Anda di halaman 1dari 40

Laporan Kasus

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN November 2023
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

LAPORAN KASUS
PENGGUNAAN ANESTESI GANI (GENERAL ANASTHESIA NASAL
INTUBATION) PADA PASIEN IMPAKSI GIGI

OLEH:

Kholifah Wirdayana Dahlan


105501107621

Pembimbing:

dr. Dian Wirdiyana, M.Kes., Sp. An.-TI, Subs TI(K) .

(Dibawakan dalam rangka tugas kepanitraan klinik bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAKASSAR
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan bahwa

Nama : Kholifah Widayana Dahlan


Nim : 105501107621
Judul : PENGGUNAAN ANESTESI GANI (GENERAL ANASTHESIA NASAL
INTUBATION) PADA PASIEN IMPAKSI GIGI
Telah menyelesaikan Laporan Kasus dalam rangka kepanitraan klinik di Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Makassar.

Makassar, November 2023

Pembimbing,

dr. Dian Wirdayana, M.Kes., Sp. An.-TI, Subs TI(K)

II
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat,
hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga Laporan Kasus dengan judul
“PENGGUNAAN ANESTESI GANI (GENERAL ANASTHESIA NASAL INTUBATION)
PADA PASIEN IMPAKSI GIGI” ini dapat terselesaikan. Salam dan shalawat senantiasa
tercurah kepada baginda Rasulullah SAW, sang pembelajar sejati yang memberikan pedoman
hidup yang sesungguhnya.

Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yangsetinggi-tingginya kepada dosen dr. Dian Wirdiyana, M.Kes., Sp. An.-TI,
Subs TI(K). Yang telah memberikan petunjuk, arahan dan nasehat yang sangat berharga dalam
penyusunan sampai dengan selesainya referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dengan niat dan kesungguhan yang penuh serta
usaha yang maksimal dalam menyusun Laporan Kasus ini, masih banyak celah yang dapat diisi
untuk menyempurnakan referat ini, baik dari isi maupun penulisannya. Untuk itu kritik dan
saran dari semua pihak senantiasa penulis harapkan.

Demikian, semoga referat ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan penulis
secara khususnya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, November 2023

Penulis,

Kholifah Widayana Dahlan, S.Ked

III
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. ii

KATA PENGANTAR .............................................................................. iii

DAFTAR ISI ............................................................................................ iv

BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1

PENDAHULUAN ................................................................................ 1

BAB II LAPORAN KASUS ..................................................................... 2

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 12

A. IMPACTED TEETH ...................................................................... 12


1. ANATOMI GIGI ................................................................ 12
2. DEFINISI ........................................................................... 14
3. EPIDEMIOLOGI ................................................................ 14
4. ETIOLOGI ......................................................................... 15
5. KLASIFIKASI .................................................................... 16
6. PEMERIKSAAN RADIOLOGI .......................................... 17
7. PENATALAKSANAAN .................................................... 18
B. GENERAL ANASTHESIA NASOTRACHEAL INTUBATION ... 18
1. GENERAL ANESTESI .................................................... 18
2. INTUBASI........................................................................ 18

BAB IV DISKUSI .................................................................................... 33

DISKUSI ...................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 35

IV
BAB 1

PENDAHULUAN

Gigi Impaksi merupakan keadaan patologis dimana terhambatnya erupsi gigi

pada lengkung rahang, di sebabkan karena tidak ada jalan erupsi untuk gigi tumbuh

dalam jangka waktu yang telah di perkirakan, Gigi impaksi terjadi karena adanya

halangan oleh gigi sebelahnya atau terpendam oleh jaringan lunak atau tulang, sehingga

menyebabkan gigi impaksi tumbuh tidak sempurna, Gigi molar ketiga merupakan gigi

yang sering mengalami impaksi, namun gigi kaninus rahang atas, gigi premolar rahang

bawah dan gigi premolar rahang atas juga sering mengalami impaksi. Frekuensi gigi

impaksi tertinggi terjadi pada gigi molar ketiga rahang bawah.1

Salah satu penatalaksanaan untuk gigi impaksi adalah odontektomi.

Odontektomi merupakan tindakan mengeluarkan gigi secara bedah, diawali dengan

pembuatan flap mukoperiosteal, diikuti dengan pengambilan tulang yang menghalangi

pengeluaran gigi tersebut. Prosedur odontektomi merupakan salah satu prosedur

perawatan kedokteran gigi yang dapat menimbulkan rasa sakit, kecemasan dan

ketakutan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengontrol rasa sakit

dan ketakutan pasien adalah penggunaan anestesi, sehingga pasien dapat kooperatif saat

prosedur odontektomi berlangsung.1

Perencanaan teknik pembedahan meliputi pemilihan jenis anestesi yang akan

digunakan untuk manajemen rasa sakit pasien. Anestesi yang dapat digunakan dalam

odontektomi, yaitu anestesi lokal dan anestesi umum. Anestesi yang sering digunakan

dalam odontektomi adalah anestesi lokal, akan tetapi pada beberapa kasus, anestesi

umum dapat diindikasikan. Pemilihan jenis anestesi dilakukan dengan pertimbangan

kecemasan pasien, letak anatomi, kontrol nyeri yang memadai, dan komorbiditas

kondisi medis sistemik1

1
BAB II

LAPORAN KASUS

A. PREOPREATIF/PREANESTESI

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Y

Jenis Kelamin : Laki - Laki

Usia : 24 Tahun

Berat Badan : 73 Kg

Status Gizi : Normal

Agama : Islam

Diagnosis : Impected teeth

2. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Rasa Kurang Nyaman Daerah Gigi

Riwayat Penyakit sekarang : Pasien berusia 24 tahun masuk RSUD Labuang Baji

tanggl 08 November 2023 dengan keluahan rasa tidak nyaman pada daerah gigi dan

khawatir bentuk gigi tidak teratur. Nyeri kepala (-), nyeri gigi (-), nyeri daerah gusi

hilang timbul. Rasa kurang nyaman ada, keluhan lain tidak ada. BAB dan BAK dalam

batas normal.

