Sindrom Nefrotik
Oleh:
Achmad Rezki Chairamsyah, S.Ked
G1A216009
UNIVERSITAS JAMBI
2018
1
CLINICAL REPORT SESSION
Sindrom Nefrotik
Oleh:
G1A216009
UNIVERSITAS JAMBI
2018
2
KATA PENGANTAR
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sindrom nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinis glomerulonefritis yang
ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif ≥ 3,5 g/dl, hiperkolesterolemia, dan
lipiduria. Sindrom nefrotik selalu disebabkan oleh kelainan di glomerolus. Pada sindrom
nefrotik, albumin menembus kapiler glomerolus, sebuah fenomena abnormal yang bisa
disebabkan oleh kelainan pada muatan listrik di membran basal glomerolus, perubahan
biokimia di membran basal, atau deposit imun. Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik
dapat dibagi menjadi sindrom nefrotik primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan
primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan sindrom nefrotik sekunder yang
disebabkan oleh penyakit tertentu.
Kasus sindrom nefrotik cukup mudah ditemukan. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar
pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak
yang dirawat antara tahun 1995-2000. Sindrom nefrotik menarik untuk dipelajari berdasarkan
fakta bahwa prognosis sindrom nefrotik sangat berbeda bila dibandingkan dengan 10 tahun
yang lalu. Sekarang, semua tipe sindrom nefrotik dapat diberi penatalaksanaan dengan hasil
efektif, ditunjukkan dengan perbaikan pada banyak kasus. Angka mortalitas dari sindrom
nefrotik perubahan minimal telah menurun dari 50% menjadi 5% dengan majunya terapi dan
pemberian steroid. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran lebih dalam mengenai suatu
penyakit sangat penting untuk kemajuan di bidang kesehatan.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2
Riwayat penyakit jantung (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat penyakit asma disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
5. Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien merupakan seorang mahasiswa
Riwayat minum alkohol (+) sejak SMA
Riwayat merokok (+), berhenti ± 2 bulan yang lalu
3
Hidung : Nafas cuping hidung (-), Epistaksis (-), sekret (-)
Mulut : Bentuk normal, bibir sianosis (-), Mukosa anemis (-)
Tenggorokan : Faring dan tonsil hiperemis (-), Tonsil T1-T1
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kel.Tyroid (-), JVP 5-2
cmH2O, pulsasi vena jugularis (-).
7. Thoraks :
Paru
Inspeksi : Statis dan dinamis: simetris kanan dan kiri, torakoabdominal, sela
iga melebar (-), sela iga menyempit (-).
Palpasi : Vocal fremitus taktil lapangan paru kanan dan kiri sama, tidak ada
nyeri tekan sela iga
Perkusi : Sonor pada lapangan paru kanan dan kiri
Auskultasi : Vesikuler (+/+) pada kedua lapangan paru, Ronkhi (-/-),
Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga V di linea midklavikula sinistra
sekitar 1 jari, tidak kuat angkat.
Perkusi :
o Batas Atas: ICS II linea parasternal sinistra
o Batas kiri : ICS V linea midklavikula sinistra
o Batas kanan: ICS IV linea parasternal dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
8. Abdomen
Inspeksi : cembung, jaringan parut (-) venektasi (-), pembesaran organ (-).
