Anda di halaman 1dari 36

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

* Program Studi Profesi Dokter/G1A216040/Maret 2018


** Pembimbing: dr. Sulistyowati Sp.An

GENERAL ANESTESI

Oleh:
Ola nopisah, S.Ked*
G1A216040
Pembimbing:
dr. Sulistyowati, Sp.An**

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018

LEMBAR PENGESAHAN
CLINICAL SCIENCE SESSION
GENERAL ANESTESI
Oleh:
Ola Nopisah, S.Ked

Sebagai salah satu tugas Program Studi Profesi Dokter


Bagian Ilmu Anestesiologi
Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jamb
Jambi, Maret 2018
Pembimbing

dr. Sulistyowati, Sp.An

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN IlMU ANESTESIOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes Amerika,
diturunkan dari dua kata Yunani : An berarti tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri.
Secara harfiah berarti ketiadaan rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi
berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestetikum
dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai
hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan
pembedahan.1,2
Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan
relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan dengan
pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup
premedikasi, induksi, maintenance, dan pemulihan.
Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu analgetik dan
anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran. Analgetik tidak
selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa nyeri. Beberapa jenis
anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya hanya menghilangkan
nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar.
Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi total, yaitu hilangnya kesadaran
secara total, anestesi lokal, yaitu hilangnya rasa pada daerah tertentu yang diinginkan (pada
sebagian kecil daerah tubuh), anestesi regional yaitu hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas
dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan dengannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Umum (General Anesthesia)


2.1.1 Definisi
Asal kata Anestesi (berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi,
kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh.
Anestesi merupakan suatu peristiwa hilangnya sensasi, perasaan nyeri bahkan hilangnya
kesadaran sehingga memungkinkan dilakukan pembedahan2.
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Perbedaan anestesi umum dibanding
dengan anestesi lokal diantaranya pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit setempat sedangkan
pada anestesi umum seluruh tubuh. Pada anestesi lokal yang terpengaruh syaraf perifer, sedang
pada anestesi umum yang terpengaruh syaraf pusat dan pada anestesi lokal tidak terjadi
kehilangan kesadaran (Soenardjo, 2010). Komponen trias anestesi ideal terdiri dari hipnotik,
analgesi, dan relaksasi otot.2
Cara pemberian anestesi umum :
1. Parenteral (intramuscular/intravena). Digunakan untuk tindakan yang singkat atau
induksi anestesi. Umumnya diberikan thiopental, namun pada kasus tertentu dapat
digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang lama anestesi parenteral
dikombinasikan dengan cara lain.2
2. Parekteral. Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat.2
3.  Anestesi inhalasi, yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestesi yang
mudah menguap (volaitile agent) sebagai zat anestetik melalui udara pernafasan. Zat
anestetik yang digunakan berupa campuran gas (dengan oksigen) dan konsentrasi zat
anestetik tersebut tergantung dari tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam jaringan
otak akan menentukan kekuatan daya anestesi, zat anestetika disebut kuat bila dengan
tekanan parsial yang rendah sudah dapat memberi anestesi yang adekuat.2

2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Umum


A. Faktor Respirasi2
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus adalah:
 Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi konsentrasinya, makin
cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam alveolus.
 Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat meningginya tekanan
parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada hipoventilasi.
B. Faktor Sirkulasi2
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar daripada darah vena.
Faktor yang mempengaruhinya adalah:
 Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan darah vena.
Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan sebagian kembali melalui
vena.
 Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam darah terhadap
konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
 Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak aliran darah yang
melalui paru makin banyak zat anestesika yang diambil dari alveolus, konsentrasi
alveolus turun sehingga induksi lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai tingkat anesthesia yang adekuat.2
C. Faktor Jaringan2
 Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan
 Koefisien partisi jaringan/darah
 Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya pembuluh
darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan sedikit pembuluh darah/JSPD)
D. Faktor Zat Anestetika2
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC (Minimal Alveolus
Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika dalam udara alveolus yang mampu
mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Semakin rendah nilai
MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.
E. Faktor Lain
 Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi
 Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan pendalaman
anestesia
 Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga pendalaman anestesia
semakin cepat.2
2.1.3 Stadium Anestesi
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi, agar tidak
membahayakan penderita, tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi.
1. Stadium I (Stadium analgesi atau stadium disorientasi)
Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini, operasi kecil
dapat dilakukan.
2. Stadium II (stadium delirium atau stadium eksitasi)
Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Pada stadium ini penderita bisa
meronta-ronta, pernafasan irregular, pupil melebar, refleks cahaya positif gerakan bola mata
tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi, refleks fisiologi masih ada, dapat terjadi
batuk atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi.
Stadium ini diakhiri dengan hilangnya reflek menelan dan kelopak mata, dan
selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini dapat membahayakan penderita sehingga
harus segera diakhiri. Keadaan ini dapat dikurangi dengan memberikan premedikasi yang
adekuat, persiapan psikologis penderita dan induksi yang halus dan tepat.
3. Stadium III (Stadium operasi)
Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot nafas. Stadium ini dibagi menjadi 4
plana :
Plana I :Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai dengan nafas teratur,
nafas torakal sama dengan abdominal, gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil,
refleks cahaya (+), lakrimasi meningkat, reflek faring dan muntah menghilang, tonus
otot menurun.
Plana II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisis otot interkostal.
Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidal menurun dan frekuensi nafas
meningkat, mulai terjadi depresi nafas torakal, bola mata berhenti, pupil melebar dan
reflek cahaya menurun, reflek korne menghilang dan tonus otot makin menurun.
Plana III : Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise seluruh otot interkostal.
Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dominan dari torakal karena terjadi
paralisis otot interkostal, pupil makin melebar dan reflek cahaya menjadi hilang,
lakrimasi negatif, reflek laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.
Plana IV : Dari paralise semua otot intercostal sampai paralise diafragma. Ditandai dengan
paralise otot intercostal, pernafasan lambat, ireguler dan tidak adekuat. Tonus otot
makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, reflek cahaya negatif, reflek
spinchter ani negatif.
4. Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Disebut juga stadium overdosis atau
stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya semua reflek, pupil dilatasi, terjadi respiratory
failure dan diikuti dengan circulatory failure.
2.1.4 PROSEDUR ANESTESI UMUM3
a. Persiapan pra anestesi umum
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus
dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh
persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari
sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.3
Tujuan kunjungan pra anestesi:
- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan fisik dan
kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan
seminimal mungkin.
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini dipakai
klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien
secara umum.3
b. Persiapan pasien
 Anamnesis3
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga pasien
(alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta berkenalan
dengan pasien.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis:
- Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
- Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit
dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik
(asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark
miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit ginjal.
- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan
interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-
obat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti
digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor,
bronkodilator.
- Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan
selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih
sadar, perawatan intensif pasca bedah.
- Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi
seperti: merokok dan alkohol.3
 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut,
lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan
seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.3
 Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang
sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin
walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit,
masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang
mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, selanjutnya
dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes
mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Pada
penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik analgesia regional
daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan
perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan
pasca bedah dapat dihindari.3
 Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam
keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.3
 Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran
yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani
anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi
elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu
sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia.
Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih
dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.3
 Klasifikasi status fisik
Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (TheAmerican Society of Anesthesiologists)
membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut:
ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan
penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak
akan lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan mencantumkan tanda
darurat (E=emergency), misalnya ASA I E atau III E.3

