Anda di halaman 1dari 32

Laporan Kasus

Stabilisasi dan Transfer Pasien Post CTR ec SOL


Intrakranial + Post VP Shunt ec Hidrosefalus

Disusun Oleh:
Dokter Muda Stase Anestesiologi dan Terapi Intensif
Periode 28 Februari – 26 Maret 2022

Rahma Adellia, S.Ked 04084822124026


HALAMAN JUDUL

Pembimbing:

dr. Andi Miarta, SpAn, KIC

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

SOL Intracranial ec Susp Medulla Blastoma + Post VP Shunt ec


Hidrosefalus

Oleh:

Rahma Adellia, S.Ked 04084822124026

Dosen Pembimbing:

dr. Andi Miarta, Sp.An, KIC

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin
Palembang periode 28 Februari – 26 Maret 2022.

Palembang, Maret 2022

dr. Andi Miarta, Sp.An, KIC

II
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapakan atas kehadirat Tuhan yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga laporan kasus yang berjudul “Stabilisasi dan Trasport Pasie
SOL Intracranial ec Susp Medulla Blastoma + Post VP Shunt ec
Hidrosefalus” dapat disusun. Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk memenuhi
salah satu tugas dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Departemen Anestesiologi RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian laporan kasus ini,
terutama kepada yang terhormat dr. Andi Miarta, Sp.An, KIC dan dr. Anang
atas bimbingan serta arahan yang telah diberikan dalam pembuatan laporan kasus
ini.
Dalam penyusunan laporan kasus ini penulis menyadari bahwa masih
terdapat banyak kekurangan. Hal ini didasarkan atas keterbatasan dan kekurangan
yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis membutuhkan kritik dan saran
sebagai bahan perbaikan di masa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini
dapat memberikan manfaat baik bagi semua pihak. Akhir kata, semoga Allah
SWT senantiasa melimpahkan karunia-Nya dan meridhai segala usaha kita.

Palembang, Maret 2022

Rahma Adellia

III
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................1

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................2

KATA PENGANTAR............................................................................................3

BAB I.......................................................................................................................5

BAB II.....................................................................................................................6
A. Identitas......................................................................................................6

B. Survei Primer .............................................................................................6

C. Survei Sekunder..........................................................................................7

D. Pemeriksaan Fisik.......................................................................................8

E. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................9

F. Diagnosis..................................................................................................12

G. Tatalaksana...............................................................................................12

H. Planning Anestesi.....................................................................................12

I. Prognosis..................................................................................................12

J. Follow Up.................................................................................................13

BAB III..................................................................................................................16

BAB IV..................................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22

IV
BAB I
PENDAHULUAN

Berdasarkan data laporan Centers for Disease Control and Prevention


(CDC), telah terjadi peningkatan kejadian cedera kepala sebesar 17% sepanjang
2008-2017. Analisis data prevalensi kematian akibat cedera kepala juga
meningkat dari 3.86 menjadi 4.53 per 100.000 penduduk dunia. 1 Data Riset
Kesehatan Dasar Republik Indonesia (RISKESDAS) 2018 mencatat kejadian
kepala dapat mencapai 500.000 kasus setiap tahunnya. Sumatera Selatan
menempati urutan kesebelas sebagai provinsi yang paling banyak melaporkan
kasus cedera kepala.2
CDC mendefinisikan cedera kepala sebagai gangguan fungsi otak yang
disebabkan oleh benturan, pukulan, maupun luka tusuk pada kepala. Semua orang
bisa mengalami cedera kepala. Cedera kepala adalah penyebab umum kematian
dan kecacatan sementara bahkan permanen pada anak-anak dan orang dewasa di
dunia.3 Penurunan kesadaran adalah salah satu akibat dari cedera kepala yang
menjadi acuan klasifikasi cedera kepala ringan, sedang, dan berat berdasarkan
glasgow coma scale (GCS). Ada banyak kemungkinan penyebab penurunan
kesadaran akibat cedera kepala, dibutuhkan strategi untuk melakukan evaluasi
serta tatalaksana dalam mencegah perburukan cedera kepala.4
Penatalaksanaan awal pasien cedera kepala pada dasarnya bertujuan untuk
memperbaiki kondisi umum pasien sesegera mungkin dan mencegah cedera
kepala sekunder. Tujuan penanganan cedera kepala adalah untuk
mempertahankan jalan napas pasien, mengontrol perdarahan, menghindari syok,
imobilisasi pasien, dan menghindari komplikasi dan cedera sekunder.5
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012 yang telah
direvisi tahun 2019, seorang dokter umum harus mampu melakukan penilaian
kesadaran (4A), mendiagnosis dan memberikan tatalaksana awal serta merujuk ke
rujukan yang tepat pada kasus penurunan kesadaran (3B). Oleh karena itu, untuk
mencapai kompetensi tersebut dan ikut andil dalam menurunkan angka kematian
serta mencegah kecacatan akibat cedera kepala maka disusunlah laporan kasus ini.