Riwayat Penyakit Dahulu :

 Riwayat Asma (-)

 Riwayat Hipertensi (-)

 Riwayat Penyakit jantung (-)

 Riwayat Diabetes Melitus (-)

 Riwayat Alergi makanan (-) dan Obat (-)

2
Riwayat Operasi : Pasien Mengatakan tidak pernah di operasi sebelumnya.

3. PEMERIKSAAN FISIK

 GCS : E4M6V5 (Compos Mentis)

 Vital

 Tekanan darah : 126/80 mmhg

 Nadi : 78 x / menit

 Suhu : 36,6 oC

 Pernafasan : 17 x / menit

 Spo2 : 98 %

 Proritas 6B

 B1 (Breath)

Airway : bebas, gurgling / snoring / crowing (-/-/-), protrusi

mandibular (-), Retrusi mandibular (-), leher pendek (-), tonsil (T1-T1),

faring hiperemis (-), frekuensi pernapasan : 17 x/menit, suara

pernapasan : vesicular (+/+), suara pernapasan tambahan ronchi (-/-),

wheezing (-/-), gigi palsu (-), SpO2 98% (tanpa nasal kanul).

 B2 (Blood)

Akral hangat pada ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+),

tekanan darah: 126/80 mmHg, denyut nadi : 78 x/menit, reguler, kuat

angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.

 B3 (Brain)

Kesadaran: GCS 15 (E4M6V5) compos mentis refleks cahaya

langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+), defisit neurologi

(-), suhu 36,6°C.

 B4 (Bladder)

3
Buang air kecil : lancar, warna urin kekuningan, berpasir (-),

bercampur darah (-), nyeri berkemih (-).

 B5 (Bowel)

Abdomen : Distensi (-), peristaltic (+) kesan normal, nyeri tekan (-) di

seluruh region abdomen.

 B6 (Back & Bone)

Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-),

edema ekstremitas bawah (-/-).

 ASA (American Society of Anesthesiologi)

Adapun Klasifikasi ASA ( American Society of Anesthesiology) untuk

menilai kebugaran (Status) fisik Seseorang :

Klasifikasi ASA Definisi

ASA I Pasien normal dan sehat fisik dan mental

ASA II Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada

keterbatasan fungsional

ASA III Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat

yang menyebabkan keterbatasan fungsi

ASA IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang

mengancam hidup dan menyebabkan

ketidakmampuan fungsi

ASA V Pasien yang tidak mungkin bertahan hidup jika tidak

dilakukan operasi

ASA VI Pasien dengan kematian batang otak yang mana

organnya diambil untuk didonorkan

4
“Bila operasi yang dilakukan darurat (Emergensi) maka penggolongan ASA

diikuti huruf E (misalnya IE atau IIE)”.

Pada pasien didapatkan klasifikasi ASA I

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Laboratorium Darah

Pemeriksaan Darah Hasil Nilai Rujukan

Rutin Parameter

WBC 10.00 4.00-10.00 x 10^3/uL

RBC 6.96 4.00-6.20 x 10^6/uL

HGB 15 11.00-18.00 g/dL

HCT 47.4 35.00-55.00 %

MCV 68.1 80.0-100.0 fL

MCH 21.6 26.0-34.0 pg

PLT 245 150-450 x 10^3/uL

MPV 9.5 7.0-11.0 fL

PDW 11 9.0-17.0 Fl

 Kimia darah

Kimia darah Hasil Nilai Rujukan

GDS 103 <200

Hemostatis Hasil Nilai Rujukan

CT 6’30’’ 4 – 10 Menit

BT 3’00’’ 3 – 7 menit

Pemeriksaan lain Hasil Nilai Rujukan

HBsAg Non Reaktif Non Reaktif

5
5. DIAGNOSIS

Impacted Teeth

6. PENATALAKSANAAN

 Rencana Oprasi : Odontektomi

 KIE (+), Surat Tindakan Operasi, Surat Persetujuan Tindakan Anestesi

 Pasang infus ditangan kanan dengan IV Cath 18 G

Premedikasi di ruangan :

 Ceftriaxone inj 1 gr/IV 1 jam sebelum operasi

 Ranitidin 50 mg/IV 30 menit sebelum operasi

 Ondansentron 8 mg/IV 30 menit sebelum operasi

 Ketorolac 30 mg/IV 30 menit sebelum operasi

 Dexamethason 5 mg/IV 30 menit sebelum operasi

 Puasa 6 jam pre op sesuai TS Anestesi

7. KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan Pemeriksaan Fisik, Maka

 Diagnosis Pre-Opratif : Impacted Teeth

 Status Operatif : ASA I

 Jenis Operasi : Odontektomi

 Jenis Anastesi : General Anasthesia Nasotracheal Intubation

(GANI)

B. PREINDUKSI

a. PEMERIKSAAN FISIK PREOPERATIF

 B1 (Breath)

6
Airway : Bebas, 02 on air room, SpO2 99%

 B2 (Blood)

Tekanan darah : 124/85 mmhg, Nadi 76 x / Menit

 B3 (Brain)

Kesadaran : GCS 15 (E4M6V5) compos Mentis

 B4 (Bladder)

Cateter (-), nyeri saat BAK (-)

 B5 (Bowel)

Abdomen : Distensi (-), Peristaltik (+), Kesan normal, Nyeri tekan (-)

di seluruh region

 B6(Back & Bone)

Edema (-) hiperemis (-) deformitas (-)

b. PERSIAPAN DI KAMAR OPERASI

Hal- hal yang perlu di persiapkan di kamar operasi antara lain adalah :

 Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan

 Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.

 Alat-alat resusitasi (STATICS)

S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru-

paru dan jantung

Laringoscope untuk melihat kondisi laring,

Pilih bilah atau daun (blade yang sesuai dengan

usia pasien. Lampu harus cuku terang.

7
T Tube Nasotracheal tube pilih sesuai ukuran pasien,

pada kasus ini di gunakan ETT non kingking

ukuran 7 cm.

A Airway Pipa mulut-faring (Guedel, Orotracheal airway)

atau pipa hidung- faring (nasotracheal airway)

pipa ini menahan lidah saat pasien tidak sadar

untuk mengelakkan sumbatan jalan nafas.

T Tape Plaster untuk menfiksasi pipa agar tidak

terdorong atau tercabut.

I Introducer Forcep Magill dan Mandarin atau silet dari

kawat di bungkus plastic (kabel) yang mudah di

bengkokkan untuk mengarahkan agar pipa

trakea nudah di masukkan.

C Connector Penyambung pipa dan peralatan anestesia.

