Anda di halaman 1dari 36

BAGIAN ANESTESIOLOGI

LAPORAN KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
AGUSTUS 2019
MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MANAGEMEN KESULITAN INTUBASI PADA PASIEN


TONSILITIS DENGAN TMD 2 CM

PEMBIMBING:
dr. Alamsyah Irwan,M.kes.,Sp.An
OLEH :
Khairul waldi
10542038812

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS


KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Khairul Waldi

NIM : 10542038812

Judul Laporan Kasus : Managemen Kesulitan Intubasi Pada Pasien Tonsilitis


Dengan Tmd 2 Cm

Telah menyelesaikan Laporan Kasus dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian

Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Agustus 2019

Pembimbing,

dr. Alamsyah Irwan,M.kes.,Sp.An


KATA PENGANTAR

AssalamualaikumWr. Wb.

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan laporan kasus ini dapat

diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Besar

Nabi Muhammad SAW.

Laporan kasus berjudul “Manajemen Kesulitan Intubasi Pada Pasien Tonsillitis

Dengan TMD 2 Cm” ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya,

sebagai salah satu syarat untuk dalam menyelesaikan Kepanitraan Klinik di Bagian

Anestesiologi. Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang

mendalam kepada dr. Alamsyah Irwan,M.kes.,Sp.An Selaku pembimbing yang telah

banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan

arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini belum sempurna.

Akhir kata, penulis berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat kepada

semua orang.

Makassar, Agustus 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam penilaian awal dan manajemen maupun pasien dengan sakit kritis, ABC
(Airway, Breathing dan circulation) adalah prioritas pertama. Hypoksia akan
mengawali menyebabkan cedera otak ireversibel dalam waktu sekitar 5 menit. Dengan
demikian manajemen jalan nafas harus mendahului perawatan lainnya. Kemampuan
untuk menjaga dan mempertahankan jalan napas terbuka pada pasien, dan kemampuan
untuk memastikan ventilasi dan oksigenasi memadai pasien, adalah keterampilan
penting bagi dokter. Tujuan "manajemen jalan nafas dasar" akan merujuk untuk
intervensi dasar yang mempertahankan terbukanya jalan napas dan membantu
ventilasi.
Ahli anestesi harus mempertahankan pertukaran gas yang adekuat pada
pasiennya dalam berbagai keadaan dan ini menuntut agar patensi jalan nafas atas
dipertahankan secara konstan. Insiden kesulitan intubasi dilaporkan di dalam beberapa
literature berbeda berdasarkan studi, dengan range 0.05 sampai 0.8 %.1,2
BAB II
LAPORAN KASUS
A. PREOPERATIF/PREANESTESI
I. Identitas pasien
Nama : Nn. Tw
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 19 tahun
Berat Badan : 40 kg
Agama : Islam
Alamat : Taeng, Gowa
Diagnosis : Tonsilitis Kronik
II. Anamnesis
Keluhan utama : Keluhan rasa mengganjal di tenggorok dan susah
menelan
a) Riwayat penyakit sekarang :
Penderita datang ke poliklinik THT Rsud Syech Yusuf Gowa dengan
keluhan rasa mengganjal di tenggorok dan susah menelan yang dirasakan
sejak 2 bulan yang lalu, rasa mengganjal di tenggorok dirasakan terus
menerus dan semakin berat sejak 2 minggu terakhir. Penderita juga
mengeluhkan rasa sakit di tenggorok, nyeri menelan baik makanan padat
maupun cair, rasa kering, dan gatal pada tenggorokan, batuk, pilek dan
demam yang dirasakan pasien terutama ketika serangan. Pasien juga
mengeluhkan gangguan suara/suara serak, sukar membuka mulut, sejak 1
bulan oleh penderita. Selain itu pasien juga mengeluhkan saat tidur
mendengkur (ngorok), dan kadang terbangun tiba-tiba karena sesak nafas,
keluhan tersebut sudah dialami kira-kira 2 minggu terakhir.
Dalam 3 bulan ini, keluhan-keluhan yang dirasakan saat serangan
tersebut dirasakan terutama setelah Penderita mengkonsumsi gorengan,
makanan pedas atau minuman dingin dan terkadang keluhan tersebut akan
hilang sendiri tanpa pengobatan.
Sakit didaerah wajah dan rasa adanya cairan yang mengalir di
tenggorokan disangkal oleh pasien. Keluhan nyeri pada telinga, telingga
terasa mendengung dan rasa penuh di telinga disangkal oleh pasien. Mata
merah, mata berair, gatal-gatal dan kemerahan di kulit juga disangkal oleh
pasien. Demam tidak ada.