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (+) kuadran kiri bawah, Shifting dullnes (+),
hepatomegali (-), splenomegali (-),
Perkusi : Hipertimpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
9. Genitalia : tidak diperiksa
10. Ekstremitas
Superior : Akral hangat, CRT <2 detik, pitting edema (-/-)
Inferior : Akral hangat, CRT <2 detik, pitting edema (+/+)
4
2.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Kimia Darah (23 Mei 2018)
Faal Hati
Protein Total : 3,0 g/dl (6,4-8,4)
Albumin : 1,2 g/dl (3,5-5,0)
Globulin : 1,8 g/dl (3,0-3,6)
Faal Ginjal :
a. Ureum : 43 mg/dl (15-39 mg/dl)
b. Kreatinin : 1,2 mg/dl (L 0,9-1,3 ; P 0,6-1,1 mg/dl)
c. Asam urat : 8,9 mg/dl (L 3,5-7,2 ; P 2,6-6,0)
Faal Lemak
Kolesterol : 708 mg/dl (<200)
Trigliserida : 336 mg/dl (<150)
HDL : 25 mg/dl (>34)
LDL : 616 mg/dl (<120)
b. Darah rutin
Tanggal 23 Mei 2018
WBC : 7,05 109/L (4-10 109/L)
RBC : 5,64 1012/L (3,5-5,5 1012/L)
HGB : 14,8 g/dl (11-16 g/dl)
HCT : 45,1 % (35-50%)
PLT : 370 109/L (100-300 109/L)
MCV : 80 fL (80-100 fL)
MCH : 26,2 pg (27-34 pg)
MCHC : 328 g/L (320-360 g/L)
LED : 84 mg/dl (L <10 ; P < 15 / jam)
5
Epithel : 2-3 / LPK
2.6 Tatalaksana
Non Farmakologi
Bed rest
Diet protein 0,8 gram/kgBB ideal/ hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam
Diet rendah kolesterol < 600mg/hari
Diet rendah garam, restriksi cairan pada edema
Farmakologis
Infus albumin 12 tpm
inj. Furosemide 1x40 mg
Omeprazole 20 mg
Atorvastatin 20 mg
inj. Ceftriaxone 2x1 gram
Metil Prednisolon 16 mg – 16 mg - 0
2.7 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
6
2.8 Follow Up
Tgl S O A P
7
menjalar ke Nadi : 76 x/menit Diet protein 0,8
belakang, nyeri RR : 18 x/menit gram/kgBB ideal/ hari
seperti ditusuk + ekskresi protein
S : 36,6 oC
tusuk, hilang dalam urin/24 jam
BB : 60 kg
timbul. BAB (+) Diet rendah kolesterol
LP : 83 cm
normal, BAK < 600mg/hari
(+) hanya Diet rendah garam,
sedikit ½ gelas restriksi cairan pada
belimbing, edema
warna kuning
keruh, berbusa Farmakologis
(+), pasir (-), Infus albumin 12 tpm
darah (-), nyeri Infus RL 12 tpm
saat BAK (+) inj. Furosemide 1x40
mg
Omeprazole 20 mg
Atorvastatin 20 mg
inj. Ceftriaxone 2x1
gram
Metil Prednisolon 16
mg – 16 mg – 0
26 Mei nyeri perut kiri Kesadaran : CM Sindrom Non Farmakologi
2017 bawah (+) TD : 110/80 Nefrotik + ISK Bed rest
menjalar ke Diet protein 0,8
Nadi : 78x/menit
belakang, nyeri gram/kgBB ideal/ hari
RR : 20x/menit
seperti ditusuk + ekskresi protein
S : 36,5 oC
tusuk, hilang dalam urin/24 jam
timbul. BAB (+) BB : 60 kg Diet rendah kolesterol
normal, BAK LP : 80 cm < 600mg/hari
(+) 1 gelas Diet rendah garam,
belimbing, restriksi cairan pada
warna kuning edema
keruh, berbusa
8
(+), pasir (-), Farmakologis
darah (-), nyeri Infus albumin 12 tpm
saat BAK (-) Infus RL 12 tpm
inj. Furosemide 1x40
mg
Omeprazole 20 mg
Atorvastatin 20 mg
inj. Ceftriaxone 2x1
gram
Metil Prednisolon 16
mg – 16 mg - 0
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
9
3.1. Anatomi Mikroskopis Ginjal1,4
Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi kolumna
vertebralis. Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri oleh karena adanya
hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh. Kutub atasnya terletak setinggi vertebra
thorakalis XII, sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak setinggi vertebra thorakalis XI.
