Anda di halaman 1dari 6

Tatalaksana

Tujuan utama dari penatalaksanaan esofagitis korosif adalah untuk


mencegah pembentukan striktur.
Terapi dibedakan antara tertelan zat korosif dan organik. Dalam
penatalaksanaan esofagitis korosif akibat tertelan zat korosif dibedakan menjadi
fase akut dan kronis. Perawatan umum dan terapi medik serta esofagoskopi dapat
dilakukan dalam fase akut.

a. Perawatan umum
Dimulai dengan menstabuilkan keadaan umum pasien, menjaga
keseimbangan elektrolit dan jalan nafas. Jika terdapat gangguan
keseimbangan elektrolit, dapat diberikan infus aminofusin 600 2 botol,
glukosa 10% 2 botol, NaCl 0,9% + KCl 5Meq/liter 1 botol.
Bila pasien muntah, dapat diberikan susu atau putih telur yan
gunanya adalah untuk melindungi selaput lendir esophagus. Jika zat
korosif yang tertelan terjadi dibawah 6 jam dan diketahui jenis zatnya,
dapat dilakukan netralisasi, bila zat korosif basa kuat dapat diberi susu
atau air, bila asam kuat dapat diberi antacid. (FKUI)

b. Terapi medik
Antibiotika diberikan selama 2-3 minggu atau 5 hari bebas demam.
Biasanya dapat diberikan penicillin dosis tinggi 1 juta – 1,2 juta unit/hari.
(FKUI)
Pemberian kortikosteroid untuk mencegah pembentukan striktur.
Methylprednisolone dengan dosis 1 g / 1,73 m2 per hari selama 3 hari
menunjukkan manfaat dalam mengurangi perkembangan striktur.
Demikian juga, deksametason (1 mg/kg per hari) terbukti lebih baik
daripada prednisolon (2 mg / kg per hari) dalam mencegah pembentukan
striktur (38,9% vs 66,7%) dan perkembangan striktur yang parah (27,8%
vs 55,6%). Namun, penelitian lain menunjukkan bahwa prednisolon
dengan dosis 2 mg / kg intravena tidak memberikan manfaat apapun dalam
mencegah perkembangan striktur. Analisis sistematis yang dikumpulkan
dari konsumsi kaustik mendukung temuan ini karena gagal menunjukkan
manfaat tambahan dengan penggunaan steroid pada pasien dengan luka
bakar esofagus derajat II. Berdasarkan bukti di atas, tampaknya bijaksana
untuk menghindari kortikosteroid sistemik dalam konsumsi kaustik sampai
penelitian lebih lanjut mengkonfirmasi kemanjurannya (Lusong)

c. Esofagoskopi
Esofagoskopi dilakukan pada hari ketiga setelah kejadian atau bila
luka bakar di bibir, mulut, dan faring sudah tenang.
Jika pada saat dilakukan esofagoskopi ditemukan ulkus, maka
esofagoskop tidak boleh dipaksa melalui ulkus tersebut karena
dikhawatirkan akan terjaidi perforasi. Hal ini dapat ditunda selama 6
minggu, sambil menunggu 6 minggu tersebut, dapat dipasang pipa hidung
lambung (nasogaster) dengan hati-hati dan terus menerus (dauer).
Pada fase kronik biasanya sudah didapati striktur. Penggunaan
esofagoskop dapat dilakukan untuk membantu dilatasi yang dilakukan
sekali per minggu, bila keadaan pasien semakin membaik dapat dilakukan
dua kali per minggu, setelah sebulan, sekali 3 bulan dan demikian
seterusnya sampa pasien dapat menelan makanan biasa. Jika hasilnya
kurang memuaskan setelah dilakukan 3 kali, sebaiknya dilakukan reseksi
esofagus dan dibuat anastomosis ujung ke ujung (end to end). (FKUI)
Gambar 13. Algoritma Tatalaksana Esofagitis Korosif Akut dan Subakut(LAL MEENA)

Gambar 14. Algoritma Tatalaksana Esofagitis Korosif Kronik (LAL MEENA)


Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi pada kasus esofagitis korosif adalah:


(FKUI)

1. Syok
2. Koma
3. Edema laring
4. Pneumonia aspirasi
5. Perforasi esofagus
6. Mediastinitis

Prognosis

Prognosis dari esofagitis korosif tergantung pada jenis bahan yang


mencetus, konsenterasi, lama kontak, adanya kelainan sebelumnya, kerusakan
esofagus dan penatalaksanaan awal.