Riwayat penyakit dahulu:


1) Riwayat asma (-)
2) Riwayat penyakit sistemik (-)
3) Riwayat penyakit jantung (-)
4) Riwayat penyakit diabetes melitus (-)
5) Riwayat alergi makanan (-) dan obat (-)
b) Riwayat operasi (-)
III. Pemeriksaan fisik
GCS : E4V5M6
Vital Sign : Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36,5 C
Pernafasan : 18 x/menit

a) B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing: (-/-/-), potrusi mandibular (-),
buka mulut 5 cm, jarak mentohyoid 2 cm, jarak hyothyoid 2,3 cm, leher
pendek (+), gerak leher bebas, tonsil (T3-T3), faring hiperemis (-), frekuensi
pernapasan: 18 kali/menit, suara pernapasan: vesikular (+/+), suara
pernapasan tambahan ronchi(-/-), wheezing(-/-), skor Mallampati : 3,
massa (-), gigi ompong (-), gigi palsu (-).
b) B2 (Blood) :
Akral hangat pada ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+),
tekanan darah: 100/70 mmHg, denyut nadi : 80 kali/menit, reguler, kuat
angkat.
c) B3 (Brain) :
Kesadaran: Composmentis, Pupil: isokor Ø 2,5 mm/2,5mm, defisit
neurologi (-).
d) B4 (Bladder) :
Produksi urin normal tidak terpasang kateter.
e) B5 (Bowel) :
Abdomen: tampak cembung, stria gravidarum (-), peristaltik (+) kesan
normal, massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).
f) B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema
ekstremitas bawah (-/-).

IV. Pemeriksaan penunjang


a) Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Lab Nilai Normal
Hematologi (2 Agustus 2019)
Hemoglobin 12.4 12,0-16,0 g/dL
Leukosit 10.28 4.000-10.000 /L
Hematokrit 37.7 36-48%
Eritrosit 4,51 4,0--5,00 x106/
Trombosit 526 150-450 103/L
MCV 83,6 84-96µm3
MCH 27,5 28-34pg
Kimia (2 Agustus 2019)
SGOT 19 0-31 U/L
assss SGPT 15 0-32 U/L
Ureum 18 10-50 mg/dl
Kreatinin 0.72 0.6-1.1 mg/dl
Glukosa Sewaktu 90 <140mg/dl
aaaaaaa Hemostasis (2 Agustus 2019)
PT 14.2 10.8-14,4

INR 1,26 0,88-1,2

APTT 26,1 24,0-36,0


Bleeding Time (BT) 2’00” 1’00”-3’00”

Clotting Time 6’40” 6’00”-10’00

Laktat 3.01 0.36-1.25 mmol/L

V. Diagnosis
Tonsilitis Kronis

VI. Penatalaksaan
Rencana : Tonsilektomi

Di Ruangan :
KIE (+), surat persetujuan tindakan operasi (+), surat persetujuan tindakan
anestesi (+),
 IVFD Ringer Laktat 20 tpm
 Injeksi Cefoperazone 1 gr/iv (Preoperatif)
 Puasa Pukul 00.00 WITA
VII. Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka:
Diagnosis Preoperatif : Tonsilitis Kronik
Status Operatif : PS ASA II, skor Mallampati 3
Jenis Tindakan : Pemasangan Endotracheal Tube
Jenis Anastesi : General Anestesi
B. PREINDUKSI

Pemeriksaan fisik preoperatif


1. B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing: (-/-/-), potrusi mandibular (-),
buka mulut 5 cm, jarak mentohyoid 2 cm, jarak hyothyoid 2,3 cm, leher
pendek (+), gerak leher bebas, tonsil (T3-T3), faring hiperemis (-), frekuensi
pernapasan : 28 kali/menit, suara pernapasan : vesikular(+/+), suara
pernapasan tambahan ronchi(-/-),wheezing(-/-),skor Mallampati : 3, massa
(-), gigi ompong (-), gigi palsu (-).
2. B2 (Blood) Akral hangat pada ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas
bawah (+/+), tekanan darah : 100/60 mmHg, denyut nadi : 80 kali/menit,
reguler, kuat angkat.
3. B3 (Brain) Kesadaran : Composmentis, Pupil : isokor dextra/sinistra,
defisit neurologi (-), suhu: 36,5̊C.
4. B4 (Bladder) :
Produksi urin normal tidak terpasang kateter.
5. B5 (Bowel) :
Abdomen: tampak cembung, stria gravidarum (-), peristaltik (+) kesan
normal, massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).
6. B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema
ekstremitas bawah (-/-).