 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya :
-Meredakan kecemasan dan ketakutan
-Memperlancar induksi anesthesia
-Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
-Meminimalkan jumlah obat anestetik
-Mengurangi mual muntah pasca bedah
-Menciptakan amnesia
-Mengurangi isi cairan lambung
-Mengurangi refleks yang membahayakan3
Obat-obatan premedikasi
No Obat Dosis Tujuan
. premedikasi
1. Diazepam 0,15 – 025 mg/kg BB (oral) Ansietas
2. Midazolam 0,07 – 0,1 mg/kg BB (IM)
Sedasi
0,5 mg/kg BB (IV)
Amnesia
3. Morfin 0,1 – 02 mg/kg BB (IV)
4. Petidin 1 – 1,5 mg/kg BB (IV) Analgesia
5. Fentanyl 1 – 2 g/kg BB (IV)
6. Atropin 0,3 – 0,3 mg (IV) dewasa Salivasi & sekresi
0,01 – 0,02 mg/kg (IV) anak
refleksi vagal
7. Droperidol 75 g/kg BB (IV)
8. Metoclopramide 0,15 mg/kg BB (IV) Nausea & vomit
9. Ondanstron 0,05 – 0,15 mg/kg BB (IV)
10. Cimetidine 3 – 4 mg/kg BB H2 blocker
11. Ranitidine 2 – 3 mg/kg BB
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang tidak
pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan
menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg
beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan
opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk
meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral
simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan
intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).
Persiapan peralatan anestesi
Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan anestesi yang
baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti berfungsi, sesuai dengan
tujuan kita memberi anesthesia yang lancer dan aman.
2.1.5 Macam- macam tehnik anasthesi umum3
a. Anestesi Inhalasi
Anesteai inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah
menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. Mekanisme kerja obat
anestesi inhalasi sangat rumit masih merupakan misteri dalam farmakologi modern. Pemberian
anestetik inhalasi melalui pernafasan menuju organ sasaran yang jauh merupakan suatu hal yang
unik dalam dunia anestesiologi.2,3
Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditetukan oleh sifat fisiknya:
1. Ambilan oleh paru
2. Difusi gas dari paru ke darah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya
Hiperventilasi akan menaikkan ambilan alveolus dan hipoventilasi akan menurunkan
ambilan alveolus. Dalam praktek kelarutan zat inhalasi dalam darah adalahfaktor utama yang
penting dalam menentukan kecepatan induksi dan pemulihannya.Induksi dan pemulihan
berlangsung cepat pada zat yang tidak larut dan lambat padayang larut.Kadar alveolus minimal
( KAM ) atau MAC  (minimum alveolar concentration) ialah kadar minimal zat tersebut dalam
alveolus pada tekanan satu atmosfir yangdiperlukan untuk mencegah gerakan pada 50 % pasien
yang dilakukan insisi standar.Pada umumnya immobilisasi tercapai pada 95 % pasien, jika
kadarnya dinaikkan diatas30 % nilai KAM. Dalam keadaan seimbang, tekanan parsial zat
anestetik dalam alveolisama dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja obat.2,3
Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh:
1. Konsentrasi inspirasi.Teoritis kalau saturasi uap anestetik di dalam jaringan sudah penuh,
makaambilan paru berhenti dan konsentrasi uap inpirasi sama dengan alveoli. Halini dalam
praktek tak pernah terjadi. Induksi makin cepat kalau konsentrasi makin tinggi, asalkan tak
terjadi depresi napas atau kejang laring. Induksimakin cepat jika disertai oleh N2O (efek gas
kedua).
2.  Ventilasi alveolar Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin tinggi
dansebaliknya.
3. Koefisien darah/gasMakin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah, makin
rendahkonsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya.
4. Curah jantung atau aliran darah paru
Makin tinggi curah jantung makin cepat uap diambil
5. Hubungan ventilasi perfusi
Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas anestetik. Jumlah uapdalam mesin
anestesi bukan merupakan gambaran yang sebenarnya, karenasebagian uap tersebut hilang
dalam tabung sirkuit anestesi atau ke atmosfir sekitar sebelum mencapai pernafasan.
Sebagian besar gas anestesi dikeluarkan lagi oleh badan lewat paru. Sebagianlagi
dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450. Sisa metabolismeyang larut
dalam air dikeluarkan melalui ginjal.3
 N2O
N2O (gas gelak,laughing gas , nitrous oxide, dinitrogen monooksida) diperolehdengan
memanaskan amonium nitrat sampai 240ºC. NH4NO3 --240 ºC ---- 2H2O + N2O N2O dalam ruangan
berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara.
Zat ini dikemas dalam bentuk cair dalamsilinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter dengan tekanan 750 psi
atau 50 atm.Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini
bersifatanestetik lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga sering digunakan untuk
menguranginyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian,
tetapidikombinasi dengan salah satu cairan anestesi lain seperti halotan dan sebagainya. Pada
akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,sehingga
terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindariterjadinya hipoksia difusi,
berikan O2 100% selama 5-10 menit.4
 Halotan
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan. Baunya yang enak dan
tidak merangsang jalan napas, maka sering digunakan sebagai induksi anestesikombinasi dengan
N2O. Halotan harus disimpan dalam botol gelap (coklat tua) supayatidak dirusak oleh cahaya
dan diawetkan oleh timol 0,01%.Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi intubasi,
asalkan anestesinyacukup dalam, stabil dan sebelum tindakan dierikan analgesi semprot lidokain
4% atau10% sekitar faring laring. Setelah beberapa menit lidokain kerja, umumnya
laringoskopintubasi dapat dikerjakan dengan mudah, karena relaksasi otot cukup baik.Pada napas
spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada napas kendalisektar 0,5-1 vol% yang
tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien. Halotanmenyebabkan vasodilatasi serebral,
meninggikan aliran darah otak yang sulitdikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi,
sehingga tidak disukai untuk bedahotak.Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis,depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Kebalikan dari N2O,
halotananalgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjangtidak
ada indikasi kontra.Kombinasi dengan adrenalin sering menyebabkan disritmia,
sehingga penggunaan adrenalin harus dibatasi. Adrenalin dianjurkan dengan
pengenceran1:200.000 (5 g/kg).Pada bedah sesar, halotan dibatasi maksimal 1 vol%, karena
relaksasi uterusakan menimbulkan perdarahan. Halotan menghambat pelepasan insulin,
meninggikankadar gula darah.Kira-kira 20% halotan dimetabolisir terutama di hepar secara
oksidatif menjadikomponen bromin, klorin, dan asam trikloro asetat. Secara reduktif menjadi
komponenfluorida dan produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin. Metabolisme reduktif
inimenyebabkan hepar kerja keras, sehingga merupakan indikasi kontra pada penderitagangguan
hepar, pernah dapat halotan dalam waktu kurang tiga bulan atau pasienkegemukan. Pasca
pemberian halotan sering menyebabkan pasien menggigil.3,4
 Enfluran
Enfluran (etran, aliran) merupakan halogenisasi eter dan cepat populer setelahada
kecuriagan gangguan fungsi hepar oleh halotan pada pengguanan berulang. PadaEEG
menunjukkan tanda-tanda epileptik, apalagi disertai hipokapnia, karena itu
hindari penggunaannya pada pasien dengan riwayat epilepsi, walaupun ada yang
beranggapan bukan indikasi kontra untuk dpakai pada kasus dengan riwayat epilepsi.
Kombinasidengan adrenalin lebih aman 3 kali dibanding halotan.Enfluran yang dimetabolisme
hanya 2-8% oleh hepar menjadi produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin. Ssisanya
dikeluarkan lewat paru dalam bentuk asli.Induksi dan pulih dari anestesia lebih cepat dibanding
halotan. Vasodlatasi serebralantara halotan dan isofluran.Efek depresi napas lebih kuat dibanding
halotan dan enfluran lebih iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat
dibanding halotan, depresilebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik
lebih baik dibanding halotan.3,4
 Isofluran
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau
subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapimeninggikan aliran
darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial ini
dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi,sehingga isofluran banyak digunakan untuk
bedah otak.Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemariuntuk
anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguankoroner. Isofluran
dengan konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil menyebabkanrelaksasi dan kurang responsif jika
diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapatmenyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis
pelumpuh otot dapat dikurangisampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.3,4
 Desfluran
Desfluran (suprane) merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya
mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan dengananestetik volatil lainnya, sehingga
perlu menggunakan vaporizer  khusus (TEC-6). Titik didihnya mendekati suhu ruangan (23.5ºC).
potensinya rendah (MAC 6.0%). Ia bersifatsimpatomimetik menyebabkan takikardia dan
hipertensi. Efek depres napasnya sepertiisofluran dan etran. Desfluran merangsang jalan napas
atas, sehingga tidak digunakanuntuk induksi anestesia.4
 Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesilebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas,
sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disampinghalotan.Efek terhadap
kardiovaskuler cukup stabil, jarang mnyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadaphepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran
cepat dikeluarkan oleh badan.Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime), tetapi
belum ada laporanmembahayakan terhadap tubuh manusia.4
b. Anestesi Intravena
Anestesi intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh hanya satu macam
obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat, lama kerja pendek,
cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia, disertai oleh amnesia
pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya, cepat
dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskuler,
pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek samping (mual
muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat. Untuk mencapai tujuan di atas, kita dapat
menggunakan kombinasi beberapa obat atau cara anestesi lain. Kombinasi beberapa obat
mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang
lain (Silistia, 1996).
Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam 2 golongan: 1.) Obat yang terutama
digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan barbiturat, eugenol, dan steroid; 2.) obat
yang digunakan baik sendiri maupun kombinasi untuk mendapat keadaan seperti pada
neuroleptanalgesia (contohnya: droperidol), anestesi dissosiasi (contohnya: ketamin), sedative
(contohnya: diazepam). Dari bermacam-macam obat anesthesia intravena, hanya beberapa saja
yang sering digunakan, yakni golongan: barbiturat, ketamin, dan diazepam.
PROPOFOL
Propofol adalah salah satu dari kelompok derivat fenol yang banyak digunakan sebagai
anastesia intravena. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat
induksi. Propofol dikemas dalam cairan emulsi berwarna putih susu bersifat isotonik dengan
kepekatan 1% (1ml=10 mg).(7)
Propofol dengan cepat dimetabolisme di hati melalui konjugasi ke glukuronat dan sulfat
untuk menghasilkan senyawa larut dalam air, yang diekskresikan oleh ginjal. Kurang dari 1%
(1) (4)
propofol diekskresikan tidak berubah dalam urin, dan hanya 2% diekskresikan dalam tinja.
(7)

