Anda di halaman 1dari 8

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapatkan hasil pemeriksaan

sebagai berikut:

Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Jamur Pada Kuku


(Sumber : Data Primer Laboratorium STIKES Bina Mandiri Gorontalo,
2019)

No Makroskopis Mikroskopis Hasil

1.
Jamur Trychopyton sp

Koloni jamur berbentuk


seperti kapas berwarna
putih. Secara
mikroskopik didapatkan
spora.

2. Jamur Aspergillus Niger


Koloni berwarna putih
menjadi biru kehijauan,
hitam, atau coklat pada
biakan yang sudah
dewasa. Secara
mikroskopik didapatkan
spora dan hifa yang
tidak bersepta
3. Jamur candida sp

koloni jamur berwarna


putih susu kekuningan.
morfologi jamur secara
mikroskopik sempurna
dengan spora dan hifa
yang tidak bersepta

4.2 Pembahasan

Jamur kuku adalah infeksi jamur pada satu atau lebih kuku. Infeksi

jamur kuku dimulai sebagai bercak putih atau kuning di bawah ujung

kuku tangan atau kuku kaki. Ketika jamur kuku menyebar lebih

jauh/dalam ke kuku anda, hal ini dapat menyebabkan kuku menghitam,

menebal, dan ujung yang pecah-pecah (gangguan yang tidak enak

dipandang dan berpotensi menimbulkan rasa sakit).

Penyebab gangguan pada kuku ini adalah jamur dermatofit. Selain itu,

jamur ragi (candida) kadang-kadang ikut bertanggung jawab atas terjadinya

onikomikosis. Saat kondisi kuku hangat dan lembap, jamur dengan senang

hati akan menjadikan kuku Anda sebagai habitatnya. Jamur kuku sering

menyerang kuku jari kaki dibandingkan jari tangan. Hal ini karena jari kaki

biasa berada dalam kondisi yang membuat jamur mudah tumbuh, seperti

gelap, hangat, dan lembap. Selain itu, jari kaki memiliki aliran darah yang

lebih sedikit dibandingkan dengan jari tangan. Dengan demikian, sistem

kekebalan tubuh tidak bisa mendeteksi adanya masalah dan tidak bisa

menghentikan infeksi yang terjadi di daerah tersebut dengan cepat.


Kuku yang terinfeksi juga dapat terpisah dari alas kuku, suatu kondisi

yang disebut onycholysis. Mungkin juga akan merasa nyeri pada jari-jari atau

ujung jari dan bau yang membusuk dapat terdeteksi. Kuku kaki seringkali

berada pada lingkungan gelap, hangat, lembab di dalam sepatu,

merupakan tempat yang cocok untuk perkembangan jamur.

Mikrofungi yang hidup pada keratin akan melepaskan toksin yang bisa

menimbulkan peradangan dan iritasi berwarna merah dan gatal. Infeksinya

bisa berupa bercak-bercak warna putih, merah, atau hitam di kulit dengan

bentuk simetris. Tinea pedis banyak terlihat pada orang yang dalam

kehidupan sehari-hari banyak bersepatu tertutup disertai perawatan kaki yang

buruk dan para pekerja dengan kaki yang sering basah seperti tukang cuci,

petani dan tentara. Selain karena penggunaan sepatu tertutup dalam waktu

lama, bertambahnya kelembaban keringat, pecahnya kulit karena mekanis dan

paparan jamur merupakan factor resiko yang menyebabkan terjadinya Tinea

pedis.

Pemeriksaan metode tidak langsung menggunakan media PDA (Potato

Dexrose Agar). Media PDA mengandung sumber karbohidrat dalam jumlah

cukup yaitu terdiri dari 20% ekstrak kentang dan 2% glukosa. PDA

merupakan media yang cocok digunakan untuk pertumbuhan ragi dan jamur.

Media ini mengandung kentang yang dapat mempercepat proses sporulasi dan

pigmentasi bagi jamur. Disamping itu juga mengandung antibiotik yang dapat

menghambat pertumbuhan bakteri, sehingga diharapkan tidak terjadi

kontaminasi oleh bakteri dan hanya jamur serta ragi saja yang dapat tumbuh

di dalamnya. Isolasi atau penanaman jamur dilakukan dengan menggunakan


metode spread plate. Teknik spread plate (cawan sebar) adalah suatu teknik

di dalam menumbuhkan mikroorganisme di dalam media agar dengan cara

menuangkan stok kultur mikroorganisme atau menghapuskannya di atas

media agar yang telah memadat.