Persiapan pasien preoperatif :


IVFD RL 20 tpm
Persiapan dikamar operasi :
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
 Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan.
 Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
 Alat-alat resusitasi (STATICS).
 Obat-obat anastesia yang diperlukan.
 Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
 Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
 Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.
 Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter” dan “Capnograf”.
 Kartu catatan medik anestesia
 Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
Tabel komponen STATICS
Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
S Scope Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini
T Tubes
digunakan laryngeal mask airway ukuran 2 ½.
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
A Airways
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
mengelakkan sumbatan jalan napas.
Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
T Tapes
tercabut.
Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
I Introducer
supaya pipa trakea mudah dimasukkan. Pada
pasien ini tidak digunakan introducel atau stilet.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

C. INTRAOPERATIF
1. Diagnosis pra bedah
Tonsilitis Kronik
2. Diagnosis pasca bedah
Tonsillitis Kronik
3. Penatalaksanaan anestesi
a. Jenis anestesi : General Anestesi
b. Lama anestesi : 10.10 – 10.40 (30 menit)
c. Lama operasi : 10.10 – 10.50 (40 menit)
d. Anestesiologi : dr. Ade Irna, Sp.An, M.Kes
e. Posisi : Supine
f. Infus : 1 line dengan connecta di tangan kanan
g. Teknik anastesi : General Endo Tracheal Anesthesia (GETA)
1) Mesin siap pakai
2) Cuci tangan
3) Memakai sarung tangan steril
4) Periksa balon pipa/ cuff ETT
5) Pasang macintosh blade yang sesuai
7) Beri oksigenasi O2 10 Lpm via jacksen rep
8) Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
9) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
10) Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan
11)Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat epiglotis,
dorong blade sampai pangkal epiglotis
12)Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
13)Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan tangan
kanan
14)Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan
nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
15)Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak
terdengar
16)Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
17) Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
18) Lakukan fiksasi ETT dengan plester
19) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
20) Bereskan dan rapikan kembali peralatan
21) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan2
h. Premedikasi : Fentanyl 80 mcg
Midazolam 2 mg
i. Induksi : Propofol 80 mg/mL
j. Induksi : Rocuronium Bromida 25 inj
k. Maintanance : O2, N2O,sevoflurane
l. Respirasi : Terkontrol
m. Posisi : Supinasi
n. Cairan durante operasi : RL500 ml
D. POST OPERATIF

Pemantauan di Recovery Room (RR) :


 Tanda vital antara lain: tekanan darah, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
 Bila mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), makan dan minum
diperbolehkan sesuai instruksi sejawat THT.
 IVFD RL 20 tpm
 Bila tekanan darah sistolik < 90 mmHg, diberikan injeksi ephedrin 10 mg/iv
 Bila denyut jantung < 60 kali/menit, diberikan atropin sulfat 0,5 mg.
BAB III
PEMBAHASAN
A. DISKUSI

