Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

GENERAL ANESTESIA

Laporan ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti Kepaniteraan


Klinik Senior SMF Anestesi di RSUD Dr. R. M. Djoelham Binjai

Disusun Oleh :

1. Diah Stanya Putri (102119048)


2. Fitratul Azni (102119010)
3. Resty Yunus (102119009)

Pembimbing :

dr. Ronie Putra Daniel, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM

RSUD Dr. R. M. Djoelham Binjai

2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulillah, segala puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah
Subhanahuwata’ala atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat.
Penulis menyadari bahwa, referat ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terimakasih kepada pembimbing dr. Ronie Putra Daniel, Sp. An dan semua pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas ini sejak awal hingga selesainya tugas
ini.

Tujuan penulisan referat ini adalah sebagai salah satu syarat dalam kegiatan
kepaniteraan klinik senior dibagian anestesi RSUD Dr. R. M. Djoelham Binjai.
Penulis menyadari bahwa referat ini tidak luput dari kekurangan. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan referat ini.

Binjai, September 2020

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................2
A. Definisi .............................................................................................2
B. Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Umum..................................2
C. Anestesi Intravena.............................................................................4
D. Stadium Anestesi..............................................................................4
E. Penilaian dan Persiapan Pra Anestesi...............................................5
BAB III KESIMPULAN........................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anestesia berarti pembiusan, kata ini berasal dari bahasa Yunani an- "tidak,
tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Istilah anestesi digunakan
pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Anestesi umum adalah
tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan
bersifat pulih kembali (reversible).
Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan
relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan dengan
pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup
premedikasi, induksi, maintenance, dan pemulihan. Ada tiga kategori utama anestesi,
yaitu anestesi umum, anestesi regional dan anestesi lokal. Masing-masing memiliki
bentuk dan kegunaan. Seorang ahli anestesi akan menentukan jenis anestesi yang
menurutnya terbaik dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-
masing tindakan tersebut.
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Praktek anestesi umum juga
termasuk mengendalikan pernapasan pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama
prosedur anestesi. Tahapannya mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan. Metode
anestesi umum dapat dilakukan dengan 3 cara: antara lain secaara parenteral melalui
intravena dan intramuskular, perrektal (biasanya untuk anak-anak) dan inhalasi.
Anestesi umum intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur
intravena, baik untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Anestesi yang
ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat
segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas keamanan pemakaian harus cukup
lebar dengan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat
memberikan efek yang diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal.
Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat
menutupi pengaruh obat yang lain.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Asal kata Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya
yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh
Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Obat yang digunakan dalam menimbulkan
anesthesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok ini dibedakan dalam anestetik umum
dan anestetik lokal. Berdasarkan pada dalamnya pembiusan, anestetik umum dapat
memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri atau efek anesthesia yaitu
analgesia yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal hanya
menimbulkan efek analgesia (Silistia, 1995).
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral
disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaan anestesi umum
dibanding dengan anestesi lokal diantaranya pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit
setempat sedangkan pada anestesi umum seluruh tubuh. Pada anestesi lokal yang
terpengaruh syaraf perifer, sedang pada anestesi umum yang terpengaruh syaraf pusat
dan pada anestesi lokal tidak terjadi kehilangan kesadaran (Soenardjo, 2010).
Menurut bentuk fisiknya, anestesi umum dibagi menjadi 2 macam yaitu anestesi
inhalasi dan anestesi intravena.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anestesi Umum


1) Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam paru-paru
(alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu. Kemudian
zat anestesika akan berdifusi melalui membrane alveolus. Epitel alveolus bukan
penghambat disfusi zat anestesika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama
dengan tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi hal
tersebut adalah:
a) Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam
alveolus.

2
b) Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat meningginya
tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada hipoventilasi.
2) Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena
Faktor-faktor yang mempengaruhi:
a) Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan darah
vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan dan sebagian
kembali melalui vena.
b) Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam darah
terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
c) Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak aliran
darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang diambil dari
alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan makin lama
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat anesthesia yang adekuat.
3) Faktor jaringan
a) Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan.
b) Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesika, kecuali halotan.
c) Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
i. Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar, ginjal.
Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan
parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ
ini. Otak menerima 14% curah jantung.
ii. Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
iii. Lemak : jaringan lemak
iv. Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran
darah : ligament dan tendon.
4) Faktor zat anestesika
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang berbeda-beda.
Untuk menentukan derajat potensi ini dikenal adanya MAC (minimal alveolar
concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu konsentrasi terendah zat
anestesika dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan
(respon) terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi
potensi zat anestesika tersebut.

