PENDAHULUAN
Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan. Di daerah Jawa Barat 157 kasus per 100.000 penduduk,
sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan
insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum
memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan lingkungan.1-3
Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun
1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.1
BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Etiologi1,2,5,6
2
sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan
sekitarnya. OMP sebagain besar terdiri dari protein purin, berperan pada
patogenesis demam tifoid dan antigen yang penting dalam mekanisme respon
imun host. OMP berfungsi sebagai barier mengendalikan masuknya zat dan cairan
ke membran sitoplasma selain itu berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag
dan bakteriosin.
2.3 Epidemologi
3
makanan yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan tersering di
daerah non endemik.1-6
Gambar
2 Rentang insidens demam tifoid dan usia pasien di beberapa negara Asia 8
4
2.4 Patogenesis
5
Gambar 3. Pathogenesis masuknya kuman Salmonella typhi9
6
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.1
7
Terjadinya febris diduga disebabkan oleh endotoksin (suatu
lipopolisakarida penyebab leukopeni) yang bersama-sama Salmonella typhi
merangsang leukosit di jaringan. Inflamasi merangsang pengeluaran zat pirogen.3
8
2.5 Manifestasi Klinis
Masa inkubasi : 10 -14 hari (mungkin kurang dari 7 hari atau lebih dari 21
hari)1,3
Keluhan utama yang mencolok:1,3
1) Panas yang makin tinggi terutama pada malam hari dan pagi hari,
bila panas sering disertai delirium, demam dapat bersifat remitten
dapat pula kontinu. Suhu meningkat dan bertahap seperti tangga,
mencapai puncaknya pada hari ke 5, dapat mencapai 39o - 40oC.
2) Lemah badan, nyeri kepala di frontal.
3) Mual - anoreksia.
4) Gangguan defekasi :
Obstipasi pada minggu I
Diare pada minggu II (peas soup diare). Karena peradangan
kataral dari usus, sering disertai dengan perdarahan dari
selaput lendir usus, terutama ileum
5) Insomnia
6) Muntah dan nyeri perut
7) Apatis/bingung dapat diakibatkan toksik menjadi delirium yang
akan menjadi meningismus (akhir minggu ke I)
8) Myalgi/atralgi, batuk
9
Thoraks, paru-paru dapat terjadi bronchitis/pneumonia, pada umumnya
bersifat tidak produktif, terjadi pada minggu ke II atau minggu ke III, yang
disebabkan oleh pneumococcus atau yang lainnya.
Abdomen, agak cembung dan meteorismus.
1) Splenomegali pada 70% dari kasus, dengan perabaan keras, mulai
teraba pada akhir minggu ke I sampai minggu ke III, akan tetapi
dapat juga lunak dan nyeri tekan positif.
2) Hepatomegali pada 25% dari kasus, terjadi pada minggu ke II
sampai dengan masa konvalesens.
3) Kantung empedu, merupakan sumber kuman yang dapat tetap utuh,
dapat terjadi kolesistitis akut terutama pada wanita tua dan gemuk.
Carrier sering terjadi pada penderita dengan kolesistitis kronik dan
batu empedu. Pada meteorismus, kita harus hati-hati untuk tanda
perforasi/adanya perdarahan pada usus.
4) Perubahan terjadi pada bagian distal dari ileum, Plaque payeri
menunjukkan :
Hiperplasti pada minggu ke I.
Nekrosis pada minggu ke II.
Ulserasi pada minggu ke III.
Penyembuhan pada minggu ke IV.
Kulit, Rose spot, adalah suatu rash yang khas untuk tifoid, terjadi pada
akhir minggu ke I sampai minggu ke III terutama pada dinding dada dan
perut. Hal ini terjadi karena infiltrasi oleh sel monosit pada ujung-ujung
kapiler yang disebabkan oleh infiltrasi kuman Salmonella typhi pada kulit,
yang menyebabkan terjadinya proses radang, sehingga terjadi perembesan
dari sel eritrosit, karena permeabilitas kapiler meningkat.
Ginjal, karena 25%-30% dari penderita demam tifoid mengeksresikan
Salmonella typhi dalam air kemih pada stadium akut dari penyakit, maka
dianggap bahwa ginjal sering terjangkit. Tetapi kelainan ginjal yang
menetap jarang terjadi.
