Tatalaksana
Tatalaksana abses peritonsil dapat diberikan antibiotik golongan penicillin atau
klindamisin untuk stadium infiltrasi, dan juga dapat diberikan terapi simptomatik. Kumur-
kumur dengan air hangat dan kompres air dingin pada leher.
Daftar Regimen Antimikroba Yang Disarankan (galioto)
Terapi intravena:
Penicillin G, 10 juta unit setiap 6 jam, plus metronidazole (Flagyl), 500 mg setiap
6 jam
Ampicillin / sulbactam (Unasyn), 3 g tiap 6 jam
Sefalosporin generasi ketiga (mis., Ceftriaxone, masing-masing 1g 12 jam)
ditambah metronidazol, 500 mg setiap 6 jam
Piperacillin / tazobactam (Zosyn), 3.375 g tiap 6 jam (dosis harian maksimum
18g)
Jika penisilin alergi, maka klindamisin, 900 mg setiap 8 jam
Jika MRSA mengkhawatirkan, maka vankomisin, 1 g setiap 12 jam, plus
metronidazole, 500 mg setiap 6 jam
Terapi oral:
Penisilin VK, 500 mg setiap 6 jam, ditambah metronidazol, 500mg setiap 6 jam
Amoksisilin / klavulanat (Augmentin), 875 mg tiap 12 jam
Sefalosporin generasi ketiga (misalnya, cefdinir [Omnicef], 300mg setiap 12 jam)
ditambah metronidazol, 500 mg setiap 6 jam
Klindamisin, 300 sampai 450 mg setiap 8 jam
Jika MRSA mengkhawatirkan, maka linezolid (Zyvox), masing-masing 600 mg
12 jam, plus metronidazole, 500 mg setiap 6 jam
Bila abses telah terbentuk, dapat dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian
diinsisi untuk mengeluarkan pus, area insisi merupakan area yang paling menonjol dan lunak
atau pada pertengahan garis yang menhubungkan dasar uvula dengan gigi geraham atas
terakhir pada sisi yang sakit.
Drainase dapat dilakukan untuk kasus abses peritonsil kecuali abses kecil (< 1cm)
tanpa suara teredam, drooling, atau trismus. Berikut ini merupakan Teknik aspirasi jarum
(needle aspiration) pada kasus abses peritonsil: (galioto)
1. Pastikan pengaturannya sesuai untuk menangani komplikasi jalan napas.
2. Periksa apakah pencahayaan dan penyedotan yang memadai tersedia.
3. Minta pasien untuk duduk sedikit ke depan dan sejajar dengan dokter.
4. Palpasi palatum lunak dengan lembut untuk melokalisasi area yang berfluktuasi.
5. Oleskan anestesi topikal menggunakan semprotan Cetacaine.
6. Tunggu beberapa menit hingga anestesi topikal bekerja, kemudian ambil 6 sampai 10
mL lidokain 1% sampai 2% dengan epinefrin.
7. Gunakan jarum ukuran 1 1⁄2 inci untuk menyuntikkan anestesi lokal ke dalam mukosa
yang menutupi area fluktuasi.
8. Tekan kembali lidah menggunakan penekan lidah.
9. Masukkan jarum spinal ukuran 18 yang dipasang padaspinal 10mL ke area dengan
fluktuasi maksimum dan aspirasi.
10. Jangan memasukkan jarum lebih dari 8 mm.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada abses peritonsil adalah: (FKUI)
abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, atau piemia
penjalaran infeksi ke area parafaring, sehingga terjadi abses di area parafaring.
Penjalaran selanjutnya dapat masuk ke mediastinum, sehingga menjadi mediastinitis
bila penjalarannya ke area intrakranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus
kavernosus, meningitis dan abses otak
Prognosis
Mayoritas pasien abses peritonsil yang menjalani terapi drainase segera dan
dilanjutkan dengan antibiotik sembuh dalam waktu 4-7 hari. pasien dapat mengalami abses
berulang dan memerlukan tonsilektomi formal memiliki presentase sekitar 1-5%. Risiko
kekambuhan paling tinggi pada orang muda yang pernah mengalami lima atau lebih episode
tonsilitis. Setelah perawatan, biasanya tidak ada gejala sisa. Komplikasi seperti perdarahan
telah dilaporkan pada kurang dari 0,1% pasien. (gupta)
SKDI
Abses peritonsil memiliki kompetensi 3: Mampu mendiagnosis, melakukan
penatalaksanaan awal, dan merujuk
3A: Bukan Gawat Darurat:
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan
rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
BAB III
KESIMPULAN
Abses peritonsil /quinsy adalah akumuluasi pus yang berada di ruang peritonsillar
diantara kapsul tonsil dan otot konstriktor superior. Abses peritonsil biasanya terjadi setelah
tonsilitis supuratif. Berdasarkan pemeriksaan kultur, abses peritonsil paling sering disebabkan
oleh streptokokus beta-hemolitik Grup A.
Patogenesis dikemukakan bahwa terdapat kemajuan (progression) episode tonsilitis
eksudatif pertama menjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang
sebenarnya (frank abscess formation).
Diagnosis abses peritonsil ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada
tenggorokan secara terus-menerus, odinofagia, hipersalivasi sehingga ludah seringkali
menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi)
sampai nyeri alih ke telinga (otalgi), hot potato’s voice,riwayat adanya faringitis akut yang
disertai tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral juga dapat dikeluhkan
oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas,
mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema dari palatum mole dan penonjolan
jaringan dari garis tengah. Asimetri palatum mole, tampak membengkak dan menonjol ke
depan, serta pada palpasi palatum mole teraba fluktuasi.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan hitung darah lengkap, test monospot, throat
culture, plain radiographs, computerized tomography (CT scan), dan Peripheral Rim
Enhancement Ultrasound. Sedangkan inisisi dan drainase bahkan tonsilektomi, terapi
antibiotik, dan terapi suportif untuk menjaga hidrasi serta pengendalian nyeri adalah landasan
pengobatan abses peritonsil.
Pasien memilki prognosis yang baik jika menjalani tindakan drainase dan segera
diobati dengan antibiotic dan biasanya akan sembuh dalam waktu 4-7 hari. Keterlambatan
perawatan dapat menyebabkan penjalaran dari abses hingga dapat menutupi jalan nafas.
Daftar Pustaka
Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Abses Peritonsil. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI. 2018.