5
BAB II
STATUS PASIEN

A. Identitas
Nama : Nn. NSP
No. Rekam Medis : 0001248893
Umur : 9 tahun (18 Juli 2012)
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
BB : 24 kg
Alamat : Jl. Kancil Putih Pulau No. 119 A, Palembang
MRS : Senin, 28 Februari 2022

B. Survei Primer
Tabel 1. Survei primer

Klinis Masalah Tindakan


Gurgling (-), snoring (-),
stridor (-), perdarahan Pertahankan patensi jalan napas dengan
(-), muntah (-), keluar triple airway maneuver (head tilt, chin
Airway
busa dari mulut (-), lift dan jaw trust jika dicurigai ada cedera
Airway clear
cedera servikal (-) servikal)
Nafas spontan (+), RR
= 20x/menit, WOB
normal, retraksi dinding
dada (-), retraksi
intercostal (-), SpO2 99 Normal Pertahankan patensi pernafasan pasien
Breathing
%
Warna kulit sianosis
(-), akral pucat (-),
Pasang IV line 1 jalur. Pemberian
TD: 129/72 mmHg,
Circulation Normal cairan dengan kristaloid 500 mL.
HR: 103x/menit
GCS: E4M6V5 Lakukan manajemen breathing dan

6
Pupil bulat, isokor,
diameter pupil kanan dan circulation dengan baik sehingga
Penurunan
kiri 3 mm, refleks cahaya perfusi jaringan adekuat, dan memasang
Disability Kesadaran
pupil kanan dan kiri (+), monitor.
urin bag terisi 120ml

Environment T: 36,6°C Normal Jangan selimuti pasien

C. Survei Sekunder
Aloanamnesis pada tanggal 28 Februari 2022 pukul 15.10

Keluhan Utama
Nyeri Kepala sejak 1 tahun SMRS

Riwayat perjalanan penyakit


Sejak ± 1 tahun sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh nyeri
kepala. Awalnya dirasakan 2 bulan sekali, namun saat ini nyeri dirasakan semakin
sering dalam 1 bulan. Intensitas nyeri dirasakan semakin lama semakin berat.
Pasien juga mengeluh telinga terasa berdenging. Keluhan disertai mual dan
muntah yang menyemprot. Tidak ada demam, Tidak ada kejang. Pasien juga
mengeluh terdapat penurunan berat badan.

Pasien dibawa ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Mohammad


Hoesin Palembang dan dilakukan pemeriksaan CT scan kepala. Hasil yang
didapat yaitu adanya massa dan cairan intracranial.

Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat kelainan kongenital VACTERL disangkal
2. Riwayat Alergi disangkal
3. Riwayat Asma disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat DM dan Hipertensi disangkal

7
D. Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Sens : E4M6V5
TD : 90/60 mmHg
HR : 100 kali per menit
RR : 24 kali per menit
Suhu : 36,4oC
SpO2 : 99%
Status Fisik : ASA II

Keadaan Spesifik
 Kepala : normosefali,
 Leher : terpasang cervical collar
 Thorax : Pulmo
I: statis & dinamis simetris, jejas (-)
P: simetris, RR 14x/menit
P: sonor kedua hemithorax
A: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor
I: ictus cordis tidak terlihat
P: ictus cordis tidak teraba
P: batas jantung normal
A: BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-), HR 105x/menit
 Abdomen
I : datar, lemas, jejas (-)
P: hepar dan lien tidak teraba
P: timpani
A: bising usus (+)

8
 Ekstremitas: terpasang bidai pada kaki kanan, akral hangat, pucat (-)
 Genitalia: tidak ada kelainan

E. Pemeriksaan Penunjang
Tabel 2. Pemeriksaan Penunjang laboratorium (2 Maret 2022)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Hb 12,3 11,40-15,00
Eritrosit 4,45 4-5,7
Leukosit 18,45 4,73-10,89
Hematokrit 34% 35-45
Trombosit 365 189-436
MCV 77,3 85-95
MCH 28 28-32
MCHC 36 33-35
RDW-CV 12,6 11-15
Diff Count 0/0/89/10/1 0-1/1-6/50-70/20-40/2-8
LED 34 <20
Ureum 17 16,6-48,5
Kreatinin 0,62 0,73
Natrium 140 135-155
Kalium 4,4 3,5-5,5
Analisa Gas Darah
pH 7,465 7,35-7,45
pCO2 26,6 35-45
pO2 133,6 83-108
Bikarbonat 19,3 21-28

Pemeriksaan Radiologi
CT Scan Kepala di RSMH Palembang (19/11/2021)

9
Kesan : Massa solid kistik bentuk lobulated intraventrikel ukuran 6,5 x 5,5 x 5,8
cm yang heterogenous contrast enhancement pada bahan solid dan meluas ke
foramen dan menyebabkan pendesakan pada cerebellum posterior serta aspek
posterior midbrain, pons dan medulla oblongata.