Farmakokinetik. Waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat menimbulkan sedasi (30-
45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis dan redistribusi dari sistem
saraf pusat.(4) Sebagian besar propofol terikat dengan albumin (96-97%). Setelah pemberian bolus
intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu
paruh 1-3 menit) kemudian diikuti bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30
menit). Kedua fase ini menunjukkan distribusi dari plasma dan ambilan oleh jaringan yang cepat.
(5)(7)

Metabolisme terjadi di hepar melalui konjugasi oleh konjugasi oleh glukoronida dan
sulfat untuk membentuk metabolit inaktif yang larut air yang kemudian diekskresi melalui urin (6).
Eliminasi propofol sensitif terhadap perubahan aliran darah hepar namun tidak dipengaruhi oleh
ikatan protein ataupun aktivitas enzim. Propofol diketahui menghambat metabolisme obat oleh
sitokrom p450 oleh karena itu dapat menyebabkan perlambatan klirens dan durasi yang
memanjang pada pemberian bersama dengan fentanyl, alfentanil dan propanolol.(4)(5)(7)
Farmakodinamik. Sistem saraf pusat. Dosis induksi menyebabkan pasien kehilangan
kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP, dimana dalam dosis
yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik. Pada pemberian dosis
induksi  (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan
mood tapi tidak  sehebat thiopental. Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak
dan konsumsi oksigen otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan
intraokular sebanyak 35%.(2)(3)(5)      
Sistem kardiovaskuler. Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada
jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun. Hal ini disebabkan oleh efek dari
propofol yang menurunkan resistensi vaskular sistemik sebanyak 30%. Namun penurunan
tekanan darah biasanya tidak disertai peningkatan denyut nadi. Pernafasan spontan (dibanding
nafas kendali) serta pemberian drip melalui infus (dibandingkan dengan pemberian melalui
bolus) mengurangi depresi jantung. Sedangkan usia berbanding lurus dengan efek depresi
jantung. (4)(5)(7)
Sistem pernafasan. Apnoe paling banyak didapatkan pada pemberian propofol dibanding
obat intravena lainnya. Umumnya berlangsung selama 30 detik, namun dapat memanjang dengan
pemberian opioid sebagai premedikasi atau sebelum induksi dengan propofol. Dapat
menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal. Efek ini biasanya bersifat sementara namun
dapat memanjang pada penggunaan dosis yang melebihi dari rekomendasi atau saat digunakan
bersamaan dengan respiratory depressants. (4)(5)(7)
Dosis. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada
(4)
pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun. Dosis yang dianjurkan untuk
induksi pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 2-2.5 mg/kgBB dan untuk
pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 1-1.5 mg/kgBB. Untuk
pemeliharaan dosis yang dianjurkan pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun
adalah 0.1-0.2 mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan
ASA III/IV: 0.05-0.1 mg/menit/kgBB. (4) Dosis yang dianjurkan yang dapat menimbulkan sedasi
adalah 0.1-0.15 mg/kgBB sebagai dosis inisial dengan dosis pemeliharaan yang dianjurkan pada
pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.025-0.075 mg/menit/kgBB dan untuk
pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.02-0.06 mg/menit/kgBB. (4)
Propofol, bila digunakan untuk induksi anestesi dalam prosedur singkat, hasil dalam
pemulihan secara signifikan lebih cepat dan pengembalian sebelumnya fungsi psikomotor
dibandingkan dengan thiopental atau methohexital, terlepas dari anestesi yang digunakan untuk
pemeliharaan anestesi. Kejadian mual dan muntah saat propofol digunakan untuk induksi juga
nyata kurang dari setelah penggunaan anestesi IV lainnya, mungkin karena sifat antiemetik
propofol.(3) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam
lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk
mencegah kontaminasi dari bakteri. (4)(5)
Efek samping. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB intravena (3). Biasanya terjadi saat penyuntikan
dilakukan di dorsum Palmaris. Insidens nyeri lebih sedikit didapatkan pada penyuntikan di vena
(5)
yang lebih besar di fossa antecubiti. . Bradikardi serta hipotensi kadang didapatkan setelah
penyuntikan propofol, namun dapat diatasi dengan penyuntikkan obat antimuskarinik, misalnya:
atropin. Efek samping eksitatorik seperti myoclonus, opisthotonus serta konvulsi kadang
dihubungkan dengan pemberian propofol dan dapat terjadi pada masa pemulihan. Resiko
konvulsi dan onset yang melambat ditemujan pada pemberian propofol pada pasien epilepsy.