10
Sistem syaraf pusat, dapat timbul ensefalopati dengan ring haemorrhagic,
trombus kapiler, demielinasi perivaskuler, transverse myelitis dan Guillain
Barre syndrome. Meningitis purulenta telah dilaporkan. Penurunan
pendengaran juga sering ditemukan.
Riwayat dan gejala klinik sesuai untuk tifoid (5 gejala kardinal dianggap
sebagai positif, 3 gejala kardinal curiga).
5 cardinal sign (Manson-Bahr (1985))
1) Demam
2) Ratio frekuensi nadi = suhu yang rendah (bradikardi relatif).
3) Toksemia yang karakteristik.
4) Splenomegali
5) Rose spot
Sign lainnya :
1) Distensi abdomen.
2) Perdarahan intestinal
3) Biakkan Salmonella typhi (+)
4) Tes widal meningkat atau peninggian ≥4x pada 2 kali
pemeriksaan.
5) Gall kultur (+), Media SS agar.
11
Demam Tifoid berdasarkan Kriteria Zulkarnaen 1
12
Mencret
Splenomegali
Relatif bradikardi
Perdarahan perianal
Rangsangan meningeal (-)
3. Laboratorium :
Leukopeni, relatif limfositosis
Malaria (-)
Urine (N)
13
Dari tiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai pncak pada minggu ke empat dan
tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin
O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin
O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih
lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan
kesembuhan penyakit.
14
o Jangan menggunakan Gall kultur, Rose spot boleh di Gall kultur.
Bila Gall positif diagnosa pasti dari tifoid abdominalis, tetapi bila negatif
belum tentu bebas tifoid abdominalis tergantung dari teknik pengambilan bahan,
waktu perjalanan penyakit, post vaksinasi.
Intestinal
Komplikasi
Ekstra-Intestinal
15
Reaksi tubuh dan mental menjadi lambat.
Tiba-tiba menjadi gelisah dan mengeluh nyeri perut.
Muntah-muntah, suhu tiba-tiba turun.
Pernafasan cepat dan hanya menggunakan otot-otot
interkostal.
Dinding perut tegang, defans muskular, terutama di perut
sebelah kanan (pada lokasi ileum).
Pekak hati menghilang, perkusi menjadi timpani.
Bising usus menurun sampai hilang.
Foto Rontgen BNO : tampak udara bebas dalam rongga
perut terutama dibawah diafragma. Preperitoneal fat hilang
karena terdapat edem dan pengumpulan eksudat.
16
atau negatif, Refleks tendon menjadi meninggi. Cairan
serebrospinal normal. Prognosa: dapat sembuh sempurna.
b. Encephalitis diffuse
Demam tinggi diikuti penurunan kesadaran.
Refleks tendon dapat positif atau menurun, refleks
dinding perut negatif.
Rangsang meningen negatif.
Setelah berlangsung lebih dari 1 minggu akan sembuh
sempurna.
Encephalitis akut
Tiba-tiba hiperpireksia.
Tidak sadar dan kejang umum 24 jam setelah onset.
Bisa timbul kejang ulang.
Prognosa : buruk
c. Meningitis akut
Cairan serebrospinal : jernih dengan pleositosis ringan.
EEG : gambaran ensefalopati.
Bisa terjadi karena dikaitkan dengan sistem imunologis
atau kekebalan seseorang.
Dapat dikaitkan pula dengan kepribadian seseorang,
orang yang gampang histeris, akan lebih gampang jatuh
ke dalam toxic typhoid.
Pasien dalam keadaan delirium/bicara ngaco/ berteriak-
teriak dan mengalami agitasi.
Terdapat gerakan-gerakan seperti menarik-narik seprei.
3) Hepatitis tifosa
4) Pankreatitis tifosa
17
5) Carrier typhosa, setelah 6 bulan diperiksa 3x berturut-turut
selang 1 bulan masih tetap positif (pada pemeriksaan feses
yang dibiakkan).
2.9 Terapi1,2,6,8,12,13
2.9.1 Non medikamentosa
a. Perawatan :
Bed rest total sampai dengan bebas demam 1 minggu tetapi
sebaiknya sampai akhir minggu ke III oleh karena bahaya
perdarahan dan perforasi.