Pada praktikum kali ini dilakukan pemeriksaan jamur pada kuku dengan

menggunakan metode isolasi. Dimana pada pemeriksaan menggunakan

metode isolasi ini dilakukan pemeriksaan secara makroskopis dan

mikroskopis. Setelah melakukan pemeriksaan tersebut didapatkan tiga bentuk

koloni jamur, diantaranya koloni jamur berbentuk kapas, koloni jamur

berwarna putih kekuningan, dan koloni jamur berwarna hijau.

Untuk jamur yang pertama didapatkan yakni jamur Trichophyton sp.

Trichophyton sp merupakan jamur yang termasuk dalam golongan

Deuteromycetes atau jamur tidak sempurna (fungi imperfecti), karena selama

hidupnya hanya memiliki fase vegetatif (fase aseksual) saja, yaitu melalui

pembentukan konidia. Fase generatifnya (fase seksual) tidak ditemukan.

Secara mikroskopis, Trichophyton sp memiliki hifa dengan beberapa

percabangan, umumnya cabang-cabang yang dimiliki pendek dan merupakan

hasil dari pertunasan hifa. Hifa atau miselium tersebut umumnya tidak

bersekat, kecuali pada hifa yang akan membentuk atau menghasilkan konidia.

Konidia yang dimiliki Trichophyton sp dapat berbentuk makrokonidia maupun

mikrokonidia. Makrokonidia yang dimiliki berbentuk pensil dan terdiri dari

beberapa sel, sedangkan mikrokonidia berbentuk lonjong dan berdinding tipis.

Jamur Trichophyton sp pada media pertumbuhan memperlihatkan hifa atau


miselium yang halus berwarna putih dan tampak seperti kapas meskipun

kadang dapat juga berwarna lain tergantung dari pigmen yang dimilikinya.

Jamur Trichophyton sp dapat menimbulkan infeksi pada kulit, rambut, dan

kuku. Infeksi Trichophyton sp menginvasi sel keratin, menerobos ke dalam

epidermis dan selanjutnya akan menimbulkan reaksi peradangan atau

inflamasi. Reaksi peradangan tersebut timbul akibat Trichophyton sp. serta

bahan yang dihasilkan berada di daerah kutan, yaitu lapisan kulit yang

meliputi stratum korneum hingga stratum basale. Patogenitas Trichophyton sp

sangat dipengaruhi oleh sistem kekebalan tubuh seseorang. Apabila sistem

kekebalan tubuh seseorang lemah maka Trichophyton sp akan mudah

menginfeksi orang tersebut, dan sebaliknya apabila sistem kekebalan tubuh

seseorang baik maka akan sulit terinfeksi karena ketika Trichophyton sp.

masuk ke dalam tubuh akan dikendalikan oleh sistem imun (Kuswadji, 2010).

Untuk jamur yang kedua yang didapatkan yakni jamur Aspergillus niger.

Jamur jenis Aspergillus mudah tumbuh pada medium bakteri dan jamur,

membentuk koloni yang dapat dilihat dalam 3 hari inkubasi. Aspergillus dapat

hidup sebagai saprofit dan parasit pada substrat makanan, pakaian, manusia,

dan burung. Aspergillus biasanya tumbuh berkoloni pada makanan, pakaian,

dan alat-alat rumah tangga. Koloni Aspergillus biasanya tampak berwarna

abu-abu, hitam, cokelat, dan kehijauan. Jamur ini dapat tumbuh di daerah

beriklim dingin maupun tropis. Aspergillus melakukan reproduksi secara

seksual dan aseksual. Reproduksi secara aseksual terjadi dengan pembentukan

kuncup atau tunas pada jamur uniseluler serta pemutusan benang hifa

(fragmentasi miselium) dan pembentukan spora aseksual (spora vegetatif)


pada fungi multiseluler. Reproduksi jamur secara seksual dilakukan oleh spora

seksual.

Bagian tubuh dari Aspergillus niger yang tampak ketika diamati dengan

menggunakan mikroskop adalah bagian spora, sporangium dan sporangiofor. Rizoid

dari Aspergillus niger tidak tampak disebabkan ketika pengambilan Aspergillus

niger dari medium kurang ke bawah, sehingga yang terambil hanyalah bagian

sporangiofor dan sporangiumnya saja. Spora pada Aspergillus niger berfungsi sebagai

reproduksi seksualnya sedangkan sporangium berfungsi sebagai tempat spora berada.

