi TD III, sampai 3 hari kemudian dapat diganti
kembali menjadi TD IV.
 Harus diberikan rendah serat karena pada tifoid abdominalis ada
luka di ileum terminal bila banyak selulosa maka akan
menyebabkan peningkatan kerja usus, hal ini menyebabkan luka
makin hebat.

2.9.2 Medikamentosa:
a. Antibiotik
1. Drug of Choice adalah Kloramfenicol dengan dosis 4 x 500 mg/hari
selama 7 hari afebris atau sampai 1 minggu bebas demam.
 Kontra indikasi :
o Tidak boleh diberikan pada wanita hamil trisemester 3.
o Grey baby syndrome.
o Partus premature.
o Kematian intrauterine (IUFD).
o Jangan berikan pada pasien yang leukositnya kurang dari
2000.
o Pengobatan dianggap gagal (resisten) bila dalam 10 hari
pemberian pasien tetap demam, gunakan antibiotik yang
lain.
2. Kotrimoksazol, dengan dosis 400 mg 2 x 2 tablet/hari sampai 7 hari
afebris. RSHS 2 x 3 tablet.
 Waktu yang diperlukan untuk penurunan suhu sama dengan
kloramfenicol.
 Tidak terjadi krisis toksik.
 Gejala lebih cepat hilang.

19
 Dapat digunakan untuk pasien yang toksik dan delirium.
 Lebih unggul dalam mencegah relaps.
 Efek samping yang perlu diperhatikan adalah trombositopenia,
untuk menghindarinya diberikan asam folat.
3. Ampisilin, dosis 3 - 4 x (0.5 - 1 gram)/hari selama 15 hari (RSHS)
Digunakan untuk tifoid abdominalis ringan dan untuk karier.
4. Amoksisilin, dosis 4 x 1 gr (untuk ukuran kecil) - 6 gr (untuk ukuran
besar)/hari ; Untuk kasus karier 6 gr/hari selama 6 minggu
5. Golongan Quinolon.
 Ciprofloksasin, dosis 2 x 750 mg sampai 4 minggu, untuk
menanggulangi karier, karena pasien dapat menularkan secara
fecal - oral.
 Tidak boleh diberikan pada pasien dengan usia kurang dari 15
tahun, karena bisa menyebabkan penutupan epifise tulang lebih
cepat.
 Keuntungan dari Quinolon:
o Waktu yang diperlukan untuk terapi lebih pendek.
o Bersifat bakterisida.
 Hati-hati akan terjadi reaksi “harxheimer reaction” yang
merupakan reaksi yang hebat dari pemberian awal dari
antibiotic pada perderita tifoid, oleh karena dilepaskannya
secara mendadak dalam jumlah besar, antigen dari kuman
tifoid. Reaksi seperti anafilaktik syok, dimana pasien dapat
jatuh kedalam keadaan koma.

b. Simptomatik:
 Analgetik antipiretik (DOC : parasetamol)
o Jangan menggunakan asam salisilat, karena bisa
menyebabkan hiperhidrosis.

20
o Jangan pada penderita hepatitis, dapat merangsang mukosa
usus.
o Efek antipiretik dapat berlebihan, menghambat efek dari
kloramfenikol.
 Laxantia dan enema, untuk memudahkan buang air besar.
o Hati-hati perdarahan dan perforasi.
 Muntah-muntah
o Prochlorperazine (Stemetil) dengan dosis 3 x 5mg atau
3 x 10 mg.
o Prometazine (Phenergan) dengan dosis 3 x 25 mg.
 Diare
o Diphenoxylate hydrochloride (Lomotil, Reasec) 4 x 2
tab
 Meteorismus
o Intake diganti dengan parenteral
o Gunakan stomach tube dan aspirasi tiap jam.
 Supportif
 Kortikosteroid
Hanya dianjurkan untuk penderita dengan toksemia
berat dan hiperpireksi berat. Tidak boleh dipergunakan
secara rutin. Harus dihindarkan dalam minggu ke III
karena bila ada perdarahan kita tidak tahu dari penyakit
atau dari kortikosteroid. Memperpendek demam dan
gejala cepat hilang. Menghambat pembentukkan
immunitas sehingga mudah untuk relaps.
Dosis :
o Hari ke I : Hidrokortison 200 mg im,
Prednison 3 x 15 mg
o Hari ke II : Prednison 3 x 10 mg
o Hari ke III : Prednison 3 x 5 mg

21
o Hari ke IV : Prednison 3 x 5 mg
o Hari ke V : Prednison 1 x 5 mg.
 Roborantia
o Vitamin B dan vitamin C.
 Terapi untuk karier yang gagal pengobatan dengan
medikamentosa kita lakukan kolesistektomi.

2.10 Pencegahan1,6,14
Ada 3 strategi pokok dalam memutuskan transmisi tifoid, yaitu :
1. Identifikasi dan Eradikasi S.typhi pada pasien tifoid asimptomatik,
carrier dan akut
Dalam identifikasi pasien terdapat 2 tipe, yaitu secara aktif dan
pasif. Yang dimaksud aktif disini adalah mendatangi sasaran, sedangkan
pasif adalah menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau
swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pada
pengelola sarana makanan- minuman , pelayanan kesehatan, guru, petugas
kebersihan, dsb.

2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi S.typhi akut


maupun carrier
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun rumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah mengidap demam tifoid.

3. Proteksi pada orang beresiko terinfeksi


Pada daerah non endemik :
 Sanitasi air dan kebersihan lingkungan.

22
 Penyaringan pengelolaan pembuatan/distributor/penjualan
makanan dan minuman.
 Pencarian dan pengobatan pada kasus tifoid karier.