Tujuannya untuk : Mempercepat penyembuhan, mencegah
perforasi usus, karena banyak gerak akan menyebabkan gerakan
peristaltik meningkat, dengan peningkatan peristaltik maka akan
terjadi peningkatan dari aktifitas pembuluh darah, hal ini akan
meningkatkan kadar toksin yang masuk ke dalam darah, dapat
menyebabkan peningatan dari suhu tubuh, mobilisasi berangsur-
angsur dilakukan setelah pasien 3 hari bebas demam.
b. Dietetik :
Harus cukup kalori, protein, cairan dan elektrolit, mudah dicerna
dan halus.
Kebutuhan 2500 kkal, 100 gr protein, 2 - 3 liter cairan.
Diet Tifoid I : Bubur susu/cair tidak diberikan pada pasien yang
demam tanpa komplikasi.
Diet Tifoid II : Bubur saring.
Diet Tifoid III : Bubur biasa.
Diet Tifoid IV : Nasi tim.
18
Prinsip pengelolaan dietetik pada tifoid padat dini, rendah
serat/rendah selulosa.
Diet Tifoid biasanya dimulai dari TD II, setelah 3 hari bebas
demam menjadi TD III, sampai 3 hari kemudian dapat diganti
kembali menjadi TD IV.
Harus diberikan rendah serat karena pada tifoid abdominalis ada
luka di ileum terminal bila banyak selulosa maka akan
menyebabkan peningkatan kerja usus, hal ini menyebabkan luka
makin hebat.
2.9.2 Medikamentosa:
a. Antibiotik
1. Drug of Choice adalah Kloramfenicol dengan dosis 4 x 500 mg/hari
selama 7 hari afebris atau sampai 1 minggu bebas demam.
Kontra indikasi :
o Tidak boleh diberikan pada wanita hamil trisemester 3.
o Grey baby syndrome.
o Partus premature.
o Kematian intrauterine (IUFD).
o Jangan berikan pada pasien yang leukositnya kurang dari
2000.
o Pengobatan dianggap gagal (resisten) bila dalam 10 hari
pemberian pasien tetap demam, gunakan antibiotik yang
lain.
2. Kotrimoksazol, dengan dosis 400 mg 2 x 2 tablet/hari sampai 7 hari
afebris. RSHS 2 x 3 tablet.
Waktu yang diperlukan untuk penurunan suhu sama dengan
kloramfenicol.
Tidak terjadi krisis toksik.
Gejala lebih cepat hilang.
19
Dapat digunakan untuk pasien yang toksik dan delirium.
Lebih unggul dalam mencegah relaps.
Efek samping yang perlu diperhatikan adalah trombositopenia,
untuk menghindarinya diberikan asam folat.
3. Ampisilin, dosis 3 - 4 x (0.5 - 1 gram)/hari selama 15 hari (RSHS)
Digunakan untuk tifoid abdominalis ringan dan untuk karier.
4. Amoksisilin, dosis 4 x 1 gr (untuk ukuran kecil) - 6 gr (untuk ukuran
besar)/hari ; Untuk kasus karier 6 gr/hari selama 6 minggu
5. Golongan Quinolon.
Ciprofloksasin, dosis 2 x 750 mg sampai 4 minggu, untuk
menanggulangi karier, karena pasien dapat menularkan secara
fecal - oral.
Tidak boleh diberikan pada pasien dengan usia kurang dari 15
tahun, karena bisa menyebabkan penutupan epifise tulang lebih
cepat.
Keuntungan dari Quinolon:
o Waktu yang diperlukan untuk terapi lebih pendek.
o Bersifat bakterisida.
Hati-hati akan terjadi reaksi “harxheimer reaction” yang
merupakan reaksi yang hebat dari pemberian awal dari
antibiotic pada perderita tifoid, oleh karena dilepaskannya
secara mendadak dalam jumlah besar, antigen dari kuman
tifoid. Reaksi seperti anafilaktik syok, dimana pasien dapat
jatuh kedalam keadaan koma.
b. Simptomatik:
Analgetik antipiretik (DOC : parasetamol)
o Jangan menggunakan asam salisilat, karena bisa
menyebabkan hiperhidrosis.
20
o Jangan pada penderita hepatitis, dapat merangsang mukosa
usus.
o Efek antipiretik dapat berlebihan, menghambat efek dari
kloramfenikol.