Edukasi dan pencegahan

Regulasi bahan korosif yang ketat dapat dilakukan untuk mencegah


produksi dan distribusi bahan korosif. Pada negara berkembang seperti Indonesia,
peraturan perundang-undangan yang ketat terkait pembatasan penjualan bahan
korosif hanya ke kalangan dewasa dan dengan keperluan yang jelas. Serta regulasi
tentang pengemasan bahan korosif harus diperketat dan diawasi secara berkala
oleh instansi trerkait. Selain itu, para orang tua perlu mendapat edukasi dan
promosi kesehatan tentang bahayanya zat korosif rumah tangga, dan
meningkatkan kewaspadaan orang tua pada anaknya agar dapat dijauhkan dari
bahan korosif rumah tangga. (kalayarasan)
SKDI

Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan tatalaksana awal, dan


merujuk.

3B: Gawat Darurat

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi


pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.(KKI)

BAB III
KESIMPULAN

Esofagitis korosif ialah peradangan di esofagus yang disebabkan oleh luka


bakar karena zat kimia bersifat korosif. Penyebab esofagitis korosif adalah asam
kuat, basa kuat dan zat organik. Keluhan dan gejala yang timbul akibat tertelan zat
korosif tergantung pada jenis zat korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah zat
korosif, lamanya kontak dengan dinding esofagus, sengaja diminum atau tidak
dan dimuntahkan atau tidak.

Diagnosis ditegakkan dari adanya riwayat tertelan zat korosif atau zat
organik, pemeriksaan fisik, bukti-buki yang diperoleh ditempat kejadian,
pemeriksaan radiologik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
esofagoskopi. Penatalaksanaan esofagitis korosif bertujuan untuk mencegah
pembentukan striktur. Terapi esofagitis korosif dibagi dalam fase akut dan fase
kronik. Pada fase akut, dilakukan perawatan umum dan terapi khusus berupa
terapi medik dan esofagoskopi.
Fase kronik telah terjadi striktur, sehingga dilakukan dilatasi dengan
bantuan esofagoskop. Komplikasi esofagitis korosif dapat berupa syok, koma,
edema laring, pneumonia aspirasi, perforasi esofagus, mediastinitis, dan kematian.

Prognosis tergantung pada jenis bahan yang mencetus, konsenterasi,


lama kontak, adanya kelainan sebelumnya, kerusakan esofagus dan
penatalaksanaan awal. Esofagitis korosif termasuk dalam SKDI 3B yaitu kasus
gawat darurat.

Daftar Pustaka

1. Lusong, M A A D, et al. Management of Esophageal Caustic Injuri.World J


Gastrointest Pharmacol Ther. 2017. 8(2): 90–98. doi: 10.4292/wjgpt.v8.i2.90
2. Retno, S., Wardani, R.S, Mangunkusumo, E., 2012, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Ketujuh.
Jakarta : FK UI.
3. Lal Meena B, et al. Corrosive Injuries of the Upper Gastrointestinal Tract. J
Dig Endosc. 2017; 8. p.165-9.
4. Kalayarasan R, Ananthakrishnan N, Kate V. Corrosive Ingestion. Indian J
Crit Care Med. 2019;23(Suppl 4):S282-S286. doi:10.5005/jp-journals-
10071-2330.
5. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta.
2012.

Anda mungkin juga menyukai