KETAMIN
Ketamin adalah suatu “rapid acting non-barbiturate general anesthetic”. Pertama kali
diperkenalkan oleh Domino and Carsen pada tahun 1965.(2)
Ketamin kurang digemari untuk induksi anesthesia karena sering menimbulkan takikardi,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia dapat menimbulkan mual muntah,
pandangan kabur dan mimpi buruk.(3) Blok terhadap reseptor opiat dalam otak dan medulla
spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat
dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik. .(1)(4)
Farmakokinetik. Onset kerja ketamin pada pemberian intravena lebih cepat
dibandingkan pemberian intramuskular. Onset pada pemberian intravena adalah 30 detik
sedangkan dengan pemberian intramuskular membutuhkan waktu 3-4 menit, tetapi durasi kerja
juga didapatkan lebih singkat pada pemberian intravena (5-10 menit) dibandingkan pemberian
intramuskular (12-25 menit). .(1)(4)
Metabolisme terjadi di hepar dengan bantuan sitokrom P450 di reticulum endoplasma
halus menjadi norketamine yang masih memiliki efek hipnotis namun 30% lebih lemah
dibanding ketamine, yang kemudian mengalami konjugasi oleh glukoronida menjadi senyawa
larut air untuk selanjutnya diekskresikan melalui urin.(5)
Farmakodinamik Sistem saraf pusat. Ketamine memiliki efek analgetik yang kuat akan
tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) disertai anestesia disosiasi. Apabila diberikan
intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang
disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan, dilatasi pupil dan nistagmus.
Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti
gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Pada pasien yang diberikan ketamin juga
mengalami amnesia anterograde. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda
khas setelah pemberian Ketamin. Sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada
periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Selain itu, ketamin menyebabkan
peningkatan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan tekanan intrakranial. .(1)(4)
Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit menentukan saatnya yang
tepat seperti halnya sulit menentukan permulaan kerjanya. Kontak penuh dengan lingkungan
dapat bervariasi dari beberapa menit setelah permulaan tanda-tanda sadar sampai 1 jam. Sering
mengakibatkan mimpi buruk, disorientasi tempat dan waktu, halusinasi dan menyebabkan gaduh,
gelisah, tidak terkendali. .(1)(4)
Sistem kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun diastolik.
Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah semula mencapai maksimum beberapa
menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15 menit kemudian. Denyut jantung juga
meningkat. Efek ini disebabkan adanya aktivitas saraf simpatis yang meningkat dan depresi
baroreseptor. Efek ini dapat dicegah dengan pemberian premedikasi opioid, hiosine. Namun
aritmia jarang terjadi. .(1)(4)
Sistem pernafasan. Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya sementara, kecuali dosis
terlalu besar dan adanya obat-obat depressan sebagai premedikasi. Ketamin menyebabkan
dilatasi bronkus dan bersifat antagonis terhadap efek konstriksi bronkus oleh histamin, sehingga
baik untuk penderita asma dan untuk mengurangi spasme bronkus pada anesthesia umum yang
masih ringan. .(1)(4)
Dosis. Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa adalah 1-4mg/kgBB atau
1-2mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, sedangkan melalui infus dengan kecepatan
0.5mg/kgBB/menit, sedangkan untuk anak-anak terdapat banyak rekomendasi. Menurut Mace, et
al (2004) dosis induksi adalah 1-2 mg/kgBB sedangkan menurut Harriet Lane, 0.25-0.5
mg/kgBB. Dengan dosis tambahan setengah dari dosis awal sesuai kebutuhan. (5) Untuk sedasi
dan analgesik dosis yang dianjurkan adalah 0.2-0.8 mg/kgBB intravena dan untuk mencegah
nyeri dosis yang dianjurkan adalah 0.15-0.25 mg/kgBB intravena. (5) Ketamin dapat diberikan
bersama dengan diazepam atau midazolam dengan dosis 0.1mg/kgBB intravena dan untuk
mengurangi salvias dapat diberikan sulfas atropine 0.01mg/kgBB.(3)
Indikasi. Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun sebagai induksi pada
anestesi umum : 1.) untuk prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit, misalnya pada koreksi
jaringan sikatriks daerah leher; 2.) untuk prosedur diagnostic pada bedah saraf atau radiologi
(radiografi); 3.) tindakan ortopedi, misalnya reposisi; 4.) pada pasien dengan resiko tinggi karena
ketamin yang tidak mendepresi fungsi vital; 5.) untuk tindakan operasi kecil; 6.) di tempat
dimana alat-alat anestesi tidak ada; 7.) pasien asma. .(1)(4)
Kontra Indikasi. Ketamin tidak dianjurkan untuk digunakan pada: 1.) Pasien hipertensi
dengan tekanan darah sistolik 160mmHg dan diastolic 100mmHg; 2.) Pasien dengan riwayat
CVD; 3.) pasien dengan decompensatio cordis. Penggunaan ketamin juga harus hati-hati pada
pasien dengan riwayat kelainan jiwa & operasi-operasi pada daerah faring karena reflex masih
baik.
Efek samping. Di masa pemulihan pada 30% pasien didapatkan mimpi buruk sampai
halusinasi visual yang kadang berlanjut hingga 24 jam pasca pemberian. Namun efek samping
ini dapat dihindari dengan pemberian opioid atau benzodiazepine sebagai premedikasi. .(1)(4)
2.1.6 Pemeliharaan Anestesi (Maintainance)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi atau
dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur
rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah
tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena biasanya
menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan
pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot.
Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan
infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot
dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O +
O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4%
bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.
2.1.7 Monitor Anestesi
Dalam anestesiologi, tindakan monitoring sangat vital dalam menjaga keselamatan