Bila terjadi epidemik tifoid :


 Pencarian dan eliminasi dari sumber penularan.
 Pemeriksaan air minuman dan air mandi cuci kakus.
 Penyuluhan higiene dan sanitasi pada populasi umum daerah
tersebut.

Pada daerah endemik :


 Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang
memenuhi standart prosedur kesehatan (Perebusan >570OC,
iodisasi, dan klorinisasi ).
 Pengunjung yang mengunjungi daerah ini harus minum air yang
telah melalui pendahuluan dan menjauhi makanan segar
(sayur/buah ).
 Vaksinasi secara menyeluruh kepada masyarakat setempat maupun
pengunjung.

23
BAB III

KESIMPULAN

Demam tifoid merupakan suatu penyakit sistemik yang secara klasik


disebabkan salmonella typhi, namun dapat juga disebabkan oleh S. paratyphi A,S.
Para-typhii B. Etiologi tifoid adalah Salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B
dan C. ada dua sumber penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan demam
tifoid dan pasien dengan carrier. Carrier adalah orang yang sembuh dari demam
tifoid dan masih terus mengekresi Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih
selama lebih dari 1 tahun. yang penyebarannya terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi oleh kuman tersebut ataupun terinfeksius oleh penderita carrier.
Pemeriksaan Penunjang untuk demam tifoid adalah :
- Pemeriksaan darah rutin

- Pemeriksaan serologi

- Pemeriksaan bakteriologi

Terapi demam tifoid


Non medikamentosa
Perawatan :
 Bed rest total sampai dengan bebas demam 1 minggu tetapi
sebaiknya sampai akhir minggu ke III oleh karena bahaya
perdarahan dan perforasi.
Dietetik :
 Harus cukup kalori, protein, cairan dan elektrolit, mudah dicerna
dan halus.
 Kebutuhan 2500 kkal, 100 gr protein, 2 - 3 liter cairan.
 Typhoid diet I : Bubur susu/cair tidak diberikan pada pasien yang
demam tanpa komplikasi.
 Typhoid diet II : Bubur saring.

24
 Typhoid diet III : Bubur biasa.
 Typhoid diet IV : Nasi tim.
 Prinsip pengelolaan dietetik pada typhoid padat dini, rendah
serat/rendah selulosa.
 Typoid diet biasanya dimulai dari TD II, setelah 3 hari bebas
demam menjadi TD III, sampai 3 hari kemudian dapat diganti
kembali menjadi TD IV.
 Harus diberikan rendah serat karena pada typoid abdominalis ada
luka di ileum terminal bila banyak selulosa maka akan
menyebabkan peningkatan kerja usus, hal ini menyebabkan luka
makin hebat.

Medikamentosa:

Antibiotik
- Drug of Choice adalah Kloramfenikol dengan dosis 4 x 500
mg/hari selama 7 hari afebris atau sampai 1 minggu bebas
demam.
- Kotrimoksazol dengan dosis 400 mg 2 x 2 tablet/hari sampai 7
hari afebris. RSHS 2 x 3 tablet.
- Ampisilin, dosis 3 - 4 x (0.5 - 1 gram)/hari selama 15 hari (RSHS)
- Amoksisilin, dosis 4 x 1 gr (untuk ukuran kecil) - 6 gr (untuk
ukuran besar)/hari ; Untuk kasus karier 6 gr/hari selama 6 minggu

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2016.

2. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita


Selekta kedokteran. Edisi keempat. Jilid 1. Jakarta : penerbit Media
Aesculapius FKUI : 2016

3. Prince, Sylvia A, Lorraine McCarty Wilson. 2015. Patofisiologi : Konsep


Klinis Proses-Proses Penyakit, Jakarta : EGC

4. Badan Litbang Kesehatan. Riset Keseha-tan Dasar 2007. Jakarta; 2008.


Diunduh di: https:// www.k4health.org/sites/defa ult/files/laporan Nasional
Riskesdas 2016. pdf. 07 juli 2018

5. Ochiai, L, dkk. 2012. Epidemiology of typhoid fever. International Journal


of Infectious Disease. Diunduh di
http://dx.doi.org/10.1016/j.ijid.2012.05.076. 08 juli 2018

6. WHO 2016. Guidelines for the Management of Typhoid Fever

7. Araya, G. dkk. 2015. Diagnosis and treatment of Typhoid Fever and


Associated Prevailing Drug Resistance in Northern Ethiopia. Hal 96-102.
International Journal of Infectious Disease. Di unduh di
www.elsevier.com/locate/ijid. 07 juli 2018.

8. Nelwan, R.. 2012. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. Divisi Penyakit


Tropik dan Infeksi. Departmen Ilmu Penyakit Dalam. FKUI/RSCM
Jakarta. Volume 39, pp 247-50

26
9. Paul, uttam kumar, dkk. 2017. Typhoid Fever : a review. Hal 300-306.
International Journal of Advances in Medicine. Diunduh di
http://www.ijmedicine.com. 07 juli 2018.

10. Filio, M. dkk. 2013. Marry mallon dan the history of typhoid fever. Annals
of gastroenterology, volume 26, pp 1-3.

11. Alwi, idrus, dkk. 2015. Demam tifoid dalam Buku Panduan Praktik Klinis.
Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

12. Tiemey, L, dkk. 2002 diagnosis dan Terapi Kedokteran Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Salemba medika

13. Crump, J. A. dkk. 2015. Epidemiology, clinical presentation, laboratory


diagnosis, antimicrobial resistance, and antimicrobial management of
invasive Salmonella infections. Clinical microbiology reviews. Volume
28(4), pp 901-919.

14. Department Of Health, 2016. Typhoid Enteric Fever, Washington:


Washington State Departement of Health

27

Anda mungkin juga menyukai