Parenkim ginjal terdiri atas dua daerah khusus: korteks ginjal yang terletak di sebelah
luar dan tampak granuler, serta daerah bagian dalam yang berupa segitiga bergaris-garis
(piramid ginjal) yang secara kolektif disebut sebagai medula ginjal. 2 Tiap-tiap piramid
dipisahkan oleh kolumna Bertini. Dasar piramid ini ditutup oleh korteks, sedangkan
puncaknya (papila marginalis) membentuk duktus papilaris Bellini masuk ke dalam kaliks
minor. Beberapa kaliks minor bersatu menjadi kaliks mayor, yang selanjutnya bersatu
menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah keluar ureter.2
Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional (satuan terkecil yang
mampu membentuk urin) berukuran mikroskopik yang disebut nefron. Setiap nefron
terdiri dari kapsul Bowman dan kapiler glomerolus yang dilingkupinya, tubulus kontortus
proksimal, ansa Henle, tubulus kontortus distal yang mengosongkan diri ke tubulus
pengumpul. Setiap ginjal memperoleh pasokan darah dari arteri renalis. Pada saat
memasuki ginjal, arteri renalis bercabang-cabgang hingga akhirnya menjadi arteriol
aferen dengan setiap pembuluh tersebut memperdarahi sebuah nefron.2,3
Faal Glomerolus
Glomerolus merupakan bagian dominan pada komponen vaskuler nefron.2 Fungsi
terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat masuk ke tubulus
akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan hidrostatik
intrakapiler dan tekanan koloid osmotik.
10
ditandai oleh adanya albuminuria diperkirakan disebabkan oleh gangguan muatan negatif
di dalam membran glomerolus, yang menyebabkan membran lebih permeabel terhadap
albumin walaupun ukuran pori-pori tidak berubah.2
Dalam keadaan normal, ginjal menerima 20% sampai 25% dari curah jantung atau
1.200-1.250 mL/menit (RBF). Bila hematokrit normal dianggap 45%, maka aliran plasma
ginjal (RPF) sama dengan 660 mL/menit. Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma
yang masuk ke glomerolus difiltrasi dengan tekanan filtrasi netto 10 mmHg,
menghasilkan laju filtrasi glomerolus rata-rata (GFR) 125 mL/menit. Saat filtrat mengalir
melalui tubulus, ditambahkan atau diambil berbagai zat dari filtrat, sehingga akhirnya
hanya sekitar 1,5 L/hari yang dieksresi sebagai urin.2
3.2. Definisi
Sindrom nefrotik adalah
sekumpulan manifestasi
klinis yang ditandai oleh
proteinuria masif (lebih dari 3,5
g/1,73 m2 luas permukaan
tubuh per hari),
hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria, dan
hiperkoagulabilitas (Gunawan, 2006). Sindrom nefrotik selalu disebabkan oleh penyakit
glomerolus dengan albuminuria berat (>3–3.5 g/hari).1,4
3.3. Etiologi
Etiologi sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi :
11
o Glomerulonefritis proliferatif lain
b. Glomerulonefritis sekunder akibat:
o Infeksi, seperti infeksi HIV, hapatitis virus B dan C, sifilis, malaria, skistosoma,
tuberkulosis, dan lepra.
o Keganasan, seperti adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin,
mieloma multipel, dan karsinoma ginjal.
o Penyakit jaringan penghubung, seperti pada lupus eritematosus sistemik, artritis
reumatoid, MCTD (mixed connective tissue disease)
o Efek obat dan toksin, seperti obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas,
penisilinamin, probenesid, air raksa, kaptopril, dan heroin.
o Lain-lain, meliputi diabetes melitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf
kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah.
Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab
sindrom nefrotik. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin
serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah
perifer pasien sindrom nefrotik yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai
sel T.2
Hipoalbuminemia
12
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati, dan
kehilangan albumin melalui urin. Pada sindrom nefrotik, hipoalbuminemia disebabkan oleh
hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis
protein di hati biasanya meningkat sebagai usaha kompensasi (namun tidak memadai untuk
mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.