10
Rontgen di RSMH Palembang (24/11/2021)

Gambar (A) rontgen pelvis, (B) rontgen servikal, dan (C) ronten tibia-fibula

Kesan : Terdapat fraktur inkomplit pada os. Coxae dextra. Terdapat fraktur
komplit pada os tibia dan os fibula dextra. Tidak terdapat kelainan pada foto
rontgen servikal.

F. Diagnosis
Post CTR a.i. SOL Intracranial + Post VP Shunt a.i Hidrosefalus

G. Tatalaksana
Non Farmakologi :
 Head up 30
 Monitoring TTV, urin
 Jaga suhu hipotermi

Farmakologi :
 IVFD NaCl 0,9% gtt XX/menit

11
 O2 kanul 21 pm tercapai SpO2 98%
 Dexametason 3 x 3 mg
 Paracetamol 3 x 500 g (15g/kgBB)
 Ceftriaxon 1 x 2 gr
 Midazolam 1 mg

H. Planning
 Cek AGD, DPL, DK, elektrolit, albumin, hemostasis darah, GDS

I. Prognosis
Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : dubia
Quo ad sanationam : dubia

12
J. Follow Up
Hari S Respiratory Failure fraktur linear temporal +
rawat ICH lobus frontemporal kiri
–0
O A: terpasang intubasi
B: RR 11x/min (nafas spontan), SpO2 99%
20/11/
C: TD 120/70mmHg, HR 50 x/min, tegangan kuat,
2021
irama regular, isi cukup
D: E1M1Vt; diameter pupil kanan dan kiri 4 mm, refleks cahaya tidak ada, urin bag
Pukul
300ml (urin 175cc)
03.00
A
Gagal nafas tipe 1 e.c penurunan kesadaran GCS E1M1Vt e.c cedera kepala +
Fraktur komplit os. tibia-fibula dextra + fraktur os. Coxae dextra + asidosis
P  IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit
 O2 10 L/menit via NRM
 Ceftriaxone 1 gram/12 jam IV
 Mannitol 100 cc/6 jam IV
 Asam traneksamat 50 g/8 jam PO
 Dexmedetomidin 10 ug/jam i.v kontinius

13
Hari S Respiratory Failure fraktur linear temporal +
rawat ICH lobus frontemporal kiri
–0
O A: terpasang intubasi
B: RR 7x/min (nafas spontan), SpO2 99%
20/11/
C: TD 120/70mmHg, HR 60 x/min, tegangan kuat,
2021
irama regular, isi cukup
D: E1M1Vt; diameter pupil kanan dan kiri 4 mm, refleks cahaya tidak ada, urin bag
Pukul
340ml (urin 40cc)
04.00
A
Gagal nafas tipe 1 e.c penurunan kesadaran GCS E1M1Vt e.c cedera kepala +
Fraktur komplit os. tibia-fibula dextra + fraktur os. Coxae dextra + asidosis
P  IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit
 O2 10 L/menit via NRM
 Ceftriaxone 1 gram/12 jam IV
 Mannitol 100 cc/6 jam IV
 Asam traneksamat 50 g/8 jam PO
 Dexmedetomidin 10 ug/jam i.v kontinius

14
Hari S Respiratory Failure fraktur linear temporal +
rawat ICH lobus frontemporal kiri
–0
O A: terpasang intubasi
B: RR 16x/min (On Mechanic Ventilator), SpO2 99%
20/11/
C: TD 90/60mmHg, HR 71 x/min, tegangan kuat,
2021
irama regular, isi cukup
D: E1M1Vt; diameter pupil kanan dan kiri 4 mm, refleks cahaya tidak ada, urin bag
Pukul
400ml (urin 60cc)
05.00
A
Mati batang otak e.c cedera kepala + Fraktur komplit os. tibia-fibula dextra + fraktur
os. Coxae dextra + asidosis
P  IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit
 O2 10 L/menit via NRM
 Ceftriaxone 1 gram/12 jam IV
 Mannitol 100 cc/6 jam IV
 Asam traneksamat 50 g/8 jam PO
 Dexmedetomidin 10 ug/jam i.v kontinius
 Breaking bad news kepada keluarga pasien

Tabel 1. Tabel Monitoring Intraoperatif

Jam TD NADI RR SpO2 Keterangan


(WIB) (mmHg) (x/mnt) (x/mnt)
09.00 120/80 120 20 99% Induksi obat: Thiopental 200 mcg,
09.30 110/80 115 21 99% Rocuronium 20 mg
10.00 100/70 114 19 99%  Dilakukan intubasi dengan
10.30 120/80 110 18 93% ETT no. 7,5
11.00 110/80 111 20 95%  Operasi dimulai
11.30 110/70 109 20 98% 
12.00 110/60 108 21 99%
12.30 100/60 104 20 99%