S Suction Penyedot lender, ludah , darah dan lain-lain

 Tiang infus

 Monitor tekanan darah, nadi, pulse oximetry, suhu tubuh, pernafasan

 Obat-obat anestesi yang diperlukan:


 Emergensi

 Premedikasi

 Induksi

 Muscle relaxan

 Kartu catatan medik anestesi


C. INTROPERATIF

8
1. Diagnosis Pra bedah : Impacted teeth

2. Diagnosis Pasca bedah : Impacted teeth

3. Jenis pembedahan : Odontektomi

4. Jenis anestesi : General Anasthesia Nasotracheal Intubation (GANI)

5. Lama anestesi : 09 : 13 Wita – 10 : 03 Wita (50 menit)

6. Lama operasi :09 : 18 Wita – 09 : 58 Wita (40 menit)

7. Anestesiologist : dr. Muhammad Rum, M.Kes, Sp.An-TI Subsp TI(K)

8. Ahli Bedah Mulut : drg. Andi Arfandi Arifuddin, Sp.BM(K)

9. Infus : IV Line dengan connecta di tangan kanan

10. Premedikasi :

 Fentanyl (dosis : 1- 2 mcg/ kgbb)

11. Relaksan : Atracurium 50 mg / 5 cc (dosis 0,5 mg/kgbb)

12. Teknik anestesi : General Anasthesia Nasotracheal Intubation (GANI)

 Pasien baring diposisikan supine, terpasang IV Line Cath 18 G ditangan

kanan, terpasang monitor standar (EKG, TD, Nadi, RR, Suhu, SpO2)

 Kemudian di lakukan Pemberian semprotan vasokonstriksi secara bilateral,

anestesi lokal dapat di berikan memlalui semprotan atau menggunakan

pelumas yang di campur dengan anestesi lokal

 Premedikasi: Fentanyl 150 mcg/IV bolus pelan

 Preoksigenasi: Oksigen 6-8 lpm via facemask

 Induksi: Propofol 80 mg/IV, dosis titrasi

 Intubation: Atracurium 40 mg/IV, Lidocain 1% 80 mg/IV

 Insersi ETT Non kingking ukuran 7.0 mm via nasal hingga tampak

diorofaring, identifikasi plica vocalis dengan larigoskopi direk, dorong ETT

9
dengan forcep magill, kembangkan cuff, suara napas kanan = kiri, suara napas

tambahan Rh dan Wh tidak ada, Fiksasi ETT.

13. Dipasang sevovlurane : 1,5 % sebagai maintenance

14. Maintenance vol % : O2 10 lpm + Sevovlurane 1,5 %

15. Maintenance : Fentanyl 50 mcg / jam (Syireng pump)

16. Tambahan Obat : Propofol 40 mg

17. Medikasi tambahan : Reversal (Atropine Sulfat 0,25 mg/ml  1 amp +

Neostigmin Sulfate 0,5 mg /ml  1 amp) dilarutkan dalam 10 cc Nacl 0.9%

18. Respirasi : Pernafasan kontrol

19. Cairan durante operasi : RL 876 ml

D. POST OPERATIF

Pemantauan di Recovery Room (ruang pulih) adalah ruangan khusus pasca anestesi /

bedah yang berada di kompleks kamar operasi , hal yang perlu di pantau adalah:

Modifikasi Skor Aldrete

Objek Kriteria Nilai

Gerakan Mampu mengerakkan keempat ekstremitas 2

Mampu mengerakkan dua ekstremitas 1

Tidak mampu mengerakkan eskstremitas 0

Respirasi Mampu bernafas dalam dan batuk 2

Sesak atau pernafasan terbatas 1

Henti nafas 0

Tekanan darah Berubah sampai 20% dari pra bedah 2

Berubah 20% - 50% dari pra bedah 1

Berubah > 50% dari pra bedah 0

Kesadaran Sadar baik dan orientasi baik 2

10
Sadar setelah di panggil 1

Tidak ada tanggapan terhadap rangsangan 0

Saturasi oksigen Saturasi > 92 % udara kamar 2

Inhalasi O2 untuk mempertahankan saturasi >90% 1

Saturasi < 90 % meskipun dengan suplementasi O2 0

 Tekanan darah, nadi, pernafasan, aktivitas motoric

 IVFD RL

 Bila tekanan darah sistolik < 90 mmhg memberikan injeksi ephedrine 10 mg/iv

 Bila denyut jantung < 50 x/menit berikan atrium sulfat 0,25 mg.

11
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. IMPACTED TEETH

1. ANATOMI GIGI

a. Bagian Bagian Gigi Permanen

Gigi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

 Mahkota gigi adalah bagian gigi yang terlihat di dalam mulut dan berwarna

putih.

 Akar gigi adalah bagian gigi yang tertanam di tulang rahang.

 Leher gigi adalah bagian gigi yang terletak diantara mahkota gigi dan akar

gigi.

b. Ciri-Ciri Gigi Permanen

Gigi molar pertama baik rahang atas maupun rahang bawah memiliki ciri-ciri

tersendiri, adapun ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:

12
 Gigi molar pertama rahang atas, ciri-cirinya:

 Mempunyai lima cups, termasuk tuberculum carabelli

 Mempunyai tiga akar, akar palatal terpanjang dan terbesar

 Pada pandangan oklusal tampak fissure berbentuk huruf “H”

 Memiliki lima bidang pada mahkota, yaitu: bidang bukal, palatal,

mesial, distal dan oklusal.

 Gigi molar pertama rahang bawah, ciri-cirinya:

 Mempunyai lima cups

 Mempunyai dua akar, yaitu akar mesial dan distal

 Pada pandangan oklusal tempatpit dan fissure, serta mempunyai

empat groove.

Gigi ukuran paling besar di rahang bawah mempunyai cups paling banyak

berdasarkan bentuk dan anatomisnya sehingga memiliki kecenderungan untuk

melekatnya sisa-sisa makanan dibandingkan dengan gigi molar atas.

c. Struktur Gigi Permanen

secara garis besar struktur gigi permanen dibagi menjadi dua bagian berikut:

 Struktur jaringan keras


13
Bagian ini terletak di rongga mulut yang dikenal dengan mahkota gigi. Pada

mahkota gigi terdapat bagian yang menonjol yang disebut puncak gigi.

Mahkota dan puncak gigi dilapisi oleh suatu lapisan yang disebut email gigi,

di bagian bawahnya terdapat lapisan berwarna putih yang disebut dentin gigi.