pasien. Dalam tindakan anestesia harus dilakukan monitoring terus-menerus tentang keadaan
pasien yaitu reaksi terhadap pemberian obat anestesi khusus terhadap fungsi pernapasan dan
jantung. Hal ini dapat dilakukan dengan panca indra kita yaitu dengan meraba, melihat atau
mendengar atau yang lebih teliti dan obyektif dengan alat. Selama monitor reaksi pasien, alat-
alat yang digunakan seperti mesih anestesi dan respirator juga perlu di monitor fungsinya. Alat
monitor sekarang disertai dengan sistem alarm untuk memberi pernyataan, misalnya dengan
bunyi-bunyian bawah batas-batas nilai yang normal telah dilampaui sehingga perbaikan segera
dapat dilakukan. Monitoring dalam anestesia dan pembedahan mempunyai tujuan utama :
(1) Diagnosis adanya permasalahan
(2) Perkiraan kemungkinan terjadi kegawatan,
(3) Evaluasi hasil suatu tindakan, termasuk efektivitas dan adanya efek tambahan.1
Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena (anesthesia intravena total)
atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi biasanya
mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup,
diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang
cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga
tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid
dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama
dengan anestesi total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan
0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%, atau sevofluran 2-4 vol%
bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan (controlled).
Memonitor selama anestesi termasuk memonitor mesin anestesi, ventilator, dan observasi pasien
yang bertujuan menilai keadaan-keadaan sebagai berikut :
a. Respon pasien terhadap anestesi dan operasi dengan prediksi perubahan-perubahan
pada pernapasan, denyut jantung, tekanan darah dan variabel lain,
b. Pasien akibat anestesi dan operasi mengalamai perubahan fisiologik, seperti hilangnya
darah, hipotermia, hipertensi, iskemia, perubahan metabolik atau gangguan paru,
c. Keadaan yang tidak terduga seperti infark miokard atau obstruksi jalan napas yang
mengancam jiwa pasien,
1
d. Suksesnya pemberian anestesi sekaligus mencegah terjadinya malpraktek.
2.1.8 Sistem atau Sirkuit Anestesi
Sistem penghantar gas atau sistem anestesia atau sirkuit anestesia ialah alat yang bukan
saja menghantarkkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalannapas atau pasien,
tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan mendorongnyadengan aliran gas segar atau
dengan mengisapnya dengan kapur soda.
Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
1. Sungkup muka, sungkup laring atau pipa trakea
2. Katup ekspirasi dengan per atau pegas.
3. Pipa ombak, pipa cadang. Bahan karet hitam atau plastik transparan anti statik, anti
tertekuk.
4. Kantong cadang.
5. Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2. untuk mencegah terjadinya barotrauma
akibat naiknya tekanan gas yang mendadak tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50
cmH2O.
Sirkuit anestesi yang populer sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle system),sirkuit
magill, sirkuit Bain dan sistem pipa T atau pipa Y dari Ayre.
2.1.9 Sistem Insuflasi
Sistem ini diartikan sebagai penghembusan gas anestetik dengan sungkup muka melalui
salah satu sistem ke wajah pasien tanpa menyetuhnya. Biasanya dikerjakan pada bayi atau anak
kecil yang takut disuntik atau pada mereka yang sedang tidur supaya tidak terbangun (steal
induction). Untuk mnghindari penumpukan gasCO2, aliran gas harus cukup tinggi sekitar 8-10
liter/menit. Sistem ini mencemari udarasekitarnya.Ada yang mengartikan, bahwa sistem ini
adalah penghembusan campuran gasanestetik melalui lubang hidung dengan menggunakan pipa
nasofaring. Seperti mealuisungkup, aliran campuran gas juga harus tinggi sekitar 8-10
liter/menit.4
2.1.10 Tatalaksana Anestesi Umum Inhalasi Sungkup Muka
Indikasi
1. Pada operasi kecil dan sedang di daerah permukaan tubuh dan berlangsungsingkatdengan
posisi terlentang, tanpa membuka rongga perut.
2. Keadaan umum pasien cukup baik (status fisik I atau II).
3. Lambung dalam keadaan kosong
Kontraindikasi:
1. Operasi di daerah kepala dan jalan napas.
2. Operasi dengan posisi miring atau tertelungkup
Tatalaksana:
1. Pasien telah disiapkan sesuai dengan pedoman
2. Pasang alat pantau yang diperlukan
3. Siapkan alat-alat dan obat resusitasi
4. Siapkan mesin anestesi dengan sistem sirkuitnya dan gas anestesi yangdigunakannya
5. Induksi dengan pentothal atau dengan obat hipnotik yang lain
6. Berikan salah satu kombinasi obat inhalasi
7. Awasi pola napas pasien, bila tampak tanda-tanda hipoventilasi berikan napas bantuan
intermiten secara sinkron sesuai dengan irama napas pasien
8. Pantau denyut nadi dan tekanan darah
9. Apabila operasi sudah selesai, hentikan aliran gas/obat anestesi inhalasi dan berikan oksigen
100% (4-8 liter/menit) selama 2-5 menit.
Penyulit: Sehubungan dengan efek samping obat dan risiko sumbatan jalan napas atas.
Kombinasi obat anestesi inhalasi:
1. N2O + halotan atau
2. N2O + enfluran atau
3. N2O + isofluran atau
4. N2O + sevofluran
LARINGEAL MASK AIRWAY
Hilangnya kesadaran karena induksi anestesi berhubungan dengan hilangnya pengendalian
jalan nafas dan reflex-reflex proteksi jalan nafas. Tanggung jawab dokter anestesi adalah untuk
menyediakan respirasi dan managemen jalan nafas yang adekuat untuk pasien. LMA telah
digunakan secara luas untuk mengisi celah antara intubasi ET dan pemakaian face mask. LMA di
insersi secara blind ke dalam pharing dan membentuk suatu sekat bertekanan rendah sekeliling
pintu masuk laring
a. Desain dan Fungsi
Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain untuk memberikan
dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk ventilasi spontan dan memungkinkan
ventilasi kendali pada mode level (< 15 cm H2O) tekanan positif. Alat ini tersedia dalam 7
ukuran untuk neonatus, infant, anak kecil, anak besar, kecil, normal dan besar.7
b. Macam-macam LMA
LMA dapat dibagi menjadi 3 ( 4 ) :
1. Clasic LMA
2. Fastrach LMA
3. Proseal LMA
4. Flexible LMA