15
16
BAB III
ANALISIS KASUS

Nn. NSP, perempuan, usia 9 tahun, mengeluh nyeri kepala sejak kurang
lebih 1 tahun sebelum masuk rumah sakit. Awalnya dirasakan 2 bulan sekali,
namun saat ini nyeri dirasakan semakin sering dalam 1 bulan. Intensitas nyeri
dirasakan semakin lama semakin berat. Pasien juga mengeluh telinga terasa
berdenging. Keluhan disertai mual dan muntah yang menyemprot. Tidak ada
demam, Tidak ada kejang. Pasien juga mengeluh terdapat penurunan berat badan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran E4M6V5, tekanan darah


90/60 mmHg, nadi 90x/menit, laju pernapasan 20x/menit, temperature 37°C, dan
SpO2 98% dengan udara bebas. Pemeriksaan fisik spesifik kepala didapatkan
benjolan dengan ukuran 10x8 cm, nyeri tekan positif, keras, terfiksir. Pada
pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan dalam batas normal. Lalu
dilakukan pemeriksaan penunjang MRI didapatkan massa ekstraaksial kesan
maligna di regio frontal kiri yang menginfiltrasi os frontal kiri dan meluas ke
jaringan lunak menyebabkan edema serebri dan herniasi subfalcine. Sehingga
pasien didiagnosis dengan SOL intracranial infiltrasi extracranial frontoparietal
sinistra.
Istilah "SOL intrakranial" didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau
ganas, primer atau sekunder, serta apa dapat dideifinisikan sebagai massa
inflamasi atau parasit yang terletak di dalam rongga tengkorak.4 Menurut hukum
Monroe-kellie, total volume intracranial dipengaruhi oleh volume darah,
cerebrospinal fluid (CSF), dan jaringan otak yang selalu konstan karena cranium
tidak dapat mengembang (expand). Sehingga peningkatan dari salah satu
komponen akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.5 Mekanisme
kehilangan penglihatan mungkin dapat terjadi karena stasis aliran aksoplasma.
TIK yang tinggi menghasilkan peningkatan tekanan CSF di sekitar saraf optik,
yang mengganggu gradien normal antara tekanan intraokular dan tekanan
retrolaminar sehingga dapat menyebabkan peningkatan tekanan jaringan saraf

17
optik. Peningkatan tekanan jaringan ini akan menyebabkan gangguan proses
metabolisme yang memediasi aliran aksoplasma. Selain itu, pada anamnesis
didapatkan bahwa pasien mengalami penurunan pengelihatan secara progresif
yang merupakan salah satu manifestasi klinis dari SOL. Selain itu, peningkatan
tekanan intrakranial juga dapat menyebabkan nyeri kepala pada pasien. 6 Pasien
lalu diajukan untuk dilakukan tindakan pembedahan yaitu craniotomy tumor
removal.
Pada pasien dilakukan manajemen anestesi perioperatif yang terdiri dari
evaluasi pasien preoperatif, monitoring intraoperatif dan monitoring pasca
operatif. Pada pasien, teknik anestesi yang dilakukan adalah anestesi umum
dengan menggunakan obat-obat induksi yaitu Fentanyl 200mcg IV, Thiopental
500 gram IV dan Rocuronium 50 mg IV.

Ketika operasi telah selesai, pasien yang telah dianestesi tidak boleh
meninggalkan ruangan operasi hingga patensi saluran napas, ventilasi dan oksigenasi
adekuat, dan hemodinamik yang stabil tercapai. Setelah itu, anesthetist dapat mengambil
keputusan apakah pasien ini dapat dipindahkan ke recovery room atau langsung menuju
ICU.7 Adapun kriteria masuk dan prioritas ICU adalah sebagai berikut: 8
1. Prioritas 1
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi
intensif dan tertitrasi, seperti: dukungan/ bantuan ventilasi dan alat bantu suportif
organ/sistem yang lain, infus obat-obat vasoaktif kontinu, obat anti aritmia
kontinu, pengobatan kontinu tertitrasi, dan lain-lainnya. Contoh pasien pada
kelompok ini antara lain, pasca bedah kardiotorasik, pasien sepsis berat, gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam nyawa.
2. Prioritas 2
Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di ICU, sebab sangat
berisiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya pemantauan
intensif menggunakan pulmonary arterial catheter. Contoh pasien seperti ini
antara lain mereka yang menderita penyakit dasar jantung-paru, gagal ginjal akut
dan berat atau yang telah mengalami pembedahan mayor.
2. Prioritas 3