Aspergillus niger mempunyai hifa bersepta, koloninya berwarna putih pada PDA

25oC dan berubah menjadi hitam ketika konidia dibentuk. Kepala konidia

dari Aspergillus niger berwarna hitam, bulat, cenderung memisah menjadi bagian-

bagian yang lebih longgar seiring dengan bertambahnya umur. Selain itu, Aspergillus

niger memiliki warna dasar berwarna putih atau kuning dengan lapisan konidiospora

tebal berwarna coklat gelap sampai hitam. Secara makroskopis, permukaan terlihat

berwarna kehitaman, ketika diposisi terbalik (berlawanan) terlihat berwarna putih

kekuningan. (Budiman, 2008).

Aspergillosis disebabkan oleh perpaduan antara sistem kekebalan tubuh yang

lemah dan paparan jamur Aspergillus. Jamur ini dapat ditemukan di tumpukan

kompos, tumpukan gandum, dan sayuran yang membusuk. Selain pada individu

dengan sistem kekebalan tubuh lemah (misalnya kondisi sel darah putih rendah atau

sedang mengonsumsi obat kortikosteroid), risiko aspergillosis lebih tinggi pada

penderita asma atau cystic fibrosis.

Untuk jamur yang ketiga didapatkan yaitu Candida sp Candida

albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk tumbuh

dalam 2 bentuk yang berbeda yaitu sebagai sel tunas yang akan berkembang
menjadi blastospora dan menghasilkan kecambah yang akan membentuk hifa

semu. Candida albicans dapat tumbuh pada variasi pH yang luas, tetapi

pertumbuhannya akan lebih baik pada pH antara 4,5 – 6,5. Jamur Candida

albicans dapat tumbuh dalam perbenihan pada suhu 280oC – 370oC. Candida

albicans memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang akan terus

memanjang membentuk hifa semu. Hifa semu terbentuk dengan banyak

kelompok blastospora berbentuk bulat atau lonjong di sekitar septum

(Budiman, 2008).

Candida albicans secara mikroskopis berbentuk oval dengan ukuran 2 – 5

× 3 – 6 µm. Biasanya dijumpai Clamidospora yang tidak ditemukan pada

spesies Candida yang lain dan merupakan pembeda pada spesies tersebut

hanya Candida albicans yang mampu menghasilkan Clamydospora yaitu

spora yang dibentuk karena hifa, pada tempat-tempat tertentu

membesar,membulat, dan dinding menebal, letaknya di terminal lateral.

(Jawetz, 2012).

Spesies Candida albicans memiliki 2 jenis morfologi, yaitu bentuk seperti

khamir dan bentuk hifa.Selain itu, fenotipe atau penampakan mikroorganisme

ini juga dapat berubah dari warna putih dan rata menjadi kerut tidak beraturan,

berbentuk bintang, lingkaran, bentuk seperti topi dan tidak tembus

cahaya.Jamur ini memiliki kemampuan untuk menempel pada sel inang dan

melakukan kolonisasi.

Bentuk hifa Candida albicans dihubungkan dengan perlekatannya pada sel

epitel rongga mulut. Germ tube Candida albicans akan meningkatkan

perlekatan ke sel mukosa, hal ini merupakan mekanisme virulensi


spesies Candida. Beberapa faktor yang mengatur perubahan bentuk

blastospora Candida albicans ke bentuk hifa diantaranya temperatur 37-40◦ C,

pH media pertumbuhan 6,5-7, dan media pertumbuhan (Ramli, 2011).

Jawetz, Melnick, & Adelberg / Geo F. Brooks.(2012). “Mikrobiologi

Kedokteran” EGC. Jakarta.

Ramali L.M dan Werdani S. (2011).“Kandidiasis Kutan dan

Mukokutan”. Dalam:Dermatomikosis Superficialis. Perhimpunan Dokter Spesialis

Kulit dan Kelamin Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. pp: 55-65

Budiman, C, (2008). “Metodologi Penelitian Kesehatan”. Penerbit Buku Kedokteran

EGC. Jakarta.

Kuswadji. (2010). ”Kandidiosis di dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin”. Jakarta:

Fakultas Kedokteran UI. pp: 103-106.

Anda mungkin juga menyukai