Edema
Edema pada sindrom nefrotik dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan interstisium dan
terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma
terjadi hipovolemia. Ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan
air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskuler, tetapi juga
mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.
Namun, pada awal tahun 1940an, khususnya pada dua dekade terakhir, banyak studi
yang mendukung adanya konsep yang berlawanan dengan teori underfill. Meskipun beberapa
pasien dengan sindrom nefrotik lesi minimal memiliki volume plasma yang endah, banyak
pasien dengan sindrom nefrotik tidak memiliki manifestasi klinis seperti yang diharapkn pada
teori underfill (penurunan volume plasma, peningkatan sodium-retaining hormones, dan
sebagainya).
Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Teori ini menjelaskan bahawa retensi
natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstravaskuler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerolus akibat
kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema.
Hiperlipidemi
Kadar kolesterol umumnya meningkat, sedangkan trigliserida bervariasi dari normal
sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL.
Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL. Selain itu ditemukan pula
13
peningkatan IDL (intermediate density lipoprotein) dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL
cenderung normal atau rendah.
Lipiduria
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini
berasal dari filtrat lipoprotein melalui membran basalis glomerulus yang permeabel.
Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan
plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X,
trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta
menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).
14
Pasien sindrom nefrotik mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut
melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan/atau sepsis sering menyebabkan
timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal
ginjal akut adalah terjadinya edema internal yang menyebabkan terjadinya kompresi pada
tubulus ginjal.
3.5. Pemeriksaan
1. Anamnesis
Perlu diperhatikan masalah penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat
penyakit sistemik lain.
2. Pemeriksaan fisik
Terdapat edema anasarka. Tidak jarang mata tertutup akibat edema pada kelopak mata.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan urin, meliputi protein urin, urinalisis, hamaturia, dipstick urin, berat
jenis urin, dan pemeriksaan sedimen. Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam
(fase oliguria).
Pemeriksaan darah, meliputi kadar albumin dalam serum, kolesterol serum,
trigliserid, hemoglobin, hematokrit, laju endap darah (LED), dan elektrolit serum.
Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal sering diperlukan untuk menegakkan
diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab sindrom nefrotik sekunder.
Pemeriksaan serologik sering tidak banyak memberikan informasi dan biayanya
mahal karena itu sebaiknya hanya dilakukan berdasarkan indikasi yang kuat.
15
Pathway Sindroma Nefrotik
3.6. Diagnosis
Diagnosis sindrom nefrotik dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
laboratorium berupa proteinuria masif (>3,5 g/1,73 m 2 luas permukaan tubuh/hari),
hipoalbuminemia (<3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas.
Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis
trombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada sindrom nefrotik
primer untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis
dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.
3.7. Penatalaksanaan4,5
Pengobatan sindrom nefrotik terdiri dari pengobatan spesifik terhadap penyakit
dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema, dan
mengobati komplikasi.
1. Non-medikamentosa
Diet untuk pasien sindrom nefrotik adalah 35 kal/kgBB/hari, sebagian besar terdiri
dari karbohidrat. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan
mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Dianjurkan diet protein normal 0,8-
1,0 g/kgBB/hari. Pada pasien dengan diet protein 0,6 g/kgBB/hari ditambah dengan
jumlah gram protein sesuai jumlah proteinuri hasilnya proteinuri berkurang, kadar
albumin darah meningkat, dan kadar fibrinogen menurun. Untuk mengurangi edema
diberikan diet rendah garam (1-2 gram natrium/hari) disertai diuretik dan tirah baring.
16
2. Medikamentosa
Kortikosteroid
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang
memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti lain menemukan
bahwa pada glomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien memberi
respon yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap. Pada kebanyakan pasien
nefropati membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih
baik untuk jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka
pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada nefropati jenis ini tidak
direkomendasikan.
Regimen penggunaan kortikosteroid pada sindrom nefrotik bermacam-macam,
di antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis
dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat
diulangi. Regimen lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5
mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari
selama 4 minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-
atau 2 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu, diikuti 40 mg/m2 luas permukaan
tubuh setiap 2 hari selama 4 minggu.