18
Pasien golongan ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil status kesehatan
sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya, secara sendirian
atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan/atau manfaat terapi di ICU pada
golongan ini sangat kecil. Contoh pasien ini antara lain pasien dengan keganasan
metastatik disertai penyulit infeksi, pericardial tamponade, sumbatan jalan napas,
atau pasien penyakit jantung, penyakit paru terminal disertai komplikasi penyakit
akut berat.
Umumnya pasien setelah kraniektomi dirawat di ICU. Tidak ada kriteria
yang menspesifikasi pasien kraniektomi untuk dilakukan perawatan di ICU.
Namun, lamanya operasi dan kerumitan prosedur tampaknya menjadi salah satu
alasan. Pasien yang menjalani prosedur lama yang didefinisikan sebagai operasi
yang berlangsung lebih dari sama dengan 4 jam, lebih mungkin untuk langsung
dipindahkan ke ICU. Pasien dirawat di ICU untuk memungkinkan identifikasi
secara cepat jika terjadi komplikasi pasca-operasi ataupun kegawatdaruratan yang
tepat waktu. Selain itu, faktor risiko pasien seperti diabetes, usia lanjut,
kehilangan darah intraoperatif yang besar telah diidentifikasikan sebagai prediksi
kebutuhan intervensi ICU setelah kraniektomi. Sementara itu, salah satu jurnal
menyebutkan bahwa prediktor tertentu dari kehilangan darah yang masif, di
antaranya jenis kelamin perempuan, ukuran tumor >5 cm, vaskularisasi tumor
yang tinggi dinilai berdasarkan pencitraan pra-operasi serta intraoperatif, dan
durasi operasi > 300 menit sehingga pada pasien dengan faktor risiko tersebut
sebaiknya dilakukan perawatan postoperatif di ICU.9,10
Komplikasi yang paling umum terjadi pada kraniektomi antara lain adalah
formasi hematoma, hidrosefalus, dan kejang. Berbeda dari pasien lain, pasien
postneurosurgical memiliki banyak kemungkinan komplikasi, seperti komplikasi
kardiopulmonal dan neurologis. Peningkatan TIK, hiperkapnia, dan hipoksia
dapat menyebabkan cedera saraf yang lebih berat, sehingga penggunaan ventilasi
elektif dibutuhkan untuk mencegah komplikasi tersebut. Selain itu, ventilasi
elektif juga menyingkirkan kemungkinan untuk re-intubasi, dikarenakan re-
intubasi dapat meingkatkan risiko terjadinya hipertensi intrakranial sekunder.
Post-operatif edema biasanya sangat berat pada pasien dengan massa intrakranial

19
yang sengaja untuk tidak diangkat. Sehingga pada pasien dengan kraniektomi
sebaiknya diberikan ventilasi elektif.11,12 Pada kasus ini, pasien termasuk prioritas
1 dimana pasien memerlukan ventilasi, dan berdasarkan pertimbangan lainnya
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pasien langsung dipindahkan ke ICU
untuk perawatan postoperatif.

I. Stabilisasi Pasien Sebelum Transfer3,5,13

Persiapan dan stabilisasi pasien yang tepat dan teliti harus dilakukan
sebelum transfer untuk mencegah efek samping atau penurunan kondisi klinis
pasien. Pasien harus ter-resusitasi secara adekuat dan distabilkan semaksimal
mungkin dengan waktu yang sesuai. Selama persiapan, A, B, C dan D, yaitu
airway, breathing, circulation, dan disability harus diperiksa, dan masalah terkait
yang dapat dicegah harus diperbaiki.

1) Airway

Pastikan jalan napas paten dan tidak ada risiko aspirasi saat sebelum
melakukan transfer. Pasien dengan gangguan napas, pasien dengan status
kesadaran comatose ataupun GCS <8, atau pasien dengan hilangnya refleks batuk
dan muntah harus di intubasi sebelum transfer. Dalam beberapa kasus
kemungkinan terdapat kompromi jalan napas selama transfer (misalnya, luka
bakar jalan napas, cedera kepala berat), intubasi endotrakeal elektif harus
dilakukan. Posisi pipa endotrakeal harus diperhatikan dan diamankan dengan
kuat. Pasien yang diintubasi selama operasi harus ditentukan apakah akan
dilakukan sebelum akhir pembedahan harus diputuskan apakah akan dilakukan
pemulihan dini dan ekstubasi segera setelah operasi. Penundaan pemulihan
diperlukan pada proses prosedur operasi yang lama, operasi pada tumor yang
besar dengan midlineshift, perdarahan intraoperatif yang masif, operasi yang
berkomplikasi, tingkat kesadaran menurun, atau gangguan kardiorespirasi yang
berat. Idealnya ekstubasi dilakukan bila pasien dapat menjawab perintah verbal,
nadi dan tekanan darah yang stabil, dan bernapas spontan. Saat pasien ditentukan

20
untuk tidak dilakukan ekstubasi, maka pastikan bahwa jalur napas paten atau
aman dengan intubasi.

Pada kasus ini, pasien ditunda pemulihannya sehingga pasien tidak dilakukan
ekstubasi. Jalan napas pasien aman dengan penggunaan intubasi sebelum transfer.
Tidak terdapat suara napas tambahan.

