MID TEST
ONIKOMIKOSIS
Disusun Oleh:
Maslihadi Alhafid
102119069
Pembimbing :
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Puji dan Syukur kita panjatkan kepada Alloh SWT dengan
kerodhoannya yang telah memberikan segala nikmat dan rahmatnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan Refarat dengan judul “Onikomikosis” yang diajukan
sebagai persyarat untuk mengikuti KKS Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Hj.
Hervina, Sp.KK, FINSDV,MKM. selaku pembimbing saya sehingga refarat ini
dapat selesai pada waktunya.
Mohon maaf jika dalam penulisan Refarat ini masih terdapat kesalahan.
Kritikan dan saran sangat saya harapkan sebagai penyempurnaan laporan kasus
ini. Atas perhatian dan sarannya saya ucapkan terima kasih.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1. Latar Belakang.........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................2
ONIKOMIKOSIS
1. Definisi....................................................................................................2
2. Etiologi ...................................................................................................2
3. Epidemiologi...........................................................................................3
4. Faktor resiko............................................................................................4
5. Diagnosis.................................................................................................5
2.5.1 Anamnesis...............................................................................5
2.5.2 Pemeriksaan Fisik...................................................................5
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang..........................................................9
6. Patogenesis............................................................................................11
7. Patofisiologi...........................................................................................13
8. Diagnosis banding.................................................................................14
9. Penatalaksanaan.....................................................................................14
2.9.1 Non Farmakologi .................................................................14
2.9.2 Farmakologi..........................................................................15
10. Komunikasi dan Edukasi.......................................................................17
11. Komplikasi.............................................................................................17
12. Prognosis...............................................................................................17
13. Profesionalisme.....................................................................................18
BAB III KESIMPULAN......................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
2. Etiologi
2
Dermatofita Nondermatofita Yeast
Trichophyton rubrum Acremonium sp. Candida albicans
Trichophyton mentagrophytes Fusarium sp. Candida parapsilosis
Epidermophyton floccosum Alternaria sp.
Microsporum canis Aspergillus sp.
Botryodiplodia theobromae
Onycochola Canadensis
Scytalidium dimidiatum
Scytalidium hyalinum
Geotrichum candidum
Cladosporium carrionii
Scopulariopsis brevicaulis
Tabel 1. Kelompok jamur yang menyebabkan onikomikosis
3. Epidemiologi
3
dilaporkan terjadi pada 2,6% anak-anak muda dari 1 tahun, tetapi sebanyak
90% dari orang tua.(Unandar, 2018)
4. Faktor Resiko
imunitas.
pertumbuhan kuku yang lebih cepat, dan prevalensi tinea pedis yang
4
5. Diagnosis
2.5.1 Anamnesis
Onikomikosis biasanya asimtomatik, karena itu pasien biasanya
pertama kali hadir untuk alasan kecantikan fisik tanpa keluhan. Ketika
penyakit berkembang onikomikosis dapat mengganggu aktivitas berdiri,
berjalan dan berolahraga. Pasien dapat mengeluh parestesia, nyeri,
ketidaknyamanan, dan kehilangan ketangkasan. Mereka juga dapat
melaporkan kehilangan harga diri dan kurangnya interaksi sosial.
Anamnesis yang cermat dapat mengungkapkan banyak faktor-faktor
risiko lingkungan dan pekerjaan. (Piraccini, 2018)
5
Tanda klinis yang mungkin ditemukan pada kuku yaitu (Zhuol, et
al, 2016):
Onikolisis
Debris di bawah
Hiperkeratosis subungual
Diskolorasi (biasanya putih atau kuning tidak transparan,
lebih jarang pigmentasi coklat)
Destruksi seluruh atau sebagian lempeng kuku
6
daerahonikolitik kuning dibagian tengah lempeng kuku yang
umumnya diamati. (Siregar, 2015)
b. Onikomikosis Superfisial Putih (OSPT)
7
proksimal yang bergerak distal dengan pertumbuhan kuku. Ini
adalah bentuk umum tinea unguium pada orang sehat tapi
ditemukan lebih banyak pada pasien immunocompromised.
(Siregar, 2015)
d. Onikomikosis candida (OK)
8
.5.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Penyebab pasti ditentukan dengan pemeriksaan kerokan kuku
dengan KOH 20% untuk mempermudah lisis keratin. Zat pewarna
tambahan misalnya tinta Parker blue-black atau perwarna PAS
akan mempermudah visualisasi jamur. Dapat pula dilakukan biakan
untuk menemukan elemen jamur dengan media agar sabouraud.