Laxantia dan enema, untuk memudahkan buang air besar.
o Hati-hati perdarahan dan perforasi.
Muntah-muntah
o Prochlorperazine (Stemetil) dengan dosis 3 x 5mg atau
3 x 10 mg.
o Prometazine (Phenergan) dengan dosis 3 x 25 mg.
Diare
o Diphenoxylate hydrochloride (Lomotil, Reasec) 4 x 2
tab
Meteorismus
o Intake diganti dengan parenteral
o Gunakan stomach tube dan aspirasi tiap jam.
Supportif
Kortikosteroid
Hanya dianjurkan untuk penderita dengan toksemia
berat dan hiperpireksi berat. Tidak boleh dipergunakan
secara rutin. Harus dihindarkan dalam minggu ke III
karena bila ada perdarahan kita tidak tahu dari penyakit
atau dari kortikosteroid. Memperpendek demam dan
gejala cepat hilang. Menghambat pembentukkan
immunitas sehingga mudah untuk relaps.
Dosis :
o Hari ke I : Hidrokortison 200 mg im,
Prednison 3 x 15 mg
o Hari ke II : Prednison 3 x 10 mg
o Hari ke III : Prednison 3 x 5 mg
21
o Hari ke IV : Prednison 3 x 5 mg
o Hari ke V : Prednison 1 x 5 mg.
Roborantia
o Vitamin B dan vitamin C.
Terapi untuk karier yang gagal pengobatan dengan
medikamentosa kita lakukan kolesistektomi.
2.10 Pencegahan1,6,14
Ada 3 strategi pokok dalam memutuskan transmisi tifoid, yaitu :
1. Identifikasi dan Eradikasi S.typhi pada pasien tifoid asimptomatik,
carrier dan akut
Dalam identifikasi pasien terdapat 2 tipe, yaitu secara aktif dan
pasif. Yang dimaksud aktif disini adalah mendatangi sasaran, sedangkan
pasif adalah menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau
swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pada
pengelola sarana makanan- minuman , pelayanan kesehatan, guru, petugas
kebersihan, dsb.
22
Penyaringan pengelolaan pembuatan/distributor/penjualan
makanan dan minuman.
Pencarian dan pengobatan pada kasus tifoid karier.
23
BAB III
KESIMPULAN
- Pemeriksaan serologi
- Pemeriksaan bakteriologi
24
Typhoid diet III : Bubur biasa.
Typhoid diet IV : Nasi tim.
Prinsip pengelolaan dietetik pada typhoid padat dini, rendah
serat/rendah selulosa.
Typoid diet biasanya dimulai dari TD II, setelah 3 hari bebas
demam menjadi TD III, sampai 3 hari kemudian dapat diganti
kembali menjadi TD IV.
Harus diberikan rendah serat karena pada typoid abdominalis ada
luka di ileum terminal bila banyak selulosa maka akan
menyebabkan peningkatan kerja usus, hal ini menyebabkan luka
makin hebat.
Medikamentosa:
Antibiotik
- Drug of Choice adalah Kloramfenikol dengan dosis 4 x 500
mg/hari selama 7 hari afebris atau sampai 1 minggu bebas
demam.
- Kotrimoksazol dengan dosis 400 mg 2 x 2 tablet/hari sampai 7
hari afebris. RSHS 2 x 3 tablet.
- Ampisilin, dosis 3 - 4 x (0.5 - 1 gram)/hari selama 15 hari (RSHS)
- Amoksisilin, dosis 4 x 1 gr (untuk ukuran kecil) - 6 gr (untuk
ukuran besar)/hari ; Untuk kasus karier 6 gr/hari selama 6 minggu
25
DAFTAR PUSTAKA
26
9. Paul, uttam kumar, dkk. 2017. Typhoid Fever : a review. Hal 300-306.
International Journal of Advances in Medicine. Diunduh di
http://www.ijmedicine.com. 07 juli 2018.
10. Filio, M. dkk. 2013. Marry mallon dan the history of typhoid fever. Annals
of gastroenterology, volume 26, pp 1-3.
11. Alwi, idrus, dkk. 2015. Demam tifoid dalam Buku Panduan Praktik Klinis.
Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
12. Tiemey, L, dkk. 2002 diagnosis dan Terapi Kedokteran Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Salemba medika
27