2) Breathing

Lihat apakah pasien bernapas spontan secara adekuat atau target ventilasi
tecapai dengan ventilator transport, pantau laju napas, apakah ada usaha napas
tambahan, dan saturasi oksigen. Jika pasien terintubasi, lihat apakah pasien
tersedasi secara tepat. Pastikan pasien dierikan 100% oksigen dan perhitungkan
dengan tepat FiO2 yang dibutuhkan oleh pasien. Saturasi oksigen yang ingin
dicapai adalah >98% Atur parameter ventilasi untuk mendapatkan PCO2 sekitar
35mmHg.

Pada kasus ini, pasien terintubasi dan target ventilasi tercapai. Tidak ada
retraksi dinding dada, pergerakan dinding dada normal. Saturasi oksigen cukup
sebelum, selama, dan setelah transfer.

3) Circulation

● Pada sirkulasi, pastikan:

● laju nadi dan tekanan darah optimal

● Pastikan pula perfusi pada jaringan dan organ baik

● Pantau Capillary Refill Time, warna kulit, akral untuk melihat perfusi perifer baik
atau tidak

● Sirkulasi volume darah kembali seperti semula/pulih

● Arterial line atau akses vena sentral jika diperlukan

Indikasi transfusi darah apabila Hb<8 g/dl atau kehilangan darah pada bedah
>20% dari volume darah. Pada pasien ini, terdapat perdarahan sebanyak 700ml.

21
Sehingga pasien diberikan transfusi darah sebanyak 1 kolf atau sekitar 200 ml.
Hemodinamik pasien stabil dengan pemberian cairan intravena dan pemberian
komponen darah.

4) Disability

Status neurologis pasien, sperti Glasgow Coma Score (GCS) dan respon
pupil terhadap cahaya harus didokumentasikan sebelum memulai transfer atau
pemberian agen paralitik dan obat penenang. Pasien harus dievaluasi untuk cedera
kepala atau tanda-tanda neurologis fokal. Bila diperlukan, kepala pasien, tulang
belakang leher, dada dan lumbar harus diamankan dengan perangkat imobilisasi.

Pada kasus, kesadaran pasien dalam pengaruh obat dan terdapat refleks
cahaya pada kedua pupil.

5) Environment

Terdapat peningkatan risiko hipotermia selama transfer sehingga pastikan


pasien diberikan selimut dan pemantauan suhu secara terus menerus. Hipotermia
dapat terjadi akibat suhu ruang operasi yang dingin. Tubuh akan mengompensasi
dengan menggigil. Menggigil yang hebat dapat menyebabkan
peningkatankonsumsi oksigen, produksi CO2 yang lebih banyak, dan dapat
mengganggu curah jantung.

Pada kasus ini, didapatkan suhu tubuh pasien normal. Pasien telah diselimuti
untuk mencegah terhadap hipotermia. Setelah menentukan ABCDE, pasien
dinyatakan stabil, dan dapat dilakukan transfer.

II. Transfer Pasien di Dalam Rumah Sakit 13,14


1) Evaluasi kebutuhan transfer
● Evaluasi keuntungan memindahkan pasien
● Tuliskantujuan dan alasan pemindahan pasien dalam case record
● Minimalisir risiko potensial yang dapat terjadi dengan perencanaan prosedur yang
cermat dan pemanfaatan peralatan serta personel yang tersedia

22
● Tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, perawat, staf medis dan koordinator
transportasi diperlukan untuk merencanakan dan mengkoordinasi proses transfer
Transfer pasien tidak boleh dilakukan bila dalam kondisi dibawah ini:
● Tidak mampu menyediakan oksigenasi dan ventilasi yang memadai selama
pengangkutan atau di tempat tujuan, baik dengan tas resusitasi manual, ventilator
portabel, atau standar ventilator unit perawatan intensif.
● Tidak mampu mempertahankan parameter hemodinamik selama pemindahan
hingga di tempat tujuan
● Tidak mampu memantau status kardiopulmoner pasien secara memadai selama
pemindahan
● Tida mampu mempertahankan kendali jalan napas selama pemindahan atau di
tempat tujuan
● Semua anggota tim transportasi yang diperlukan tidak hadir
● Tim penerima belum siap.
Pada pasien, seperti telah dijelaskan sebelumnya, memiliki lebih banyak
keuntungan untuk dipindahkan ICU. Pasien siap dipindahkan dari ruang operasi
ke ICU pukul 13.10 dengan tim yang tersedia beserta peralatan yang dibutuhkan.
2) Koordinasi dan komunikasi sebelum transportasi
● Komunikasi antar dokter dan antar perawat diperlukan untuk membuat rencana
transfer pasien
● Tim memastikan bahwa lokasi penerimaan siap menerima pasien
● Dokumentasi dalam rekam medis perlu dibuat, termasuk indikasi transportasi dan
status klinis pasien.
3) Personel pendamping
● Untuk personel pendamping disarankan minimal dua orang, salah satunya
dianjurkan dari tim ICU
● Tenaga klinis yang terlatih untuk manajemen airway dan ACLS
● Tim transport harus menemani pasien sampai pasien di ICU
Pada kasus ini, pasien diantarkan oleh petugas ICU, perawat ruang operasi,
beserta dokter anestesi.
4) Persyaratan peralatan