Penderita datang ke poliklinik THT Rsud Syech Yusuf Gowa dengan


keluhan rasa mengganjal di tenggorok dan susah menelan yang dirasakan
sejak 2 bulan yang lalu, rasa mengganjal di tenggorok dirasakan terus
menerus dan semakin berat sejak 2 minggu terakhir. Penderita juga
mengeluhkan rasa sakit di tenggorok, nyeri menelan baik makanan padat
maupun cair, rasa kering, dan gatal pada tenggorokan, batuk, pilek dan
demam yang dirasakan pasien terutama ketika serangan. Pasien juga
mengeluhkan gangguan suara/suara serak, sukar membuka mulut, sejak 1
bulan oleh penderita. Selain itu pasien juga mengeluhkan saat tidur
mendengkur (ngorok), dan kadang terbangun tiba-tiba karena sesak nafas,
keluhan tersebut sudah dialami kira-kira 2 minggu terakhir.
Dalam 3 bulan ini, keluhan-keluhan yang dirasakan saat serangan
tersebut dirasakan terutama setelah Penderita mengkonsumsi gorengan,
makanan pedas atau minuman dingin dan terkadang keluhan tersebut akan
hilang sendiri tanpa pengobatan.
Sakit didaerah wajah dan rasa adanya cairan yang mengalir di tenggorokan
disangkal oleh pasien. Keluhan nyeri pada telinga, telingga terasa
mendengung dan rasa penuh di telinga disangkal oleh pasien. Mata merah,
mata berair, gatal-gatal dan kemerahan di kulit juga disangkal oleh pasien.
Demam tidak ada.
Pemeriksaan fisik di dapatkan tekanan darah 100/70 mmhg, nadi
80x/menit, suhu 36,5 C, pernafasan 18x/menit. Dari pemeriksaan
laboratorium didapatkan WBC :10.28 x 103/L, RBC : 4,51 x 106/L, PLT :
526 x 103/L(Meningkat), SGOT : 19 U/L, SGPT : 15 U/L, Ureum : 18 mg/dl,
Kreatinin : 0,72 mg/dl, Gds : 90 mg/dl, PT : 14,2 detik, APTT : 26.1 detik,
BT :2’00” menit, CT: 6’40” menit. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA
II.
Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien
yaitu 2 cc/kgBB/jam. Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama
8 jam. Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena
regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat
efek samping dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring
mengalami penurunan selama anestesia. Penggantian puasa juga harus
dihitung. Sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 8 jam ini
adalah 700 cc.
Dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 110/80
mmHg; Nadi 78x/menit, dan SpO2 99%. Dilakukan injeksi midazolam 2
mg, fentanyl 80 mg. Penggunaan premedikasi pada pasien ini betujuan
untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia
dan mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir.
Selanjutnya diberikan obat induksi yaitu propofol 80 mg, lalu pasien ini
diberikan atracurium bromide 25 mg untuk merelaksasikan otot-otot
pernapasan. . Karena dilakukan prosedur operasi Tonsilektomi maka dokter
anestesi memilih untuk dilakukan intubasi endotrakeal agar tidak
mengganggu operator sepanjang operasi dilakukan dan supaya pasien tetap
dianestesi dan dapat bernafas dengan adekuat.
Sebelum pemasangan ETT, dilakukan anamnesis singkat dan
penilaian adanya kesulitan intubasi kepada pasien. Dan dari hasil anamnesis
tidak didapatkan gigi goyang maupun gigi palsu. Pada pasien ini di
dapatkan mallampati skor 3.
Setelah ETT terpasang, pangkal ETT pasien dihubungkan dengan
konekta kemudian dihubungkan ke mesin anastesi yang menghantarkan gas
(sevoflurane) dengan ukuran 2 vol% dengan oksigen dari mesin ke jalan
napas pasien. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena sevofluran
mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding
dengan gas lain, dan baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan
napas sehingga digemari untuk induksi anestesi dibanding gas lain
(halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang
menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube,
maka dialirkan sevofluran 2 vol%, oksigen. Ventilasi dilakukan dengan
bagging dengan laju napas 18 x/ menit. Sesaat setelah operasi selesai gas
anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan
untuk membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat
melakukan nafas spontan menjelang operasi hampir selesai.
Setelah operasi selesai lalu mesin anestesi diubah ke manual supaya
pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas sevo dihentikan karena pasien
sudah nafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi
endotracheal secara cepat untuk menghindari penurunan saturasi lebih
lanjut.
Pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir TD
100/80mmHg; Nadi 78x/menit, dan SpO2 99%. Pasien kemudian dibawa ke
ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas
dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran
compos mentis. Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi
stabil yaitu 100/80 mmHg.
B. PEMBAHASAN
1. Tonsilitis
a. Definisi Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan
bagian dari cincin Waldeyer. Penyebaran infeksi melalui udara
(air bone droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada
semua umur, terutama pada anak. Tonsilitis akut adalah
peradangan pada tonsil yang masih bersifat ringan.3
b. Etiologi
Penyebab tonsilitis bermacam – macam, diantaranya adalah
yang tersebut dibawah ini yaitu :3,4
 Streptokokus beta hemolitikus
 Streptokokus viridans
 Streptokokus piogenes
 Virus influenza
Infeksi ini menular melalui kontak dari sekret hidung dan
ludah ( droplet infections ).
c. Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau
mulut. Tonsil berperan sebagai filter yang menyelimuti bakteri
ataupun virus yang masuk dan membentuk antibodi terhadap
infeksi.5,6
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superfisial mengadakan reaksi. Terdapat
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli
morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus
tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus
merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas,
suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis
falikularis3.
Pada tonsilitis akut dimulai dengan gejala sakit tenggorokan
ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa
sakit tenggorokannya sehingga sakit menelan dan demam tinggi.
Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh sakit menelan,
tenggorokan akan terasa mengental. Tetapi bila penjamu
memiliki kadar imunitas antivirus atau antibakteri yang tinggi
terhadap infeksi virus atau bakteri tersebut, maka tidak akan
terjadi kerusakan tubuh ataupun penyakit. Sistem imun selain
melawan mikroba dan sel mutan, sel imun juga membersihkan
debris sel dan mempersiapkan perbaikan jaringan3.
Infeksi berulang pada tonsilitis akut sering tejadi pada
pengobatan yang tidak adekuat. Hal terjadi dikarenakan
kemampuan bakteri untuk bertahan pada lingkungan intraseluler
di dalam kripta tonsil, sehingga tidak terkena paparan antibiotik
yang diberikan pada pasien. Dengan begitu bakteri tersebut
dapat berkembang biak dan menyebabkan reinfeksi kembali4.
Mekanisme lain yang dapat menjelaskan kejadian ini adalah
karena penetrasi antibiotik ke dalam tonsil yang rendah akibat
jaringan parut karena infeksi tonsilitis. Selain itu juga adanya
flora normal yang menghasilkan enzim protektif dan
membentuk lapisan biofilm juga dapat menghalangi penetrasi
dari antobiotik ke dalam tonsil 7.
Gambar 2.9. Tonsilitis akut dengan folikel pada tonsil (Snow,
2003)

Gambar 2.10. Pembesaran tonsil. Disebabkan oleh (A) Tonsilitis


berulang (B) Pada pasien Obstructive Sleep Apnea (C)
Unilateral hipertrofi tonsil (Alasil, 2011)