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap,
remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri minimal (<200
mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum <300 mg/dl, diuresis lancar,
dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuri <3,5 g/hari, albumin serum >2,5
g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema.
Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau
perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid. Pemberian
kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus sindrom nefrotik nefropati
lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% sindrom nefrotik nefropati
membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu
diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya
nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes mellitus.
17
ACE inhibitors dan angiotensin receptor blocker
Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk mengurangi
proteinuri digunakan terapi simptomatik dengan angiotensin converting enzyme
inhibitor (ACEI), misalnya kaptopril atau enalapril dosis rendah, dan dosis
ditingkatkan setelah 2 minggu, atau obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal
indometasin 3x50 mg. Angiotensin converting enzyme inhibitor mengurangi
ultrafiltrasi protein glomerulus dengan menurunkan tekanan intrakapiler
glomerulus dan memperbaiki size selective barrier glomerulus. Efek
antiproteinurik obat ini berlangsung lama (kurang lebih dua bulan setelah obat
dihentikan). Angiotensin receptor blocker (ARB) ternyata juga dapat memperbaiki
proteinuri karena menghambat inflamasi dan fibrosis interstisium, menghambat
pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adhesi molekul akibat kerja angiotensin II
lokal pada ginjal. Kombinasi ACEI dan ARB dilaporkan memberi efek
antiproteinuri lebih besar pada glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian
ACEI saja atau ARB saja.
OAINS
Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS) dapat digunakan pada pasien
nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan
sintesis prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal, penurunan
tekanan kapiler glomerulus, area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria
sampai 75%. Selain itu OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-related
antigenic dan mencegah agregasi trombosit. Namun demikian perlu diperhatikan
bahwa OAINS menyebabkan penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian
pasien. Obat ini tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin < 50 ml/menit.
18
siklofosfamid adalah depresi sumsum tulang, infeksi, alopesia, sistitis hemoragik
dan infertilitas bila diberikan lebih dari 6 bulan. Klorambusil diberikan dengan
dosis 0,1-0,2 mg/kgBB/hari selama 8 minggu. Efek samping klorambusil adalah
azoospermia dan agranulositosis.
Siklosporin A
Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah diberi
siklofosfamid atau untuk memperpanjang masa remisi setelah pemberian
kortikosteroid. Dosis 3-5 mg/kg/hari selama 6 bulan sampai 1 tahun (setelah 6
bulan dosis diturunkan 25% setiap 2 bulan). Siklosporin A dapat juga digunakan
dalam kombinasi dengan prednisolon pada kasus sindrom nefrotik yang gagal
dengan kombinasi terapi lain. Efek samping obat ini adalah hiperplasi gingival,
hipertrikosis, hiperurisemi, hipertensi dan nefrotoksis
Diuretik
Untuk mengurangi edema diberikan diuretik (furosemid 40 mg/hari atau
golongan tiazid) dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic
(spironolakton). Bila resisten dengan furosemid oral dapat dikombinasi dengan
tiazid, metalazon, atau asetazolamid.
Pada pasien sindrom nefrotik dapat terjadi resistensi terhadap diuretik (500 mg
furosemid dan 200 mg spironolakton). Resistensi terhadap diuretik ini bersifat
multifaktorial. Diduga hipoalbuminemi menyebabkan berkurangnya transportasi
obat ke tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh protein urin bukan merupakan
mekanisme utama resistensi ini. Pada pasien demikian dapat diberikan infus salt-
poor human albumin. Dikatakan terapi ini dapat meningkatkan volume plasma,
19
meningkatkan laju filtrasi glomerulus, aliran urin, dan ekskresi natrium. Namun
demikian infus albumin ini masih diragukan efektivitasnya karena albumin cepat
diekskresi lewat urin, selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan bahkan
edema paru pada pasien hipervolemi.