Microscopi Langsung
Pemeriksaan mikroskopik langsung pada sampel kuku untuk
konfirmasi diagnosis. Materi keratinaseous dari kerokan kuku
ditempatkan pada kaca slide, ditutupi dengan kaca penutup,
disuspensikan dengan larutan KOH lalu dipanaskan dengan hati-
hati, KOH membantu melarutkan jaringan epitel. Penambahan
dimethyl sulfoxide dan atau tinta Parker Quink pada larutan KOH
dapat memudahkan identifikasi elemen jamur. Identifikasi spesifik
untuk patogen biasanya sulit dengan mikroskopik, tetapi pada
banyak kasus, ragi dapat dibedakan dengan dermatofita dari
morfologinya.(Zhuol, et al, 2016)
9
Gambar 6: Trichophyton rubrum:koloni putih bertumpuk ditengah dan
berwarna merah marun pada tepinya, mikroskopik: beberapa mikrokonidia
berbentuk air mata, sedikit makrokonidia berbentuk pensil.
b. Pemeriksaan Histopatologi
Bila secara klinis kecurigaan onikomikosis besar, tetapi hasil
sediaan mikroskopik langsung maupun biakan jamur negative,
pemeriksaan histopatologis dapat membentu. Dapat dilakukan
biopsy kuku atau cukup nail clipping pada OSDL. Pemeriksaan ini
sekaligus membantu memastikan bahwa jamur terdpat dalam
lempeng kuku dan bukan merupakan komensal atau kontaminan di
luar lempeng kuku.(Unandar, 2018)
10
6. Patogenesis
Patogenesis onikomikosis diawali dengan masuknya fungi lewat
permukaan lempeng kuku, celah lipat kuku lateral, dan proksimal serta
hiponikium. Setelah terjadi perlekatan awal, selanjutnya jamur mengalami
pertumbuhan, germinisasi dan penetrasi pada jaringan kuku. (Perdoski,
2019)
Invasi jamur pada kuku masih sangat sedikit diteliti. Namun faktor-
faktor yang terkait dengan infeksi kuit sudah banyak diteliti. Faktor
mekanik dan kimia berperan dalam keseluruhan proses. Proses adhesi
diikuti invasi ke dalam lapisan bawah sangat penting. Lokasi dan pola
invasi membuat gambaran klinis onikomikosis yang berbeda. Proses pada
kuku terjadi oleh penetrasi elemen jamur dan sekresi enzim yang
mendegradasi komponen kulit. Jamur dermatofitik memiliki aktivitas
keratolitik, proteolitik, dan lipolitik. Hidrolisis keratin oleh proteinase
tidak hanya memfasilitasi invasi ke jaringan tetapi juga menyediakan
nutrisi untuk jamur. (Zhuol, et al, 2016)
Secara struktur, bagian-bagian kuku terpapar dengan lingkungan
dan mudah mengalami kerusakan dan invasi berbagai organisme, terutama
melalui lipatan kuku proksimal dan distal. Namun terdapat kutikula dan
distal solehorn sebagai proteksi. Imunologis daerah kuku sedikit berbeda
dengan kulit. Struktur kuku terisolasi dari cell-mediated immunity (CMI)
akibat rendahnya ekspresi MHC (Majorhistocompatibility) Class 1a
antigens, produksi lokal agen imunosupresif potent, disfungsi antigen
presenting cells (APC) dan inhibisi aktivitas Natural Killer (NK).
3.Selain itu dermatofita adalah organisme keratinofilik yang kuat
karena mampu membentuk perforasi pada organ dengan mendigesti
keratin dengan cepat. Kuku juga memiliki imunitas alamiah yang kuat.
(Jungtae,2019)
4.Penelitian oleh Dorschner menunjukkan peningkatan lokal
peptide antimikroba (human cathelicidin LL-37). Cathelicidin LL-37 tidak
diekspresikan pada keadaan kulit normal, namun akan meningkat jika
11
terpapar infeksi atau inflamasi. Namun peptide tersebut terekspresikan
secara kuat pada struktur kuku dan memliki potensi melawan
Pseudomonas aeruginosa dan Candida albicans.(Zhuol, et al, 2016)
5.Distibusi sel imun juga terlihat berbeda pada beberapa bagian
kuku. Pada lipatan proksimal kuku (PNF) sel T CD4+ tinggi dan pada
matriks kuku proksimal (PNM) densitas sangat rendah.Sel T CD8+ jarang
di sekitar PNF, dasar kuku, dan PNM. Densitas sel Langerhans lebih tinggi
pada epitelium PNF dan dasar kuku daripada matriks kuku.Sel Langerhans
dan makrofag pada matriks kuku secara fungsional terganggu dengan
kemampuannya mempresentasikan antigen.(Zhuol, et al, 2016)
6.Akibat kurangnya efektivitas CMI, bagian kuku menjadi rentan
terhadap invasi jamur, jika terpapar faktor-faktor predisposisi.