Tonsilitis kronis adalah suatu keadaan dimana penyakit


terjadi secara berulang diikuti oleh episode serangan akut atau
keadaan subklinis dari suatu infeksi yang persisten, biasanya
terjadi akibat penatalaksanaan yang kurang adekuat.
Terminologi tonsilitis berulang/recurrent merupakan keadaan
yang hampir sama dengan tonsilitis kronis8.
Akan tetapi pada keadaan tonsilitis berulang, ada suatu
keadaan dimana tonsil kembali ke keadaan normal secara
makroskopis dan histologis diantara dua serangan. Hal ini yang
membedakannya dengan tonsilitis kronis dimana keadaan ini
tidak ditemukan.9
Pada tonsilitis kronik terjadi karena proses radang berulang
yang menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis.
Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti
jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang
antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus.
Infiltrasi bakteri pada epitel jaringan tonsil akan menimbulkan
radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear serta
terbentuk detritus yang terdiri dari kumpulan leukosit, bakteri
yang mati, dan epitel yang lepas10.
Patofisiologi tonsilitis kronis adalah akibat adanya infeksi
berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat
membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian
menginfeksi tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh
1,11
dari tonsil berubah menjadi tempat infeksi . Proses radang
berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan
limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga
menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan
dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Proses ini disertai
dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula10.
d. Manifestasi Klinis
Gejala pada tonsillitis akut adalah rasa gatal/ kering
ditenggorokan, anoreksia, otalgia, tonsil membengkak. Dimulai
dengan sakit tenggorokan yang ringan hingga menjadi parah,
sakit menelan, kadang muntah. Pada tonsillitis dapat
mengakibatkan kekambuhan sakit tenggorokan dan keluarnya
nanah pada lekukan tonsil3.
1. Tanda
 Napas berat dan lidah yang licin
 Hiperemis pada pilar, uvula dan palatum mole
 Kemerahan dan bengkak pada tonsil disertai dengan
gambaran bintik bintik kuning yang merupakan
gambaran material purulen pada kripta yang terbuka
(acute folicular tonsilitis). Kedua tonsil dapat
membesar hingga dapat bertemu pada midline
orofaring.
 Pembesaran dari KGB jugulodigastrikus

e. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan pada tonsil akan didapati tonsil hipertrofi,


tetapi kadang-kadang atrofi, hiperemi dan odema yang tidak jelas.
Didapatkan detritus atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan
dengan spatula lidah. Kelenjar leher dapat membesar tetapi tidak
terdapat nyeri tekan.3,4
Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar
(hipertrofi) atau atrofi. Pembesaran tonsil dapat dinyatakan dalam
ukuran T1 – T4. Cody& Thane (1993) membagi pembesaran
tonsil dalam ukuran berikut :

a. T1 = batas medial tonsil melewati


pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior uvula
b. T2 = batas medial tonsil melewati ¼
jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar
anterior-uvula
c. T3 = batas medial tonsil melewati ½
jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar
anterior-uvula
d. T4 = batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-
uvula atau lebih.

f. Diagnosis
Penderita tonsilitis akut awalnya mengeluh rasa kering di
tenggorok. Kemudian berubah menjadi rasa nyeri di tenggorok
dan rasa nyeri saat menelan. Makin lama rasa nyeri ini semakin
bertambah nyeri sehingga anak menjadi tidak mau makan. Nyeri
hebat ini dapat menyebar sebagai referred pain ke sendi-sendi
dan telinga. Nyeri pada telinga (otalgia) tersebut tersebar
melalui nervus glossofaringeus (IX).
Keluhan lainnya berupa demam yang suhunya dapat sangat
tinggi sampai menimbulkan kejang pada bayi dan anak-anak.
Rasa nyeri kepala, badan lesu dan nafsu makan berkurang sering
menyertai pasien tonsilitis akut. Suara pasien terdengar seperti
orang yang mulutnya penuh terisi makanan panas. Keadaan ini
disebut plummy voice. Mulut berbau busuk (foetor ex ore) dan
ludah menumpuk dalam kavum oris akibat nyeri telan yang
hebat (ptialismus). Pemeriksaan tonsilitis akut ditemukan tonsil
yang udem, hiperemis dan terdapat detritus yang memenuhi
permukaan tonsil baik berbentuk folikel, lakuna, atau
pseudomembran. Ismus fausium tampak menyempit. Palatum
mole, arkus anterior dan arkus posterior juga tampak udem dan
hiperemis. Kelenjar submandibula yang terletak di belakang
angulus mandibula terlihat membesar dan ada nyeri tekan.
g. Penatalaksanaan
Farmakologi : Non
Farmakologi :
-Antibiotik -Tirah baring
-Analgetik -Pemberian Cairan
adekuat
-Antipiretik -Diet ringan