Antikoagulan
Risiko tromboemboli meningkat pada sindrom nefrotik dan perlu mendapat
penanganan. Walaupun pemberian jangka panjang masih kontroversial tetapi pada
satu studi terbukti memberikan keuntungan. Untuk mencegah penyulit
hiperkoagulabilitas yaitu tromboemboli yang terjadi pada kurang lebih 20% kasus
sindroma nefrotik (paling sering pada nefropati membranosa), digunakan
dipiridamol (3 x 75 mg) atau aspirin (100 mg/hari) sebagai anti agregasi trombosit
dan deposisi fibrin/trombus. Selain itu obat-obat ini dapat mengurangi secara
bermakna penurunan fungsi ginjal dan terjadinya gagal ginjal tahap akhir. Terapi
ini diberikan selama pasien mengalami proteinuri nefrotik, albumin <2 g/dl atau
keduanya. Jika terjadi tromboemboli, harus diberikan heparin intravena/infus
selama 5 hari, diikuti pemberian warfarin oral sampai 3 bulan atau setelah terjadi
kesembuhan sindrom nefrotik. Pemberian heparin dengan pantauan activated
partial thromboplastin time (APTT) 1,5-2,5 kali kontrol sedangkan efek warfarin
dievaluasi dengan prothrombin time (PT) yang biasa dinyatakan dengan
International Normalized Ratio (INR) 2-3 kali normal.
Penurun Lemak
Dislipidemia pada sindrom nefrotik belum secara meyakinkan meningkatkan
risiko penyakit kardiovaskuler, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong
pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin
seperti simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL,
trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL.
20
dapat toksis pada kadar biasa karena kadar klofibrat bebas yang meningkat
menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut. Probukol menurunkan kadar
kolesterol total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal terhadap trigliserid.
Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol dan lebih efektif jika
dikombinasi dengan gemfibrozil. Kolestiramin dan kolestipol efektif menurunkan
kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, namun obat ini tidak dianjurkan karena
efeknya pada absorbsi vitamin D di usus yang memperburuk defisiensi vitamin D
pada sindroma nefrotik.
Antibiotik
Bila terjadi penyulit infeksi bakterial (pneumonia pneumokokal atau
peritonitis) diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat disertai pemberian
imunoglobulin G intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin
pneumokokus. Pemakaian imunosupresan menimbulkan masalah infeksi virus
seperti campak, herpes.
Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal
ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan
penanganan pada umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat
dilakukan transplantasi ginjal. Pada pasien glomerulo-sklerosis fokal segmental yang
menjalani transplantasi ginjal, 15%-55% akan kembali terjadi sindrom nefrotik.
Rekurensi mungkin disebabkan oleh adanya faktor plasma (circulating factor) atau
faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus. Imunoadsorpsi protein
plasma A menurunkan ekskresi protein urin pada pasien sindrom nefrotik karena
glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa maupun sindrom nefrotik
sekunder karena diabetes melitus. Diduga imunoadsorpsi melepaskan faktor plasma yang
mengubah hemodinamika atau faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus.
3.8. Prognosis
Mortalitas dan prognosis pasien dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan
etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia, kondisi yang mendasari, dan responnya
terhadap pengobatan.
21
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pada laporan kasus ini, pasien Tn. I (20 tahun) didiagnosa dengan sindrom nefrotik +
ISK. Dasar diagnosa pada pasien ini adalah sebagai berikut:
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama bengkak di seluruh tubuh sejak ± 2 minggu
SMRS. Keluhan dirasakan timbul secara perlahan, bengkak pertama kali muncul pada daerah
mata dan wajah dan tampak terutama pada saat bangun tidur. Kemudian bengkak menjalar ke
perut dan menjalar sampai ke kaki. Pasien juga mengeluhkan nyeri di perut kiri bawah seperti
ditusuk-tusuk dan nyeri menjalar ke belakang, demam (-), mual (+), muntah (-), nafsu makan
menurun 3x sehari dan hanya 3 sendok setiap makan. BAB (+) normal. BAK (+) hanya
sedikit, nyeri saat BAK, warna kuning, berbusa (+), pasir (-), batu (-), darah (-). Riwayat
keluhan serupa sebelumnya (+), riwayat magh (+), riwayat hipertensi (-). Riwayat konsumsi
alcohol (+).