3
C. Anestesi Intravena
Anestesi intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh hanya satu
macam obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat,
lama kerja pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia,
disertai oleh amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh
obat antagonisnya, cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi
respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi
organ, tanpa efek samping (mual muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat. Untuk
mencapai tujuan di atas, kita dapat menggunakan kombinasi beberapa obat atau cara
anestesi lain. Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek salah
satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang lain (Silistia, 1996).

D. Stadium Anestesi
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi, agar
tidak membahayakan penderita, tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi.
1. Stadium I (Stadium analgesi atau stadium disorientasi)
Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium
ini, operasi kecil dapat dilakukan.
2. Stadium II (stadium delirium atau stadium eksitasi)
Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Pada stadium ini
penderita bisa meronta-ronta, pernafasan irregular, pupil melebar, refleks cahaya
positif gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi, refleks
fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang kencing atau
defekasi.
Stadium ini diakhiri dengan hilangnya reflek menelan dan kelopak mata, dan
selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini dapat membahayakan penderita
sehingga harus segera diakhiri. Keadaan ini dapat dikurangi dengan memberikan
premedikasi yang adekuat, persiapan psikologis penderita dan induksi yang halus
dan tepat.
3. Stadium III (Stadium operasi)
Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot nafas. Stadium ini dibagi
menjadi 4 plana :
Plana I : Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai
dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal

4
Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+),
lakrimasi meningkat, reflek faring dan muntah menghilang, tonus otot
menurun.
Plana II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisis otot
interkostal.
Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidal menurun dan
frekuensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi nafas torakal, bola
mata berhenti, pupil melebar dan reflek cahaya menurun, reflek korne
menghilang dan tonus otot makin menurun.
Plana III : Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise seluruh otot
interkostal.
Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dominan dari torakal
karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil makin melebar dan reflek
cahaya menjadi hilang, lakrimasi negatif, reflek laring dan peritoneal
menghilang, tonus otot makin menurun.
Plana IV : Dari paralise semua otot intercostal sampai paralise diafragma
Ditandai dengan paralise otot intercostal, pernafasan lambat, ireguler
dan tidak adekuat. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid,
pupil melebar, reflek cahaya negatif, reflek spinchter ani negatif.
4. Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Disebut juga stadium
overdosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya semua reflek, pupil
dilatasi, terjadi respiratory failure dan diikuti dengan circulatory failure.

E. PENILAIAN DAN PERSIAPAN PRA ANESTESI


Kegagalan untuk mempersiapkan keadaan pasien sering terjadi dan biasanya
dapat dihindari dengan mudah untuk mencegah kecelakaan yang berhubungan dengan
anestesi. Persiapan ini menyangkut setiap aspek terhadap kondisi pasien dan tidak hanya
permasalahan patologis yang membutuhkan operasi.
1. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca
bedah, sehingga dapat dirancang anestesi berikutnya dengan lebih baik. Beberapa

5
peneliti menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau
sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam
waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga
jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting
untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher
pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin
secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi semua system organ tubuh pasien.
3. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit
yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah
kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia
pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
4. Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah
yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi
fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesia, karena dampaksamping anestesia
tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.
 Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
 Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
 Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas.
 Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya
setiap saat.
 Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
 Kelas VI : Pasien yang mati batang otak dan akan diambil organnya untuk
transplantasi.
5. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien

6
yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan
oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebeluminduksi anestesia.
Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat
air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.
6. Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan
premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
i. Kunjungan pre anestesi
ii. Pengertian masalah yang dihadapi
iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2 antagonis
6. Mengurangi rasa sakit

Waktu dan cara pemberian premedikasi:


Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara
intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat darurat
dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan
secara intravena, obat akan efektif dalam 3 - 5 menit. Obat akan sangat efektif

7
sebelum induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan
pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat
premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi
kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara
perlahan-lahan dan diencerkan.
Obat-obat yang sering digunakan:
a) Analgesik narkotik
1) Morfin ( amp 1cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
2) Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
3) Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µg/kgBB
b) Analgesik non narkotik
1) Ketorolak
2) Asam mefenamat
3) Natrium diklofenak
4) Tramadol
c) Hipnotik
1) Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
2) Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
d) Sedatif
1) Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
2) Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
e) Antikolinergik
1) Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001 mg/kgBB
f) Anti emetic
1) Simetidin dan Ranitidin
2) Ondancentron