Onikomikosis biasanya merupakan infeksi kronis yang tidak berhubungan
dengan inflamasi. Lempeng kuku adalah tempat yang baik bagi jamur
untuk bertahan dalam waktu lama. Faktor prediposisi antara lain penyakit
vaskular, atopi, obesitas, diabetes, olahraga, dan sebagainya.(Zhuol, et al,
2016)
7.Dermatofita sering kali mempengaruhi lapisan vental dan tengah
lempeng kuku, dimana keratin cukup halus. Pada permukaan ventral,
topografi ireguler dan taut antar sel lebih fleksibel daripada taut bagian
dorsal sehingga menjadi kanal hifa untuk berpenetrasi ke dalam lempeng
kuku. Lapisan intermediat lebih jarang terkena, sedangkan lempeng kuku
dorsal terkena pada white superficial onychomycosis. Lempeng kuku
dorsal adalah bagian terkeras dan berisi kalsium yang tinggi. Patogenisitas
jamur berbeda antara spesies. Trichophyton mentagrophytes merusak kuku
lebih parah daripada Trichophyton rubrum akibat proses mekanik dan
enzimatik.(Zhuol, et al, 2016)
8.Pada DLSO jamur menyebar dari kulit plantar dan menginvasi
dasar kuku melalui hiponikia. Inflamasi yang terjadi pada daerah ini
menyebabkan gambaran klinis khas DLSO. Pada WSO jamur secara
langsung menginvasi permukaan lempeng kuku. Pada proksimal
12
subungual onikomikosis jamur melakukan penetrasi matriks kuku melalui
lipatan proksimal kuku dan berkolonisasi di bagian yang dalam dari
lempeng proksimal kuku. Pada endonyx onikomikosis jamur menginvasi
kuku melalui kulit dan secara langsung menginvasi lempeng kuku.
(Zhuol,et al,2016)
7. Patofisiologi
13
8. Diagnosis Banding
dan papul liken planus dapat mengenai lempeng kulit. (Djuanda, 2018)
b. Psoriasis kuku
9. Penatalaksanaan
14
dikembangkan kareta terapi dengan farmakologi dianggap
NdYAG 1066 nm, yang penetrasi sampai ke plat kuku, dermis dan
.9.2 Farmakologi
a. Terapi Topikal
Obat topikal berbentuk krim dan solusio sulit untuk
penetrasi ke dalam kuku, sehingga tidak efektif untuk pengobatan
onikomikosis. Obat topikal formulasi khusus dapat meningkatkan
penetrasi obat ke dalam kuku, yaitu :
Bifonazol-urea : kombinasi derivat azol, yaitu bifonazol 1 %
dengan urea 40 % dalam bentuk salep. Urea untuk
melisiskan kuku yang rusak sehingga penetrasi obat jamur
meningkat. Namun dapat terjadi iritasi kulit di sekitar kuku
oleh karena urea.
Amorolfine : merupakan derivat morfolin yang bersifat
fungisidal. Digunakan dalam bentuk cat kuku konsentrasi 5
%.
Ciclopiroxolamin 8 %: suatu derivat piridon dengan
spectrum anti jamur luas, juga digunakan dalam bentuk cat
kuku.
Diperlukan ketekunan pasien karena umumnya masa pengobatan
panjang. Meskipun penggunaan obat topikal mempunyai
keterbatasan, namun masih mempunyai tempat untuk pengobatan
onikomikosis karena tidak adanya risiko sistemik, relatif lebih
15
murah, dan dapat sebagai kombinasi dengan obat oral untuk
memperpendek masa pengobatan, selain itu bentuk cat kuku mudah
digunakan. (Ghannoum, 2018)
b. Terapi Sistemik
Obat sistemik yang dapat digunakan untuk pengobatan
onikomikosis adalah flukonazol, itrakonazol, dan terbinafin. 5
Griseofulvin tidak lagi merupakan obat pilihan untuk tinea
unguium karena memerlukan waktu lama, sehingga kemungkinan
terjadi efek samping lebih besar, serta kurang efektif. 1,5 Derivat
azol bersifat fungistatik tetapi mempunyai spektrum antijamur
yang luas, sedangkan terbinafin bersifat fungisidal tetapi efektivitas
terutama pada dermatofita.
Itrakonazol 200 mg/hari selama 3-4 bulan, atau 400 mg per
hari selama seminggu tiap bulan selama 3-4 bulan, baik
untuk penyebab dermatofita maupun kandida.