22
Berdasarkan hal diatas diagnosa sementara yang dapat ditegakkan adalah sindrom
nefrotik (SN). Untuk lebih memastikannya maka dilakukan pemeriksaan laboratorium dan
diperoleh hasil :
Kadar serum albumin 3,0 g/dl (hipoalbuminemia)
Kadar kolesterol darah 708 mg/dl, Trigliserida 336 mg/dl, HDL 25 mg/dl, LDL 616
mg/dl. (hiperlipidemia)
Terdapat protein dalam urine (proteinuria) 3+ atau protein total 3 g/dl
Hasil pemeriksaan laboratorium ini mendukung ditegakkannya diagnosa sindrom
nefrotik. Dan hal ini sesuai dengan definisi dari SN yaitu keadaan klinis yang terdiri dari
edema generalisata (anasarka), hipoalbuminemia, hiperlipidemia (hiperkolesterolemia) dan
proteinuria.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah meningkat (140/100 mmHg), nadi,
pernapasan dan suhu dalam batas normal. Pemeriksaan fisik tersebut dilakukan pada saat
pasien di poli RS Raden Mattaher, dan telah dilakukan terapi pemberian captopril 2x12,5 mg.
Sedangkan pertama kali os dirawat di RS Raden Mattaher didapatkan tekanan darah, nadi,
pernapasan dan suhu dalam batas normal.
Penatalaksanaan pada kasus ini yakni secara non medikamentosa dengan bedrest
total ,diet TKTPRG (tinggi kalori tinggi protein dan rendah garam). Sedangkan secara
medikamentosa dengan pemberian diuretik berupa furosemid dengan dosis 1x 40 mg sebagai
diuretik untuk mengurangi edema. Diberikan antibiotik Ceftriaxon 1,5 gr drip, karena pada
pasien tampak edema anasarka. Atorvastatin 20 mg untuk mengobati dislipidemia pada
pasien. Diberikan omeprazole 20 mg sebagai mukoprotektor. Infus albumin diberikan untuk
memperbaiki kadar protein pasien. Pada saat di poli dilakukan pemeriksaan tanda vital dan
didapatkan hipertensi sehingga diberikan Captopril 1x 12,5 mg.
Penyebab utama terjadinya SN pada pasien ini merupakan tipe sekunder sesuai teori
di dapatkan ada riwayat infeksi sebelumnya. Pasien mengeluh nyeri perut kiri bawah seperti
di tusuk-tusuk menjalar ke belakang. Pasien juga mengeluhkan nyeri saat BAK. Berdasarkan
keluhan tersebut, kemungkinan terdapat infeksi pada ginjal pasien. Namun untuk lebih
memastikan tipe dari SN ini adalah dengan melakukan biopsi ginjal.
23
BAB V
KESIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Prodjosudjadi, W. 2007. Sindrom Nefrotik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I. Ed: Aru W. Sudoyo dkk. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. pp: 547-549.
2. Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2, Alih Bahasa: Brahm
U. Pendit. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 463-475.
3. Wilson, L. M. 2006. Anatomi dan Fisiologi Ginjal dan Saluran Kemih. Dalam:
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Ed: Sylvia A. Price dan
Lorraine M. Wilson. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, dkk. Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran EGC. pp: 867-875.
4. Mansjoer, A. Suprahaita. Sindrom Nefrotik. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2
Edisi III. Media Aesculapius FKUI. Jakarta : 2000
5. Gunawan, C. A. 2006. Sindrom Nefrotik Patogenesis dan Penatalaksanaan.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.pdf/
18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.html
25
6. Hamm, L. L. dan Batuman, V. 2003. Edema in the Nephrotic Syndrome: New Aspect of
an Old Enigma. JASN. 14: 3288–3289. http://jasn.asnjournals.org/cgi/reprint/14/12/3288
26