Operatif:
-Tonsilektomi

2. Intubasi Endotrakeal
a. Definisi
Intubasi endotrakeal adalah penempatan tabung ke dalam
trakea, baik melalui oral maupun hidung untuk memanajemen
jalan napas. Tabung endotrakeal membentuk saluran terbuka di
saluran udara bagian atas. Sehingga mampu menjadi ventilasi
paru-paru, udara harus bebas masuk dan keluar paru-paru.11

b. Indikasi
1. Ketidakmampuan untuk menjaga jalan nafas terbuka
(dislokasi lidah ke arah faring, obstruksi dari saluran
pernapasan atas, apnea obstructive sleep apnea syndrom,
luka bakar).
2. Gagal melindungi jalan napas dari aspirasi (perdarahan yang
berasal dari oral dan hidung pada pasien trauma, perut
penuh, gastroesophageal relflux).
3. Kegagalan ventilasi (kelainan pada anatomi jalan nafas:
leher pendek, rahang bawah lebar, rahang atas di depan,
rahang bawah, mulut kecil, obesitas) dan kesulitan ventilasi
menggunakan mask yang disertai dengan kesulitan intubasi.
4. Insufisiensi oksigenasi (sianosis, insufisiensi gerakan
dinding dada, ada Induksi obstruksi pada saluran
pernapasan bawah pada auskultasi, saturasi bertahap,
pengukuran spirometri dan ekspirasi tidak memadai).
5. Kemungkinan kondisi yang dapat menyebabkan kegagalan
pernafasan (perubahan hemodinamik sebagai akibat dari
hipoksemia progresif dan hiperkarbia seperti takikardia-
hipertensi-aritmia).12
c. Tujuan
Intubasi endotrakeal memungkinkan adanya saluran buatan
antara udara dari luar dan trakea pasien untuk tujuan terjadinya
pertukaran gas di alveolus atau perlindungan paru-paru dari
substansi asing.13
d. Persiapan
 Peralatan: Semua peralatan yang diperlukan untuk
intubasitermasuk obat harus tersedia di tangan.Daftar item
yang disarankan diberikan pada tabel 2. Peralatan harus layak
digunakan. Sinar cahaya laringoskop langsung harus terang.
Integritas dari manset tabung endotrakeal dan pilot balloon
harus diuji dengan menggunakan suntik 10 ml ke katup satu
arah pilot ballom dan kemudian mengembangkan manset
dengan sekitar 10 ml udara.

 Riwayat pasien dan penilaian jalan nafas: Selain jalan napas,


status kardiovaskuler dan pernapasan pasien harus dinilai.
Riwayat kesulitan intubasi sebelumnya perlu ditanyakan.
Kemungkinan untuk aspirasi oleh isi lambung yang masuk ke
paru-paru harus diperhatikan.
 Suction: Suction yang berfungsi adalah suatu keharusan
sebelum prosedur laringoskopi dilakukan. Kateter suction
dengan berbagai diameter harus tersedia
 Oksigen: Di ruang operasi, mesin anestesi dan aliran udara
dari mesin harus diperiksa dari kebocoran. Dalam
pengaturan,oksigen yang memadai harus dikonfirmasi
sebelum melakukan intubasi. Oksigen 100% harus diberikan
melalui masker dengan ukuran yang sesuai dan bag reservoid
sebelum tindakan intubasi
 Posisi pasien: Pada posisi terlentang, posisi sudut faring dan
laring pasien seimbang. Membuat lidah dapat tervisualisasi
dengan jelas sangat sulit selama laringoskopi langsung. Fleksi
di bagian bawah cervikalis bagian bawah untuk
menyelaraskan faring dan laring. Pada orang dewasa, bantal
kecil atau beberapa kain dilipat sering digunakan dalam
pelaksanaan. Ekstensi kepala di atlanto-oksipital
mengakibatkan aksis cavum oris lebih sejajar dengan aksis
laring.Penyelarasan aksis mulut, faring dan laring akan
membentukgaris lurus dari bibit ke daerah lidah. Posisi kepala
dan leher ketika intubasi secara sering digambarkan sebagai
posisi "sniffing the moring air".13

e. Teknik Intubasi

1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap

2. Jika GCS pasien 11, dengan mudah dilakukan intubasi tanpa

anastetik

3. Berikan ventilasi dengan O2 100 % selama kira-kira 1-2

menit atau saturasi oksigen mencapai maksimal (100%)

4. Tungkai laringoskop dipegang dengan tangan kiri (jika

kidal, menggunakan tangan kanan), tangan kanan

mendorong kepala hingga sedikit ekstenti dan mulut

terbuka.

5. Masukan bilah laringoskop mulai dari mulut sebelah kanan,

sedikit demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, dan

menggeser lidah ke kiri menuju epiglottis atau pangkal

lidah.
6. Cari epiglottis terlebih dahulu, setelah terlihat, tempatkan

bilah di depan epiglottis (pada bilah bengkok) atau angkat

epiglottis (pada bilah lurus)

7. Cari rima glottis (kadang-kadang perlu bantuan asisten

untuk menekan trakea dari luar sehingga rima glottis

ditekan).