 Struktur jaringan lunak


Struktur jaringan lunak berfungsi untuk menyokong gigi. Jaringan lunak yang

menyokong gigi disebut gusi, bagian bawahnya terdapat rongga tempat

melekatnya gigi yang disebut tulang gigi.Bagian dalam gigi terdapat rongga

yaitu pulpa gigi dan di dalam pulpa terdapat serabut saraf serta pembuluh

darah.Struktur jaringan lunak berfungsi untuk menyokong gigi sehingga

disebut struktur jaringan penyokong.

2. DEFINISI

Gigi yang impaksi didefinisikan sebagai gigi yang erupsi, sebagian erupsi, atau

tidak erupsi yang tidak memiliki hubungan lengkung normal dengan gigi lain di dalam

rongga mulut. Gigi impaksi dapat pula didefenisikam sebagai retensi gigi karena

hambatan pada jalur erupsi atau lebih jarang akibat posisi abnormal dari benih gigi.

Molar ketiga adalah gigi yang paling sering terkena impaksi, diikuti oleh kaninus

maksila, premolar mandibula, dan kaninus mandibula.3

Menurut Kamus Kedokteran Gigi Ireland, impaksi gigi terjadi jika sebuah gigi

terhalang untuk erupsi ke posisi fungsional penuh. Faktor penghambat ini dapat berupa

gigi lain, tulang alveolar, atau jaringan lunak.

3. EPIDEMIOLOGI

Pada beberapa negara telah dilakukan penelitian tentang frekuensi gigi impaksi,

diantaranya penelitian yang telah dilakukan oleh Ramamurthy pada tahun 2012 di

14
India, penelitian yang dilakukan oleh Harsha tahun 2014 di India, serta penelitian yang

dilakukan oleh Amaliyana tahun 2014 di Banjarmasin yang menunjukan bahwa

perempuan lebih sering mengalami gigi impaksi dibandingkan dengan laki-laki.

Menurut Archer dikutip dari Rahayu sebanyak sembilan dari sepuluh orang mengalami

satu gigi yang impaksi. Gigi impaksi sering terjadi pada gigi permanen yaitu molar,

kaninus, premolar, dan insisivus. Penelitian yang dilakukan oleh Riwudjeru tahun 2012

pada pasien yang berkunjung ke BP-RSGM kota Manado menunjukan 96,56% gigi

impaksi pada pasien. Penelitian yang dilakukan oleh Secic dkk di Sarajevo tahun 2013

menunjukan insidensi gigi impaksi sebesar 89,7%. Penelitian gigi impaksi juga

dilakukan oleh Amanat dkk di Karachi selama tahun 2012-2013 menunjukan prevalensi

gigi impaksi sebesar 26%. Penelitian dilakukan oleh Al-Angudi dkk di Oman tahun

2014 menunjukan prevalensi gigi impaksi sebesar 54,3%.4

4. ETIOLOGI

Ada banyak pendapat mengenai faktor-faktor yang dapat berkontribusi pada

gangguan pola erupsi normal yang pada akhirnya menyebabkan impaksi gigi. Dua teori

utama telah diajukan sebagai penjelasan yang mungkin untuk impaksi gigi. Yang

pertama dikenal sebagai teori pedoman (guidance) yang mengidentifikasi faktor dan

kondisi lokal sebagai sesuatu yang berkontribusi terhadap impaksi gigi. Hal ini

termasuk kondisi seperti perpindahan embriologis dari benih gigi, transposisi gigi, dan

keberadaan gigi supernumerary atau odontoma. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi

jalur erupsi normal adalah gigi yang hilang secara bawaan, seperti gigi insisivus lateral

dimana hal ini diyakini mengganggu pedoman alami yang diperlukan untuk

menentukan posisi gigi di lengkung gigi.5

Teori kedua dikenal sebagai teori genetika, yang menghubungkan gigi impaksi

dengan kelainan gigi terkait genetik lainnya seperti ukuran, bentuk, jumlah, dan struktur

15
gigi. Etiologi gigi impaksi juga dikaitkan dengan kondisi sistemik, seperti gangguan

endokrin atau penyakit demam, sindrom, seperti displasia cleidocranial, dan proses

penyakit lokal, seperti tumor atau bibir dan palatum sumbing.5

5. KLASIFIKASI

Menurut sistem klasifikasi Winter, gigi yang mengalami impaksi dinilai

berdasarkan sudut yang terbentuk antara sumbu panjang gigi molar ketiga dan sumbu

panjang gigi molar kedua mandibula. Klasifikasi Winter adalah sebagai berikut: 5

a. Vertikal: sumbu panjang molar ketiga sejajar dengan sumbu panjang molar kedua

(dari 10 sampai 10°).

b. Mesioangular: sumbu panjang molar ketiga miring ke arah molar kedua dalam arah

mesial (dari 11 sampai 79 °).

c. Horizontal: sumbu panjang molar ketiga adalah horizontal (dari 80 sampai 100°).

d. Distoangular: sumbu panjang molar ketiga miring ke arah belakang/posterior dari

molar kedua (dari –11 sampai –79°).

e. Buccolingual: sumbu panjang molar ketiga berorientasi pada arah buccolingual

dengan mahkota yang tumpang tindih dengan akar.

f. . Lainnya (dari 101 sampai 80°), meliputi mesio invert, disto invert dan disto

horizontal.

16
6. PEMERIKSAAN RADIOGRAFI

Pada bidang kedokteran gigi, pemeriksaan radiografi memiliki peran sebagai

pemeriksaan penunjang dalam melakukan perawatan. Pemeriksaan penunjang ini dapat

membantu dokter gigi untuk melihat kondisi rongga mulut lebih jelas dan rinci. Peran

radiografi yaitu sebagai pemeriksaan penunjang untuk membantu dokter gigi dalam

menentukan diagnosis, menentukan rencana perawatan, serta mengevaluasi hasil

perawatan yang telah dilakukan sebelumnya. 5

Interpretasi radiografi gigi dapat dipandang sebagai proses untuk membuka atau

mencari semua informasi yang ada dalam radiografi gigi tersebut. Tujuan utama

interpretasi radiografi gigi adalah:

a. Mengidentifikasi ada atau tidak adanya penyakit.

17
b. Mencari atau memberi informasi mengenai awal dan perluasan penyakit.

c. Memungkinkan dibuatkannnya differential diagnosis.