7. Obat-Obat Induksi Anestesi Intravena


Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam 2 golongan: 1.) Obat yang terutama
digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan barbiturat, eugenol, dan
steroid; 2.) obat yang digunakan baik sendiri maupun kombinasi untuk mendapat
keadaan seperti pada neuroleptanalgesia (contohnya: droperidol), anestesi dissosiasi
(contohnya: ketamin), sedative (contohnya: diazepam). Dari bermacam-macam obat

8
anesthesia intravena, hanya beberapa saja yang sering digunakan, yakni golongan:
barbiturat, ketamin, dan diazepam.
PROPOFOL
Propofol adalah salah satu dari kelompok derivat fenol yang banyak
digunakan sebagai anastesia intravena. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi
pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Propofol dikemas dalam cairan emulsi
berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg).
Propofol dengan cepat dimetabolisme di hati melalui konjugasi ke glukuronat
dan sulfat untuk menghasilkan senyawa larut dalam air, yang diekskresikan oleh
ginjal. Kurang dari 1% propofol diekskresikan tidak berubah dalam urin, dan hanya
2% diekskresikan dalam tinja.
Farmakokinetik. Waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat menimbulkan
sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis dan
redistribusi dari sistem saraf pusat. Sebagian besar propofol terikat dengan albumin
(96-97%). Setelah pemberian bolus intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang
dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu paruh 1-3 menit) kemudian diikuti
bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30 menit). Kedua fase ini
menunjukkan distribusi dari plasma dan ambilan oleh jaringan yang cepat.
Metabolisme terjadi di hepar melalui konjugasi oleh konjugasi oleh
glukoronida dan sulfat untuk membentuk metabolit inaktif yang larut air yang
kemudian diekskresi melalui urin. Eliminasi propofol sensitif terhadap perubahan
aliran darah hepar namun tidak dipengaruhi oleh ikatan protein ataupun aktivitas
enzim. Propofol diketahui menghambat metabolisme obat oleh sitokrom p450 oleh
karena itu dapat menyebabkan perlambatan klirens dan durasi yang memanjang pada
pemberian bersama dengan fentanyl, alfentanil dan propanolol.
Farmakodinamik. Sistem saraf pusat. Dosis induksi menyebabkan pasien
kehilangan kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP,
dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek
analgetik. Pada pemberian dosis induksi  (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran
berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood tapi tidak  sehebat
thiopental. Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan
konsumsi oksigen otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan
intraokular sebanyak 35%.      

9
Sistem kardiovaskuler. Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi
pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun. Hal ini disebabkan
oleh efek dari propofol yang menurunkan resistensi vaskular sistemik sebanyak 30%.
Namun penurunan tekanan darah biasanya tidak disertai peningkatan denyut nadi.
Pernafasan spontan (dibanding nafas kendali) serta pemberian drip melalui infus
(dibandingkan dengan pemberian melalui bolus) mengurangi depresi jantung.
Sedangkan usia berbanding lurus dengan efek depresi jantung.
Sistem pernafasan. Apnoe paling banyak didapatkan pada pemberian propofol
dibanding obat intravena lainnya. Umumnya berlangsung selama 30 detik, namun
dapat memanjang dengan pemberian opioid sebagai premedikasi atau sebelum induksi
dengan propofol. Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal. Efek ini
biasanya bersifat sementara namun dapat memanjang pada penggunaan dosis yang
melebihi dari rekomendasi atau saat digunakan bersamaan dengan respiratory
depressants.
Dosis. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia
umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun. Dosis yang
dianjurkan untuk induksi pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun
adalah 2-2.5 mg/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau
dengan ASA III/IV: 1-1.5 mg/kgBB. Untuk pemeliharaan dosis yang dianjurkan pada
pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.1-0.2 mg/menit/kgBB dan
untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.05-0.1
mg/menit/kgBB. Dosis yang dianjurkan yang dapat menimbulkan sedasi adalah 0.1-
0.15 mg/kgBB sebagai dosis inisial dengan dosis pemeliharaan yang dianjurkan pada
pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.025-0.075
mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA
III/IV: 0.02-0.06 mg/menit/kgBB.
Propofol, bila digunakan untuk induksi anestesi dalam prosedur singkat, hasil
dalam pemulihan secara signifikan lebih cepat dan pengembalian sebelumnya fungsi
psikomotor dibandingkan dengan thiopental atau methohexital, terlepas dari anestesi
yang digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Kejadian mual dan muntah saat
propofol digunakan untuk induksi juga nyata kurang dari setelah penggunaan anestesi
IV lainnya, mungkin karena sifat antiemetik propofol. Propofol mendukung
perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan

10
hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah
kontaminasi dari bakteri.
Efek samping. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa
detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB intravena. Biasanya terjadi
saat penyuntikan dilakukan di dorsum Palmaris. Insidens nyeri lebih sedikit
didapatkan pada penyuntikan di vena yang lebih besar di fossa antecubiti. Bradikardi
serta hipotensi kadang didapatkan setelah penyuntikan propofol, namun dapat diatasi
dengan penyuntikkan obat antimuskarinik, misalnya: atropin. Efek samping
eksitatorik seperti myoclonus, opisthotonus serta konvulsi kadang dihubungkan
dengan pemberian propofol dan dapat terjadi pada masa pemulihan. Resiko konvulsi
dan onset yang melambat ditemujan pada pemberian propofol pada pasien epilepsy.
KETAMIN
Ketamin adalah suatu “rapid acting non-barbiturate general anesthetic”.
Pertama kali diperkenalkan oleh Domino and Carsen pada tahun 1965.
Ketamin kurang digemari untuk induksi anesthesia karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia dapat
menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Blok terhadap
reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik,
sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum
dan juga efek analgesik.
Farmakokinetik. Onset kerja ketamin pada pemberian intravena lebih cepat
dibandingkan pemberian intramuskular. Onset pada pemberian intravena adalah 30
detik sedangkan dengan pemberian intramuskular membutuhkan waktu 3-4 menit,
tetapi durasi kerja juga didapatkan lebih singkat pada pemberian intravena (5-10
menit) dibandingkan pemberian intramuskular (12-25 menit).
Metabolisme terjadi di hepar dengan bantuan sitokrom P450 di reticulum
endoplasma halus menjadi norketamine yang masih memiliki efek hipnotis namun
30% lebih lemah dibanding ketamine, yang kemudian mengalami konjugasi oleh
glukoronida menjadi senyawa larut air untuk selanjutnya diekskresikan melalui urin.
Farmakodinamik Sistem saraf pusat. Ketamine memiliki efek analgetik yang
kuat akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) disertai anestesia disosiasi.
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami
perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata
terbuka spontan, dilatasi pupil dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai

11
gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah,
menelan, tremor dan kejang. Pada pasien yang diberikan ketamin juga mengalami
amnesia anterograde. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda
khas setelah pemberian Ketamin. Sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi
pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Selain itu, ketamin
menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan tekanan
intrakranial.
Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit menentukan
saatnya yang tepat seperti halnya sulit menentukan permulaan kerjanya. Kontak
penuh dengan lingkungan dapat bervariasi dari beberapa menit setelah permulaan
tanda-tanda sadar sampai 1 jam. Sering mengakibatkan mimpi buruk, disorientasi
tempat dan waktu, halusinasi dan menyebabkan gaduh, gelisah, tidak terkendali.
Sistem kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun
diastolik. Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah semula mencapai
maksimum beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15 menit
kemudian. Denyut jantung juga meningkat. Efek ini disebabkan adanya aktivitas saraf
simpatis yang meningkat dan depresi baroreseptor. Efek ini dapat dicegah dengan
pemberian premedikasi opioid, hiosine. Namun aritmia jarang terjadi.
Sistem pernafasan. Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya sementara,
kecuali dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depressan sebagai premedikasi.
Ketamin menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat antagonis terhadap efek
konstriksi bronkus oleh histamin, sehingga baik untuk penderita asma dan untuk
mengurangi spasme bronkus pada anesthesia umum yang masih ringan.
Dosis. Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa adalah 1-
4mg/kgBB atau 1-2mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, sedangkan melalui
infus dengan kecepatan 0.5mg/kgBB/menit, sedangkan untuk anak-anak terdapat
banyak rekomendasi. Menurut Mace, et al (2004) dosis induksi adalah 1-2 mg/kgBB
sedangkan menurut Harriet Lane, 0.25-0.5 mg/kgBB. Dengan dosis tambahan
setengah dari dosis awal sesuai kebutuhan. Untuk sedasi dan analgesik dosis yang
dianjurkan adalah 0.2-0.8 mg/kgBB intravena dan untuk mencegah nyeri dosis yang
dianjurkan adalah 0.15-0.25 mg/kgBB intravena. Ketamin dapat diberikan bersama
dengan diazepam atau midazolam dengan dosis 0.1mg/kgBB intravena dan untuk
mengurangi salvias dapat diberikan sulfas atropine 0.01mg/kgBB.