23
● Peralatan yang akan digunakan selama pemindahan bersifat khusus dan tidak
boleh digunakan di tempat lain
o Monitor tekanan darah, pulse oksymeter, ventilator invasif dan noninvasif, dan
defibrilator
o Obat resusitasi dasar termasuk epinefrin, norepinefrin, obat-obatan antiaritmia,
vasopresin, muscle relaxan, sedatif, narkotika, analgesik, dekstrosa ampul, dan
cairan IV ataupun obat drip yang sesuai
o Semua peralatan yang dioperasikan dengan baterai harus terisi penuh dan harus
memadai penyediaan cadangan baterai
● Pada pasien dengan ventilasi mekanis, posisi pipa endotrakeal dicatat dan
diamankan sebelum dan selama pengangkutan.
● Lakukan pemantauan kecukupan oksigenasi dan ventilasi
● Tidak ada peralatan atau obat yang ditempatkan di atas pasien. Sebagian besar
unit akan memiliki pengangkut yang dibuat khusus
● Troli monitor dan/atau ventilator harus dikencangkan dengan tali ke tempat tidur
atau troli agar tidak menimpa pasien
5) Mengidentifikasi pasien berisiko tinggi
Pasien dalam kategori berikut memiliki risiko yang sangat tinggi untuk
mengalami perburukan selama atau setelah proses transfer:
● Pasien dengan ventilasi mekanis, terutama yang berkebutuhan tinggi tekanan
ekspirasi akhir positif dan FiO2>0,5. Cadangan oksigen ekstra untuk pasien
dengan kebutuhan oksigen tinggi harus dijaga
● Pasien dengan skor keparahan cedera terapeutik yang tinggi
● Pasien cedera kepala
● Pasien yang secara hemodinamik tidak stabil yang membutuhkan infuse
dobutamin terus menerus, atau infuse terus menerus norepinefrin atau vasoaktif
lainnya
Selain itu menurut Intensive Care Society, risiko pasien dapat dibagi menjadi:
a. Low Risk
o NEWS2 1-4
o Dapat mempertahankan jalan napas

24
o FiO2 <0,4/ base deficit 0 sampai -4 mmol/L
o Tidak membutuhkan inotropic dan vasopressor
o GCS 14
o Normotermik
Pada pasien low risk: tim dapat berisi perawat dan praktisi klinis
b. Medium Risk
o NEWS2 5-6
o Dapat mempertahankan jalan napas
o FIO2 <0,6/ base deficit -4 sampai -8 mmol/L
o Membutuhkan dosis rendah inotropic atau vasopressor <0,2 mg/kg/min
o GCS 9-13
o Hipotermia atau hipertermia ringan
Pada pasien medium risk: diperlukan dokter atau klinisi tingkat lanjut untuk
menemani transfer pasien
c. High risk
o NEWS2 7 atau lebih
o Terintubasi
o FiO2 >0,6/ base deficit lebih dari -8 mmol/l
o Sistem kardiovaskular yang tidak stabil atau membutuhkan obat inotropic ataupun
vasopressor >0,2 mg/kg/min
o Hipotermia atau hipertermia seang
o Major trauma, seperti cedera kepala, toraks, abdomen, atau pelvis
Pada pasien high risk: Perlu dokter yang terlatih dalam critical care dan terlatih
manajemen airway

25
Gambar 1. NEWS2 Score15
Pada kasus ini, nilai NEWS2 pasien adalah 5 namun pasien terintubasi,
sehingga pasien berada pada high risk dan memerlukan dokter yang terlatih dalam
critical care dan manajemen airway.
6) Pemantauan selama pemindahan
● Monitor EKG
● Pulse oxymetri
● Penialaian sevara berkala tekanan darah, laju nadi, dan laju napas
● Beberapa pasien membutuhkan capnography, monitoring continuous intraarterial
blood pressure, dan monitoring tekanan intrakranial
Pada saat monitoring selama pemindahan, tanda-tanda vital pasien dalam batas
normal.
7) Perawatan selama transfer
● Idealnya, pasien harus mendapatkan tingkat perawatan yang sama seperti saat
sebelum transportasi.
● Pantau selalu tanda vital menggunakan monitor dengan interval yang telah
ditentukan

26
● Kejadian yang tidak diinginkan atau efek samping juga perlu dicatat dan segera
ditindaklanjuti.

Gambar 2. Alur Trasnfer Pasien15

27
III. Dokumentasi Pemindahan Pasien

Gambar 3. SBAR summary16


SBAR (Situation, Background, Assessment, Recommendation) merupakan
handover postoperative protocol yang direkomendasikan menurut WHO, sama
seperti penulisan SOAP atau I-PASS. Sedangkan menurut praktik anestesiologis
SBAR lebih baik untuk meningkatkan efektifitas komunikasi antar klinisi.16,17
Dokumentasi pemindahan pasien adalah yang paling penting dan harus
selalu jelas di semua tahap transfer. Dikarenakan dokumentasi pemindahan adalah
satu-satunya dokumen resmi pasien dipindahkan, sehingga harus mencakup
kondisi pasien, alasan pemindahan, nama dan penunjukan dokter yang merujuk
dan menerima, rincian dan status tanda-tanda vital sebelum pemindahan, kejadian
klinis selama pemindahan dan pengobatan yang diberikan. Harus terdapat
penyerahan resmi di fasilitas penerima antara tim pemindah dan tim penerima
termasuk para dokter dan perawat.3

28
Menurut Rajeev Cauhan, dkk. monitoring postoperatif pada pasien
neurosurgery dapat dilakukan selama 24 – 48 jam, dan pemantauan 24 jam
setelah ekstubasi.11,12

BAB IV

KESIMPULAN

Nn. FRS datang kerumah sakit dengan keluhan penurunan kesadaran


setelah jatuh dari ketinggian. Setelah dilakukan survey primer dan sekunder
pasien didagnosis dengan gagal nafas tipe 1 e.c penurunan kesadaran GCS
E1M1Vt e.c cedera kepala + Fraktur komplit os. tibia-fibula dextra + fraktur
inkomplit os. Coxae dextra + asidosis. Intubasi dilakukan untuk mempertahankan
patensi jalan napas pasien dengan pemasangan ETT. Oksigenisasi diberikan
5L/menit. IV line dipasang untuk pemberian cairan dan obat-obatan. Pasien lalu
dipasang monitor untuk memantau keadaan tanda vital. Tatalaksana cedera kepala
dilakukan dengan memposisikan pasien dengan posisi head up 30 derajat,
pemberian asam tranexamat untuk mencegah pendarahan lebih lanjut, lalu
pemberian manitol untuk mengurangi tekanan intracranial. Pasien lalu
direncanakan untuk prosedur craniotomi. Pada tanggal 20/11/2021 pukul 05.00
pasien dinyatakan Mati batang otak e.c cedera kepala + Fraktur komplit os. tibia-
fibula dextra + fraktur os. Coxae dextra + asidosis.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Centers for Disease Control and Prevention.. Traumatic Brain Injury. JAMA.
2020. Vol 323; p.1544
2. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Kementerian RI tahun 2018.
3. Dinsmore, Judith. Traumatic Brain Injury: an Evidence-Based review of
management. British Journal of Anaesthesia. 2017: 1-7
4. American College of Surgeons Committe on Trauma. Head Trauma. In:
Advanced Trauma Student Course Manual. Edisi 9. Chicago: American
College of Surgeons. 2018; p102-125
5. Taylor CA, Bell JM, Breiding MJ, Xu L. Traumatic Brain Injury-Related
Emergency Department Visits, Hospitalizations, and Deaths – United States,
2007 and 2013. MMWR Surveill Summ. 2017;66(9):p1-16
6. Dewanto G. Suwono WJ. Riyanto B. Turana Y. Diagnosis dan tatalaksana
penyakit saraf. Jakarta: 1enerbit buku kedokteran EGC
7. Toma AK. Intracranial pressure and cerebral haemodynamics. Anaesth
Intensive Care Med. 2017;p.1–5
8. John F. Butterworth, David C. Mackey, John D. Wasnick. Morgan & Mikhail’s
Clinical Anesthesiology. Edisi Ke-6. New York: McGraw-Hill Education;
2019.
9. Sherwood L. 2011. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. EGC. Jakarta
10. Mathews, Letha. "Management of Patient with Traumatic Brain Injury:
Epidural Hematoma." Problem Based Learning Discussions in Neuroanesthesia
and Neurocritical Care. Springer, Singapore, 2020. 235-244.
11. Jagannatha, Aniruddha Tekkatte, et al. "Urinary sodium loss following
hypertonic saline administration curtails its superior osmolar effect in
comparison to mannitol in severe traumatic brain injury: a secondary analysis
of a randomized controlled trial." Journal of Neuroanaesthesiology and Critical
Care 5.03 (2018): 164-167.

30
12. Godoy, Daniel Agustín, Santiago Lubillo, and Alejandro A. Rabinstein.
"Pathophysiology and management of intracranial hypertension and tissular
brain hypoxia after severe traumatic brain injury: an integrative approach."
Neurosurgery Clinics 29.2 (2018): 195-212

31
32

Anda mungkin juga menyukai