Indikasi
:
a. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway management.
LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian Etmenjadi suatu indikasi.
b. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak diperkirakan.
c. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan diri.
Kontraindikasi
a. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan pada emergency adalah
pengecualian ).
b. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karena seal
yangbertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran padatekanan inspirasi
tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung. Tekanan11inspirasi puncak harus dijaga
kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisirkebocoron cuff dan pengembangan
lambung.
c. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama.
d. Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat memicu
terjadinya laryngospasme.

Efek Samping
Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, dengan insidensi 10
% dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA. Efek samping yang utama adalah
aspirasi.

2.1.10 INTUBASI ENDOTRACHEA


a. Definisi
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima
glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira pada pertengahan antara pita suara dan
bifurkasio trakea.4
Tujuan :
1. Pembebasan jalan napas
2. Pemberian napas buatan dengan bag and mask
3. Pemberian napas buatan secara mekanik (respirator)
4. Memungkinkan penghisapan sekret secara adekuat
5. Mencegah aspirasi asam lambung (dengan adanya balon yang dikembangkan)
6. Mencegah distensi lambung.
Pemberian oksigen dosis tinggi.
b. Alat
Sebelum melakukan tindakan intubasi trakea, ada beberapa alat yang perlu disiapkan
yang disingkat dengan STATICS.3,4
1. S= Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop untuk
mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring secara langsung
sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua
macam laringoskop:5
a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.

Gambar 3. Miller Blade3 Gambar 4. Macintosh Blade3


Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu pada
laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.
2. T=Tubes
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea mengantar
gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida.
Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi,
anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk
penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh karena
itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak
besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor.5 Alasan lain adalah penggunaan kaf pada
bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup.4
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung
(nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila penggunaan orotracheal tube
tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut atau dapat menghalangi
akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan
farktur basis kranii.
Di pasaran bebeas dikenal beberapa ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah
ini.

Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai Bibir


Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
*Tersedia dengan atau tanpa kaf
Tabel 1. Pipa Trakea dan peruntukannya

Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:


Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + ¼ umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)

Karakteristik Pipa Endotrakea


Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas, mempertahankan
patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi, oksigenasi dan pengisapan.
Gambar 5. Pipa endotrakea8
Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl Chloride) yang bebas
lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor standar. Termosensitif untuk melindungi jaringan
mukosa dan memungkinkan pertukaran gas, serta struktur radioopak yang memungkinkan
perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada tabung didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm untuk
memastikan kedalaman pipa.5
Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea disesuaikan
dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa endotrakea yang baik untuk
seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat melalui rima glotis tanpa trauma. Pada
anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada penyempitan di daerah
subglotis (makin kecil makin sempit). Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada anak,
terutama adalah pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa
yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi dan
agar tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung (memakai laringoskop
dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan secara tidak langsung (tanpa melihat
trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara lain adalah dengan menggunakan
laringoskop serat optik
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa dengan
balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih baik.
Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai karena dapat menyebabkan
nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon yang terlalu besar dapat dihindari dengan
memonitor tekanan dalam balon (yang pada balon lunak besar sama dengan tekanan dinding
trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari
plastik yang tidak iritasif.
Berikut ditampilkan berbagai ukuran pipa endotrakea baik dengn atau tanpa cuff. Ukuran
penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi dan anak kecil pemilihan
diameter dalam pipa (mm) = 4 + ¼ umur (tahun).
Size Size
PLAIN CUFFED Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari
2.5 mm 4.5 mm hendaknya dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa
3.0 mm 5.0 mm
3.5 mm 5.5 mm kasus lebih dini. Pada hari ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang
4.0 mm 6.0 mm dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis subglotis.5
4.5 mm 6.5 mm Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang
7.0 mm
7.5 mm dengan adanya perbaikan balon dan pipa. Jadi trakeostomi pada
8.0 mm pasien koma dapat ditunda jika ekstubasi diperkirakan dapat
8.5 mm
dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi pasien sadar
9.0 mm
tertentu memerlukan ventilasi intratrakea jangka panjang
mungkin merasa lebih nyaman dan diberi kemungkinan untuk mampu berbicara jika trakeotomi
dilakukan lebih dini.9
3. A=Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untk menjaga terbukanya jalan napas yaitu pipa
mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa
ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan
napas.

Gambar 5. OPA dan posisinya4 Gambar 6. NTA dan posisinya4


4. T=Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
5. I=Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus plastik
(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
6. C=Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve mask ataupun
peralatan anestesia.
7. S=Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah, dan cairan lainnya.
C. Indikasi Intubasi Trakea4
Indikasi intubasi trakea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Misalnya akibat kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret
jalan napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi.
Misalnya saat resusitasi dan ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
D. Kontraindikasi
a. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga
sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
b. Keadaan trauma / obstruksi jalan nafas atas, mencegah aspirasi, penanganan jalan nafas
jangka panjang, mempermudah proses weaning ventilator
E. penyulit IntubasiTrakea
Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi yang dijumpai.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka masimal dan lidah dijulurkan
maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi empat kelas. Sedangkan menurut Cormack dan
Lehanne kesulitan intubasi juga dibagi menjadi 4 gradasi.
Gambar 7. Mallampati Classification and Cormack-Lehanne
Classification5