8. Temukan pita suara yang berwarna putih dan daerah

disekitarnya berwarna merah.

9. Masukkan ET dengan tangan kanan. Untuk memasang ET ,

harus diperhatikan dalam mengangkat gagang laringoskop,

jangan mengungkit kea rah gigi atas karena dapat

menyebabkan gigi patah.

10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anastesi atau alat

bantu napas.

11. Jika pasien masih sadar, dapat diberikan obat induksi seperti

propofol atau ketamine sebelum melakukan tindakan.14

3. Kesulitan Intubasi

Intubasi sulit didefinisikan sebagai tidak memadainya visualisasi


dari glotis, dan gagal intubasi orotrakeal sebagai ketidakmampuan untuk
memasukkan tabung trakea dari orofaring ke dalam trakea. Intubasi disebut
sulit jika ahli anestesi yang terlatih biasanya membutuhkan lebih dari 3
upaya atau lebih dari 10 menit untuk intubasi endotrakeal yang berhasil.
"Insiden intubasi yang sulit tergantung pada tingkat kesulitan yang
dihadapi yang menunjukkan kisaran 1-18% dari semua intubasi.2,11
Kegagalan mengelola saluran napas adalah penyebab kematian
yang dapat dicegah pada pasien yang menjalani anestesi umum. Enam
puluh empat persen dari henti jantung selama anestesia umum disebabkan
oleh kesulitan intubasi endotrakeal yang menyebabkan oksigenasi dan atau
ventilasi tidak adekuat dan sekitar 55–93% menyebabkan kematian atau
kerusakan otak. Evaluasi intubasi sulit yang dilakukan saat kunjungan
preoperatif menjadi pemeriksaan yang sangat penting. Metode standar
untuk menilai potensial intubasi sulit adalah metode Mallampati.15
 Mallampati Test

Untuk mengetahui kemungkinan kesulitan intubasi, dapat

dilakukan pengukuran klasifikasi Mallampati dengan cara pasien

diminta membuka mulut dan posisi duduk.

- Kelas I : Palatum molle, fauces, uvula dan pilar terlihat jelas

- Kelas II : Palatum molle, fauces dan sebagian uvula terlihat

- Kelas III : Palatum molle, dan dasar uvula saja yang terlihat

- Kelas IV : Hanya terlihat langit-langit


Kelas I dan II merupakan bentuk yang paling mudah untuk

dilakukan intubasi dibandingkan kelas III dan IV, kelas III dan IV

merupakan kelas yang paling sulit untuk dilakukan intubasi. Untuk

menghindari hasil positif palsu atau negative palsu, tes ini sebaiknya

di ulang sebanyak dua kali.

 Extension at the atlanto-axial joint dilakukan dengan menyuruh pasien

untuk memfleksikan leher mereka dengan menengadahkan dan

menundukkan kepala. Penurunan gerakan sendi ini berhubungan dengan

kesulitan intubasi.

Grade I : >35°

Grade II : 22°-34°

Grade III : 12°-21°

Grade IV : < 12°

Normal extensi sudut 35° atau lebih.

 Jarak mandibular

Thyromental distance (Tes Patil) diukur dari thyroid notch ujung

rahang dengan kepala yang diekstensikan. Jarak normal adalah 6,5 cm

atau lebih dan ini juga tergantung anatomi termasuk posisi laring. Bila

jaraknya kurang dari 6 cm maka intubasi akan sulit dilakukan.

Sternomental distance diukur dari sternum sampai ujung mandibula

dengan kepala ekstensi dan ini dipengaruhi oleh ekstensi leher. Jarak
sternomental 12,5 cm atau kurang diperkirakan akan sulit untuk

diintubasi.

Mandibulo-hyoid distance mengukur panjang mandibula dari dagu

sampai hyoid, normalnya 4 cm atau 3 jari.

Gambar. Mandibulo hyoid distance

Inter-incisor distance : jarak antara incisor atas dan incisor bawah.

Normal 4,6 cm ataulebih, jika lebih dari 3,8 merupakan prediksi

kesulitan airway. 16

 Kriteria Lemon

Skor dengan maksimum 10 poin dihitung dengan menetapkan

1 poin untuk masing-masing berikut kriteria LEMON:

L = Lihat dari luar (trauma wajah, gigi seri besar, janggutatau kumis,

lidah besar)

E = Mengevaluasi aturan 3-3-2 (jarak gigi seri-3) luasnya, jarak hyoid-

mental jarak-3 jari,jarak tiroid ke mulut -2 jari)


M = Mallampati (skor Mallampati> 3).

O = Obstruksi (adanya kondisi seperti apaepiglottitis, abses

peritonsillar, trauma).

N = Mobilitas leher (mobilitas leher terbatas).