7. PENATALAKSANAAN

Gigi impaksi sebaiknya dikeluarkan karena gigi impaksi berpotensi

menimbulkan berbagai masalah patologis yang lebih serius dan berbahaya seperti

terbentuknya kista dentigerous, tumor, resorpsi akar gigi disebelahnya serta komplikasi

lainnya. Terdapat beberapa cara penatalaksanaan gigi impaksi. 6

Pertama, gigi impaksi dicabut kemudian ruangan bekas pencabutan ditutup

dengan perawatan ortodonti. 6

Pilihan kedua adalah berupa tindakan bedah untuk membuka gigi impaksi

kemudian dilanjutkan dengan perawatan ortodonti untuk menarik gigi impaksi masuk

ke dalam bidang oklusal, terkadang gigi impaksi dapat erupsi sendiri tanpa bantuan alat

ortodonti Odontektomi merupakan prosedur umum yang dilakukan pada gigi impaksi.6

Pilihan perawatan ketiga adalah melakukan tindakan autotransplantasi. Pilihan

rencana perawatan tergantung pada posisi gigi impaksi, jarak antara gigi impaksi

dengan bidang oklusal, tahap perkembangan gigi impaksi tersebut, hubungan gigi

impaksi dengan gigi-gigi di dekatnya serta kebutuhan perawatan ortodonti, usia pasien

dan respons penyembuhan jaringan keras dan lunak setelah tindakan bedah.6

B. GENERAL ANASTHESIA NASOTRACHEAL INTUBATION

1. GENERAL ANESTESI

General anestesi adalah suatu tindakan untuk meniadakan rasa sakit di seluruh

tubuh disertai hilangnya kesadaran serta menghilangkan kesadaran secara reversible

akibat pemberian obat-obatan anestesi . general anestesi memiliki beberapa teknik,

meliputi : 7

a. Teknik General anestesi dengan intravena

18
Dimana merupakan Teknik yang dilakukan dengan cara memberikan /

menyuntikkan obat anestesi secara parenteral melalui jalur intravena. Teknik

anestesi general intravena terdiri atas, anestesi intravena klasik, anastesi

intravena total, anestesi-analgesia neurolept, berikut adalah jenis obat-obat

anestesi intravena : 8

 Hipnosis

 Propofol

Merupakan agen anestesi intravena yang paling sering digunakan

dalam praktek sehari-hari. Onset kerja cepat, antimuntah, waktu

pulih singkat, anti-inflamasi, merupakan beberapa kelebihan dari

efek propofol yang sudah terbukti dalam penelitian sebelumnya.

Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi yang berisi

10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol.

Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa

premedikasi3 . Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik

setelah postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah

postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun

mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk

operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam

menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan

kritis.

 Midazolam

Dosis midazolam 0,05-0,1 mg/KgBB IV (mula kerja 30 - 60 detik,

dengan efek puncak 2 – 3 menit, lama kerja 15 – 80 menit) efektif

sebagai sedasi saat anestesi regional. Dibanding diazepam,

19
midazolam menghasilkan mula kerja 29 yang cepat, lebih amnesia

dan cepat pulih sadar setelah operasi. Efek samping terbesar

pemberian midazolam adalah menekan sistem pernapasan

dikarenakan menurunnya ambang nafas, terlebih jika digabung

dengan opioid.

 Ketamin

Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestestik dan kataleptik

dengan kerja singkat.

 Analgesik

 Morfin

Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife

selektif, yakni tidak begitu mempengaharui unsur sensoris lain,

yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ;

bahakan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian

morfin dosis terapi. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau

mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri

hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yang

diperlukan.

 Fentanly

Dosis fentanyl adalah 1-2 mcg/kgBB. Fentanyl merupakan opioid

sintetik dari kelompok fenilpiperidin dan bekerjasebagai agonis

reseptor µ. Fentanyl banyak digunakan untuk anestetik karena

waktu untuk mencapai puncak analgesia lebih 30 singkat, efeknya

cepat berakhir setelah dosis kecil yang diberikan secara bolus, dan

relatif kurang mempengaruhi kardiovaskular.

20
 Pelumpuh Otot

Obat pelumpuh otot adalah obat/ zat anestesi yang diberikan

kepada pasien secara intramuskular atau intravena yang bertujuan untuk

mencapai relaksasi dari otot-otot rangka dan memudahkan dilakukannya

operasi.

 Pelumpuh otot Depolarisasi

Obat pelumpuh otot adalah obat/ zat anestesi yang diberikan kepada

pasien secara intramuskular atau intravena yang bertujuan untuk

mencapai relaksasi dari otot-otot rangka dan memudahkan

dilakukannya operasi. Pelumpuh ototdepolarisasi bekerja seperti

asetilkolin, tetapi di celah saraf otot tidak dirusak oleh kolinesterase,

sehingga cukup lama berada di celah sipnatik, sehingga terjadilah

depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot

lurik. Yang termasuk golongan ini adalah suksinilkolin, dengan

dosis 1-2 mg/kgBB IV.

 Pelumpuh Otot Non Depolarisasi

Pelumpuh otot non-depolarisasi berikatan dengan reseptor

nikotinikkolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi, hanya

menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak 31

dapat bekerja.

b. Teknik general anestesi inhalasi

Merupakan salah satu Teknik general anestesi yang dilakukan dengan

cara memberikan campuran berupa gas atau agen inhalasi yang diuapkan

melalui alat/media vaporizer pada mesin anestesi langsung ke udara anestesi. 8

21
Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk

praktek klinik ialah N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Desfluran, dan

Sevofluran. Mekanisme kerja obat anestetik inhalasi sangat rumit, sehingga

masih menjadi misteri dalam farmakologi modern. Berikut adalah jenis gas

anestetik inhalasi, diantaranya:

 N2O

 Halotan

 Isofluran

 Desfluran

 Sevofluran

c. General anestesi dengan teknik balance

Yaitu menggunakan obat obatan antara anestesi intravena dan inhalasi

sehingga mencapai trias anestesi trias anestesi mengakibatkan efek hypnosis,

efek analgesia dan efek relaksasi.7,8

indikasi Anestesi umum:

 Pada bayi dan anak-anak

 Pembedahan pada orang dewasa dimana anestesi umum lebih disukai oleh

ahli bedah walaupun dapat dilakukan dengan anestesi local

 Operasi besar

 Pasien dengan gangguan mental

 Pembedahan yang lama

 Pembedahan yang dengan lokal anestesi tidak begitu praktis dan memuaskan

 Pasien dengan obat-obatan anestesi lokal pernah mengalami alergi.