Griseofulvin: obat ini bersifat fungistatik yang efektif untuk
jamur. Dosis yang digunakan adalah 0,5-1 g untuk dewasa
dan 0,23-0,5 untuk anak-anak dalam sehari atau 10-25
mg/kgbB
Ketokonazol: Obat ini bersifat fungistatik dan juga
digunakan jika resisten terhadap pemberian griseofulvin
dengan dosis 200 mg/hari selama 10-14 hari pada pagi hari
setelah makan.
Dapat pula diberikan flukonazol, flukonazol masih jarang
digunakan, penggunaan dosis kontinyu 100 mg per hari atau
dosis mingguan 150 mg, dengan hasil bervariasi. Sumber
lain mengatakan dosis 150-300 mg/hari.
16
Terbinafin: obat ini bersifat fungisidal dan dapat diberikan
sebagai pengganti dari griseofulvin dengan dosis 62,5-250
mg sehari tergantung berat badan selama 2-3 minggu.
(Ghannoum, 2014)
d. Komplikasi
Onikomikosis yang sudah parah dapat menyebabkan kerusakan permanen
pada kuku. Kerusakan itu dapat menyebabkan infeksi serius yang bias
menyebar ke kulit kaki atau tangan, terutama jika penderitanya memiliki
daya tahan tubuh yang melemah, misalnya akibat penggunaan obat-obatan
imunosupresan dan diabetes. (Ghannoum, 2014)
e. Prognosis
adanya penyakit yang lain. Pada beberapa kasus, karakteristik kuku tertentu,
yaitu pertumbuhan lambat serta sangat tebal juga merupakan penyulit, selain
17
faktor predisposisi terutama keadaan immunocompromised. (Piraccini,
2018).
f. Profesionalisme
Membantu mengontrol kesembuhan pasien dengan pemberian dosis,
dan penjelasan tata cara pengobatan dengan benar
Kontrol ulang, bila ada keluhan tambahan, dan bisa di rujuk ke dokter
spesialis kulit dan kelamin untuk dilakukan terapi lebih lanjut
18
BAB III
KESIMPULAN
1. Definisi : Onikomikosis adalah infeksi jamur pada lempeng kuku, yang dapat
disebabkan oleh dermatofita, candida dan jamur lain.
2. Penegakan Diagnosis : penegakkan diagnosa biasanya ditentukan melaui
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis
Onikomikosis biasanya asimtomatik, karena itu pasien biasanya pertama kali
hadir untuk alasan kecantikan fisik tanpa keluhan. Ketika penyakit
berkembang onikomikosis dapat mengganggu aktivitas berdiri, berjalan dan
berolahraga.. Pada pemeriksaan fisik Kuku yang terinfeksi memiliki bentuk
yang tidak normal tetapi tidak gatal atau terasa sakit. Infeksi ringan hanya
memberikan sedikit gejala atau bahkan tidak menimbulkan gejala. Pada
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium ditemukan
Trichophyton mentagrophytea: putih hingga krem, permukaan seperti
tumpukan kapas. Gambaran mikroskopik mikrokonidia yang bergerombol,
bentuk cerutu yang jarang, terkadang hifa spiral. Pada pemeriksaan
histopatologi Dapat dilakukan biopsy kuku atau cukup nail clipping pada
OSDL. Pemeriksaan ini sekaligus membantu memastikan bahwa jamur
terdpat dalam lempeng kuku.
3 Penatalaksanaan: Non Farmakologi berupa Debridemen, farmakologi
berupa terapi topical : Bifonazol-urea dan terapi sistemik : Itrakonazol
4 Edukasi: Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentaang kondisi
penyakit pasien dan pengobatan yang harus dijalani. Menghindari
penggunaan kaos kaki dan sepatu tertutup terus-menerus.
3. Komplikasi : Onikomikosis yang sudah parah dapat menyebabkan kerusakan
permanen pada kuku. Kerusakan itu dapat menyebabkan infeksi serius yang
bias menyebar ke kulit kaki atau tangan, terutama jika penderitanya memiliki
daya tahan tubuh yang melemah, misalnya akibat penggunaan obat-obatan
imunosupresan dan diabetes.
19
4. Prognosis : Meskipun diterapi dengan obat dosis optimal, 1 di antara 5 kasus
onikomikosis ternyata tidak memberi respon baik
5. Profesionalisme : Membantu mengontrol kesembuhan pasien dengan
pemberian dosis, dan penjelasan tata cara pengobatan dengan benar. Kontrol
ulang, bila ada keluhan tambahan, dan bisa di rujuk ke dokter spesialis kulit
dan kelamin untuk dilakukan terapi lebih lanjut.
20
DAFTAR PUSTAKA
21