Kesulitan intubasi umumnya ditemui pada kondisi:5


1. Leher pendek dan berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak verteba servikal terbatas.
F. Teknik Intubasi Trakea4,5
Sebelum melakukan intubasi, perlu dipersiapkan alat-alat yang diperlukan dan diperiksa
keadaannya, misalkan apakah kaf pada intubasi tidak bocor, nyala lampu pada laringoskop, dan
lain-lain.
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang
benar. Kepala pasien harus sejajar atau lebih tinggi
dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah
ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama
laringoskopi. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-10 cm
diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito join

Gambar 8. Sniffing position2


membuat pasien berada pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher
dibuat fleksi dengan menempatkan kepala diatas bantal.8
Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin. Setelah induksi anestesi
umum, mata rutin direkat dengan plester karena anestesi umum menghilangkan refleks proteksi
cornea.
1. Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar, blade
dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari gigi. Geserkan
lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung
blade biasanya di masukan ke dalam vallecula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis. Handle
diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara.
Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan pengungkitan dari gigi harus dihindari.
Orotracheal tube (OTT) diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita
suara yang terbuka (abduksi). Balon OTT harus berada dalam trachea bagian atas tapi diluar
laring.  Langingoskop ditarik dengan hati- hati untuk menghindari kerusakan gigi.  Balon
dikembungkan dengan minimal udara yang dibutuhkan untuk meminimalkan tekanan yang
ditransmisikan pada mukosa trachea.

Gambar 9. Tampilan Glottis selama laringoskopi8


Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan capnogragraf
dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratracheal. Walaupun deteksi kadar CO 2 dengan
capnograf yang merupakan konfirmasi terbaik dari letak OTT di trachea, tapi tidak dapat
mengecualikan intubasi bronchial. Manifestasi dini dari intubasi bronkhial adalah peningkatan
tekanan respirasi puncak. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang
diperlukan kecuali dalam ICU. Setelah yakin OTT berada dalam posisi yang tepat, pipa diplester
atau diikat untuk mengamankan posisi.4,5
2. Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat hidung dan
nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang dipilih dan
digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang. Tetes hidung
phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan membran
mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.2
NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air, dimasukkan ke dasar
hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari turbin. Untuk
memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari NTT harus ditarik ke arah
kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya terlihat di orofaring.
Umumnya ujung distal dari NTT dapat dimasukan pada trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan
kesulitan dapat diguankan forcep Magil. Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati agar
tidak merusakkan balon. Memasukkan NTT melalaui hidung berbahaya pada pasien dengan
trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke intrakranial.5

G. Komplikasi
Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada praktik anestesi dan
perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang cepat, sederhana, aman
dan teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan dari tatalaksana jalan napas yang
diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap paten, menjaga paru-paru dari aspirasi, membuat
ventilasi yang cukup selama dilakukan ventilasi mekanik, dan sebagainya.
Komplikasi yang berhubungan dengan intubasi endotrakeal
Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi endotrakeal dapat dibagi
menjadi:
Faktor pasien
1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena memiliki laring dan
trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema pada jalan napas.
2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.
3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat menimbulkan
kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung mendapatkan trauma fisik atau fisiologis
selama intubasi.
4. Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.

Faktor yang berhubungan dengan anestesia


1. Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan menangani situasi krisis yang
dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya komplikasi selama
tatalaksana jalan napas.
2. Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan pasien dan peralatan
yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam intubasi.5
Faktor yang berhubungan dengan peralatan
1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan yang maksimal
pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan yang terjadi pada bagian tersebut
tergantung dari ukuran tube dan durasi pemakaian tube tersebut.
2. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya trauma.
3. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.
4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan toksik berupa
etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.
5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan tekanan yang
rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di bagian yang tidak tepat.
Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan ventilasi
dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan melakukan intubasi dan
kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah tidak dapat dilakukannya ventilasi
maupun intubasi pada pasien apnoe karena proses anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi dapat
menyebabkan kematian atau hipoksia otak.
Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih ketika dalam keadaan
emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-cannot-intubation (CVCI).
Komplikasi :
1. selama intubasi
- Trauma gigi geligi - Laserasi bibir, gusi , laring
- Merangsang saraf simpatis - Intubasi bronkus
- Intubasi esophagus - Aspirasi
- Spasme bronkus
2. Selama Ekstubasi
- Spasme laring - Aspirasi
- Gangguan fonasi - Edema glotis-subglotis
- Infeksi laring, faring, dan trakea
Ekstubasi4,5
a. Ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :
- intubasi kembali menimbulkan kesulitan
- adanya resiko aspirasi
b. Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan dengan catatan tidak
terjadi spasme laring
c. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari sekret dan cairan lainnya.
Monitoring perianestesi
Pasca bedah
Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah operasi dan
anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih. Bila pasien gelisah, harus diteliti
apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat) misalnya
karena hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan).4,5
DAFTAR PUSTAKA

1. Calvey, Norman; Williams, Norton. Principles and Practice of Pharmacology for


Anaesthetists. Fifth edition. Blackwell Publishing 2008; 110-126, 207-208
2. Dobson, M.B.,ed. Dharma A., 1994 Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta
3. Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, cetak ulang dengan tambahan, tahun
2012. Analgesik opioid dan antagonisnya. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2012; 210-218
4. Fentanyl. Available at: http://www.webmd.com/pain-management/fentanyl. Accessed on 08
Februari 2018
5. Latief, Said A, Sp.An; Suryadi, Kartini A, Sp.An; Dachlan, M. Ruswan, Sp.An. Petunjuk
Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Jakarta 2010; 46-47, 81
6. Muhiman, Muhardi, dr. et al. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; 65-71
7. Propofol. Available at: http://reference.medscape.com/drug/diprivan-propofol-343100#0.
8. Werth, M. 2010. Pokok-Pokok Anestesi. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai