Anda di halaman 1dari 34

Makalah

FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI I

“DIURETIK”

OLEH :
KELOMPOK 3
1. AGNESIA SOTOMANI (821417101)
2. AINI ISTIQAMAH HELINGO (821417117)
3. ISNAINI ARDILLAH (821417155)
4. JUMRIANI RANNU (821417079)
5. OLIN ADNAN (821417018)
6. RAHMAWATI ISMAIL (821417038)
7. SITI RAHMAWATI MAHABU (821417140)

KELAS : D – S1 FARMASI 2017

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
JURUSAN FARMASI
2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang yang yang
telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Farmakologi Toksikologi I yang berjudul “Diuretik”.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya rintangan dan hambatan selalu
menghampiri namun atas bantuan, dorongan, dan bimbingan dari dosen pembimbing,
dan media yang menjadi sumber infomasi kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.
Dalam makalah ini dirasakan masih banyak kekurangan, baik dalam
sisitematika penyusunan, maupun penggunaan kata-kata. Kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun cerminan kami dalam penyusunan makalah, akhirnya
hanya kepada Allah SWT kami serahkan segala-galanya. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi para pembaca.
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

Gorontalo, April 2021

Kelompok III
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Tujuan................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3
2.1 Diuretik............................................................................................... 3
2.2 Mekanisme Kerja Diuretik ................................................................. 3
2.3 Golongan Diuretik .............................................................................. 4
2.4 Pengobatan dengan Diuretik .............................................................. 14
2.5 Interaksi Diuretik dengan Obat Lain .................................................. 16
2.6 Masalah Yang Timbul Pada Pemberian Diuretik ............................... 25
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 30
3.1 Kesimpulan......................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diuretik ialah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah
diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan
volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan menunjukkan adanya
penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah
pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dan air. Jika pada peningkatan ekskresi air,
terjadi juga peningkatan ekskresi garam-garam, maka diuretika ini dinamakan
saluretika atau natriuretika (diuretika dalam arti sempit). Walaupun kerjanya pada
ginjal, diuretika bukan obat ginjal, artinya senyawa ini tidak dapat memperbaiki atau
menyembuhkan penyakit ginjal, demikian juga pada pasien insufisiensi ginjal jika
diperlukan dialisis, tidak akan dapat ditangguhkan dengan penggunaan senyawa ini.
Beberapa diuretika pada awal pengobatan justru memperkecil ekskresi zat-zat
penting urin dengan mengurangi laju filtrasi glomerulus sehingga akan memperburuk
insufisiensi ginjal. Fungsi utama diuretic adalah untuk memobilisasi cairan edema,
yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan
ekstrasel kembali menjadi normal.
Fungsi utama ginjal adalah memelihara kemurnian darah dengan jalan
mengeluarkan dari dalam darah semua zat asing dan sisa pertukaran zat. Untuk ini
darah mengalami filtrasi, dimana semua komponennya melintasi saringan ginjal
kecuali zat putih telur dan sel-sel darah. Setiap ginjal mengandung lebih kurang 1 juta
filter kecil ini (glomeruli) dan setiap 50 menit seluruh darah tubuh (kurang lebih 5
liter) sudah dimurnikan dengan melewati saringan tersebut. Fungsi penting lainnya
adalah meregulasi kadar garam dan cairan tubuh.
Ginjal merupakan organ terpenting pada pengaturan homeostasis, yakni
keseimbangan dinamis antara cairan intrasel dan ekstrasel, serta pemeliharaan volume
total dan susunan cairan ekstra sel. Hal ini terutama tergantung dari jumlah ion Na+
yang untuk sebagian besar terdapat di luar sel, di cairan antar sel dan di plasma darah.
Proses diuresis dimulai dengan mengalirnya darah ke dalam glomeruli
(gumpalan kapiler), yang terletak di bagian luar ginjal (cortex). Dinding glomeruli
inilah yang bekerja sebagai saringan halus yang secara pasif dapat dilintasi air, garam
dan glukosa. Ultra fitrat yang diperoleh dari filtrasi dan mengandung banyak air serta
elektrolit ditampung di wadah, yang mengelilingi setiap glomerulus seperti corong
(kapsul bowman) dan kemudian disalurkan ke pipa kecil. Tubuli initerdiri dari bagian
proksimal dan distal, yang letaknya masing-masing dekat dan jauh dari glomerulus
kedua bagian ini dihubungkan oleh sebuah lengkungan (HEnle’sloop). Disini terjadi
penarikan kembali secara aktif dari air dan komponen yang sangat penting bagi tubuh
seperti glukosa dan garam-garam, antara lain ion Na+ zat-zat ini dikembalikan pada
darah melalui kapiler yang mengelilingi tubuli. Sisanya yang tak berguna seperti
sampah perombakan metabolisme protein (ureum) untuk sebagian besar tidak diserap
kembali. Akhirnya filtrat dari semua tubuli ditampung disuatu saluran pengumpul
(ductuscolligens), di mana terutama berlangsung penyerapan air kembali. Filtrat akhir
disalurkan ke kandung kemih dan ditimbun disini sebaagai urin.
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui penjelasan mengenai obat diuretik dan hubungan antara
struktur dan aktifitas obat diuretik dalam tubuh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diuretik
Diuretik adalah obat yang meningkatkan laju aliran urin dan umumnya disertai
dengan peningkatan laju ekskresi NaCl. Diuretik merupakan terapi yang berperan
penting pada pengobatan seperti hipertensi, gagal jantung kongestif, udem, dan
sirosis (Goodman and Gilman, 2008).
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin.
Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya
penambahan volume urinyang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah
pengeluaran zat-zat terlarut dalam air. Fungsi utama diuretik adalah untuk
memobilisasi cairan udem yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian
rupa sehingga volume cairan ekstrasel menjadi normal (Snigdha et al., 2013).
Diuretik adalah zat-zat yang dapat menyebabkan bertambahnya pengeluaran
urine melalui mekanisme kerja langsung terhadap ginjal. Diuresis memiliki dua
pengertian yaitu menunjukkan adanya penambahan volume urine serta menunjukkan
jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dan air. Secara umum diuretik dibagi
menjadi dua golongan besar, yaitu penghambat mekanisme transport elektrolit
(benzotiazid, diuretik kuat, diuretik hemat kalium, dan penghambat karbonik
anhidrase) dan diuretik osmotik (manitol, gliserin, dan isosorbid). Kebanyakan
diuretik bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium, sehingga pengeluarannya
lewat kemih (Tjay dan Rahardja, 2002., Nafrialdi, 2007).
2.2 Mekanisme Kerja Diuretik
Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium,sehingga
pengeluarannya lewat kemih diperbanyak. Obat-obat ini bekerja khusus terhadap
tubuli, tetapi juga ditempat lain, yaitu:
1. Tubuli proksimal
Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang disini direabsorpsi secara
aktif untuk lebih kurang 70%, antara lain ion Na+ dan air, begitu pula glukosa dan
ureum. Karena reabsorpsi berlangsung secara proporsional, maka susunan filtrat tidak
berubah dan tetapi sotonis terhadap plasma. Diuretik osmotis (manitol, sorbitol)
bekerja disini dengan menghambat reabsorpsi air dan juga natrium (Tjay dan
Rahardja, 2002).
2. Lengkungan Henle
Di bagian menaik Henles loop ini Ca+ 25% dari semua ion Cl yang telah
difiltras direabsorbsi secara aktif, disusul dengan reabsorpsi pasif dari Na+ dan K+,
tetapi tanpa air, hingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretik lengkungan, seperti
furosemide, bumetanida, dan etakrinat, bekerja terutama di lengkungan Henle dengan
merintangi transport Cl dan Na+. Pengeluaran K+ dan air juga diperbanyak (Tjay dan
Rahardja, 2002).
3. Tubuli distal
Di bagian pertama segmen tubuli distal direabsorpsi secara aktif pula tanpa air
hingga filtrat menjadi lebih cair dan lebih hipotonis. Senyawa thiazida dan klortalidon
bekerja di tempat ini dengan memperbanyak ekskresi Na+ dan Cl-sebesar 5-10%. Di
bagian kedua segmen tubuli distal, ion Na+ ditukarkan dengan ion K+ atau NH4+,
proses ini dikendalikan oleh proses anak ginjal aldosteron (Tjay dan Rahardja, 2002).
4. Saluran pengumpul
Hormon antidiuretik ADH (vasopresin) dari hipofise bertitik kerja disini dengan
mempengaruhi permeabilitas bagi air dan sel-sel saluran ini (Tjay dan Rahardja,
2002).
2.3 Golongan Diuretik
Menurut Aidan (2008), diuretik dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu:
a. Diuretik Kuat
Diuretik kuat (High-ceiling diuretics) mencakup sekelompok diuretik yang
efeknya sangat kuat dibandingkan dengan diuretic lain. Tempat kerja utamanya
dibagian epitel tebal ansa Henle bagian asenden, karena itu kelompok ini disebut juga
kelompok loop diuretics. Diuretik loop bekerja dengan mencegah reabsorpsi natrium,
klorida, dan kalium pada segmen tebal ujung asenden ansa Henle (nefron) melalui
inhibisi pembawa klorida. Obat ini termasuk asam etakrinat, furosemid dan
bumetanid, dan digunakan untuk pengobatan hipertensi, edema, serta oliguria yang
disebabkan oleh gagal ginjal. Pengobatan bersamaan dengan kalium diperlukan
selama menggunakan obat ini.
Mekanisme kerja :
Secara umum dapat dikatakan bahwa diuretik kuat mempunyai mula kerja dan
lama kerja yang lebih pendek dari tiazid. Diuretik kuat terutama bekerja pada Ansa
Henle bagian asenden pada bagian dengan epitel tebal dengan cara menghambat
kotranspor Na+/K+/Cl- dari membran lumen pada pars ascenden ansa henle, karena
itu reabsorpsi Na+/K+/Cl- menurun.
Farmakokinetik
Ketiga obat mudah diserap melalui saluran cerna, dengan derajat yang agak
berbeda-beda. Bioavaibilitas furosemid 65% sedangkan bumetanid hampir 100%.
Diuretic kuat terikat pada protein plasma secara ekstensif, sehingga tidak difiltrasi di
glomerulus tetapi cepat sekali disekresi melalui system transport asam organic di
tubuli proksimal. Kira-kira 2/3 dari asam etakrinat yang diberikan secara IV
diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi dengan senyawa
sulfhidril terutama sistein dan N-asetilsistein. Sebagian lagi diekskresi melalui hati,
sebagian besar furosemid diekskresi dengan cara yang sama, hanya sebagian kecil
dalam bentuk glukuronid. Kira-kira 50% bumetanid diekskresi dalam bentuk asal,
selebihnya sebagai metabolit.
Efek samping
Efek samping asam etakrinat dan furosemid dapat dibedakan atas :
1. Reaksi toksik berupa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang sering
terjadi
2. Efek samping yang tidak berhubungan dengan kerja utamanya jarang terjadi.
Gangguan saluran cerna lebih sering terjadi dengan asam etakrinat daripada
furosemid.
Tidak dianjurkan pada wanita hamil kecuali bila mutlak diperlukan.
Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian sementara maupun menetap.
Ketulian sementara dapat terjadi pada furosemid dan lebih jarang pada bumetanid.
Ketulian ini mungkin sekali disebabkan oleh perubahan komposisi eletrolit cairan
endolimfe. Ototoksisitas merupakan suatu efek samping unik kelompok obat ini. Pada
penggunaan kronis, diuretik kuat ini dapat menurunkan bersihan litium.
Indikasi
Furosemid lebih banyak digunakan daripada asam etakrinat, karena ganguan
saluran cerna yang lebih ringan. Diuretik kuat merupakan obat efektif untuk
pengobatan udem akibat gangguan jantung, hati atau ginjal.
Sediaan
Asam etakrinat. Tablet 25 dan 50 mg digunakan dengan dosis 50-200 mg
perhari. Sediaan IV berupa Na-etakrinat, dosisnya 50 mg, atau 0,5-1 mg/kgBB.
Furosemid. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 20, 40, 80 mg dan preparat
suntikan. Umunya pasien membutuhkan kurang dari 600 mg/hari. Dosis anak
2mg/kgBB, bila perlu dapat ditingkatkan menjadi 6 mg/kgBB.
Bumetanid. Tablet 0.5 mg dan 1 mg digunakan dengan dosis dewasa 0.5-2 mg
sehari. Dosis maksimal per hari 10 mg. Obat ini tersedia juga dalam bentuk bubuk
injeksi dengan dosis IV atau IM dosis awal antara 0,5-1 mg, dosis diulang 2-3 jam
maksimum 10mg/kg.
b. Diuretik Tiazid
Senyawa tiazid menunjukkan kurva dosis yang sejajar dan daya klouretik
maksimal yang sebanding. Merupakan Obat diuretik yang paling banyak digunakan.
Diuretik tiazid, seperti bendroflumetiazid, bekerja pada bagian awal tubulus distal
(nefron). Obat ini menurunkan reabsorpsi natrium dan klorida, yang meningkatkan
ekskresi air, natrium, dan klorida. Selain itu, kalium hilang dan kalsium ditahan. Obat
ini digunakan dalam pengobatan hipertensi, gagal jantung ringan, edema, dan pada
diabetes insipidus nefrogenik. Obat-obat diuretik yang termsuk golongan ini adalah ;
klorotiazid, hidroklorotiazid, hidroflumetiazid, bendroflumetiazid, politiazid,
benztiazid, siklotiazid, metiklotiazid, klortalidon, kuinetazon, dan indapamid.
Farmakodinamika
Efek farmakodinamika tiazid yang utama ialah meningkatkan ekskresi natrium,
klorida dan sejumlah air. Efek natriuresis dan kloruresis ini disebabkan oleh
penghambatan reabsorbsi elektrolit pada hulu tubuli distal. Pada penderita hipertensi,
tiazid menurunkan tekanan darah bukan saja karena efek diuretiknya, tetapi juga
karena efek langsung terhadap arteriol sehingga terjadi vasodilatasi.
Mekanisme kerja :
Bekerja pada tubulus distal untuk menurunkan reabsorpsi Na+ dengan
menghambat kotransporter Na+/Cl- pada membran lumen.
Farmakokinetik :
Absorbsi tiazid melalui saluran cerna baik sekali. Umumnya efek obat tampak
setelah 1 jam. Didistribusikan ke seluruh ruang ekstrasel dan dapat melewati sawar
uri. Dengan proses aktif, tiazid diekskresi oleh sel tubuli proksimal kedalam cairan
tubuli. Biasanya dalam 3-6 jam sudah diekskresi dari badan.
Efek samping
1. Reaksi alergi berupa kelainan kulit, purpura, dermatitis disertai fotosensitivitas
dan kelainan darah.
2. Pada penggunaan lama dapat timbul hiperglikemia, terutama pada penderita
diabetes yang laten. Ada 3 faktor yang menyebabkan antara lain : berkurangnya
sekresi insulin terhadap peninggian kadar glukosa plasma, meningkatnya
glikogenolisis dan berkurangnya glikogenesis.
3. Menyebabkan peningkatan kadar kolesterol dan trigliserid plasma dengan
mekanisme yang tidak diketahui.
4. Gejala infusiensi ginjal dapat diperberat oleh tiazid, mungkin karena tiazid
langsung megurangi aliran darah ginjal.
Indikasi
1. Tiazid merupakan diuretik terpilih untuk pengobatan udem akibat payah
jantung ringan sampai sedang. Ada baiknya bila dikombinasi dengan diuretik
hemat kalium pada penderita yang juga mendapat pengobatan digitalis untuk
mencegah timbulnya hipokalemia yang memudahkan terjadinya intoksikasi
digitalis.
2. Merupakan salah satu obat penting pada pengobatan hipertensi, baik sebagai
obat tunggal atau dalam kombinasi dengan obat hipertensi lain.
3. Pengobatan diabetes insipidus terutama yang bersifat nefrogen dan
hiperkalsiuria pada penderita dengan batu kalsium pada saluran kemih.

c. Diuretik Hemat Kalium


Diuretik yang mempertahankan kalium menyebabkan diuresis tanpa kehilangan
kalium dalam urine. Yang termasuk dalam klompok ini antara lain aldosteron,
traimteren dan amilorid.
Antagonis Aldosteron
Aldosteron adalah mineralokortikoid endogen yang paling kuat. Peranan utama
aldosteron ialah memperbesar reabsorbsi natrium dan klorida di tubuli serta
memperbesar ekskresi kalium. Yang merupakan antagonis aldosteron adalah
spironolakton dan bersaing dengan reseptor tubularnya yang terletak dinefron
sehingga mengakibatkan retensi kalium dan peningkatan ekskresi air serta natrium.
Obat ini juga meningkatkan kerja tiazid dan diuretik loop. Diuretik yang
mempertahankan kalium lainnya termasuk amilorida, yang bekerja pada duktus
pengumpul untuk menurunkan reabsorpsi natrium dan ekskresi kalium dengan
memblok saluran natrium, tempat aldosteron bekerja. Diuretik ini digunakan
bersamaan dengan diuretik yang menyebabkan kehilangan kalium serta untuk
pengobatan edema pada sirosis hepatis. Efek diuretiknya tidak sekuat golongan
diuretik kuat.
Mekanisme kerja
Penghambatan kompetitif terhadap aldosteron. Bekerja di tubulus renalisrektus
untuk menghambat reabsorpsi Na+, sekresi K+ dan sekresi H+
Farmakokinetik
70% spironolakton oral diserap di saluran cerna, mengalami sirkulasi
enterohepatik dan metabolisme lintas pertama. Metabolit utamanya kankrenon.
Kankrenon mengalami interkonversi enzimatik menjadi kakreonatyang tidak aktif.
Efek samping
Efek toksik yang paling utama dari spironolakton adalah hiperkalemia yang
sering terjadi bila obat ini diberikan bersama-sama dengan asupan kalium yang
berlebihan. Tetapi efek toksik ini dapat pula terjadi bila dosis yang biasa diberikan
bersama dengan tiazid pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal yang berat. Efek
samping yang lebih ringan dan reversible diantranya ginekomastia, dan gejala saluran
cerna.
Indikasi
Antagonis aldosteron digunakan secara luas untuk pengobatan hipertensi
danudem yang refrakter. Biasanya obat ini dipakai bersama diuretik lain dengan
maksud mengurangi ekskresi kalium, disamping memperbesar diuresis.
Sediaan dan dosis
Spironolakton terdapat dalam bentuk tablet 25, 50 dan 100 mg. Dosis dewasa
berkisar antara 25-200 mg, tetapi dosis efektif sehari rata-rata 100 mg dalam dosis
tunggal atau terbagi. Terdapat pula sediaan kombinasi tetap antara spironolakton 25
mg dan hidraoklortiazid 25mg, serta antara spironolakton 25mg dan tiabutazid 2,5
mg.
Triamteren dan Amilorid
Kedua obat ini terutama memperbesar ekskresi natrium dan klorida, sedangkan
eksresi kalium berkurang dan ekskresi bikarbonat tidak mengalami perubahan.
Triamteren menurunkan ekskresi K+ dengan menghambat sekresi kalium di sel tubuli
distal. Dibandingkan dengan triamteren, amilorid jauh lebih mudah larut dalam air
sehingga lebih mudah larut dalam air sehingga lebih banyak diteliti. Absorpsi
triamteren melalui saluran cerna baik sekali, obat ini hanya diberikan oral. Efek
diuresisnya biasanya mulai tampak setelah 1 jam. Amilorid dan triameteren per oral
diserap kira-kira 50% dan efek diuresisnya terlihat dalam 6 jam dan berkahir sesudah
24 jam.
Efek samping
Efek toksik yang paling berbahaya dari kedua obat ini adalah hiperkalemia.
Triamteren juga dapat menimbulkan efek samping yang berupa mual, muntah, kejang
kaki, dan pusing. Efek samping amilorid yang paling sering selain hiperkalemia yaitu
mual, muntah, diare dan sakit kepala.
Indikasi
Bermanfaat untuk pengobatan beberapa pasien udem. Tetapi obat ini akan
bermanfaat bila diberikan bersama dengan diuretik golongan lain, misalnya dari
golongan tiazid.
Sediaan
Triamteren tersedia sebagai kapsul dari 100 mg. Dosisnya 100-300 mg sehari.
Untuk tiap penderita harus ditetapkan dosis penunjang tersendiri. Amilorid terdapat
dalam bentuk tablet 5 mg. Dosis sehari sebesar 5-10 mg. Sediaan kombinasi tetap
antara amilorid 5 mg dan hidroklortiazid 50 mg terdapat dalam bentuk tablet dengan
dosis sehari antara 1-2 tablet.
d. Diuretik Osmotik
Istilah diuretik osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah
dan cepat diekskresi oleh ginjal. Contoh dari diuretik osmotik adalah; manitol, urea,
gliserin dan isosorbid.
Suatu zat dapat bertindak sebagai diuretik osmotik apabila memenuhi 4 syarat:
1. Difiltasi secara bebas oleh glomerulus
2. Tidak atau hanya sedikit direabsorpsi sel tubuli ginjal
3. Secara farmakologis merupakan zat yang inert
4. Umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan metabolik.
Diuresis osmotik merupakan zat yang secara farmakologis lembam,
sepertimanitol (satu gula). Diuresis osmotik diberikan secara intravena untuk
menurunkan edema serebri atau peningkatan tekanan intraoukular padaglaukoma
serta menimbulkan diuresis setelah overdosis obat. Diuresis terjadi melalui “tarikan”
osmotik akibat gula yang lembam (yang difiltrasi oleh ginjal, tetapi tidak
direabsorpsi) saat ekskresi gula tersebut terjadi.
Diuretik osmotik mempunyai tempat kerja:
1. Tubuli proksimal, diuretik osmotik ini bekerja pada tubuli proksimal dengan
cara menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya.
2. Ansa henle, diuretik osmotik ini bekerja pada ansa henle dengan cara
menghambat reabsorpsi natrium dan air oleh karena hipertonisitas daerah
medula menurun.
3. Duktus Koligentes, diuretik osmotik ini bekerja pada Duktus Koligentes dengan
cara menghambat reabsorpsi natrium dan air akibat adanya papillary washout,
kecepatan aliran filtrat yang tinggi, atau adanya faktor lain.
Manitol
Manitol paling sering digunakan diantara obat ini, karena manitol tidak
mengalami metabolisme dalam badan dan hanya sedikit sekali direabsorpsi tubuli
bahkan praktis dianggap tidak direabsorpsi. Manitol harus diberikan secara IV.
Indikasi
Manitol digunakan misalnya untuk:
1. Profilaksis gagal ginjal akut, suatu keadaan yang dapat timbul akibat operasi
jantung, luka traumatik berat, atau tindakan operatif dengan penderita yang juga
menderita ikterus berat.
2. Menurunkan tekanan maupun volume cairan intraokuler atau cairan
serebrospinal
Efek samping
Manitol dapat menimbulkan reaksi hipersensitif.
Sediaan dan dosis
Untuk sediaan IV digunakan larutan 5-25% dengan volume antara 50-1.000ml.
dosis untuk menimbulkan diuresis ialah 50-200 g yang diberikan dalam cairan infus
selama 24 jam dengan kecepatan infus sedemikian, sehingga diperoleh diuresis
sebanyak 30-50ml per jam. Untuk penderita dengan oliguria hebat diberikan dosis
percobaan yaitu 200 mg/kgBB yang diberikan melalui infus selama 3-5 menit, bila
dengan 1-2 kali dosis percobaan diuresis masih kurang dari 30 ml per jam dalam 2-3
jam. Untuk mencegah gagal ginjal akut pada tindakan operasi atau mengatasi
oliguria, dosis total manitol untuk orang dewasa ialah 50-100g.
Kontraindikasi
Manitol dikontraindikasikan pada penyakit ginjal dengan anuria, kongesti atau
udem paru yang berat, dehidrasi hebat dan perdarahan intrakranial kecuali bila akan
dilakukan kraniotomi. Infus manitol harus segera dihentikan bila terdapat tanda-tanda
gangguan fungsi ginjal yang progresif, payah jantung ataukongesti paru.
e. Penghambat Karbonik Anhidrase
Karbonik anhidrase adalah enzim yang mengkatalis reaksi CO2 + H2O -
H2CO3. Enzim ini terdapat antara lain dalam sel korteks renalis, pankreas, mukosa
lambung, mata, eritrosit dan SSP, tetapi tidak terdapat dalam plasma. Inhibitor
karbonik anhidrase adalah obat yang digunakan untuk menurunkan tekanan
intraokular pada glaukoma dengan membatasi produksi humor aqueus, bukan sebagai
diuretik (misalnya, asetazolamid). Obat ini bekerja pada tubulus proksimal (nefron)
dengan mencegah reabsorpsi bikarbonat (hidrogen karbonat), natrium, kalium, air dan
semua zat ini meningkatkan produksi urine. Yang termasuk golongan diuretik ini
adalah asetazolamid, diklorofenamid dan meatzolamid.
Asetazolamid
Farmakodinamika
Efek farmakodinamika yang utama dari asetazolamid adalah penghambatan
karbonik anhidrase secara nonkompetitif. Akibatnya terjadi perubahan sistemik dan
perubahan terbatas pada organ tempat enzim tersebut berada. Asetazolamid
memperbesar ekskresi K+, tetapi efek ini hanya nyata pada permulaan terapi saja,
sehingga pengaruhnya terhadap keseimbangan kalium tidak sebesar pengaruh tiazid.
Farmakokinetik
Asetazolamid diberikan per oral. Asetozalamid mudah diserap melalui saluran
cerna, kadar maksimal dalam darah dicapai dalam 2 jam dan ekskresi melalui ginjal
sudah sempurna dalam 24 jam. Obat ini mengalami proses sekresi aktif oleh tubuli
dan sebagian direabsorpsi secara pasif. Asetazolamid terikat kuat pada karbonik
anhidrase, sehingga terakumulasi dalam sel yang banyak mengandung enzim ini,
terutama sel eritrosit dan korteks ginjal. Distribusi penghambat karbonik anhidrase
dalam tubuh ditentukan oleh ada tidaknya enzim karbonik anhidrase dalam sel yang
bersangkutan dan dapat tidaknya obat itu masuk ke dalam sel. Asetazolamid tidak
dimetabolisme dan diekskresi dalam bentuk utuh melalui urin.
Efek Samping dan kontraindikasi
Pada dosis tinggi dapat timbul parestesia dan kantuk yang terus-menerus.
Asetazolamid mempermudah pembentukan batu ginjal karena berkurangnya sekskresi
sitrat, kadar kalsium dalam urin tidak berubah atau meningkat. Asetazolamid
dikontraindikasikan pada sirosis hepatis karena menyebabkan disorientasi mental
pada penderita sirosis hepatis. Reaksi alergi yang jarang terjadi berupa demam, reaksi
kulit, depresi sumsum tulang dan lesi renal mirip reaksi sulfonamid. Asetazolamid
sebaiknya tidak diberikan selam kehamilan karena pada hewan percobaan obat ini
dapat menimbulkan efek teratogenik.
Indikasi
Penggunaan utama adalah menurunkan tekanan intraokuler pada penyakit
glaukoma. Asetazolamid juga efektif untuk mengurangi gejala acute mountain
sickness. Asetazolamid jarang digunakan sebagai diuretik, tetapi dapat bermanfaat
untuk alkalinisasi urin sehingga mempermudah ekskresi zat organik yang bersifat
asam lemah.
Sediaan dan posologi
Asetazolamid tersedia dalam bentuk tablet 125 mg dan 250 mg untuk
pemberian oral
2.4 Pengobatan dengan Diuretik
1. Indikasi
Deuretik digunakan untuk menurunkan volume dan cairan interstisialdengan
cara yang meningkatkan ekskresi natrium klorida dan air. Bila deuretik
diberikan secar akut, akan terjadi kehilangan natrium lebih banyak daripada
jumah natrium yang masik dan makanan. Tetapi pada penggunaaan kronis akan
dicapai keseimbangan, sehingga natrium yang keluar sama dengan diet rendah
garam.
2. Keadaan yang memerlukan diuresis cepat
Pada udem paru, pemberian furosemid atau asam etakrinat IV dapat
menyebabkan dieresis cepat. Perbaikan yang terjadi sebagian mungkin
disebabkan oleh adanya perubahan hemodiamik yaitu perubahan pada daya
tamping vena (venous capacintance); tetapi efek duresisnya tetap diperlukan
untuk mempertahnkan hasil tersebut.
3. Udem
Semua diuretic dapat digunakan untuk keadaan udem. Seringkali udem ini
disertai hiperaldonsteronisme dan karena itu penggunaan deeuretika cenderung
disertai kehilangan kalium. Penyebab utama uden adalah payah jantung ;
penyebab lainnya antara lain penyakit hati dan sindrom nefrotik. Pada semua
keadaan ini harus diusahakan meningkatkan kadar kalium dalam serumdengan
pemberian suplemen kalium atau dengan penggunaan bersama deuretik hemat
kalium. Pada penderita sirosis hati yang disertai asites dan udem, sebaiknya
digunakan dahulu diuretic hemat kalium, kemudian disusul dengan diuretic
yang lebih kuat.
Pada udem yang disertai gagal ginjal penggunaan tiazid kurang bermanfaat,
sebaliknya diuretic kuat sangat bermanfaat. Dalam hal ini perlu dosis besar
untuk mendapatkan efek pada tubuli proksimal; furosemid lebih disukai
dibandingkan dengan asam etakrinat karena asam etakrinat lebih besar
atotoksisitasnya. Diuretic hemat kalium sama sekali tidak boleh diberikan
pada gagal ginjal,karena ada bahaya terjadi karena hiperkalemia yang fatal.
4. Hipertensi
Dasar penggunaan diuretic pada hipertensi terutama karena efeknya terhadap
keseimbangan natrium dan terhadap resistensi perifer.
Furosemid dan asam etakrinat mempunyai natriuresus lebih kuat disbanding
dengan tiazid; tetapi keduanya tidak mempunyai efek fasedilatasi arteriol
langsung seperti tiazid. Oleh karena itu tiazid terpilih untuk pengobatan
hipertensi berdasarkan pertimbangan efektivitas maupun besarnya biaya.
Penggunaan klinik diuretik
1. Hipertensi
Digunakan untuk mengurangi volume darah seluruhnya hingga tekanan darah
menurun. Khususnya derivate-thiazida digunakan untuk indikasi ini. Diuretic
lengkungan pada jangka panjang ternyata lebih ringan efek anti hipertensinya,
maka hanya digunakan bila ada kontra indikasi pada thiazida, seperti pada
insufiensi ginjal. Mekanisme kerjanya diperkirakan berdasarkan penurunan
daya tahan pembuluh perifer. Dosis yang diperlukan untuk efek antihipertensi
adalah jauh lebih rendah daripada dosis diuretic. Thiazida memperkuat efek-
efek obat hipertensi betablockers dan ACE-inhibitor sehingga sering
dikombinasi dengan thiazida. Penghetian pemberian obat thiazida pada lansia
tidak boleh mendadak karena dapat menyebabkan resiko timbulnya gejala
kelemahan jantung dan peningkatan tensi. Diuretik golongan Tiazid,
merupakan pilihan utama step :
• Pada sebagian besar penderita. Diuretik hemat kalium, digunakan bersama
tiazid atau diuretik kuat, bila ada bahaya hipokalemia.
• Payah jantung kronik kongestif. Diuretik golongan tiazid, digunakann bila
fungsi ginjal normal.
• Diuretik kuat biasanya furosemid, terutama bermanfaat pada penderita dengan
gangguan fungsi ginjal.
• Diuretik hemat kalium, digunakan bersama tiazid atau diuretik kuat bila ada
bahaya hipokalemia.
• Udem paru akut. Biasanya menggunakan diuretik kuat (furosemid)
• Sindrom nefrotik. Biasanya digunakan tiazid atau diuretik kuat bersama
dengan spironolakton.
• Payah ginjal akut. Manitol dan/atau furosemid, bila diuresis berhasil, volume
cairan tubuh yang hilang harus diganti dengan hati-hati.
• Penyakit hati kronik spironolakton (sendiri atau bersama tiazid atau diuretik
kuat).
• Udem otak. Diuretik osmotic
• Hiperklasemia
Diuretik furosemid, diberikan bersama infus NaCl hipertonis.
• Batu ginjal. Diuretik tiazid
• Diabetes insipidusDiuretik golongan tiazid disertai dengan diet rendah garam
• Open angle glaucoma. Diuretik asetazolamid digunakan untuk jangka
panjang.
• Acute angle closure glaucoma. Diuretik osmotik atau asetazolamid digunakan
prabedah. Untuk pemilihan obat Diuretika yang tepat ada baiknya anda harus
periksakan diri dan konsultasi ke dokter.
2.5 Interaksi Obat Diuretik Dengan Obat Lain
1) Asetazolamid + NSAID
Sebuah kasus gagal ginjal akut telah dilaporkan pada wanita yang
menjalani operasi retinal, yang terjadi pasca operasi setelah
menggunakan total dari 2 g acetazolamide, 80 g manitol dan 700 mg
ketoprofen. Tampaknya ada kasus serupa lainnya tentang akibat OAINS
yang meningkatkan risiko gagal ginjal akut.
2) Asetazolamid + Timolol
Penggunaan tablet acetazolamide dengan tetes mata timolol
mengakibatkan asidosis pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik.
Bukti klinis, mekanisme, penting dan manajemen.
Seorang pria tua dengan penyakit paru obstruktif kronik diberi 750mg
acetazolamide oral harian dan timolol maleat 0,5 % tetes mata , satu tetes
pada setiap mata dua kali sehari, sebagai premedikasi untuk menurunkan
hipertensi okular sebelum operasi glaukoma. Lima hari kemudian
perkembangan sesak napas ia semakin memburuk dan ia diketahui memiliki
yang parah, beragam asidosis.
Hal ini tampaknya telah disebabkan oleh efek bahan tambahan dari
acetazolamide, yang terhalang ekskresi ion hidrogen dalam ginjal, dan efek
bronchoconstrictor dari timolol, yang diserap dalam jumlah yang cukup
dapat memperburuk obstruksi jalan napas pada pasien ini, dan dengan
demikian mengurangi respirasi. Kasus ini terisolasi menekankan
potensi risiko penggunaan beta blocker, bahkan sebagai persiapan non-
sistemik seperti tetes mata, pada pasien dengan penyakit paru obstruktif.
Di catatan acetazolamide sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada
pasien dengan obstruksi paru atau emfisema karena peningkatan risiko
asidosis. Hal ini, sebagian karena adanya interaksi obat-penyakit.
3) Cyclothiazide/Pravastatin-triamteren
Seorang wanita 63 tahun yang sudah memakai cyclothiazide /
triamteren dan acebutolol selama 4 tahun, mengalami poliuria dan
polidipsia dalam waktu 3 minggu semenjak mulai menggunakan
pravastatin 20 mg per hari yang secara bertahap semakin memburuk.
Setelah 4 bulan dia dirawat di rumah sakit karena hiperglikemia, yang
diterapi dengan insulin dan kemudian glibenclamide (glyburide).
Cyclothiazide / triamterene dan pravastatin dihentikan dan secara bertahap
gejala-gejala diabetes mulai mereda. Lima minggu setelah masuk rumah
sakit dia tanpa memerlukan untuk setiap pengobatan antidiabetik dengan
sepenuhnya diabetes dapat diatasi. Alasan rinci untuk reaksi ini tidak
dipahami, tapi tampaknya bahwa pravastatin meningkatkan potensi
Hiperkalemia dari diuretik thazide pada titik di mana terus terang
diabetes berkembang. Hal ini merupakan kasus khusus dan ada tampaknya
akan menjadi alasan normal untuk menghindari penggunaan obat ini secara
bersaman.
4) Eplerenone CYP3A4 inhibitor
Ketokonazol secara nyata meningkatkan AUC eplerenone, dan
kontraindikasi penggunaan bersamaan. Demikian pula, penggunaan
bersamaan inhibitor dari CYP3A4 harus dihindari. Ringan sampai sedang
inhibitor CYP3A4 (termasuk diltiazem, flukonazol, saquinavir dan verapamil)
meningkatkan AUC eplerenone hingga hampir tiga kali lipat. Jus jeruk
memiliki efek kecil tapi penting.
Bukti klinis, mekanisme, dan pentingnya manajemen
a) Antasida
Produsen mencatat bahwa aluminium / magnesium yang mengandung
antasida tidak berpengaruh terhadap farmakokinetika eplerenone.
b) Siklosporin dan Takrolimus
Tidak ada interaksi farmakokinetik klinis signifikan dicatat ketika
eplerenone diberikan dengan ciclosporin. Namun, di Inggris, negara
produsen yang siklosporin dan takrolimus dapat mengganggu fungsi
ginjal dan meningkatkan risiko hiperkalemia. Oleh karena itu, mereka
merekomendasikan bahwa penggunaan bersamaan baik siklosporin atau
takrolimus dengan eplerenone harus dihindari, atau fungsi ginjal dan
kalium serum harus erat monitored.
c) Kontrasepsi Hormonal Gabungan
Eplerenone 100 mg per hari diberikan kepada 24 subjek sehat pada hari
1 sampai 11 siklus 28 hari gabungan hormonal kontrasepsi
(etinilestradiol / norethisterone 35 mikrogram / 1 mg). Tidak ada
perubahan dalam etinilestradiol AUC, tapi ada sedikit peningkatan
17% dalam norethisterone AUC, yang tidak mungkin secara klinis
relevan.
d) Kortikosteroid
Penggunaan bersamaan kortikosteroid dapat mengurangi efek
antihipertensi dari eplerenone karena dapat menyebabkan cairan dan
retensi natrium.
e) Digoksin
Dengan stabil kondisi AUC digoksin 200 mikrogram setiap hari
meningkat sebesar 16% bila diberikan kepada orang sehat dengan
eplerenone 100 mg sehari. Produsen Inggris memperingatkan hati-hati
yang mungkin diperlukan pada pasien dengan kadar digoksin mendekati
akhir atas kisaran terapeutik. Perhatikan bahwa perubahan ukuran ini
berada dalam variasi diharapkan biasa di AUC digoxin.
f) Obat-obatan yang dapat menyebabkan hipotensi postural
Pendapat produsen bahwa ada risiko peningkatan efek hypoyensive dan
atau hipotensi postural jika eplerenone diberikan dengan alpha blockers
(misalnya prazosin), antidepresan trisiklik, antipsycothics, amifostine
dan baclofen. Mereka menyarankan amonitoring.
g) Litium
Tidak ada studi interaksi telah dilakukan dengan lithium dan eplerenone.
Litium serum harus sering dipantau jika eplerenone diberikan dengan
litium, meskipun, di Inggris, produsen menyarankan penghindaran
kombinasi. Hal ini karena toksisitas litium telah terjadi dengan baterai
lithium dan 'ACE inhibitor', (p.1112) atau 'diuretik', (p.1122)
h) Midazolam
Sebuah studi farmakokinetik telah menunjukkan tidak ada interaksi
farmakokinetik antara midazolam (sitokrom P450 isoenzim CYP3A4
substrat) dan eplerenone.
i) Simvastatin
Pada 18 subjek sehat simvastatin 40 mg sekali sehari tidak berpengaruh
terhadap farmakokinetika eplerenone 100 mg sekali sehari. Tingkat
maksimum simvastatin modesly mengalami penurunan sebesar 32%,
dan AUC sebesar 14%, tetapi ini relevan secara klinis.
j) Tetracosactide
Tetracosactide dapat menggunakan cairan dan retensi natrium dan ini
dapat mengurangi efek antihipertensi dari eplerenone.
k) Warfarin
Eplerenone tidak mengubah farmakokinetik warfarin sampai batas
klinis yang signifikan. 1,3 Namun, di Inggris manucfaturer masih
merekomendasikan hati saat dosis warfarin dekat batas atas dari
kisaran terapeutik.
5) Resin mengikat furosemide + Asam-Empedu
Colestyramine dan colestipol nyata mengurangi penyerapan dan diuretik
efek furosemide.
Bukti klinis
Dalam 6 orang sehat colestyramine 8 g mengurangi penyerapan tunggal 40
mg dosis furosemide oleh 95%. Respon diuretik 4 jam berkurang 77%
(ouput kemih berkurang 1510-350 mL). Colestipol 10 g mengurangi
penyerapan furosemide oleh 80% dan respon diuretik 4 jam sebesar58% (output
urin berkurang 1510-630 mL).
Mekanisme
Kedua colestyramine dan colestipol adalah resin pertukaran anion, yang
dapat mengikat dengan furosemide dalam usus, sehingga mengurangi
penyerapan dan dampaknya.
Pentingnya manajemen
Sebuah interaksi yang didirikan, meskipun bukti langsung
tampaknya terbatas pada studi ini. Penyerapan furosemide relatif cepat
sehingga memberikan 2 sampai 3 jam sebelum colestipol harus
menjadi cara yang efektif untuk mengatasi interaksi ini. Hal ini
perlu konfirmasi. Perhatikan bahwa biasanya dianjurkan obat lain yang
diberikan 1 jam sebelum atau 4 sampai 6 jam setelah colestyramine dan 1
jam sebelum atau 4 jam setelah colestipol.
5. Furosemide + Cloralhydrat
Injeksi intravena furosemide setelah pengobatan dengan cloralhidrat
menyebabkan berkeringat, muka memerah, tekanan darah variabel dan
takikardia .
Bukti kllinis
Enam pasien di unit perawatan koroner diberikan bolus intravena 40-120
mg furosemide dan yang telah menerima cloral hidrat selama 24 jam
sebelumnya, berkeringat, muka memerah, tekanan darah variabel dan
takikardia. Reaksi ini segera dan berlangsung selama sekitar 15 menit.
Tidak ada perlakuan khusus yang diberikan. Furosemide tidak
menyebabkan masalah ketika diberikan sebelum cloralhidrat.
6. Kalium-sparing diuretik + NSAID
Penggunaan bersamaan triamterene dan indometasin telah, dalam
beberapa kasus, dengan cepat menyebabkan gagal ginjal akut. Sebuah kasus
yang terisolasi dari gangguan ginjal dengan diklofenak telah dilaporkan
pada pasien mengambil triamterene ditambah thiazide. Sebuah kasus
latihan-diinduksi gagal ginjal akut juga telah dilaporkan dalam paten
mengambil ibuprofen dengan triamterene ditambah thiazide. Indometasin
mengurangi efek diuretik spironolactone.
Bukti klinis
a) Spironolakton dengan indometasin
Sebuah studi pada subyek sehat menemukan bahwa indometasin 150
mg sehari mengurangi dari spironolactone 300 mg setiap hari oleh
54%!
b) Triamterene dengan Diklofenak
Seorang pasien yang menerima triamterene 100 mg ditambah
trichlormethiazide 2 mg sehari diberikan intramuskular diklofenak 75
mg sebelum masuk ke rumah sakit dengan nyeri payudara. Pada
penerimaan kreatinin serum adalah 91 mikromol / L dan setelah 2 hari
itu meningkat menjadi 248 mikromol / L dan setelah 2 hari itu
meningkat menjadi 248 mikromol / L, tetapi kembali normal lebih dari
2 minggu. Diklofenak lisan selanjutnya tidak menghasilkan.Diamati
penurunan fungsi ginjal ini disebabkan interaksi antara
triamterene dan diklofenak.
c) Disflunisal tidak memiliki efek terhadap farmakokinetika triamterene
pada subyek sehat, tapi AUC plasma dari metabolit aktif, p-
hydroxytriamterene adalah subyek sehat, tapi AUC plasma dari
metabolit aktif p-hydroxytriamterene telah meningkat lebih dari empat
kali lipat.
d) Pasien 37 tahun mengalami gagal ginjal akut setelah latihan berat saat
mengambil hydrochlorotiazide / triamterene 50/75 mg sehari dan
ibuprofen (800 mg 12 jam dan 2 jam sebelum latihan dan 800 mg 24
jam setelah). Biopsi ginjal menunjukkan nekrosis tubular akut.
e) Triamterene dengan indometacine
Sebuah studi di 4 subyek sehat menemukan bahwa
indometasin 150 mg sehari diberikan dengan triamterene 200
mg sehari selama 3 hari mengurangi bersihan kreatinin dalam
2 mata pelajaran sebesar 62% dan 72%, masing-masing.
Fungsi ginjal kembali normal setelah satu bulan. Indometacine
sendiri tidak menyebabkan perubahan konsisten dalam fungsi
ginjal. Tidak ada efek samping yang terlihat pada 18 mata
pelajaran lain diperlakukan dengan cara yang sama dengan
indometasin dan furosemide, hidroklorotiazid atau
spironolactone. Lima pasien dilaporkan telah berkembang
pesat gagal ginjal akut setelah menerima indometacine dan
triamterene, baik secara bersamaan atau berurutan.

Mekanisme
Salah satu saran adalah triamterene yang menyebabkan iskemia ginjal,
yang ginjal mengkompensasi dengan meningkatkan prostaglandin
(PGE2), ada dengan menjaga aliran darah ginjal. Indometasin
menentang ini dengan menghambat sintesis prostaglandin, sehingga
dari triamterene pada ginjal terus dicentang. Peningkatan
metabolit aktif secara farmakologi dari triamterene dapat terjadi
karena persaingan untuk jalur ekskretoris ginjal tetapi signifikansi
klinis tidak pasti. Sebagai prostaglandin dapat berkontribusi terhadap
efek natriuretik dari spironolactone, NSAID dapat mengerahkan efek
mereka dengan menghalangi sintesis prostaglandin.

Pentingnya dan manajemen


Informasi terbatas pada laporan tersebut, tetapi interaksi dengan
indometasin yang estabilised. Kejadian tidak pasti. Karena gagal ginjal
akut ternyata dapat mengembangkan tak terduga dan sangat cepat itu
akan tampak bijaksana untuk menggunakan triamterene dan
indometasin hati- hati, atau menghindarinya sama sekali. Para penulis
laporan dengan diklofenak menunjukkan hati-hati dengan penggunaan
setiap NSAID dengan triamterene. Latihan berat dapat mengurangi
aliran darah ginjal, dan penulis laporan kasus dengan catatan
ibuprofen bahwa meskipun gagal ginjal sekunder langka ini, pasien
yang memakai obat yang juga mengurangi aliran darah ginjal lebih
beresiko komplikasi ini. Sebuah analisis retrospektif dari catatan
pasien yang memakai diuretik (tiazid, lingkaran dan / atau hemat
kalium) dan NSAID ditemukan dua kali lipat
peningkatan risiko rawat inap untuk gagal jantung kongestif pada
penggunaan bersamaan, meskipun risiko relatif (1,4) dengan kalium -
sparing diuretik kurang dari itu bila dikombinasikan dengan thiazide.
NSAID yang paling umum diambil oleh kohort pasien ini adalah
diklofenak, ibuprofen, indometasin dan naproxen. The European
Society of Cardiology (ESC) Task Force dan American College of
Cardiology gabungan / American Heart Association pedoman tentang
pengelolaan gagal jantung kronis keduanya merekomendasikan bahwa
NSAID, termasuk coxib, harus dihindari, jika mungkin, dengan
antagonis aldosteron (seperti eplerenone atau spironolactone) karena
hal ini meningkatkan risiko mengembangkan hiperkalemia dan gagal
ginjal. Untuk pembahasan tentang interaksi spironolactone dengan
aspirin. Berbagai studi epidemiologi besar dan meta-analisis studi
klinis telah dilakukan untuk menilai efek NSAID terhadap tekanan
darah pada pasien yang diobati dengan antihypersensitives, termasuk
diuretik dan temuan ini disimpulkan dalam 'Tabel 23,2 (p.862)
7. Diuretik hemat kalium + senyawa Kalium
Penggunaan bersamaan spironolactone atau triamterene dan suplemen
kalium dapat menyebabkan hiperkalemia berat dan bahkan mengancam
jiwa. Amilorid dan eplerenone diharapkan untuk berinteraksi sama.
Pengganti garam yang mengandung kalium dapat sebagai berbahaya
sebagai suplemen kalium.
Bukti klinis
Dalam Analisis retrospektif dari pasien rawat inap yang telah menerima
spironolactone
Pentingnya dan manajemen
Interaksi terjadinya kejadian ini diketahui namun laporan yang dikutip
menunjukkan bahwa hal itu dapat cukup jika asupan vitamin D dan kalsium yang
tinggi. Penggunaan bersama tidak perlu dihindari, tiazid telah digunakan secara
klinis untuk mengurangi vitamin-D diinduksi hiperkalsiuria, kadar kalsium rum
harus dipantau secara berkala untuk memastikan bahwa mereka tidak menjadi
berlebihan. Pasien harus diperingatkan tentang konsumsi jumlah yang sangat
besar kalsium karbonat (tersedia tanpa resep) jika mereka mengambil diuretik
thiazide.Kasus hiperkalsemia dengan penggunaan topikal vitamin D analog
langka dan kekuatan penyusunan takalsitol yang digunakan adalah lima kali
lipat lebih tinggi dari persiapan berlisensi saat ini 4 mikrogram / g
(Curatoderm). Namun, perlu diketahui hal ini harusnya pasien mengambil
tiazid dengan topikal vitamin D analog dikembangkan hiperkalsemia.
2.6 Masalah Yang Timbul Pada Pemberian Diuretik
1. Hipokalemia
Sekitar 50% kalium yang difiltrasi oleh glomerulus akan direabsorbsi ditubulus
proksimal dan sebagian besar dari sisanya direabsorbsi di ascending limb loop dari
Henle. Hanya 10% yang mencapai tubulus konvolutus distal. Kalium ada yang
disekresi di pars recta tubulus distal. Terjadinya hipokalemia pada pemberian diuretik
disebabkan oleh:
• Peningkatan aliran urin dan natrium di tubulus distal, meningkatkan sekresi
kalium di tubulus distal.
• Peningkatan kadar bikarbonat (muatan negatip meningkat) dalam tubulus
distal akibat hambatan reabsorbsi di tubulus proksimal oleh penghambat
karbonik anhidrase akan meningkatkan sekresi kalium di tubulus distal.
• Diuretik osmotik akan menghambat reabsorbsi kalium di tubulus proksimal.
• Diuretik loop juga menghambat reabsorbsi kalium di thick ascending limb.
Hipokalemia akibat pemberian diuretik dapat menyebabkan:
1. Gangguan toleransi glukosa. Hipokalemia menghambat pengeluara ninsulin
endogen.
2. Hepatik ensefalopati. Pemberian diuretik harus hati-hati pada keadaan hati
yang dekompensasi.
3. Artimia. Bila penderita sedang mendapat digitalis, hipokalemia dapat
merangsang terjadinya aritmia. Penambahan kalium hanya diberikan bila:
a. Kadar kalium darah kurang dari 3 meq/1.
b. Dekompensasi hati yang mendapat diuretik (bukan Spironolakton).
c. Penderita yang mendapat digitalis.
2. Hiperkalemia
Pemberian diuretik jenis potassium-sparing akan meningkatkan-kadar kalium
darah. Ada 3 jenis diuretik ini yaitu Spironolakton,. Amiloride, Triamterene. Kerja
Spironolakton bergantung pada tinggi rendahnya kadar Aldosteron. Amiloride dan
Triamterene tidak tergantung pada Aldosteron. Seluruhnya menghambat sekresi
kaliumdi tubulus distal. Kita harus berhati-hati atau sebaiknya diuretik jenis ini tidak
diberikan pada keadaan gagal ginjal, diabetes mellitus, dehidrasi berat atau diberikan
bersama preparat yang mengandung kalium tinggi.
3. Hiponatremia
Tanda-tanda hiponatremia akibat diuretika ialah kadar natriumurin >20 mq/L,
kenaikan ringan ureum dan kreatinin, hipokalemia dan terdapat alkalosis metabolik.
Hiponatremia dapat memberikan gejala-gejala bahkan kematian. Cepatnya penurunan
kadar natrium (kurang dari 12 jam),kadar natrium < 110 meq/L, terdapat gejala
susunan saraf pusat, merupakan pertanda buruk akibat hponatremia. Keadaan ini
harus ditanggulangi secepatnya.
4. Deplesi Cairan
Pengurangan cairan ekstraseluler merupakan tujuan utama dalam pemakaian
diuretik. Keadaan ini sangat menguntungkan pada edema paruakibat payah jantung.
Pada keadaan sindrom nefrotik, terutama dengan hipoalbuminemi yang berat,
pemberian diuretic dapat menimbulkan syok atau gangguan fungsi ginjal. Tidak
dianjurkan penurunan berat badan 1 kg perhari.
5. Gangguan Keseimbangan Asam Basa
Alkalosis metabolik terjadi akibat:
a. Pengurangan cairan ekstraseluler akan meningkatkan kadar HCO3 dalam
darah.
b. Peningkatan ekskresi ion-H meningkatkan pembentukan HCO3
c. Deplesi asam hidroklorida.
Diuretik yang dapat menyebabkan alkalosis metabolik adalahtiasid dan
diuretik loop.
Alkalosis metabolik yang terjadi, biasanya disertai pengurangan ekskresi
klorida. Dipikirkan kemungkinan oleh sebab lain seperti muntah-muntah, kehilangan
asam lambung akibat pemasangan sonde lambung.
Asidosis metabolik terjadi akibat:
a. Sekresi ion H dihambat.
b. Reabsorbsi HCO3 dihambat
Diuretik penghambat karbonik anhidrase dapat menyebabkan asidosis
metabolik akibat dua proses di atas. Diuretik Potassium sparing menghambat
sekresi ion H sehingga dapat menyebabkan asidosis metabolik. Asidosis
metabolik yang diakibatkan diuretik biasanya tidak disertai peninggian
aniongap (Na (HCO3+ Cl) < 16mcq/L).
6. Gangguan Metabolik
a. Hiperglikemi
Diuretik dapat menyebabkan gangguan toleransi glukosa (hiperglikemi).
Hipokalemia akibat pemberian diuretik dibuktikan sebagai penyebab gangguan
toleransi ini (respon insulin terhadap glukosa pada fase I dan fase II terganggu).
Diuretik Potassium sparing tidak menyebabkan gangguan toleransi glukosa.
b. Hiperlipidemia
Trigliserida, kolesterol, Cholesterol HDL, Cholesterol VLDL akan meningkat
dan Cholesterol HDL akan berkurang pada pemberian diuretik jangka lama (> 4
minggu). Antagonis Aldosteron akan menghambat ACTH, mengganggu
hormon androgen (antiandrogen). Mengakibatkan terjadinya ginekomastia atau
gangguan menstruasi.
c. Hiperurikemia
Penggunaan diuretik dapat menyebabkan peningkatan kadar asam urat. Karena
terjadi pengurangan volume plasma maka filtrasi melalui glomerulus berkurang
dan absorbsi oleh tubulus meningkat Dipengaruhi juga oleh ada atau tidaknya
hiponatremi. Bila natrium dikoreksi, kliren asam urat akan diperbaiki.
d. Hiperkalsemia
Pemberian diuretik tiasid akan meninggikan kadar kalsium darah. Ekskresi
kalsium melalui urin akan berkurang. Peninggian kalsium darah ini disebutkan
juga mempunyai hubungan dengan keadaan hiperparatiroid. Dari penelitian
epidemiologi di Stockholm dilaporkan bahwa 70% dari orang yang
hiperkalsemi setelah mendapat diuretik, menderita adenoma paratiroid.
e. Hipokalsemia
Diuretik Loop menyebabkan hipokalsemi akibat peningkatan ekskresi kalsium
melalui urin.
7. Toksisitas
• Diuretik dapat menyebabkan nefritis intersiil akut melalui reaksi
hipersensitifitas.
• Dapat menginduksi terjadinya artritis gout dan pengeluaran batu asam urat pada
penderita dengan riwayat gout.
• Hipokalemi kronik akibat penggunaan diuretik dapat menimbulkan nefr opati
hipokalemi.
• Diuretik loop terutama furosemid dapat menyebabkan ototoksisiti.
• Lebih nyata lagi bila ada gagal ginjal. Gabungan dengan amino glikosida dapat
menyebabkan gangguan pendengaran.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih
(diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Obat-obat lainnya yang
menstimulasi diuresis dengan mempengaruhi ginjal secara tidak langsung tidak
termasuk dalam defenisi ini, misalnya, zat-zat yang memperkuat kontraksi jantung
(digoksin, teofilin), memperbesar volume darah (dekstran), atau merintangi sekresi
hormon anti diuretik ADH. Obat-obatan yang menyebabkan suatu keadaan
meningkatnya aliran urine disebut Diuretik. Obat-obat ini merupakan penghambat
transpor ion yang menurunkan reabsorbsi Na+ dan ion lain seperti Cl- memasuki urin
dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dalam keadaan normal bersama-sama air,
yang mengangkut secara pasif untuk mempertahankan keseimbangan osmotik.
Perubahan Osmotik dimana dalam tubulus menjadi menjadi meningkat karena
Natrium lebih banyak dalam urine, dan mengikat air lebih banyak didalam tubulus
ginjal. Dan produksi urine menjadi lebih banyak. Dengan demikian diuretic
meningkatkan volume urine dan sering mengubah PH-nya serta komposisi ion
didalam urine dan darah.Ada beberapa jenis Diuretik, yang sudah dikenal dan sering
digunakan dalam pengobatan klien dengan masalah gangguan cairan dan elektrolit.
Jenis- jenis tersebut adalah diuretik osmotik, diuretik penghambat karbonik anhidrase
ginjal, diuretik derifat tiasid, diuretik loop, diuretik hemat kalium.
DAFTAR PUSTAKA
Aidan. 2008. Penggolongan Diuretik. Bandung: Alfabeta

Goodman and Gilman. 2008. Manual Farmakologi dan Terapi. Jakarta: EGC

Nafrialdi. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi


dan Terapeutik

Snighda M., Kumar S.S., Jaya Y. And Kasana B. 2013. Review Article a Review on
“How Exactly Diuretic Drugs Are Working in Our Body”. Journal of Drug
Delivery & Therapeutics

Tjay dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek
Sampingnya Edisi V. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia

Anda mungkin juga menyukai