22
Pasca general anestesi mengakibatkan gangguan pola pernapasan yang

disebabkan oleh efek sisa obat anestesi, serta dapat mengakibatkan gangguan sirkulasi

karena kekurangan cairan dan perdarahan. Selain itu pasca general anestesi dapat

menyebabkan hipotermi yang diakibatkan oleh efek obat anestesi. Pasca general

anestesi juga memiliki efek regurgitasi dan muntah yang dapat mengakibatkan

aspirasi. Menurut studi penelitian yang lain menyatakan bahwa general anestesi

mempengaruhi waktu pulih sadar, selama waktu pulih sadar dilakukan pemantauan

dan dilakukan penilaian dengan menggunakan aldret score,

2. INTUBASI

a. DEFINISI

Intubasi adalah memasukkan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut

atau hidung, intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan

intubasi nasotrakeal. Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukkan pipa nasal

melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing menggunakan laryngoscop.

Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea

melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya

verada kira-kira di pertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. 9

b. TUJUAN

Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau

melalui hidung, dengan sasaran jalan bagian atas atau trachea. Tujuan di

lakukanya intubasi yaitu sebagai berikut:9

 Mempermudah pemberian anestesia

 Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan

kelancaran pernafasan.

23
 Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak

sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk)

 Mempermudah penghisapan sekret trakeobronkial

 Pemakaian ventilasi mekanisme yang lama.

 Mengatasi obstruksi laringakut.

c. INDIKASI

Indikasi intubasi endotrkeal yaitu mengontrol jalan nafas, menyediakan

saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang,

meminimalkan risiko aspirasi, menyelengarakan proteksi terhadap pasien dengan

keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi

yang tidak adekuat, ventilasi dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan,

menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala,

memungkinkan berbagai posisi ( misalnya, tengkurap, duduk, lateral, kepala ke

bawah), menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea selalma operasi saluran

nafas, perawatan kritis, mempertahankan saluran nafas yang adekuat, melindungi

terhadap aspirasi paru. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret

pulmonal. Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah : trauma sevikal yang

memerlukan keadaan imobilissi tulang vertebra servical, sehingga sulit untuk di

lakukan intubasi.9

Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan

menjalani operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa

orotrakeal, diameter maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi

nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan jalan napas menjadi

cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang di lakukan

untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan nafas serta resiko

24
terjadinya sinusitis. Teknik ini bermanfaat apabila urgensi pengelolaan airway

tidak memungkinkan foto servikal. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind

nasotrakela intubasi) memerlukaan penderita yang masih bernafas spontan.

Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnea. Makin dalam

penderita bernafas, makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring.

Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa nasotrakela antara lain fraktur basis

crania khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan

trombolisis10

d. PERSIAPAN

1) Prinsip Intubasi

 Jalur intravena yang adekuat

 Obat – obatan yang tepat untuk induksi dan relaksasi otot

 Pastikan alat suction tersedia dan berfungsi

 Peralatan yang tepat untuk laringoskopi termasuk laryngoscope dengan

blade yang tepat. Nasotracheal tube dengan ukuran yang di inginkan , jelly,

dan stylet.

 Pastikan lampu laringoskop hidup dan berfungsi serta cuff nasotracheal

tube berfungsi

 Sumber oksigen, sungkup dengan ukuran yang tepat, amubag dan sirkuit

anestesi yang berfungsi.

 Monitor pasien termasuk elektrokardiografi, pulse oksimeter dan tekanan

darah non invasive

 Tempatkan pasien pada posisi sniffing position selama tidak ada

kontraindikasi

 Alat – alat untuk ventilasi

25
 Alat monitoring karbon dioksida untuk memastikan Nasotracheal tube

dalam posisi yang tepat.9,10

2) Prediksi Kesulitan Intubasi

Kesulitan Intubasi adalah keadaan dimana intubasi dengan beberapa upaya

laringoskopi, manuver dan atau scalpel digunakan oleh seorang dokter ahli yang

berpengalaman. Kesulitan intubasi berkaitan dengan ketidakjelasan lapang

pandang plica vokalis pada laringoskop dan perlunya penggunaan alat atau teknik

khusus.11

Kriteria LEMON:

 L - Look externally: Yang dievaluasi adalah dengan melihat seluruh bagian

wajah. Adanya hal-hal yang menyebabkan pasien membutuhkan tindakan

ventilasi atau intubasi dan evaluasi kesulitan secara fisik. Pada umumnya jika

jalan napas terlihat sulit, maka kesulitan jalan napas benar terjadi. Perhatikan

apakah pasien memiliki leher pendek, trauma wajah, gigi yang besar, kumis

atau jenggot tebal, dan lidah yang besar.

 E - Evaluate 3-3-2: Langkah ini merupakan gabungan dari buka mulut dan

ukuran mandibula terhadap posisi laring. Penentuan jarak anatomis

menggunakan jari sebagai alat ukur untuk mengetahui seberapa besar

pembukaan mulut dan ukuran mandibula dengan posisi laring pada leher

dalam memungkinkan keberhasilan visualisasi glotis dengan laringoskopi

langsung.

3: Kecukupan akses oral. Jarak interincisor 3 jari pasien. Mulut harus terbuka

secara memadai untuk memungkinkan visualisasi melewati lidah ketika

laringoskop dan tabung endotrakeal berada dalam rongga mulut.

26
3: Kapasitas ruang mandibula untuk memuat lidah ketika laringoskopi. Jarak

mentothyoid 3 jari pasien. Mandibula harus memiliki ukuran (panjang) yang

cukup untuk memungkinkan lidah tergeser sepenuhnya ke dalam ruang

submandibular.

2: Mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan dasar lidah. Jarak

thyrothyoid 2 jari pasien. Glottis harus terletak pada jarak yang cukup caudal

ke pangkal lidah yang merupakan garis pandang langsung dari luar mulut ke

pita suara.

 M - Mallampati score: alat klasifikasi untuk menilai visualisasi hipofaring,

caranya pasien berbaring dalam posisi supine, membuka mulut sambil

menjulurkan lidah.

 O - Obstruction/obesity: Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu

kita pertimbangkan sebagai akibat adanya obstruksi pada jalan napas.

Menilai adanya keadaan yang dapat menyebabkan obstruksi misalkan abses

peritonsil, trauma karena obesitas dapat menyebabkan sulitnya intubasi

karena memperberat ketika melakukan laringoskop dan mengurangi

visualisasi laring. Empat tanda utama adanya obstruksi jalan napas atas yaitu

muffled voice (hot potato voice), kesulitan menelan (karena rasa sakit atau

obstruksi), stridor, dan sensasi dispnea. Dua tanda pertama tidak biasanya

menunjukkan adanya obstruksi total pada jalan napas atas pada orang

dewasa. Namun adanya obstruksi kritis biasa ditandai jika sensasi dispnea

terjadi. Stridor merupakan tanda yang terburuk karena mengindikasikan jalan

napas telah tereduksi menjadi < 50 % dari normalnya, atau diameternya

menjadi < 4,5 mm. meskipun masih kontroversial namun pasien obesitas

27
sering memiliki kondisi pandangan glottis yang buruk dengan laringoskopi

langsung ataupun video.

 N - Neck mobility: Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan

sebagai suatu kesulitan dalam intubasi. Menilai apakah ada deformitas leher

yang dapat menyebabkan berkurangnya range of movement dari leher

sehingga intubasi menjadi sulit. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan

Ekstensi sendi atlanto - oksipital yaitu posisi leher fleksi dengan menyuruh

pasien memfleksikan kepalanya kemudian mengangkat mukanya, hal ini

untuk menguji ekstensi daripada sendi atlanto - oksipital. Aksis oral, faring

dan laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan posisi Magill. Ektensi

leher "normal" adalah 35o (The atlantooksipital/ A-O joint). Keterbatasan

ektensi sendi terdapat pada spondylosis, rheumatoid arthritis, dan pasien

dengan gejala yang menunjukkan kompresi saraf dengan ekstensi servikal

3) Alat-Alat

Alat – alat yang di gunakan pada Tindakan intubasi endotrakeal anatara lain

 Laringoskop, yaitu alat yang digunakan untul melihat laring, ada dua jenis

laringoskop yaitu :

 Blade lengkung (McIntosh). Biasa di gunakan pada laringoskop dewasa.

 Blade lurus. Laringoskop dengan blade lurus (misalnya blade (magill)

mempunyai teknik yang berbeda. Biasanya di gunakan pada pasien bayi

dan anak-anak, karena mempunyai epiglottis yang relatif kaku dan lebih

Panjang. Trauma yang terjadi pada intubasi sering terjadi pada blade

lurus.12

 Endotrakeal Tube/ Nasotracheal Tube

28
Biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pipa plastic yang sekali pakai dan

lebih tidak mengiritasi mukosa trachea. Untuk operasi tertentu misalnya

daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa di tekuk yang

mempunyai spiral nilon atau besi. Untuk mencegah kebocoran jalan nafas,

kebanyakan pipa endotrakeal mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya.

Terdapat dua jenis balon yaitu balon dengan volune besar dan kecil. Balon

volume kecil cenderung bertekanan tinggi pada sel-sel mukosa dan

mengurangi aliran darah kapiler, sehingga dapat menyebabkan ischemic.

Balon volume besar melingkupi daerah mukosa yang lebih luas dengan

tekanan yang lebih rendah di bandingkan dengan volume kecil. Pipa tanpa

balon biasanya di gunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan

nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada dewasa biasanya di pakai pipa balon

karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa di

gunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 7,0-7,5 mm dan

Perempuan 6,5 – 7,0 mm. Untuk intubasi oral Panjang pipa yang masuk 20 –

23 cm. pada anak – anak dengan memperkirakan besarnya jari

kelingkingnya.

 Orofaring dan nasofaring tube

Alat ini di gunakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya

lidah dan faring pada pasien

 Plaster untuk memfiksasi pipa endotrakhea setelah Tindakan intubasi

 Stilet atau forsep intubasi

Biasa di gunakan untuk mengatur kelengkungan pips endotracheal sebagai

alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi (Magill) di gunakan untuk

29
memanipulasi pipa endotracheal nasal, atau pipa nasogastic melalui

orofaring.

 IV line

IV line sangat krusial untul intubasi terutama untuk memasukkan obat yang

di gunakan untul ,menunjang intubasi atau untuk menstabilkan pasien.

 Monitor dan mesin Gas Anestesi

Pada intubasi monitor di gunakan untuk memeriksa kestabilan pasien saat di

lakukanya intubasi. Sedangkan mesin gas sebagai fasilitator proses

oksigenasi sesaat setalah di lakukanya induksi dan sebelum intubasi.

 Bantal untuk intubasi

Bantal ini di gunakan untuk memudahkan kita membuat pasien dalam

keadaan sniffing.

 Alat penghisap ataun suction

Untuk membersihkan lendir, pada saluran nafas pasien selama proses

intubasi.

4) Tindakan Intubasi

 Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang,

oksiput diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan

bantal yang cukup keras atau botol infus ), sehingga kepala dalam keadaan

ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.

 Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot,

lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan

selama 3 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon

dengan tangan kanan.

30
 Pemberian vasokonstriksi. Pemberian semprotan vasokonstriksi secara

bilateral, anestesi lokal dapat di berikan memlalui semprotan atau

menggunakan pelumas yang di campur dengan anestesi lokal 10

 Pemasangan pipa Nasotracheal Tube dilumasi dengan jelly di ujung bagian

distal setelah itu dimasukkan dengan tangan kanan melalui Nostril dextra

atau sinistra , tekan dengan lembut serta dorong nasotracheal tube tersebut.

 Ketika nasotracheal tube telah mencapai nasofaring posterior dan melewati

arcus pallatum mole ke dalam orofaring selanjutnya ambil laringoskop.

 Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang

laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan

dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop

didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan

akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan

dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita

suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.

 Setelah itu ambil Foceps Magill kemudian gunakan untuk memasukkan

nasotracheal tube kedalam plica vocalis menuju trachea.

 Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon

dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun

laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester. 12

 Mengontrol letak pipa dada dipastikan mengembang saat diberikan

ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop,

diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada

aliran udara di nasotracheal tube. Bila terjadi intubasi nasotracheal tube

akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara

31
nafas kiri. kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan

tahanan jalan nafas terasa Ichih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti

ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedin panu sama. Sedangkan bib

terjadi inaabasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster

akan mengembang terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),

kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan

nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi

dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup. 12

 Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien

bersangkutan.

32
BAB IV

DISKUSI

Pasien berusia 24 tahun masuk RSUD Labuang Baji tanggl 08 November 2023 dengan

keluahan rasa tidak nyaman pada daerah gigi dan khawatir bentuk gigi tidak teratur. Nyeri

kepala (-), nyeri gigi (-), rasa kurang nyaman ada, keluhan lain tidak ada. BAB dan BAK dalam

batas normal, selera makan meunurun karena rasa tidak nyaman daerah gigi.

Pemeriksaan fisik dari tanda – tanda vital di dapatkan tekanan darah 126/80 mmhg,
0
nadi 78 x / menit, respirasi 17 x/ menit, suhu 36,6 c, dari pemeriksaan laboratorium

hematologic di dapatkan hasil dalam batas normal. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik

disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA I.

Pada pemeriksaan radiologi didapatkan pasien dengan diagnosis impaksi gigi sehingga

pasien direncanakan untuk tindakan Odontektomi dimana tindakan odontektomi adalah

prosedur pengangkatan dengan pembedahan, sehinggan memerlukan tindakan anestesi GANI

(general Anasthesia Nasotracheal Intubation) yang mana anestesi ini dinilai lebih efektif untuk

diterapkan pada pasien dengan operasi pada daerah cavum oral yang dapat mengurangi

penyulit pada saat tindakan pembedahan Odontektomi dan juga keuntungan lain yang di

dapatkan dari tindakan anestesi tersebut.

Pasien masuk ke kamar operasi pukul 09.00, kemudian dilakukan persiapan pada pasien

dengan tanda – tanda vital awal : TD 124/85 mmHg, HR 75 x/menit, RR : 20 x / menit, Suhu

36,70 , Sp O2 99%. Setelah pasien dan instrumen untuk pembedahan telah siap, pukul 09:10

dilakukan persiapan untuk anestesi dengan prosedur GANI

Pada pasien dipilih untuk dilakukan tindakan anestesi umum dengan intubasi

Nasotracheal napas terkendali dengan pertimbangan keuntungan yang di dapat dari tindakan

anestesi tersebut. Setelah terpasang jalur intravena dengan cairan RL (Ringer Laktat), obat-

33
obat premedikasi, fentanyl 150 mcg, kemudian dilakukan preoksigenasi dengan O2 6-8 lpm

via facemask, kemudian dilakukan induksi Profopol 80 mg dengan dosis titrasi, selanjutnya

diberikan Muscel relaxan dengan golongan non depolarisasi yaitu Atracurium 50 mg, sebagai

obat anestesi inhalasi diberikan sevofluran 1,5% vol dengan O2 8 lpm.

Selama operasi berlangsung pasien sadar sehingga diberi propofol 40 mg, selain itu

juga terpasang syringe pump dengan fentanyl dosis 50 mcg/ jam sebagai maintenance

analgetik. Pukul 09:18 Wita operasi berlangsung, dilakukan pemantaun tanda – tanda vital

pasien. Pukul 09: 58 Wita operasi selesai, setelah operasi dilakukan pemberian reversel

neogstigmin, pasien hemodinamik stabil, napas spontan adekuat, pasien sadar baik, dilakukan

TTV terakhir TD : 124/78 mmhg, N : 70 x/menit, P: 22 x/menit suhu : 36,7 0c, Spo2 : 100%.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Citra, Fitri Pradhitia, 2023, Gambaran Klasifikasi dan Angulasi Gigi Impaksi Molar

Ketiga Rahang Bawah Pada Pasien RSGM UNAND Dilihat Secara Radiografi

Panoramik, Universitas Andalas.

2. Studi P, Dokter P, Kedokteran F. Dedy. S, dkk, 2019, Anatomi Sistem Respirasi dan

Cardiovascular, Universitas Syiah Kuala.

3. Santosh P. Impacted Mandibular Third Molars: Review of Literature and a Proposal of

a Combined Clinical and Radiological Classification. Ann Med Health Sci Res

[Internet]. 2015 [cited 2023 Nov 22];5(4):229. Available from:

/pmc/articles/PMC4512113/

4. Sahetapy. D, 2015, PREVALENSI GIGI IMPAKSI MOLAR TIGA PARTIAL

ERUPTED PADA MASYARAKAT DESA TOTABUAN, Universitas Sam Ratulangi.

Vol. 3. 2015.

5. Ainiyyah. F. Z, 2020, Hubungan Impaksi Molar Ketiga Rahang bawah Klasifikasi

Pell-Gregory dan Winter dengan Tinggi Ramus dan Ukuran Sudut Gonial Berdasarkan

Radiografi Panoramik, Universitas Hasanuddin.

6. Larry J. P, 2015, Principles of management of impacted Teeth, Dalam: Ellis, E., Hupp,

JR dan Tucker, MR, Eds., Bedah Mulut dan Maksilofasial Kontemporer, Edisi ke-4,

Mosby, St. Louis.

7. Smith G, D’Cruz JR, Rondeau B, Goldman J. General Anesthesia for Surgeons.

StatPearls [Internet]. 2023 Aug 5 [cited 2023 Nov 22]; Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493199/

35
8. Wong SSC, Choi SW, Lee Y, Irwin MG, Cheung CW. The analgesic effects of

intraoperative total intravenous anesthesia (TIVA) with propofol versus sevoflurane

after colorectal surgery. Medicine (United States). 2018 Aug 1;97(31).

9. Asai T. Airway management inside and outside operating rooms—circumstances are

quite different. Vol. 120, British Journal of Anaesthesia. Elsevier Ltd; 2018. p. 207–9.

10. Chauhan V, Acharya G. Nasal intubation: A comprehensive review. Indian J Crit Care

Med [Internet]. 2016 Nov 1 [cited 2023 Nov 22];20(11):662. Available from:

/pmc/articles/PMC5144529/

11. Ji SM, Moon EJ, Kim TJ, Yi JW, Seo H, Lee BJ. Correlation between modified

LEMON score and intubation difficulty in adult trauma patients undergoing

emergency surgery. World Journal of Emergency Surgery. 2018 Jul 24;13(1).

12. Alvarado AC, Panakos P. Endotracheal Tube Intubation Techniques. StatPearls

[Internet]. 2023 Jul 10 [cited 2023 Oct 16]; Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560730/

36

Anda mungkin juga menyukai