Gambar. Penilaian Kriteria LEMON

 Laringoskopi langsung dan bronkoskopi fibreoptic

Kesulitan dalam intubasi dapat diklasifikasikan menurut gambaran

yang diperoleh selama laringoskopi langsung dan di klasifikasikan ke

dalam 4 derajat. Ke-4 derjat dari gambaran laringoskopi ini dicetuskan

oleh Cormack dan Lehane (1984).

Grade I - Visualisasi seluruh aperture laring.

Grade II - Visualisasi hanya posteriorkomisura aperture laring.

Grade III - Visualisasi hanya epiglotis.

Grade IV - Visualisasi hanya langit-langit lunak


Grade III dan IV memprediksi intubasi sulit.

Posisi ideal untuk menyelaraskan aksis mulut,faring dan laring

dicapai dengan fleksi leher dan ekstensi kepala pada sendi atlanto-

oksipital sangat penting.16

Gambar .klasifikasi gambaran laryngoskopi menurut Cormack and lehane

Indikator Kesulitan Intubasi

Tanda klasik yang memudahkan operator untuk memprediksi

adanya penyulit dalam intubasi dapat di ringkas sebagai berikut :

1. Pergerakan fleksi-ekstensi kepala dan leher yang buruk

2. Gigi yang menonjol

3. Jarak atlanto-occipital yang kurang

4. Lidah yang besar.16


BAB IV

KESIMPULAN

Kesulitan intubasi adalah suatu keadaan dimana lidah atau glottis tidak

tervisualisasi dengan jelas disertai dengan ketidakmampuan untuk memasukkan

tabung endtrakeal ke dalam trakea. Intubasi dikatakan sulit ketika dokter anestesi

membutuhkan lebih dari 3 kali dalam melakukan intubasi atau lebih dari 10 menit

untuk melakukan intubasi.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesulitan dalam intubasi,

pada pasien ini didapatkan TMD yang kurang dari 6 cm atau biasa pada

pengaplikasian klinis kurang dari 3 jari yang menyebabkan kesulitan intubasi,

Selain itu pada pasien ini di dapatkan mallampati score, mallampati grade 3

sesuai dengan literature mallampati grade 3 dan 4 adalah suatu indikasi kesulitan

intubasi.
Oleh karena itu dibutuhkan penanggulangan yang cermat oleh Ahli

anestesiologi untuk melakukan prosedur intubasi pada pasien ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Singh M, Basic Airway Management,Airway management, 2015 April, p 74

2. Janssens M, Hartstein G, Management of Difficult intubation,Eroupean Journal

of Anesthesiology, 2001,18(3) p 3-4

3. Soepardi.E.A,et all. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala Leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

p 212-25.

4. Adams.G.L, Boies.L.R, Higler. P.A. Boies Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed.
Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 1997. p 330-44.
5. Ramsey, D.D. 2003.. Tonsilitis. Available at: http://www.illionisuniv.com.
Accesed on: Agustus 2019.

6. Lee, K.J. MD. Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 2003. McGraw-
Hill.

7. Alasil, Saad., et al. 2011. Bacterial identification and antibiotic susceptibility


patterns of Staphyloccocus aureus isolates from patients undergoing tonsillectomy
in Malaysian University Hospital. Malaysia: Malaysian Univ hospital.
8. Liston, S.L. 1997. Adams, Boeis dan Higler. Eds. Buku Ajar Penyakit THT Boeis
Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
9. Ugras, Serdar., dan Ahmet Kuthulan. 2008. Chronic Tonsilitis can be Diagnosed
with Histopatologic Findings. Diunduh dari :
http://www.bioline.org.br/pdf?gm08018 [Diakses 8 Agustus 2019]
10. Dhingra, P.L., dan Shruti Dhingra. 2005. Diseases of Ear, Nose and Throat,

Fifth Edition. New Delhi : Elseiver.

11. Samsoon GLT, Young JRB, Difficult tracheal intubation: A retrospective study,

The association of anestheisist Of Gt Britain and Ireland. p 487

12. Sahiner Y, Indication for endotracheal intubation chapter 3, 2018, p 61

13. Batra YK, J Mathew P, Airway Management with endotracheal Intubation

including awake intubation and blind intubation, 2005, 49 (9), p 264-263

14. Pramono Ardi. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta. EGC : Penerbit Buku Kedokteran.

2014. p 22-17.

15. Swasono, dkk. Perbandingan antara Uji Mallampati Modifikasi dan Mallampati

Ekstensi Sebagai Prediktor Kesulitan Intubasi Endotrakeal di RSUP Dr. Hasan

Sadikin Bandung. Artikel penelitian. J Anaest Perioperatif. 2017;5(38):163–70.


16. Gupta S, Sharma R,Airway Assesment :Predictors of difficult airway, Indian

Journal Of anesthesia.2005. p262-257

17.

Anda mungkin juga menyukai