12
Indikasi. Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun sebagai induksi
pada anestesi umum : 1.) untuk prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit,
misalnya pada koreksi jaringan sikatriks daerah leher; 2.) untuk prosedur diagnostic
pada bedah saraf atau radiologi (radiografi); 3.) tindakan ortopedi, misalnya reposisi;
4.) pada pasien dengan resiko tinggi karena ketamin yang tidak mendepresi fungsi
vital; 5.) untuk tindakan operasi kecil; 6.) di tempat dimana alat-alat anestesi tidak
ada; 7.) pasien asma.
Kontra Indikasi. Ketamin tidak dianjurkan untuk digunakan pada: 1.) Pasien
hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160mmHg dan diastolic 100mmHg; 2.)
Pasien dengan riwayat CVD; 3.) pasien dengan decompensatio cordis. Penggunaan
ketamin juga harus hati-hati pada pasien dengan riwayat kelainan jiwa & operasi-
operasi pada daerah faring karena reflex masih baik.
Efek samping. Di masa pemulihan pada 30% pasien didapatkan mimpi buruk
sampai halusinasi visual yang kadang berlanjut hingga 24 jam pasca pemberian.
Namun efek samping ini dapat dihindari dengan pemberian opioid atau
benzodiazepine sebagai premedikasi.
8. Pemeliharaan Anestesi (Maintainance)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi atau
dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi
yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar
pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan
ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau
N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan
perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4
vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau
dikendalikan.

13
9. Pemulihan Anestesi

Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan
menghentikan pemberian obat anestesi. Pada penderita yang mendapatkan anestesi
intravena, kesadaran akan kembali berangsur-angsur dengan turunnya kadar obat anestesi
akibat metabolisme atau ekskresi setelah obat dihentikan. Selanjutnya bagi penderita
yang dianestesi dengan pernafasan spontan tanpa menggunakan pipa endotrakeal maka
hanya tinggal menunggu sadarnya penderita. Sedangkan untuk pasien yang
menggunakan pipa endotrakheal, maka perlu dilakukan pelepasan atau ekstubasi.
Ekstubasi dapat dilakukan ketika penderita masih teranestesi maupun setelah penderita
sadar. Ekstubasi dalam keadaan setengah sadar dapat membahayakan penderita karena
dapat menyebabkan spasme jalan nafas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler,
naiknya tekanan intraokuli dan intrakranial (Soenarjo et al, 2010).

14
BAB III
KESIMPULAN

Anestesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan


pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Anestesi umum adalah adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversible.
Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi meliputi faktor respirasi, faktor sirkulasi,
faktor jaringan dan faktor zat anestetika.
Anestesi intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh hanya satu
macam obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat, lama
kerja pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia, disertai oleh
amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya,
cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi dan
kardiovaskuler, pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek
samping (mual muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat.
Stadium anestesi menurut Guedel dibagi menjadi 4 stadium yaitu Stadium I (Stadium
analgesia), Stadium II (Stadium eksitasi atau stadium delirium), Stadium III (Stadium
anestesia atau stadium operasi), dan Stadium IV (Stadium paralysis).
Penilaian dan persiapan pra anestesi meliputi Anamnesis, Pemeriksaan Fisik,
Pemeriksaan Laboratorium, Klasifikasi Status Fisik, Masukan Oral, Premedikasi, Obat-obat
Induksi Intravena, Pemeliharaan Anastesi (Maintanance), dan Pemulihan Anastesi.

15
DAFTAR PUSTAKA

Calvey, Norman; Williams, Norton. Principles and Practice of Pharmacology for


Anaesthetists. Fifth edition. Blackwell Publishing 2008; 110-126, 207-208
Dobson, M.B.,ed. Dharma A., 1994 Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta
Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, cetak ulang dengan tambahan, tahun
2012. Analgesik opioid dan antagonisnya. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2012; 210-218
Fentanyl. Available at: http://www.webmd.com/pain-management/fentanyl. Accessed on 2
juni 2014
Ganiswara, Silistia G., 1995. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy Pharmacology). Alih
Bahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta,
Latief, Said A, Sp.An; Suryadi, Kartini A, Sp.An; Dachlan, M. Ruswan, Sp.An. Petunjuk
Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Jakarta 2010; 46-47, 81
Muhiman, Muhardi, dr. et al. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; 65-71
Propofol. Available at: http://reference.medscape.com/drug/diprivan-propofol-343100#0.
Werth, M. 2010. Pokok-Pokok Anestesi. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai